T E S I S
OLEH:
ADELINA HERNAWATY GULTOM
047011002 / M.Kn.
S
E K O L AH P
A
S C
A S A R JA
NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PEMRASARAN : ADELINA HERNAWATY GULTOM
NIM : 047011002
PROGRAM STUDI : Magister Kenotariatan (M.Kn)
JUDUL TESIS : KAJIAN YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN
PENGELOLAAN JAMINAN UTANG KEBENDAAN MILIK NASABAH DEBITUR/PENJAMIN UTANG DALAM KAITANNYA DENGAN SISTEM PENGURUSAN PIUTANG NEGARA (Penelitian Pada PUPN dan KP2LN Medan)
PEMBIMBING : 1. DR. S. Mantayborbir, S.H.,M.Hum.
2. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum. 3. Syahril Sofyan, S.H.,Sp.N., M.Kn.
HARI / TANGGAL :
PUKUL :
TEMPAT : Ruang Sidang Sekolah Pascasarjana USU
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGELOLAAN JAMINAN UTANG KEBENDAAN MILIK NASABAH DEBITUR/PENJAMIN UTANG DALAM KAITANNYA DENGAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA (Penelitian Pada PUPN dan KP2LN Medan).
Nama : ADELINA HERNAWATY GULTOM, S.H.
NIM : 047011002
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Soleman Mantayborbir, S.H.,M.H. Ketua
Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H.,M.Hum Anggota
Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn. Anggota
Mengetahui:
Ketua Program Magister Kenotariatan
Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Adelina Hernawaty Gultom 1) S. Mantayborbir 2)
Runtung Sitepu 3) Syahril Sofyan 4)
INTISARI
Suatu kredit akan diberikan baru setelah ada suatu kesepakatan tertulis, walaupun mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana antara pihak kreditur sebagai pemberi kredit dengan pihak nasabah debitur sebagai penerima kredit. Kesepakatan akan persetujuan tertulis ini sering disebut dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit harus didukung dengan jaminan atau agunan hutang yang memadai, dan dengan adanya jaminan hutang ini merupakan upaya preventif bagi bank dimana apabila nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi di kemudian hari maka bank dapat mengeksekusi jaminan/agunan hutang untuk membayar hutang oleh nasabah debitur. Sehingga perlu dikaji tentang pelaksanaan pengelolaan terhadap benda jaminan hutang milik nasabah debitur/penjamin hutang dalam kaitannya dengan pengurusan piutang negara, hambatan yang ditemui dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan terhadap benda jaminan hutang milik nasabah debitur/penjamin hutang.
Untuk mengkaji permasalahan di atas dilakukan penelitian pada PUPN dan KP2LN Medan dengan sifat penelitian deskriptif analitis dengan metode pendekatan
yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pelaksanaan pengelolaan benda jaminan milik nasabah debitur pada KP2LN dengan melakukan pengelolaan terhadap dokumen maupun fisik jaminan hutang. Pengelolaan jaminan hutang meliputi tindakan hukum, menerima, mencatat, menyimpan, memelihara dan mengeluarkan dokumen. Pencatatan dapat dilakukan secara sistematis dan diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis jaminan hutang. Pengelolaan jaminan hutang dilakukan dengan menginventarisasi seluruh jaminan hutang serta mencatat proses pengurusan yang terkait dengan jaminan hutang. Pengamanan terhadap jaminan hutang dilakukan dengan cara melakukan pemblokiran kepada instansi yang terkait dan berwenang,
1)
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2)
Dosen Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
3)
Dosen Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
4)
yakni mengenai jangka waktu berlakunya dokumen kepemilikan, seperti Sertipikat hak Guna Bangunan (HGB) dan sertipikat Hak pakai (HP) dan bukti kepemilikan atas dokumen lainnya. Dan dalam rangka pendayagunaan Barang Jaminan, dapat dilakukan sewa menyewa yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang. Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa. Hambatan dalam pelaksanaan pengelolaan dan penataan terhadap jaminan hutang milik nasabah debitur/penanggung hutang/penjamin hutang ditemui adanya barang jaminan tidak laku terjual, disebabkan: tidak ada peminat atau keinginan masyarakat pembeli eksekusi lelang berkurang, harga taksasi maupun harga limit terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan nilai/harga atas jaminan hutang tersebut di lapangan terutama kondisi riel, jaminan hutang nasabah debitur letaknya tidak marketable, jaminan hutang letaknya berdekatan dengan rumah ibadah, jaminan hutang telah dirusak dan hilang karena tindakan dan perbuatan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, jaminan hutang telah musnah karena terbakar, jaminan hutang letaknya sangat dekat dengan kali/sungai, jaminan hutang letaknya rendah dan digenangi air setiap saat. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi jaminan hutang kebendaan yang tidak laku terjual dalam kaitannya dengan pelaksanaan pengelolaan dan penataan barang jaminan hutang milik nasabah debitur di KP2LN Medan dapat dilakukan tindakan hukum dengan cara melakukan pelelangan ulang dan penebusan dengan nilai di bawah pengikatan.
Disarankan kepada penyerah piutang/kreditur (bank) agar benar-benar sangat selektif di dalam memberikan suatu fasilitas kredit kepada nasabah debitur, dan kepada PUPN/KP2LN agar melakukan sosialisasi dengan instansi terkait lainnya yang terlibat di dalam pengurusan piutang negara, terutama Kantor Pertanahan (BPN) mengenai pengikatan jaminan hutang kebendaan, dokumen persyaratan eksekusi lelang lainnya harus mendapat prioritas utama untuk dipenuhi, terutama SKT dan SKPT agar diterbitkan sebelum eksekusi lelang, sehingga pelaksanaan eksekusi lelang terhadap jaminan hutang kebendaan tidak mengakibatkan tidak laku terjual.
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBARAN PENGESAHAN ... ii
LEMBARAN PENGUJI ... iii
INTISARI ... iv
ABSTRACT... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Keaslian Penelitian ... 6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit ... 7
B. Tinjauan Umum Tentang Kredit ... 19
C. Tinjauan Umum Tentang Sistem Hukum Pengurusan Piutang Negara ... 40
B. Sifat Penelitian ... 70
C. Lokasi Penelitian ... 71
D. Teknik Pengumpulan Data ... 71
E. Alat Pengumpulan Data ... 72
F. Analisis Data ... 72
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 74
A. Lokasi Penelitian PUPN dan KP2LN Medan ... 75
B. Pelaksanaan Pengelolaan Terhadap Barang Jaminan Hutang... 75
C. Hambatan-hambatan Yang Ditemui Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Terhadap Barang Jaminan Hutang Milik Nasabah Debitur/Penjamin Hutang Dalam Kaitannya Dengan Pengurusan Piutang Negara ... 110
D. Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengatasi Hambatan- Yang Ditemui Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Terhadap Barang Jaminan Hutang Milik Nasabah Debitur/Penjamin Hutang Dalam Kaitannya Dengan Pengurusan Piutang Negara ... 116
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 121
Tabel 2. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara
Lelang pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ... 82
Tabel 3. Contoh Kasus Debitur Yang Barang Jaminannya Telah Diselesaikan Melalui Lelang Pada KP2LN Medan Tahun 2004
s/d 2006 ... 83
Tabel 4. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara
Penebusan Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ... 89
Tabel 5. Debitur Yang Barang Jaminannya Yang Telah Diselesaikan
Melalui Penebusan Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006. 90
Tabel 6. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara Penjualan Dibawah Tangan pada KP2LN Medan Tahun 2004
s/d 2006 ... 92
Tabel 7. Debitur Yang Barang Jaminannya Yang Telah Diselesaikan Dengan Cara Penjualan Dibawah Tangan Pada KP2LN Medan
Tahun 2004 s/d 2006... 93
Tabel 8. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara
Pemblokiran pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ... 98
Tabel 9. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara
Penyitaan pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006... 101
Tabel 10. Kasus Debitur Yang Barang Jaminannya Telah Diselesaikan
Melalui Penyitaan Pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 . 102
Tabel 11. Barang Jaminan Yang Telah Selesai Pengurusannya Secara
SPPBS pada KP2LN Medan Tahun 2004 s/d 2006 ... 105
Tabel 12. Kasus Debitur Yang Barang Jaminannya Telah Diselesaikan
A. Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan pembangunan ekonomi dalam bidang perbankan
menunjukan peningkatan yang pesat. Hal itu dapat dilihat dari semakin besarnya
kredit yang disalurkan kepada masyarakat sebagai akibat dari paket kebijaksanaan
pemerintah di bidang perbankan.
