• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN RESILIENSI PADA MAHASISWA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DALAM HAL PENYALAHGUNAAN ZAT

Guna Memenuhi Persyaratan Skripsi Bidang Psikologi Klinis

Oleh :

RISDAWATI PURBA

051301085

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan dengan

sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Gambaran Resiliensi Pada

Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat adalah

hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar

kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian- bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari

hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan

norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi

ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, April 2011

Risdawati Purba

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah

SWT karena atas berkat rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam peneliti ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai

pemimpin dan suri tauladan dalam hidup. Skripsi ini berjudul “Gambaran

Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal

Penyalahgunaan Zat”.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir

guna memperoleh gelar jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan, dan

kesabaran untuk menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari

peranan ayah dan ibu yang telah memberikan motivasi yang besar dalam diri

peneliti.

Selain dari pengaruh orang tua dan keluarga, peneliti menyadari selesainya

skripsi ini tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang turut membantu peneliti

dalam penyusunannya. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima

kasih setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Sri Supriyantini, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing peneliti.

Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama

membimbing peneliti. Terima kasih untuk saran, komentar, dukungan,

(4)

3. Seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya di

departemen pendidikan. Terima kasih atas dukungan, masukan serta

bimbingan yang diberikan kepada peneliti.

4. Seluruh teman yang ada di departemen pendidikan dan

teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya stambuk 2005 yang

membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan,

terima kasih atas semua bantuan yang kalian berikan.

Sebagai manusia yang masih belajar, peneliti menyadari bahwa dalam

penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti

mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi hasil yang lebih baik. Akhir

kata peneliti berharap somoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pembaca sekalian.

Medan, Januari 2010

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ……….i

DAFTAS ISI ………...v

DAFTAR TABEL ………...ix

DAFTAR GAMBAR ……….x

BAB I. PENDAHULUAN ………..1

A. Latar Belakang ………..…..1

B. Rumusan Masalah... ………..………...9

C. Tujuan Penelitian ……….……..10

D. Manfaat Penelitian ……….………10

1.Manfaat teoritis ……….……....10

2.Manfaat praktis ……….….…....10

E. Sistematika Penulisan ...11

BAB II. LANDASAN TEORI ……….12

A. Resiliensi... ……….12

1. Definisi Resiliensi...……….……….…...….12

2 .Fungsi Resiliensi....……..………...13

(6)

4. Sumber-sumber Resiliensi...….………..….…23

B. Penyalahgunaan Zat...………....26

1.Definisi Penyalahgunaan Zat...…...26

2. Jenis-jenis Zat...……...27

3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat..31

C. Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat...35

BAB III. METODE PENELITIAN ………..38

A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….38

B. Definisi Operasional ………..38

C. Populasi, Sampel dan Metode pengambilan Sampel...40

D. Alat Ukur yang Digunakan... ………....…41

E. Uji Coba Alat Ukur ………...43

1. Validitas alat ukur ...43

2. Daya beda aitem dan reabilitas alat ukur...44

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...45

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ...48

1.Tahap persiapan ...46

2.Tahapan pelaksanaan penelitian ...49

3.Tahapan pengolahan data penelitian ...50

(7)

BAN IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ………...50

a. Analisa Data ……….….52

1. Gambaran Subjek Penelitian ………..……..52

2. Hasil Utama Penelitian....………...63

3. Hasil Tambahan Penelitian ………...72

4. Pembahasan ...………...76

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………...80

A. Kesimpulan ………..80

B. Saran ………...81

1. Saran metodologis ………....81

2. Saran praktis ………..…...82

DAFTAR PUSTAKA ………...

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kategori Norma Nilai Resiliensi...42

Tabel 2. Blue-print skala resiliensi sebelum uji coba...46

Tabel 3. Blue-print Skala Resiliensi Setelah Uji Coba...47

Tabel 4. Blue-Print Skala Resiliensi Untuk Penelitian...48

Tabel 5. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia...52

Tabel 6. Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia...53

Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...54

Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Pengguna Zat Berdasarkan Jenis Kelamin...55

Tabel 9. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Zat yang Digunakan...56

Tabel 10. Gambaran frekuensi penggunaan Nikotin (rokok)...58

Tabel 11. Gambaran Frekuensi Penggunaan Alkohol...59

Tabel 12. Gambaran frekuensi penggunaan ganja...60

Tabel 13. Gambaran Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61

Tabel 14. Gambaran frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62

Tabel 15. Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test...64

Tabel 16. Gambaran Skor Minimum, Skor Maksimum, Mean, dan Standar Deviasi Resiliensi Mahasiswa...64

Tabel 17. Kategorisasi Norma Nilai Resiliensi...65

Tabel 18. Analisis Deskriptif Aspek-aspek Resiliensi...66

Tabel 19. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat terhadap Aspek-aspek Resiliensi...67

