• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP VEGETASI DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH SOPARI YANTINA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENILAIAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP VEGETASI DI KPH CEPU PERUM PERHUTANI UNIT I JAWA TENGAH SOPARI YANTINA"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

SOPARI YANTINA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SOPARI YANTINA

E 14203039

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Di bawah

bimbingan LAILAN SYAUFINA.

Hutan Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang mempunyai

manfaat besar bagi kehidupan manusia baik secara ekologi, ekonomi, maupun

sosial budaya. Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan kelestarian dan

penyebab utama kerusakan hutan paling merugikan. Berkaitan dengan hal itu

kebakaran hutan menyebabkan kerusakan terhadap vegetasi terutama pada

tegakan hutan tanaman yang mengutamakan produksi dan keuntungan ekonomis.

Untuk menilai besarnya gangguan terhadap vegetasi akibat kebakaran

hutan pada hutan tanaman dapat menggunakan metode Forest Health Monitiring

dan Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menilai kondisi

hutan serta memberikan informasi yang dapat digunakan untuk menentukan

kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selanjutnya.

KPH Cepu merupakan salah satu hutan tanaman yang didominasi oleh

jenis Jati (Tectona grandis), mengalami kejadian kebakaran hutan setiap tahun.

Kejadian kebakaran paling besar terjadi sekitar tahun 1997 yaitu seluas 1.158,52

Ha. BKPH yang mengalami kebakaran paling luas yaitu BKPH Cabak dengan

luas 62,70 Ha. Penyebab dari kebakaran hutan sebagian besar terjadi karena

aktivitas manusia, selain itu juga didukung oleh faktor lingkungan seperi kondisi

iklim yang tergolong kering.

Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe kebakaran yang sering terjadi

tergolong Surface Fire. Dari data hasil pengamatan juga terlihat bahwa

berdasarkan lokasi kerusakan secara umum terjadi pada bagian batang bawah dan

atas, berdasarkan tipe kerusakannya yang paling umum terjadi yaitu batang

hangus dan luka serta akar luka dan terbakar.

Nilai rata-rata kerusakan individu pohon setiap KU (I dan V) pada areal

bekas terbakar tahun 2005 sebesar 1,311 dan 9,389 pada areal tahun 2006 sebesar

4,321 dan 6,641. Hasil pembobotan dan pengklasifikasian berdasarkan keparahan

kerusakan setiap KU (I dan V) pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan tahun

2006, yaitu kurang dari 50% jumlah pohon tidak terlihat rusak dan lebih dari 80%

pohon terbakar masih dapat bertahan hidup, sehingga didapat nilai bobot sebesar

5. Tumbuhan bawah pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006 setiap KU (I

dan V) mengalami perubahan komposisi jenis, hasil pembobotan nilai keragaman

masing-masing sebesar 4,5.

Dari hasil penjumlahan nilai parameter kerusakan, setiap KU (I dan V)

tahun 2005 didapatkan nilai sebesar 10,811 dan 18,889 untuk areal terbakar tahun

2006 sebesar 13,821 dan 16,141. Nilai tersebut masuk dalam rentang skor 0-20,

kondisi demikian menggambarkan kerusakan vegetasi akibat kebakaran hutan di

KPH Cepu Perhutani Unit I Jawa Tengah tergolong kelas sangat ringan.

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penilaian Dampak

Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa

Tengah adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Dr.Ir.

Lailan Syaufina, M.Sc. dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada

perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Bogor,

Januari

2008

Sopari

Yantina

(5)

I Jawa Tengah

Nama Mahasiswa : SOPARI YANTINA

NRP

: E 14203039

Menyetujui:

Dosen pembimbing,

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

NIP 131 849 392

Mengetahui

Dekan Fakultas Kehutanan IPB,

Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr.

NIP 131 878 499

(6)

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang

diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun

skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan umatnya.

Penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk menilai kerusakan

terhadap vegetasi akibat kebakaran hutan. Skripsi ini merupakan laporan akhir

dari hasil penelitian penulis yang berjudul ”Penilaian Dampak Kebakaran Hutan

Terhadap Vegetasi di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah”.

Penelitian dilakukan di areal bekas kebakaran hutan tahun 2005 dan 2006 pada

Kelas Umur I dan V di RPH Pasar Sore dan RPH Cabak, selama bulan Juni-Juli

2007. Skripsi ini sekaligus merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan di Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut

Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.

selaku pembimbing, KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang telah

menyediakan tempat untuk melaksanakan penelitian, Dr. Ir. Noor Farikhah, M.Si.

yang telah membantu penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Ungkapan

terimakasih juga disampaikan kepada bapa, ibu, kakak tercinta serta seluruh

keluarga dan teman-teman atas segala bantuan dan doanya.

Permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kesalahan dan

kekhilafan, penulis sampaikan kepada semua pihak yang terkait dalam kegiatan

penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih

jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun guna

perbaikan dan pengembangan penelitian lebih lanjut sangat diharapkan. Semoga

skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Bogor,

Januari

2008

(7)

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tanggal 15 Oktober

1984 sebagai anak kedua dari dua bersaudara keluarga Bapak Abdul Rojak

Sugandi dan Ibu Mimi Siti Rukoyah.

Penulis mulai masuk pendidikan taman kanak-kanak pada tahun 1990 di

TK Dewi Sartika. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri II

Cineam pada tahun 1991-1997, kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah

Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri I Cineam hingga tahun 2000. Pada

tahun 2003 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas di

SLTA Negeri I Manonjaya.

Tahun 2003 penulis diterima menjadi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor,

Fakultas Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Program Studi Budidaya

Hutan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh

pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan

dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada tahun 2006 di KPH Banyumas Timur dan

KPH Banyumas Barat serta Praktek Pengelolaan di daerah Getas, Kabupaten

Ngawi, Jawa Timur.

Pada tahun 2007 penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT.

ITCI Kartika Utama, Balikpapan, Kalimantan Timur. Selama studi di IPB penulis

aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bidang kesenian Gentra

Kaheman tahun 2004-2005, sebagai anggota.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di

Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian

dan penyusunan skripsi

yang berjudul ”Penilaian Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi di KPH

Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan

Syaufina, M.Sc.

(8)

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ii

DAFTAR GAMBAR... iii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

2.1 Proses Kebakaran Hutan ... 3

2.2 Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan... 5

2.3 Tipe dan Klasifikasi Kebakaran Hutan ... 8

2.4 Dampak Kebakaran Hutan Terhadap Vegetasi ... 9

2.5 Forest Health Monitoring (FHM)... 11

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 14

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat Penelitian... 14

3.3 Metode Penelitian ... 14

3.3.1 Penetapan Plot... 14

3.3.2 Pengambilan Data Vegetasi ... 15

3.3.3 Penilaian Kerusakan Pohon ... 16

3.4 Analisis Data ... 19

3.4.1 Kerusakan Pohon ... 19

3.4.2 Penilaian Kerusakan Tumbuhan Bawah ... 20

3.5 Pengumpulan Data Sekunder ... 23

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 24

4.1 Letak dan Luas ... 24

4.2 Tofografi ... 24

4.3 Jenis Tanah... 25

4.4 Iklim ... 25

4.5 Sosial Ekonomi Masyarakat... 25

(9)

5.1.2 Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di KPH Cepu ... 29

5.2 Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi ... 32

5.2 Penilaian Kerusakan Vegetasi Akibat Kebakaran Hutan... 39

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41

6.1 Kesimpulan ... 41

6.2 Saran... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

LAMPIRAN... 45

(10)

No

Halaman

1. Deskripsi kode lokasi kerusakan ... 17

2. Deskripsi kode tipe/jenis kerusakan ... 18

3. Kode dan kelas keparahan kerusakan ... 18

4. Penilaian kerusakan individu pohon ... 19

5. Penilaian tingkat keparahan vegetasi ... 20

6. Penilaian keanekaragaman vegetasi... 22

7. Sistem skoring penilaian areal bekas terbakar ... 23

8. Kerusakan pohon jati pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006 ... 35

9. Tumbuhan bawah di tegakan Jati KPH Cepu bekas kebakaran tahun 2005 dan

2006... 38

(11)

No.

Halaman

1. Segitiga Api ... 3

2. Bentuk klaster FHM ... 15

3. Layout kuadran untuk tumbuhan bawah ... 16

4. Lokasi kerusakan pohon ... 17

5. Kejadian kebakaran di KPH Cepu periode 2005-2006 ... 27

6. Rata-rata luas kebakaran hutan tiap BKPH periode 1996-2006 ... 28

7. Frekuensi kebakaran hutan tiap BKPH periode 1996-2006... 29

8. Curah hujan rata-rata kecamatan Cabak Kabupaten Blora

periode 2003-2007 ... 30

9. Serasah dan tumbuhan bawah ... 31

10. Pohon Jati terbakar KU I dan KU V ... 32

11. Kerusakan pohon berdasarkan lokasi kerusakan... 36

(12)

No.

