GAMBARAN RESILIENSI PADA MAHASISWA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DALAM HAL PENYALAHGUNAAN ZAT
Guna Memenuhi Persyaratan Skripsi Bidang Psikologi Klinis
Oleh :
RISDAWATI PURBA
051301085
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan dengan
sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul Gambaran Resiliensi Pada
Mahasiswa Univesitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat adalah
hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian- bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, April 2011
Risdawati Purba
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah
SWT karena atas berkat rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam peneliti ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai
pemimpin dan suri tauladan dalam hidup. Skripsi ini berjudul “Gambaran
Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal
Penyalahgunaan Zat”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menempuh ujian akhir
guna memperoleh gelar jenjang strata satu (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara. Tidak dapat disangkal butuh usaha yang keras, kegigihan, dan
kesabaran untuk menyelesaikannya. Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari
peranan ayah dan ibu yang telah memberikan motivasi yang besar dalam diri
peneliti.
Selain dari pengaruh orang tua dan keluarga, peneliti menyadari selesainya
skripsi ini tidak terlepas dari peranan berbagai pihak yang turut membantu peneliti
dalam penyusunannya. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima
kasih setulus-tulusnya dan sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Sri Supriyantini, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing peneliti.
Terima kasih untuk semua hal yang telah kakak berikan selama
membimbing peneliti. Terima kasih untuk saran, komentar, dukungan,
3. Seluruh dosen-dosen yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya di
departemen pendidikan. Terima kasih atas dukungan, masukan serta
bimbingan yang diberikan kepada peneliti.
4. Seluruh teman yang ada di departemen pendidikan dan
teman-teman yang ada di Fakultas Psikologi USU khususnya stambuk 2005 yang
membantu dan mendukung peneliti dalam menyelesaikan perkuliahan,
terima kasih atas semua bantuan yang kalian berikan.
Sebagai manusia yang masih belajar, peneliti menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca demi hasil yang lebih baik. Akhir
kata peneliti berharap somoga penelitian skripsi ini dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian.
Medan, Januari 2010
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ……….i
DAFTAS ISI ………...v
DAFTAR TABEL ………...ix
DAFTAR GAMBAR ……….x
BAB I. PENDAHULUAN ………..1
A. Latar Belakang ………..…..1
B. Rumusan Masalah... ………..………...9
C. Tujuan Penelitian ……….……..10
D. Manfaat Penelitian ……….………10
1.Manfaat teoritis ……….……....10
2.Manfaat praktis ……….….…....10
E. Sistematika Penulisan ...11
BAB II. LANDASAN TEORI ……….12
A. Resiliensi... ……….12
1. Definisi Resiliensi...……….……….…...….12
2 .Fungsi Resiliensi....……..………...13
4. Sumber-sumber Resiliensi...….………..….…23
B. Penyalahgunaan Zat...………....26
1.Definisi Penyalahgunaan Zat...…...26
2. Jenis-jenis Zat...……...27
3 Faktor-faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat..31
C. Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat...35
BAB III. METODE PENELITIAN ………..38
A. Identifikasi Variabel Penelitian ……….38
B. Definisi Operasional ………..38
C. Populasi, Sampel dan Metode pengambilan Sampel...40
D. Alat Ukur yang Digunakan... ………....…41
E. Uji Coba Alat Ukur ………...43
1. Validitas alat ukur ...43
2. Daya beda aitem dan reabilitas alat ukur...44
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ...45
F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ...48
1.Tahap persiapan ...46
2.Tahapan pelaksanaan penelitian ...49
3.Tahapan pengolahan data penelitian ...50
BAN IV. ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ………...50
a. Analisa Data ……….….52
1. Gambaran Subjek Penelitian ………..……..52
2. Hasil Utama Penelitian....………...63
3. Hasil Tambahan Penelitian ………...72
4. Pembahasan ...………...76
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………...80
A. Kesimpulan ………..80
B. Saran ………...81
1. Saran metodologis ………....81
2. Saran praktis ………..…...82
DAFTAR PUSTAKA ………...
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kategori Norma Nilai Resiliensi...42
Tabel 2. Blue-print skala resiliensi sebelum uji coba...46
Tabel 3. Blue-print Skala Resiliensi Setelah Uji Coba...47
Tabel 4. Blue-Print Skala Resiliensi Untuk Penelitian...48
Tabel 5. Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia...52
Tabel 6. Penyebaran subjek penelitian berdasarkan usia...53
Tabel 7. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...54
Tabel 8. Penyebaran Subjek Penelitian Pengguna Zat Berdasarkan Jenis Kelamin...55
Tabel 9. Penyebaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Zat yang Digunakan...56
Tabel 10. Gambaran frekuensi penggunaan Nikotin (rokok)...58
Tabel 11. Gambaran Frekuensi Penggunaan Alkohol...59
Tabel 12. Gambaran frekuensi penggunaan ganja...60
Tabel 13. Gambaran Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61
Tabel 14. Gambaran frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62
Tabel 15. Uji Normalitas Sebaran One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test...64
Tabel 16. Gambaran Skor Minimum, Skor Maksimum, Mean, dan Standar Deviasi Resiliensi Mahasiswa...64
Tabel 17. Kategorisasi Norma Nilai Resiliensi...65
Tabel 18. Analisis Deskriptif Aspek-aspek Resiliensi...66
Tabel 19. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat terhadap Aspek-aspek Resiliensi...67
Tabel 20. Analisa Deskriptif Berdasarkan Jenis Kelamin...72
Pengguna Zat...74 Tabel 23. Kategorisasi Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Jenis Kelamin Subjek Penelitian...53
Gambar 2. Usia Subjek Penelitian...54
Gambar 3. Status Subjek Penelitian Pengguna dan Bukan Pengguna Zat...55
Gambar 4. Jenis Kelamin Subjek Pengguna Zat...56
Gambar 5. Jenis Zat yang Digunakan...57
Gambar 6. Frekuensi Penggunaan Rokok...58
Gambar 7. Frekuensi Pengunaan Alkohol...59
Gambar 8. Frekuensi penggunaan Ganja...60
Gambar 9. Frekuensi Penggunaan Shabu-shabu...61
Gambar 10. Frekuensi penggunaan ekstasi dan debu malaikat...62
Gambar 11. Penggolongan Resiliensi Mahasiswa...65
Gambar 12. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Pengaturan Emosi...68
Gambar 13. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Impulse Kontrol...69
Gambar 14. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Optimisme...69
Gambar 15. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Causal Analysis...70
Gambar 16. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Empati...70
Gambar 17. Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara terhadap Aspek Efikasi Diri...71
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Skala Resiliensi Sebelum Uji coba Lampiran 2 : Skala Resiliensi Setrelah Uji coba Lampiran 3 : Data Try Out
Lampiran 4 : Data Penelitian
Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat
RISDAWATI PURBA ABSTRAK
Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.
Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.
Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).
Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse
Risdawati Purba ABSTRACT
Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.
This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.
The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).
Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat
RISDAWATI PURBA ABSTRAK
Siswa diharapkan dapat menjadi individu yang tidak hanya memiliki prestasi akademik yang baik tetapi juga berakhlak mulia, sesuai dengan tujuan pendidikan Nasional. Pada umumnya, sekolah hanya lebih fokus pada masalah prestasi akademik siswa dibandingkan dengan masalah akhlak dan pengendalian diri siswa Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan diantara prestasi akademik dan akhlak/ pengendalian diri. Melatih siswa untuk mengikuti dan menuruti aturan di sekolah adalah salah satu cara untuk memecahkan masalah ketidakseimbangan ini. Maka dari itu, perlu ditanamkannya kedisiplinan dalam diri siswa Dalam hal ini kedisiplinan merupakan sikap atau perilaku yang menggambarkan kepatuhan kepada suatu aturan atau ketentuan. Dengan adanya kedisiplinan diharapkan anak didik dapat mentaati peraturan sekolah sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan lancar dan memudahkan pencapaian tujuan pendidikan. Anak didik perlu dibimbing atau ditunjukkan mana perbuatan yang melanggar tata tertib dan mana perbuatan yang menunjang terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik. Siswa akan dapat bertindak dengan tepat sesuai dengan kemampuan yang ada pada dirinya dengan mengenal diri sendiri. Namun demikian tidak semua siswa mampu mengenal segala kemampuan dirinya. Mereka ini memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengenal diri sendiri, lengkap dengan segala kemampuan yang dimilikinya, dan bantuan ini dapat diberikan melalui layanan Bimbingan Konseling (BK) di sekolah.
Penelitian ini merupakan penelitian dekriptif yang bertujuan untuk melihat gambaran kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 164 orang. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA Negeri 14 Medan yang pernah, walaupun hanya sekali, mempergunakan layanan bimbingan konseling yang ada di sekolah. Alat ukur yang digunakan berupa skala kedisiplinan yang dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek disiplin yang dikemukakan oleh Prijodarminto (1994) yaitu pemahaman, sikap mental, dan perilaku. Skala yang dibuat dalam penelitian ini terdiri dari 38 aitem. Uji validitas dengan analisis rasional atau lewat professional judgement dalam proses telaah soal skala. Untuk mengukur reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini dengan menggunakan teknik koefisien alpha Cronbach dengan daya beda aitem rix ≥ 0,275.
Data yang diolah dalam penelitian ini yaitu skor minimum, skor maksimum, mean, dan standar deviasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada umumnya kedisiplinan siswa SMAN 14 Medan yang menggunakan layanan BK di sekolah berada pada kategori tinggi (mean empirik 115,48 > mean hipotetik 95) dengan kategori sebagai berikut, siswa yang kedisiplinannya tergolong tinggi sebanyak 99 orang (60,36%), kedisiplinan siswa yang tergolong sedang 61 orang (37,2%), dan kedisiplinan siswa yang tergolong rendah sebanyak 4 orang (2,43 %).
Description of Resilience on collage student of Uiversitas Sumatera Utara for substance abuse
Risdawati Purba ABSTRACT
Students are expected to be individuals who not only have good academic achievement but also noble, in accordance with national education goals. In general, schools focus more on the problem of student academic achievement compared to the problem of morality and self-control students. This has led to an imbalance between academic achievement and character / self-control. Train students to follow and obey the rules at school is one way to solve this imbalance problem. Therefore, it should be embedded in student discipline. In this discipline is an attitude or behavior that illustrate compliance with any rules or regulations. With the discipline students are expected to discipline themselves to keep the rules in school so that the learning process went smoothly and facilitate the achievement of educational goals. Students are shown need to be guided or where acts that violate the rules and where acts that support the implementation of the learning process well. Students will be able to act appropriately in accordance with existing capabilities on himself by knowing oneself. However, not all students are able to recognize all her abilities. They need the help of others in order to know yourself, complete with all the capabilities it possesses, and this assistance can be provided through the guidance and counselling service in school.
This research is aimed descriptif to see description of SMAN 14 Medan discipline students who use BK. The number of subjects in this study were as many as 164 people. Subjects in this study are all students of SMA Negeri 14 Medan ever, even if only once, use guidance and counselling service in the school. Measuring instruments used in the form of discipline scale made by researcher based on aspects of the discipline proposed by Prijodarminto (1994), namely comprehension, mental attitude, and behavior. Scale made in this study consisted of 38 aitem. Test validity by rational analysis or through professional judgment in the process of review questions scales. To measure the reliability of measurement in this study using Cronbach alpha coefficient technique with different power aitem ix r ≥ 0.275.
The data are processed in this study is the minimum score, maximum score, mean, and standard deviation. The results of this study show that in general discipline Medan 14 high school students who use the guidance and counselling service in school are at high category (empiric mean 115.48> hypothetyc mean 95) with the following categories, students with discipline is high as many as 99 people (60.36%), discipline students who are classified as being 61 people (37.2%), and a low discipline many as 4 people (2.43%).
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Mahasiswa sebagai penerus bangsa dituntut untuk berperan aktif, menjadi
individu-individu yang tangguh dan kompeten di bidangnya masing-masing,
sehingga dapat mendukung pembangunan bangsa. Hal ini juga berlaku bagi
mahasiswa di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, mahasiswa
Universitas Sumatera Utara harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan
dan keterampilan yang memadai. Selain mengisi waktunya dengan belajar,
mahasiswa juga perlu bersosialisasi. Menurut Waiten & Llyod (2006) sosialisasi
adalah proses pembelajaran norma dan peran yang diharapkan dari individu pada
masyarakat tertentu. Muchinsky (2003) menyatakan bahwa dalam sosialisasi
terdapat proses penyesuaian diri yang menghasilkan perubahan dalam hubungan
antara individu dan kelompoknya.
Kegiatan sosialisasi tersebut tidak jarang menjadi bomerang bagi
mahasiswa, karena secara tidak sadar ajang sosialisai ini sering menjadi jembatan
bagi mahasiswa untuk terjerumus pada hal-hal negatif, seperti misalnya
penyalahgunaan zat. Hasil survey Badan Narkotika Nasional tahun 2009
menunjukkan bahwa prevalensi penyalalahgunaan zat (khususnya obat-obatan) di
kalangan mahasiswa dan pelajar adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang.
Transisi seseorang dari SMA kemudian masuk ke dunia kampus atau
menjadi seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut.
kecil, bahasa sehari-hari, dan dengan komunitasnya, harus pindah ke lingkungan
yang baru, jauh dari keluarga, bergabung dengan budaya baru yang mereka
belum tahu aturan yang terdapat di dalamnya, yang akan mereka dapati di tempat
tinggal yang baru tersebut. Ditambah lagi mereka harus meninggalkan lingkungan
akademisnya, dimana mereka telah sukses, dan kemudian bergabung dengan
komunitas pelajar yang baru, yang menuntut skill akademik dan dasar
pengetahuan yang sangat berbeda dengan apa yang mereka jalani di SMA
(Magolda dalam Mc.Gillin, 2003).
