PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA
SINDROMA DOWN
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi
Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi
Oleh:
EVA MARGARETHA NIM:060600066
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Periodonsia
Tahun 2012
Eva Margaretha
Penyakit Periodontal Pada Penderita Sindroma Down
x + 29 halaman
Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh
ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental
dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti. Namun diduga risiko
memiliki anak dengan sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua
usia ibu pada saat hamil.
Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang
khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda
kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental.
Selain itu penderita sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik
seperti kelainan kardiovaskuler yang penting untuk diperhatikan dokter gigi.
Dalam bidang Periodonsia, banyak penyakit – penyakit atau kondisi sistemik
yang berkaitan dengan penyakit periodontal, diantaranya sindroma Down. Pada
umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya
penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya
prevalensi penyakit periodontal pada penderita ini yaitu faktor lokal dan faktor
anomali gigi dan jaringan gingiva, saliva dan faktor sistemik seperti respon imun
host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin
serta nutrisi.
Walaupun hingga saat ini belum ada penelitian jangka panjang tentang
keberhasilan atau kegagalan perawatan pada penderita sindroma Down, namun
penderita sindroma Down ini memerlukan perawatan yang efektif dan efisien untuk
mengatasi penyakit periodontal yang dialaminya. Ada hal –hal yang harus
diperhatikan oleh dokter gigi sebelum melakukan perawatan pada penderita Sindroma
Down seperti sleep apnea dan penanganan tingkah laku. Perawatan periodontal pada
penderita ini harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan – perawatan
yang dilakukan diantaranya adalah: perawatan preventif, terapi antimikroba dan
cangkok tulang.
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji skripsi
Medan, 16 Juli 2012
Pembimbing Tanda tangan
1. Zulkarnain, drg., M. Kes ……….
NIP: 19551020 198503 1 001
2. Irmansyah Rangkuti, drg., Ph. D ………
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan tim penguji Pada tanggal 16 Juli 2012
TIM PENGUJI SKRIPSI
KETUA: Irmansyah Rangkut i , drg., Ph.D ………
ANGGOTA: 1. Krisna Murthy Pasaribu, drg., Sp. Perio ……….
2. Pitu Wulandari, drg., S. Psi., Sp. Perio ………..
Mengetahui:
KETUA DEPARTEMEN
Irmansyah Rangkuti, drg., PhD ……….
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
penyertaanNya yang telah memberi kekuatan sehingga skripsi ini telah selesai
disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi.
Ucapan terima kasih yang khusus penulis berikan kepada orangtua tersayang,
N. Silalahi dan U.Sidabutar atas perhatian, kasih sayang, semangat, nasehat –
nasehat serta dukungan baik moral dan materil selama ini, terlebih selalu mendoakan
yang terbaik sehingga penulis dapat tetap berjuang dan menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga besar yang
turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terkhusus kepada Armando,Tante
Hanna dan Ika parhusib yang selalu berdoa dan memberi semangat kepada penulis.
Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat
bimbingan, pengarahan, saran – saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Prof. H. Nazruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. Irmansyah Rangkuti, drg.,Ph.D selaku dosen pembimbing dan Ketua
Departemen Periodonsia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang
telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing
3. Zulkarnain,drg.,M.Kes selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan pikiran baik dalam pendidikan dan penulisan skripsi ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
4. Dosen penguji skripsi Krisna Murthy Pasaribu, drg., Sp. Perio dan Pitu
Wulandari, drg., S.Psi., Sp. Perio atas saran dan masukan sehingga skripsi ini dapat
lebih baik.
5. Seluruh staf pengajar Departemen Periodonsia Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara.
6. Shaukat Osmani Hasbi, drg., Sp.BM selaku penasehat akademik yang telah
membimbing penulis selama menyelesaikan program akademik di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
7. Senior kak Nancy, kak Mei atas dukungan semangat dan doanya, teman –
teman angkatan 2006, Riza, Lysa, Imme, Octa, Lusi, Muktar, Dewi, Bril, Jose dan
yang lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
8. Sahabat – sahabat penulis Dosma, Jondi, Dio, Juni, Lia, Jan, Vega, David
yang selama ini tetap memberi dukungan semangat kepada penulis.
9. Manotar Siahaan atas dukungan doa, semangat dan waktunya
10. Seluruh staf pengajar di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
Akhirnya rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis, dan
mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan
pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.
Medan, Juli 2012 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...
HALAMAN PERSETUJUAN...
HALAMAN TIM PENGUJI...
