• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) diban

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) diban"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis

(Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim ALT, AST

serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan

(Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate

(MSG) dibandingkan dengan Vitamin E

TESIS

Oleh:

Nora Maulina

107008011

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis

(Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim ALT, AST

serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan

(Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate

(MSG) dibandingkan dengan Vitamin E

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik Dalam Program Studi Ilmu Biomedik

Pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

OLEH:

Nora Maulina

107008011

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) dibandingkan dengan Vitamin E

Nama Mahasiswa : Nora Maulina Nomor Induk Mahasiswa : 107008011

Program Studi : S2 Ilmu Biomedik Minat Studi : Fisiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. dr. Gusbakti Rusip,M. Sc,PKK, A.I.F.M)

Ketua Anggota

(dr. Betty, M.Ked (PA),Sp.PA)

Ketua Program Studi Dekan

(dr.Yahwardiah Siregar, Ph.D) (Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD,KGEH)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 13 Juni 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Gusbakti Rusip, M. Sc, PKK, A.I.F.M Anggota : 1. dr. Betty, M.Ked (PA), Sp. PA

2. dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D

(5)

ABSTRAK

Ekstrak kulit manggis saat ini banyak digunakan sebagai alternatif pengobatan oleh masyarakat sebagai anti-oksidan tanpa mengetahui efek sampingnya.

Konsumsi Monosodiumglutamate (MSG) yang digunakan sebagai penambah rasa makanan di masyarakat dapat menimbulkan berbagai efek samping karena terbentuknya radikal bebas di tubuh antara lain gangguan fungsi hati. Vitamin E yang selama ini dikenal sebagai anti-oksidan banyak digunakan masyarakat untuk mencegah radikal bebas. Metode penelitian menggunakan true experimental designs yang bertujuan membandingkan pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis (EEKM) pada kerusakan hati akibat pemberian MSG terhadap pemberian vitamin E. Dari 20 ekor sampel mencit jantan strain DDW, yang dibagi atas 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol/aquadest (P0), kelompok pemberian

MSG (P2), kelompok pemberian MSG dan EEKM (P3), dan kelompok MSG dan vitamin E (P4). Kemudian dinilai fungsi hati (kadar serum AST/ALT), perubahan makroskopik dan mikroskopik hati mencit dengan pewarnaan heamatoksilin eosin, serta penilaian tingkat kerusakan hati dengan pewarnaan imunohistokimia

TNF-α(NBP1-67821, pAb, pengenceran 1:50). Pemberian ekstrak etanol kulit manggis mempunyai kemampuan yang sama dengan vitamin E (p>0,05) dalam menurunkan AST, kecuali dalam menurunkan kadar serum ALT(p<0,05). Penilaian makroskopik dan mikroskopik hati mencit setelah pemberian EEKM

dan vitamin E tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam memperbaiki kerusakan hati akibat pemberian MSG (p>0,05). Ekstrak etanol kulit manggis dan vitamin E sama-sama dapat memperbaiki tampilan imunohistokimia ekspresi proses inflamasi TNF-α akibat pemberian MSG (p>0,05).

(6)

ABSTRACT

Mangosteen peel extract is now widely used as an alternative treatment by society as an anti-oxidant without knowing the side effects. The consumption of Monosodium Glutamate (MSG) as food additive can cause various side effects due to the formation of free radicals in body such as liver dysfunction. Vitamin E is widely used as anti-oxidants to prevent free radical communities. The research method uses true experimental design and aims to compare the effect of ethanol extract of mangosteen peel (EEKM) on the damage of liver that is caused by MSG giving to vitamin E. From 20 samples of mice, DDW strain male mice divides into four treatment groups, namely; control group / distilled water (P0), MSG giving group (P2), the giving of MSGand EEKM(P3) group and the last is MSG group and vitamin E (P4) . Thus, some assessments are done to the liver function (serum levels of AST / ALT) and macroscopic together with microscopic changing in the liver of mice with heamatoksilin eosin staining. As well as evaluating the damage level of immunohistochemical staining with TNF-α (NBP1-67 821, pAb, 1:50 dilution). The giving of Ethanol extract of Mangosteen peel has the same power with vitamin E (p> 0.05) in lowering AST, except in serum ALT levels (p <0,05). The Macroscopic and microscopic assessment of mice after giving EEKM and vitamin E did not show any significant differences in fixing the damage of liver from MSG giving (p> 0,05). Ethanol extract of mangosteen peel and vitamin E both are able to improve the look of immunohistochemical expression of TNF-α inflammatory process that is caused by MSG giving (p>0,05).

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat

dan rahmatn hidayat-Nya sehingga penulis dengan izin-Nya dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul ”Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Mikroskopik Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) dibandingkan dengan Vitamin E”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan

pendidikan Program Studi S2 Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis

mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.DR.dr.Syahril Pasaribu DTM&H,M.Sc

(CTM), Sp.A(K).

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A

Siregar, Sp.PD-KGEH beserta jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Ilmu

Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Program Studi S2 Ilmu Biomedik Universitas Sumatera Utara dr.

Yahwardiah Siregar Ph.D sekaligus sebagai penguji yang telah membimbing

(8)

4. Ketua komisi pembimbing Prof. dr. Gusbakti Rusip,M. Sc,PKK, A.I.F.M dan

anggota komisi pembimbing dr. Betty, M.Ked (PA),Sp.PA atas segala ketulusannya dalam menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan,

dorongan, saran, dan perhatian selama proses hingga penulisan tesis ini selesai.

5. Para dosen, staf dan semua pihak yang terkait di lingkungan Program Studi S2

Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Ucapan terima kasih yang tulus saya tujukan kepada orangtua Ayahanda

almarhum H. Djamaluddin Amin dan Ibunda Hj. Aida Rosmani serta Kakanda

Dr. Nanda Susanti, M.ked.ped, Sp.A, Dr. Dara Juliana M.Kes, Romi Sahputra,

SE, dan Dwi Fitri, S.Sos. MA juga keluarga besar yang telah memberikan

dukungan moril serta doa dan motivasi selama penulis menjalani pendidikan.

8. Teristimewa untuk suami tercinta Dr. Nazaruddin dan ananda Siti Khalila,

Muhammad El Zavier atas kesabaran, dorongan materi dan semangat hingga

penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi ini.

9. Teman-teman seperjuangan di Program Studi S2 Ilmu Biomedik, Universitas

Sumatera Utara, atas bantuannya dan memberikan semangat dalam penyusunan

tesis.

Akhirnya saya menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu, saran

dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini,

dengan harapan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengambil kebijakan di bidang

kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juni 2013 Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri

Nama : Nora Maulina

Tempat / Tanggal Lahir : Lhokseumawe, 06 januari 1982

Agama : Islam

Alamat : Jl.Remaja. No.9. Keude Aceh. Kota Lhokseumawe. Provinsi Aceh

Telp / Hp : +628126911988

Email

B. Riwayat Pendidikan

SD N 10 Lhokseumawe : Tamat Tahun 1993 SMP N 1 Lhokseumawe : Tamat Tahun 1996 SMA N 1 Lhokseumawe : Tamat Tahun 1999

C. Riwayat Pekerjaan

(10)

DAFTAR ISI

2.1.2. Kandungan Kimia Ekstrak Kulit Manggis ... 12

2.2.Monosodium Glutamate ... 15

2.2.1.Sejarah ... 15

Bab IIIMETODEPENELITIAN ... 41

3.1. Desain Penelitian ... 41

3.2. Tempat dan waktu penelitian ... 41

3.3. Populasi dan sampel ... 41

3.3.1. Populasi Penelitian ... 41

(11)

3.4. Kriteria inklusi dan kriteria ekslusi ... 42

3.10.1Persiapan dan pemeliharaan hewan mencit ... 53

3.10.2Prosedur pembedahan hewan mencit ... 54

3.10.3 Pembuatan ekstrak etanol kulit buah manggis ... 55

3.10.4 Prosedur pemeriksaan kadar enzim ALT / AST ... 56

3.10.5Prosedur pembuatan preparat histologi hati mencit. ... 56

(12)

DAFTAR GAMBAR Struktur kimia monosodium glutamate……….……… Struktur kimia vitamin E... 17 22 2.6 Struktur anatomi hati…….………....…… 25

2.7 Gambaran sinusoid hati………. 27

2.8 Struktur gambaran histologi sel hati ……… 27

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 3.1 4.1 4.2

4.3

Sitokin dalam proses inflamasi... Skor nekrosis sentrilobular... Derajat kerusakan hati secara makroskopis... Skor histopatologi nekrosis sentrilobular dengan pewarnaan Haematoksilin Eosin ……….……….. Tampilan pewarnaan imunohistokimia TNF-α pada sel hati (hepatosit)………

33 50 64

65

(14)

DAFTAR SINGKATAN

Balai Pengawasan Obat dan Makanan Diamino Benzidin

Deoxi Nucleid Acid Double Ditsch Webster

Diphenil Picril Hydrasil Hydrate Ekstrak Etanol Kulit Manggis

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Garcinia Mangostana Linn

Glutathione Reductase Glutathione-S-Transferase Glutathione Peroxidase

(15)

ABSTRAK

Ekstrak kulit manggis saat ini banyak digunakan sebagai alternatif pengobatan oleh masyarakat sebagai anti-oksidan tanpa mengetahui efek sampingnya.