Remaja yang biasanya tinggal di rumah bersama dengan keluarga,
memiliki kamar sendiri, tempat tidur, serta kebiasaan mereka dalam hal makan
dan waktu tidur. Pada saat remaja tersebut mengalami transisi menuju dewasa
awal dan menjadi mahasiswa, mereka akan tinggal jauh dari rumah. Mereka akan
kehilangan aturan yang biasa mereka jalankan di rumah, berganti dengan aturan
baru yang mereka belum tahu jelas bagaimana aturan tersebut berjalan. Mereka
juga kehilangan dukungan dari teman atau dari pacar. Sehingga membuat mereka
harus mencari teman yang baru (Pittman dalam Mc.Gillin, 2003). Hal tersebut
tentunya memberi tekanan terhadap mahasiswa. Sehingga menuntut mereka untuk
mencari kelompok yang baru. Presley, Leichliter, & Meilman (1999) mengatakan
bahwa hasil survey nasional terhadap penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan
terlarang pada tahun pertama masa perkuliahan adalah dikarenakan faktor stres
yang dialami oleh mahasiswa tersebut, sehingga mereka menggunakan alkohol
dan narkoba untuk mencari dan membangun dukungan sosial dengan teman
Anak muda atau remaja cenderung untuk mengadaptasi sikap dan perilaku
dari teman sebayanya, walaupun dalam universitas dipisahkan oleh
fakultas-fakultas, administrasi, dan kurikulum yang menekankan individualitas, tetap saja
dalam hal penggunaan alkohol dan narkoba remaja terlihat sangat dipengaruhi
oleh teman sebayanya (Kendals, 1980). Walaupun dalam beberapa hal pengaruh
dari teman sebaya dan orangtua relatif bervariasi, tetapi dalam hal penggunaan
narkoba teman sebaya sangat berpengaruh besar (Kandels, dalam Perkins 2002).
Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa menunjukkan bahwa, mereka
yang cenderung untuk menggunakan alkohol dan narkoba sangat dekat kaitannya
dengan teman yang juga adalah pengguna dibandingkan dengan pengaruh dari
keluarga (Perkins, 2002).
Hal ini dapat dilihat dari hasil komunikasi personal dengan Koki dan
Firman (bukan nama sebenarnya) dua mahasiswa yang menjadi pengguna
narkoba, seperti dibawah ini:
“Pertama kali make sih, dapat dari teman, ditawarin pas lagi ngumpul-ngumpul.”
(Komunikasi Personal, 8 September 2010)
“Pas lagi kemah waktu SMA, terus disuruh nyoba sama teman. Kan segan kalo nolak. Trus takut dibilang gak gaullah”
(Komunikasi Personal, 13 September 2010)
Selain alasan di atas, remaja menggunakan obat-obat terlarang dengan
berbagai alasan lain. Wills et al ( dalam Zimmerman, 2005) dalam penelitiannya
menemukan bahwa remaja akan merasa senang, tertarik, dan rileks atas masalah
obat-obat terlarang. Dillon et al, (2007) melalui penelitan yang mereka lalukan,
mengungkapkan beberapa alasan mengapa seseorang menggunakan obat-obat
terlarang. Remaja biasanya menggunakan obat-obat terlarang karena hal-hal
berikut : untuk keluar dari masalah, menghilangkan kebosanan, merasa nyaman,
menghilangkan rasa sakit, lebih semangat, keingintahuan (coba-coba), serta
tekanan dari teman sebaya.
Hal di atas didukung oleh komunikasi personal dengan Akil (bukan nama
sebenarnya) seorang mahasiswa laki-laki berusia 20 tahun pengguna obat-obat
terlarang, seperti dibawah ini :
“ya awalnya sih coba-coba, tapi lama-lama jadi enak, bisa enjoy, lupa dengan masalah, kayanya semua beban lepas. Pokoknya enaklah”
(Komunikasi personal 5 Oktober 2010)
Sama dengan Akil, Eka (bukan nama sebenarnya) seorang mahasiswa perempuan
berusia 21 tahun pengguna narkoba, mengungkapkan alasannya menggunakan
obat-obat terlarang seperti berikut:
“Awalnya sih dari teman, terus pas udah make, aku rasa enak, bisa lebih semangat aja, terus ngilangin pikiranlah kalo lagi banyak masalah.”
(Komunikasi Personal 13 Oktober 2010)
Penggunaan zat jenis apapun bukan tanpa resiko. Hawari (2005),
menjelaskan bahwa semua zat yang termasuk narkoba dapat menimbulkan adiksi
(ketagihan) yang pada gilirannya berakibat pada ketergantungan. Individu yang
berada dalam kondisi ketergantungan tidak hanya mengalami ketergantungan
secara fisik akan tetapi juga psikologis.
Mereka yang mengkonsumsi narkoba jenis amphetamin (Psikotropika
akan mengalami gejala fisik sebagai berikut : jantung berdebar-debar, pupil mata
melebar, tekanan darah naik, keringat berlebihan atau kedinginan, serta mual dan
muntah ( Hawari 2005). Individu yang mulai mengunakan narkoba pada usia
20-an ak20-an mengalami kesehat20-an y20-ang s20-angat buruk secara umum 10 tahun kemudi20-an
(Chen, Scheier, & Kandel 1996 dalam Sarafino 2002).
Menurut Badan Narkotika Nasional (2004), dampak psikologis dan sosial
dari pecandu narkoba diantaranya adalah: suka berbohong, emosi tidak terkendali,
tidak bertanggungjawab, hubungan dengan teman dan keluarga terganggu,
dikucilkan, tidak perduli dengan norma, menghindari komunikasi, dan cenderung
untuk melakukan tindak pidana.
Selain hal-hal di atas masih terdapat berbagai hal lain yang menjadi efek
buruk dari pemakaian narkoba tersebut pada kalangan mahasiswa. Antara lain
adalah semakin maraknya seks bebas dan aborsi. Seperti yang diungkapkan oleh
Sa’abah (dalam Prasetyo, 2008), mereka melakukan hubungan sekejap saja atau
disebut one night stand karena pengaruh dari minuman keras, narkoba, saling
membutuhkan dan juga ketagihan. Contohnya saja di diskotik “FN”, salah satu
diskotik dijakarta yang pengunjungnya kebanyakan wanita terjadi transaksi seks
dengan narkoba, seperti “inex” dan “putaw”.
Penyalahgunaan narkoba sendiri secara biologis dapat mempengaruhi
fungsi seksual. Ada beberapa jenis narkoba yang dapat merangsang nafsu seksual.
Kokain, mariyuana adalah perangsang seksual, amfetamin dapat meningkatkan
reaksi seksual bila digunakan dalam dosis rendah, (Master dkk, dalam Prasetyo,
narkoba tersebut akan cenderung untuk melampiaskan nafsu seksualnya setelah
memakai narkoba (Prasetyo, 2008).
Terdapat banyak hal yang telah dilakukan untuk pencegahan penggunaan
narkoba. Termasuk pemberian edukasi terhadap mahasiswa tentang jenis-jenis
narkoba, efek dari penggunaannya, dan pengaruhnya terhadap kesehatan. Banyak
pengguna yang bersemangat untuk mendengarkannya, tetapi hal ini tidak
memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan penggunaan narkoba
(Tobler, 1986).
Tentu saja, tidak semua mahasiswa di kampus atau mahasiswa yang
tinggal bersama dengan mahasiswa lain, akan berpikir untuk menggunakan
narkoba. Disamping pengaruh dari lingkungan tempat tinggal, keluarga, agama,
dan latar belakang sosial, mahasiswa akan berinteraksi dengan mahasiswa lain
dan grup-grup lain, yang sangat bervariasi dalam komposisi dan gaya hidup.
Pengaruh teman sebaya tidak selalu menjadi hal yang negatif. Tekanan dari teman
sebaya untuk menggunakan narkoba atau tidak, tergantung pada posisi seseorang
dalam kelompok, atau orientasinya berada di kelompok tersebut (Oetting &
Beauvais, dalam Perkins, 2002).