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
BAB 3 MANIFESTASI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA SINDROMA DOWN 3.1 Faktor – faktor Pencetus penyakit periodontal pada Sindroma Down ……….. …………. 15
3.1.1 Faktor lokal ……… 15
3.1.1.1 Oral Hygiene dan Kalkulus……….. 15
3.1.1.2 Otot wajah dan mulut lemah……… 15
3.1.1.4 Faktor Saliva……… 16
3.1.2 Faktor sistemik ………. 16
BAB 4 PERAWATAN PENYAKIT PERIODONTAL PADA SINDROMA DOWN 4.1 Penatalaksanaan Tingkah Laku... 20
4.2 Sleep Apnea... 21
4.3 Pertimbangan Perawatan Gigi 4.3.1 Penyakit Periodontal dan masalah kesehatan rongga mulut... 21
4.3.2 Penanganan penyakit periodontal secara dini, cepat dan Inovatif... 22
4.3.3 Periontitis... 23
4.3.4 Perawatan Prostetik... 24
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN... 26
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Pemisahan kroosom pada mongoloid karena non-disjunction………. 5
2. Karakteristik permukaan telapak tangan dengan hypertelorism, batang
hidung yang pesek, lidah yg protrusi, garis simian palmar... 7
3. Gambaran telinga yang kecil,lipatan yang abnormal dan hypodonia
pada pasien sindroma Down... ... 7
4. Gambaran Lipatan simian palmar dan celah antara jari kaki... 8
5. Gambaran hunungan rahang makoklusi klas III angle dengan crossbite
posterior dan Maloklusi klas III dengan open bite anterior... 11
6. Gambaran anomali gigi mikrodonsia, peg shaped dan akar pendek... 11
7. Gambaran penyakit periodontal pada penderita sindroma Down... 14
8. Gambaran Ilustrasi skematik terjadinya penyakit periodontal oleh faktor
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Kelainan- kelainan rongga mulut pada penderita Sindroma Down………….. 10
2. Korelasi kelompok usia dengan indeks CPITN pada penderita sindroma
Down………. 13
3. Perbedaan antara tiga kelompok usia penderita sindroma Down dengan
Fakultas Kedokteran Gigi
Departemen Periodonsia
Tahun 2012
Eva Margaretha
Penyakit Periodontal Pada Penderita Sindroma Down
x + 29 halaman
Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh
ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi mental
dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti. Namun diduga risiko
memiliki anak dengan sindroma Down akan semakin meningkat dengan semakin tua
usia ibu pada saat hamil.
Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang
khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda
kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental.
Selain itu penderita sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik
seperti kelainan kardiovaskuler yang penting untuk diperhatikan dokter gigi.
Dalam bidang Periodonsia, banyak penyakit – penyakit atau kondisi sistemik
yang berkaitan dengan penyakit periodontal, diantaranya sindroma Down. Pada
umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya
penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi tingginya
prevalensi penyakit periodontal pada penderita ini yaitu faktor lokal dan faktor
anomali gigi dan jaringan gingiva, saliva dan faktor sistemik seperti respon imun
host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin
serta nutrisi.
Walaupun hingga saat ini belum ada penelitian jangka panjang tentang
keberhasilan atau kegagalan perawatan pada penderita sindroma Down, namun
penderita sindroma Down ini memerlukan perawatan yang efektif dan efisien untuk
mengatasi penyakit periodontal yang dialaminya. Ada hal –hal yang harus
diperhatikan oleh dokter gigi sebelum melakukan perawatan pada penderita Sindroma
Down seperti sleep apnea dan penanganan tingkah laku. Perawatan periodontal pada
penderita ini harus dilakukan secara dini, agresif dan inovatif. Perawatan – perawatan
yang dilakukan diantaranya adalah: perawatan preventif, terapi antimikroba dan
cangkok tulang.
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma Down merupakan trisomi (melipat tigakan) kromosom 21.1 Hal ini
disebabkan adanya kesalahan selama pembelahan sel yaitu nondisjunction. Pada
sindroma Down, 95% dari semua kasus disebabkan oleh satu sel yang memiliki dua
kromosom 21, sehingga sel telur yang dibuahi menghasil tiga kromosom 21, sehingga
sering dikenal dengan trisomi 21. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dalam kasus
ini, sekitar 90% dari sel-sel abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan
nondisjunction tidak diketahui, tetapi pasti ada hubungannya dengan usia ibu.1
Penderita sindroma Down mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap penyakit
periodontal dibandingkan penyakit karies.2,3 Hal ini merupakan keadaan dan masalah
yang sangat serius.4 Beberapa penelitian melaporkan prevalensi penyakit periodontal
berada di antara 90% dan 96% orang dewasa dengan sindroma Down.4 Penyakit
periodontal merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada penderita
sindroma Down.5 Akan tetapi orang tua cenderung lebih memperhatikan masalah
klinis, kondisi keuangan, bahkan lebih menunggu anak hingga dewasa untuk
mengatasi masalah giginya.6 Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis merasa perlu
membahas sindroma Down agar lebih memahami keterkaitan tersebut sehingga
membantu dalam penatalaksanaan terapi yang tepat
Pada bab 2 akan dibahas tentang pengenalan sindroma Down yaitu defenisi
kardiovaskular, kelainan hematoietic, kelainan mukoskeletal, kelainan saraf dan
kelainan rongga mulut.
Dalam bab 3 akan dibahas tentang faktor- faktor pencetus penyakit periodontal
pada penderita sindroma Down yang terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik
Selanjutnya pada bab 4 akan dibahas tentang perawatan penyakit periodontal
pada sindroma Down yaitu penatalaksanaan tingkah laku, sleep apnea dan
penatalaksanaan gigi pada pasien sindroma Down.
Dan akhir skripsi ini akan ditutup dengan bab 5 yang berisi kesimpulan dan
saran.
Penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan dokter
gigi mengenai sindroma Down dan keterkaitannya dengan periodonsia sehingga dapat
BAB II
SINDROMA DOWN
Pada tahun 1866 sindroma Down pertama sekali diperkenalkan oleh seorang
dokter bernama John Langdon Down yang menerbitkan sebuah karangan di Inggris
yang menggambarkan sejumlah anak-anak dengan fitur-fitur umum yang berbeda dari
anak-anak lain dengan keterbelakangan mental.1,7,8 Pada awal abad ke - 20 banyak
spekulasi mengenai penyebab terjadinya sindroma Down. Orang pertama yang
berspekulasi bahwa penyakit tersebut mungkin terjadi karena kelainan kromosom
adalah Waardenburg dan Blayer pada tahun 1930-an.1 Pada tahun 1959, Lejeune dan
Jacob menyebutkan penyebabnya yaitu trisomy ( melipat tigakan) kromosom 21.1
2.1 Definisi
Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh
ketidaknormalan kromosom, ditandai dengan keadaan fisik khas dan retardasi
mental.4,9 Sindroma Down terjadi diseluruh penjuru dunia dan diantara semua suku
bangsa.7 Sindroma Down merupakan salah satu kelainan genetik yang memiliki
prevalensi 1:800 kelahiran.1,7
2.2 Etiologi
Kromosom adalah struktur benang DNA dan protein lain yang ada disetiap sel
tubuh dan membawa informasi genetik yang diperlukan sel untuk berkembang. Sel
manusia normal memiliki 46 kromosom tersusun dalam 23 pasang.1,3 Sel manusia
merupakan pembelahan satu sel menjadi dua sel, mempunyai jumlah yang sama dan
jenis kromosom sebagai sel induk. Kedua adalah pembelahan sel terjadi pada
ovarium dan testis yaitu miosis dimana sel membelah menjadi dua, sel-sel yang
dihasilkan memiliki setengah jumlah kromosom dari sel induk. Sel telur normal dan
sel-sel sperma hanya memiliki 23 kromosom, bukan 46. Banyak kesalahan dapat
terjadi selama proses pembelahan sel. Miosis yang seharusnya berpisah disebut
disjungsi. Namun kadang-kadang satu pasang tidak membagi. Hal ini berarti bahwa
dalam sel-sel yang dihasilkan seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain
akan memiliki 22 kromosom. Kelainan ini disebut nondisjunction. Jika sel sperma
atau sel telur dengan jumlah kromosom abnormal menyatu dengan pasangan yang
normal, makan sel telur yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom abnormal.
Dari 95% kasus sindroma Down disebabkan oleh satu sel memiliki dua kromosom
21, sehingga sel telur yang dihasilkan memiliki tiga kromosom 21. Oleh karena itu
nama ilmiahnya disebut trisomy 21. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 90% dari
sel-sel abnormal adalah sel telur. Penyebab kesalahan nondisjunction belum
diketahui, tetapi diduga ada hubungannya dengan usia ibu.1,3
Faktor- faktor yang memegang peranan terjadinya kelainan kromosom adalah:
(1) Usia ibu biasanya pada usia lebih dari 30 tahun, mungkin karena suatu
ketidakseimbangan hormonal, sedangkan usia ayah tidak berpengaruh, (2) kelainan
kehamilan, (3) Kelainan endokrin pada usia ibu dapat menyebabkan terjadi infiltrasi
Gambar 1. Kariotipe anak laki-laki dengan trisomy 21.( Len Leshin,MD,FAAP.
Trisomy 21: The story of Down Syndrome, 2003: 2)
Ada tiga tipe sindroma Down, meskipun dianggap bahwa tidak ada perbedaan
secara klinis dalam tiga genotipe. Ketiga bentuk tersebut adalah: (1) Trisomi 21
(94%) memiliki kromosom 21 tambahan dalam setiap sel tubuhnya kondisi ini
disebut Trisomi 21 dan merupakan bentuk sindroma Down yang paling sering
ditemuka n. (2) Translokasi (5%) terjadi jika bagian ujung kromosom 21 dan
kromosom yang lain patah, dan bagian yang tersisa saling bersatu pada bagian yang
patah tersebut. Proses bersatunya salah satu kromosom pada kromosom yang lain
disebut translokasi. Translokasi yang paling sering terjadi yaitu kromosom 14 dengan
kromosom 21. (3) Mosaikisme (1 %) anak – anak dengan sindroma Down memiliki
tambahan pada seluruh bagian kromosom 21,sedangkan sel yang lain dalam keadaan
2.3 Gambaran Klinis Secara Umum
Gambaran Klinis penderita sindroma Down sangat mirip antara satu orang
dengan lainya.Terjadinya Retardasi mental akan sangat menonjol selain terjadinya
retardasi dalam pertumbuhan (jasmani). Penderita berbicara dengan kalimat- kalimat
sederhana, dan biasanya sangat tertarik dengan musik dan kelihatan sangat gembira.10
Wajah anak sangat khas, ditandai dengan kepala agak kecil, muka lebar, tulang
pipi tinggi, hidung pesek, mata letaknya berjauhan antara satu dengan yang lainnya,
serta sipit miring keatas dan samping seperti mongolia, iris menunjukan
bercak-bercak. Selain itu, lipatan epikantus sangat jelas serta telinga agak aneh, baik letak
maupun ukurannya, bibir tebal dan lidah besar, kasar bercelah – celah. Pertumbuhan
gigi juga sangat terganggu. Kulit halus dan longgar namun warna normal. Di leher
ditemukan lipatan- lipatan yang berlebihan.10
Pada jari tangan tampak kelingking yang pendek dan membengkok ke dalam.
Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan tulang palang tengah dan distal
rudimenter. Jarak antara jari I dan II baik kaki maupun tangan agak lebar. Gambaran
telapak tangan tidak normal yaitu terdapat gambaran garis melintang. Otot hipotonik
dan pergerakan sendi-sendi berlebihan.10
Gambar 2. Karakteristik permukaan telapak tangan dengan hypertelorism, batang hidung yang pesek, lidah yg protrusi, satu garis simian palmar pada anak perempuan Sindroma Down umur 2 tahun (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 2)
Gambar a Gambar b
Gambar 3. (a) Telinga yang kecil dan lipatan yang abnormal pada pasien sindroma Down (b)
a b
Gambar 4: (a) Lipatan simian palmar pada pasien Sindroma Down. (b) Celah antara jari kaki yg pertama dengan jari kaki kedua pada pasien Sindroma Down (L.Dourmishev, MD,PhD,DSc :Down Syndrome.2009: 3)
2.4 Kelainan – Kelainan Sistemik
2.4.1 Kardiovaskular
Sekitar 40% bayi baru lahir yang menderita sindroma Down mengalami cacat
jantung bawaan seperti defek septum ventrikuli, defek septum arteri. Kelainan
jantung bawaan ini dapat dikoreksi dengan operasi pada waktu bayi.5,12,13 Selain itu,
prevalensi dari mitral valve prolapse 5%-10% lebih tinggi pada penderita sindroma
Down.6,12 Kelainan pada jaringan ikat (collagen defect) mungkin menjadi penyebab
tingginya insiden mitral valve prolapse pada penderita sindroma Down. Kebutuhan
2.4.2 Hematopoietic
Pada penderita sindroma Down dijumpai kelainan – kelainan peningkatan risiko
leukemia, risiko sebagai karier hepatitis B, neutrofil dan leukosit yang tidak
sempurna dan berumur pendek, risiko lymphopenia, risiko eosinopenia dan bentuk
serum immunoglobulin yang tidak seperti biasa.12
2.4.3 Muskoskeletal
Pada penderita sindroma Down dijumpai adanya ketidakstabilan atlantoaxial.
Hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang yang irreversibel.12
Jika penderita mempunyai riwayat atlantoaxial, dokter gigi harus berhati-hati ketika
bekerja di daerah leher. Meskipun risiko terjadinya kerusakan pada saraf tulang
belakang selama pemberian anastesi umum sangat kecil, ahli anastesi dan timnya
harus hati-hati terhadap kemungkinan yang akan terjadi.7 Pada penderita sindroma
Down juga dijumpai penyempitan saluran pernafasan dihidung dan sebagian
terhambat akibat deviasi septal dan penebalan mukosa. Hal ini sering menimbulkan
pernafasan melalui mulut. Mulut sering terbuka dengan lidah yang terdorong diantara
bibir.12
2.4.4 Sistem saraf
Fungsi motorik biasanya lebih lambat pada pasien yang lebih muda dan
koordinasi yang terbatas.7 Namun koordinasi dapat meningkat sesuai umur. Selain itu
pada penderita sindroma Down juga dijumpai demensia dan gangguan dalam bicara.
Pada penderita sindroma Down, pengucapan lebih lambat dibandingkan dengan
penerimaan bahasa. Hal ini dihubungkan dengan keterbelakangan mental, masalah
saliva yang berlebihan, kering dan tebalnya membran mukosa dan hipotonia otot
yang menyeluruh.12
2.4.5 Rongga mulut
Keadaan rongga mulut pada pasien dengan sindroma Down adalah seperti yang
tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Keadaan rongga mulut pada penderita sindroma Down (Dessai SS. Down Syndrome:A rewiew of the literature. J. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radigraphy dan Endodontics, 1997: 11)
Area Kondisi
Palatum "Stair palate" dengan bentuk "v" pada langit-langitnya
Palatum lunak yang tidak sempurna
Lidah Bentuk scallop dan berfissured
Protrusi dan lidah yang terdorong (karena rongga mulut yang kecil)
Makroglossia (karena kavitas rongga mulut yang kecil)
Lidah yang kering (karena bernafas dari mulut)
Dental Mikrodonsia
Hypodonsia
Hypoplasia dan hypocalcification
Resiko karies gigi yang tinggi Erupsi yang terlambat
Periodontal Peningkatan resiko penyakit periodontal
Oklusi Malalignment
Frequent malocclusions
Frequent temporomandibular joint dysfunction Platybsia
Gambar 5.Hubungan rahang pada penderita sindroma Down A. Maloklusi klas III Angle dengan crossbite posterior. B. Maloklusi klas III dengan open bite anterior.( Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down Syndrome. 2011: 63)
BAB III
MANIFESTASI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PENDERITA
SINDROMA DOWN
Penyakit periodontal merupakan masalah rongga mulut yang paling utama pada
penderita sindroma Down.5 Hal ini merupakan keadaan dan masalah yang sangat
serius dibandingkan dengan karies gigi.4 Periodontitis merupakan keadaan yang
sering dijumpai dan secara umum dapat menyebabkan kehilangan gigi.14 Prevalensi
dan tingkat keparahan penyakit sudah lama diketahui.13 Insiden penyakit periodontal
ditemukan 90%-96%.8 Hal ini terlihat dengan adanya kehilangan tulang alveolar pada
anak berusia 6- 16 tahun.8 Peningkatan insiden penyakit periodontal tidak hanya
disebabkan oleh penumpukan plak, melainkan adanya hubungan langsung dengan
penurunan respon immunoglobin dan inflamasi terhadap penyakit penderita ini.8
Penderita Sindroma Down yang terkait dengan keterbelakangan mental dan
perubahan sistemik dicirikan dengan periodontitis agresif generalisata dengan adanya
