i
TINGKAT DEPRESI DAN TINGKAT POST ABORTION SYNDROME
PELAKU ABORSI PADA REMAJA PUTRI
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Maria Francisca Mahatmya Wijna Dwilaksmi
NIM: 089114123
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Whenever you feel weak,
remember those who made you strong
and
Whenever you start to doubt yourself,
remember those who believe in you
v
Halaman Persembahan
Kupersembahkan untuk:
Tuhan Yesus, atas berkat dan kasihNya untuk saya
Papa Mama yang telah mendukung dan senatiasa membagikan kasih untuk saya
Mba Din yang selalu memotivasi agar segera menyelesaikan skripsi
Jolie, Micky dan Alai yang selalu memberi penghiburan dikala saya sedang jenuh
Saudara, teman, dan sahabat yang selalu menyemangati saya untuk
vii
TINGKAT DEPRESI DAN TINGKAT POSTABORTION SYNDROME
PELAKU ABORSI PADA REMAJA PUTRI
Maria Francisca Mahatmya Wijna Dwilaksmi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat Post Abortion Syndrome dan tingkat depresi pada remaja putri pelaku aborsi. Penelitian ini dilakukan secara online dengan cara memberikan skala kepada 10 subjek. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat Post Abortion Syndrome adalah skala Post Abortion Syndrome yang dikembangkan oleh peneliti, untuk mengukur tingkat depresi menggunakan skala adaptasi dari Beck Depresion Inventory. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif deskriptif. Skala tersebut memiliki validitas isi yang baik berdasarkan professional judgement oleh dosen pembimbing skripsi. Reliabilitas pada skala Beck dan skala Post Abortion Syndrome juga baik, dengan koefisien Alpha Cronbach 0,952 untuk skala Beck dan 0,989 untuk skala Post Abortion Syndrome. Hasil analisis deskriptif total nilai mean empirik 218,2 atau lebih rendah dari mean teoritis sebesar 225. Hasil tersebut menunjukkan bahwa remaja putri yang melakukan aborsi memiliki kecenderungan yang rendah dalam Post Abortion Syndrome. Hasil dari skala depresi menunjukkan bahwa remaja putri memiliki kecenderungan mengalami tingkat depresi yang tinggi.
viii
THE LEVEL OF DEPRESSION AND POST ABORTION LEVELS IN
ADOLESCENT GIRLS ABIRTIONIST
Maria Francisca Mahatmya Wijna Dwilaksmi
ABSTRACT
This study aims to describe the level of Post Abortion Syndrome and depression levels in adolescent girls abortionists. The research was conducted online by providing a scale to 10 subjects. Measuring instruments used to measure the level of Post Abortion Syndrome. Post Abortion Syndrome is a scale developed by the researchers, to measure the level of depression using the Beck Depression Inventory scale adaptation. The method used in this research is descriptive quantitative. The scale has good content validity based on professional judgment by the thesis advisor. Reliability on the scale and the Beck scale Post Abortion Syndrome is also good, with a Cronbach alpha coefficient of 0.952 and 0.989 for the Beck scale for scale Post Abortion Syndrome. Descriptive analysis of total value of the empirical mean 218.2 or lower than the theoretical mean of 225. The results showed that young women who have abortions have a low tendency to Post Abortion Syndrome. Results from depression scale showed that adolescent have a tendency to experience high levels of depression.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan
judul “Tingkat Depresi dan Tingkat Post Abortion Syndrome pada Remaja Putri
yang Melakukan Aborsi”.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tak lepas dari saran,
bimbingan, motivasi, bantuan, serta doa dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yesus yang telah memberikan berkat kesehatan, kekuatan, dan
limpahan rahmat hingga hari ini untuk saya. Thanks a lot God!
2. Dr. T. Priyo Widyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Ratri Sunar Astuti, S.Psi., M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Dosen
Pembimbing Skripsi yang sudah sangat sabar dalam membimbing,
menyemangati dan banyak membantu mengarahkan penulis sampai
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Agnes Indar E., M.Si., Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
Dosen Penguji Skripsi yang sangat sabar dalam membimbing dan
sangat banyak membantu mengarahkan proses penulisan skripsi ini dari
awal hingga akhir.
5. C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi., Psi., selaku Dosen Penguji Skripsi yang
sudah sangat banyak membantu sejak hari pendadaran hingga akhirnya
xi
6. Segenap dosen, karyawan, dan laboran yang telah membantu dalam
proses menuntut ilmu di Fakultas Psikologi ini. Khususnya untuk mas
Muji yang telah banyak berbagi canda tawa ketika bertemu. Size sangat
mempengaruhi ya mas.
7. Papi, I love you. Terima kasih atas segala cinta dan dukungan dalam
bentuk moril dan materiil yang telah papi berikan buat Mya.. Terima
kasih juga sudah mengijinkan Mya untuk bekerja dikala penyelesaian
skripsi ini, maaf terlalu lama pi, Mya akan selalu kasih yang terbaik
untuk papi.
8. Mama, terima kasih atas segala cinta dan dukungan yang mama berikan
untuk Mya. Terima kasih mama masih semangat dalam menemani Mya
hingga saat ini, sehat selalu ya ma, temani Mya sampai sukses ya
mama. Maaf Mya pernah membuat mama menangis.
9. Maria Immaculata Nandini Wijna Dharmesti dan Stephanie Swastika
Wijna Maharani, thank you for everything. Terimakasih atas semua
dukungannya. Sorry aku terlalu galak untuk jadi adek mba Dini dan
kakak untuk dek Tika.
10.Budhe Cicih, terima kasih atas bantuannya selama Mya menulis skripsi
ini.
11.Anna Novilia, Fabiana Adi, Arisa Theresia, Priscilla Pritha dan Mas
Lukas, terima kasih udah selalu ada buat aku. Terima kasih atas canda
tawa yang pernah aku rasakan bersama kalian. Terima kasih atas sekian
xii
12.Petrus Andi, Ristina Mauliana, Fajar Budhi Utama, Albertus Harimurti,
Galih Pambudi, Veronica Hesty dan Benediktus Anggit terima kasih
atas segala dukungan dan bantuan kalian selama ini, khususnya di
hari-hari menjelang hari-hari itu.. Makasih banyak ya.
13.Kesayangan Arbi Riantono, terima kasih atas pertemanan ini. Makasih
udah selalu ada untuk aku sejak aku masih SMA hingga saat ini.
Makasih untuk selalu kasih aku semangat dikala aku nyerah menjalani
semua ini, ayok kita habiskan waktu untuk liburan bersama lagi koh.
Sukses selalu ya koh, kita akan bertemu lagi di Jogja.
14.Abang ku Benedictus Isworohadi dan Dionisius “Oyon”, terima kasih
untuk waktu dan nasihat yang telah kamu berika untuk aku. Terima
kasih telah menjadi sahabat aku. Terima kasih pula atas waktu yang
pernah kita habiskan bersama. Jangan lelah untuk mendengar
kisah-kisah ku ya.
sudah memberi aku kesempatan bergabung bersama kalian, aku sangat
senang dikala aku butuh dukungan dalam penyelesaian skripsi ini,
kalian semua ada buat aku.. Terima kasih Pak Eko, Mas Dito, Mas
xiii
dengan ijin keluar jam kerja untuk bimbingan dan membantu selama
proses pembuatan skripsi ini.
17.Untuk Bu Is yang sudah momong aku selama 23 tahun ini sudah selalu
memberikan pelayanan terbaik, selalu siap sedia dikala aku butuh
bantuan dalam menyelesaikan pekerjaan rumah ini dan selalu
memberikan aku dukungan dalam bentuk doa. Tetap sehat sampai
besok aku bisa berdiri sendiri ya Bu..
18.Untuk PKBI Yogyakarta, terima kasih sudah memberi bantuan dalam
mengumpulkan data untuk melengkapi skripsi ini.
19.Teman-teman angkatan 2008 kelas D yang tidak bisa disebutkan satu
per satu. Terima kasih atas kebersamaan selama kurang lebih 4 tahun
kemarin. Sukses untuk kalian semua, kawan.
20.Terkhususkan untuk para subjek yang sudah bersedia untuk berbagi
dengan aku, tanpa kalian skripsi ini tidak mungkin terselesaikan.