Dari sekian banyak mahasiswa yang terhanyut dalam narkoba, masih
banyak juga mahasiswa yang bertahan untuk tidak sama sekali bersentuhan
dengan narkoba. Dillon et all (2007), dalam penelitiannya menemukan bahwa
masih banyak remaja yang duduk di bangku SMA dan Universitas, yang memiliki
akses untuk memperoleh narkoba, tetapi sama sekali tidak pernah mencoba atau
salah satu sampel penelitian Dillon, yang menolak untuk mengunakan narkoba
seperti berikut :
“Katie is 19 and has been offered canabis at parties by her boyfriend’s friends ‘several times’. She has always said no because she has been ‘brought up not to use drugs’...”
Terdapat beberapa alasan kenapa orang tidak mau menggunakan narkoba
yakni sebagai berikut : dikucilkan jika menggunakan narkoba, tidak mau
melanggar hukum, aturan orang tua, karir masa depan, waktu, uang, pengalaman
menggunakan narkoba, kondisi kesehatan, takut kehilangan kontrol, takut
ketergantungan serta adanya dukungan untuk tidak menggunakan narkoba (Dillon
et al, 2007)
Jessor dan Jessor (dalam Dilon, 2007), mengatakan bahwa perilaku untuk
menolak dan membuat keputusan untuk tidak menggunakan narkoba, meskipun
dengan ketersediaan akses yang cukup mudah untuk mendapatkannya, dikatakan
sebagai resiliensi. Resiliensi merupakan aksi atau tindakan untuk menjadi
resilient. Resiliensi bukanlah suatu hal yang permanen, tetapi setiap orang dapat
meningkatkan resiliensinya.
Resiliensi adalah proses mengatasi efek negatif dari resiko yang ada,
berhasil mengatasi pengalaman traumatik dan menghindari dampak negatif terkait
resiko (Fergus & Zimmerman, 2005). Masten, Best, dan Garmezy (dalam Chen &
George, 2005) mendefinisikan resiliensi sebagai sebuah proses, kemampuan
seseorang, atau hasil dari adaptasi yang berhasil meskipun berhadapan dengan
Setiap orang membutuhkan resiliensi. Penelitian ilmiah yang telah
dilakukan lebih dari 50 tahun, telah membuktikan bahwa resiliensi adalah kunci
dari kesuksesan kerja dan kepuasan hidup (Reivich & Shatte, 2002). Resiliensi
yang dimiliki oleh seorang individu, mempengaruhi kinerja individu tersebut baik
di lingkungan sekolah maupun lingkungan kerja, memiliki efek terhadap
kesehatan individu tersebut secara fisik maupun mental, serta menentukan
keberhasilan individu tersebut dalam berhubungan dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Semua hal tersebut adalah faktor-faktor dasar dari tercapainya
kebahagiaan dan kesuksesan hidup seseorang (Reivich & Shatte, 2002).
Mc.Gillin (2003) menunjukkan bahwa lebih dari 15 tahun penelitian di
bidang kesehatan mental fokus pada suatu grup individu yang diberi label
“resilien”. Dalam pendidikan tinggi, individu yang resilien adalah individu yang
sukses dalam hal akademik serta dalam menghadapi stres, walaupun mereka
dihadapkan pada faktor resiko.
Master, Best, dan Garmezy (1990) menunjukkan tiga definisi dari seorang
individu yang dikatakan resilien, yaitu: pertama, individu yang berhasil keluar
dari rintangan; kedua, individu yang berhasil mengatur kesehatan walaupun
berhadapan dengan tingkat stres yang tinggi; ketiga, individu yang pulih dari
spesifik trauma (dalam Mc.Gillin, 2003).
Elemen yang tersimpan dalam ketiga defenisi diatas adalah hadirnya
“protective factor” yang membantu sesorang untuk sukses. Protective factor
bekerja untuk mengurangi efek negatife dari stres yang dialami. Contohnya:
factor, serta self esteem dan self efficacy dari mahasiswa akan menjadi penguat.
Protective factor yang lain adalah adanya faktor skill dalam menghadapi masa
transisi tersebut (Cumming, Davies & Campbell dalam Mc.Gillin, 2003).
Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang resilien adalah
mahasiswa yang berhasil keluar dari masalah-masalah yang dihadapi dan sukses
dalam menjalani masa studinya. Serta menganggap masalah tersebut adalah
bagian dari tantangan masa studinya, dan bukan hal yang harus dijadikan alasan
untuk terpuruk (Gore & Eckenrode dalam Mc.Gillin 2003)
Dari penjelasan diatas maka peneliti memandang bahwa, mahasiswa
dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam hal akademis dan sosialisai
membutuhkan resiliensi untuk bisa sukses dalam hidupnya. Untuk memperoleh
kesuksesan tentu bukanlah hal yang mudah, mahasiswa harus dihadapkan kepada
situasi yang belum tentu menyenangkan atau menguntungkan bagi dirinya,
termasuk dalam hal penggunaan narkona dikalangan mahasiswa itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan
penelitian tentang Gambaran Resiliensi Pada Mahasiswa Universitas Sumatera
Utara dalam Hal Penyalahgunaan Zat.
B. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan penelitian, maka perlu dirumuskan masalah apa
yang menjadi fokus penelitian. Dalam hal ini peneliti mencoba merumuskan
gambaran resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal
penyalahgunaan narkoba?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat dan mengetahui gambaran
resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan
Zat.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin didapatkan dari penelitian ini antara lain
adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Menambah khasanah dalam pembelajaran mengenai gambaran resiliensi
pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara dalam hal penyalahgunaan
zat dan memberi sumbangan bagi ilmu psikologi khususnya Psikologi
Klinis.
b. Menjadi acuan bagi penelitian lanjutan bagi pihak-pihak yang tertarik
untuk meneliti resiliensi pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara
dalam hal penyalahgunaan zat.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan wacana dan informasi tentang fenomena penyalahgunaan Zat
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi atas lima bab dan masing-masing bab dibagi atas
beberapa sub bab. Sistematika penulisan penelitian ini dirancang dengan susunan
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang hendak
diteliti. Tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang
menjadi objek penelitian.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini menguraikan identifikasi variabel, defenisi operasional
variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji
daya beda item dan reliabilitas alat ukur, serta metode analisa data
yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian.
Bab IV : Analisa dan Interpretasi Data Hasil Penelitian
Bab ini membahas tentang interpretasi hasil dan analisis data-data
sebagai hasil penelitian sesuai dengan tinjauan teoritis yang
digunakan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini terdiri dari kesimpulan dari pembahasan terhadap hasil
BAB II
LANDASAN TEORI
A. RESILIENSI
1. Definisi Resiliensi
Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan
beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat
menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau
kejadian-kejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987).
Menurut Reivich. K dan Shatte. A yang dituangkan dalam bukunya “The
Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi
dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam
kehidupan. Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dialami dalam kehidupannya (Reivich.
K & Shatte. A, 2002 ).
Menurut Jackson (2002) resiliensi adalah kemampuan individu untuk
dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.