destruksi jaringan pendukung dan kehilangan gigi pada usia dini.14 Delapan persen
anak –anak dengan Sindroma Down menderita lesi periodontal pada usia 12 tahun.14
Prevalensi penyakit periodontal pada penderita Sindrom Down ini berkisar
60%-100% pada usia 30 tahun.14 Mekanisme yang mendasari penyakit periodontal pada
penderita sindroma Down dicirikan oleh perubahan jaringan ikat karena kelainan
pada tingkat ini menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap inflamasi periodontal
Tabel 2. Korelasi kelompok usia dengan indeks CPITN pada penderita sindroma Down (Sabila N. Kebutuhan perawatan periodontal pada penderita
sindroma down di kota medan. Skripsi. Medan, Sumatera Utara :
Univesitas Sumatera Utara, 2012 :35)
Variabel Total P
Keterangan : uji T ; p<0,05 = bermakna
Tabel 3. Perbedaan antara tiga kelompok usia penderita sindroma Down dengan indeks CPITN (Bagić I, Verzak Z, Ćavka SC dkk. Periodontal conditions in individuals with down’s syndrome. Coll Antropol 2003; 27: 78)
Rerata jumlah sektan dengan Indeks CPITN
Subjek usia N
Tidak terkena penyakit periodontal
Perdarahan kalkulus Saku dangkal
Keterangan: * p<0,05 ; ** p<0,02 ; ***p<0,01
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Namira menunjukkan bahwa
tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kelompok usia 13-17 tahun dan
indeks CPITN (p>0,05). Namun pada korelasi kebutuhan perawatan periodontal
dengan kelompok usia 13-17 tahun dengan usia >23 tahun dan antara kelompok usia
18-22 tahun dengan usia > 23 tahun menunjukkan korelasi yang bermakna (p<0,05).
Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bagic dkk
yang menunjukkan bahwa skor kebutuhan perawatan periodontal makin besar seiring
dengan bertambahnya usia.4
Gambar 7. Penyakit Periodontal pada penderita Sindroma Down. A. Gingivitis pada lengkung rahang bawah, dan kehilangan Insisivus lateral atas dan semua Insisivus bawah. B. Periodontitis pada Penderita sindroma Down Dewasa. (Cheng RHW, Yiu CKY, Leung WK. Oral Health in in Individuals with Down Syndrome. 2011: 67)
Tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita Sindroma Down
3.1 Faktor- faktor Pencetus Penyakit Periodontal pada penderita Sindroma
Down
3.1.1 Faktor lokal
Ada beberapa faktor lokal yang menjadi pemicu tingginya prevalensi
periodontal pada penderita sindroma down, diantaranya adalah
3.1.1.1 Oral hygiene dan kalkulus
Oral hygiene yang inadekuat sangat berhubungan dengan peningkatan plak dan
secara langsung berkaitan dengan berkurangnya respon immunologi terhadap infeksi
dan inflamasi.8 Agen penyebab penyakit periodontal pada Sindroma Down adalah
plak bakteri. Hal ini dapat menginduksi jaringan secara progresif. 13
3.1.1.2 Otot wajah dan mulut lemah
Anak dengan sindroma Down tidak hanya menyebabkan lemahnya otot-otot
lengan dan kaki tetapi juga pada otot leher, wajah dan mulut. Hal ini menyebabkan
rongga mulut tidak dapat berfungsi dengan maksimal termaksud: (1) Kesulitan saat
menyusui, (2) Adanya rasa tidak nyaman saat makan dan mengunyah makanan, (3)
Kehilangan nafsu makan, (4) sulit memakan makanan yang bertekstur.15
3.1.1.3 Anormali gigi dan jaringan gingiva
Anomali gigi meliputi microdontia, hypodontia, partial anodontia,
supernumerary teeth, diastema, taurodontism, crown variants, agenesis, hypoplasia
dan hypocalcification, serta erupsi yang terlambat12. Erupsi gigi yang terlambat dapat
open bite dan crossbite serta adanya variasi morfologi mahkota yang lebih pendek
dan kecil.13,16
Anomali jaringan pendukung dan gigi terjadi pada usia dini. Delapan persen
anak penderita Sindroma Down menderita periodontitis pada usia 12 tahun, berbeda
dengan kebanyakan anak pada umumnya yang hanya 0.5%. Prevalensi penyakit
periodontal pada penderita sindroma Down yang berada pada usia dibawah 30 tahun
berkisar 9, 15 %12 selain itu dapat juga terjadi ANUG (Acute Necrotizing Ulcerative
Gingivitis).13
3.1.1.4 Faktor Saliva
Chaushu melaporkan bahwa adanya imunitas oral yang lemah pada penderita
sindroma Down dengan immunoglobulin IgA dan rerata sekresi IgG dari kelenjar
parotid hanya mencapai 13% dan 25%.17 Pada dasarnya aliran saliva dan buffering
saliva sangat penting, akan tetapi pada penderita sindroma Down aliran saliva
menjadi berkurang sehingga menyebabkan serostomia (mulut kering).13
3.1.2 Faktor Sistemik
Penyakit periodontal pada penderita sindroma Down tidak hanya disebabkan
oleh keberadaan plak bakteri tetapi dengan adanya faktor sistemik sebagai
predisposisi terhadap peningkatan kerusakan periodontal. Perkembangan dari
penyakit periodontal pada Sindroma Down akan lebih meningkat jika dipengaruhi
oleh respon imun host, integritas jaringan, mediator inflamatori, enzim proteolitik
sistemik yaitu respon fagositik dan kemotastik, perubahan metabolisme oksidasi yang
berhubungan dengan kromoson 21 dan adhesi molekul sel pada gen kromoson 21.18
Menurut Izumi dkk, penderita sindroma Down menunjukan penurunan
kemotaksis yang signifikan dibanding orang yang sehat pada umumnya. Yavuzyilmaz
menyatakan bahwa penderita sindroma Down akan mangalami penurunan neutrofil.