Halaman

1. Penilaian kerusakan individu pohon KU I dan KU V bekas terbakar

tahun 2005 dan tahun 2006 ... 46

2. Penilaian keragaman tumbuhan bawah KU I dan KU V bekas terbakar

tahun 2005 dan tahun 2006 ... 85

3. Data luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode 1996-2006 .... 86

4. Data curah hujan Kecamatan Cabak Kabupaten Blora tahun 2003-2007 .... 87

5. Peta kebakaran di KPH Cepu ... 88

6. Perhitungan indeks keragaman tumbuhan bawah ... 89

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang mempunyai manfaat besar bagi kehidupan manusia baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya. Pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang tepat serta berkelanjutan sangat penting sehingga keberadaan dan fungsinya akan tetap lestari. Hutan tanaman diharapkan dapat memenuhi permintaan pasar untuk mencukupi kebutuhan masyarakat yang semakin tinggi terhadap hasil hutan kayu.

Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan kelestarian dan penyebab utama kerusakan hutan paling merugikan. Kebakaran hutan di Indonesia telah menyebabkan berbagai dampak negatif, baik secara ekonomi, ekologi dan sosial-politik. Kebakaran hutan ini tidak hanya terjadi pada hutan alam saja tetapi terjadi juga pada hutan tanaman. Salah satunya terjadi pada tegakan Jati (Tectona

grandis) KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sebagian besar

kebakaran hutan disebabkan karena interaksi manusia dengan hutan, seperti tradisi penggunaan api untuk pembukaan dan penyiapan lahan, penggembalaan liar, ketidaksengajaan orang yang masuk kawasan hutan dan menyalakan api kemudian ditinggalkan, taktik para pencuri kayu untuk mengalihkan perhatian para petugas saat mencuri.

Kebakaran hutan mengakibatkan penurunan kualitas maupun kuantitas dari fungsi hutan sebagai pelindung penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya. Berkaitan dengan hal itu kebakaran hutan menyebabkan kerusakan terhadap vegetasi terutama pada tegakan hutan tanaman yang mengutamakan produksi dan keuntungan ekonomis. Dengan terjadinya kebakaran hutan siklus hara menjadi terganggu sehingga tanaman tidak dapat tumbuh secara optimal dan menyebabkan penurunan produktivitas tegakan, serta terganggunya kesehatan hutan.

Untuk menilai besarnya gangguan terhadap vegetasi akibat kebakaran hutan maka diperlukan monitoring serta penilaian terhadap areal bekas terbakar, metode pengambilan data yang dapat digunakan adalah Forest Health Monitoring

(14)

(FHM), kemudian dinilai menggunakan Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Dengan adanya monitoring dan penilaian dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi diharapkan dapat memberikan informasi-informasi tentang perubahan yang terjadi di areal bekas terbakar serta informasi tentang kesehatan hutan untuk perencanaan pengelolaan hutan selanjutnya.

Metode FHM telah dikembangkan di Indonesia untuk menilai kesehatan hutan yang diadopsi dari USDA Forest Service 1997. Sedangkan Formulasi Sistem Penilaian Areal Bekas Terbakar dikembangkan tahun 2005 menggunakan pedoman penilaian pengelolaan hutan berkelanjutan yang diacu dari ITTO dan metode yang digunakan yaitu FHM serta Fire Severity (Syaufina et.al., 2005).

Untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan sangat penting dilakukan monitoring dengan menggunakan metode FHM karena hutan Indonesia yang mempunyai kondisi ekosistem berbeda-beda sehingga pemantauan tidak cukup dilakukan di satu daerah yang mewakili suatu ekosistem saja. Perbedaan ekosistem akan menyebabkan perbedaan kondisi alam, biodiversitas serta responnya terhadap kebakaran. Metode FHM ini diharapkan mampu memantau kondisi hutan dari waktu ke waktu secara periodik.

1.2. Tujuan

1. Menjelaskan kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah.

2. Menjelaskan kerusakan yang terjadi terhadap vegetasi.

3. Penilaian dampak kebakaran hutan terhadap kerusakan vegetasi.

1.3. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menilai kondisi hutan berdasarkan kerusakan vegetasi serta memberikan informasi-informasi yang dapat digunakan untuk menentukan kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan selanjutnya supaya tercapai kelestarian hutan.

(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Proses Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan adalah suatu proses pembakaran yang penjalarannya bebas serta membakar bahan bakar alami dari hutan seperti serasah, rumput, ranting-cabang, pohon mati, semak belukar, gulma, log, pohon mati yang tetap berdiri, tunggak pohon, dedaunan dan pohon-pohon (Brown dan Davis, 1973). Pembakaran ini terjadi melalui dua proses yaitu proses kimia dan fisika berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan proses pelepasan energi panas (DeBano et al., 1998).

Menurut Brown dan Davis (1973), sebagai suatu reaksi kimia proses pembakaran berlawanan dengan proses pembentukkan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis.

Reaksi fotosintesis :

CO2 + H2O + energi matahari (C6H10O5)n + O2

Proses pembakaran :

(C6H10O5)n + O2 + suhu penyalaan CO2 + H2O + panas

Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya tiga komponen yaitu sumber api, ketersediaan bahan bakar dan ketersediaan oksigen. Ketiga komponen tersebut membentuk segitiga api atau Fire Triangle (DeBano et al., 1998).

Oksigen

Bahan bakar Sumber Panas

Gambar 1 Segitiga Api Api

(16)

Kebakaran hutan sebagai suatu proses yang terjadi di alam. Fase kebakaran terdapat lima tahapan, yaitu :

1. Pre Iginition (pra penyalaan)

Bahan bakar mulai terpanaskan, mengalami kekeringan, pirolisis dan pelepasan uap air, CO2 dan pelepasan gas yang mudah terbakar seperti

metana dan hidrogen yang berasal dari dekomposisi termal, hemiselulosa, selulosa dan lignin. Reaksinya berubah dari memerlukan panas menjadi pemanasan sendiri. Pada tahap awal pembakaran diperlukan suhu 325°C-350°C untuk menaikkan suhu bahan bakar.

2. Flaming (penyalaan)

Proses pirolisis pelepasan uap air dan pelepasan gas mudah terbakar meningkat, gas-gas di atas naik dan bercampur dengan oksigen. Pembakaran terjadi pada tahap ini, menyebabkan temperatur meningkat sangat tinggi dari 300°C -500°C menjadi 1400°C.

3. Smoldering (pembaraan)

Biasanya mengikuti penyalaan, berjalan lambat pada kebakaran bawah. Laju penjalaran api menurun demikian juga panas yang dilepaskan serta suhu yang dihasilkan sehingga banyak gas yang berkondensasi ke dalam asap. Partikel hasil emisi fase smoldering lebih besar dari pada fase

flaming.

4. Glowing (pemijaran)

Merupakan bagian akhir dari smoldering. Sebagian besar dari gas yang mudah menguap menghilang dan menghasilkan CO2, CO dan abu sisa

pembakaran. 5. Extinction

Kebakaran terhenti bila panas yang diproduksi oleh oksidasi tidak lagi cukup menguapkan air bahan bakar dan bila semua bahan bakar yang tersedia telah habis terbakar.

(17)

2.2. Faktor-Faktor Penyebab Kebakaran Hutan

Menurut Brown dan Davis (1973), proses terjadinya kebakaran hutan ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling berhubungan yaitu bahan bakar, cuaca, topografi, perubahan musim dan cuaca serta waktu harian. Penyebab kebakaran hutan hampir 99% dikarenakan ulah manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Karakteristik bahan bakar yang berpengaruh pada perilaku api diantaranya, 1. Ukuran bahan bakar

Berdasarkan ukurannya bahan bakar terdiri dari : (a) Bahan bakar ringan (ranting, daun, rumput, dahan-dahan kecil, daun jarum yang hanya memerlukan sedikit panas untuk terbakar). Bahan bakar ini merupakan bahan bakar yang cepat terbakar. (b) Bahan bakar berat (tunggak pohon, pohon berdiri). Bahan bakar ini merupakan bahan bakar yang memerlukan panas lebih banyak untuk mulai terbakar (Suratmo et al., 2003).

2. Penyusunan bahan bakar

Penyusunan bahan bakar adalah faktor utama dalam perilaku api. Susunan bahan bakar ini mempengaruhi tingkat kesulitan api untuk dikontrol (Brown dan Davis, 1973). Menurut Suratmo et al. (2003), penyusunan bahan bakar akan berpengaruh pada laju pemasokan oksigen, laju penguapan air dari bahan bakar, tingkat pemindahan panas melalui konduksi dan radiasi, arah dan laju penjalaran api, serta laju pembakaran. Reaksi pembakaran akan berlangsung sangat baik apabila bahan bakar cukup tersebar dan rapat.

3. Jumlah atau potensi bahan bakar

Menurut Suratmo et al. (2003), potensi bahan bakar merupakan banyaknya bahan bakar yang tersedia untuk reaksi pembakaran, akan mempengaruhi waktu tinggal api dan akhirnya perilaku api serta efek yang ditimbulkannya. Banyaknya bahan bakar hutan yang dapat terbakar akan mempengaruhi intensitas api. Semakin banyak bahan bakar tersedia maka akan semakin tinggi intensitas api dan semakin besar pula panas yang dihasilkan.