21.Semua pihak yang telah berperan dan turut membantu hingga
terselesaikannya skripsi ini, terimakasih atas semua bantuannya..
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 24 Februari 2014
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN MOTTO ...………... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN .….………….…... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK.... vii
ABSTRACT... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…... ix
KATA PENGANTAR... x
DAFTAR ISI... xiv
DAFTAR TABEL... xviii
DAFTAR LAMPIRAN... xix
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah... 6
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian... 7
BAB II. LANDASAN TEORI... 8
A. Depresi... 8
xv
2. Simptom-simptom Depresi... 9
B. Post Abortion Syndrome ...…... 13
C. Mekanisme Pertahanan Diri ... 19
1.Reaksi Formasi (Pembentukan Reaksi)... 19
1. Pengertian Remaja... 21
2. Karakteristik Umum Masa Remaja... 22
3.
Perilaku Seksualitas Remaja... 28E. Kehamilan Pranikah pada Remaja... 30
1. Pengertian Kehamilan... 30
2. Kehamilan Remaja... 30
F. Aborsi... 33
1. Pengertian Aborsi... 33
2. Komplikasi secara Fisik/ Medik dari Aborsi... 35
3. Komplikasi/ Efek secara Psikologis... 36
G. Dinamika Psikologis setelah Mengalami Aborsi... 37
xvi
A. Jenis Penelitian... 40
B. Variabel Penelitian... 40
C. Definisi Operasional... 40
1. Depresi... 40
2. Post Abortion Syndrome... 41
D. Subjek Penelitian... 41
E. Prosedur Penelitian... 42
F. Metode dan Alat Pengambilan Data... 42
1. Skala Beck Depression Inventory... 43
2. Skala Post Abortion Syndrome... 45
G. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur... 47
1. Validitas... 47
2. Reliabilitas... 48
H. Seleksi Aitem... 48
I. Analisis Data... 49
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 51
A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian... 51
B. Data Demografis Subjek Penelitian... 51
C. Hasil Penelitian ... 52
1. Uji Normalitas...,... 52
2. Analisis Deskriptif Data Penelitian... 53
D. Hasil dan Pembahasan... 61
xvii
A. Kesimpulan... 68
B. Keterbatasan... 68
C. Saran... 68
1. Untuk Peneliti Lain... 69
2. Untuk Remaja yang akan Melakukan Aborsi... 69
3. Untuk Lingkungan... 69
DAFTAR PUSTAKA... 70
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Penyebaran Aitem Skala Beck Depression Inventory
Sebelum Uji Coba ... 45
Tabel 2. Blue Print Penyebaran Aitem Skala Post Abortion Syndrome Sebelum Uji Coba ... 47
Tabel 3. Blue Print Skala Post Abortion Syndrome Setelah Uji Coba... 49
Tabel 4. Daftar Usia Subjek saat ini dan Jumlah Subjek ... 52
Tabel 5. Daftar Tahun Aborsi dan Jumlah Subjek ... 52
Tabel 6. Uji Normalitas Normal... 53
Tabel 7. Hasil Analisis Deskriptif Post Abortion Syndrome ... 53
Tabel 8. Total Skor Beck Depression Inventory... 54
Tabel 9. Hasil Analisis Beck Depression Inventory... 55
Tabel 10. Hasil Analisis Deskriptif Post Abortion Syndrome Berdasarkan Kategori... 56
Tabel 11. Hasil Aitem Beck Depression Inventory ... 57
Tabel 12. Hasil Analisis Deskriptif Tiap Aspek Post Abortion Syndrome.. 60
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian... 72
Lampiran 2. Analisis dan Seleksi Aitem Skala Beck Depression Inventory
dan Skala Post Abortion Syndrome... 88
Lampiran 3. Hasil Uji Reliabilitas Skala Beck Depression Inventory
dan Skala Post Abortion Syndrome ... 97
Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas... 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aborsi merupakan pengguguran kandungan secara paksa baik itu
sengaja atau tidak. Pengguguran kandungan biasanya dilakukan saat janin
masih berusia muda, sebelum bulan keempat masa kehamilan (Kartono dan
Gulo, dalam Andayani dan Setiawan, 2005). Aborsi dilakukan oleh sebagian
perempuan yang mengalami kehamilan pranikah maupun untuk
menyelamatkan kesehatan dari perempuan yang sedang mengandung
.
Saat inijumlah pelaku aborsi mengalami peningkatan dari tahun 2010 ke tahun 2011
sebesar 12 kali lipat. Berdasarkan data yang dimiliki PKBI (Perkumpulan
Keluarga Besar Indonesia) di Yogyakarta pada tahun 2010, perempuan yang
melakukan aborsi pada usia 15-24 tahun sebanyak 4 orang dan perempuan
usia 25-44 tahun sebanyak 16 orang. Pada tahun 2011 jumlah pelaku aborsi
tercatat pada usia 15-24 yang melakukan aborsi sebanyak 50 orang, usia
25-44 tahun sebanyak 92 orang dan usia 45-64 tahun sebanyak 2 orang.
Menurut Direktur remaja dan perlindungan hak-hak reproduksi
BKKBN Pusat, Eddy Hasmi, tingginya tingkat aborsi yang dilakukan oleh
kalangan remaja terjadi akibat perilaku hubungan seksual sebelum menikah
(www.merdeka.com, Tingkat Aborsi di kalangan Remaja Indonesia Cukup
Tinggi). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh DKT Indonesia,
berusia 15-25 tahun di lima kota besar, yaitu Jabodetabek, Bandung,
Yogyakarta, Surabaya dan Bali pada bulan Mei 2011, sebanyak 39% seks di
luar nikah dilakukan remaja berusia 15-19 tahun. Sisanya, 61% mengaku
aktif berhubungan seks di usia 20-25 tahun. Sedangkan rata-rata hubungan
seks pertama kali kalangan muda Indonesia terjadi pada usia 19 tahun
(Vivanews, 6 Desember 2011; news.viva.co.id).
Menurut opini Kusuma tahun 2012 (sosbud.kompasiana.com)
perilaku seksual pranikah menjadi tinggi karena didukung oleh fasilitas seks
bebas yang semakin menjamur. Hasil ini terlihat dalam hasil studi LSM
Sahara (Bandung) pada tahun 2002 menyebutkan bahwa faktor penyebab
hubungan seksual pranikah adalah faktor lokasi. Ketika seseorang melakukan
hubungan intim, mereka membutuhkan lokasi yang bagi mereka memiliki
kriteria aman, mudah diakses, dan ongkos yang relatif terjangkau. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh LSCK di Yogyakarta tahun 2002
menyebutkan bahwa kos dan tempat penginapan seperti losmen atau hotel
menjadi favorit dalam melakukan hubungan seksual.
Remaja yang melakukan hubungan seksual pranikah kemungkinan
akan mengalami kehamilan yang menyebabkan remaja tersebut akan
dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan. Misalnya pada peraturan
sekolah, remaja yang ketahuan sedang hamil akan dikeluarkan oleh pihak
sekolah. Selain itu, pada usia remaja banyak ditemukan pasangan tidak mau
bertanggung jawab sehingga menyebabkan kasus aborsi di Indonesia semakin
Semakin terbukanya perilaku remaja dalam berpacaran disebabkan
karena peran orang tua dan keluarga dalam mengawasi cenderung longgar.
Wakil Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Andrologi di Indonesia
(Persandi) berpendapat bahwa hubungan seks pada zaman modern sekarang
ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang “suci” atau sakral lagi. Apabila
terdapat kesepakatan dari kedua belah pihak, maka terjadilah hubungan
seksual pranikah. Kalangan remaja menganggap seks pranikah bukan sesuatu
perbuatan yang menyimpang dan cenderung mudah melakukan hubungan
seks. Kehamilan merupakan konsekuensi dari hubungan seks, namun, para
remaja yang melakukan seks pranikah itu cenderung menempuh jalan pintas
jika terjadi kehamilan, yakni memutuskan melakukan aborsi
(sosialbudaya.tvonenews.tv, Seksolog: Aborsi di Indonesia capai 2,5 juta
kasus per tahun; 18 April 2012).