Lapangan kegiatan yang berdasarkan pada bisnis juga tidak terlepas dari
pelaksanaan kegiatan perbankan, dimana bank merupakan titik sentral kehidupan
bisnis yang membantu pembentukan modal dan produksi mulai dari skala kecil
sampai pada skala besar yang lebih dikenal dengan pemberian fasilitas kredit.
Di dalam dunia perbankan dikenal adanya suatu yang dilepaskan harus dapat
diterima kembali sesuai dengan perjanjian. Perjanjian adalah merupakan perbuatan
hukum, perbuatan hukum adalah perbuatan-perbuatan di mana terjadinya atau
lenyapnya hukum atau hubungan hukum sebagai akibat yang dikehendaki oleh
perbuatan orang atau orang-orang itu.
Hubungan hukum dalam perjanjian bukan suatu hubungan yang timbul
dengan sendirinya seperti yang dijumpai dalam harta benda kekeluargaan. Dalam
hubungan hukum kekayaan, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak
dengan kekayaan orang tuanya seperti yang diatur dalam hukum waris. Lain halnya
lainnya tidak bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh karena
adanya perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang satu
dengan pihak lain menimbulkan hubungan hukum perjanjian, sehingga terhadap satu
pihak diberikan hak oleh pihak yang lain untuk menyediakan sesuatu diri yang
dibebani dengan kewajiban dalam menunaikan prestasi seperti hubungan hukum
dalam jual beli, perjanjian kredit dan sebagainya.
Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka bermaksud supaya
diantara para pihak itu berlaku suatu perikatan hukum. Dengan demikian di antara
para pihak yang terikat satu sama lain karena janji yang telah diperbuat. Dalam
praktek sering terjadi bahwa perikatan ini barulah putus kalau janji itu telah dipenuhi.
Suatu kredit akan diberikan baru setelah ada suatu kesepakatan tertulis,
walaupun mungkin dalam bentuk yang sangat sederhana antara pihak kreditur sebagai
pemberi kredit dengan pihak nasabah debitur sebagai penerima kredit. Kesepakatan
akan persetujuan tertulis ini sering disebut dengan perjanjian kredit.
Perjanjian kredit harus didukung dengan jaminan atau agunan hutang yang
memadai, dan dengan adanya jaminan hutang ini merupakan upaya preventif bagi
bank dimana apabila nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi
dikemudian hari maka bank dapat mengeksekusi jaminan/agunan hutang untuk
membayar hutang oleh nasabah debitur. Dalam hal eksekusi jaminan hutang terdapat
kepada ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.
Dasar dari perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam
ialah persetujuan antara pihak yang satu dalam memberikan kepada pihak yang lain
suatu jumlah tertentu berharap barang-barang yang habis karena pemakaiannya
dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini akan mengembalikan sejumlah yang
sama dari macam dan benda yang sama pula.
Dalam hubungan hutang piutang, maka kreditur berkewajiban untuk
menyerahkan sejumlah uang kepada nasabah debitur untuk digunakan dalam jangka
waktu tertentu sedangkan kewajiban nasabah debitur untuk mengembalikan sejumlah
uang yang dipinjamkan itu tepat pada waktunya. Hutang yang telah ada itu bisa
berupa hutang murni maupun hutang dengan ketentuan waktu.
Pada hutang murni hanya disebutkan besarnya hutang dan kalau diperjanjikan
juga bunganya, maka segera untuk ditagih. Dalam praktek sering dijumpai setelah
perjanjian hutang piutang atau kredit dengan ketentuan waktu, dan dalam hal mana
disebutkan juga untuk berapa lama jumlah hutang atau kredit itu diberikan dengan
konsekwensi sesuai dengan asas dalam Pasal 1349 KUH Perdata, yang menentukan
bahwa dalam perjanjian hutang piutang, ketentuan waktu sangat menentukan
terhadap keuntungan nasabah debitur kecuali ditentukan lain kreditur/bank tidak bisa
menagih hutang tersebut sebelum waktu yang ditentukan, sedang debitur bisa
sewaktu-waktu dapat melunasinya, dan biasanya dalam perjanjian hutang
piutang/kredit memang ditetapkan adanya kesempatan nasabah debitur dapat
mempercepat pelunasan, baik terhadap hutang pokok, perhitungan bunga dan denda.
Kata yang telah diperjanjikan mengingatkan kepada nasabah debitur untuk
bagian dari perjanjian pinjam-meminjam yang merupakan perjanjian riel dan berlaku
sesudah ada prestasi yang diperjanjikan, yaitu dengan uang pinjaman akan diserahkan
kepada nasabah debitur. Dalam prakteknya perjanjian kredit. Setelah ditandatangani
lebih dahulu, baru kemudian pinjaman kredit diserahkan.
Hubungan hukum perjanjian dengan sistem pengurusan piutang negara
bukanlah suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta
oleh karena adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh pihak yang satu dengan
pihak yang lain untuk memperoleh prestasi sedangkan pihak yang lain itupun
bersedia untuk dibebani dengan kewajiban dalam menunaikan suatu prestasi.
Hukum perjanjian dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem pengurusan
piutang negara yaitu :
a. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas sesuatu beban
Perjanjian cuma-cuma adalah suatu persetujuan yang mana pihak yang satu memberikan keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima prestasi untuk dirinya sendiri.
b. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja (terhadap lawan janjinya) sedangkan pada pihak yang lain hanya ada hak saja.
Perjanjian timbal balik adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak- dan kewajiban antara kepada kedua belah pihak dimana hak dan kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu sama lain.
c. Perjanjian konsensuil dan perjanjian rill
Perjanjian konsensuil adalah suatu perjanjian dimana adanya kata sepakat antara yang satu pihak saja sudah cukup untuk menimbulkan suatu perjanjian1).
1)
Perkembangan hukum digunakan istilah jaminan karena :
1. telah lazim digunakan dalam bidang Ilmu Hukum dalam hal ini berkaitan dengan
penyebutan-penyebutan, seperti hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan
kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan, dan sebagainya.
2. telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga
jaminan, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Hak Tanggungan dan
Jaminan Fidusia.
Sering terjadi dalam pelaksanaan sistem pengurusan piutang negara yaitu
apabila KP2LN sedang dan telah melakukan pelelangan atas barang jaminan hutang,
maka secara spontan atau tiba-tiba muncul pihak ketiga atau pemilik jaminan hutang
langsung membantah dan menggugat debitur/nasabah penanggung hutang dengan
menyatakan bahwa jaminan, itu bukan milik nasabah debitur atau penanggung
hutang.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pengelolaan terhadap barang jaminan hutang milik
nasabah debitur/penjamin hutang dalam kaitannya dengan pengurusan piutang
2. Hambatan yang ditemui atau pelaksanaan pengelolaan terhadap jaminan hutang
milik nasabah debitur/penjamin hutang dalam kaitannya dengan pengurusan
piutang negara?
3. Upaya apa saja yang dilakukan untuk mengatasi hambatan dalam pelaksanaan
pengelolaan terhadap jaminan hutang milik nasabah debitur/penjamin hutang
dalam kaitannya dengan pengurusan piutang Negara?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan uraian rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian
ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pengelolaan terhadap barang jaminan hutang
milik nasabah debitur/penjamin hutang dalam kaitannya dengan pengurusan
piutang Negara.
