• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bagian tinjauan pustaka berisi landasan teori dan bahasan hasil-hasil penelitian terdahulu yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bagian tinjauan pustaka berisi landasan teori dan bahasan hasil-hasil penelitian terdahulu yang"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian tinjauan pustaka berisi landasan teori dan bahasan hasil-hasil penelitian terdahulu yang sejenis. Tinjauan pustaka merupakan peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait dengan penelitian. Pada bagian tinjauan pustaka akan diungkapkan pemikiran atau teori-teori yang melandasi dilakukannya penelitian. Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengembangkan pemahaman dan wawasan yang menyeluruh tentang penelitian yang pernah dilakukan dalam suatu topik, serta membatasi masalah dan ruang lingkup penelitian.

2.1. Landasan Teori

Landasan teori adalah dasar berpikir yang bersumber dari suatu teori yang relevan dan dapat digunakan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam penelitian. Landasan teori ini berfungsi sebagai kerangka acuan dan sudut pandang dalam mengarahkan suatu penelitian untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang diajukan.

2.1.1. Teori Legitimasi

O’Donovan (2000) menyatakan bahwa teori legitimasi merupakan sebuah ide, di mana agar suatu organisasi terus beroperasi dan mencapai kesuksesan, maka perusahaan tersebut harus bertindak dengan cara yang diterima secara sosial di masyarakat. Perusahaan mencari legitimasi sebagai pengaruh dari pemahaman dan tindakan orang terhadap organisasi (Suchman, 1995). Lebih lanjut Suchman (dalam Barkemeyer, 2007) memberikan definisi mengenai organizational legitimacy sebagai persepsi umum atau

(2)

asumsi bahwa tindakan entitas merupakan tindakan yang diinginkan, tepat dan sesuai dalam konstruksi sosial sistem norma, nilai-nilai, maupun keyakinan.

Organisasi memiliki peranan penting dalam masyarakat dan mempunyai tanggung jawab untuk diakui keberadaannya di dalam masyarakat (Farook & Lanis, 2005). Menurut Retno & Priatinah (2012), legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), pemerintah dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem yang mengedepankan keberpihakan kepada masyarakat, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat.

Lindblom (1994) menyatakan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) merupakan salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk mengkomunikasikan perusahaan dengan stakeholders dan disarankan bahwa pengungkapan CSR merupakan jalan masuk di mana beberapa organisasi menggunakannya untuk memperoleh keuntungan dan memperbaiki legitimasi. Guthrie & Parker (1989) menyarankan bahwa organisasi mengungkapkan kinerja lingkungan mereka dalam berbagai komponen untuk mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan mendapatkan legitimasi atas usaha yang dilakukan oleh perusahaan.

Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mungkin juga dapat dilihat sebagai alat untuk membentuk, mempertahankan dan memperbaiki legitimasi perusahaan di mana mereka mengeluarkan opini dan kebijakan publik (Patten, 1991). Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang terdapat dua hal, yaitu kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan yang membuat

(3)

gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan meningkatkan tanggung jawab sosialnya, serta legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda.

Grahovar (2012) menyatakan bahwa kerangka teoretis yang menjadi kajian selama beberapa tahun untuk menjelaskan mengapa organisasi melakukan pelaporan sukarela terkait dengan lingkungan adalah teori legitimasi. Guthrie & Parker (1989) juga menyarankan bahwa organisasi mengungkapkan kinerja lingkungan mereka dalam berbagai komponen untuk mendapatkan reaksi positif dari lingkungan dan mendapatkan legitimasi atas usaha perusahaan.

Uraian di atas menjelaskan bahwa teori legitimasi merupakan salah satu teori yang mendasari pengungkapan CSR yang dilakukan untuk mendapatkan nilai positif dan legitimasi dari masyarakat. Teori legitimasi juga dapat digunakan untuk menjelaskan keterkaitan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG) dan profitabilitas pada pengungkapan CSR. GCG dan profitabilitas memberikan keyakinan perusahaan untuk melakukan pengungkapan CSR. Artinya, dengan GCG dan profitabilitas yang memadai, perusahaan tetap akan mendapatkan keuntungan positif, yaitu mendapatkan legitimasi dari masyarakat yang pada akhirnya akan berdampak kepada meningkatnya keuntungan perusahaan di masa yang akan datang. Organisasi harus secara terus-menerus mencoba untuk meyakinkan bahwa mereka melakukan kegiatan sesuai dengan batasan dan norma-norma masyarakat (Rustiarini, 2008).