Konsumsi Monosodiumglutamate (MSG) yang digunakan sebagai penambah rasa makanan di masyarakat dapat menimbulkan berbagai efek samping karena terbentuknya radikal bebas di tubuh antara lain gangguan fungsi hati. Vitamin E yang selama ini dikenal sebagai anti-oksidan banyak digunakan masyarakat untuk mencegah radikal bebas. Metode penelitian menggunakan true experimental designs yang bertujuan membandingkan pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis (EEKM) pada kerusakan hati akibat pemberian MSG terhadap pemberian vitamin E. Dari 20 ekor sampel mencit jantan strain DDW, yang dibagi atas 4 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol/aquadest (P0), kelompok pemberian

MSG (P2), kelompok pemberian MSG dan EEKM (P3), dan kelompok MSG dan vitamin E (P4). Kemudian dinilai fungsi hati (kadar serum AST/ALT), perubahan makroskopik dan mikroskopik hati mencit dengan pewarnaan heamatoksilin eosin, serta penilaian tingkat kerusakan hati dengan pewarnaan imunohistokimia

TNF-α(NBP1-67821, pAb, pengenceran 1:50). Pemberian ekstrak etanol kulit manggis mempunyai kemampuan yang sama dengan vitamin E (p>0,05) dalam menurunkan AST, kecuali dalam menurunkan kadar serum ALT(p<0,05). Penilaian makroskopik dan mikroskopik hati mencit setelah pemberian EEKM

dan vitamin E tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam memperbaiki kerusakan hati akibat pemberian MSG (p>0,05). Ekstrak etanol kulit manggis dan vitamin E sama-sama dapat memperbaiki tampilan imunohistokimia ekspresi proses inflamasi TNF-α akibat pemberian MSG (p>0,05).

(16)

ABSTRACT

Mangosteen peel extract is now widely used as an alternative treatment by society as an anti-oxidant without knowing the side effects. The consumption of Monosodium Glutamate (MSG) as food additive can cause various side effects due to the formation of free radicals in body such as liver dysfunction. Vitamin E is widely used as anti-oxidants to prevent free radical communities. The research method uses true experimental design and aims to compare the effect of ethanol extract of mangosteen peel (EEKM) on the damage of liver that is caused by MSG giving to vitamin E. From 20 samples of mice, DDW strain male mice divides into four treatment groups, namely; control group / distilled water (P0), MSG giving group (P2), the giving of MSGand EEKM(P3) group and the last is MSG group and vitamin E (P4) . Thus, some assessments are done to the liver function (serum levels of AST / ALT) and macroscopic together with microscopic changing in the liver of mice with heamatoksilin eosin staining. As well as evaluating the damage level of immunohistochemical staining with TNF-α (NBP1-67 821, pAb, 1:50 dilution). The giving of Ethanol extract of Mangosteen peel has the same power with vitamin E (p> 0.05) in lowering AST, except in serum ALT levels (p <0,05). The Macroscopic and microscopic assessment of mice after giving EEKM and vitamin E did not show any significant differences in fixing the damage of liver from MSG giving (p> 0,05). Ethanol extract of mangosteen peel and vitamin E both are able to improve the look of immunohistochemical expression of TNF-α inflammatory process that is caused by MSG giving (p>0,05).

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di era industri seperti saat ini, meningkatnya pencemaran berdampak

negatif pada kesehatan yang diakibatkan oleh banyaknya radikal bebas. Tetapi

radikal bebas tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal saja, pola makan dan

kebiasaan kurang sehat yang kita lakukan atau kita makan pun ikut menentukan.

Radikal bebas yang menyerang struktur tubuh mengakibatkan bermacam penyakit

seperti kanker, diabetes, kelahiran prematur, kerusakan liver, pernafasan,

gangguan saraf, dan lain-lain. Untuk menanggulangi hal tersebut yang harus kita

lakukan adalah memperbaiki pola makan yang lebih sehat, tidak merokok, makan

makanan yang tidak berpengawet, pewarna, penyedap rasa yang banyak

mengandung bahan kimia berbahaya, olah raga teratur dan makan buah atau

sayuran yang banyak mengandung anti-oksidan (Prawirohardjono et al., 2000).

Penelitian Neeven (2010) menyebutkan stres oksidatif yang didapatkan dari

pemaparan MSG juga bisa menyebabkan degenerasi sel saraf contohnya seperti

Parkinson, dan Alzheimer.

Monosodium glutamate (MSG) sudah lama digunakan di seluruh dunia

sebagai penambah rasa makanan dengan L-glutamic acid sebagai komponen asam

amino (Geha et al., 2000) disebabkan penambahan MSG akan membuat rasa

makanan menjadi lebih lezat. Konsumsi MSG terbanyak dijumpai pada

masyarakat Korea yang mencapai 1,6 gr/hari, sedangkan di Indonesia sekitar 0,6

(18)

mencapai 3 gr/hari, sedangkan Amerika adalah negara yang paling rendah

konsumsi MSG per kapita, hanya 0,5 gr/hari (Uke, 2008). Konsumsi tersebut bisa

tergantung pada isi kandungan MSG dalam makanan dan pilihan rasa seseorang

(Geha et al., 2000), berkisar antara 0,1 % dan 0,8 % dari makanan yang disajikan.

Glutamat yang dikonsumsi secara oral diabsorbsi di rongga usus dan masuk

secara langsung melalui vena portal ke dalam hati, di dalam hati glutamat yang

diabsorbsi itu, konsentrasinya diubah sesuai kebutuhan.

Telah dilaporkan bahwa pemberian MSG pada dosis 3 dan 6 gr/grBB pada

mencit dewasa secara oral selama 14 hari berturut-turut dapat menghambat

perkembangan sel-sel hati. Bahkan dosis oral 6 gr/hari selama 14 hari terus

menerus akan merangsang efek parasimpatik dan menghasilkan asetilkolin dalam

darah sehingga kolinesterase meningkat dalam plasma, masuk ke dalam hati dan

menyebabkan dilatasi vena sentral, lisis eritrosit, kerusakan hepatosit secara akut,

nekrosis serta atropi (Eweka, 2008). Dilaporkan pula pemberian MSG dosis tinggi

melalui penyuntikan dapat menyebabkan nekrosis pada neuron, kemandulan, dan

berkurangnya jumlah anak (Verity, 1981). Bahkan pemberian lebih dari 6 gr/hari

akan menyebabkan terganggunya fungsi hati (Eweka, 2008). Di Amerika serikat,

Food and Drugs Administration (FDA, 1995) mengkategorikan MSG sebagai

bahan yang aman dikonsumsi dan Prawirohardjono et al. (2000) melaporkan

tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok orang sehat yang

mengkonsumsi MSG 1,5 gr/hari selama tiga hari, kelompok orang sehat yang

mengkonsumsi MSG 3 gr/hari selama tiga hari, dan kelompok plasebo

(19)

dalam jumlah besar pada orang yang sensitif dapat menimbulkan beberapa gejala

seperti nyeri pada bagian belakang leher yang berangsur-angsur menjalar ke

lengan dan punggung, badan lemah dan jantung berdebar, gejala-gejala ini dikenal

sebagai Chinese restaurant syndrome (Geha et al.,2000).

Penelitian terhadap mencit dewasa yang disuntikkan MSG secara subkutan

selama enam hari dengan dosis 4 mg/grBB dan 8 mg/grBB menyebabkan

peningkatan kadar glukosa eritrosit, meningkatkan kadar peroksidasi lipid, kadar

total glutation, dan protein yang terikat glutation serta peningkatan aktivitas enzim

glutathione reductase (GR), glutathione-S-transferase (GST), dan glutathione

peroxidase (GPX). Hal ini menggambarkan bahwa dengan pemberian MSG 4

mg/grBB mengakibatkan terjadinya stres oksidatif yang diantisipasi tubuh dengan

meningkatkan kadar glutation dengan cara meningkatkan aktifitas enzim

metaboliknya (Ahluwalia et al., 1996).

Penggunaan obat tradisional dalam pengobatan dapat mengurangi biaya,

dan tanpa harus konsultasi sebelumnya kepada dokter. Sebuah survei dari

Amerika Serikat (Parkin DM et al., 2008) menyatakan, prevalensi penggunaan

obat tradisional tanpa memikirkan efek sampingnya mencapai 37,5 - 67% (Fialka

Moser, 2003; dan Tasmuth T, 2006).