2. Untuk mengetahui hambatan apa yang ditemui dalam pelaksanaan pengelolaan
terhadap jaminan hutang milik nasabah debitur/penjamin hutang dalam kaitannya
dalam pengurusan piutang Negara.
3. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dilakukan mengatasi hambatan dalam
pelaksanaan pengelolaan terhadap jaminan hutang milik nasabah debitur/
penjamin hutang dalam kaitannya dengan pengurusan piutang negara.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan membawa dampak positif bagi pemerintah yaitu
sebagai pedoman dalam membuat suatu peraturan dalam hal perkembangan
mengenai pengurusan piutang Negara.
2. Secara Praktis
a. Sebagai masukan bagi masyarakat khususnya pengguna jasa perbankan
tentang tanggungjawab nasabah debitur yang wanprestasi dan mengakibatkan
kredit macet.
b. Sebagai bahan kajian untuk memperluas wawasan dalam bidang perbankan
khususnya yang berkaitan dengan pengurusan piutang Negara.
E. Keaslian Penelitian
Setelah melakukan penelusuran kepustakaan terhadap judul penelitian dan
berdasarkan informasi yang ada sepanjang diketahui khususnya di lingkungan
Universitas Sumatera Utara yaitu yang terdapat di Pasca Sarjana, Magister
Kenotariatan dengan judul penelitian “Pelaksanaan Pengelolaan Dan Penataan
Terhadap Jaminan Hutang Milik Nasabah Debitur/Penjamin Hutang Dalam
Kaitannya Dengan Pengurusan Piutang Negara (Penelitian Pada PUPN dan KP2LN
Medan) bahwa belum ada dilakukan penelitian sebelumnya. Sehingga penelitian ini
adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya dan apabila diperlukan
A. Tinjauan Umum Tentang Kredit
1. Pengertian Kredit
Kata kredit berasal dari Bahasa Romawi yaitu dari asal kata “credere” yang
berarti percaya.2 Berarti dengan demikian maka istilah kata “kredit” yaitu
kepercayaan, sehingga hubungan yang terjalin dalam kegiatan perkreditan diantara
para pihak sepenuhnya harus didasari oleh adanya saling percaya mempercayai, yaitu
bahwa kreditur dalam memberikan kredit harus dipercaya bahwa penerima kredit
(nasabah debitur) akan sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan,
baik yang menyangkut jangka waktunya maupun prestasi dan kontra prestasinya.
Munir Fuady, sebagaimana dikutip S. Mantayborbir, Imam Jauhari dan Agus
Hari Widodo, dalam bukunya disebutkan bahwa ”Kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara kreditur/bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam dapat melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga”.3
2
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 365
3
2. Unsur-Unsur Kredit
Usaha perkreditan adalah kegiatan bidang usaha dari perbankan yang
cakupannya sangat luas dan membutuhkan penanganan yang profesional serta
dibarengi dengan integritas moral yang tinggi. Hal tersebut tidak berkelebihan karena
dari pengertian kredit itu sendiri adalah kepercayaan.
Petunjuk tentang perkreditan dikeluarkan Bank Indonesia sebagaimana
tertuang di dalam Surat Keputusan Direksi BI Nomor 27/162/KEP/DIR, tanggal 31
Maret 1992 sebagaimana telah diubahnya surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor : 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 Jo Peraturan Bank Indonesia
Nomor : 4/6/PBI/2002, tanggal 6 September 2002 JO. Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/2/PB/2005 tanggal 20 Januari 2005, tentang kualitas aktiva produktif wajib
untuk dijalankan dan ditaati oleh semua kreditur/Bank yang beroperasi di Indonesia.
Pedoman tersebut merupakan petunjuk agar kreditur/bank mampu mengawasi
pelaksanaan perkreditan secara keseluruhan dan menetapkan standar dalam proses
pemberian kredit
Pedoman perkreditan dengan kewajiban pada setiap kreditur/bank dilandasi
dengan ketentuan hukum yang kuat yaitu Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang
Perbankan yang berbunyi: “Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, Bank wajib menempuh
cara-cara yang tidak merugikan Bank dan kepentingan nasabah debitur yang
Hal tersebut diatas menjadi dasar pertimbangan dan prinsip saling
mempercayai di antara pihak kreditur/bank dengan nasabah debiturnya, dalam hal
pengelolaan dana dengan baik serta terus menjaga kesehatan kreditur/bank agar
terpelihara kepentingan masyarakat.
Persetujuan kredit biasanya dinyatakan dalam bentuk tertulis baik di bawah
tangan ataupun secara notaril sebagai pengamanan bahwa pihak peminjam akan
memenuhi kewajibannya dengan menyerahkan suatu jaminan hutang baik bersifat
kebendaan maupun jaminan hutang perorangan.
Kredit didalamnya terkandung unsur-unsur yang saling terikat menjadi satu,
sehingga jika berbicara mengenai kredit maka termasuk membicarakan unsur-unsur
yang terkandung di dalamnya.
Adapun yang menjadi unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu
fasilitas kredit adalah sebagai berikut :
a. Kesepakatan
Kesepakatan antara pemberi kredit dengan penerima kredit (nasabah debitur) yang
dituangkan dalam suatu perjanjian, sehingga timbullah hak dan kewajiban
parapihak yang menandatangani. Kesepakatan akan dituangkan dalam perjanjian
kredit dan ditandatangani oleh kedua pihak sebelum kredit diberikan.
b. Kepercayaan
Merupakan suatu keyakinan bagi pemberi kredit (kreditur/bank) bahwa kredit
yang diberikan kepada nasabah debitur adalah benar-benar akan diterima kembali
c. Jangka waktu
Jangka waktu mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka
waktu merupakan batas waktu dalam pengembalian atas pembayaran angsuran
kredit yang sudah disepakati oleh keduabelah pihak.
d. Resiko
Akibat adanya tenggang waktu, maka pengembalian kredit akan memungkinkan
terjadinya suatu resiko yang mengakibatkan tidak tertagihnya atau macet dalam
kredit. Semakin panjang jangka waktu kredit, maka semakin besar resikonya
demikian pula sebaiknya. Resiko ini menjadi tanggung jawab kreditur/bank
karena baik resiko yang disengaja maupun tidak disengaja oleh nasabah debitur.
e. Balas jasa
Bagi Bank balas jasa merupakan keuntungan atau pendapatan atas pemberian
suatu kredit. Dalam bank jenis konvensional balas jasa dikenal dengan sebutan
bunga. Disamping balas jasa dalam bentuk bunga bank juga membebankan
kepada nasabah debitur biaya bunga, dan denda atas keterlambatan pembayaran
kredit, juga merupakan keuntungan Bank.4
3. Tujuan Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit memiliki beberapa tujuan yang ingin dicapai
tergantung dari tujuan kredit itu sendiri. Setiap bank yang didirikan tidak terlepas dari
pemberian kredit . Untuk melancarkan pelaksanaan kegiatan pembangunan dengan
4
berdasarkan prinsip ekonomi yaitu dengan pengorbanan sekecil-kecilnya dapat
diperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya, maka pada umumnya tujuan pemberian
kredit secara ekonomis adalah untuk mendapatkan keuntungan. Kreditur/bank hanya
akan memberikan kredit apabila ia yakin bahwa calon nasabah debitur itu akan
mampu mengembalikan kredit disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil
sebagaimana telah disepakati.
Kredit yang diberikan pasti memiliki tujuan. Kreditur/bank dalam
memberikan kredit selalu memperhatikan tujuan diberikannya kredit, karena apabila
penyimpangan dari tujuan kredit yang telah disepakati akan dapat mengancam
kepentingan kreditur/bank tersebut.5
Pada umumnya tujuan didalam memberikan kredit adalah sebagai berikut:
a. Membantu usaha nasabah debitur
Peran bank sangat diperlukan untuk membantu usaha nasabah debitur sekaligus
merupakan tujuan dari pemberian kredit dalam bentuk dana. Dengan pemberian
dana tersebut maka pihak nasabah/debitur akan dapat menjalankan usahanya dan
memperluas kegiatan usahanya, sehingga akan membuat kegiatan usaha
nasabah/debitur semakin lancar dan kinerja usahanya akan semakin membaik
daripada sebelumnya.