Dalam ilmu perkembangan manusia, resiliensi memilki makna yang luas dan
beragam, mencakup kepulihan dari masa traumatis, mengatasi kegagalan dalam
hidup, dan menahan stres agar dapat berfungsi dengan baik dalam mengerjakan
tugas sehari-hari. Dan yang paling utama, resiliensi itu berarti pola adaptasi yang
positif atau menunjukkan perkembangan dalam situasi sulit (Masten & Gewirtz,
Resiliensi dipandang oleh para ahli sebagai kemampuan untuk bangkit
kembali dari situasi atau peristiwa yang traumatis. Siebert (2005) dalam bukunya
The Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan resiliensi
adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan hidup pada level
yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi penuh tekanan, bangkit dari
keterpurukan, mengatasi kemalangan, merubah cara hidup ketika cara yang lama
dirasa tidak sesuai lagi dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan
tanpa melakukan kekerasan.
Menurut Grotberg (1999) resiliensi adalah kemampuan manusia untuk
menghadapi, mengatasi, dan menjadi kuat atas kesulitan yang dialaminya.
Grotberg mengatakan bahwa resiliensi bukanlah hal magic dan tidak hanya
ditemui pada orang-orang tertentu saja dan bukan pemberian dari sumber yang
tidak diketahui.
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah dipaparkan dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk bertahan dan
tidak menyerah pada keadaan-keadaan yang sulit dalam hidupnya, serta berusaha
untuk belajar dan beradaptasi dengan keadaan tersebut dan kemudian bangkit dari
keadaan tersebut dan menjadi lebih baik.
2. Fungsi resiliensi
Penelitian tentang resiliensi hanya mencakup bidang yang kecil dan
Penelitian mereka berfokus pada anak-anak, dan mengungkapkan kepada kita
tentang karakteristik orang dewasa yang resilien (Reivich. K & Shatte. A, 2002).
Sebuah penelitian telah menyatakan bahwa manusia dapat menggunakan
resiliensi untuk hal-hal berikut ini (dalam Reivich & Shatte, 2002):
a. Overcoming
Dalam kehidupan terkadang manusia menemui kesengsaraan,
masalah-masalah yang menimbulkan stres yang tidak dapat untuk dihindari. Oleh
karenanya manusia membutuhkan resiliensi untuk menghindar dari
kerugian-kerugian yang menjadi akibat dari hal-hal yang tidak menguntungkan tersebut.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara menganalisa dan mengubah cara pandang
menjadi lebih positif dan meningkatkan kemampuan untuk mengontrol kehidupan
kita sendiri. Sehingga, kita dapat tetap merasa termotivasi, produktif, terlibat, dan
bahagia meskipun dihadapkan pada berbagai tekanan di dalam kehidupan.
b. Steering through
Setiap orang membutuhkan resiliensi untuk menghadapi setiap masalah,
tekanan, dan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang
resilien akan menggunakan sumber dari dalam dirinya sendiri untuk mengatasi
setiap masalah yang ada, tanpa harus merasa terbebani dan bersikap negatif
terhadap kejadian tersebut. Orang yang resilien dapat memandu serta
mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan
hidupnya. Penelitian menunjukkan bahwa unsur esensi dari steering through
sendiri bahwa kita dapat menguasai lingkungan secara efektif dapat memecahkan
berbagai masalah yang muncul.
c. Bouncing back
Beberapa kejadian merupakan hal yang bersifat traumatik dan
menimbulkan tingkat stres yang tinggi, sehingga diperlukan resiliensi yang lebih
tinggi dalam menghadapai dan mengendalikan diri sendiri. Kemunduran yang
dirasakan biasanya begitu ekstrim, menguras secara emosional, dan membutuhkan
resiliensi dengan cara bertahap untuk menyembuhkan diri. Orang yang resiliensi
biasanya menghadapi trauma dengan tiga karakteristik untuk menyembuhkan diri.
Mereka menunjukkan task-oriented coping style dimana mereka melakukan
tindakan yang bertujuan untuk mengatasi kemalangan tersebut, mereka
mempunyai keyakinan kuat bahwa mereka dapat mengontrol hasil dari kehidupan
mereka, dan orang yang mampu kembali ke kehidupan normal lebih cepat dari
trauma mengetahui bagaimana berhubungan dengan orang lain sebagai cara untuk
mengatasi pengalaman yang mereka rasakan.
d. Reaching out
Resiliensi, selain berguna untuk mengatasi pengalaman negatif, stres, atau
menyembuhkan diri dari trauma, juga berguna untuk mendapatkan pengalaman
hidup yang lebih kaya dan bermakna serta berkomitmen dalam mengejar
pembelajaran dan pengalaman baru. Orang yang berkarakteristik seperti ini
melakukan tiga hal dengan baik, yaitu: tepat dalam memperkirakan risiko yang
terjadi; mengetahui dengan baik diri mereka sendiri; dan menemukan makna dan
3. Aspek-aspek resiliensi
Reivich dan Shatte (2002), memaparkan tujuh kemampuan yang
membentuk resiliensi, yaitu sebagai berikut :
a. Emotion Regulation
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi
yang menekan (Reivich & Shatte, 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur emosi mengalami
kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Hal ini
bisa disebabkan oleh berbagai macam faktor, di antara alasan yang sederhana
adalah tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang
marah, merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat. Emosi yang
dirasakan oleh seseorang cenderung berpengaruh terhadap orang lain. Semakin
kita terasosiasi dengan kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang
yang pemarah (Reivich & Shatte, 2002).
Tidak semua emosi yang dirasakan oleh individu harus dikontrol. Tidak
semua emosi marah, sedih, gelisah dan rasa bersalah harus diminimalisir. Hal ini
dikarenakan mengekspresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif
maupun negatif merupakan hal yang konstruksif dan sehat, bahkan kemampuan
untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi
(Reivich & Shatte, 2002).
Reivich dan Shatte (2002), mengungkapkan dua buah keterampilan yang
dapat memudahkan individu untuk melakukan regulasi emosi, yaitu yaitu tenang
individu untuk mengontrol emosi yang tidak terkendali, menjaga fokus pikiran
individu ketika banyak hal-hal yang mengganggu, serta mengurangi stres yang
dialami oleh individu.
b. Impulse Control
Pada tahun 1970, Goleman (dalam Reivich & Shatte, 2002), penulis dari
Emotional Intelligence, melakukan penelitian terkait kemampuan individu dalam
pengendalian impuls. Penelitian dilakukan terhadap 7 orang anak kecil yang
berusia sekitar 7 tahun. Dalam penelitian tersebut anak-anak tersebut
masing-masing ditempatkan pada ruangan yang berbeda. Pada masing-masing-masing-masing ruangan
tersebut telah terdapat peneliti yang menemani anak-anak tersebut.
Masing-masing peneliti telah diatur untuk meninggalkan ruangan tersebut untuk beberapa
selang waktu. Sebelum peneliti pergi, masing-masing anak diberikan sebuah
marshmallow untuk dimakan oleh mereka. Namun peneliti juga menawarkan
apabila mereka dapat menahan untuk tidak memakan marshmallow tersebut
sampai peneliti kembali ke ruangan , maka mereka akan mendapatkan satu buah
marshmallow lagi.
Setelah sepuluh tahun, peneliti melacak kembali keberadaan anak-anak
tersebut dan terbukti bahwa anak-anak yang dapat menahan untuk tidak memakan
Marshmallow, memiliki kemampuan akademis dan sosialisasi yang lebih baik
dibandingkan anak-anak yang sebaliknya (Goleman dalam Reivich & Shatte,
2002).
Pengendalian impuls adalah kemampuan Individu untuk mengendalikan
(Reivich & Shatte, 2002). Individu yang memiliki kemampuan pengendalian
impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya
mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku
mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya
perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang
nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan
orang lain.