Hal ini juga dinyatakan oleh Zaldivar dan Chiapa bahwa terjadi peningkatan
neutrofil, aktifitas fagositik dan produksi anion superoksida. Selain karena infeksi
bakteri, penyakit periodontal juga disebabkan oleh perubahan immunitas sebagai
alasan primer pada penderita Sindroma Down. Dengan menurunnya immunitas pada
individu Sindroma Down dapat mempermudah virulensi microbial periodontopathic,
sehingga terjadi kolonisasi plak subgingiva. Ketika hal ini terjadi, akan menginduksi
reaksi inflamasi pada jaringan gingiva. Peningkatan inflamasi gingiva pada jaringan
gingiva akan menurunkan produksi enzim dan mengubah remodeling tulang. Sebagai
hasil akhir dari inflamasi tersebut menyebabkan kehilangan dan kerusakan
periodonsium atau bahkan kehilangan gigi.18
Kuster dkk melaporkan bahwa penderita sindroma Down terkait erat dengan
disfungsi imun dari hasil penelitiannya diamati adanya komponen berbeda dari
system imun dalam kaitanya dengan periodontitis terutama pada fungsi netrofil,
reaksi imun selular gingival dan produksi antibody terhadap bekteri periontopatik.
Sohoel melaporkan adanya peningkatan antigen HLA1 yang memegang peranan
penting dalam pengaturan imun saat terjadi Chronic Marginal Periodontitis( CMP)
pada penderita sindroma Down. Santoes melaporkan penyebaran antibody terhadap
pasien normal yang menjelaskan bahwa tujuh penderita sindroma Down dengan
periodontitis memiliki kedalam saku > 4, lima penderita sidroma Down dengan
gingivitis ≤ 3dan pada pasien normal mengalami pendarahan. Berdasarkan laporan
diatas terlihat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol dan penderita
sindroma Down (p= 0,05), kelompok penderita sindroma Down dengan periodontitis
mengalami reaksi yang sangat tinggi disusul oleh kelompok sindroma Down dengan
gingivitis dan kelompok kontrol.18
Barr dan Agholme melaporkan bahwa jumlah prostaglandin E2 (PGE2) dan
interleukin - 1β (IL- 1β) pada aliran Gingiva Crevicular Fluid (GCF) secara signifikan
lebih tinggi pada penderita sindroma Down dibandingkan dengan pasien normal. Hal
ini menimbulkan perubahan dalam metabolisme asam archidonik pada penderita
sindroma Down.18
Yamazaki dan Kubota melaporkan jumlah tentang jumlah matrix
metalloproteinase-2 (MMP-2) dan matrix metalloproteinase-8 (MMP-8) pada
gingival crevicular fluid (GCF) dan bakteri periodontopatik pada plak subgingival.
Sampel GCF dan plak diperoleh dari insisivus sentralis. Jumlah MMPs dievaluasi
berdasarkan enzim yang terkait imunitas dan bakteri periodontopatik dideteksi
berdasarkan reaksi rantai polymerase. Jumlah MMP-2 dan MMP-8 pada penderita
Gambar 8: Ilustrasi skematik terjadinya penyakit periodontal oleh faktor sistemik (Ahmed Khocht: Down Syndrome and Periodontal Disease, Temple University school of Dentistry United States.2012: 219 )
Gambar tersebut menunjukkan penurunan aliran saliva dan hubungan
penurunan produksi antibodi saliva. Neutrofil dengan kemotaksis yang tidak
sempurna tidak dapat mencapai target patogen. Terjadi kolonisasi awal dari
dentogingiva. Jaringan marginal gingiva diinfiltrasi oleh sel imun seperti makrofag
dan limposit. Antigen menunjukan sel yang yang mulai aktif. Makrofag dan sel
gingiva akan menurunkan produksi enzim, degradasi kolagen serta kerusakan
jaringan, pelepasan prostaglandin, peningkatan osteoklas dan kehilangan tulang
BAB IV
PERAWATAN PENYAKIT PERIODONTAL PADA SINDROM DOWN
Perawatan dental pada penderita sindroma Down sebaiknya diberi perlakuan
yang sama dengan pasien normal lainnya. Rencana perawatan perlu disesuaikan pada
kondisi individu sehingga memberi perawatan yang komprehensif.6
4.1 Penatalaksanaan Tingkah laku
Penanganan dental pada penderita sindroma Down dapat ditemukan pada usia
dini. Akan tetapi orang tua cenderung lebih memperhatikan masalah klinis, kondisi
keuangan, bahkan lebih menunggu anak hingga dewasa untuk mengatasi masalah
kesehatan giginya. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengajarkan perawatan gigi
dan mulut yang tepat dirumah dan sulitnya mengembangkan sikap kooperatif anak
pada perawatan gigi. Hal terpenting untuk mendapatkan hubungan kooperatif dengan
penderita Sindroma Down adalah dengan menentukan tingkat komunikasi yang tepat.