5
b. Mencari keuntungan
Bank didalam memberikan kredit merupakan tujuan utamanya. Hasil keuntungan
yang diperolehnya dalam bentuk bunga dan denda yang diterima oleh
kreditur/bank sebagai balas jasa dan biaya kredit yang dibebankan kepada
nasabah debitur. Keuntungan ini penting untuk kelangsungan hidup kreditur/bank,
sehingga perkreditan merupakan sumber utama pendapatannya.
c. Membantu pemerintah
Tujuan lainnya adalah membantu pemerintah dalam berbagai bidang.Bagi
pemerintah, semakin banyak kredit yang disalurkan oleh pihak perbankan, maka
semakin baik, mengingat semakin banyak kredit yang diberikan, maka akan ada
masukan dana dalam rangka peningkatan pembangunan.6
Disamping memiliki tujuan dalam pemberian suatu fasilitas kredit juga
memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit secara luas tersebut adalah :
1. Meningkatkan Daya Guna Modal atau Uang
Maksudnya, jika uang hanya disimpan saja di kreditur/bank tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikannya kredit, maka menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh penerima kredit (nasabah debitur). Kemungkinan juga dapat memberikan penghasilan tambahan kepada pemilik dana.
2. Meningkatkan Peredaran dan Lalu Lintas Uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga suatu daerah yang kekurangan uang dengan memperoleh kredit, maka daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
3. Meningkatkan Daya Guna Barang
Kredit yang diberikan oleh kreditur/bank akan dapat dipergunakan oleh nasabah debitur untuk mengolah barang yang semula tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat. Sebagai contoh seorang pengusaha memperoleh bantuan dana dari salah satu bank untuk mengolah limbah plastik yang sudah
6
tidak dipakai menjadi barang-barang rumah tangga.Biaya pengolahan barang tersebut diperoleh dari kreditur/Bank. Dengan demikian fungsi kredit dapat meningkatkan daya guna barang dan dari barang yang tidak berguna menjadi barang yang berguna.
4. Meningkatkan Peredaran Uang.
Kredit dapat juga menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya, sehingga jumlah barang yang beredar tersebut bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar yang biasanya untuk kredit atau kredit ekspor impor.
5. Sebagai Alat Stabilitas Ekonomi
Pemberian kredit dapat dikatakan sebagai alat stabilitas ekonomi, karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyarakat.
6. Meningkatkan kegairahan dalam pengembangan Usaha
Bagi penerima kredit (nasabah debitur) sudah barang tentu akan dapat meningkatkan kegairahan dalam berusaha apalagi bagi nasabah debitur yang memang modalnya pasa-pasan.Nasabah debitur akan sangat bergairah untuk memperbesar atau memperluas usahanya dari perolehan kredit tersebut.
7. Meningkatkan Pemerataan Pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, maka akan semakin baik terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Jika suatu kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja, sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Disamping itu bagi
masyarakat sekitar pabrik, juga akan dapat memperoleh pendapatan seperti gaji bagi karyawan yang bekerja di pabrik tersebut.7
4. Jenis-Jenis Kredit dan Fungsinya
Dengan adanya kegiatan usaha, berbagai kebutuhan akan jenis kredit. Dalam
praktek perkreditan terdapat berbagai jenis, begitu pula pemberian fasilitas kredit oleh
kreditur/bank kepada masyarakat.
Secara umum jenis-jenis kredit yang disalurkan oleh kreditur/bank dan dilihat
dari berbagai segi, yaitu :
7
a. Dilihat Dari Segi Kegunaan
Dengan melihat penggunaan uang kredit tersebut apakah digunakan dalam
kegiatan utama atau hanya kegiatan tambahan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Jika ditinjau dari segi kegunaan, maka hanya terdapat 2 (dua) jenis kredit, yaitu :
1) Kredit Investasi
Yaitu kredit yang biasanya dipergunakan untuk keperluan perluasan usaha atau
pembangunan proyek/pabrik baru, yang mana pemakaiannya untuk suatu jangka
waktu yang relatif lebih lama dan biasanya dipergunakan kredit ini adalah untuk
kegiatan utama suatu perusahaan
2) Kredit Modal Kerja
Yaitu kredit yang digunakan untuk keperluan operasionalnya dalam rangka
meningkatkan produksi. Contoh kredit yang diberikan untuk membayar gaji,
membeli bahan baku atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses
produksi perusahaan.
b. Segi Tujuan Kredit
Jika kredit dilihat dari segi tujuan dalam pemakaiannya, maka pemakaiannya
adalah untuk pelaksanaan kegiatan usaha, bukan dipakai untuk keperluan pribadi.
Jenis kredit yang dilihat dari segi tujuan adalah :
Yaitu kredit yang dipergunakan untuk produksi, peningkatan usaha atau investasi.
Kredit ini diberikan untuk menghasilkan jasa atau barang, artinya kredit ini
digunakan untuk peningkatan kegiatan usahanya sehingga menghasilkan sesuatu
yang baik berupa barang atau jasa.
2) Kredit perdagangan
Jenis kredit ini merupakan kredit yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan
dan biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan
dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit pemakaiannya diberikan
kepada agen perdagangan atau supplier yang akan membeli barang dalam jumlah
tertentu.
3) Kredit komsumtif
Kredit ini dipergunakan secara pribadi .Kredit ini tidak ada penambahan barang
dan atau jasa yang dihasilkan, karena dipergunakan secara pribadi atau badan
usaha.
c. Dari Segi Waktu
Jika dilihat dari jangka waktu lamanya dan masa dalam pemberian kredit
mulai dari pertama sekali diberikan sampai dengan masa pelunasannya.
1) Kredit jangka pendek
Kredit ini merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 (satu)
tahun atau paling lama 1 (satu) tahun dan biasanya dipergunakan untuk keperluan
2) Kredit jangka menengah
Kredit ini diberikan untuk modal kerja, sedangkan jangka waktunya berkisar 1
(satu) tahun sampai dengan 2(dua) tahun atau lebih.
3) Kredit jangka panjang
Kredit ini biasanya digunakan untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan
sawit, teh atau manufaktur dan untuk kredit komsumtif seperti kredit perumahan.
d. Dari Segi Pengamanan
Jika dilihat segi pengamanan, maka pemberian suatu fasilitas kredit yang
harus dilindungi dengan jaminan atau surat berharga minimal senilai dengan kredit
yang diberikan.
Jika kredit diberikan tanpa jaminan hutang atau orang tertentu. Kredit jenis ini
diberikan dengan melihat akan pelaksanaan kegiatan usaha, surat keterangan
perusahaan, akta pendirian perusahaan, SIUP, Surat izin praktek, serta loyalitas calon
nasabah debitur selama berhubungan dengan kreditur/bank yang bersangkutan.
e. Dari Segi Sektor Usaha
Setiap pelaksanaan kegiatan usaha dapat memiliki berbagai karakteristik yang
berbeda-beda, oleh karena itu pemberian fasilitas kreditpun berbeda.
Jenis kredit ini jika dilihat dari sektor usaha adalah :
Kredit ini dapat diberikan untuk sektor pembiayaan perkebunan atau pertanian
rakyat. Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka panjang.
2) Kredit perumahan
Kredit ini diberikan dalam rangka membiayai pembelian perumahan atau
pembangunan perumahan
3) Kredit profesi
Kredit ini diberikan khusus untuk kalangan profesional seperti notaris, dokter,
dokter gigi, pengacara, advokat.
4) Kredit industri
Kredit ini diberikan untuk membiayai industri kecil, menengah atau panjang.
5) Kredit pertambangan
Kredit ini dipergunakan untuk usaha tambang yang dibiayainya. Biasanya dalam
jangka panjang, seperti tambang batu bara, tambang emas, minyak bumi atau
tambang timah.