Individu dapat mengendalikan impulsivitas dengan mencegah terjadinya
kesalahan pemikiran, sehingga dapat memberikan respon yang tepat pada
permasalahan yang ada. Menurut Reivich dan Shatte (2002), pencegahan dapat
dilakukan dengan dengan menguji keyakinan individu dan mengevaluasi
kebermanfaatan terhadap pemecahan masalah. Individu dapat melakukan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat rasional yang ditujukan kepada dirinya
sendiri, seperti ‘apakah penyimpulan terhadap masalah yang saya hadapi
berdasarkan fakta atau hanya menebak?’, ’apakah saya sudah melihat
permasalahan secara keseluruhan?’, ’apakah manfaat dari semua ini?’, dll.
Kemampuan individu untuk mengendalikan impuls sangat terkait dengan
kemampuan regulasi emosi yang ia miliki. Seorang individu yang memiliki skor
Resilience Quotient yang tinggi pada faktor regulasi emosi cenderung memiliki
skor Resilience Quotient pada faktor pengendalian impuls (Reivich & Shatte,
c. Optimism
Individu yang resilien adalah individu yang optimis, optimisme adalah
ketika kita melihat bahwa masa depan kita cemerlang (Reivich & Shatte, 2002).
Optimisme yang dimiliki oleh seorang individu menandakan bahwa individu
tersebut percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan yang mungkin terjadi di masa depan. Hal ini juga merefleksikan
self-efficacy yang dimiliki oleh seseorang, yaitu kepercayaan individu bahwa ia
mampu menyelesaikan permasalahan yang ada dan mengendalikan hidupnya.
Optimisme akan menjadi hal yang sangat bermanfaat untuk individu bila diiringi
dengan self-efficacy, hal ini dikarenakan dengan optimisme yang ada seorang
individu terus didorong untuk menemukan solusi permasalahan dan terus bekerja
keras demi kondisi yang lebih baik (Reivich & Shatte, 2002).
Tentunya optimisme yang dimaksud adalah optimisme yang realistis
(realistic optimism), yaitu sebuah kepercayaan akan terwujudnya masa depan
yang lebih baik dengan diiringi segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut.
Berbeda dengan unrealistic optimism dimana kepercayaan akan masa depan yang
cerah tidak dibarengi dengan usaha yang signifikan untuk mewujudkannya.
Perpaduan antara optimisme yang realistis dan self-efficacy adalah kunci resiliensi
dan kesuksesan (Reivich & Shatte, 2002).
d. Causal Analysis
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka
permasalahan yang mereka hadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat
kesalahan yang sama.
Seligman (dalam Reivich & Shatte, 2002) mengidentifikasikan gaya
berpikir explanatory yang erat kaitannya dengan kemampuan causal analysis
yang dimiliki individu. Gaya berpikir explanatory dapat dibagi dalam tiga
dimensi: personal (saya-bukan saya), permanen (selalu-tidak selalu), dan
pervasive (semua-tidak semua).
Individu dengan gaya berpikir “Saya-Selalu-Semua” merefleksikan
keyakinan bahwa penyebab permasalahan berasal dari individu tersebut (Saya),
hal ini selalu terjadi dan permasalahan yang ada tidak dapat diubah (Selalu), serta
permasalahan yang ada akan mempengaruhi seluruh aspek hidupnya (Semua).
Sementara individu yang memiliki gaya berpikir “Bukan Saya-Tidak Selalu-Tidak
semua” meyakini bahwa permasahalan yang terjadi disebabkan oleh orang lain
(Bukan Saya), dimana kondisi tersebut masih memungkinkan untuk diubah (Tidak
Selalu) dan permasalahan yang ada tidak akan mempengaruhi sebagian besar
hidupnya (Tidak semua).
Gaya berpikir explanatory memegang peranan penting dalam konsep
resiliensi (Reivich & Shatte, 2002). Individu yang terfokus pada “Selalu-Semua”
tidak mampu melihat jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi.
Sebaliknya individu yang cenderung menggunakan gaya berpikir “Tidak
selalu-Tidak semua” dapat merumuskan solusi dan tindakan yang akan mereka lakukan
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki fleksibelitas kognitif.
Mereka mampu mengidentifikasikan semua penyebab yang menyebabkan
kemalangan yang menimpa mereka, tanpa terjebak pada salah satu gaya berpikir
explanatory. Mereka tidak mengabaikan faktor permanen maupun pervasif.
Individu yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
mereka perbuat demi menjaga self-esteem mereka atau membebaskan mereka dari
rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar
kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh
pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang
ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan (Reivich &
Shatte, 2002).
e. Empathy
Empati sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca
tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain (Reivich & Shatte,
2005). Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam
menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain,
seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa
yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang
memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang
positif (Reivich & Shatte, 2002).
Ketidakmampuan berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam
hubungan sosial (Reivich & Shatte, 2002). Individu-individu yang tidak
tidak mampu untuk menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa
yang dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda nonverbal orang
lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks hubungan kerja maupun
hubungan personal, hal ini dikarenakan kebutuhan dasar manusia untuk
dipahami dan dihargai. Individu dengan empati yang rendah cenderung
mengulang pola yang dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu
menyamaratakan semua keinginan dan emosi orang lain (Reivich & Shatte,
2002).
f. Self-efficacy
efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang berhasil.
Self-efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa kita mampu memecahkan
masalah yang kita alami dan mencapai kesuksesan. Self-efficacy merupakan hal
yang sangat penting untuk mencapi resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).
g. Reaching out
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa resiliensi lebih dari
sekedar bagaimana seorang individu memiliki kemampuan untuk mengatasi
kemalangan dan bangkit dari keterpurukan, namun lebih dari itu resiliensi juga
merupakan kemampuan individu meraih aspek positif dari kehidupan setelah
kemalangan yang menimpa (Reivich & Shatte, 2002).
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching out, hal ini
dikarenakan mereka telah diajarkan sejak kecil untuk sedapat mungkin
individu-individu yang lebih memilih memiliki kehidupan standar dibandingkan harus
meraih kesuksesan namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan
hinaan masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untuk
berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan hal-hal buruk yang dapat
terjadi di masa mendatang. Individu-individu ini memiliki rasa ketakutan untuk
mengoptimalkan kemampuan mereka hingga batas akhir.
4. Sumber-sumber Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada beberapa sumber dari resiliensi yaitu
sebagai berikut :
a. I Have ( sumber dukungan eksternal )
I Have merupakan dukungan dari lingkungan di sekitar individu.
Dukungan ini berupa hubungan yang baik dengan keluarga, lingkungan sekolah
yang menyenangkan, ataupun hubungan dengan orang lain diluar keluarga.
Melalui I Have, seseorang merasa memiliki hubungan yang penuh kepercayaan.
Hubungan seperti ini diperoleh dari orang tua, anggota keluarga lain, guru, dan
teman-teman yang mencintai dan menerima diri anak tersebut.
Individu yang resilien juga mempunyai struktur dan aturan di dalam rumah
yang ditetapkan oleh orang tua mereka. Para orang tua berharap bahwa anak-anak
dapat mematuhi semua peraturan yang ada. Anak-anak juga akan menerima
konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan dalam menjalani aturan
memeberi tahu kesalahan yang mereka perbuat dan jika perlu menerapkan
hukuman.