Akses untuk para remaja melakukan aborsi sangatlah luas, hal ini
terlihat pada saat ini, mudah sekali ditemukan jasa aborsi secara terselubung
seperti pada iklan-iklan yang ditempelkan pada tiang lampu lalu lintas yang
tertulis “Terlambat Haid, hubungi 081xxx”. Iklan semacam itu memberi
alternatif para remaja yang memiliki pemikiran instan ketika mengalami
kehamilan pranikah yang kemudian menyebabkan mereka memutuskan untuk
melakukan aborsi. Di sisi lain edukasi tentang bahaya atau dampak dari
aborsi tidak banyak dilakukan sehingga mereka tidak menyadari bagaimana
Secara teoritik orang yang melakukan aborsi akan mengalami
dampak secara fisik dan kesehatan serta psikologis. Beberapa penelitian
menemukan perempuan yang pernah melakukan aborsi memiliki
kecenderungan untuk mengalami gangguan depresi, gangguan kecemasan,
dan gangguan bipolar (Warren, 2010). Banyak perempuan yang mengalami
trauma pasca aborsi kemudian menjadi pribadi yang mengalami gangguan
makan, alkoholik, perilaku merusak diri sendiri, menjadi gila kerja, kesulitan
menjalin hubungan interpersonal, gangguan disfungsi seksual, kecemasan dan
gangguan panik, gangguan secara klinis, depresi, dan mengalami mimpi
buruk (Burke,1994).
Dampak fisik yang dialami pelaku aborsi berdampak pada kesehatan
dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pada dampak jangka pendek
pelaku aborsi bisa mengalami infeksi yang mengakibatkan ia merasakan sakit
ketika melakukan hubungan seksual, pendarahan, kerusakan pada organ lain,
dan terjadi robekan pada serviks dan pada jangka panjang ada kemungkinan
seseorang yang pernah melakukan aborsi tidak dapat lagi mengalami
kehamilan (Mochtar, 1998).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fegusson,dkk (2006), Dexter
(2007), Psych (2011), dan Warren,dkk (2010) menunjukkan bahwa risiko
paling tinggi dari aborsi secara psikologis akan mengalami depresi dan
kecemasan. Lain halnya dengan penelitian Kimport,dkk (2011) menunjukkan
dikarenakan ketika seseorang tersebut sudah melakukan aborsi dan ia
mendapatkan dukungan dari orang-orang terdekatnya.
Melihat data-data di atas dan tingginya angka aborsi di Yogyakarta,
peneliti tertarik untuk melihat apakah pada era saat ini remaja pelaku aborsi
di Yogyakarta masih mengalami depresi dan kecemasan paska aborsi karena
dikhawatirkan apabila banyak remaja yang melakukan aborsi maka sikap
terhadap aborsi diduga menjadi longgar. Sehingga menimbulkan dugaan
bahwa pada masa sekarang remaja yang melakukan aborsi tidak lagi
mengalami depresi dan Post Abortion Syndrome (PAS). PAS merupakan
gangguan kecemasan dan termasuk dalam subtipe post traumatic stress
disorder, yaitu seseorang yang mengalami kejadian traumatis karena aborsi.
Penelitian ini dilakukan untuk memberi banyak pengetahuan kepada
semua remaja yang sedang ataupun tidak mengalami kehamilan yang tidak
direncanakan supaya mereka dapat mengerti dampak aborsi yang akan
mereka alami apabila mereka melakukan aborsi dan mereka akan
mempertimbangkan dalam ini. Hasil penelitian juga diharapkan dapat
memberi informasi kepada masyarakat luas mengenai tingkat depresi remaja
yang melakukan aborsi pada jaman sekarang.
Sebenarnya penelitian tentang aborsi sudah banyak dilakukan dalam
penelitian di luar negeri maupun di Indonesia sendiri, seperti pada data yang
tercantum dari PKBI maupun jurnal-jurnal yang ada. Sebagian besar dari
penelitian tersebut menggunakan subjek dengan rentang usia dewasa awal
rentang usia remaja akhir yaitu pada rentang usia 15-18 tahun. Sejauh peneliti
ketahui, penelitian pelaku aborsi pada rentang usia remaja belum banyak
dilakukan. Penelitian ini juga melihat tingkat depresi remaja yang melakukan
aborsi di Yogyakarta pada saat ini. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar
dengan tingkat sosial ekonomi yang cukup bagus yang memungkinkan akses
internet, para remaja untuk mengakses situs-situs porno yang menyebabkan
mereka ingin berhubungan seksual.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana tingkat
depresi dan kecemasan yang dialami oleh remaja yang melakukan aborsi di
era saat ini di daerah Yogyakarta? Untuk mendapatkan penjelasan yang lebih
mendetail dari penelitian ini, maka peneliti membaginya dalam beberapa
rincian pertanyaan sebagai berikut, yaitu :
1. Bagaimana tingkat depresi seorang remaja yang melakukan aborsi?
2. Apakah remaja yang melakukan aborsi mengalami Post Abortion
Syndrome?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran secara
deskriptif tingkat depresi dan tingkat post abortion syndrome remaja di era
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran deskriptif
mengenai tingkat depresi remaja di era modern. Dengan adanya penelitian
tentang permasalahan ini, diharapkan dapat mengurangi perilaku aborsi.
Berikut adalah kegunaan penelitian yang diharapkan:
1. Bagi Perempuan Yang Akan Melakukan Aborsi
Penelitian ini diharapkan memberikan masukan mengenai dampak
psikologis dari perilaku aborsi dan diharapkan orang yang akan melakukan
aborsi bisa memikirkan lebih dalam sebelum memutuskan untuk
melakukan aborsi. Dapat mencegah seseorang yang sedang mengalami
kehamilan yang tidak direncanakan dalam rangka akan mengakhiri
kehamilannya.
2. Bagi Lingkungan Pelaku
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi-informasi
mengenai tingkat depresi akibat dari perilaku aborsi pada orang di
sekitarnya, sebisa mungkin lingkungan juga dapat membantu memberikan
pengarahan kepada para remaja mendapatkan dampak secara psikis juga
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Depresi
1. Pengertian Depresi
Awal mula depresi adalah ketika seseorang merasa sedih dan
tertekan yang kemudian menyebabkan stres berkepanjangan, misalnya
ketika orang yang dicintainya meninggal. Apabila seseorang kehilangan
orang yang dicintainya dan merasa sedih dalam minggu-minggu pertama,
masih termasuk dalam kejadian yang wajar. Tetapi keadaan ini disebut
depresi jika kesedihan yang mendalam tetap ada dalam jangka waktu yang
lama, misalnya enam bulan setelah kehilangan orang yang dicintainya
tersebut.
Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah
masyarakat. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang
sendiri tanpa pengobatan. Rathus (1991) menyatakan orang yang
mengalami depresi umumnya mengalami gangguan yang meliputi keadaan
emosi, motivasi, fungsional, dan gerakan tingkah laku serta kognisi.
Kemudian menurut Atkinson (1991) depresi sebagai suatu gangguan mood
yang dicirikan tak ada harapan dan patah hati, ketidakberdayaan yang
berlebihan, tak mampu mengambil keputusan mengambil suatu kegiatan,
tak mampu berkonsentrasi, tak punya semangat hidup, selalu tegang dan
Sehingga dapat disimpulkan bahwa depresi merupakan gangguan
mental yang disebabkan gangguan emosi, fungsional, kognisi, serta
gerakan tingkah laku yang terjadi dalam jangka waktu yang lama. Berikut
karakteristik seseorang apabila mengalami depresi, yaitu mengalami
gangguan pola tidur, tidak bersemangat dalam beraktivitas, menurunnya
efisiensi kerja, merasa kurang percaya diri dan menjadi terlalu sensitif
perasaannya.
2. Simptom-simptom Depresi
Individu yang mengalami depresi, pada umumnya menunjukkan
adanya simptom-simptom khas yang mereka alami walaupun pada setiap
orang yang satu dengan yang lain akan muncul simptom yang
berbeda-beda. Berikut penjelasan mengenai simptom depresi:
a. Simptom Emosional
Simptom emosional ditandai dengan adanya perubahan perasaan
pada seseorang akibat pengaruh dari keadaan emosi. Menurut Beck
(dalam Lubis, 2009) seseorang yang mengalami depresi akan ditandai
dengan adanya penurunan mood, pandangan negatif terhadap diri
sendiri, tidak lagi merasakan kepuasan, keinginan untuk menangis, dan
hilangnya respon terhadap hal yang menyenangkan merupakan
manifestasi dari simptom emosional tersebut.