6) Kredit peternakan
Kredit ini biasanya diberikan untuk jangka waktu yang relatif pendek misalnya
peternakan ayam,ikan, lembu dan jangka panjang seperti sapi.
7) Kredit pendidikan
Kredit ini diberikan khusus pendidikan berupa sarana dan prasarana dan dapat
5. Kualitas aktiva produktif
Hukum yang mengatur tentang pengurusan piutang negara yang macet,
khususnya kredit macet dapat dilihat dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 31/147/KEP/DIR tanggal 12 Nopember 1998 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/6/PBI/2002 tanggal 6 September 2002 jo
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang
Kualitas Aktiva Produktif, yang membagi kredit bank ke dalam 5 kategori, yaitu :
1. Kredit lancar (pass)
2. Kredit dalam perhatian khusus (special mention) 3. Kredit kurang lancar (substandard)
4. Kredit diragukan (doubtful) 5. Kredit macet (loss)
Masing-masing golongan kriterianya adalah sebagai berikut ; 1. Kredit lancar (pass), yaitu :
a. Pembayaran tepat waktu, perkembangan rekening baik dan tidak ada tunggakan serta sesuai dengan persyaratan kredit .
b. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank baik dan nasabah debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan akurat.
c. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat/sempurna. 2. Kredit dalam perhatian khusus (special mention), yaitu :
a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai 90 hari b. Jarang mengalami cerukan dan/atau over draft
c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank baik dan nasabah debitur selalu menyampaikan informasi keuangan secara teratur dan masih akurat. d. Dokumentasi kredit lengkap dan pengikatan agunan kuat/sempurna. e. Pelanggaran perjanjian kredit yang tidak prinsipil.
3. Kredit kurang lancar (substandard), yaitu ;
a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampui 90 (sembilan puluh hari) sampai dengan 180 (seratus delapan puluh hari) b. Terdapat cerukan dan/atau over draft yang berulang kali khususnya untuk
menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.
c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank memburuk dan informasi keuangan tidak dapat dipercaya.
f. Perpanjangan kredit untuk menyembunyikan kesulitan keuangan . 4. Kredit diragukan (doubtful), yaitu :
a. Terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga yang telah melampui 90 (sembilan puluh) hari sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari. b. Terjadi cerukan dan/atau over draft yang bersifat permanen khususnya untuk
menutupi kerugian operasional dan kekurangan arus kas.
c. Hubungan nasabah debitur dengan kreditur/bank semakin memburuk dan informasi keuangan tidak tersedia atau tidak dapat dipercaya.
d. Dokumentasi kredit tidak lengkap dan pengikatan agunan yang lemah.
e. Pelanggaran yang prinsipil terhadap persyaratan pokok dalam perjanjian kredit.
5. Kredit macet (loss), yaitu :
a. Terdapat tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah melampui 180 (seratus delapan puluh) hari.
b. Dokumentasi kredit dan atau pengikat agunan tidak ada.8
Sebenarnya kredit macet adalah kata majemuk, bila dipisahkan menurut kata
dasarnya adalah “kredit”, artinya membayar suatu hutang dengan angsuran dan
“macet” artinya berhenti.
Kredit macet, yaitu adanya tunggakan pokok dan/atau bunga yang telah
melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari. Dokumentasi kredit dan atau pengikatan
agunan tidak kuat (Surat Edaran Bank Indonesia No.31/147/KEP/DIR tanggal 12
Nopember 1998 Keputusan Menteri dengan, tanggal 6 September 2002 sebagaimana
telah diubah dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 4/6/PBI/2002 sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 tanggal 20
Januari 2005 tentang kualitas aktiva produktif).
Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 376/KMK.01/1998
Tentang Pengurusan Piutang Negara, menyebutkan bahwa piutang macet adalah
8
piutang yang sampai pada suatu saat sejak piutang tersebut jatuh tempo dan tidak
dilunasi oleh nasabah debitur/penanggung hutang sebagaimana mestinya sesuai
dengan perjanjian peraturan atau sebab apapun yang menimbulkan piutang tersebut.
6. Terjadinya ingkar janji
Ingkar janji/wanprestasi merupakan suatu keadaan dimana seorang nasabah
debitur tidak memenuhi atau tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam suatu perjanjian. Jadi ingkar janji/wanprestasi dapat timbul karena :
a. Kelalaian nasabah debitur itu sendiri
b. Adanya keadaan memaksa
Ada 4 (empat) bentuk ingkar janji/wanprestasi menurut ketentuannya, yaitu:
a. Nasabah debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali
b. Nasabah debitur memenuhi prestasi kerja tetapi tidak sebagaimana mestinya.
c. Nasabah debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
d. Nasabah debitur memenuhi prestasi tetapi melakukan hal yang dilarang dalam
perjanjian.
Pada umumnya, suatu ingkar janji baru terjadi jika nasabah debitur dinyatakan
telah lalai untuk memenuhi prestasinya atau dengan kata lain ingkar janji ada kalau
debitur tidak dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan ingkar janji itu diluar
kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Dalam pelaksanaan pemenuhan prestasi
telah ditentukan tenggang waktunya, maka seorang kreditur/bank dipandang perlu
untuk memperingatkan/menegur nasabah debitur agar ia memenuhi kewajibannya.
Akibat tidak dipenuhinya suatu kewajiban dari nasabah debitur maka
kreditur/bank dapat meminta ganti rugi atau ongkos, rugi dan bunga yang diderita.
Untuk itu adanya kewajiban ganti rugi ini maka undang-undang telah menentukan
bahwa nasabah debitur harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai.
Di dalam Pasal 1243 KUH Perdata menyetakan bahwa : Penggantian biaya
bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila
nasabah debitur setelah dinyatakan lalai dalam memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang
waktu tertentu telah dilampuainya.
Arti, “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan atau pernyataan dari
kreditur/bank tentang jangka waktu selambat-lambatnya nasabah debitur wajib dan
harus memenuhi prestasinya. Apabila jangka waktunya dilampaui, maka nasabah
debitur ingkar janji (wanprestasi).
Akibat dari suatu wanprestasi yang dilakukan nasabah debitur dapat
mengakibatkan kerugian bagi kreditur/bank. Sanksi atau akibat hukum bagi nasabah
debitur yang wanprestasi adalah sebagai berikut :
a. Nasabah debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita oleh
kreditur/bank (Pasal 1243 KUH Perdata).
b. Pembatalan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267
KUH Perdata).
c. Peralihan resiko kepada nasabah debitur sejak saat terjadinya wanprestasi (Pasal
d. Pembayaran biaya perkara apabila diselesaikan di muka Hakim (Pasal 181
ayat (1) HIR).
Pasal 1267 KUH Perdata menyebutkan nasabah debitur yang melakukan
wanprestasi, maka kreditur/bank dapat menentukan tuntutan-tuntutan haknya berupa :
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi
3. Ganti rugi saja
4. Pembatalan perjanjian
5. Pembatalan perjanjian disertai ganti rugi.9
Seorang nasabah debitur yang dituduh ingkar janji dapat dimintakan
kepadanya supaya diberikan hukuman atas kelalaiannya, dan yang bersangkutan
dapat membela dirinya dengan mengajukan beberapa dasar pertimbangan untuk
membebaskan dirinya dari hukuman-hukuman tersebut.
Adapun pembelaan tersebut adalah :
a. Menyatakan adanya keadaan memaksa (overmacht)
b. Menyatakan bahwa kreditur/bank telah lalai
c. Menyatakan bahwa kreditur/bank telah melepaskan haknya.
Terhadap kredit yang mengalami kemacetan sebaliknya dilakukan
penyelamatan sehingga kreditur/bank tidak mengalami kerugian.