Implikasi teori legitimasi dalam penelitian ini yaitu legitimasi memiliki manfaat untuk mendukung keberlangsungan hidup perusahaan (going concern). Terkait dengan pengungkapan CSR, maka akan menjadi alat untuk membentuk, mempertahankan dan

(4)

memperbaiki legitimasi perusahaan, serta meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerja perusahaan dapat diterima oleh masyarakat.

2.1.2. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholder Theory)

Teori pemangku kepentingan merupakan sebuah teori yang berusaha memberikan penjelasan tentang GCG dari perspektif yang berbeda. Teori pemangku kepentingan (stakeholder theory) merupakan teori pendukung dari teori legitimasi. Stakeholder theory adalah teori mengenai kelompok atau orang-perorangan yang berdampak terhadap atau dapat terkena dampak pencapaian tujuan organisasi. Teori pemangku kepentingan muncul dari perspektif yang berorientasi pada aspek sosial (Warsono, 2009). Teori pemangku kepentingan menurut Warsono (2009) terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Pemangku kepentingan pasar, yang disebut juga dengan pemangku kepentingan primer, adalah pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomi perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan tujuan perusahaan. Para pemangku kepentingan pasar meliputi pemegang saham, kreditur, pemasok, pelanggan, karyawan dan distributor. 2) Pemangku kepentingan nonpasar, yang disebut juga dengan pemangku kepentingan

sekunder, adalah pihak-pihak yang walaupun tidak terlibat secara langsung dalam pertukaran ekonomi dan perusahaan, namun dapat dipengaruhi dan mempengaruhi tindakan perusahaan. Para pemangku kepentingan nonpasar meliputi pihak-pihak yang ada di sektor pemerintahan, aktivis, organisasi nonpemerintah, serta masyarakat.

Teori stakeholder mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Dengan demikian, keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang

(5)

diberikan oleh stakeholder perusahaan tersebut (Ghozali dan Chariri dalam Herawati, 2015). Stakeholder theory menekankan bahwa manajemen perusahaan diharapkan mampu melakukan aktivitas-aktivitas seperti yang diharapkan oleh para stakeholder, serta melaporkan hal tersebut kepada mereka. Stakeholder memiliki hak untuk diberi informasi mengenai bagaimana dampak aktivitas perusahaan bagi mereka meskipun mereka memilih untuk tidak menggunakan informasi tersebut.

Selain itu, teori ini menganggap bahwa akuntabilitas organisasional tidak hanya terbatas pada kinerja ekonomi dan keuangan saja, sehingga perusahaan perlu melakukan pengungkapan tentang corporate governance dan informasi lainnya melebihi dari yang diharuskan oleh badan yang berwenang. Pertanggungjawaban sosial perusahaan atau CSR adalah mekanisme bagi suatu organisasi untuk secara sukarela mengintegrasikan perhatian terhadap lingkungan dan sosial ke dalam operasi utamanya dan kaitannya dengan stakeholder (Darwin dalam Priantana & Yustian, 2011).

Implikasi teori pemangku kepentingan dalam penelitian ini, yaitu bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri, namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Untuk itu, tanggung jawab perusahaan yang semula hanya diukur sebatas indikator ekonomi dalam laporan keuangan, kini harus bergeser dengan memperhitungkan faktor-faktor sosial terhadap stakeholders, baik internal maupun eksternal. Gray (dalam Terzaghi, 2012) mengatakan bahwa kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan tersebut. Pengungkapan sosial dianggap sebagai bagian dari dialog antara perusahaan dengan stakeholder-nya.

(6)

2.1.3. Teori Sinyal (Signaling Theory)

Teori sinyal adalah teori yang menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal (Sari & Zuhrotun, 2006). Putri & Christiawan (2014) menyatakan bahwa dorongan perusahaan untuk memberikan informasi adalah karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dengan pihak luar, di mana perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai kondisi perusahaannya dan prospek di masa depan daripada pihak luar (investor dan kreditur).