Tabel 20. Analisa Deskriptif Berdasarkan Jenis Kelamin...72

(9)

Pengguna Zat...74 Tabel 23. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...53

Gambar 2. Usia Subjek Penelitian...54

Gambar 3. Status Subjek Penelitian Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...55

Gambar 4. Jenis Kelamin Subjek Pengguna Zat...56

Gambar 5. Jenis Zat yang Digunakan...57

Gambar 6. Frekuensi Penggunaan Rokok...58

Gambar 7. Frekuensi Pengunaan Alkohol...59

Gambar 8. Frekuensi penggunaan Ganja...60

Gambar 9. Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61

Gambar 10. Frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62

Gambar 11. Penggolongan Resiliensi Mahasiswa...65

Gambar 12. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Pengaturan Emosi...68

Gambar 13. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Impulse Kontrol...69

Gambar 14. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Optimisme...69

Gambar 15. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Causal Analysis...70

Gambar 16. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Empati...70

Gambar 17. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Efikasi Diri...71

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Skala Resiliensi Sebelum Uji coba Lampiran 2 : Skala Resiliensi Setrelah Uji coba Lampiran 3 : Data Try Out

Lampiran 4 : Data Penelitian

(12)

Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

RISDAWATI PURBA ABSTRAK

Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).

(13)

Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse

Risdawati Purba ABSTRACT

Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.

This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).

(14)

Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat

RISDAWATI PURBA ABSTRAK

Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.

Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.

Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).

(15)

Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse

Risdawati Purba ABSTRACT

Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.

This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.

The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Mahasiswa sebagai penerus bangsa dituntut untuk berperan aktif, menjadi

individu-individu yang tangguh dan kompeten di bidangnya masing-masing,

sehingga dapat mendukung pembangunan bangsa. Hal ini juga berlaku bagi

mahasiswa di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, mahasiswa

Universitas Sumatera Utara harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan

dan keterampilan yang memadai. Selain mengisi waktunya dengan belajar,

mahasiswa juga perlu bersosialisasi. Menurut Waiten & Llyod (2006) sosialisasi

adalah proses pembelajaran norma dan peran yang diharapkan dari individu pada

masyarakat tertentu. Muchinsky (2003) menyatakan bahwa dalam sosialisasi

terdapat proses penyesuaian diri yang menghasilkan perubahan dalam hubungan

antara individu dan kelompoknya.

Kegiatan sosialisasi tersebut tidak jarang menjadi bomerang bagi

mahasiswa, karena secara tidak sadar ajang sosialisai ini sering menjadi jembatan

bagi mahasiswa untuk terjerumus pada hal-hal negatif, seperti misalnya

penyalahgunaan zat. Hasil survey Badan Narkotika Nasional tahun 2009

menunjukkan bahwa prevalensi penyalalahgunaan zat (khususnya obat-obatan) di

kalangan mahasiswa dan pelajar adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang.

Transisi seseorang dari SMA kemudian masuk ke dunia kampus atau

menjadi seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut.

(17)

kecil, bahasa sehari-hari, dan dengan komunitasnya, harus pindah ke lingkungan

yang baru, jauh dari keluarga, bergabung dengan budaya baru yang mereka

belum tahu aturan yang terdapat di dalamnya, yang akan mereka dapati di tempat

tinggal yang baru tersebut. Ditambah lagi mereka harus meninggalkan lingkungan

akademisnya, dimana mereka telah sukses, dan kemudian bergabung dengan

komunitas pelajar yang baru, yang menuntut skill akademik dan dasar

pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang mereka jalani di SMA

(Magolda dalam Mc.Gillin, 2003).

Remaja yang biasanya tinggal di rumah bersama dengan keluarga,

memiliki kamar sendiri, tempat tidur, serta kebiasaan mereka dalam hal makan

dan waktu tidur. Pada saat remaja tersebut mengalami transisi menuju dewasa

awal dan menjadi mahasiswa, mereka akan tinggal jauh dari rumah. Mereka akan

kehilangan aturan yang biasa mereka jalankan di rumah, berganti dengan aturan

baru yang mereka belum tahu jelas bagaimana aturan tersebut berjalan. Mereka

juga kehilangan dukungan dari teman atau dari pacar. Sehingga membuat mereka

harus mencari teman yang baru (Pittman dalam Mc.Gillin, 2003). Hal tersebut

tentunya memberi tekanan terhadap mahasiswa. Sehingga menuntut mereka untuk

mencari kelompok yang baru. Presley, Leichliter, & Meilman (1999) mengatakan

bahwa hasil survey nasional terhadap penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan

terlarang pada tahun pertama masa perkuliahan adalah dikarenakan faktor stres

yang dialami oleh mahasiswa tersebut, sehingga mereka menggunakan alkohol

dan narkoba untuk mencari dan membangun dukungan sosial dengan teman

(18)

Anak muda atau remaja cenderung untuk mengadaptasi sikap dan perilaku

dari teman sebayanya, walaupun dalam universitas dipisahkan oleh

fakultas-fakultas, administrasi, dan kurikulum yang menekankan individualitas, tetap saja

dalam hal penggunaan alkohol dan narkoba remaja terlihat sangat dipengaruhi

oleh teman sebayanya (Kendals, 1980). Walaupun dalam beberapa hal pengaruh

dari teman sebaya dan orangtua relatif bervariasi, tetapi dalam hal penggunaan

narkoba teman sebaya sangat berpengaruh besar (Kandels, dalam Perkins 2002).

Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa menunjukkan bahwa, mereka

yang cenderung untuk menggunakan alkohol dan narkoba sangat dekat kaitannya

dengan teman yang juga adalah pengguna dibandingkan dengan pengaruh dari

keluarga (Perkins, 2002).

Hal ini dapat dilihat dari hasil komunikasi personal dengan Koki dan

Firman (bukan nama sebenarnya) dua mahasiswa yang menjadi pengguna

narkoba, seperti dibawah ini:

“Pertama kali make sih, dapat dari teman, ditawarin pas lagi ngumpul-ngumpul.”

(Komunikasi Personal, 8 September 2010)

“Pas lagi kemah waktu SMA, terus disuruh nyoba sama teman. Kan segan kalo nolak. Trus takut dibilang gak gaullah”

(Komunikasi Personal, 13 September 2010)

Selain alasan di atas, remaja menggunakan obat-obat terlarang dengan

berbagai alasan lain. Wills et al ( dalam Zimmerman, 2005) dalam penelitiannya

menemukan bahwa remaja akan merasa senang, tertarik, dan rileks atas masalah

(19)

obat-obat terlarang. Dillon et al, (2007) melalui penelitan yang mereka lalukan,

mengungkapkan beberapa alasan mengapa seseorang menggunakan obat-obat

terlarang. Remaja biasanya menggunakan obat-obat terlarang karena hal-hal

berikut : untuk keluar dari masalah, menghilangkan kebosanan, merasa nyaman,

menghilangkan rasa sakit, lebih semangat, keingintahuan (coba-coba), serta

tekanan dari teman sebaya.

Hal di atas didukung oleh komunikasi personal dengan Akil (bukan nama

sebenarnya) seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun pengguna obat-obat

terlarang, seperti dibawah ini :

“ya awalnya sih coba-coba, tapi lama-lama jadi enak, bisa enjoy, lupa dengan masalah, kayanya semua beban lepas. Pokoknya enaklah”

(Komunikasi personal 5 Oktober 2010)

Sama dengan Akil, Eka (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa perempuan

berusia 21 tahun pengguna narkoba, mengungkapkan alasannya menggunakan

obat-obat terlarang seperti berikut:

“Awalnya sih dari teman, terus pas udah make, aku rasa enak, bisa lebih semangat aja, terus ngilangin pikiranlah kalo lagi banyak masalah.”

(Komunikasi Personal 13 Oktober 2010)

Penggunaan zat jenis apapun bukan tanpa resiko. Hawari (2005),

menjelaskan bahwa semua zat yang termasuk narkoba dapat menimbulkan adiksi

(ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada ketergantungan. Individu yang

berada dalam kondisi ketergantungan tidak hanya mengalami ketergantungan

secara fisik akan tetapi juga psikologis.

Mereka yang mengkonsumsi narkoba jenis amphetamin (Psikotropika

(20)

akan mengalami gejala fisik sebagai berikut : jantung berdebar-debar, pupil mata

melebar, tekanan darah naik, keringat berlebihan atau kedinginan, serta mual dan

muntah ( Hawari 2005). Individu yang mulai mengunakan narkoba pada usia

20-an ak20-an mengalami kesehat20-an y20-ang s20-angat buruk secara umum 10 tahun kemudi20-an

(Chen, Scheier, & Kandel 1996 dalam Sarafino 2002).

Menurut Badan Narkotika Nasional (2004), dampak psikologis dan sosial

dari pecandu narkoba diantaranya adalah: suka berbohong, emosi tidak terkendali,

tidak bertanggungjawab, hubungan dengan teman dan keluarga terganggu,

dikucilkan, tidak perduli dengan norma, menghindari komunikasi, dan cenderung

untuk melakukan tindak pidana.

Selain hal-hal di atas masih terdapat berbagai hal lain yang menjadi efek

buruk dari pemakaian narkoba tersebut pada kalangan mahasiswa. Antara lain

adalah semakin maraknya seks bebas dan aborsi. Seperti yang diungkapkan oleh

Sa’abah (dalam Prasetyo, 2008), mereka melakukan hubungan sekejap saja atau

disebut one night stand karena pengaruh dari minuman keras, narkoba, saling

membutuhkan dan juga ketagihan. Contohnya saja di diskotik “FN”, salah satu

diskotik dijakarta yang pengunjungnya kebanyakan wanita terjadi transaksi seks

dengan narkoba, seperti “inex” dan “putaw”.