Penyelamatan terhadap kredit dilakukan dengan kemacetan sebaliknya
dilakukan dengan cara antara lain :
9
a. Reschedulling
Suatu tindakan yang diambil dengan cara memperpanjang jangka waktu kredit
atau jangka waktu pembayaran baik terhadap hutang pokok maupun perhitungan
bunga. Dalam hal ini nasabah debitur diberikan keringanan dan jangka waktu
pembayaran kredit, misalnya perpanjangan waktu kredit dari 6 (enam) menjadi 1
(satu) tahun sehingga nasabah debitur mempunyai kesempatan yang sangat cukup
untuk mengembalikan jumlah kredit.
b. Reconditioning
Maksudnya bahwa bank mengubah berbagai persyaratan yang ada seperti :
1) Penundaan pembayaran bunga sampai waktu tertentu, maksudnya hanya
bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pinjaman pokoknya
tetap harus dibayar seperti biasa.
2) Kapasitas bunga, yaitu bunga dijadikan hutang pokok
3) Penurunan suku bunga, maksudnya agar lebih meringankan beban nasabah
debitur. Jika suku bunga dibebankan 20 % per tahun diturunkan menjadi 18 %
per tahun, tergantung dari pertimbangan kreditur/bank yang bersangkutan.
4) Pembebasan bunga, dimaksudkan untuk diberikan keringanan kepada
nasabah debitur dengan pertimbangan bahwa nasabah debitur, sudah tidak
mampu lagi untuk membayar kredit tersebut. Akan tetapi nasabah debitur
tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjamannya sampai
c. Restructuring
Merupakan tindakan hukum kreditur/bank kepada nasabah debitur dengan cara
menambah modal kepada nasabah debitur dengan pertimbangan nasabah debitur
memang membutuhkan tambahan dana dalam mengembangkan pelaksanaan
kegiatan usahanya.
d. Kombinasi
Merupakan suatu kombinasi dari ketiga jenis dalam penyelamatan kredit macet,
diantaranya reschedulling, reconditioning, restruction. Seorang nasabah dapat
saja diselamatkan dengan kombinasi antara reschedulling dengan restructuring,
misalnya jangka waktu diperpanjang, pembayaran bunga ditunda atau
reconditioning dengan rescsheduling, misalnya jangka waktu diperpanjang modal
ditambah.
e. Penyitaan jaminan
Penyitaan merupakan jalan terakhir apabila nasabah debitur sudah benar-benar
tidak punya itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua
hutang-hutangnya.10
7. Kredit menunjukkan gejala macet
Sebuah bank yang mampu dan sukses adalah bank yang mampu dalam
mengelola kredit bermasalah pada suatu tingkat yang wajar dan tidak menimbulkan
kerugian. Pemberian suatu fasilitas kredit tentunya mengandung suatu resiko
kemacetan. Akibatnya kredit tersebut tidak dapat ditagih sehingga menimbulkan
10
kerugian yang ditanggung oleh pihak kreditur/ bank pemerintah. Sebaik apapun
analisis kredit dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit
tersebut pasti menjadi macet. Hanya saja dalam hal ini bagaimanakah meminimalkan
resiko yang akan terjadi.
Apabila suatu kredit menjadi macet dan dibiarkan berlarut-larut dalam
penangannya, maka akan mengakibatkan kerugian materi yang besar, karena
mungkin nilai jaminan sudah tidak cukup untuk menutup seluruh kewajiban nasabah
debitur. Hal ini dapat terjadi karena pokok pinjaman tersebut terus dikenakan beban
bunga yang semakin lama semakin tinggi, yang pada akhirnya jumlah hutang
menjadi membengkak.
Apabila kredit mulai menunjukkan gejala macet, maka biasanya kreditur/bank
pemerintah melakukan penanganannya secara intern/internal terhadap nasabah
debitur/penanggung hutang/penjamin hutang untuk melakukan pembayaran melalui
berbagai kebijakan antara lain melakukan pendekatan dan pembinaan terhadap
nasabah debitur/penanggung hutang/ penjamin hutang untuk memahami akan
kewajiban-kewajibannya.
Jika penanganan secara intern/internal telah dilakukan oleh kreditur/ bank
pemerintah terhadap nasabah debitur/penanggung hutang, namun nasabah debitur
tetap tidak dapat membayar jumlah hutangnya, dan kredit tersebut dinyatakan macet,
maka tindakan dari kreditur/bank pemerintah untuk selanjutnya dapat menyerahkan
pengurusannya kepada PUPN melalui KP2LN untuk diproses lebih lanjut sesuai
8. Kredit dinyatakan macet
Suatu kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah ialah kredit-kredit yang
tergolong sebagai kredit kurang lancar, kredit diragukan, dan kredit macet. Istilah
kredit bermasalah telah digunakan oleh dunia perbankan Indonesia sebagai
terjemahan problem loan yang merupakan istilah yang sudah lazim digunakan di
dunia Internasional. Istilah lain dalam bahasa Inggris yang biasa dipakai juga bagi
istilah kredit bermasalah adalah non-performing loan.
Timbulnya kredit-kredit bermasalah dalam dunia perbankan dewasa ini, selain
karena indikasi debitur tidak mau membayar hutangnya, juga terlihat dalam prosedur
pelaksanaan pemberian kreditnya yang ternyata juga mengalami penyimpangan.
Pemberian kredit ada yang dilakukan dengan tanpa akad perjanjian kredit. Hal ini
sungguh merupakan suatu kejadian yang tidak masuk akal dan jelas akan merugikan
keuangan negara dan yang lebih menderita lagi adalah masyarakat.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut antara lain karena masih lemahnya profesionalisme pengelola
bank.
Agar pemberian kredit dapat dilaksanakan secara baik dan berdasarkan
asas-asas perkreditan yang sehat, maka diperlukan suatu kebijakan perkreditan yang
tertulis. Untuk itu, Bank Umum harus memiliki dan melaksanakan kebiasaan
perkreditan Bank berdasarkan pedoman penyusunan kebijakan perkreditan bank
sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB
penyusunan kebijakan perkreditan bank yang merupakan panduan bagi bank dalam
menyusun kebijakan perkreditannya, yang sekurang-kurangnya memuat dan
mengatur hal-hal pokok mengenai prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi
dan manajemen perkreditan, pengawasan kredit dan penyelesaian kredit bermasalah.
Kebijakan perkreditan bank yang telah ditetapkan oleh masing-masing bank tersebut
berlaku sebagai ketentuan yang mengikat dan penerapannya oleh bank yang
bersangkutan akan dipantau secara berkala oleh Bank Indonesia. 11
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai kredit macet
dijumpai dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c yang mengatakan :”dalam hal suatu bank
mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia
dapat melakukan tindakan agar bank menghapuskan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah yang macet dan memperhitungkan kerugian bank dengan
modalnya.”
Istilah penghapusbukuan kredit macet di dalam literatur disebut dengan write
off kredit macet. Menurut Black’s Law Dictionary, write off memiliki arti to remove
from books of account a debt which has become worthless.
Berdasarkan Undang-Undang Perbankan bahwa bank-bank yang telah
memiliki cadangan yang cukup dapat melakukan write off kredit macet setelah
memperoleh pertimbangan dan izin Bank Indonesia, selain itu bank-bank perlu juga
meminta persetujuan dari pemegang saham terlebih dahulu. Oleh karena itu, tidak
11
mudah untuk mengambil tindakan write off kredit macet sebagai cadangan dana itu
adalah untuk pengembangan dan jaminan kelangsungan usaha bank.