(18)

4. Tipe dan jenis bahan bakar

Menurut Brown dan Davis (1973), bahwa bahan bakar diklasifikasikan ke dalam tiga tipe yaitu bahan bakar permukaan (surface fuel), bahan bakar tajuk (Crown fuel) dan bahan bakar bawah (Ground fuel). Menurut Suratmo et al. (2003), tipe bahan bakar menggambarkan klasifikasi penutupan lahan atau tipe vegetasi yaitu padang rumput, padang alang-alang, semak, hutan tanaman, dan sebagainya. Pola tipe bahan bakar menggambarkan penyusunan sekat-sekat dan tipe vegetasi yang berbeda pada suatu hamparan lahan yang cukup luas.

5. Kekompakan bahan bakar

Menggambarkan kerapatan tiap-tiap potongan bahan bakar. Kekompakan akan mempengaruhi pasokan udara pada partikel bahan bakar yang sedang terbakar. Kekompakan mempengaruhi laju reaksi pembakaran dan tinggi nyala api. Jarak potongan antara bahan bakar akan mempengaruhi pemindahan panas dan pasokan udara pada tiap-tiap potong bahan bakar (Suratmo et al., 2003).

6. Kadar air bahan bakar

Adalah jumlah kandungan air dalam bahan bakar yang dinyatakan dalam presentase berat air tehadap berat kotor bahan bakar yang dikeringkan pada suhu 100° C. Kelembaban udara kurang dari 30 % mendukung terjadinya kebakaran karena udara kering akan banyak menyerap uap air dari bahan bakar (Clar dan Chatten, 1954). Kadar air bahan bakar akan menentukan mudah tidaknya bahan bakar untuk terbakar. Kemudahan untuk terbakar, laju penjalaran api, potensi terjadinya api lompatan dan intensitas api dipengaruhi oleh kadar air bahan bakar.

Faktor topografi yang berpengaruh pada penyebaran api adalah kemiringan lereng (Brown dan Davis, 1973). Kemiringan lereng berpengaruh pada arah dan kecepatan menjalarnya api, bahan bakar yang tersedia di permukaan lebih tinggi akan terpanaskan lebih dulu sehingga api lebih cepat menjalar ke atas dari pada ke bawah (Fuller, 1991).

(19)

Cuaca merupakan faktor penting pendukung terjadinya kebakaran hutan baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur udara, arah hembusan angin serta kelembaban udara. Menurut Chandler et al. (1983), faktor cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan yaitu masa dan gelombang udara, temperatur udara, kelembaban atmosfer, awan dan hujan, angin, petir dan stabilitas atmosfer.

Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro yang meliputi angin, suhu, kelembaban udara akan menentukan mudah tidaknya kejadian kebakaran hutan (Yunus, 2005).

Anonymous (1977) dalam Rachmatsjah (1985), mengemukakan sejumlah faktor yang dapat memperbesar kemungkinan timbulnya kebakaran dan terhadap besarnya nyala api kebakaran hutan yaitu:

1) Masyarakat kurang menyadari akan bahaya-bahaya dan akibat dari suatu kebakaran hutan.

2) Usaha pencegahan kebakaran hutan oleh pihak kehutanan belum memadai 3) Masih kurangnya petugas khusus yang terdidik dan terlatih yang

menangani masalah kebakaran hutan.

4) Belum tersedianya peralatan-peralatan khusus untuk mencegah dan memadamkan kebakaran hutan.

5) Makin luasnya tanaman hutan dari jenis pohon yang mudah terbakar dan pada umumnya ditanam secara murni.

6) Tanaman hutan pada areal alang-alang yang mudah terbakar. 7) Adanya aktivitas masyarakat di dekat hutan yang menggunakan api.

Kekurangan sarana dan prasarana pengamanan hutan serta lemahnya bidang hukum juga merupakan faktor yang mendorong timbulnya gangguan keamanan hutan.

(20)

2.3. Tipe dan Klasifikasi Kebakaran Hutan

Klasifikasi tipe kebakaran menurut Brown dan Davis (1973) terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu :

1. Kebakaran bawah (ground fire)

Api membakar bahan organik yang berada di bawah permukaan tanah atau lantai hutan pada umumnya berupa humus dan gambut. Kebakaran bawah berjalan lambat karena tidak dipengaruhi oleh angin, maka dari itu sangat sulit diketahui. Ciri dari kebakaran bawah api tampak tidak menyala dan adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Karena terjadi di bawah permukaan tanah, maka panas yang ditimbulkan oleh kebakaran bawah dapat menimbulkan kerusakan dan kematian akar-akar tanaman yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bagi tanaman tersebut. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan dan merupakan salah satu tipe kebakaran paling merusak.

2. Kebakaran permukaan (surface fire)

Kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, bekas limbah pembalakan, anakan pohon yang tingginya kurang dari 1,2 meter dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. merupakan kebakaran yang sering terjadi di dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam. Biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.

3. Kebakaran tajuk (crown fire)

Kebakaran ini biasanya bergerak dari satu tajuk pohon ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik yang berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Bermula karena pemanasan/kebakaran permukaan dan biasanya terjadi pada tegakan konifer, mempuyai kecepatan menjalar sangat cepat sehingga sulit ditanggulangi.

(21)

Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang sering terjadi di Indonesia, karena terjadi penumpukan bahan bakar pada permukaan tanah hutan. Brown dan Davis (1973), menyatakan bahwa kebakaran permukaan yaitu sumber api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh, dan bahan bakar lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya. Proses kebakaran permukaan ini umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas, baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk.

2.4. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi

Pengaruh api terhadap pohon menurut Davis (1959) bahwa kebakaran hutan yang berlangsung lama dan intensif dapat mengakibatkan kematian bagi pohon-pohon hutan. Pengetahuan tentang perbedaan-perbedaan sifat antara berbagai jenis pohon terutama tingkat kepekaannya terhadap api adalah penting sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pembakaran yang kini banyak dilakukan.

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al. (1983a), kebakaran hutan menimbulkan dampak kerusakan pada pohon yang terbakar. Hal ini dikarenakan suhu kebakaran tinggi dan merusak jaringan kambium pohon secara melingkar sehingga pohon tersebut luka atau mati. Secara spesifik api akan menyebabkan :

1. Kerusakan fisik pada pohon yang meliputi luka, pengguguran daun, kerusakan cabang serta kerugian lain,

2. Adanya kerusakan fisik seringkali meningkatkan kepekaan terhadap serangan serangga dan penyakit (Brown dan Davis, 1973).

Menurut Nobel (1981) dan Pyne (1996) dalam DeBano et al. (1998), sifat adaptasi dari tanaman terhadap kebakaran dapat membantu dalam memprediksi perubahan komposisi jenis tanaman dan dominasi setelah kebakaran dalam ekosistem yang rawan kebakaran.

Dampak kebakaran hutan lainnya yaitu kerusakan atau kematian anakan pohon dan semai yang ada di hutan karena suhu yang tinggi serta penurunan produktivitas hutan yang disebabkan banyaknya kayu yang terbakar sehingga secara ekonomis nilainya menurun.

(22)

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepekaan terhadap kerusakan vegetasi menurut Brown dan Davis (1973), yaitu temperatur awal dari pohon itu sendiri, morfologi pohon, percabangan dan tempat tumbuh, perakaran, ketebalan dan karakter kulit, material organik dalam tanah, flammabililitas daun-daun, pertumbuhan dan regenerasi, kebiasaan tempat hidup.

Pengaruh kebakaran hutan jati di Indonesia menurut Cordes dalam Rachmatsjah (1985), bahwa kebakaran permukaan tidak akan merusak pohon-pohon jati, hanya pada pohon-pohon-pohon-pohon yang sudah tua dan berlubang serta pada tanaman jati muda kerusakan dapat terjadi. Api biasanya menjalar cepat tetapi tetap rendah di atas permukaan tanah, dengan demikian pembakaran hanya terbatas pada rumput-rumput kering dan serasah jati yang menumpuk di lantai hutan.

Sedangkan menurut Kerbert dalam Rachmatsjah (1985), bahwa kebakaran yang berlangsung berabad-abad dan kontinu di hutan jati ada manfaatnya yaitu karena bersifat selektif, hanya pohon-pohon yang tahan api saja antara lain tanaman jati yang dapat hidup terus. Pembakaran di hutan jati dianjurkan, karena dapat memupuk tanah, membantu pertumbuhan biji jati, mempermudah pengumpulan biji jati pada areal kebun benih serta memudahkan penyaradan kayu jati.

Pengukuran dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi meliputi kondisi kerusakan kanopi, kerusakan batang, kerusakan akar dan kematian pohon. Kriteria penilaian kerusakan untuk kondisi vegetasi memiliki tiga indikator, yaitu kerusakan pohon, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi (Syaufina et al., 2006).