Penyalahgunaan narkoba sendiri secara biologis dapat mempengaruhi

fungsi seksual. Ada beberapa jenis narkoba yang dapat merangsang nafsu seksual.

Kokain, mariyuana adalah perangsang seksual, amfetamin dapat meningkatkan

reaksi seksual bila digunakan dalam dosis rendah, (Master dkk, dalam Prasetyo,

(21)

narkoba tersebut akan cenderung untuk melampiaskan nafsu seksualnya setelah

memakai narkoba (Prasetyo, 2008).

Terdapat banyak hal yang telah dilakukan untuk pencegahan penggunaan

narkoba. Termasuk pemberian edukasi terhadap mahasiswa tentang jenis-jenis

narkoba, efek dari penggunaannya, dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Banyak

pengguna yang bersemangat untuk mendengarkannya, tetapi hal ini tidak

memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan penggunaan narkoba

(Tobler, 1986).

Tentu saja, tidak semua mahasiswa di kampus atau mahasiswa yang

tinggal bersama dengan mahasiswa lain, akan berpikir untuk menggunakan

narkoba. Disamping pengaruh dari lingkungan tempat tinggal, keluarga, agama,

dan latar belakang sosial, mahasiswa akan berinteraksi dengan mahasiswa lain

dan grup-grup lain, yang sangat bervariasi dalam komposisi dan gaya hidup.

Pengaruh teman sebaya tidak selalu menjadi hal yang negatif. Tekanan dari teman

sebaya untuk menggunakan narkoba atau tidak, tergantung pada posisi seseorang

dalam kelompok, atau orientasinya berada di kelompok tersebut (Oetting &

Beauvais, dalam Perkins, 2002).

Dari sekian banyak mahasiswa yang terhanyut dalam narkoba, masih

banyak juga mahasiswa yang bertahan untuk tidak sama sekali bersentuhan

dengan narkoba. Dillon et all (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa

masih banyak remaja yang duduk di bangku SMA dan Universitas, yang memiliki

akses untuk memperoleh narkoba, tetapi sama sekali tidak pernah mencoba atau

(22)

salah satu sampel penelitian Dillon, yang menolak untuk mengunakan narkoba

seperti berikut :

“Katie is 19 and has been offered canabis at parties by her boyfriend’s friends ‘several times’. She has always said no because she has been ‘brought up not to use drugs’...”

Terdapat beberapa alasan kenapa orang tidak mau menggunakan narkoba

yakni sebagai berikut : dikucilkan jika menggunakan narkoba, tidak mau

melanggar hukum, aturan orang tua, karir masa depan, waktu, uang, pengalaman

menggunakan narkoba, kondisi kesehatan, takut kehilangan kontrol, takut

ketergantungan serta adanya dukungan untuk tidak menggunakan narkoba (Dillon

et al, 2007)

Jessor dan Jessor (dalam Dilon, 2007), mengatakan bahwa perilaku untuk

menolak dan membuat keputusan untuk tidak menggunakan narkoba, meskipun

dengan ketersediaan akses yang cukup mudah untuk mendapatkannya, dikatakan

sebagai resiliensi. Resiliensi merupakan aksi atau tindakan untuk menjadi

resilient. Resiliensi bukanlah suatu hal yang permanen, tetapi setiap orang dapat

meningkatkan resiliensinya.

Resiliensi adalah proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada,

berhasil mengatasi pengalaman traumatik dan menghindari dampak negatif terkait

resiko (Fergus & Zimmerman, 2005). Masten, Best, dan Garmezy (dalam Chen &

George, 2005) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses, kemampuan

seseorang, atau hasil dari adaptasi yang berhasil meskipun berhadapan dengan

(23)

Setiap orang membutuhkan resiliensi. Penelitian ilmiah yang telah

dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci

dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi

yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik

di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, memiliki efek terhadap

kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan

keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan

lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya

kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002).

Mc.Gillin (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 15 tahun penelitian di

bidang kesehatan mental fokus pada suatu grup individu yang diberi label

“resilien”. Dalam pendidikan tinggi, individu yang resilien adalah individu yang

sukses dalam hal akademik serta dalam menghadapi stres, walaupun mereka

dihadapkan pada faktor resiko.

Master, Best, dan Garmezy (1990) menunjukkan tiga definisi dari seorang

individu yang dikatakan resilien, yaitu: pertama, individu yang berhasil keluar

dari rintangan; kedua, individu yang berhasil mengatur kesehatan walaupun

berhadapan dengan tingkat stres yang tinggi; ketiga, individu yang pulih dari

spesifik trauma (dalam Mc.Gillin, 2003).