Menurut Soedrajad Djiwandono, persyaratan untuk melakukan write off
adalah sebagai berikut :
a. Kredit yang dihapusbukukan adalah kredit yang dikategorikan macet sejak 3
tahun atau lebih.
b. Kredit yang akan dihapusbukukan merupakan kredit yang macet kurang dari 3
tahun, jika :
1. Nasabah debiturnya tidak diketemukan lagi atau tidak diketahui dimana
rimbanya;
2. Nasabah debitur sudah tidak sanggup melunasi kreditnya;
3. Usaha nasabah debitur sudah tidak memiliki prospek usaha;
4. Nasabah debitur yang nilai agunan kreditnya yang dikuasai bank di bawah
saldo kredit;
5. Nasabah debitur yang meskipun nilai agunannya di atas saldo kreditnya tetapi
pengikatan agunannya secara yuridis lemah.
c. Bank yang akan menghapuskan kredit macetnya sudah memiliki cadangan yang
mencukupi untuk penghapusbukuan tersebut.12
Berdasarkan hal tersebut, Bank Indonesia menghendaki agar bank-bank
memiliki standar yang jelas dan tegas dengan mengandung unsur pengawasan
12
Diktat mata kuliah Hukum Piutang Dan Lelang Negara, Kredit Macet Dan Kredit
internal pada semua tahapan dalam proses pemberian kredit, sehingga bank-bank
akan benar-benar dan sungguh-sungguh bertanggung jawab dalam melaksanakan
kebijakan perkreditan yang telah dibuatnya sendiri, yang merupakan ketentuan
internal bagi bank sendiri (self regulation).
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kredit
1. Pengertian Perjanjian
Pada Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa : “Suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana seorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih”. Maksudnya bahwa suatu perjanjian adalah suatu recht
handeling artinya suatu perbuatan yang oleh orang-orang yang bersangkutan
ditujukan agar timbul akibat hukum.13 Dengan demikian, suatu perjanjian adalah
hubungan timbal balik atau bilateral, maksudnya suatu pihak yang memperoleh
hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan
konsekuensi dari hak-hak yang diperolehnya.
Agar dapat mengetahui gambaran yang lebih jelas tentang pengertian
perjanjian tersebut, maka berikut ini dikemukakan beberapa pendapat para ahli, yaitu
sebagai berikut :
J. Satrio, mengemukakan bahwa ”suatu perjanjian adalah sekelompok atau
sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak”.14
13
S. Mantayborbir, Imam Jauhari, Agus Hari Widodo, Hukum Piutang dan Lelang
Negara di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2002, hal. 8 (selanjutnya disebut Buku
I)
14
Menurut M. Yahya Harahap, mengatakan bahwa “perjanjian mengandung
suatu pengertian tentang hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua
orang atau lebih, yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh
prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menuaikan prestasi”.15
Subekti, mengatakan “perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang
berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal”.16
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan bahwa syarat-syarat perjanjian
terdiri dari:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan syarat kedua disebut syarat subyektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui antara para pihak. Pernyataan yang bersifat
menawarkan sesuatu kepada pihak lain dinamakan tawaran dan pernyataan yang
bersifat menerima tawaran dinamakan akseptasi.
Pasal 1330 KUHPerdata, menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap
dalam membuat suatu perjanjian adalah :
15
M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal, 20.
16
1. Orang yang belum dewasa
2. Mereka yang berada di bawah pengampuan
3. Orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan
pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Untuk syarat suatu hal tertentu, berkenaan dengan pokok perjanjian yang
menjadi isi daripada perjanjian Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa “suatu
perjanjian mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan
jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu asal saja juga
itu kemudian dapat dihitung atau ditentukan”.
Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal,
ataupun jika ada suatu sebab yang lain, daripada yang dinyatakan perjanjiannya,
namun demikian adalah sah (Pasal 1336 KUH Perdata). Pasal ini merupakan dasar
bagi suatu perjanjian yang tanpa sebab, menjadi perjanjian yang sah adalah sesuatu
yang dibolehkan.
2. Asas Hukum Dalam Perjanjian
Dalam hukum perjanjian menurut KUH Perdata terdapat beberapa asas yang
berkaitan dengan hukum perjanjian kredit adalah sebagai berikut :
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini mempunyai arti bahwa mereka yang tunduk dalam perjanjian bebas
Asas ini sejalan dengan sistem terbuka yang dianut dalam hukum perjanjian
Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Suatu asas hukum yang berkaitan dengan berlakunya kontrak adalah asas
kebebasan berkontrak. Artinya pihak-pihak bebas untuk membuat kontrak apa
saja, baik yang sudah ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi
kontrak. Namun kebebasan tersebut tidak mutlak karena terdapat
pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang,
ketertiban umum dan kesusilaan.
Jadi semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pemberadaannya
memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti
perundang-undangan. Pada pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan
menuangkan apa saja dalam isi sebuah kontrak.
b. Asas Bersifat Pelengkap
Asas ini mempunyai arti bahwa pasal-pasal yang ada dalam Buku III KUH
Perdata boleh tidak diikuti sepanjang para pihak yang membuat perjanjian
menghendaki dan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari
pasal-pasal undang-undang tersebut. Tapi apabila dalam perjanjian yang
mereka buat tidak ditentukan maka berlakulah ketentuan undang-undang,
dalam arti ketentuan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat para pihak akan
berlaku terhadap mereka.
Asas konsensualisme terdapat pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang
mengandung arti adanya “kemauan” (will) dari para pihak untuk saling
berpartisipasi, berarti ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Sepakat
mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian.
Asas ini menentukan adanya perjanjian.17
d. Asas Kepribadian
Asas ini mempunyai arti bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para pihak
yang membuatnya, pengecualian diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata yaitu
mengenai janji untuk pihak ketiga.
Dari uraian tersebut di atas, untuk disebut suatu perjanjian kredit harus
memenuhi unsur-unsur : ada pihak, ada persetujuan antara pihak, ada tujuan yang
dicapai, ada prestasi yang akan dilaksanakan, ada bentuk tertentu lisan atau tulisan
dan ada syarat-syarat tertentu seperti untuk akta jual beli oleh PPAT (Pejabat
Pembuat Akta Tanah).
3. Perjanjian Kredit
Menurut tata bahasa Indonesia,”kredit berarti kepercayaan”.18 Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa terjadinya suatu pemberian kredit di dalamnya
terkandung dari orang atau badan yang memberikan sesuatu kepada orang atau badan
lain yang menerima. Sehubungan dengan itu, S.Mantayborbir, Imam Jauhari dan
Agus Hari Widodo, mengatakan “seseorang dapat memperoleh kredit, maka berarti ia
17
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal.42 (selanjutnya disebut buku II)
18
telah memperoleh kepercayaan”.19 Searah dengan itu, Molenar mengatakan,
sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa ”kredit adalah
meminjamkan benda pada peminjam dengan kepercayaan benda itu akan
dikembalikan di kemudian hari kepada pihak yang meminjamkan”.20
Pada Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Disamping itu, Pasal 1754 BW menyebutkan bahwa “Pinjam meminjam ialah
persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu atas barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat
bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari
macam dan keadaan yang sama pula”.
Dari undang-undang tersebut dikatakan bahwa perjanjian kredit disamakan
dengan perjanjian pinjam meminjam dan objeknya adalah benda yang habis jika
dipakai. Jadi, ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut memberi isyarat
bahwa perjanjian pinjam meminjam ini termasuk syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian yang disebutkan di dalam Pasal 1320 BW sebagaimana telah dijelaskan
terdahulu, berlaku terhadap perjanjian kredit dan dapat dijadikan sebagai pelengkap
19
S. Mantayborbir, Imam Jauhari, Agus Hari Widodo, 2002, Loc. cit
20
dari pasal-pasal yang hendak dimuat di dalam akta perjanjian kredit itu sendiri,
sehingga dengan demikian maka suatu perjanjian kredit merupakan hukum yang
mengikat bagi para pihak yang membuatnya.
Bahwa kredit didasarkan pada unsur kepercayaan, berarti mempunyai suatu
unsur lain yang terkandung di dalamnya yaitu unsur tolong menolong. Namun
demikian halnya, pada masa sekarang ini dan dalam perkembangannya, S.