Pengobatan tradisional di Indonesia telah berlangsung sejak dahulu kala,

dan juga telah digunakan secara luas secara turun-temurun. Pada umumnya obat

tradisional digunakan untuk memelihara kesehatan, mencegah dan mengobati

penyakit, serta memulihkan kesehatan (Dirjen BPOM, 2000). Sampai saat ini,

(20)

untuk menanggulangi berbagai penyakit. Manfaat obat tradisional sebagai

pengobatan telah dirasakan secara luas oleh masyarakat. Hal ini juga tercermin

dengan semakin meningkatnya penggunaan obat tradisional, yang diikuti

peningkatan produksi obat dari industri-industri obat tradisional. Seiring dengan

adanya slogan “back to nature”, dan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang

berkepanjangan sehingga mengakibatkan daya beli masyarakat terutama

masyarakat golongan menengah ke bawah menurun, dan penggunaan obat

tradisional menjadi alternatif pengobatan di samping obat-obatan modern

(Prihatman, 2007).

Hati merupakan tempat utama untuk memetabolisme obat dan zat toksik,

dikenal sebagai proses biotransformasi. Hasil akhir dari reaksi ini berupa bahan

yang tidak aktif dan lebih larut dalam air, sehingga secara cepat dapat di ekskresi

melalui empedu atau urin. (Morgan, 1996). Gejala awal hepatotoksik ditandai

dengan peningkatan enzim-enzim transaminase dalam serum. Ada dua jenis

aminotransferase yang sering diukur yaitu SGPT (glutamate pyruvate

transaminase) / ALT (alanin transaminase) dan SGOT (glutamate oksaloasetat

transaminase)/AST (aspartate transaminase) (Morgan, 1996; Huriawati, 2002;

Siti, 1995). Kedua enzim ini ikut serta dalam mengkatalisisis reaksi kimia tanpa

mengalami perubahan secara kimia, mengatur metabolisme dan ikut serta dalam

semua fungsi sel. Adanya enzim di dalam sel, menyebabkan peningkatan jumlah

enzim yang merupakan konsekuensi dari jejas sel sehingga molekul-molekul

(21)

meningkat, ini mengindikasikan bahwa terdapat kerusakan pada hati. (Huriawati,

2002; Siti,1995; Sherlock, 2002).

Sel hepatosit adalah sel-sel parenkim hati, yang akan segera beregenerasi

bila mengalami trauma baik fisik maupun kimiawi. Pada penelitian terhadap organ

hati mencit yang telah menjalani hepatektomi, sebagian organ hati yang tersisa

akan beregenerasi dan mencapai masa seperti organnya semula dalam kurun

waktu 3 minggu. Trauma pada tingkat sel dapat menyebabkan kerusakan

ireversibel dalam waktu 20-60 menit pertama. Perubahan ireversibel akan

berakhir dengan kematian sel yang meliputi kerusakan membran, pembengkakan

lisosom dan vakuolisasi mitokondria yang mengakibatkan penurunan kapasitas

ATP. Berkurangnya ATP dan penurunan sintesisnya, dapat disebabkan keadaan

hipoksia dan toksik (trauma kimia). Bila terjadi gangguan fungsi mitokondria dan

membran sel, maka sel-sel hepatosit akan mengeluarkan enzim-enzim

transminase. Peningkatan enzim transminase merupakan penanda dini

hepatotoksik (Kumar et al., 2005).

Tumor Necrosis Factor (TNF) merupakan faktor pertama dalam

peningkatan inflamasi dan berguna dalam mengaktifkan makrofag pada

pertahanan host terhadap mikroba yang menginvasi selama terjadinya infeksi.

Sehingga TNF dapat memediasi efek menguntungkan dan efek merugikan

tergantung pada keadaan proses penyakitnya. Tumor Necrosis Factor kini

diketahui terlibat dalam merangsang produksi sitokin, meningkatkan ekspresi

molekul adhesi dan aktivasi netrofil, juga merupakan stimulator tambahan untuk

(22)

TNF sangat bervariasi, peningkatan regulasi dari ekspresi gen telah dilibatkan

dalam patogenesis berbagai jenis penyakit dengan komponen inflamasi, autoimun,

proses infeksi akut dan kronis (Jimena Cuenca, 2001).

Sel tubuh manusia yang selama kehidupannya bermetabolisme

menghasilkan energi selalu menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) yang

selanjutnya menghasilkan senyawa radikal bebas. Telah lama diketahui bahwa

radikal bebas berpengaruh buruk terhadap kehidupan dan diyakini dapat

menimbulkan kerusakan pada komponen sel seperti lipid, protein dan asam

nukleat serta dapat menyebabkan mutasi dan bersifat karsinogenik (Thannical,

2000; Clarkson, 2000; Droge, 2002). Tingkat kerusakan oksidatif sel atau jaringan

tubuh akibat radikal bebas dapat ditentukan dengan mengukur kadar

malondialdehide (MDA) di dalam darah dan pantane di dalam pernafasan yang

merupakan indikator untuk peroksidasi lipid (Clarkson, 2000).

Kadar radikal bebas di dalam tubuh dapat meningkat melalui beberapa

proses seperti aktivitas fisik yang berat sehingga metabolisme juga meningkat,

reperfusi iskemik, sinar matahari, radiasi, toksin, dan peningkatan enzim

lipoksigenase dan siklooksigenase (Tjokroprawiro, 1993; Thannical, 2000; dan

Droge, 2002). Akhir-akhir ini kehidupan dengan aktivitas fisik yang berat dan

pengaruh lingkungan dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang sulit

dihindari. Anti-oksidan diketahui dapat mencegah terbentuknya radikal bebas.

Anti-oksidan dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu anti-oksidan enzimatik

dan non-enzimatik. Anti-oksidan enzimatik yang di kenal juga sebagai

(23)

peroksidase. Anti-oksidan non-enzimatik disebut juga anti-oksidan pemutus rantai

meliputi vitamin C, vitamin E, dan juga beta karoten (Tjokroprawiro, 1993; Ji,

1999; dan Chevion, 2003). Selain vitamin C dan vitamin E, beberapa flavonoid

yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan terbukti berkhasiat sebagai anti-oksidan.

seperti antosianin (zat pewarna alami). Kadar antosianin yang cukup tinggi

terdapat pada berbagai macam tumbuh-tumbuhan seperti bilberries (Vaccinium

myrtillus), red wine, grape (Craig, 2002). Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa kulit buah manggis mengandung antosianin sebanyak 59,3mg/100gr kulit

buah manggis (Wiwin et al., 2010).

Beberapa jenis vitamin telah terbukti memiliki aktivitas anti-oksidan yang

cukup tinggi. Contoh vitamin yang banyak berperan sebagai senyawa anti-oksidan

di dalam tubuh adalah vitamin C dan vitamin E (Alstucl et al., 1995). Vitamin E

berperan dalam menjaga kesehatan berbagai jaringan di dalam tubuh, mulai dari

jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Selain itu, vitamin ini juga dapat

melindungi paru-paru manusia dari

dengan kerja vitamin E di dalam tubuh sebagai senyawa

Vitamin E banyak ditemukan pada ikan, ayam, kuning telur, ragi, dan minyak

tumbuh-tumbuhan. Walaupun hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit,

kekurangan vitamin E dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang fatal bagi

tubuh, antara lai

saraf dan otot akan mengalami gangguan yang berkepanjangan (Hidgon, 2002).

Manggis (dalam bahasa Latin dikenal sebagai GarciniamangostanaLinn)

(24)

buahnya terasa manis dengan campuran sedikit rasa asam dan beraroma wangi,

dagingnya putih, lunak dan gurih, sehingga buah manggis dikenal juga sebagai

"ratu buah". Kulitnya (pericarp) yang tebal, keras dan berwarna ungu tua, telah

banyak digunakan dalam pengobatan pada negara di Asia Tenggara seperti

Indonesia, Malaysia, Srilanka, Philipina dan Thailand. Masyarakat luas

menggunakan ekstrak kulit manggis untuk menyembuhkan diare, luka infeksi,

nyeri perut, peradangan dan penyembuhan berbagai penyakit (Pedraza-Chaverri et

al., 2008). Buah manggis dengan anti-oksidannya yang terdapat pada kulitnya

dikenal sebagai anti-oksidan yang efektif, karena mengandung senyawa biologi

xanthones. (Sitiatava, 2011).

Penelitian terhadap toksisitas ekstrak kulit manggis perlu dilakukan untuk

melindungi masyarakat dari efek yang mungkin merugikan. Efek toksik

obat-obatan sering terjadi di dalam hati, karena hati merupakan tempat utama untuk

memetabolisme semua obat dan bahan-bahan asing yang masuk ke dalam tubuh.

Hati akan mengubah struktur obat yang lipofilik menjadi hidrofilik sehingga

mudah dikeluarkan dari tubuh melalui urin atau empedu (Setiawati dkk., 2007).