Fire severity merupakan istilah untuk melukiskan respon ekosistem

terhadap api, dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh api terhadap tanah, sistem air, ekosistem, flora, fauna, atmosfer dan masyarakat. Fire severity berhubungan dengan luas tidaknya suatu kebakaran, dilihat dari respon yang ditimbulkan ekosistem tersebut. Fire severity dipengaruhi oleh sifat bahan bakar yang tersedia dan perilaku api (DeBano et al.,1998).

(23)

Berdasarkan kondisi vegetasi, Fire severity dikelompokkan oleh DeBano

et al.(1998) sebagai berikut :

1. Low Fire Severity

Sekurang-kurangnya 50% tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi bertunas atau mati akar (tidak bertunas). Lebih dari 80% pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

2. Moderate Fire Severity

Antara 20-50% pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak, 40-80% pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.

3. High Fire Severity

Kurang dari 20% pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40% pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

2.5. Forest Health Monitoring (FHM)

Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI N0. 41 tahun 1999 tentang kehutanan). Menurut Nuhamara et al., (2001) dalam Nuhamara (2004), hutan sehat adalah hutan yang dapat mengemban fungsinya secara optimal, sekurang-kurangnya sesuai dengan fungsi hutan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sebaliknya hutan sakit adalah hutan yang tidak dapat memenuhi fungsinya secara optimal sesuai dengan tataguna hutan yang telah ditetapkan.

Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lainnya melibatkan transparansi tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk (MDNR-FS,

(24)

2002 dalam Putra, 2004). Untuk mengelola hutan secara lestari maka hutan harus memenuhi salah satu kriteria yakni bahwa hutan tersebut harus sehat.

Indikator kriteria hutan sehat menurut Nuhamara (2004), yaitu:

1. Kondisi hutan dan pertumbuhan pohon, parameternya antara lain : tinggi pohon, diameter pohon, luas bidang dasar, volume.

2. Kondisi pohon, parameternya antara lain: diameter pohon, rasio tajuk hidup, transparansi daun, kerapatan tajuk, dieback tajuk.

3. Kerusakan pohon, parameternya antara lain: lokasi, tipe kerusakan, nilai ambang keparahan.

4. Struktur vegetasi, parameternya antara lain : identifikasi jenis jamur, status tumbuhan, jumlah penutupan kanopi, kondisi tanah dan sebagainya. 5. Kondisi tanah dan sebagainya.

Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia. Forest Health

Monitoring (FHM) merupakan salah satu metode yang diterapkan di Indonesia

untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu. FHM atau pemantauan kesehatan hutan dikembangkan dengan kegiatannya meliputi pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, pembangunan plot, pengumpulan data dan analisis pelaporan penaksiran serta pengembangan indikator (Nuhamara, 2004).

Menurut Supriyanto et al., (2001) dalam kajian penerapan metode FHM di

Indonesia berhasil memperoleh 4 indikator ekologis kunci bagi kesehatan hutan hujan tropika Indonesia, yakni pertumbuhan pohon, mortalitas dan regenerasi (produktivitas) keragaman tipe pohon dan ketersebaran (biodiversitas), kondisi tajuk dan kondisi kerusakan (vitalitas) dan sifat-sifat kimia tanah (kualitas tapak).

Kondisi kesehatan hutan didasarkan pada penilaian pada indikator-indikator terukur yang dapat menggambarkan kondisi tegakan secara komprehensip. Indikator tersebut adalah pertumbuhan, kondisi tajuk, kerusakan dan mortalitas, indikator biologis tingkat polusi udara, kimia tanaman, kondisi perakaran, tingkat radiasi yang digunakan dalam fotosintesis, struktur vegetasi, habitat hidup liar, dan lichen (Cliene, 1995 dalam Putra, 2004). Indikator struktur

(25)

vegetasi memberi informasi tentang komposisi jenis, jumlah penutupan selektif, penyebaran dalam ruang tumbuh (Nuhamara, 2004).

Sistem FHM ditujukan untuk mengevaluasi kesehatan hutan sehingga dapat memberikan informasi kepada pemilik lahan tentang status hutan secara ekologis, perubahan yang sedang terjadi, agen yang menyebabkan perubahan, apakah perubahannya menandai adanya suatu kecenderungan, hasil yang diharapkan jika kecenderungan itu selalu berlanjut dan efek keputusan menejemen yang berakibat pada kondisi-kondisi yang ada. Informasi ini didapat lewat implementasi dari hutan secara berkala dengan monitoring kondisi ekosistem (Supriyanto et al., 2003).

Identifikasi gejala dan penyebab kerusakan akan memberikan informasi yang sangat penting terkait dengan kondisi hutan. Indikator kerusakan akan berperan sebagai peringatan awal dan menyediakan informasi akan kelestarian, resiliensi, produktivitas dan estitika. Metode FHM hanya merekam kategori kerusakan yang dapat menyebabkan kematian pohon atau mengurangi ketahanan hidup pohon dalam jangka panjang. Metode FHM menyediakan ambang minimum dan kelas keparahan bagi kategori kerusakan tersebut. Pendekatan kuantitatif akan dapat memberikan perkiraan indikator kerusakan terhadap kesehatan pohon, kemungkinan penyebab kematian dan pengaruhnya terhadap indikator lainnya seperti kondisi tajuk dan pertumbuhan pohon. (Cline, 1995 dalam Putra, 2004).

(26)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di KPH Cepu Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah pada areal bekas kebakaran tahun 2005 pada petak 87a (KU V), petak 38a (KU I) dan tahun 2006 pada petak 43a (KU V), serta petak 43b (KU I). Waktu Penelitian mulai bulan Juni sampai dengan Juli 2007.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Objek yang diteliti adalah vegetasi tegakan hutan tanaman Jati (Tectona

grandis) bekas kebakaran tahun 2005 dan 2006, kelas umur I dan kelas umur V.

Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tali rapia, kompas, kertas label, meteran, pita ukur, golok, parang, pisau, tally sheet, penggaris, alat tulis, dan kamera.

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Penetapan Plot

Penentuan petak pengamatan dalam Forest Healt Monitoring (FHM) dilakukan dengan membuat desain plot sampling. desain plot yang digunakan dalam INDO-FHM disebut desain Cluster Plot. Pada setiap klaster plot terdiri dari 4 annular plot dengan jari 17,95 m di dalamnya terdapat subplot dengan jari-jari 7,32 m dan di dalam subplot dibuat mikroplot dengan jari-jari-jari-jari 2,07 m. Titik pusat pada subplot 1 merupakan titik pusat bagi keseluruhan plot. Titik pusat subplot 2 terletak pada arah 360° dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 3 terletak pada arah 120° dari titik pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. Titik pusat subplot 4 terdapat pada arah 240° dari pusat subplot 1 dengan jarak 36,6 m. luasan dalam 1 buah klaster plot adalah 4048,93 m2, masing-masing annular plot mempunyai luas 0,1 Ha. Sedangkan luasan hutan yang diwakili oleh satu klaster plot adalah 1 Ha. Untuk areal hutan tanaman subplot dengan mikroplot tidak dipergunakan karena tidak terdapat permudaan. Gambar bentuk klaster FHM dapat dilihat pada Gambar 2.

(27)

Gambar 2 Bentuk klaster FHM (USDA-FS, 1995)

3.3.2. Pengambilan Data Vegetasi

Penilaian kerusakan pohon dilakukan dengan cara pengamatan pada pohon yang terdapat di dalam annular-plot. Data yang diambil meliputi data lokasi pohon terdiri dari identitas pohon (nama jenis dan nomor identitas, posisi pohon (azimuth dan jarak horizontal, diameter pohon (DBH) dengan tinggi 1,3 m dari permukaan tanah), vegetasi yang diukur adalah semua tanaman Jati pada areal yang terbakar tahun 2005 dan tahun 2006 Kelas Umur V dan permudaan Kelas Umur I. Adapun alasan pengambilan data dilakukan pada KU I yaitu sebagai permudaan yang rentan terhadap kebakaran, sedangkan KU V sebagai tegakan yang tua.

Untuk pengambilan data tumbuhan bawah dilakukan pada microplot dengan metode kuadran. Pada setiap annular plot terdapat tiga kuadran, berada pada posisi azimuth 30°, 150° dan 270° dari titik pusat subplot. Tiap kuadran

Jarak antara tiap titik pusat plot : 120’ (36.6 m)

Microplot (Jari-jari 6.8’ (2.07 m) azimuth 900 dari titik pusat

subplot (3.66 m)) Annular Plot (Jari-jari 58.9’ (17.95 m)) Subplot (Jari-jari 24.0’ (7.32 m)) Azimuth 1-2 3600 Azimuth 1-3 1200 Azimuth 1-4 2400 1 3 4 2

(28)

berukuran 1 m x 1 m, dengan jarak dari titik pusat sebesar 4,57 m dari titik pusat subplot. Data yang diambil meliputi, nama jenis, nama latin, jumlah individu. Bentuk layout kuadran dapat dilihat pada Gambar 3.