Karakteristik yang paling umum dari simptom emosional adalah
penurunan mood. Seseorang akan mengalami penurunan mood ketika ia
merasa tidak berharga, tidak berdaya, dan merasa lemah. Seseorang
yang mengalami penurunan mood akan berpengaruh terhadap tingkat
aktivitasnya. Mereka akan mengalami penurunan minat ketika
melakukan kegiatan yang menyangkut tanggung jawab, apabila ia
melakukan kegiatan yang pasif seperti tidur, bersantai akan
memberikan kepuasan yang besar kepada individu tersebut.
Orang yang mengalami depresi akan kehilangan emosi kasih
sayang yang berkaitan dengan orang lain, yang kemudian menimbulkan
reaksi negatif terhadap perasaan positif apapun. Terjadi peningkatan
frekuensi dalam menangis, stimulus yang biasanya tidak memberi
pengaruh emosi apapun terhadap individu kemudian sekarang dapat
menimbulkan derai air mata. Apabila sudah mencapai tahap yang parah,
individu yang mengalami depresi tidak lagi dapat menangis dan ia akan
kehilangan respon terhadap suatu hal yang menyenangkan.
b. Simptom Kognitif
Menurut Beck (dalam Lubis, 2009) manifestasi kognitif antara
lain individu memiliki penilaian yang rendah terhadap diri sendiri, tidak
dapat membuat keputusan, dan mengalami distorsi body image.
Individu yang mengalami depresi akan memandang segala sesuatu
menjadi negatif dan hal tersebut cukup mengganggu dan menjadi
sumber frustasi bagi lingkungannya. Penderita depresi kerap
beranggapan bahwa keadaan yang seperti ini akan terus berlanjut dan
Pikiran untuk menyalahkan dan mengkritik diri sendiri memiliki
kaitan dengan anggapan bahwa hal-hal yang kurang menguntungkan
tersebut ada hubungannya dengan kekurangan pada diri individu
tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang menyalahkan diri atas
kejadian yang sebenarnya tidak memiliki sangkut paut dengan individu
itu.
Individu yang mengalami depresi akan mengalami kesulitan
dalam mengambil keputusan, mereka cenderung mengalami keraguan
dalam memilih suatu keputusan karena mereka akan
mempertimbangkan berbagai alternatif pilihan yang ada. Ada dua aspek
yang memberi pengaruh dalam ketidakmampuan dalam mengambil
keputusan. Aspek yang pertama ialah individu mengantisipasi
pembuatan keputusan yang salah. Maksudnya setiap ia akan memilih
suatu keputusan, ia akan selalu mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Aspek yang kedua berkaitan dengan
paralysis of the will. Maksudnya, individu tersebut kurang memiliki
motivasi sehingga untuk membuat suatu keputusan itu merupakan suatu
beban yang berat sehingga hal tersebut sangat ingin dihindari dan
dijauhi. Sehingga membuat individu cenderung menunda dalam
membuat keputusan.
Mengenai body image, menyangkut anggapan bahwa dirinya
tidak menarik karena adanya perubahan pada penampilan fisik yang
c. Simptom Motivasional
Seseorang yang mengalami depresi akan merasa kehilangan
motivasi (paralysis of will) sekitar 65% sampai 86%. Individu yang
mengalami depresi akan merasa tidak ada kemauan dalam melakukan
sesuatu walaupun yang harus mereka lakukan cukup banyak. Kemudian
simtom berikutnya ketika seorang yang depresi hanya senang ketika
melakukan hal-hal yang pasif seperti menonton televisi dan
tidur-tiduran di kamar. Individu tersebut menghindari tugas sehari-hari dan ia
cenderung akan menunda kegiatan yang dapat memberikan kepuasan
sesegera mungkin.
Seorang yang mengalami depresi akan memiliki keinginan
untuk bunuh diri. Keinginan bunuh diri tertuang pada pikiran berulang
kali baik yang sifatnya pasif maupun aktif. Keinginan bunuh diri yang
dialami individu tersebut berlangsung terus-menerus. Kemudian yang
terakhir, seseorang yang depresi akan mengalami peningkatan
dependensi. Misalnya saja individu akan meminta bantuan kepada
orang lain sebelum mengerjakan tugasnya. Pada tingkat yang ekstrim
individu tersebut ingin melakukan semua hal bagi dirinya tanpa ia harus
merasa bersusah payah.
d. Simptom Fisik
Simtom fisik penderita depresi adalah kehilangan nafsu makan,
gangguan tidur, mudah lelah dan kehilangan libido. Para ahli
akan mengalami kurang tidur dan terlihat gerakan-gerakan yang
berlebihan selama tidur. Kemudian hilangnya libido pada penderita
depresi berkorelasi tinggi dengan hilangnya nafsu makan, serta
kehilangan minat pada orang lain. Beberapa individu mengalami
simtom mudah lelah sebagai gejala fisik sepenuhnya dan ia merasa
terlalu lemah untuk bergerak, dan tidak bergairah.
B. Post Abortion Syndrome
Post Abortion Syndrome merupakan gangguan kecemasan termasuk
dalam subtipe Post Traumatic Stress Disorder. Dalam DSM IV (dalam
Durand, 2006; Davison, 2006 dan Halgin, 2010) PTSD ditandai dengan
simptom mengalami kembali kejadian traumatik, adanya penghindaran
stimuli yang diasosiasikan terhadap kejadian yang dialami subjek, dan
adanya gejala arrousal yang meningkat.
Perempuan dikatakan mengalami PAS apabila ia teridentifikasi
dengan munculnya dua atau lebih dari jumlah simptom pada PAS, simptom
tersebut muncul setelah seseorang melakukan aborsi. Beberapa pelaku
mengalami PAS dalam jangka waktu beberapa bulan setelah melakukan
aborsi dan bertahan dalam diri pelaku selama beberapa tahun.
1.Perasaan Bersalah. Rasa bersalah ini muncul ketika seseorang merasa telah
melanggar kode moral yang diyakininya. Mereka memiliki beban rasa
bersalah yang tiada henti karena ia telah melakukan pembunuhan
2.Kecemasan. Rasa cemas muncul dari kegelisahan yang didefinisikan
sebagai suatu keadaan emosional dan fisik yang tidak menyenangkan
yang berasal dari ketegangan, (ketidakmampuan untuk bersantai, lekas
marah, dll), respon fisik (pusing, jantung berdebar, sakit perut, sakit
kepala, dll), khawatir tentang masa depan, sulit berkonsentrasi dan tidur
terganggu. Rasa cemas ini muncul karena adanya konflik antara standar
moral yang diyakininya dan keputusannya dalam melakukan aborsi.
Perempuan yang mengalami kecemasan tidak sadar akan mulai
menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan bayi. Dia berusaha
untuk tidak menghadiri syukuran bayi, tidak melewati tempat
perlengkapan bayi di toko dan sebagainya.
3.Mati rasa secara psikologis. Banyak wanita pasca aborsi meyakini bahwa
mereka tidak akan pernah lagi membiarkan diri mereka untuk diletakkan
dalam posisi rentan. Akibatnya, tanpa mereka sadari, mereka mungkin
berusaha untuk menjaga emosi mereka, mencegah diri dari rasa sakit
akibat apa yang terjadi. Hal tersebut akan berdampak menghambat
kemampuan mereka untuk membentuk dan menjaga hubungan dekat
dengan orang lain.