Ekskresi melalui empedu memungkinkan terjadinya penimbunan xenobiotik di

organ hati sehingga akan menimbulkan efek hepatotoksik (Donatus, 2001).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk melakukan pemeriksaan

pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana Linn)

terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan gambaran

(25)

(Double Ditsch Webster) setelah diberi Monosodium glutamate (MSG) bila

dibandingkan dengan vitamin E.

1.2 Rumusan Masalah

Adakah pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap

perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan gambaran makroskopik dan

histopatologi hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan

dengan vitamin E?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis

terhadap perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan makroskopik dan

histopatologi hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan

dengan vitamin E.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap perubahan kadar

enzim AST dan ALT pada hati mencit jantan strain DDW yang diberi

ekstrak etanol kulit manggis dan vitamin E.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap perubahan hati

secara makroskopik (berat, perubahan warna, konsistensi dan

permukaan) pada hati mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak

(26)

3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap histopatologi hati

mencit jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis

dibandingkan vitamin E dinilai dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin.

4. Untuk mengetahui pengaruh pemberian MSG terhadap sel hati mencit

jantan strain DDW yang diberi ekstrak etanol kulit manggis

dibandingkan vitamin E dinilai dengan tampilan pewarnaan

imunohistokimia TNF-α .

1.4 Hipotesis

Ada perbedaanpengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap

perubahan kadar enzim ALT, AST serta perubahan makroskopik dan histopatologi

hati mencit jantan strain DDW setelah diberi MSG dibandingkan dengan vitamin

E.

1.5 Manfaat Penelitian

− Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang

manfaat ekstrak etanol kulit manggis dan dijadikan bahan pertimbangan

bagi masyarakat untuk menggunakan ekstrak etanol kulit manggis

sebagai anti-oksidan alamiah dalam mencegah kerusakan hati akibat

radikal bebas dari MSG.

− Penelitian ini dapat berguna sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya

dalam pengembangan obat-obatan tradisional, khususnya potensi sebagai

(27)

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Manggis 2.1.1 Sejarah

Manggis dengan nama Latinnya Garcinia mangostana Linn (GML),

dikenal juga sebagai Queen of the Tropical Fruits di luar negeri. Tanaman ini

dibudidayakan di hutan hujan tropis pada beberapa Negara diAsia Tenggara

seperti Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand. Masyarakat di

berbagai Negara ini telah menggunakan kulit GML sebagai obat tradisional untuk

pengobatan sakit perut, diare, disentri, luka yang terinfeksi, dan gastritis kronis.

Penelitian lain telah menunjukkan bahwa ekstrak GML memiliki khasiat sebagai

anti-oksidan, anti-tumor, anti-alergi, anti-inflamasi, anti-bakteri, dan anti-virus.

Ekstrak kulit GML merupakan sumber xanthones dan zat bioaktif. Xanthones

merupakan bahan yang terisolasi dari GML yaitu dari kulit buah yang utuh,

batang, maupun daunnya dan ini telah dipelajari secara luas. Xanthones terdiri atas

bagian α, β, γ - mangostins, garcinone- E, 8-deoxygartanin, dan gartanin (Jose et

al., 2008).

Klasifikasi buah manggis digolongkan dalam divisi Spermatophyta

(tumbuhan berbiji); sub-divisi Angiospermae (berbiji tertutup); kelas

Dicotyledonae (biji berkeping dua); family Guttiferae; genus Garcinia; spesies

(28)

Gambar 2.1. Garcinia Mangostana L (Budidaya pertanian, 2010).

Menurut Raffi Paramawati, salah satu obat herbal yang mempunyai sifat

anti-inflamasi yang tinggi adalah manggis, yang terdapat di bagian kulitnya dan

dapat dikonsumsi dengan cara diminum seperti teh atau dibuat jus (Sitiatava,

2011).

2.1.2 Kandungan kimia ekstrak kulit manggis

Xanthones adalah senyawa organik dengan rumus molekul C13H8O2.

Strukturnya berbentuk cincin segi enam dengan ikatan karbon. Xanthones juga

digunakan dalam penyusunan xanthydrol, yang digunakan dalam penentuan kadar

urea dalam darah, anti-kanker, pengendalian diabetes, dan mencegah oksidasi

kolesterol darah Low Density Lipoprotein (LDL) serta mengurangi kerusakan

jaringan dari radikal bebas dalam peradangan. Sampai saat ini, telah dikenal

terdapat lebih dari 40 unsur xanthones dalam buah manggis yang berperan sebagai

(29)

Xanthones merupakan bahan kimia alami yang tergolong dalam senyawa

polyhenolic. Kulit manggis mengandung bahan: 3-isomangostein, α-mangostin,

garcinone A, garcinone B. garcinone C, garcinone D, garcinone E, maclurin dan

mangostenol (Paramawati., 2010). Xanthones atau 9H-xanthen-9 (Dibenzo-γ

-pirone) merupakan salah satu bahan dasar dari oksigenheterocycles yang perannya

penting di dalam kimia obat (Pinto, 2005).

Ho et al.(2002) menyatakan bahwa senyawa xanthones yang diisolasi dari

kulit buah manggis dan paling aktif didalam farmakologi adalah garcinone E yang

memiliki efek yang paling toksik terhadap sel di dalam proses karsinogenesis,

seperti keganasan pada organ hati, lambung dan paru. Kemudian Jung et al.

(2006), berhasil mengidentifikasi kandungan ekstrak xanthones yang terlarut di

dalam diklorometana, berupa dua xanthones yang sudah teroksidasi yaitu

8-hidroksikudraksanton G, dan mangostingon7-metoksi-2(3-metil-2-butenil

)-8-(3-metil-2-okso-3-butenil)-1,3,6 trihidroksiksanton dan 12 xanthones lainnya yaitu:

(1). Kudraksanton G, 8-deoksigartanin; (2). Garsimangostin; (3). Garsinon; (4).

Garsinon-E; (5). Gartanin; (8). 1-isomangostin; (9). Alfamangostin; (10).

Gamma-mangostin; (11). Mangostinon smeathxanthon A; dan (12). TovofillinA.

Akhir-akhir ini, tanaman obat telah dikenal diberbagai Negara industri di

seluruh dunia dan telah dikembangkan secara pesat dari pengobatan rumah dan

ramuan menjadi produk farmasi. Kurangnya penstandaran dan pengendalian mutu

untuk tanaman obat ini sampai saat ini masih menjadi masalah, dan masih

dibutuhkan penentuan fitokimia produk herbal yang bertujuan untuk memastikan

(30)

senyawa aktif, serta untuk meningkatkan kualitas kontrol produk (Liang et al.,

2004).

High Performance Liquid Chromathography (HPLC) merupakan salah

satu metode pengontrolan kualitas produk untuk menganalisis obat-obatan herbal

yang bersifat akurat, tepat dan tidak dibatasi oleh stabilitas senyawa lainnya

(Jandera et al., 2005; Holcapek et al., 2005; Klejdus et al., 2007; Hellstrom dan

Mattila, 2008; dan Lee et al., 2008)

Struktur kimia dari kandungan ekstrak kulit manggis terdapat pada

gambar berikut di bawah ini (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Struktur kimia GarciniaMangostanaLinn (Jung et al., 2006).

Salah satu fungsi utama xanthone sebagai anti-oksidan adalah dapat

mencegah dan penanganan terhadap kanker yang mematikan (Sitiavata, 2011).

Xanthones merupakan senyawa polifenol alami yang terdapat di dalam tanaman,

dan telah di sintesis secara luas dan memiliki efek anti-oksidan (Mahabusarakam

(31)

2.2 MonosodiumGlutamate

2.2.1 Sejarah penemuan MonosodiumGlutamate

Glutamat adalah salah satu asam amino yang paling umum ditemukan di

alam. Ini adalah komponen utama dari banyak protein dan peptida, dan ada di

sebagian besar jaringan. Glutamat juga diproduksi dalam tubuh dan memainkan

peran penting dalam metabolisme tubuh. Hampir setiap makanan mengandung

glutamat yang merupakan komponen utama paling banyak mengandung protein

alami seperti daging, ikan, susu dan beberapa sayuran. MSG adalah garam natrium

glutamat dan hanya glutamat, air dan natrium (Institute of Food Technologists,

1987; Filer dan Fernstrom, 2000).