Dalam hal ini keluarga pasien dapat memberitahu dokter gigi seperti apa komunikasi
yang sesuai dengan anak. Akan tetapi lebih baik jika dokter gigi dapat berkomunikasi
langsung dengan pasien sekaligus membangun kepercayaan pasien. Hal ini lebih
menguntungkan bagi orang tua pada awal kunjungan perawatan, sekaligus
menanamkan sikap menjaga kebersihan rongga mulut bagi pasien6
Penetapan jadwal kunjungan pada anak sebaiknya dilakukan dipagi hari dimana
baik pasien dan operator dalam kondisi lebih prima atau sehat. Kunjungan pertama
lebih lama dari biasanya. Sebaiknya dokter gigi terlebih dahulu mengetahui riwayat
medis pasien untuk memungkinkan adanya konsultasi medis jika diperlukan.6
4.2 Sleep Apnea
Pada penderita Sindroma Down hal penting dan perlu diketahui dokter gigi
adalah kemungkinan terjadi sleep apnea, seperti dilaporkan oleh Stebbens bahwa
insiden obstruksi pernafasan atas sebesar 31 % pada anak penderita sindroma Down.
Gejala obstruktif sleep apnea adalah mendengkur, tidur gelisah dan posisi tidur yang
tidak biasa. Jika keluarga pasien melaporkan gejala- gejala tersebut maka
diindikasikan sebagai gangguan tidur secara klinis. Penanganan dapat dilakukan
dengan reposisi pesawat oklusal, pernafasan buatan dengan atau tanpa tindakan
bedah.6
4.3 Pertimbangan Perawatan Gigi
Dokter gigi harus menggunakan pendekatan inovatif untuk perawatan gigi pada
pasien sindroma Down berdasarkan data yang disediakan sebelumnya8
4.3.1 Masalah penyakit periodontal dan kesehatan rongga mulut
Adanya dokumentasi awal tentang perkembangan penyakit periodontal
terutama kehilangan tulang alveolar dan terbentuknya poket merupakan hal yang
penting, sehingga kebanyakan dokter gigi lebih memahami informasi tentang
timbulnya penyakit periodontal dan kemajuan pada usia dini (6-16). Namun saat
melakukan ekstraksi gigi permanen pada anak sindroma Down yang berusia 18 tahun
telah ditemukan kehilangan tulang, sehingga catatan perkembangan penyakit dan
mengenai keterbatasan perawatan gigi dalam mencegah kehilangan gigi juga
merupakan hal yang penting. Saat ini orang tua maupun pengasuh memiliki tanggung
jawab untuk memperhatikan kebersihan rongga mulut dan jaringan pendukung gigi.8
4.3.2 Penanganan penyakit periodontal secara dini, cepat dan inovatif
Seorang dokter gigi seharusnya memberikan pendekatan penanganan secara
aktual atau mengantisipasi masalah periodontal pada penderita sindroma Down
seperti halnya pendekatan penanganan pada pasien AIDS. Berikut ini merupakan
beberapa contoh penanganan dini , cepat dan inovatif.
Topikal antimikrobial seperti Peridex dan Listerine diindikasikan sebagai
penanganan jangka panjang. Hal ini membantu pasien untuk membersihkan dan
mengurangi mikroba. Cara penggunaannya dengan gel atau spray.8
Antimikroba sistemik seperti tetrasiklin. Pada umumnya terapi tetrasiklin dalam
jangka panjang (10-30 tahun) dilakukan pada bidang dermatologi. ADA (American
Dental Association ) menyatakan antibiotik jangka panjang pada kedokteran gigi
tergantung pengalaman dan pemakaiannya terbatas bagi dokter gigi.8
Terapi periodontal preventif dini meliputi perluasan vestibular dan frenektomi
harus dipertimbangkan. Kebanyakan masalah dikarenakan adanya imun dan respon
host yang berubah sehingga kurangnya kesuksesan dalam terapi periodontal.