30º

1m x 1m 270°

150º

Gambar 3 Layout kuadran untuk tumbuhan bawah (USDA-FS, 1995)

3.3.3. Penilaian Kerusakan Pohon

Kerusakan pohon ini dapat dilihat dari beberapa bagian seperti akar, batang mahkota utama, cabang, daun-daunan, pucuk dan tunas. Kriteria penilaian kerusakan didasarkan pada metode FHM (Forest Health Monitoring) yaitu kerusakan pohon terdiri dari tiga sistem kode berurutan yang menggambarkan lokasi terjadinya kerusakan, jenis kerusakan, dan tingkat keparahan yang ditimbulkan pada pohon.

Dampak kerusakan dari suatu kejadian terhadap kesehatan pohon akan semakin rendah, hal ini diindikasikan dengan makin besarnya nomor kode. Kerusakan pada pohon dapat dinilai berdasarkan kode lokasi. Pencatatan kerusakan pada pohon dilakukan maksimum 3 kerusakan, dimulai dari lokasi kode terendah. Jika suatu pohon memiliki lebih dari 3 kerusakan yang memenuhi nilai ambang keparahan, kerusakan yang dicatat dimulai dari bagian akar dan pertama ditemui. Lokasi kerusakan pada pohon dapat dilihat pada Gambar 4.

(29)

Gambar 4 Lokasi Kerusakan Pohon (USDA-FS, 1995)

Untuk deskripsi kode kerusakan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Deskripsi kode lokasi kerusakan

Kode Uraian

0 Tidak ada kerusakan

1 Akar terbuka dan tunggang ”stump” (12 inci atau 30 cm dari landasan pengukur

2 Akar dan batang bagian bawah

3 Batang bagian bawah (setengah bagian bawah dari batang antara tunggak dan dasar tajuk

4 Bagian bawah dan atas batang

5 Bagian atas batang (setengah bagian atas dari batang antara tunggak dan dasar tajuk hidup

6 Batang tajuk (batang uatama dalam daerah tajuk hidup diatas dasar tajuk hidup)

7 Cabang (lebih besar 2,54 cm pada titik percabangan terhadap batang utama atau batang tajuk di dalam daerah tajuk hidup)

8 Pucuk dan tunas (pertum buhan tahun-tahun terakhir 9 Daun

Sumber: USDA-FS, 1995

Dedaunan Pucuk & tunas

Cabang Batang Tajuk

Bagian atas batang

Batang bagian bawah

Akar terbuka & tunggak Bagian Bawah &

Bagian Atas Batang

Akar & Batang

Bagian Bawah Akar & Batang Bagian Bawah Bagian Bawah & Bagian Atas Batang

(30)

Adapun untuk kode kerusakan, ambang batas untuk tipe kerusakan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Deskripsi kode tipe/jenis kerusakan

Kode Tipe kerusakan Ambang Batas (di dalam 10% kelas ke 99%)

01 Kanker ≥ 20%

02 Konk, tubuh buah (badan buah), dan

indikator lain tentang lapuk lanjut

Sama sekali tidak ada (nihil), kecuali ≥ 20% pada akar > 3 kaki (0,91 m) dari batang

03 Luka terbuka ≥ 20%

04 Resinosis/gumosis ≥ 20%

11 Batang atau akar patah < 3 kaki (0,91 m) dari batang

Sama sekali tidak ada (nihil)

12 Broom pada akar atau batang Sama sekali tidak ada (nihil)

13 Akar patah atau mati > 3 kaki (0,91 m) dari batang

≥ 20% tentang akar

21 Hilangnya ujung dominan, mati ujung ≥ 1% tentang mahkota bersumber

22 Cabang patah atau mati ≥ 20% tentang cabang atau tunas

23 Percabangan atau broom yang berlebihan

≥ 20% tentang sapu atau cabang

24 Daun, pucuk atau tunas rusak ≥ 30% tentang daun-daunan

25 Daun berubah warna (tidak hijau) ≥ 30% tentang daun-daunan

31 Lain-lain Sumber: USDA-FS, 1995

Untuk kode kerusakan dan kelas keparahan kerusakan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kode dan kelas keparahan kerusakan

Kelas Kode 01-19 1 20-29 2 30-39 3 40-49 4 50-59 5 60-69 6 70-79 7 80-89 8 90-99 9 Sumber: USDA-FS, 1995

(31)

3.3.4. Analisis Data 3.3.4.1. Kerusakan Pohon

Hasil dari pengukuran dikumpulkan kemudian dinilai dengan menggunakan berbagai parameter pada Pedoman Penilaian Areal Bekas Terbakar dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Penilaian kerusakan individu pohon

No .

Parameter Kondisi Nilai Bobot

1. Kematian

pohon Pohon mati 1

Pohon hidup 0

6

2. Kerusakan batang

a. Bagian terbakar Batang bagian bawah dan bagian atas terbakar

2 Batang bagian bawah terbakar 1 Batang tidak terbakar 0

1

b. Jenis kerusakan Hangus dan luka 3

Hangus terbakar 2

Luka 1

Tidak hangus dan tidak luka 0

1

3. Kerusakan

tajuk 75 %-100 % tajuk terbakar 3 50 %- < 75 % tajuk terbakar 2 25 % - < 50 % tajuk terbakar 1 < 25 % tajuk terbakar 0 2 4. Kerusakan cabang

Patah dan terbakar 3

Terbakar 2

Patah 1

Tidak patah dan tidak terbakar 0

2 5. Kerusakan dedaunan 75 %-100 % dedaunan terbakar 3 50 %- < 75 % dedaunan terbakar 2 25 % - < 50 % dedaunan terbakar 1 < 25 % dedaunan terbakar 0 2

6. Kerusakan akar Mengalami luka dan terbakar 3

Terbakar 2

Luka 1

Tidak luka dan tidak terbakar 0

2

(32)

Penilaian keragaman jenis pohon hanya berlaku untuk penilaian di areal hutan alam yang terbakar, sedangkan penilaian di hutan tanaman yang terbakar tidak mempertimbangkan keragaman jenis pohon, karena tegakan bersifat homogen. Adapun tingkat keparahan kerusakan dapat digolongkan dalam berbagai kelas keparahan, disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Penilaian tingkat keparahan vegetasi

No. Tingkat keparahan

Kondisi Nilai Bobot

1. Rendah Sekurang-kurangnya 50 % pohon tidak terlihat rusak, sisa tajuk hangus, pucuk terbakar tapi bertunas, dan akar mati. Lebih dari 80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.

1

2. Sedang 20-50 % pohon tidak terlihat rusak, 40-80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup. 2 3. Tinggi Kurang dari 20 % pohon tidak terlihat

rusak dan akar mati. Kurang dari 40 % pohon yang terbakar dapat bertahan. 3

5

Sumber : DeBano et al., 1998

3.3.4.2. Penilaian Kerusakan Tumbuhan Bawah

Untuk menilai kerusakan tumbuhan bawah dilakukan analisis untuk mengetahui Indeks Kekayaan Jenis (DMg), Indeks Keragaman Jenis (H’) dan

Indeks Kemerataan (E) pada areal yang terbakar tahun 2005 dan tahun 2006, Kelas Umur I dan Kelas Umur V. Analisis tersebut menggunakan rumus-rumus sebagai berikut:

1. Nilai Kekayaan Jenis

Indeks Kekayaan Jenis digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis berdasarkan jumlah jenis pada satu macam penutupan lahan. Indeks yang digunakan adalah Indeks Kekayaan Jenis Margallef (DMg) (Magurran, 1988)

yaitu:

(33)

Keterangan :

DMg = Indeks Kekayaan Jenis Margallef S = Jumlah jenis yang ditemukan

N = Jumlah individu seluruh jenis (komunitas) 2. Nilai Kelimpahan Jenis

Indeks Shannon-Weiner digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis berdasarkan kelimpahan individu jenis, yaitu :

H’ = -Σ[(ni/N) ln(ni/N)]

Keterangan :

H’ = Indeks Shannon-Wiener ni = Jumlah individu jenis ke-i N = Jumlah individu seluruh jenis

Jumlah individu ke-i diperoleh dengan memperhiyungkan nilai frekuensi kemunculan jenis tersbut dari seluruh petak pengamatan di setiap macam tegakan atau penutupan lahan

ni = Frekuensi x Jumlah individu yang ditetapkan F = Jumlah petak ditemukan jenis ke-i

Jumlah seluruh petak pengamatan

Nilai H’ < 1,5 menunjukan kelimpahan rendah, nilai H’ 1,5-3,5 menunjukan kelimpahan sedang dan nilai H’ > 3,5 menunjukan kelimpahan tinggi (Magurran, 1988).

3. Indeks Kemerataan Jenis

Indeks ini menunjukan derajat kemerataan kelimpahan individu antar jenis. Rumus yang digunakan adalah nilai evenness.

E = H’/ ln S

Keterangan :

E = Indeks Kemerataan Jenis H’ = Indeks Shannon-Wiener S = Jumlah jenis

Nilai berkisar 0-1, jika nilai E = 1 maka berarti seluruh jenis ada dengan kelimpahan yang sama.