Monosodium Glutamate (MSG) pertama kali ditemukan oleh Ikeda pada

tahun 1907 dari mengisolasi tumbuhan laut ganggang Japonica (genus laminaria)

atau disebut “konbu” di Jepang yang berisi antara asam glutamat 1-2%. Glutamat

dapat ditemukan secara alami dibeberapa makanan seperti kedelai, jamur, tomat,

keju, dan ekstrak herbal. (Halpren, 2002). Memiliki cita rasa yang khas yang

disebut umami suatu elemen rasa yang dijumpai pada kaldu. Karakteristik umami

berbeda dengan empat rasa yang lain pahit, manis, asin, dan asam, umami berupa

rasa sedap, lezat dan enak (Loliger, 2002). Rasa umami ini bertahan lama,

didalamnya terdapat komponen L-glutamate (suatu asam amino non esensial) dan

5’-ribonucleotide (Yamaguci dan Ninomiya, 2000). MSG banyak digunakan pada

masakan Cina dan Asia tenggara yang dikenal dengan nama ajinomoto, sasa,

vet-sin, miwon, atau weichaun (Geha et al., 2000). Setelah penggunaannya selama

(32)

menimbulkan berbagai macam gejala berupa rasa kebas dan jantung

berdebar-debar, mual dan sakit kepala, gejala ini kemudian dikenal dengan Chinese

restaurant syndrome (Stegink et al., 1981).

Sejak ditemukannya gejala-gejala tersebut, penelitian terhadap efek MSG

dengan menggunakan hewan coba banyak dilakukan. Luca dan Newhouse (1997),

meneliti bahwa suntikan secara subkutan asam glutamate pada bayi tikus

menyebabkan degenerasi neuron pada lapisan dalam retina. Onley (1969)

menemukan kerusakan nucleus arcuatus hypothalamus pada tikus akibat MSG.

Juga dilaporkan adanya ablasi yang spesifik pada sel neuron di nucleus arcuatus.

Sehingga para peneliti menyimpulkan bahwa pemberian MSG pada awal

kehidupan akan menganggu aksis neuroendokrin reproduksi melalui lesi pada

nucleus arcuatus hypothalamus.

Bentuk Monosodium Glutamate dapat dilihat pada gambar berikut ini

(Gambar 2.3).

(33)

2.2.2 Sifat kimia dan metabolisme MSG

Monosodium glutamate mempunyai rumus kimia C5H8NNaO4.H2O yang

bersifat sangat larut dalam air (Geha et al., 2000) glutamat yang terdapat dalam

MSG merupakan asam amino yang banyak dijumpai pada makanan, kandungan

glutamat 20% dari total asam amino pada beberapa makanan baik bebas maupun

terikat dengan peptida ataupun protein (Grattini, 2000). Sementara glutamat yang

terdapat dalam MSG dan yang berasal dari hidrolisis protein tumbuhan merupakan

glutamat dalam bentuk bebas. Konsumsi glutamat bebas akan meningkatkan kadar

glutamat dalam plasma darah (Gold, 1995). Selanjutnya glutamat di dalam

mukosa usus halus akan diubah menjadi alanin dan di dalam hati akan diubah

menjadi glukosa dan laktat. Adapun kadar puncak glutamat yang dicapai hewan

dewasa setelah konsumsi oral 1 gr/kgBB, kadar terendah dijumpai pada kelinci

dan meningkat progresif pada monyet, anjing, tikus dan marmut. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan asam glutamat plasma adalah cara

pemberian (oral, subkutan, intraperitoneal) konsentrasi MSG dalam larutan (2%,

10%) dan usia (hewan baru lahir memetabolisme asam glutamat lebih rendah dari

dewasa) (Garattini, 2000). Struktur kimia dari MSG dapat dilihat pada gambar

berikut ini (Gambar 2.4).

(34)

MSG telah diproduksi dengan tiga metode: (1). Hidrolisis protein nabati

dengan asam hidroklorida untuk memutuskan ikatan peptida (1909-1962),

(2). Sintesis kimia langsung dengan akrilonitril (1962-1973), dan (3). Fermentasi

bakteri, metode yang digunakan saat ini. Menurut Chiaki (2009), pada awalnya

untuk hidrolisis digunakan gluten gandum karena mengandung lebih dari 30gr

glutamat dan glutamin dalam 100gr protein. Seiring meningkatnya produksi untuk

memenuhi permintaan MSG yang terus bertambah, maka dilakukan penelitian

terhadap proses-proses produksi baru berupa sintesis kimia dan fermentasi.

Industri fibe

MSG. Saat

ini, sebagian besar produksi MSG dunia dilakukan dengan fermentasi bakteri

dalam proses yang mirip dengan produksi anggur, cuka, yoghurt, dan bahkan

cokelat. Natrium (sodium) ditambahkan pada tahap netralisasi. Selama fermentasi,

bakteri terpilih (coryneform bacteria) yang dikultur dengan amonia dan

karbohidrat dari bit gula, tebu gula, tapioka, atau molase, mengeluarkan asam

amino ke dalam kultur kaldu, yang kemudian L-glutamat diisolasi. Kyowa Hakko

Kogyo Co. Ltd., mengembangkan fermentasi industri yang pertama untuk

memproduksi L-glutamat. Akhir-akhir ini, tingkat hasil konversi dan tingkat

produksi dari gula menjadi glutamat terus meningkat dalam industri MSG, hal ini

memotivasi industri untuk terus memenuhi permintaan MSG. Produk akhir setelah

filtrasi, konsentrasi, pengasaman, dan kristalisasi adalah glutamat murni, natrium,

dan air. Wujudnya adalah serbuk kristal berwarna putih dan tidak berbau yang

(35)

larut dalam air, tetapi tidak bersifat higroskopis dan praktis tidak larut dalam

pelarut organik umum seperti eter (Yoshida, 1970). Secara umum, MSG stabil

dalam kondisi pemprosesan makanan biasa. Selama pemasakan, MSG tidak

terurai, tetapi seperti asam amino lainnya, perubahan menjadi kecoklatan atau

(Yamaguchi, 2008).

Diperkirakan seseorang dengan berat badan 70 kg setiap harinya mendapat

asupan asam glutamat sekitar 28 gr yang berasal dari makanan dan hasil

pemecahan protein dalam usus. Pertukaran asam glutamat setiap harinya dalam

tubuh sekitar 48 gr, namun jumlahnya di dalam darah hanya sedikit yaitu sekitar

20 mg karena cepat mengalami ekstraksi dan digunakan oleh beberapa jaringan

termasuk otot dan hati (Garattini, 2000).

Glutamat merupakan suatu neutotransmitter yang penting untuk

komunikasi antar neuron, jika berlebihan akan dipompakan kembali ke dalam sel

glial di sekitar nefron, dan akan menyebabkan neuron tersebut mati (Gold, 1995;

Garattini, 2000). Glutamat akan membuka saluran kalsium neuron sehingga

kalsium masuk ke dalam sel. Reaksi kimia yang berlangsung di dalam sel, akan

melepaskan bahan-bahan kimiawi secara cepat yang dapat merangsang neuron

yang berada didekatnya. Asam arakidonat merupakan salah satu hasil reaksi kimia

yang akan bereaksi dengan enzim dan menghasilkan radikal bebas seperti radikal

(36)

2.2.3 Efek biologi MSG

Normalnya MSG yang berlebihan tidak dapat melewati sawar darah otak,

tetapi terdapat beberapa bagian di dalam otak yang tidak dilindungi oleh sawar

darah otak seperti hypothalamus, batang otak, kelenjar hipofisis dan testosterone

(Gold, 1995), sehingga pemberian MSG secara subkutan pada mencit baru lahir

dapat menimbulkan nekrosis neuron yang bersifat akut pada otak termasuk

hypothalamus yang ketika dewasa akan mengalami hambatan perkembangan

tulang rangka, timbul gejala seperti kebas pada leher belakang menjalar di kedua

lengan dan punggung, perasaan lemah dan jantung berdebar-debar (Stegink et al.,

1981), sakit kepala, rasa terbakar, tekanan pada wajah dan nyeri dada

(Schaumburg et al., 1969). Kumpulan gejala tersebut dikenal dengan istilah

Chinese restaurant syndrome yang umumnya timbul setelah mengkonsumsi

masakan Cina yang banyak mengandung MSG (Kenney, 1986).

Penelitian terhadap tikus dengan makanan standarnya ditambah MSG 100

gr/kgBB/hari, setelah 45 hari memperlihatkan adanya disfungsi metabolik berupa

peningkatan kadar glukosa darah, trigliserol, insulin, dan leptin. Keadaan tersebut

disebabkan stres oksidatif berupa peningkatan kadar hiperoksidasi lipid dan

penurunan bahan-bahan anti-oksidan, tetapi hal tersebut dapat dicegah dengan

menambahkan serat pada makanannya (Diniz et al., 2005). Penelitian yang

dilakukan dengan pemberian MSG 4 mg/grBB secara subkutan selama 10 hari

pertama kelahiran dan pada hari ke-25 memperlihatkan peroksidasi lipid dapat

meningkat secara bermakna. Keadaan stres oksidatif juga dijumpai setelah

(37)

pembentukan malondialdehyde (MDA) pada hati, ginjal, dan otak (Farombi dan

Onyme, 2006).