Individu yang resilien juga memperoleh dukungan untuk mandiri dan
dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta inisiatifnya sendiri.
Dukungan yang diberikan oleh orangtua ataupun anggota keluarga lainnya akan
sangat membantu dalam membentuk sikap mandiri dalam diri seseorang.
Orangtua akan mendukung serta melatih anak untuk dapat berinisiatif dan
“berkuasa” atas dirinya sendiri untuk mengambil keputusan tanpa harus
bergantung pada orang lain.
Individu yang resilien juga akan mendapatkan jaminan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan serta keamanan dari orangtua. Sehingga hal ini
akan membantu mereka untuk mengembangkan rasa percaya diri dalam diri anak.
b. I Am ( kemampuan individu )
I am, merupakan kekuatan yang terdapat dalam diri seseorang, kekuatan
tersebut meliputi perasaan, tingkah laku, dan kepercayaan yang ada dalam dirinya.
Individu yang resilien merasa bahwa mereka mempunyai karakteristik yang
menarik dan penyayang sessama. Hal tersebut ditandai dengan usaha mereka
untuk selalu dicintai dan mencintai orang lain. Mereka juga sensitif terhadap
perasaan orang lain dan mengerti yang diharapkan orang lain terhadap dirinya.
Mereka juga merasa bahwa mereka memiliki empati dan sikap kepedulian
yang tinggi terhadap sesama. Perasaan itu mereka tunjukkan melalui sikap peduli
ketidaknyamanan dan penderitaan yang dirasakan oleh orang lain dan berusaha
membantu untuk mengatasi masalah yang terjadi.
Individu yang resilien juga merasakan kebanggaan akan diri mereka
sendiri. Mereka bangga terhadap apa yang telah mereka capai. Ketika mereka
mendapatkan masalah atau kesulitan, rasa percaya dan harga diri yang tinggi akan
membantu mereka dalam mengatasi kesulitan tersebut. Mereka merasa mandiri
dan cukup bertanggungjawab. Mereka dapat melakukan banyak hal dengan
kemampuan mereka sendiri. Mereka juga bertanggungjawab atas pekerjaan yang
telah mereka lakukan serta berani menangung segala konsekuensinya.
Selain itu mereka juga diliputi akan harapan dan kesetiaan. Mereka
percaya bahwa akan memperoleh masa depan yang baik. Mereka memiliki
kepercayaan dan kesetiaan dalam moralitas dan ke-Tuhan-an mereka.
c. I Can ( kemampuan sosial dan interpersonal )
I Can merupakan kemampuan anak untuk melakukan hubungan sosial dan
interpersonal. Mereka dapat belajar kemampuan ini melalui interaksinya dengan
semua orang yang ada disekitar mereka. Individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk berkomunikasi serta memecahkan masalah dengan baik.
Mereka mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan baik.
Kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan dorongan dalam hati juga
dimiliki oleh individu yang resilien. Mereka mampu menyadari perasaan mereka
dan mengekspresikannya dalam kata-kata dan perilaku yang tidak mengancam
memukul, melarikan diri dari masalah, atau melampiaskan keinginan mereka pada
hal-hal yang tidak baik.
Mereka juga dapat memahami karakteristik dirinya sendiri dan orang lain.
Ini membantu individu untuk mengetahui seberapa banyak waktu yang diperlukan
untuk berkomunikasi, dan seberapa banyak ia dapat menangani berbagai macam
situasi. Selain itu, individu yang resilien juga dapat menemukan seseorang untuk
meminta bantuan, untuk menceritakan perasaan dan masalah, serta mencari cara
untuk menyelesaikan masalah pribadi dan interpersonal.
B. Penyalahgunaan Zat
1. Defenisi Penyalahgunaan Zat
Menurut DSM, peyalahgunaan zat melibatkan pola penggunaan berulang
yang menghasilkan konsekuensi yang merusak. Konsekuensi yang merusak bisa
termasuk kegagalan untuk memenuhi tanggung jawab utama seseorang (misalnya:
sebagai pelajar, sebagai pekerja, atau sebagai orang tua), menempatkan diri dalam
situasi di mana penggunaan zat secara fisik berbahaya (contoh mencampur
minuman dan penggunaan obat), berhadapan dengan masalah hukum berulang
kali yang meningkat karena penggunaan obat. Memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang kerap muncul karena pengunaan zat (contoh: berkelahi karena
mabuk) (Greene, Rhatus dan Nevid, 2003).
Menurut Sarafino (2006) dalam kata “drug” memiliki pengertian berbagai
macam zat, termasuk obat yang prescription atau nonprescription yang
Istilah yang berasal dari terjemahan asing seperti substace abuse dan
substance dependence dikalangan awam dikenal dengan istilah narkoba yang
merupakan singkatan dari narkotika dan obat berbahaya. Ada istilah lain yaitu
NAPZA yang merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Berbagai istilah yang sering digunakan tidak jarang menimbulkan salah
pengertian tidak saja dikalangan medis tapi juga masyarakat awam (Hawari
2005). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan istilah narkoba.
2. Jenis-jenis Zat
Menurut Greene, Rhatus dan Nevid (2003) dalam bukunya yang berjudul
“Psikologi Abnormal” terdapat beberapa jenis obat yang sering disalahgunakan,
yang pada umumnya digolongkan dalam tiga kelompok besar, yaitu:
1. Depresan
Depresan adalah obat yang menghambat atau mengekang sistem saraf
pusat. Obat tersebut mengurangi perasaan tegang dan cemas, menyebabkan
gerakan menjadi lebih lambat, dan merusak proses kognitif. Dalam dosis tinggi
depresan dapat menahan fungsi vital dan menyebabkan kematian. Beberapa tipe
depresan adalah sebagai berikut :
a. Alkohol
Mungkin banyak orang yang berpikir bahwa alkohol bukanlah obat,
mungkin karena alkohol sangat populer, atau mungkin karena alkohol diminum
bukannya dihisap atau disuntikkan. Namun minuman yang mengandung alkohol
alkohol (etanol). Konsentrasi obat bervariasi tergantung tipe minuman (anggur
dan bir mengandung lebih sedikit alkohol pada setiap ons-nya dibanding rye, gin,
atau vodka). Alkohol digolongkan sebagai obat depresan karena efek
biokimiawinya serupa dengan golongan obat penenang minor. Kita dapat
menganggap alkohol sebagai tipe obat penenang yang dapat dibeli tanpa resep
dokter.
b. Opioid
Opioid adalah obat narkotik, istilah yang digunakan untuk obat adiktif
yang memiliki kemampuan melepaskan rasa sakit dan menyebabkan tidur. Opioid
terdiri dari opiat yang tumbuh secara alami (morfin, heroin, kodein) yang berasal
dari sari tanaman poppy dan juga obat sintesis (demerol, percodan, darvon) yang
dibuat dilaboratorium sehingga memiliki efek seperti opiat.