Elemen yang tersimpan dalam ketiga defenisi diatas adalah hadirnya

“protective factor” yang membantu sesorang untuk sukses. Protective factor

bekerja untuk mengurangi efek negatife dari stres yang dialami. Contohnya:

(24)

factor, serta self esteem dan self efficacy dari mahasiswa akan menjadi penguat.

Protective factor yang lain adalah adanya faktor skill dalam menghadapi masa

transisi tersebut (Cumming, Davies & Campbell dalam Mc.Gillin, 2003).

Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang resilien adalah

mahasiswa yang berhasil keluar dari masalah-masalah yang dihadapi dan sukses

dalam menjalani masa studinya. Serta menganggap masalah tersebut adalah

bagian dari tantangan masa studinya, dan bukan hal yang harus dijadikan alasan

untuk terpuruk (Gore & Eckenrode dalam Mc.Gillin 2003)

Dari penjelasan diatas maka peneliti memandang bahwa, mahasiswa

dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam hal akademis dan sosialisai

membutuhkan resiliensi untuk bisa sukses dalam hidupnya. Untuk memperoleh

kesuksesan tentu bukanlah hal yang mudah, mahasiswa harus dihadapkan kepada

situasi yang belum tentu menyenangkan atau menguntungkan bagi dirinya,

termasuk dalam hal penggunaan narkona dikalangan mahasiswa itu sendiri.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan

penelitian tentang Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera

Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat.

B. Perumusan Masalah

Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa

yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan

(25)

gambaran resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal

penyalahgunaan narkoba?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka yang menjadi

tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui gambaran

resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan

Zat.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini antara lain

adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai gambaran resiliensi

pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan

zat dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi

Klinis.

b. Menjadi acuan bagi penelitian lanjutan bagi pihak-pihak yang tertarik

untuk meneliti resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara

dalam hal penyalahgunaan zat.

2. Manfaat Praktis

a. Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena penyalahgunaan Zat

(26)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dibagi atas lima bab dan masing-masing bab dibagi atas

beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini dirancang dengan susunan

sebagai berikut :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang hendak

diteliti. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang

menjadi objek penelitian.

Bab III : Metodologi Penelitian

Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional

variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji

daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data

yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.

Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Hasil Penelitian

Bab ini membahas tentang interpretasi hasil dan analisis data-data

sebagai hasil penelitian sesuai dengan tinjauan teoritis yang

digunakan.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Bab ini terdiri dari kesimpulan dari pembahasan terhadap hasil

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. RESILIENSI

1. Definisi Resiliensi

Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan

beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat

menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau

kejadian-kejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987).

Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The

Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi

dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam

kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan

kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich.

K & Shatte. A, 2002 ).

Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk

dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.

Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memilki makna yang luas dan

beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam

hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan

tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang

positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz,

(28)

Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit

kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya

The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi

adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level

yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari

keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama

dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan

tanpa melakukan kekerasan.

Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk

menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya.

Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya

ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang

tidak diketahui.

Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat

disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan

tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha

untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari

keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.

2. Fungsi resiliensi

Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil dan

(29)

Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan mengungkapkan kepada kita

tentang karakteristik orang dewasa yang resilien (Reivich. K & Shatte. A, 2002).

Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan

resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich & Shatte, 2002):

a. Overcoming

Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan,

masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh

karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari

kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut.

Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang

menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan

kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan

bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.

b. Steering through

Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah,

tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang

resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi

setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif

terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta

mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan

hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through

(30)

sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan

berbagai masalah yang muncul.

c. Bouncing back

Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan

menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih

tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang

dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan

resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi

biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri.

Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan

tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka

mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan

mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari

trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk

mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.

d. Reaching out

Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau

menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman

hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar

pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini

melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang

terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan

(31)

3. Aspek-aspek resiliensi

Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang

membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :

a. Emotion Regulation

Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi

yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami

kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini

bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana

adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang

marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang

dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin

kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang

yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).

Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak

semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini

dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif

maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan

untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi

(Reivich & Shatte, 2002).

Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang

dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang

(32)

individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran

individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang

dialami oleh individu.

b. Impulse Control

Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari

Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam

pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang

berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut

masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing-masing-masing ruangan

tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut.

Masing-masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa

selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah

marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan

apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut

sampai peneliti kembali ke ruangan , maka mereka akan mendapatkan satu buah

marshmallow lagi.

Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak

tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan

Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik

dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte,

2002).

Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan

(33)

(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian

impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya

mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku

mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya

perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang

nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan

orang lain.

Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya

kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada

permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat

dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi

kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan

pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya

sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi

berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat

permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.

Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan

kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor

Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki

skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte,

(34)

c. Optimism

Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah

ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002).

Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu

tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi

kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan

self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia

mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya.

Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi

dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang

individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja

keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).

Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis

(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan

yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.

Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang

cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya.

Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi

dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).

d. Causal Analysis

Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk

mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka

(35)

permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat

kesalahan yang sama.

Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya

berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis

yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga

dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan

pervasive (semua-tidak semua).

Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan

keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),

hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta

permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua).

Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak

semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain

(Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak

Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar

hidupnya (Tidak semua).

Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep

resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua”

tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.

Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak

selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan

(36)

Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif.

Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan

kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir

explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif.

Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang

mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari

rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar

kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh

pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang

ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich &

Shatte, 2002).

e. Empathy

Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca

tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte,

2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam

menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,

seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa

yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang

memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang

positif (Reivich & Shatte, 2002).

Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam

hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak

(37)

tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa

yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.

Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang

lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun

hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk

dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung

mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu

menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte,

2002).

f. Self-efficacy

efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.

Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan

masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal

yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

g. Reaching out

Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari

sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi

kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga

merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah

kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).

Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini

dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin

(38)

individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus

meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan

hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk

berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat

terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk

mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.

4. Sumber-sumber Resiliensi

Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu

sebagai berikut :

a. I Have ( sumber dukungan eksternal )

I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.

Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah

yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.

Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.

Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan

teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.

Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah

yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak

dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima

konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan

(39)

memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan

hukuman.

Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan

dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri.

Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan

sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang.

Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan

“berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus

bergantung pada orang lain.

Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,

pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini

akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.

b. I Am ( kemampuan individu )

I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan

tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.

Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang

menarik dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka

untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap

perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.

Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian

yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli

(40)

ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha

membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.

Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka

sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka

mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan

membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri

dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan

kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang

telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.

Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka

percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki

kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.

c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )

I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan

interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan

semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki

kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.

Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.

Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga

dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka

dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam

(41)

memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada

hal-hal yang tidak baik.

Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.

Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan

untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam

situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk

meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara

untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.

B. Penyalahgunaan Zat

1. Defenisi Penyalahgunaan Zat

Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang

yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa

termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya:

sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam

situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur

minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang

kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau

interpersonal yang kerap muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena

mabuk) (Greene, Rhatus dan Nevid, 2003).

Menurut Sarafino (2006) dalam kata “drug” memiliki pengertian berbagai

macam zat, termasuk obat yang prescription atau nonprescription yang

(42)

Istilah yang berasal dari terjemahan asing seperti substace abuse dan

substance dependence dikalangan awam dikenal dengan istilah narkoba yang

merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada istilah lain yaitu

NAPZA yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif.

Berbagai istilah yang sering digunakan tidak jarang menimbulkan salah

pengertian tidak saja dikalangan medis tapi juga masyarakat awam (Hawari

2005). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah narkoba.

2. Jenis-jenis Zat

Menurut Greene, Rhatus dan Nevid (2003) dalam bukunya yang berjudul

“Psikologi Abnormal” terdapat beberapa jenis obat yang sering disalahgunakan,

yang pada umumnya digolongkan dalam tiga kelompok besar, yaitu:

1. Depresan

Depresan adalah obat yang menghambat atau mengekang sistem saraf

pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan

gerakan menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi

depresan dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan kematian. Beberapa tipe

depresan adalah sebagai berikut :

a. Alkohol

Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa alkohol bukanlah obat,

mungkin karena alkohol sangat populer, atau mungkin karena alkohol diminum

bukannya dihisap atau disuntikkan. Namun minuman yang mengandung alkohol

(43)

alkohol (etanol). Konsentrasi obat bervariasi tergantung tipe minuman (anggur

dan bir mengandung lebih sedikit alkohol pada setiap ons-nya dibanding rye, gin,

atau vodka). Alkohol digolongkan sebagai obat depresan karena efek

biokimiawinya serupa dengan golongan obat penenang minor. Kita dapat

menganggap alkohol sebagai tipe obat penenang yang dapat dibeli tanpa resep

dokter.

b. Opioid

Opioid adalah obat narkotik, istilah yang digunakan untuk obat adiktif

yang memiliki kemampuan melepaskan rasa sakit dan menyebabkan tidur. Opioid

terdiri dari opiat yang tumbuh secara alami (morfin, heroin, kodein) yang berasal

dari sari tanaman poppy dan juga obat sintesis (demerol, percodan, darvon) yang

dibuat dilaboratorium sehingga memiliki efek seperti opiat.