Penelitian terhadap tikus Sprague-Dawley baru lahir yang mengalami lesi

pada nucleus arcuatus setelah penyuntikan MSG 4 mg/kgBB secara subkutan

pada hari ke-1, 3, 5, 7, dan 9, selanjutnya 10 minggu kemudian memperlihatkan

adanya plak arteriosklerotik pada permukaan lumen dinding aorta, degenerasi

endothelium, inti endothelium mengalami oedema, adanya vesikel dengan

berbagai ukuran pada jaringan subendotelium serta sel otot polos mengalami

migrasi dari tunika media ke tunika intima melalui interna elastika yang robek.

Juga disertai peningkatan kadar kolestrol total, low density lipoprotein (LDL),

kadar nitrit oxide berkurang, sedangkan kadar high density lipoprotein (HDL)

tidak berubah (Xiao-hong et al., 2007).

Marwa dan Manal (2011) melaporkan, ada dua mekanisme asam glutamat

dalam menginduksi kematian sel, yaitu melalui jalur eksositotoksik dan oksidatif.

Mekanisme eksositotoksik melibatkan peningkatan aktivasi reseptor glutamat,

yaitu N-metil-D-Aspartat (NMDA) pada membran sel yang memicu peningkatan

masuknya (influx) Ca2+ ke dalam sel, sedangkan jalur oksidatif ditandai dengan

penurunan kadar glutation sebagai akibat produksi radikal bebas secara

berlebihan. Kondisi ini berdampak pada kerusakan mitokondria sehingga produksi

ATP menjadi terhenti, yang mengakibatkan terjadi aktivasi kaspase yang

menginduksi apoptosis disertai pelepasan enzim ALT ke dalam serum (Madesh

(38)

2.2.4 Ajinomoto

Ajinomoto (Kabushiki-gaisha) adalah makanan Jepang dan merupakan

nama dari perusahaan kimia yang memproduksi bumbu, minyak goreng, pemanis,

asam amino dan farmasi. Terjemahan harfiah dari Aji – no - Moto adalah

"Essence of Taste," digunakan sebagai merek dagang untuk MSG asli (The journal

food and culture, 2011). Produk utama Ajinomoto adalah MSG yang merupakan

bumbu masakan yang pertama kali dipasarkan di Jepang pada tahun 1909,

ditemukan dan dipatenkan oleh Kikunae Ikeda. Ia menemukan senyawa yang

paling penting dalam kaldu rumput laut, yang digunakan untuk umum sebenarnya

adalah garam glutamat, yang diidentifikasi dengan rasa umami, yang artinya rasa

yang menyenangkan atau savoriness. Garam yang paling sederhana untuk di

konsumsi manusia, popularitas MSG membantu perusahaan cepat memperluas ke

negara-negara lain, dengan Ajinomoto USA, Inc. didirikan pada tahun 1956

(Wikipedia, 2013).

2.3 Vitamin E

Vitamin memiliki peran yang sangat penting di hampir semua bio-reaksi

kimia dan merupakan anti-oksidan yang mampu melindungi jaringan dari stres

oksidatif (Kanter et al,. 2006 and Cadenas, 2002). Rumus kimia vitamin E dapat

dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini.

(39)

Vitamin E α-tokoferol atau α-Toc adalah membran utama yang tidak

bebas, bersifat larut di dalam lemak, anti-oksidan yang melindungi membran sel

terhadap peroksidasi lipid (Bulger and Maier, 2003). Tokoferol merupakan

anti-oksidan non-enzimatik dengan mekanisme mendonorkan ion hidrogen dan dapat

mengubah radikal peroksil menjadi radikal tokoferol yang kurang reaktif sehingga

tidak mampu menyerang rantai asam lemak (Astuti, 2009).

Gangguan absorbsi lemak dapat menyebabkan defisiensi vitamin E karena

sifat tokoferol yang larut dalam lemak makanan, akan dibebaskan dan diserap saat

lemak dicerna. Vitamin E tersimpan dalam jaringan adiposa karena itu kondisi

defisiensi vitamin E dapat ditemukan pada kondisi steatore (metabolisme dari

lemak yang tidak sempurna sehingga akan menghasilkan feses yang berwarna

putih, indikasi terjadinya malabsorbsi dan terkadang diare) kronis, penyakit hepar

kolestatik, kistik fibrosis dan pasien yang menjalani operasi reseksi usus (Murray,

et al., 2003).

2.4 Hati

2.4.1 Anatomi dan histologi

Hati merupakan organ/kelenjar yang terbesar di dalam tubuh. Hati

dianggap sebagai kelenjar, karena dapat menghasilkan empedu (fungsi eksokrin

dan endokrin). Hati dibungkus oleh jaringan fibrous tipis yang disebut kapsula

fibrosa perivascularis (Glisson) yang terdapat dilapisan viseral peritoneum. Dari

kapsul ini muncul septa yang masuk ke dalam parenkim hati. Sel-sel hati

(hepatosit) tersusun berupa untaian mutiara dan terdapat sinusoid-sinusoid di

(40)

akan disekresikan melalui kanalikuli biliaris, yang selanjutnya disalurkan ke

dalam duktulus biliaris. Duktus biliaris akan bercabang membentuk duktus

hepatikus kanan dan duktus biliaris kiri, yang selanjutnya membentuk duktus

hepatikus komunis yang meninggalkan hati (Daniel, 2009).

Hati terletak di bagian atas abdomen, dan meluas di bawah arkus kosta dan

diafragma, yang berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan (homeostasis)

metabolisme di dalam tubuh, termasuk pengolahan diet asam amino, karbohidrat,

lemak, vitamin, sintesis protein, dan detoksifikasi serta ekskresi empedu ke dalam

produk limbah endogen dan xenobiotik. Jadi, tidak mengherankan bahwa hati

rentan terhadap berbagai macam metabolisme, mikroba beracun, dan kontaminasi

peredaran darah. Keterlibatan hati secara sekunder sering ditemukan pada

beberapa penyakit, seperti dekompensasi jantung, diabetes, dan infeksi ekstra

hepatik (Robbins et al., 2010). Berat hati rata-rata 1350gr, konsistensi kenyal,

permukaan rata, halus, dan berwarna merah kecoklatan yang terdiri atas empat

lobus yaitu: lobus kanan, lobus kiri, lobus kaudatus dan lobus kuadratus. Lobus

kanan merupakan lobus yang terbesar (Daniel, 2009). Struktur anatomi hati

(41)

Gambar 2.6 Struktur anatomi hati (Netter, 2010)

Hati memiliki cadangan fungsional yang besar, sehingga regenerasi sel

hepatosit dapat terjadi pada kelainan organ hati. Operasi pengangkatan hati dapat

menimbulkan kerusakan hati sebesar 60% dari hati, namun hati mampu

beregenerasi membentuk sebagian besar massa hati dalam waktu 4-6 minggu.

Pada orang dengan nekrosis retikuli hepatoseluler dan hati yang utuh, restorasi

hampir sempurna dapat terjadi jika individu dapat bertahan hidup. Cadangan

fungsional dan kapasitas regeneratif dari permukaan hati sampai batas tertentu

merupakan dampak klinis awal kerusakan hati. Namun, dengan penyebaran

penyakit, gangguan aliran sirkulasi atau kelainan empedu dapat mengakibatkan

gangguan fungsi hati yang mengancam jiwa (Robbins et al., 2010).

Secara fungsional unit terkecil hati adalah lobulus yang berbentuk

heksagonal memiliki sebuah vena sentral. Dari vena sentral untaian sel-sel hati

yang berbentuk balok-balok berderet secara radial ke arah perifer. Sudut-sudut

pertemuan antara lobulus disebut segitiga Kiernan (trias portal) yang terdiri l dari

(42)

mikroskopis sel hati berbentuk polihedral, berdiameter 20-25 µ pada hewan

dewasa dan 2-7 µ pada hewan muda. Inti bentuk bulat terletak di tengah, kadang

dapat dijumpai inti lebih dari satu. Lobus hati terdiri dari sel parenkim (hepatosit)

dan sel non-parenkim (sel sinusoidal, sel Kupffer, sel stellata, sel dendritik, dan

sel pit atau dikenal sebagai natural killer cell) (Kaneda, 1999 dan Wake, 1999

dalam Naito et al., 2004).

Pada tahun 1954, Rappaport melaporkan asinus hati sebagai unit

fungsional hati (Rappaport et al., 1954 dalam Malarkey et al., 2005). Mikroskopis

lobus hati dapat dibagi menjadi 3 daerah yaitu: (1). Daerah periportal (zona 1)

yang terletak dekat arteriola hepatica dan didominasi oleh enzim-enzim

metabolisme oksidatif dan glikogenesis, (2). Daerah tengah (mid-zona / zona 2)

dengan fungsi yang bervariasi, mengandung enzim-enzim zona 1 dan zona 3, serta

(3). Daerah sentrilobular (zona 3) yang terletak di dekat ujung asinus, banyak

mengandung enzim glikolisis untuk memetabolisme lemak dan obat-obatan.