4.Depresi dan pikiran bunuh diri. Kita semua mengalami depresi dari waktu
ke waktu, tetapi kriteria berikut ini sering terjadi pada wanita yang
mengalami aborsi:
a. Sad mood – mereka akan mulai dari perasaan melankolis untuk
b. Sudden and uncontrollable crying episodes
c. Deterioration of self-concept – terjadi karena dia merasa bahwa
kemampuannya untuk berfungsi sebagai seorang wanita "normal"
sudah berkurang. Pola tidur, nafsu makan, dan gangguan seksual
biasanya mulai berkurang.
d. Reduced motivation– merasa bahwa mereka sudah tidak layak lagi
untuk melakukan kegiatan normal sesuai kehidupan.
e. Disruption in interpersonal relationships– mereka kurang merasa
antusias untuk semua kegiatan yang berkaitan dengan suami atau
pacar. Hal ini terbukti dalam hubungannya dengan suami atau
pacar, terutama jika suami atau pacar terlibat dalam keputusan
aborsi.
f. Thoughts of suicide - dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Institut Elliot 33% wanita yang melakukan aborsi, disurvei
mencapai tingkat depresi begitu dalam. Mereka merasa lebih baik
mati daripada melanjutkan kehidupannya.
5.Sindroma saat melakukan aborsi. Sekitar 54% perempuan yang telah
melakukan aborsi melaporkan peningkatan PAS pada saat waktu
kejadian tersebut terulang lagi.
6.Kilas balik saat melakukan aborsi. Sebuah peristiwa yang sangat umum
digambarkan oleh perempuan pasca aborsi adalah perasaan sedih
mendadak, mengalami kilas balik dari aborsi. Sering terjadi situasi yang
rutin, atau bahkan suara penyedot bayi. Kilas balik juga terjadi dalam
bentuk mimpi buruk yang berulang tentang bayi atau memimpikan bayi
yang sudah diaborsi. "Mimpi" yang terjadi biasanya melibatkan tema
kehilangan, bayi dipotong-potong atau bayi menangis.
7.Kegelisahan atas kesuburan dan masalah melahirkan anak. Beberapa
wanita pasca aborsi merasakan takut bahwa mereka tidak akan pernah
lagi hamil atau mampu mempertahankan kehamilan hingga saat
persalinan. Beberapa dari mereka berharap untuk memiliki anak-anak
cacat karena mereka telah "didiskualifikasi sebagai ibu yang baik."
Banyak mengacu pada ketakutan ini sebagai hukuman dari Tuhan.
8.Gangguan proses ikatan dengan anak-anak. Kekhawatiran lain wanita
pasca aborsi memungkinkan dirinya untuk benar-benar mengalami ikatan
dengan anak lain. Reaksi lain untuk menebus tindakannya terhadap anak
yang diaborsi adalah dengan menjadi ibu yang paling sempurna di dunia
untuk anak-anaknya di masa depan.
9.Merasa bersalah selama hidup. Kebanyakan wanita tidak melakukan aborsi
karena alasan sepele. Mereka biasanya berada di tengah-tengah situasi
yang menyedihkan dimana mereka akan kehilangan banyak situasi jika
mereka memilih untuk tetap mempertahankan kehamilan mereka. Pada
akhirnya, keputusan yang dipilih berdasarkan pada yang ia yakini "Its me
or you, and I choose me". Tetapi aborsi membebaskan mereka dari
bersalah tak henti-hentinya untuk memilih kenyamanan mereka sendiri
sepanjang umur anak.
10.Pengembangan gangguan makan. Beberapa perempuan pasca aborsi akan
mengalami anoreksia atau bulimia. Pada saat ini fenomena ini sebagian
besar masih belum diselidiki. Mungkin ada beberapa faktor yang
berkontribusi untuk itu. Pertama, kenaikan berat badan atau kehilangan
berat badan yang berlebihan karena berkaitan dengan bentuk badan yang
tidak menarik. Kedua, menjadi tidak menarik. Hal ini berfungsi sebagai
bentuk hukuman terhadap diri dan membantu melestarikan keyakinan
bahwa perempuan itu tidak layak mendapatkan perhatian dari orang lain.
Ketiga, perubahan perilaku makan yang ekstrim merupakan salah satu
bentuk kontrol terhadap wanita yang merasa hidupnya benar-benar di
luar kendali. Akhirnya, penurunan berat badan yang drastis yang dapat
menyebabkan terhentinya siklus menstruasi, sehingga mencegah
kehamilan berikutnya.
11.Alkohol dan penyalahgunaan narkoba. Alkohol dan penggunaan narkoba
sering digunakan untuk mengatasi rasa sakit karena teringat dari
kenangan aborsi. Sayangnya, wanita yang menggunakan alkohol dan
penyalahgunaan narkoba tidak hanya akan menambah lebih banyak
masalah tetapi juga akan memiliki lebih sedikit sumber daya yang dapat
digunakan untuk menyelesaikannya. Konsekuensi mental dan fisik dari
penyalahgunaan alkohol atau obat hanya memperkuat sebagian besar
12.Perilaku menghukum diri atau merendahkan diri. Selain gangguan makan
dan penyalahgunaan zat, wanita pasca aborsi juga dapat masuk dalam
hubungan yang kasar, menjadi promiscuous, dan gagal untuk merawat
dirinya sendiri secara medis atau sengaja melukai dirinya secara
emosional dan / atau fisik.
13.Reaktif psikosis singkat. Jarang, seorang wanita pasca aborsi mungkin
mengalami episode psikotik singkat selama kurang lebih dua minggu
setelah aborsi. Perpecahan dengan realitas yang ada dan pemulihan
setelahnya. Keduanya terjadi sangat cepat, dan dalam kebanyakan kasus
seperti ini orang kembali sepenuhnya normal ketika masalah ini selesai.
Walaupun ini merupakan reaksi yang tidak biasa untuk masalah aborsi,
karena ada kemungkinan bagi seseorang yang aborsi untuk memiliki
reaksi psikotik singkat ke stres bahkan tanpa dicap sebagai individu
psikotik. Selama episode tersebut, persepsi individu tentang realitas
terdistorsi secara drastis.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Post Abortion Syndrome
merupakan gangguan kecemasan yang berada dalam subtipe dari Post
Traumatic Stress Disorder yaitu ketika seseorang mengalami kejadian
traumatis setelah aborsi. Post abortion syndrome ditandai oleh munculnya
C. Mekanisme Pertahanan Diri
Mekanisme pertahanan diri merupakan cara ego untuk bertahan
terhadap kecemasan yang dialaminya. Secara tidak sadar, dia akan bertaahan
dengan memblokir dorongan atau dengan menciutkan
dorongan-dorongan tersebut menjadi wujud yang lebih dapat diterima dan tidak terlalu
mengancam (Boeree, 2009). Berikut bentuk-bentuk pertahanan diri:
1. Reaksi Formasi (Pembentukan Reaksi)
Mekanisme ini mengubah dorongan-dorongan yang tidak dapat
diterima menjadi kebalikannya (dapat diterima). Contohnya apabila
seorang anak marah terhadap ibunya, maka akan berubah secara dramatis
menjadi sangat baik dan patuh terhadap ibunya.
2. Represi
Anna Freud menyebut represi dengan “melupakan yang
bermotivasi”. Represi merupakan ketidakmampuan untuk mengingat
kembali situasi, orang atau peristiwa yang menakutkan. Contohnya
seorang wanita muda yang memiliki hasrat seksual yang tinggi, cenderung
melupakan nama-nama pacarnya.
3. Introjeksi
Introjeksi merupakan mekanisme yang bekerja dengan cara
membawa kepribadian orang lain masuk ke dalam diri anda, karena
dengan begitu anda dapat menyelesaikan masalah perasaan yang
orangtuanya yang sibuk akan selalu mencoba menjadi seorang “ibu” untuk
menghilangkan rasa takut dan kesepiannya.
4. Isolasi
Isolasi merupakan mekanisme yang berjalan dengan cara
mengalihkan emosi dari kenangan yang menakutkan. Contohnya, orang
yang merasa dirinya dianggap sebagai anak kecil.
5. Proyeksi
Mekanisme pertahanan diri dimana impuls yang menyebabkan
kecemasan dikeluarkan dengan cara mengarahkan kecemasan tersebut
kepada orang lain, hal ini berbedda dengan pengalihan. Contohnya seorang
laki-laki menyukai seorang wanita, ketika ditanya sahabat dari laki-laki
ini, laki-laki tersebut mengatakan bahwa wanita itulah yang menyukai dan
mengejar-ngejar dia.
6. Rasionalisasi
Rasionalisasi adalah pendistorsian kognitif terhadap kenyataan
dengan tujuan kenyataan tersebut tidak lagi memberi kesan menakutkan.