Opioid menghasilkan perasaan nikmat yang cepat dan intens, yang

menjadi alasan utama dibalik popularitasnya sebagai obat jalanan. Opioid juga

menumpulkan kesadaran seseorang akan masalah pribadinya, dimana hal tersebut

menarik bagi orang yang mencari pelarian mental dari stres.

c. Morfin

Morfin (morphine) yang memperoleh namanya dari Morpheus, dewa

mimpi Yunani, diperkenalkan pada sekitar perang sipil Amerika Serikat. Morfin,

turunan opium yang kuat, digunakan secara bebas untuk mengurangi rasa sakit

akibat terluka. Ketergantungan fisiologis pada morfin dikenal sebagai “penyakit

tentara”. Hanya ada sedikit stigma yang dilekatkan pada ketergantungan hingga

(44)

d. Heroin

Heroin, opiat yang paling luas digunakan, merupakan depresan yang kuat

yang dapat menciptakan euforia yang cepat. Pengguna heroin menyatakan bahwa

heroin sangat nikmat sehingga dapat menghilangkan segala pikiran tentang

makanan atau seks.

2. Stimulan

Stimulan adalah zat psikoaktif yang meningkatkan aktivitas sistem saraf.

Efeknya agak berbeda antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, namun

sejumlah stimulan menyebabkan perasaan euforia dan self-confidence. Sebagian

dari stimulan bahkan dapat meningkatkan tersedianya neurotransmiter

norepinefrina dan dopamin pada otak. Dengan demikian, neurotransmiter ini tetap

tersedia dalam level yang tinggi dalam simpul sinaptik antara neuron-neuron,

menjaga aktivitas sistem saraf tetap tinggi dan kondisi keterangsangan tinggi.

Beberapa tipe stimulan adalah sebagai berikut :

a. Amfetamin

Amfetamin merupakan golongan stimulan sintesis. Nama jalanan untuk

stimulan ini termasuk speed, upper, bennies, (di Indonesia disebut shabu-shabu).

Amfetamin digunakan dalam dosis tinggi karena menghasilkan euforia secara

cepat. Sering digunakan dalam bentuk pil atau dihisap dalam bentuk murni.

Beberapa pengguna menyuntikkan mentamfetamin berhari-hari untuk

(45)

b. Ekstasi

Obat ekstasi adalah obat terlarang yang keras, tiruan murahan yang

struktur kimianya mirip dengan amfetamin (Braun, 2001). Ekstasi menghasilkan

euforia ringan dan halusinasi dan terus bertambah penggunanya di kalangan anak

muda, terutama di kampus dan klub malam serta pesta-pesta riuh dibanyak kota.

c. Kokain

Kokain adalah stimulan natural yang disuling dari daun tanaman coca.

Telah lama diyakini bahwa kokain tidak menyebabkan adiksi secara fisik. Namun,

bukti-bukti menunjukkan adanya ciri adiktif dari obat tersebut, yaitu

menghasilkan efek toleransi dan sindrom putus zat yang dapat di identifikasi,

yang ditandai oleh mood yang depresif dan gangguan dalam tidur serta selera

makan.

d. Nikotin

Kebiasaan merokok bukan cuma kebiasaan yang buruk, tetapi juga

merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat stimulan, nikotin, yang ditemukan

dalam produk tembakau termasuk rokok , cerutu, dan tembakau tanpa asap.

Merokok atau penggunaan tembakau lainnya merupakan sarana memasukkan obat

ke tubuh.

3. Halusinogen

Halusinogen juga dikenal sebagai psychedelics, merupakan golongan obat

yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan besar

(46)

tambahan seperti relaksasi dan euforia, atau, pada beberapa kasus menyebabkan

panik. Beberapa jenis halusinogen adalah :

a. LSD ( lysergic acid diethylamide)

Merupakan singkatan dari lysergic acid diethylamide, obat halusinogen

sintesis. Sebagai tambahan terhadap munculnya parade warna yang terang dan

distorsi visual yang dihasilkan LSD, pengguna menyatakan LSD “memperluas

kesadaran” dan membuka dunia baru seolah-olah melihat suatu kenyataan yang

melampaui kenyataan yang biasa.

b. Phencylidine

Phencylidine atau PCP yang dikenal sebagai “debu malaikat”

dikembangkan sebagai anastetik pada tahun 1950-an namun tidak diteruskan

karena efek samping halusinasi obat.

c. Mariyuana

Mariyuana berasal dari tanaman canabis sativa. Mariyuana kadang

menghasilkan halusinasi ringan, sehingga dianggap sebagai halusinogen minor.

3.Faktor- faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat

Sarafino (2002) dalam bukunya “health psychology” penyalahgunaan

drug menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dibanyak Negara didunia

ini. Alasan seseorang dengan orang lainnya dalam mengunakan drug itu

berbeda-beda. Perbedaan umur, jenis kelamin, dan sosial budaya dalam mengunakan drug.