(34)

Hasil analisis keragaman, kekayaan dan kemerataan jenis tumbuhan bawah dalam suatu penutupan lahan dapat dinilai berdasarkan parameter pada Tabel 6. Tabel 6 Penilaian keanekaragaman vegetasi

No. Parameter Kondisi Nilai Bobot

1. Keanekaragaman jenis pohon

a. Perubahan komposisi jenis

Terjadi penurunan jumlah jenis pohon komersial

2 Tidak terjadi perubahan jumlah jenis pohon komersial

1 Terjadi peningkatan jumlah jenis

pohon komersial 0 2 b. Indeks Keanekaragaman jenis < 1.5 2 1.5 – 3.5 1 > 3.5 0 1 c. Indeks kemerataan Jenis 0 2 > 0 - < 1 1 1 0 1 d. Indeks kesamaan 0 2 < 75 % 1 > 75 % 0 2 2. Keanekaragaman jenis tumbuhan bawah a. Perubahan

komposisi jenis Terjadi penurunan jumlah jenis 2 Tidak terjadi perubahan jumlah jenis 1 Terjadi peningkatan jumlah jenis 0

2 b. Indeks Keanekaragaman jenis < 1.5 2 1.5 – 3.5 1 > 3.5 0 0.5 c. Indeks kemerataan Jenis 0 2 > 0 - < 1 1 1 0 0.5 d. Indeks kesamaan 0 2 < 75 % 1 > 75 % 0 1

(35)

Tingkat keparahan kerusakan vegetasi akibat kebakaran dinilai dengan melihat keseluruhan kondisi vegetasi di areal yang terbakar, didasarkan pada kriteria DeBano et al. (1998)

Berdasarkan indikator-indikator dan parameter-parameter di atas, penilaian terhadap areal kebakaran dapat dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian nilai parameter dengan bobot parameter. Tingkat keparahan dampak kebakaran kemudian ditetapkan berdasarkan nilai total dari seluruh parameter seperti

tercantum dalam Tabel 7. Tabel 7 Sistem skoring penilaian areal bekas terbakar

Tingkat keparahan dampak kebakaran Nilai Total Sangat ringan 0 – 20 Ringan > 20 – 40 Sedang > 40 – 60 Berat > 60 – 80 Sangat berat > 80 - 100

Sumber : Syaufina et al., 2006

3.3.5. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder yang dikumpulkan adalah informasi mengenai areal dan ruang lingkup hutan itu, meliputi keadaan umum lokasi, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan lokasi penelitian seperti informasi cuaca dan iklim, kejadian kebakaran hutan dan penyebab kerusakan hutan lainnya.

(36)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas

Berdasarkan keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Tanggal 16 Juni 1952 No. 73/Um/52, ditetapkan bahwa secara administratif wilayah KPH Cepu meliputi Kabupaten Blora dan Kebupaten Bojonegoro. Surat keputusan Menteri Pertanian tersebut dikeluarkan sebagai pengganti ketetapan yang dimuat dalam keputusan “Wd Directeur Van Landbow, Nijvereid en Handel” tanggal 31 Desember 1928 No. 13250/Dep (Byllaad No. 11850) mengenai pembagian daerah hutan untuk Jawa dan Madura. Perum perhutani KPH Cepu mempunyai luas kawasan 33.047,3 Ha, yang terdiri atas Kabupaten Blora 27.098,2 Ha dan Kabupaten Bjonegoro 5.949,1 Ha.

Batas-batas wilayah Perum Perhutani KPH Cepu sebelah Utara berbatasan dengan KPH Kebonharjo Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Sebelah Timur berbatasan dengan KPH Parengan Perum Perhutani Unti II Jawa Timur. Sebelah Selatan berbatasan dengan Bengawan Solo, sedangkan sebelah Barat berbatasan dengan KPH Randublatung Perum Perhutani Unti I Jawa Tengah. Bagian Utara kawasan hutan Cepu terletak pada pegunungan Kendeng, dibagian Barat termasuk ke dalam DAS Lusi, sedangakn di bagian Selatan merupakan kawasan penyangga aliran sungai Bengawan Solo.

4.2. Topografi

Keadaan topografi bervariasi sebagian besar berkonfigurasi datar sampai bergelombang, dan sebagian kecil berbukit serta disela-selanya terdapat mata air, yang sangat bermanfaat bagi penduduk sekitarnya, antara lain :

1) Sumber air Kedungpupur petak 74 dan petak 75 BKPH Ledok.

2) Sumber air di petak 93, 94 RPH Blungun dan 95 RPH Ngodo BKPH Blungun.

3) Sumber air Sendang Jambe petak 78 RPH Nglobo BKPH Nglobo. 4) Sumber air Banyu Urip petak 42 RPH Pasarsore.

(37)

4.3. Jenis Tanah

Kawasan hutan KPH Cepu sebagian besar berbatu (kapur) dengan jenis tanah di wilayah hutan pada umumnya terdiri atas 4 jenis, yaitu Litosol, Grumosol, Mediteran dan Aluvial.

Sebagian besar berupa tanah Grumosol kelabu tua dan asosiasi Grumnosol coklat keabuan serta kelabu kekuningan.

4.4. Iklim

Iklim wilayah hutan KPH Cepu dan sekitarnya beriklim tropis yang ditandai oleh adanya musim hujan yang bergantian sepanjang tahun. KPH Cepu terletak pada ketinggian 30-250 mdpl, beriklim tipe C dan D menurut Schmidt dan Ferguson. Lingkungan dengan tipe iklim ini sangat cocok untuk ditanami tegakan jenis Jati (Tectona grandis). Temperatur rata-rata yaitu 26ºC dan curah hujan rata-rata sebesar 1.636 mm/tahun.

4.5. Sosial Ekonomi Masyarakat

Keadaan sosial ekonomi masyarakat di sekitar wilayah kerja KPH Cepu, baik yang masuk daerah Kabupaten Blora maupun Bojonegoro secara umum masih bersifat marjinal, dinamikanya relatif lamban dan masih sulit menerima hal-hal yang baru. Ketergantungan terhadap alam dan lingkungannya masih tinggi serta interaksi dengan kawasan hutan cukup tinggi.

Lahan pertanian berupa sawah dan tegalan yang ada disekitar wilayah kerja KHP Cepu luasnya sangat terbatas di bandingkan dengan jumlah penduduk, dan dengan jumlah penduduk ada kelompok umur produktif yang cukup tinggi, serta lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas, sangat berdampak kepada konfigurasi interaksi masyarakat dengan hutannya. Interaksi negatif sering muncul, yang pada akhir-akhir ini sangat dirasakan dampaknya dan merupakan ancaman terhadap keberadaan kawasan hutan. Salah satu terapi yang dikembangkan adalah pengelolaan hutan melalui pola kemitraan dan bagi hasil yaitu Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

(38)

4.6. Pembagian Wilayah Hutan

Guna kepentingan kegiatan perencanaan, wilayah hutan KPH Cepu di kelompokkan ke dalam 7 bagian hutan (BH) yaitu :

1) BH Panyaman : 3.376,3 Ha 2) BH Cabak : 4.506,8 Ha 3) BH Nanas : 4.979,7 Ha 4) BH Ledok : 4.435,3 Ha 5) BH Kedewa : 5.949,1 Ha 6) BH Kedinding : 5.007,2 Ha 7) BH Blungun : 4.792,9 Ha

(39)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kejadian Kebakaran Hutan

5.1.1. Luas dan Frekuensi Kebakaran di KPH Cepu

Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang menyebabkan kerusakan terhadap ekosistem hutan. Pada hutan tanaman kejadian kebakaran hutan yang merusak vegetasi dianggap sangat merugikan karena tegakan yang bernilai produksi tinggi akan mengalami kerusakan.

KPH Cepu merupakan salah satu hutan tanaman yang didominasi oleh jenis Jati (Tectona grandis), mengalami kejadian kebakaran hutan setiap tahun. Berdasarkan data kebakaran hutan tahun 1996-2006 dapat dilihat pada Gambar 5.

1.158,52 276,40 399,55 867,20 765,82 516,60 409,66 527,65 347,00 114,10 0,00 200,00 400,00 600,00 800,00 1.000,00 1.200,00 1.400,00 1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Tahun ke jadian kebakaran hutan

L u as ar eal t e rb aka r

Gambar 5 Kejadian kebakaran di KPH Cepu periode 1996-2006

Kejadian kebakaran paling besar terjadi sekitar tahun 1997 yaitu seluas 1.158,52 Ha. Hal ini terjadi karena secara umum pada tahun tersebut Negara Indonesia mengalami musim kemarau yang berkepanjangan, tingkat kekeringan tinggi dan menyebabkan kadar air bahan bakar menurun sehingga berpotensi untuk mudah terbakar apabila ada aktivitas penyulutan api, pengaruh angin pada musim kemarau akan mempercepat penjalaran nyala api maka luasan kebakaran menjadi sangat besar dan sulit dikendalikan.

(40)

Sedangkan luasan kebakaran paling kecil terjadi pada tahun 2005 yaitu seluas 114,10 Ha. Pada tahun ini tidak terjadi musim kemarau yang tidak terlalu panjang dan curah hujan cukup tinggi seperti di BKPH Cabak (KPH Cepu) yang mencapai 163,75 mm/bulan, serta telah dilakukan pelatihan pengendalian kebakaran pada tahun sebelumnya.