Rasionalisasi membantu untuk membenarkan berbagai tingkah laku
spesifik. Contohnya ketika kita mencoba memaafkan diri sendiri dari
kesalahan dengan menyalahkan orang lain.
7. Denial
Denial merupakan sebuah tindakan menolak untuk mengaku
adanya stimulus yang menyebabkan timbulnya rasa cemas. Bila seseorang
adanya pengalaman yang tidak menyenangkan untuk melindungi diri
sendiri. Contohnya seorang anak telah divonis kanker hati, ketika anak
tersebut menanyakan kepada orang tuanya tentang penyakit yang
dideritanya, orang tua menjawab bahwa ia hanya sakit perut biasa dan
akan sembuh apabila minum obat.
D. Remaja
1. Pengertian Remaja
Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan
manusia, yang menjembatani masa anak-anak dengan masa dewasa
(Santrock, 2011), yang dimasuki pada usia kira kira dari 13 tahun dan
berakhir pada usia 18 tahun (Jahja,2011). Masa remaja bermula pada
perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang
dramatis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik
seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang. Pada
perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol
(pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak
menghabiskan waktu di luar keluarga (Hurlock, 1990).
Istilah adolescene yang berasal dari kata Latin adolescere yang
berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi matang”. Kematangan yang
dimaksudkan disini mempunyai arti yang lebih luas, mencakup
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju
masa dewasa, pada usia 13-18 tahun yang merupakan masa dimana
mereka mengalami perkembangan terhadap fisik, kognitif dan sosial-emosi
pada remaja tersebut.
2. Karakteristik Umum Masa Remaja
Remaja berada pada masa peralihan antara masa anak-anak dan
masa dewasa. Berikut merupakan karakteristik umum masa remaja
(Santrock, 2011) :
a. Perkembangan Fisik
Perkembangan fisik masa remaja ditandai dengan mengalami
menarche atau haid pertama. Menarche adalah sebuah peristiwa yang
menandai masa pubertas pada perempuan. Pubertas (puberty) adalah
sebuah periode di mana kematangan fisik berlangsung cepat, yang
melibatkan perubahan hormonal dan tubuh, yang terutama
berlangsung pada awal masa remaja (Santrock, 2011).
Remaja putri mengalami menarche, yaitu menstruasi pertama,
sedangkan remaja putra mengalami spermarche, yaitu pertama kalinya
cairan sperma yang keluar, yang umumnya terjadi pada saat tidur.
Pada remaja putri ditandai dengan tumbuhnya payudara, muncul pubic
hair, jaringan lemak mulai menebal terutama di bagian lengan, paha,
Akibat perubahan bentuk tubuh dan kematangan hormon seks
menyebabkan para remaja tersebut memiliki minat pada seksualitas,
karena meningkatnya minat pada seks, remaja berusaha untuk mencari
informasi yang lebih banyak mengenai seks. Mereka mencari tahu
informasi mengenai seks dari pelbagai sumber, karena menurut
mereka apabila mereka mencari informasi mengenai seks kepada
orang tua, mereka akan tidak mendapatkan semua informasi sesuai
yang mereka harapkan.
Mereka memiliki cara tersendiri untuk mendapatkan informasi
yang mereka inginkan. Misalnya remaja tersebut membahas dengan
teman-teman di lingkungan sekolah ataupun perguruan tinggi,
membaca buku-buku mengenai seks, atau mengadakan percobaan
dengan cara masturbasi, bercumbu dan bersenggama. Remaja putri
yang sudah mengalami haid artinya ia mempunyai kemungkinan
hamil dan ia memiliki dorongan untuk melakukan hubungan seks
dengan pasangannya. (Harlock, 1990).
b. Perkembangan Kognitif
1) Pemikiran Operasional Formal
Dalam teori Jean Piaget (Santrock, 2002) pola pikir remaja
tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual sebagai dasar
pemikiran. Sebaliknya, mereka dapat membangkitkan situasi
yang benar-benar abstrak. Mereka mampu menggunakan
penalaran deduktif hipotetis dalam proses pemecahan masalah,
yaitu membuat perencanaan, memecahkan masalah secara
sistematis, dan melakukan pengetesan terhadap solusi yang
diambil.
2) Kognisi Sosial
Pemikiran remaja bersifat egosentris. David Elkind (dalam
Santrock, 2002) yakin bahwa egosentrisme remaja (adolescence
egocentrism) memiliki dua bagian, yakni penonton khayalan dan
dongeng pribadi. Penonton khayalan (imaginary audience) adalah
keyakinan remaja bahwa orang lain memperhatikan dirinya
sebagaimana halnya dengan dirinya sendiri. Perilaku mengundang
perhatian, umum terjadi pada masa remaja, mencerminkan
egosentrisme dan keinginan untuk tampil diatas pentas,
diperhatikan, dan terlihat. Fantasi imaginary audience ini kuat
pada masa remaja awal, tetapi tetap ada pada masa dewasa,
walaupun dalam tingkat yang lebih rendah.
Dongeng pribadi (the personal fable) adalah bagian dari
egosentrisme remaja yang meliputi perasaan unik seorang remaja.
Rasa unik pribadi remaja membuat mereka merasa bahwa tidak
seorang pun mengerti bagaimana perasaan mereka sebenarnya
(Santrock, 2002). Menurut Elkind (dalam Papalia, 2010), bentuk
menghancurkan diri sendiri dan personal fable ini mendorong
orang untuk mengambil resiko sehari-hari. Beberapa ahli
perkembangan yakin bahwa egosentrisme dapat menerangkan
beberapa perilaku remaja yang nampaknya ceroboh. Dalam
sebuah peneitian, anak-anak perempuan kelas sebelas dan dua
belas yang tingkat egosentris remajanya tinggi, mengatakan
bahwa kemungkinannya kecil mereka akan hamil bila terlibat
hubungan seks tanpa alat kontrasepsi (Santrock, 2002).
3) Pengambilan Keputusan
Masa remaja ialah masa di mana seseorang dihadapkan
pada situasi yang lebih banyak melibatkan pengambilan
keputusan (Sunstein, dalam Santrock 2011). Dibandingkan
dengan anak-anak, remaja yang lebih muda cenderung
menghasilkan pilihan-pilihan, menguji situasi dari berbagai
perspektif, mengantisipasi akibat dari keputusan-keputusan, dan
mempertimbangkan kredibilitas sumber-sumber. Akan tetapi
remaja yang lebih muda kurang kompeten dalam ketrampilan
pengambilan keputusan dibanding remaja yang lebih tua. Saat
orang melakukan pengambilan keputusan, lebih baik saat mereka
dalam kondisi yang tenang dibandingkan ketika sedang emosi.
Seorang remaja yang dalam kondisi tenang mampu mengambil
tidak bijaksana ketika emosinya sedang tinggi (Paus, 2009;
Steinberg, 2008, dalam Santrock 2011).
c. Perkembangan Sosio-Emosi
1) Keluarga
a) Otonomi dan Attachment
Otonomi dan tanggung jawab merupakan tuntutan
remaja kepada orang tua mereka. Ketika remaja menuntut
otonomi, orang tua yang bijaksana akan melepaskan kendali di
bidang-bidang dimana remaja dapat mengambil
keputusan-keputusan yang masuk akal pada bidang-bidang dimana remaja
memiliki keterbatasan pengetahuan dalam bidang tersebut.
Adanya kelekatan (secure attachment) dengan orang tua pada
masa remaja dapat membantu kompetensi sosial dan
kesejahteraan sosial remaja, seperti tercermin dalam ciri-ciri
seperti harga diri, penyesuaian emosional, dan kesehatan fisik.
b) Konflik Orang Tua-Remaja
Konflik dengan orang tua seringkali meningkat selama
masa awal remaja, agak stabil selama tahun-tahun sekolah
menengah atas, dan kemudian berkurang ketika remaja
mencapai usia 17 hingga 20 tahun. Konflik sehari-hari yang
mencirikan relasi orang tua – remaja yang sebenarnya dapat
berperan sebagai fungsi perkembangan yang positif. Perselisihan
tergantung pada orang tua menjadi seorang individu yang
memiliki otonomi.