Jika kita menelusuri mengapa remaja bisa mengunakan drug , alasannya hampir

(47)

mungkin saja melihat dari orang tua mereka, teman sebaya, ataupun artis artis

terkenal sehingga mereka juga menjadi tertarik untuk mengunakannya, model

behavior dan attitudes bisa menjadi pemicu penggunaan drug.

Pada awal penggunaan drug dan bila mereka merasa perasaan mereka

lebih baik maka ini bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penggunaan

bisa berkelanjutan pada akhirnya bisa menyebabkan ketergantungan (Barret,

1985), banyak orang-orang mengakui bahwa penggunaan obat itu dapat

mengurangi tegangan dan tekanan. Dengan kata lain drug memiliki efek yang

kuat. Kemudian apabila penggunaan terus dilanjutkan maka akan menghasilkan

kondisi yang membuat pemakai untuk mengunakannya lagi atau kecanduan

(Childress, 1996; Robinson& Berridge, 2003).

Mengapa seseorang yang awalnya hanya menggunakan drug bisa menjadi

pecandu? Menurut Brook (1986) kepribadian seseorang juga berpengaruh dalam

hal ini, dibandingkan dengan individu yang tidak mengunakan drug biasanya

mereka suka menentang, menuruti kata hati, menerima perlakuan yang tidak layak

mereka berorientasi dengan cara mencari sensasi dan mereka cenderung kurang

bersosialisasi dan kurang memiliki komitmen dalam hal keagamaan.

Menurut Buntje Harboenangin (dalam Yatim, 1986) ada beberapa faktor

yang menyebabkan individu mengkonsumsi narkoba. Pada dasarnya dapat

dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari

faktor individual dan kedua sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Faktor

(48)

a. Kepribadian

Kepribadian individu memiliki peranan yang besar dalam penyalahgunaan

narkoba. Individu yang memiliki kepribadian yang lemah (mudah kecewa, tidak

mampu menerima kegagalan) lebih rentan terhadap penyalahgunaan narkoba

dibandingkan dengan individu yang memilki kepribadian yang kuat (individu

yang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, berani mengatakan

tidak, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain).

b. Inteligensi

Dalam konseling sering dijumpai bahwa kecerdasan pemakai narkoba

lebih banyak berada pada taraf rata-rata dan dibawah rata-rata kelompok

seusianya.

c. Usia

Mayoritas pemakai narkoba adalah kaum remaja. Hal ini disebabkan

karena kondisi sosial psikologis yang butuh pengakuan, identitas dan kelabilan

emosi sementara individu yang berada pada usia lebih tua menggunakan narkoba

sebagai penenang.

d. Dorongan kenikmatan

Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Perasaan

enak mulanya diperoleh dari mulai coba-coba lalu lama-lama akan menjadi suatu

Gambar

Tabel 2. Blue-print Faktor-faktor resiliensi skala resiliensi sebelum uji coba Aitem
Tabel 3. Blue-print Faktor-faktor resiliensi Skala Resiliensi Setelah Uji Coba Aitem
Tabel 4. Blue-Print No Faktor-faktor resiliensi Skala Resiliensi Untuk Penelitian Aitem
Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Pengguna Zat Berdasarkan Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Resiko satu ini dapat timbul ketika makelar dan pengguna jasa makelar bersepakat dengan harga motor bekas yang akan dijual atau dicarikan dapat dimanipulasi dan

Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi pemasalahan mitra adalah sebagai berikut: (1) belum adanya kegiatan ekstrakurikuler untuk melatih kemampuan mahasiswa debat

Isolasi metil ester asam lemak telah dilakukan dengan cara distilasi fraksinasi, tetapi pada penelitian ini tidak dapat diperoleh isolat yang diharapkan2. Kromatogram

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kombinasi dosis kompos Azolla pinnata dan urea terbaik yaitu pada U1K2 dengan kombinasi 65 gram/tan + 0,075 gram/tan berpengaruh terhadap

Berikut tabel persamaan dan perbedaan penelitian yang dilakukan peneliti ini dengan pokok pembahasan Distribusi Dana Desa Untuk Pembangunan Lapangan Kerapan Sapi Dalam

Halaman ini terdapat tiga form untuk diisi dan fitur ingat saya serta fitur lupa password. Fungsi form ini untuk login user pelanggan ke kesistem dengan

Z-Score merupakan suatu persamaan multi variabel yang digunakan oleh Altman dalam rangka memprediksi tingkat kebangkrutan (Toto, 2008:179). Altman di New York

Dalam penelitian ini indikator risiko dilihat dari tindakan yang dilakukan oleh bank untuk memperkecil risiko dari penggunaan mobile banking, jika tindakan yang dilakukan oleh