Data kebakaran tahun 1999 hanya terdapat pada 1 BKPH sehingga tidak dapat mewakili kondisi kebakaran di lapangan, hal ini berkaitan dengan kondisi sosial politik yang terjadi di wilayah Cepu.

Kebakaran hutan di KPH Cepu terjadi setiap tahun dengan sebaran wilayah BKPH yang berbeda, tidak setiap tahun seluruh BKPH mengalami kebakaran. Rata-rata luas areal hutan yang terbakar tiap BKPH dapat dilihat pada Gambar 6. 62,70 58,16 18,73 43,92 39,64 18,2820,82 32,57 40,33 49,4049,63 55,13 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 Wonoga dung Caba k Ngle bur Nanas Kede wan Seka ran Blun gun Nglo bo Pasar sore Ledo k Kend ilan Pucu ng BKPH R a ta -r ata L u as A rea l T e rb a k a r (H a)

Gambar 6 Rata-rata luas kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode 1996-2006

Berdasarkan data, BKPH yang mengalami kebakaran paling luas yaitu BKPH Cabak dengan luas 62,70 Ha. Sedangkan BKPH yang mengalami kabakaran paling kecil yaitu BKPH Blungun dengan luasan 18,28 Ha.

Adapun frekuensi kejadian kebakaran hutan tiap BKPH dalam periode 1996-2006 dapat dilihat pada Gambar 7.

(41)

6 7 8 10 9 8 7 10 9 10 6 9 0 2 4 6 8 10 12 Wo nogadu ng Caba k Ngl ebur Na nas Ked ewa n Sek aran Blungun Ngl obo Pasa rsor e Led ok Ken dila n Puc ung BKPH J u m la h t a hun ke bak a ra n

Gambar 7 Frekuensi kebakaran hutan tiap BKPH di KPH Cepu periode 1996-2006

Berdasarkan frekuensi kejadian kebakaran pada periode 1996-2006, BKPH yang sering mengalami kejadian kebakaran hutan yaitu BKPH Kedewan, BKPH Pasarsore dan BKPH Kendilan yaitu sebanyak 10 kali kejadian pada periode 1996-2006. Sedangkan BKPH Cabak mengalami kejadian kebakaran hutan pada periode tersebut sebanyak 6 kali kejadian.

5.1.2. Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di KPH Cepu

Pada musim kemarau yang cukup panjang gangguan kebakaran hutan yang disebabkan karena aktivitas manusia merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan. Di KPH Cepu diketahui bahwa penyebab dari kebakaran hutan yaitu aktivitas manusia baik yang disengaja untuk mengalihkan perhatian petugas pada waktu mencuri kayu, penyiapan lahan pertanian pada kawasan hutan, pengembalaan liar atau ketidak sengajaan orang yang masuk hutan dan menyalakan api kemudian ditinggalkan. Selain adanya sumber api yang berasal dari aktivitas manusia kebakaran hutan ini juga didukung oleh beberapa faktor seperti kondisi iklim dan ketersediaan bahan bakar.

Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson KPH Cepu termasuk ke dalam tipe iklim C dan D yaitu daerah kering dengan temperatur rata-rata yaitu 26ºC. Curah hujan rata-rata-rata-rata berkisar sekitar 1.551 mm/tahun. Kejadian kebakaran hutan di KPH Cepu ini biasa terjadi pada bulan Juni hingga September, bulan-bulan ini merupakan bulan kering dengan rata-rata curah hujan sebesar

(42)

27 mm/bulan. Rata-rata curah hujan tertinggi jatuh antara bulan Desember sampai awal April rata-rata sebesar 219 mm/bulan, bulan ini tergolong bulan basah.

Adapun data distribusi curah hujan dan hari hujan kecamatan Cabak (KPH Cepu) tahun 2003-2007 dapat dilihat pada Gambar 8.

111 74 234 149 89 11 7 16 206 223 259 173 8 6 10 4 1 1 0 4 6 11 13 14 0 50 100 150 200 250 300

Jan Feb Mart Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Bulan Ra ta -r a ta Cu ra h Hu ja n 0 2 4 6 8 10 12 14 16 R a ta -r a ta H a ri Hu ja n CH HH

Gambar 8 Curah hujan rata-rata Kecamatan Cabak Kabupaten Blora periode 2003-2007

Faktor cuaca merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur dan kelembaban udara, serta arah dan kecepatan tiupan angin. Menurut Chandler et al. (1983), faktor cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan yaitu masa dan gelombang udara, temperatur udara, kelembaban atmosfer, awan dan hujan, angin, petir dan stabilitas atmosfer.

Besar kecilnya curah hujan di suatu lingkungan akan mempengaruhi kadar air bahan bakar. Curah hujan yang tinggi mengkondisikan lingkungan menjadi lembab. Sebaliknya curah hujan yang rendah akan menyebabkan udara kering dan menyerap uap air dari bahan bakar, yang pada akhirnya menentukan mudah tidaknya bahan bakar tersebut untuk terbakar. Apabila kadar air bahan bakar rendah maka akan berpotensi besar untuk terjadi kebakaran, karena pada bahan bakar yang kering api mudah menyala.

Bahan bakar di tegakan Jati KPH Cepu pada musim kemarau seperti serasah dedaunan, tumbuhan bawah dan ranting-ranting yang kering sangat melimpah jumlahnya, dapat dilihat pada Gambar 9.

(43)

Gambar 9 Serasah dan tumbuhan bawah

Didukung dengan temperatur udara yang panas dan hembusan angin di musim kemarau maka bahan bakar tersebut akan berpotensi tinggi untuk terbakar apabila ada aktivitas penyulutan api. Meskipun areal topografi KPH Cepu relatif datar tetapi kebakaran sulit dikendalikan seperti pada peristiwa kebakaran tahun 1997 yang mencapai luas 1.158,52 Ha, hal ini karena bahan bakar pada lantai hutan tersedia cukup melimpah dan sangat mudah terbakar.

Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis dan tinggi pohon. Iklim mikro akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro yang meliputi angin, suhu, kelembaban udara akan menentukan mudah tidaknya kejadian kebakaran hutan (Yunus, 2005).

KPH Cepu merupakan areal hutan tanaman yang bersifat homogen, kerapatan tanaman diatur sedemikian rupa supaya menghasilkan kualitas kayu yang lebih baik dan sejumlah jenis tumbuhan bawah tertentu yang dapat tumbuh sesuai dengan keadaan lingkungan, berbeda dengan kondisi hutan alam yang memiliki karagaman jenis tanaman lebih banyak dan tumbuh secara bebas, sehingga kerapatan dan jumlah jenis lebih tinggi. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi iklim mikro suatu areal hutan, diantaranya suhu lingkungan lebih tinggi dan kelembaban udara lebih rendah pada hutan tanaman dibanding dengan areal hutan alam. Dengan demikian kejadian kebakaran hutan lebih sering terjadi pada hutan tanaman dibandingkan pada hutan alam serta didukung juga oleh aksesibilitas yang lebih tinggi pada hutan tanaman dibanding hutan alam.

(44)

Berdasarkan pengamatan di lapangan tipe kebakaran yang sering terjadi di hutan Jati KPH Cepu tergolong Surface Fire (kebakaran permukaan) yang ditandai dengan terbakarnya serasah dan tumbuhan bawah pada lantai hutan, abu yang dihasilkan berwarna hitam, tinggi hangus pada batang pohon Jati berkisar antara 0,5-3 meter, dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Pohon Jati (Tectona grandis) terbakar KU I dan KU V

Brown dan Davis (1973), menyatakan bahwa kebakaran permukaan yaitu sumber api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh, dan bahan bakar lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya. Proses pembakaran permukaan ini umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas, baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk.

Demikian juga kebakaran yang terjadi di KPH Cepu pada musim kemarau bisa terjadi lebih hebat apabila tidak segera dilakukan penanganan. Adanya sekat bakar yang berupa tanaman pagar seperti Secang (Caesalpinia sappan), Kesambi dan jalur antar petak kurang begitu berpengaruh. Karena ketersediaan bahan bakar sangat melimpah yang hampir menutupi lantai hutan, adanya aktivitas penyulutan api secara bebas serta kondisi iklim musim kemarau yang sangat mendukung.

5.2. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi

Pengaruh api terhadap pohon menurut Davis (1959) bahwa kebakaran hutan yang berlangsung lama dan intensif dapat mengakibatkan kematian bagi pohon-pohon hutan. Pengetahuan tentang perbedaan sifat antara berbagai jenis

(45)

pohon terutama tingkat kepekaannya terhadap api adalah penting sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pembakaran yang kini banyak dilakukan.

Dampak kebakaran hutan lainnya yaitu kerusakan atau kematian anakan pohon dan semai yang ada di hutan karena suhu yang tinggi serta penurunan produktivitas hutan yang disebabkan banyaknya kayu yang terbakar sehingga secara ekonomis nilainya menurun.