2) Teman Sebaya
a) Tekanan Teman Sebaya dan Tuntutan Konformitas
Konformitas dan tekanan teman sebaya dapat
memberikan pengaruh yang positif maupun yang negatif.
Umumnya remaja terlibat dalam semua perilaku konformitas
yang negatif, seperti: menggunakan bahasa yang jorok, mencuri,
merusak, dan mengolok-olok orang tua dan guru. Akan tetapi
banyak sekali konformitas teman sebaya yang tidak negatif dan
terdiri atas keinginan remaja untuk dilibatkan di dalam dunia
teman sebaya (Santrock, 2002).
b) Berkencan
Remaja meluangkan banyak waktu untuk berkencan.
Berkencan mempunyai fungsi sebagai rekreasi, sumber status
dan prestasi, serta suatu setting untuk belajar tentang relasi yang
akrab, dan sebagai penyeleksian pasangan. Dalam berkencan
dikenal istilah skenario berkencan (dating scripts) ialah
model-model kognitif yang digunakan oleh remaja dan orang dewasa
untuk memandu dan mengevaluasi interaksi berkencan. Kaum
laki-laki mengikuti skenario berkencan yang proaktif, kaum
perempuan mengikuti skenario berkencan yang reaktif. Skenario
umum misalnya yang mengendarai kendaraan, dan memulai
dalam interaksi seksual. Skenario kaum perempuan berfokus
pada bidang pribadi, misalnya memperhatikan penampilan,
menikmati kencan, dan menanggapi interaksi seksual dari kaum
laki-laki (Santrock, 2002)
3. Perilaku Seksual Remaja a. Pengertian Perilaku Seksual
Menurut Dariyo (2004) perilaku seksual adalah segala tingkah
laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya
maupun dengan sesama jenisnya. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa
bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku
berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa
orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. (Psikologi Remaja;
2007)
b. Remaja dan Kehidupan Seks
1) Pertama Kali Berkencan
Pada generasi yang lalu dan hampir lalu, masalah berkencan
ini tidak dikenal sehubungan dengan adat istiadat yang kuat, yang
lebih menekankan soal pengendalian daripada kebebasan. Hal
tersebut hinggap pada putra-putri dari orang-orang yang tergolong
generasi yang lalu. Dengan cara menengok kembali ke masa-masa
remaja, karena semua itu sudah diatur sampai menginjak jenjang
pernikahan.
Berkencan dapat dirumuskan sebagai suatu proses di mana
seorang pria pergi dengan seorang gadis untuk berekreasi. Belum
tentu dalam kencan tadi terselip soal-soal yang berhubungan erat
dengan percintaan, mungkin hanya sekedar mencari kawan saja.
Berkencan ini tidak dibatasi oleh usia, tetapi hanya membatasi
berkencan diantara remaja saja.
2) Terlalu Cepat Matang
Ada bermacam-macam pendapat orang mengenai pengertian
“matang”. Seringkali orang mempergunakannya untuk
menggambarkan situasi dimana remaja di dalam kehidupan seks.
Memang ini sesuai dengan perkembangan psikis dari remaja tersebut
karena mereka mulai menyadari apa yang diperbuatnya. Ada kalanya
remaja sebetulnya hanya ingin berlaku seperti orang dewasa, padahal
keadaan psikis seseorang itu belum menunjukkan
kebutuhan-kebutuhan untuk mengadakan kontak yang intim dengan kawan yang
tidak sejenis. Dalam hal ini secara seksual mereka sudah matang, hal
mana datangnya lebih cepat daripada misalnya pada masa kira-kira
sepuluh tahun yang lalu. Mungkin soal kematangan ini tidak begitu
mendatangkan kerugian secara badaniah.
Kadangkala seorang remaja kelihatannya menghindarkan diri
ternyata dia lebih berkonsentrasi terhadap pelajaran atau hobinya.
Mungkin ada yang beranggaapan bahwa remaja tersebut masih
memiliki jiwa kekanak-kanakan yang tebal atau terkadang dianggap
abnormal ketika menyangkut kehidupan seks. Para remaja yang
seperti ini tidak berarti mereka abnormal, tetapi mereka menyadari
bahwa kini belum saatnya memulai dan sekedar ikut-ikutan
temannya (Soekanto, 1989).
E. Kehamilan Pranikah pada Remaja 1. Pengertian Kehamilan
Kehamilan terjadi karena adanya pembuahan sel telur oleh sperma
yang nantinya akan berkembang menjadi janin. Hubungan seks antara alat
kelamin wanita dengan alat kelamin pria pada masa-masa suburnya, sangat
memungkinkan terjadinya kehamilan.
2. Kehamilan Remaja
Kehamilan merupakan konsekuensi yang logis dari hubungan
pergaulan bebas antar remaja yang berbeda jenis kelamin, yang cenderung
tidak dapat dikendalikan dengan baik. Kehamilan diluar nikah merupakan
cermin dari ketidakmapuan seorang remaja dalam mengambil suatu
keputusan dalam pergaulannya dengan lawan jenis.
Pada peristiwa kehamilan pranikah, remaja ingin melakukan aborsi.
Hal yang perlu kita pahami adalah motif-motif apakah yang mendorong
wanita melakukan aborsi. Berikut sebab-sebab yang mendorong seseorang
ekonomis, moralitas sosial, ketakutan terhadap orang tua, rasa malu dan
aib terhadap tetangga serta handai taulan, relasi cinta yang tidak harmonis,
ketidaksengajaan yang mengakibatkan “kecelakaan” dan terpaksa hamil,
dan dari pihak pria melarikan diri dan tidak mau bertanggung jawab,
sehingga menyebabkan status keibuan ekstramarital (unmarried mother).
(Kartono,1992)
a. Model Pengambilan Keputusan pada Remaja yang Hamil
1) Melahirkan bayi yang dikandung
Remaja yang memilih untuk melahirkan bayi yang
dikandungnya memiliki konsekuensi yang akan dihadapi, yaitu ia
akan menjadi orang tua. Menurut Thornburg, hal-hal yang harus
dilakukan oleh orang tua adalah merawat kehamilan, memberi
pemenuhan kebutuhan makanan yang bergizi, memiliki ketrampilan
untuk merawat kesehatan anak, dan harus merasa siap dalam
pemenuhan kebutuhan.
2. Melakukan aborsi
Bila remaja melakukan aborsi, maka remaja memerlukan
pelayanan kesehatan untuk dapat mengeluarkan janinnya secara
aman dan biaya murah. Tetapi, remaja juga dihadapkan masalah
dimana ia akan melakukan aborsi secara resmi atau tidak. Aborsi
resmi berarti pengguguran janin dilakukan dan disetujui oleh
agama dan norma sosial-masyarakat, karena aborsi berarti
melakukan pembunuhan terhadap calon-calon bayi (Dariyo, 2004).
b. Konsekuensi Masalah Akibat Kehamilan Remaja
1) Konsekuensi terhadap pendidikan : putus sekolah (DO)
Remaja wanita yang hamil, umumnya tidak memperoleh
penerimaan sosial dari lembaga pendidikannya, sehingga ia harus
dikeluarkan dari sekolahnya. Demikian pula dengan remaja laki-laki
yang menjadi pelaku utama penyebab kehamilan tersebut, juga akan
mengalami nasib yang sama, yaitu drop-out dari sekolahnya.
2) Konsekuensi sosiologis : sanksi sosial
Orang tua akan menanggung malu apabila mengetahui
anaknya hamil. Maka untuk menyelesaikan masalah tersebut, orang
tua akan menikahkan anaknya yang hamil dengan remaja laki-laki
yang menghamilinya. Masyarakat juga akan mencemooh,
mengisolasi atau mengusir terhadap orang-orang yang melanggar
norma masyarakat.
3) Konsekuensi penyesuaian dalam kehidupan keluarga baru
Remaja harus dapat menyesuaikan diri dalam kehidupannya
yang baru. Apabila mereka tidak mampu untuk menyesuaikan diri
dapat menyebabkan sering terjadi konflik-konflik, pertengkaran,
4) Konsekuensi ekonomis : pemenuhan kebutuhan ekonomis keluarga
Sebagai orang tua, mereka harus bertanggung jawab untuk
memberi pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga mereka.