Aliran darah aferen mengalir masuk dari tepi lobulus klasik dan keluar melalui

vena sentral. Hepatosit pada zona 1 paling banyak mendapatkan oksigen dan

nutrien, sedangkan asupan darah pada daerah sekitar vena sentralis (zona 3)

mempunyai kandungan kadar oksigen dan nutrien yang relatif sedikit, daerah ini

merupakan daerah yang paling sering mengalami kerusakan akibat zat kimia.

Secara skematis gambaran sinusoid sel hepatosit dapat dilihat pada gambar

(43)

Gambar 2.7. Gambaran sinusoid hati (Robbins et al., 2007)

Mikro sirkulasi in vivo menunjukkan unit fungsional pada hati adalah

asinus. Asinus terdiri dari hepatosit yang membentuk dua lapis sel dan kanalikuli

empedu berada diantaranya di sepanjang sinusoid. Sinusoid hati adalah celah di

antara barisan hepatosit yang mengandung sinusoid kapiler. Berikut ini gambaran

mikroskopis sel hepatosit (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Histologi hati (Junqueira, 2005).

(44)

2.4.2 Fisiologi Hati

Fungsi hati selain sebagai pusat metabolisme, juga berfungsi sebagai

tempat pembentukan dan sekresi empedu, tempat penyimpanan glikogen untuk

menjaga keseimbangan glukosa darah, sintesa urea, metabolisme kolesterol dan

lemak, sintesa dan sekresi endokrin untuk plasma protein termasuk faktor

pembekuan darah, detoksifikasi berbagai macam obat dan racun, membersihkan

bakteri dari darah, prosesing beberapa hormon steroid dan sumber vitamin D,

serta sebagai katabolisme hemoglobin dari sel darah merah yang sudah tidak

terpakai lagi (Daniel, 2009; Netter, 2010; dan Snell, 1997).

Hati juga memproduksi enzim. Salah satu enzim yang dihasilkan oleh

hepatosit adalah Alanin aminotransferase (ALT) dan Aspartat aminotransferase

(AST) merupakan keluarga enzim transferase. Enzim ini penting untuk

memetabolisme glukosa dan sebagai katalisis protein, mengubah alanin dan

2-oxsoglutarat menjadi pyruvat dan glutamat. Enzim ini digunakan sebagai penanda

kerusakan hati dan uji toksisitas preklinik (Panjaitan et al., 2007). ALT merupakan

enzim penting untuk metabolisme glukosa dan protein, mengkatalisis transaminasi

alanin dan α-ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat. Menurut Girindra (1988)

kadar enzim ALT sering digunakan untuk menganalisis kerusakan hati, dan

merupakan indikator kerusakan hati. Enzim ini banyak dijumpai di mitokondria

dan sitosol (Panjaitan et al., 2007). ALT akan meningkat pada infeksi virus, sirosis

hepatik, non-alkoholic steatohepatitis (NASH), zat-zat kimia beracun dan

keracunan obat-obatan. ALT diproduksi terutama di dalam hati, mengkatalisis

(45)

sedangkan AST mengkatalisis transaminasi aspartat dan α-ketoglutarat menjadi

glutamat dan oksaloasetat (Yang et al., 2009).

Bila hati mengalami cedera atau peradangan, kadar enzim ALT di dalam

darah meningkat, sedangkan AST banyak ditemukan di mitokondria semua sel

pada berbagai jaringan tubuh termasuk jantung, otot, ginjal otak dan paru. AST

juga terdapat di dalam hepatosit. Pada hati yang mengalami kerusakan, AST akan

dilepaskan dalam aliran darah. Jumlah AST di dalam darah dapat dihubungkan

langsung dengan kerusakan jaringan. Meskipun kedua enzim ini meningkat pada

pasien yang mengalami kerusakan hati, ALT lebih spesifik untuk menentukan

kerusakan hati, kerja ALT lebih panjang dibandingkan AST (Johnston, 1999).

Pengunaan obat herbal secara terus menerus dapat menimbulkan

kerusakan jaringan hati melalui bebagai mekanisme, seperti melalui induksi enzim

dan radikal bebas. Efek penggunaan obat herbal secara akut di hati nampaknya

lebih ringan bila dibandingkan dengan pengunaan obat-obatan secara kronis,

namun belum ditemukan data yang pasti. Berbagai macam zat kimia yang

dikonsumsi dapat berdampak terhadap berbagai organ di dalam tubuh, termasuk

organ hati karena hati berfungsi sebagai tempat untuk proses detoksifikasi.

Transportasi aktif dan pengikatan ke komponen jaringan merupakan mekanisme

yang digunakan oleh hati untuk membuang bahan toksis dari darah, namun masih

(46)

2.4.3 Proses biotransformasi obat dihati

Tujuan metabolisme obat adalah untuk mengubah obat yang bersifat

non-polar (larut lemak) menjadi non-polar (larut air) agar dapat diekskresikan melalui

ginjal dan empedu. Reaksi metabolisme terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II.

Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang mengubah obat

menjadi polar, sehingga obat akan menjadi bersifat inaktif, lebih aktif atau kurang

aktif. Sedangkan reaksi fase II merupakan reaksi konjugasi dengan substrat

endogen seperti asam glukoronat, asam sulfat, asam asetat, atau asam amino, dan

akibatnya hampir selalu menjadi tidak aktif. Obat dapat mengalami reaksi fase I

saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi fase I diikuti reaksi fase II (Guytonet al.,

2007).

2.4.4 Kerusakan hati

Kerusakan hati karena zat toksik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

jenis zat kimia yang terlibat, dosis yang diberikan, dan lamanya paparan zat

tersebut. Kerusakan hati dapat terjadi segera atau setelah beberapa minggu sampai

beberapa bulan. Kriterianya adalah setiap individu mengalami kerusakan hati bila

diberikan zat kimia dosis tertentu, beratnya kerusakan hati tergantung dosis, lesi

hepatik yang jelas, mempunyai interval waktu yang singkat antara obat yang

dicerna dan reaksi perlawanan. Banyak reaksi obat yang toksik terjadi karena

konversi oleh hati terhadap obat menjadi metabolit berupa kimia reaktif yang

kovalen yang mengikat protein nukleofilik pada hepatosit hingga nekrosis

(47)

hati secara perlahan-lahan. Obat-obatan yang dapat menyebabkan kerusakan hati

disebut obat-obat hepatotoksik (Lauralee, 2001).

Kerusakan hati oleh obat yang tidak dapat diduga disebut juga sebagai

kerusakan yang bersifat idiosinkrasi. Meskipun jarang, hal ini timbul karena

reaksi hipersensitivitas yang disertai demam, bercak kulit, eosinofilia. Agen atau

metabolitnya berlaku sebagai hapten untuk membentuk anti-gen yang sensitif

(Daniel, 2009).

TNF-α adalah salah satu sitokin yang dapat mengindikasikan adanya kerusakan pada hati akibat zat toksik, karena selain dihasilkan oleh makrofag, sel

endothelial, dan sel mast, TNF-α juga bisa dihasilkan oleh sel yang terjejas akibat

zat toksik yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada hati. TNF-α adalah

sitokin pleiotropik dengan fungsinya yang beragam, yang bisa dijumpai juga pada

penyakit-penyakit patologis seperti kanker, penyakit jantung, dan diabetes

mellitus type-2 (DMT2) (Simona et al., 2005).

TNF-α juga merupakan sitokin mediator utama yang berperanan di dalam

proses inflamasi akut untuk mengaktivasi endothelial lokal (menampilkan

molekul adhesi), menimbulkan demam, menyebabkan nyeri, anoreksia, hipotensi,

dan penurunan permeabilitas pembuluh darah (shok) (Robin and Cotran, 2010).

TNF-α dapat berfungsi sebagai biomarker peradangan dan sebagai indikator

penting untuk intervensi terapi (Shoelson, 2006). Sekresi TNF dan IL-1 dapat

dirangsang oleh endotoksin dan produk mikroba lainnya, kompleks imun, cedera

fisik, dan berbagai rangsangan inflamasi. Peran TNF dan IL-1 yang terpenting

(48)

serta induksi reaksi sistemik pada fase akut (Gambar 2.9). Secara khusus TNF

dan IL-1 menginduksi ekspresi molekul adhesi endotel, sintesis mediator kimia,

termasuk sitokin lain, chemokines , faktor pertumbuhan, eikosanoid, dan NO.

Sitokin-sitokin yang berperan dalam proses peradangan akut maupun kronis dapat

dilihat pada tabel 2.1 (Robins et al., 2010).