Selain dampak kebakaran yang merusak ada juga jenis-jenis tertentu yang dapat bertahan keberadaannya bergantung terhadap kejadian kebakaran. Hal ini ditunjukkan oleh adanya sifat adaptasi vegetasi terhadap api seperti, ketebalan kulit kayu, tunas yang terlindung, pertunasan yang distimulan api, penyebaran biji oleh api dan perkecambahan biji yang dibantu oleh api.

Menurut Kerbert dalam Rachmatsjah, (1984) bahwa kebakaran yang berlangsung berabad-abad dan kontinu di hutan jati ada manfaatnya yaitu karena bersifat selektif, hanya pohon-pohon yang tahan api saja antara lain tanaman jati yang dapat hidup terus. Pembakaran di hutan jati dianjurkan, karena dapat memupuk tanah, membantu pertumbuhan biji jati, mempermudah pengumpulan biji jati pada areal kebun benih serta memudahkan penyaradan kayu Jati saat pemenenan.

Sedangkan pengaruh kebakaran hutan jati di Indonesia menurut Cordes dalam Rachmatsjah, (1984) bahwa kebakaran permukaan tidak akan merusak pohon-pohon jati, hanya pada pohon yang sudah tua dan berlubang serta pada tanaman jati muda kerusakan dapat terjadi.

Tanaman Jati memiliki lapisan kulit cukup tebal (1-2 cm), serta struktur kayu yang padat maka pada tanaman kelas umur tua (KU V ke atas) kebakaran hutan yang terjadi tidak begitu berpengaruh. Tetapi berbeda dengan kelas umur muda (KU I) akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya bahkan sampai terjadi kematian anakkan, hal ini akan sangat merugikan bagi pihak pengelola hutan. Kondisi demikian menyebabkan kurangnya penanganan apabila terjadi kebakaran hutan pada KU tua tetapi lebih mengutamakan penanganan pada KU muda, karena kerusakan yang terjadi dianggap tidak berpengaruh besar. Dari hasil pengamatan kerusakan yang terjadi pada areal bekas kebakaran tahun 2005 dan 2006 pun relatif ringan karena hanya terdapat kerusakan hangus dan luka pada

(46)

bagian kuli luar, serta akar sehinga tidak menyebabkan kematian pada pohon. Tetapi untuk hutan tanaman yang tujuannya produksi hal ini akan menyebabkan penurunan kualitas kayu dan mengalami kerugian secara ekonomi.

Begitu pula dengan biji jati, memiliki lapisan kulit luar yang keras sehingga apabila semaikan secara buatan sebelumnya harus diberi perlakuan seperti di panaskan sampai kulitnya pecah atau direndam menggunakan larutan tertentu yang akan menstimulan perkecambahan. Oleh karena itu sebagian orang menganggap dengan cara pembakaran merupakan solusi yang murah dan singkat untuk menumbuhkan permudaan baru, tanpa mempertimbangkan kerugian lain.

Untuk mengetahui nilai besar atau kecilnya kerusakan akibat kebakaran hutan terhadap vegetasi diperlukan indikator dan parameter yang menggambarkan kondisi kerusakan. Nilai kerusakan ini merupakan informasi penting untuk menggambarkan kondisi kesehatan hutan yang akan menentukan kebijakan pengelolaan hutan selanjutnya supaya kelestarian tercapai.

Kriteria kondisi vegetasi memiliki tiga indikator, yaitu kerusakan pohon, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi (Syaufina et al., 2006). Indikator kerusakan pohon terdiri dari beberapa parameter, yaitu kematian pohon, kerusakan batang, kerusakan tajuk, kerusakan cabang, kerusakan daun dan kerusakan akar.

Dari parameter tersebut untuk menilai kondisi vegetasi tegakan Jati akibat kebakaran hutan di KPH Cepu hanya menggunakan sebagian parameter diantaranya, kematian pohon, kerusakan batang dan kerusakan akar. Hal ini disebabkan karena sifat morfologi tanaman Jati yang menggugurkan daunnya di saat musim kemarau sehingga parameter lain seperti kondisi tajuk dan kerusakan cabang serta ranting tidak dapat menggambarkan kerusakan akibat kejadian kebakaran hutan.

Adapun hasil pengamatan kerusakan pohon di areal bekas kebakaran hutan tahun 2005 dan 2006 RPH Pasarsore dan RPH Cabak, KPH Cepu tegakan Jati kelas umur muda (KU I) dan kelas umur tua (KU V) dapat dilihat pada Tabel 8.

(47)

Tabel 8 Kerusakan pohon jati pada areal bekas terbakar tahun 2005 dan 2006

Jumlah Pohon Rusak

KU Tipe Kerusakan Tahun

2005

Tahun 2006

1. Kerusakan batang

a. Bagian terbakar

*Batang bagian bawah dan bagian atas terbakar 6 107 *Batang bagian bawah terbakar 78 45 *Batang tidak terbakar 424 122 b. Jenis kerusakan

*Hangus dan luka 82 147

*Hangus terbakar 4 5

*Luka *Tidak hangus dan tidak luka 422 122

2. Kerusakan akar :

*Mengalami luka dan terbakar 51 77

*Terbakar 4 3

*Luka

I

*Tidak luka dan tidak terbakar 453 194

Jumlah 141 208

2. Kerusakan batang

a. Bagian terbakar

*Batang bagian bawah dan bagian atas terbakar 49 26 *Batang bagian bawah terbakar 1 5 *Batang tidak terbakar 4 8 b. Jenis kerusakan

*Hangus dan luka 50 30

*Hangus terbakar 1

*Luka *Tidak hangus dan tidak luka 4 8

1. Kerusakan akar :

*Mengalami luka dan terbakar 43 17

*Terbakar 2

*Luka

V

*Tidak luka dan tidak terbakar 11 20

Jumlah 54 39

Dari data di atas terlihat bahwa jumlah pohon yang rusak pada KU I akibat kebakaran hutan tahun 2005 sebanyak 141 pohon, pada areal bekas kebakaran tahun 2006 sebanyak 208 pohon. Jumlah pohon yang rusak pada KU V akibat kebakaran tahun 2005 sebanyak 54 pohon serta pada areal bekas kebakaran tahun 2006 sebanyak 39 pohon.

(48)

Berdasarkan lokasi kerusakan, jumlah pohon yang rusak dapat dilihat pada Gambar 11. 6 78 43 107 45 19 0 20 40 60 80 100 120 Batan g bag ian ba wah & atas Batan g bag ian ba wah kerus akan akar Lokasi kerusakan J u m la h po hon Tahun 2005 Tahun 2006

Gambar 11 Kerusakan pohon berdasarkan lokasi kerusakan

Gambar menunjukan kerusakan banyak terjadi pada bagian batang bawah dan atas, batang bagian atas ini hanya sebagian tidak sampai pada cabang utama.. Pada areal terbakar tahun 2005 pohon yang mengalami kerusakan paling banyak yaitu pada batang bagian bawah sebanyak 78 pohon dan pada tahun 2006 yaitu pada batang bagian bawah dan atas sebanyak 107 pohon. Kondisi ini menunjukan kebakaran yang terjadi merupakan kebakaran permukaan dan pada rentang 2 tahun dari kejadian kebakaran (2005) terlihat telah ada pemulihan kerusakan pada batang yang hangus dan luka karena terbakar.

Selain pada lokasi kerusakan penilaian juga dilakukan pada tipe/jenis kerusakan, berdasarkan tipe/jenisnya jumlah pohon yang mengalami kerusakan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar

Gambar 2  Bentuk klaster FHM (USDA-FS, 1995)
Gambar 3  Layout  kuadran untuk tumbuhan bawah (USDA-FS, 1995)
Gambar 4  Lokasi Kerusakan Pohon (USDA-FS, 1995)
Tabel 2  Deskripsi kode tipe/jenis kerusakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan di masa yang akan datang 4.. seluruh kegiatan ekstrakurikuler pramuka di SDN Rengel 1, perencanaan merupakan salah satu langkah

Variabel-variabel dalam penelitian ini yang meliputi variabel independen (eksogen, bebas) yaitu gaya kepemimpinan (X1), motivasi (X2), disiplin (X3), dan variabel

yang sangat berpengaruh terhadap situasi lalu lintas. Etika, sopan-santun, toleransi antar pengguna jalan, kematangan dalam pengendalian emosi serta kepedulian pengguna

This study aimed to determine whether the core quality, relational quality, perceived value, customer satisfaction service, switching and voice significant effect

Perilaku prososial dapat ditanamkan pada anak dengan cara bermain peran prososial agar anak juga dapat merasakan langsung respon positif dan penerimaan sosial yang dapat

Penelitian ini betujuan untuk mengetahui informasi mendasar apa mengenai pemilu yang harus diketahui oleh pemilih pemula dan mendapatkan bentuk pengemasan informasi

Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian dapat digunakan sebagai pertimbangan penelitian sejenis yang berhubungan dengan alternatif penggunaan agen hayati

Aspergillus sp 1 yang diisolasi pada medium PDA pada umur 7 hari dengan suhu inkubasi 30 o C berwarna hijau tua, permukaan koloni mendatar dengan tekstur permukaan