Remaja tersebut harus bekerja, tetapi karena mereka tidak memiliki
pengetahuan, keterampilan, atau keahlian yang cukup memadai
sebagai orang profesional, maka ia akan memperoleh taraf
penghasilan yang rendah. Dengan penghasilan yang rendah,
menyebabkan remaja tidak mampu untuk membiayai kebutuhan
ekonomi keluarga.
5) Konsekuensi hukum
Remaja yang telah hamil disarankan untuk melakukan
pernikahan sah secara hukum yang diakui oleh pemerintah. Dengan
menikah secara resmi, mereka akan terhindar dari sanksi sosial,
sebab mereka menjadi suami istri yang sah.
F. Aborsi
1. Pengertian Aborsi
Menurut Kartono dan Gulo (dalam Andayani dan Setiawan, 2005),
aborsi atau disebut juga pengguguran kandungan, keluron, abortus atau
keguguran adalah pengguguran atau pengenyahan dengan paksa janin
(embrio) dari rahim (uterus) selama tiga bulan. Secara umum istilah aborsi
sebelum waktunya, baik itu secara sengaja atau tidak. Biasanya dilakukan
saat janin masih berusia muda (sebelum bulan keempat masa kehamilan).
Menurut Kusmaryanto (2005), aborsi (abortion) berasal dari bahasa
latin abortio, ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur
pada umur di mana janin itu belum bisa hidup diluar kandungan. Secara
medis aborsi berarti pengeluaran kandungan sebelum berumur 24 minggu
dan mengakibatkan kematian, sedangkan pengeluaran janin sesudah umur
24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan bayi
(infanticide). Aborsi ialah penghentian dan pengeluaran hasil kehamilan
dari rahim sebelum janin bisa hidup diluar kandungan. Umur janin bisa
hidup diluar kandungan diberi batas 20 minggu, tetapi ada yang sampai 24
minggu. Pengeluaran janin yang berakibat kematian terjadi sampe umur
20-24 minggu disebut pengguguran/aborsi (Kusmaryanto, 2002). Dengan
kata lain, keluarnya janin secara sengaja oleh campur tangan manusia
disebut “procured abortion” atau abortus provocartus atau aborsi yang
disengaja (Kusmaryanto, 2002).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa aborsi
adalah tindakan pengeluaran hasil kehamilan dari rahim, sebelum janin
2. Komplikasi secara Fisik / Medik dari Aborsi a. Robekan pada serviks
Terjadi apabila serviks terlalu keras, dilatasi dan pegangan klem
terlalu dipaksakan. Apabila luka sobekan cukup lebar maka harus
dijahit. Karena dapat menimbulkan pendarahan.
b. Pendarahan
Jika leher rahim robek akan menimbukan pendarahan yang
dapat berbahaya bagi keselamatan ibu. Terkadang dibutuhkan
pembedahan untuk menghentikan pendarahan tersebut.
c. Infeksi
Infeksi dapat disebabkan oleh alat medis tidak steril yang
dimasukkan ke dalam rahim atau sisa janin yang tidak dibersihkan
dengan benar.
d. Kerusakan organ lain
Saat alat dimasukkan ke dalam rahim, maka ada kemungkinan
alat tersebut menyebabkan kerusakan pada organ terdekat seperti usus
atau kandung kemih.
e. Larutan garam masuk ke dalam rongga peritonium atau pembuluh darah
Kerja jantung akan berhenti (cardiac arrest), sesak napas
3. Komplikasi / Efek secara Psikologis
Proses aborsi bukanlah suatu proses yang memiliki resiko tinggi
dari segi kesehatan secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat
hebat terhadap keadaan mental atau psikologis seorang wanita.
Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion
Syndrome” (Sindroma Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat
dalam “Psychological Reactions Reported After Abortion” di dalam
penerbitan The Post-Abortion Review (1994).
Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan
mengalami hal-hal seperti berikut ini:
1. Kehilangan harga diri
2. Berteriak-teriak histeris
3. Mimpi buruk mengenai bayi yang diaborsi
4. Ingin melakukan bunuh diri
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual
Diluar hal-hal tersebut diatas para wanita yang melakukan aborsi
akan dipenuhi perasaan bersalah yang tidak hilang selama bertahun-tahun
dalam hidupnya. (aborsi.org “cintailah kehidupan” diunduh dari
http://www.aborsi.org/teknik.htm)
G. Dinamika Psikologis setelah Mengalami Aborsi
Aborsi merupakan pengguguran kandungan secara paksa baik itu
janin masih berusia muda, sebelum bulan keempat masa kehamilan (Kartono
dan Gulo, dalam Andayani dan Setiawan, 2005). Menurut Eddy Hasmi,
tingginya tingkat aborsi yang dilakukan oleh kalangan remaja terjadi akibat
perilaku hubungan seksual pranikah (www.merdeka.com). Saat remaja
mengalami kehamilan pranikah terlihat jelas bahwa konsekuensi terhadap
pendidikan yang akan ia alami, karena baik remaja putri yang sedang hamil
dan remaja putra yang mejadi pelaku utama penyebab kehamilan akan
dikeluarkan dari sekolah (Dariyo, 2004).
Kehamilan merupakan konsekuensi dari hubungan seksual, namun
remaja yang melakukan seks pranikah cenderung menempuh jalan pintas,
yakni melakukan aborsi (sosialbudaya.tvonenews.tv). Remaja melakukan
pengambilan keputusan dalam melakukan aborsi melibatkan faktor emosi
dalam diri mereka (Santrok,2002). Mereka cenderung mengambil keputusan
dalam situasi emosi yang tidak stabil karena usia mereka yang masih muda.
Remaja yang melakukan aborsi tidak memikirkan bagaimana dampak yang
akan mereka alami setelah itu, mereka hanya memikirkan bahwa bayi yang
dikandung sudah hilang dan masalah selesai. Setelah mereka melakukan
aborsi, bagi sebagian remaja putri akan mengalami dampak secara psikologis.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fegusson,dkk (2006), Dexter
(2007), Psych (2011), dan Warren,dkk (2010) menunjukkan bahwa risiko
paling tinggi dari aborsi secara psikologis akan mengalami depresi dan
kecemasan. Lain halnya dengan penelitian Kimport,dkk (2011) menunjukkan
dikarenakan setelah mereka melakukan aborsi, mereka mendapatkan
dukungan dari orang-orang sekitarnya.
Dampak yang mereka terima ketika melakukan aborsi ialah perasaan
sedih dan tertekan yang kemudian menyebabkan stres yang berkepanjangan.
Keadaan tersebut dikatakan depresi apabila kesedihan yang mendalam tetap
ada dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan setelah melakukan
aborsi. Menurut Rathus (1991) orang yang mengalami depresi umumnya
mengalami gangguan yang meliputi keadaan emosi, motivasional, fungsional,
dan gerakan tingkah laku serta kognisi. Dalam depresi, simptom-simptom
yang akan muncul yaitu simptom emosional, simptom kognitif, simptom
motivasional dan simptom fisik. Depresi pada umumnya menunjukkan
simptom-simptom tersebut dan setiap orang yang mengalami depresi akan
muncul simptom-simptom yang berbeda (Lubis,2009).
Seseorang yang melakukan aborsi akan mengalami Post Abortion
Syndrome, yang merupakan gangguan kecemasan yang termasuk dalam
subtipe Post Traumatic Stress Disorder. Peristiwa traumatik yang termasuk
dalam PTSD ditandai dengan mengalami kembali kejadian traumatik, adanya
penghindaran stimuli yang diasosiasikan terhadap kejadian yang dialami
subjek, dan adanya gejala arrousal yang meningkat (Durrand, 2006).
Simptom PAS muncul beberapa bulan setelah pelaku melakukan aborsi dan
pada beberapa pelaku aborsi PAS akan bertahan dalam diri pelaku selama
Dengan adanya dampak secara psikologis yang dialami oleh pelaku
aborsi, maka penelitian ini akan dilakukan melalui skala dengan tujuan untuk
memperoleh gambaran deskriptif mengenai kecenderungan tingkat depresi
dan tingkat post abortion syndrome pada remaja putri pelaku aborsi. Hasil
penelitian diharapkan bisa memberikan informasi baru terkait dengan dampak