Penelitian jangka panjang menyatakan kesuksesan atau kegagalan berbagai terapi
seharusnya tidak diharapkan dalam jangka waktu yang pendek. Oleh karena itu
dokter gigi harus terlebih dahulu berkonsultasi dengan orang tua pasien mengenai
hasil akhir dan alasan yang dapat diterima pada penangan secara bedah. Dalam hal ini
membutuhkan jangka panjang sehingga harus diikuti dengan penggunaan antibiotika
walaupun dalam prosedur bedah minor. 8
Dokter gigi harus melakukan terapi dini dan agresif terhadap kondisi ANUG
(Acute Necrotizing Ulcerative Gingivitis) atau kerusakan papila pada penyakit
periodontal. Dalam mempertahankan gigi desidui yang diikuti dengan ANUG (Acute
Necrotizing Ulcerative Gingivitis) dan penyakit periodontal, sebaiknya diberikan
perhatian yang lebih khusus dalm mengekstraksi gigi desidui. Selain itu perlu
diperhatikan adanya seleksi ekstraksi yang tepat dari gigi desidui atau permanen atau
enamelloplasti radikal dengan tujuan menghasilkan diastema interdental pada gigi
berjejal.8
Penggunaan cangkok tulang atau bone replacement (hidroksiapatit) saat ini
merupakan perawatan alternatif. Penyelarasan oklusal secara radikal dan agresif
dilakukan untuk mengurangi hambatan oklusal dan mendapatkan rasio mahkota akar
yang sesuai. Dataran oklusi yang datar dapat memberi hasil yang lebih baik pada
penderitasindroma Down pada maloklusi klass III dan crossbite posterior. Tindakan
ortodontik secara dini dengan memperluas palatum serta mengoreksi crossbite dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Restorasi pada bentuk gigi peg shape dapat
dilakukan dengan restorasi komposit.8
4.3.3 Periodontitis
Shapira dan Sakellari melaporkan bahwa kebutuhan perawatan pada penderita
sindroma Down lebih tinggi dibandingkan orang normal. Cichon melaporkan bahwa
tidak ada perkembangan secara klinis maupun microbial setelah dilakukan skeling,
kunjungan pertama. Terapi periodontal standar konvensional tidak dapat
menghilangkan patogen periodontal dan bahkan tidak berpengaruh pada bakteri
subgingiva. Sakellari menyarankan untuk melakukan kunjungan sekali dalam tiga
bulan untuk mengontrol plak supragingiva. Yoshihara juga menganjurkan
melakukan perawatan preventif secara berkala untuk menekan perkembangan
penyakit periodontal. Cheng melaporkan respon penyembuhan yang memuaskan
pada 21 penderita sindroma down setelah dilakukan terapi periodontal mekanis non
bedah, dan menganjurkan menggunakan pasta gigi dan obat kumur chrorhexidine
sehari dua kali. Berdasarkan beberapa penelitian diatas terlihat bahwa terapi
periodontal konvensional seperti instruksi menjaga kebersiahan rongga mulut,
skaling dan debridement akar tidak dapat menjamin penyembuhan gingiva yang
baik. Namun tidak ada standar perawatan periodontal dan bukti yang kuat
diindikasikan untuk menangani penyakit periodontal pada penderita sindroma down.
Modifikasi terapi periodontal yang sesuai seperti terapi periodontal non bedah
dengan penggunaan obat kumur dan melakukan kunjungan berkala akan lebih baik
kedepannya.19
4.3.4 Perawatan Prostetik
Pemilihan perawatan prostetik seperti gigi tiruan cekat, lepasan dan penuh
sangat terbatas pada penderita sindroma Down dikarenakan adanya penyakit
periodontal, mobiliti gigi, retensi yang kurang , hubungan rahang klas III dan pasien
tidak koperatif. Sinus maksilaris yang kecil pada beberapa penderita sindroma
Down dapat digunakan untuk teknologi implan, namun masalah respon host dan
penting dijelaskan secara keseluruhan kepada orang tua maupun wali pada saat
melakukan rencana perawatan.8
Gambar.9 Gambaran klinis rehabilisasi gigi dengan bedah implan A. Implan pada dinding tulang. B
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KESIMPULAN
Sindroma Down merupakan penyakit kongenital yang disebabkan oleh
ketidaknormalan kromosom yang ditandai dengan keadaan fisik yang khas dan
retardasi mental dengan faktor etiologi yang belum diketahui secara pasti, namun
diduga risiko memiliki anak dengan Sindroma Down akan semakin meningkat
dengan semakin tua usia ibu pada saat hamil.
Penderita sindroma Down pada umumnya mempunyai gambaran klinis yang
khas, sangat mirip antara satu orang dengan lainnya disamping itu terlihat tanda
kelainan klinis neurologik antara lain berupa hipotonia otot dan retardasi mental.
Selain itu penderita Sindroma Down juga mempunyai beberapa kelainan sistemik
seperti kelainan kardiovaskuler.
Pada umumnya penderita sindroma Down mempunyai risiko yang tinggi untuk
terjadinya penyakit periodontal. Ada dua faktor pencetus yang mempengaruhi
tingginya prevalensi penyakit periodontal pada penderita sindroma Down yaitu faktor
lokal seperti: oral hygiene, kalkulus, fungsi oral, anomali gigi dan jaringan gingiva,
faktor saliva dan faktor sistemik, respon imun host, integritas jaringan, mediator
inflamatori, enzim proteolitik dan faktor endokrin serta nutrisi.
Rencana perawatan meliputi penatalaksanaan tingkah laku, sleep apnea dan
pertimbangan perawatan gigi. Perawatan periodontal pada penderita sindroma Down
dilakukan pada penderita sindroma Down ini antaranya adalah perawatan preventif,
pemberian antimikroba baik secara topikal maupun sistemik, skeling dan melakukan
kunjungan berkala ke dokter gigi.
5.2 SARAN
Meskipun pada dasarnya perawatan terhadap penderita sindrom Down tidak
berbeda dengan perawatan terhadap individu normal, namun seorang dokter gigi yang
merawat penderita ini harus dapat memperlihatkan kemampuannya baik dalam
penanggulangan tingkah laku maupun ketrampilan khusus dalam perawatan gigi dan
mulutnya. Sehubungan dengan retardasi mentalnya, cara pendekatan terhadap pasien
ini di perlukan kehangatan, rasa persahabatan dan kesabaran.
Orang tua penderita sindroma Down sebaiknya diberikan pengetahuan tentang
pentingnya menjaga kesehatan rongga mulut, dan dianjurkan melakukan kunjungan