Mantayborbir, Imam Jauhari dan Agus Hari Widodo,21 mengatakan bahwa jika
dilihat dari pihak kreditur/bank maka unsur kredit adalah untuk mengambil
keuntungan dari modal dengan sesuatu imbalan berupa kontraprestasi. Sementara di
pihak nasabah debitur adalah merupakan bantuan dari pihak kreditur/bank untuk
menutupi kebutuhan berupa prestasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa antara kontraprestasi dengan prestasi tersebut
terdapat suatu masa yang memisahkan. Apabila dilihat dari sisi ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka dapat dikatakan bahwa walaupun bunyinya
berbeda, namun jika kredit dilihat dari unsurnya maka dapat diketahui adanya
kesamaan, yaitu :
a. Adanya orang/badan yang memiliki uang, barang atau jasa dan bersedia untuk
meminjamkan kepada pihak lain, yang biasanya disebut kreditur/bank.
b. Adanya orang/badan sebagai pihak yang memerlukan/meminjamkan uang, barang
atau jasa, yang biasanya disebut nasabah debitur.
c. Adanya kepercayaan kreditur terhadap nasabah debitur.
21
d. Adanya perbedaan waktu, yaitu perbedaan antara saat penyerahan uang, barang
atau jasa oleh kreditur dengan saat pembayaran kembali oleh nasabah debitur.
e. Adanya resiko, sebagai akibat dari adanya perbedaan waktu, karena terbayang
jelas ketidakpastian (uncertainty) untuk masa yang akan datang.
Jika dihubungkan ketentuan dengan peraturan perundang-undangan dengan
pendapat para pakar, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian kredit merupakan suatu
perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dengan dasar kepercayaan atas
kemampuan peminjam dalam hal ini nasabah debitur untuk membayar kembali atas
sejumlah hutangnya kepada pihak yang memberi pinjaman atau kreditur/bank.
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis yang
penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari sudut
pembuktian, perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti bagi
para pihak yang membuatnya.
Pada saat sekarang ini, perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat lagi
disarankan untuk digunakan meskipun secara teori diperbolehkan, karena lisan
sulit dijadikan alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu
setiap transaksi apapun harus dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat
bukti.
Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada Pasal 1
angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam pasal ini terdapat kata-kata
penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam
bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian. Meskipun dalam pasal itu tidak
ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis namun guna
kepentingan administrasi yang rapi dan teratur dan demi kepentingan pembuktian
sehingga pembuatan perjanjian tertulis merupakan sebagai pembuktian dari suatu
perbuatan hukum menjadi suatu keharusan.
Perjanjian kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen- kepercayaan
komponen ekonomi dan resiko di masa yang akan datang, sesuai dengan jangka
waktu yang telah disepakati dan dituangkan di dalam suatu perjanjian kredit.
Perjanjian kredit mana merupakan suatu ketentuan yang mengikat dan berlaku
sebagai hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian kredit tersebut.
4. Jaminan Hutang Dalam Pelaksanaan Perjanjian Kredit
Bank dalam memberikan jaminan kredit harus berkeyakinan atas kemampuan
dari kesanggupan nasabah debitur dalam melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
telah diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut maka sebelum
memberikan kredit bank harus melakukan penelitian dan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, jaminan/agunan, dan prospek usaha dari
nasabah debitur yang bersangkutan.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
disebutkan bahwa “dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad, kemampuan serta kesanggupan dari nasabah debitur untuk
diperjanjikan”. Di sini terlihat bahwa suatu kredit mengandung resiko“ oleh
karenanya diperlukan suatu jaminan hutang dalam rangka pengamanan pemberian
kredit .22
Jaminan hutang merupakan salah satu unsur didalam pemberian kredit, namun
yang terpenting adalah pihak kreditur/bank telah memperoleh keyakinan atas
kemampuan nasabah debitur dapat mengembalikan hutangnya. Jaminan hutang
berupa barang atau hak tagih atau lainnya yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan hanya merupakan jaminan tambahan. Dengan memperhatikan hal-hal
yang akan terjadi di luar jangkauan nasabah debitur dan kreditur/bank, misalnya
terjadinya kredit tidak lancar atau kredit macet, maka bank semestinya
memperhatikan jaminan hutang dan atau asuransi atas jaminan hutang kredit tersebut
sudah cukup aman untuk menutupi resiko yang akan timbul di kemudian hari. Oleh
karena itu, jaminan hutang dapat diklasifikasikan dalam beberapa kriteria, yaitu :
a. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus. Jaminan umum merupakan jaminan
yang diberikan pihak nasabah debitur yang terjadi pada setiap barang bergerak
ataupun tidak bergerak milik nasabah debitur menjadi tanggungan hutangnya
kepada kreditur/bank, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1131 KUH
Perdata. Jaminan khusus meruapakan jaminan hutang yang bersifat kontrak,
yaitu timbul oleh karena perjanjian tersebut .
b. Jaminan Pokok dan Jaminan Tambahan artinya bahwa kredit dapat diberikan
kepada nasabah debitur berdasarkan unsur “kepercayaan” dari kreditur akan
22
kesanggupan pihak nasabah debitur untuk membayar kembali hutangnya,
sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan antara nasabah debitur
dengan kreditur. Di dalam hukum perbankan diberlakukan suatu prinsip
hukum bahwa ”kepercayaan” tersebut dipandang sebagai jaminan pokok dari
kreditur terhadap nasabah debitur, bahwa nasabah debitur akan membayar
kembali dengan hak tangungan hutangnya. Sementara itu jaminan lain seperti
tanah dan pengikatannya dengan hak tanggungan, gadai dan lainnya hanya
dianggap sebagai jaminan tambahan, artinya hanya sebagai jaminan tambahan
atas barang yang dibiayai dengan kredit itu sendiri. Prinsip hukum yang
dimaksudkan dapat terlihat jelas di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perbankan.
c. Jaminan Kebendaan dan Jaminan Perorangan. Maksudnya bahwa jaminan
kebendaan mempunyai hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan,
bukan terhadap benda tertentu. Sedangkan jaminan perorangan hanya
diberikan orang-orang tertentu, dimana diklasifikasikan ke dalam tiga
golongan, yakni pertama, jaminan pribadi (personal guarantee), kedua,
jaminan perusahaan (corporate guarantee) dan ketiga, garansi bank (bank
guarantee) .
d. Jaminan Regulatif dan Jaminan Non Regulatif Maksudnya bahwa jaminan
regulatif yakni jaminan yang selain telah mendapat pengakuan dari peraturan
gadai, hak tanggungan atas tanah, garansi dan akta pengakuan hutang.
Jaminan non regulatif merupakan bentuk jaminan yang tidak secara khusus
diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dilaksanakan dan dikenal
dalam praktek, seperti pengalihan tagihan dagang, pengalihan tagihan asuransi
dan kuasa menjual yang tidak dicabut kembali.
Dengan pemberian kredit kepada nasabah debitur bukan berarti bank lepas
tangan dalam hal penggunaan dan pengelolaan kredit tersebut, tetapi bank akan selalu
memantau penggunaan kredit oleh nasabah debitur yang bersangkutan. Sehubungan
dengan itu, S. Mantayborbir, Iman Jauhari dan Agus Hari Widodo, berpendapat hal
itu dilakukan guna memastikan bahwa :
a. Kredit digunakan oleh nasabah debitur sesuai dengan tujuan peruntukannya
sebagaimana diperjanjikan di dalam perjanjian kredit.
b. Kredit ditarik sesuai dengan tahap-tahap penarikan kredit sebagaimana telah
diperjanjikan di dalam perjanjian kredit.
c. Kredit ditarik sesuai dengan yang ditentukan di dalam perjanjian .23
Dari uraian di atas, tergambarlah bahwa pemantauan bank terhadap
penggunaan kredit oleh nasabah debitur merupakan suatu tindakan yang dilakukan
oleh pihak kreditur untuk memastikan atas pembayaran bunga serta angsuran atas
pokok kredit yang telah diberikan kepada nasabah debitur dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan yang telah diperjanjikan di dalam perjanjian kredit. Karena bisa
23