Opioid menghasilkan perasaan nikmat yang cepat dan intens, yang
menjadi alasan utama dibalik popularitasnya sebagai obat jalanan. Opioid juga
menumpulkan kesadaran seseorang akan masalah pribadinya, dimana hal tersebut
menarik bagi orang yang mencari pelarian mental dari stres.
c. Morfin
Morfin (morphine) yang memperoleh namanya dari Morpheus, dewa
mimpi Yunani, diperkenalkan pada sekitar perang sipil Amerika Serikat. Morfin,
turunan opium yang kuat, digunakan secara bebas untuk mengurangi rasa sakit
akibat terluka. Ketergantungan fisiologis pada morfin dikenal sebagai “penyakit
tentara”. Hanya ada sedikit stigma yang dilekatkan pada ketergantungan hingga
d. Heroin
Heroin, opiat yang paling luas digunakan, merupakan depresan yang kuat
yang dapat menciptakan euforia yang cepat. Pengguna heroin menyatakan bahwa
heroin sangat nikmat sehingga dapat menghilangkan segala pikiran tentang
makanan atau seks.
2. Stimulan
Stimulan adalah zat psikoaktif yang meningkatkan aktivitas sistem saraf.
Efeknya agak berbeda antara obat yang satu dengan obat yang lainnya, namun
sejumlah stimulan menyebabkan perasaan euforia dan self-confidence. Sebagian
dari stimulan bahkan dapat meningkatkan tersedianya neurotransmiter
norepinefrina dan dopamin pada otak. Dengan demikian, neurotransmiter ini tetap
tersedia dalam level yang tinggi dalam simpul sinaptik antara neuron-neuron,
menjaga aktivitas sistem saraf tetap tinggi dan kondisi keterangsangan tinggi.
Beberapa tipe stimulan adalah sebagai berikut :
a. Amfetamin
Amfetamin merupakan golongan stimulan sintesis. Nama jalanan untuk
stimulan ini termasuk speed, upper, bennies, (di Indonesia disebut shabu-shabu).
Amfetamin digunakan dalam dosis tinggi karena menghasilkan euforia secara
cepat. Sering digunakan dalam bentuk pil atau dihisap dalam bentuk murni.
Beberapa pengguna menyuntikkan mentamfetamin berhari-hari untuk
b. Ekstasi
Obat ekstasi adalah obat terlarang yang keras, tiruan murahan yang
struktur kimianya mirip dengan amfetamin (Braun, 2001). Ekstasi menghasilkan
euforia ringan dan halusinasi dan terus bertambah penggunanya di kalangan anak
muda, terutama di kampus dan klub malam serta pesta-pesta riuh dibanyak kota.
c. Kokain
Kokain adalah stimulan natural yang disuling dari daun tanaman coca.
Telah lama diyakini bahwa kokain tidak menyebabkan adiksi secara fisik. Namun,
bukti-bukti menunjukkan adanya ciri adiktif dari obat tersebut, yaitu
menghasilkan efek toleransi dan sindrom putus zat yang dapat di identifikasi,
yang ditandai oleh mood yang depresif dan gangguan dalam tidur serta selera
makan.
d. Nikotin
Kebiasaan merokok bukan cuma kebiasaan yang buruk, tetapi juga
merupakan bentuk adiksi fisik terhadap obat stimulan, nikotin, yang ditemukan
dalam produk tembakau termasuk rokok , cerutu, dan tembakau tanpa asap.
Merokok atau penggunaan tembakau lainnya merupakan sarana memasukkan obat
ke tubuh.
3. Halusinogen
Halusinogen juga dikenal sebagai psychedelics, merupakan golongan obat
yang menghasilkan distorsi sensori atau halusinasi, termasuk perubahan besar
tambahan seperti relaksasi dan euforia, atau, pada beberapa kasus menyebabkan
panik. Beberapa jenis halusinogen adalah :
a. LSD ( lysergic acid diethylamide)
Merupakan singkatan dari lysergic acid diethylamide, obat halusinogen
sintesis. Sebagai tambahan terhadap munculnya parade warna yang terang dan
distorsi visual yang dihasilkan LSD, pengguna menyatakan LSD “memperluas
kesadaran” dan membuka dunia baru seolah-olah melihat suatu kenyataan yang
melampaui kenyataan yang biasa.
b. Phencylidine
Phencylidine atau PCP yang dikenal sebagai “debu malaikat”
dikembangkan sebagai anastetik pada tahun 1950-an namun tidak diteruskan
karena efek samping halusinasi obat.
c. Mariyuana
Mariyuana berasal dari tanaman canabis sativa. Mariyuana kadang
menghasilkan halusinasi ringan, sehingga dianggap sebagai halusinogen minor.
3.Faktor- faktor yang Menyebabkan Individu Menggunakan Zat
Sarafino (2002) dalam bukunya “health psychology” penyalahgunaan
drug menjadi salah satu permasalahan yang cukup serius dibanyak Negara didunia
ini. Alasan seseorang dengan orang lainnya dalam mengunakan drug itu
berbeda-beda. Perbedaan umur, jenis kelamin, dan sosial budaya dalam mengunakan drug.
Jika kita menelusuri mengapa remaja bisa mengunakan drug , alasannya hampir
mungkin saja melihat dari orang tua mereka, teman sebaya, ataupun artis artis
terkenal sehingga mereka juga menjadi tertarik untuk mengunakannya, model
behavior dan attitudes bisa menjadi pemicu penggunaan drug.
Pada awal penggunaan drug dan bila mereka merasa perasaan mereka
lebih baik maka ini bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penggunaan
bisa berkelanjutan pada akhirnya bisa menyebabkan ketergantungan (Barret,
1985), banyak orang-orang mengakui bahwa penggunaan obat itu dapat
mengurangi tegangan dan tekanan. Dengan kata lain drug memiliki efek yang
kuat. Kemudian apabila penggunaan terus dilanjutkan maka akan menghasilkan
kondisi yang membuat pemakai untuk mengunakannya lagi atau kecanduan
(Childress, 1996; Robinson& Berridge, 2003).
Mengapa seseorang yang awalnya hanya menggunakan drug bisa menjadi
pecandu? Menurut Brook (1986) kepribadian seseorang juga berpengaruh dalam
hal ini, dibandingkan dengan individu yang tidak mengunakan drug biasanya
mereka suka menentang, menuruti kata hati, menerima perlakuan yang tidak layak
mereka berorientasi dengan cara mencari sensasi dan mereka cenderung kurang
bersosialisasi dan kurang memiliki komitmen dalam hal keagamaan.
Menurut Buntje Harboenangin (dalam Yatim, 1986) ada beberapa faktor
yang menyebabkan individu mengkonsumsi narkoba. Pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian besar. Pertama, sebab-sebab yang berasal dari
faktor individual dan kedua sebab-sebab yang berasal dari lingkungannya. Faktor
a. Kepribadian
Kepribadian individu memiliki peranan yang besar dalam penyalahgunaan
narkoba. Individu yang memiliki kepribadian yang lemah (mudah kecewa, tidak
mampu menerima kegagalan) lebih rentan terhadap penyalahgunaan narkoba
dibandingkan dengan individu yang memilki kepribadian yang kuat (individu
yang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, berani mengatakan
tidak, tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain).
b. Inteligensi
Dalam konseling sering dijumpai bahwa kecerdasan pemakai narkoba
lebih banyak berada pada taraf rata-rata dan dibawah rata-rata kelompok
seusianya.
c. Usia
Mayoritas pemakai narkoba adalah kaum remaja. Hal ini disebabkan
karena kondisi sosial psikologis yang butuh pengakuan, identitas dan kelabilan
emosi sementara individu yang berada pada usia lebih tua menggunakan narkoba
sebagai penenang.
d. Dorongan kenikmatan
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan tersendiri. Perasaan
enak mulanya diperoleh dari mulai coba-coba lalu lama-lama akan menjadi suatu