TNF-α berperan dalam berbagai aspek respon terhadap inflamasi,

termasuk menginduksi sitokin untuk inflamasi (IL-1, IL-6). TNF-α juga menimbulkan perubahan pada sel endotel dinding pembuluh darah, mengaktifkan

monosit dan neutrofil, serta menghancurkan sel yang terinfeksi. Selain itu TNF-α

juga berfungsi sebagai mediator utama dalam shok septik dan dapat

mempengaruhi penyimpanan dan metabolisme lipid sehingga dapat menimbulkan

kaheksia (keadaan kurus kering karena kekurangan gizi). TNF (cachexin atau

cachectin), sebelumnya dikenal sebagai tumor necrosis factor-alpha atau TNF-α adalah sitokin yang terlibat dalam peradangan sistemik dan merupakan anggota

dari kelompok sitokin yang merangsang reaksi inflamasi fase akut. Hal ini

terutama dihasilkan oleh makrofag yang teraktifasi, selain itu dapat diproduksi

oleh berbagai jenis sel lainnya sebagai limfosit CD4+, sel NK dan neuron

(49)

Tabel 2.1 Sitokin dalam proses peradangan akut dan kronik (Robins et al., 2010)

Cytokine Principal Sources Principal Actions in Inflamations

IN ACUTE INFLAMATION

TNF Macrophages,

mastcells,T lymphocytes

Stimulates expression of endothelial adhesion molecules and secretion of other cytokines; systemic effects IL-1 Machropages, endothelial cells,

some epithelial cells

Similar to TNF; greater role in fever

IL-6 Machropages, other cells Systemic effects (acute-phase response)

Chemokines Machropages, endothelial cells, T lymphocytes, mast cells, other cell types

Recruitmen of leukocytes to sites of inflammation; migration of cells to normal tissue

IN CHRONIC INFLAMATION

IL-12 Dendritic cells, machropages Increased production of IFN-γ

IFN-γ T lymphocytes, NK cells Activation of machropages (increased ability to kill microbes and tumor cells)

IL-17 T lymphocytes Recruitmen of neutrophils and monocytes

Pengembangan dari antagonis TNF-α berubah terhadap inhibitor molekul

kecil. Sitokin TNF, IL-1, IL-6 dan chemokines adalah mediator yang paling

penting dari reaksi fase inflamasi akut dapat dilihat pada tabel 2.1 (Robin et al.,

2010)

Hubungan TNF dan IL-1 pada proses inflamasi secara lokal dan sistemik

(50)

Gambar 2.9Peran Tumor Nekrotik Factor (TNF) dan Interleukin-1 (IL-1) pada efek lokal dan efek sistemik (Robin et al., 2010)

Sitokin diproduksi oleh leukosit (dan jenis sel lainnya) sebagai respon

terhadap infeksi atau reaksi kekebalan tubuh dan dilepaskan secara sistemik.

Seringkali TNF menginduksi produksi IL-1 yang dapat merangsang produksi IL-6,

membentuk kaskade sitokin. TNF dan IL-1 memiliki tindakan biologis yang sama,

meskipun melalui cara yang berbeda. IL-6 merangsang sintesis hepatik dari

sejumlah protein plasma (Reimold, 2002).

Sitokin dihasilkan oleh efektor dari imunitas bawaan dan imunitas yang

didapat melalui berbagai sel dan jaringan secara bertahap. Meskipun sitokin

bereaksi pada konsentrasi yang sangat rendah, efeknya sangat berhubungan

dengan sirkulasi. Sehingga, deregulasi dari ekspresi gen yang meningkatkan

produksi sitokin dapat mengubah homeostasis sebuah organisme, yang

(51)

Ketidakseimbangan sitokin berperan dalam patogenesis dari patogen penyakit

infeksi yang berbeda dan penyakit inflamasi. TNF bersama sitokin lainnya,

mempunyai peran utama di dalam proses ini (Jimena Cuenca, 2001 dan Ifor,

2008).

2.4.5 Morfologi kerusakan hati

Perubahan struktur terjadi pada kerusakan hati dapat berupa: (1). Inflamasi

(hepatitis), yaitu jejas pada hati karena masuknya sel radang akut atau kronik.

Reaksi granuloma dapat dicetuskan oleh organisme benda asing, atau obat-obatan

(akibat langsung toksin); serta (2). Degenerasi dan penimbunan intraseluler. Sel

adalah unit terkecil yang menunjukkan semua sifat dari sebuah kehidupan.

Aktifitasnya memerlukan energi dari luar untuk proses pertumbuhan, perbaikan

dan reproduksi. Ketika sel mengalami stres fisiologis atau rangsangan patologis,

sel bisa beradaptasi mencapai kondisi baru dan mempertahankan kelangsungan

hidup. Namun bila kemampuan adaptif sel berlebihan, sel akan mengalami jejas.

Dalam batas tertentu bersifat reversibel dan kembali ke kondisi semula. Stres yang

berat atau menetap menyebabkan jejas ireversibel dan menyebabkan kematian sel

(52)

Gambar 2.10 Skema gambaran sel normal (Robbins et al., 2007).

Dengan kerusakan sel yang terus menerus, menyebabkan jejas yang

ireversibel, sel tidak dapat kembali ke kondisi semula dan menyebabkan

kematian. Ada dua jenis kematian sel yaitu, nekrosis dan apoptosis dimana

keduanya berbeda dalam morfologi, mekanisme, fisiologi dan kaitannya dengan

(53)

Gambar 2.11 Sel nekrosis dan apoptosis (Robbins et al., 2007).

Penyebab dari kerusakan sel bisa disebabkan karena adanya trauma fisik

yang mengakibatkan kerusakan gen tunggal dapat menyebabkan kerusakan enzim

sebagai dasar dari suatu penyakit metabolik tertentu. Penyebab kerusakan sel

dapat di kategorikan sebagai berikut: deprivasi oksigen, infeksi, reaksi imun,

defek genetik, ketidakseimbangan nutrisi, obat-obatan dan bahan kimia. Respon

seluler terhadap rangsangan tergantung pada jenis cedera, durasi, dan beratnya.

Dengan demikian, racun dosis rendah atau durasi iskemia yang singkat dapat

menyebabkan jejas sel reversibel, sedangkan dosis toksin yang lebih besar atau

interval iskemia yang lebih panjang dapat menyebabkan jejas sel ireversibel dan

(54)

Gambar 2.12 Jejas sel ireversibel dan reversibel (Robbins et al., 2007).

2.5 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron tidak

berpasangan pada lapisan luarnya. Radikal bebas dapat merusak semua bagian sel

induk. Radikal bebas juga menggangu produksi normal Deoxi Nuclei Acid (DNA),

merusak lipid pada membran sel & lapisan lipid pada dinding sel, mempengaruhi

pembuluh darah, dan memproduksi prostasiklin. Bagian dari radikal bebas yang

terpenting dalam tubuh adalah radikal bebas derivat oksigen yang disebut

kelompok oksigen reaktif(Reactive Oxygen Species/ROS), termasuk di dalamnya

adalah triplet (3O2), singlet (1O2), anion superoksida (O2-), radikal hidroksil

(OH), peroksinitrit (ONOO-), asam hipoklorit (HOCl), hydrogen peroksida

(H2O2), radikal alkoxyl (RO-), peroksida lipid (LOOH), dan radikal peroksil

(ROO-) (Marks, 2000; Arief, 2009).

Reactive oxygen species (ROS) dapat bereaksi dan dapat menyebabkan

Gambar

Gambar 2.1.  Garcinia Mangostana L (Budidaya pertanian, 2010).
Gambar 2.4 Struktur kimia Monosodium Glutamate (Loliger, 2000)
Gambar 2.9 Peran Tumor Nekrotik Factor (TNF) dan Interleukin-1 (IL-1) pada efek lokal dan efek sistemik (Robin et al., 2010)
Gambar 2.10 Skema gambaran sel normal (Robbins et al., 2007).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apakah ada kadar hambat minimum ekstrak etanol kulit buah manggis ( Garcinia mangostana L. ) sebagai alternatif bahan medikamen saluran akar terhadap bakteri

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol 40% kulit manggis ( Garcinia mangostana L.) terhadap gambaran histopatologi hepar dan

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia Mangostana Linn.) TERHADAP KANKER NASOFARING PADA.. KULTUR

EFEK EKSTRAK ETANOL KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana Linn.) TERHADAP KULTUR SEL FIBROBLAS NIH3T3.. Sherliana Kristanti, 2013, Pembimbing

PEMANFAATAN EKSTRAK KULIT MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SEBAGAI BAHAN AKTIF SEDIAANi. LOTION

Pada penelitian ini digunakan simplisia kulit batang manggis ( Garcinia mangostana Linn.) untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol kulit batang manggis

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol kulit manggis ( Garcinia mangostana L.) dalam memperbaiki gambaran histopatologi testis terhadap

Ada perbedaan pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit manggis terhadap perubahan kadar enzim ALT , AST serta perubahan makroskopik dan histopatologi hati mencit jantan strain