Teori sinyal merupakan suatu perilaku manajemen perusahaan dalam memberi petunjuk untuk investor terkait pandangan manajemen pada prospek perusahaan untuk masa mendatang (Brigham & Houston, 2006). Perusahaan secara sukarela mengungkapkan informasi penting kepada pihak eksternal untuk bisa dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan. Teori sinyal mengungkapkan bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal yang berupa informasi mengenai hal yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan kepentingan pemilik yaitu memaksimalkan keuntungan mereka (Ramdhaningsih & Utama, 2013).

Implikasi teori sinyal dalam penelitian ini, yaitu berkaitan dengan informasi tentang pengungkapan CSR yang menjadi suatu sinyal perusahaan untuk mengkomunikasikan kinerja perusahaan dalam jangka panjang, karena CSR memiliki keterkaitan erat dengan acceptability dan sustainability, yang artinya perusahaan dapat diterima dan berkelanjutan untuk dijalankan di suatu tempat dalam jangka panjang. Dengan demikian, salah satu informasi yang wajib diungkapkan oleh perusahaan adalah informasi tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (Rustiarini, 2010).

(7)

2.1.4. Pendekatan Kontinjensi

Pendekatan kontinjensi yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah dalam rangka memberikan masukan faktor-faktor yang sebaiknya dipertimbangkan dalam rancangan penelitian. Pendekatan kontinjensi yang digunakan banyak menarik minat para peneliti karena mereka ingin mengetahui apakah tingkat keandalan variabel independen selalu berpengaruh sama pada setiap kondisi atau tidak terhadap variabel dependennya. Didasarkan pada pendekatan kontinjensi, maka ada dugaan bahwa terdapat faktor situasional lainnya yang mungkin akan saling berinteraksi di dalam mempengaruhi situasi tertentu (Otley, 2016).

Jogiyanto (2004) mengemukakan bahwa variabel moderasi (moderating variable) atau VMO adalah suatu variabel independen lainnya yang dimasukkan ke dalam model karena mempunyai efek kontinjensi dari hubungan variabel dependen dan variabel independen sebelumnya. Variabel moderasi ini diidentifikasikan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang mempunyai kesimpulan hubungan kausal yang hasilnya konflik, baik konflik signifikansinya maupun konflik arahnya. Jika hasil-hasil penelitian sebelumnya bertentangan atau konflik, mungkin ada variabel lain yang memoderasi hubungan kausal sebelumnya.

Pendekatan kontinjensi dalam penelitian ini digunakan untuk mengevaluasi pengaruh profitabilitas pada pengungkapan CSR. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, terdapat pertentangan hasil penelitian terkait pengaruh profitabilitas, yaitu terdapat beberapa peneliti yang menyimpulkan berpengaruh pada pengungkapan CSR dan terdapat juga beberapa peneliti yang menyatakan tidak berpengaruh. Inkonsistensi hasil penelitian tersebut antara lain Nurkhin (2009), Yintayani (2011), Ramdhaningsih & Utama (2013), Khan et al. (2013), Sari (2014), Oktariani & Mimba (2014), Giannarakis (2014), Herawati (2015), serta Nawaiseh et al. (2015) menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh pada pengungkapan CSR, namun Sembiring

(8)

(2005), Purwanto (2011), Putri & Christiawan (2014), serta Habbash (2016) menyatakan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Sehingga, ada dugaan faktor situasional yang menyebabkan terjadinya pertentangan hasil tersebut.

Adapun faktor situasional tersebut adalah GCG yang diproksikan dengan komposisi komisaris independen dan tingkat leverage yang diduga memoderasi hubungan profitabilitas pada pengungkapan CSR. Faktor GCG dan leverage adalah variabel moderasi yang dapat memperkuat atau memperlemah pengaruh profitabilitas pada pengungkapan CSR di perusahaan manufaktur sektor industri dasar dan kimia yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

2.1.5. Pengungkapan Corporate Social Responsibility 1) Konsep dan Definisi Corporate Social Responsibility

Definisi mengenai tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR sekarang ini sangatlah beragam. Seperti definisi CSR yang dikemukakan oleh World Bank (2002), yaitu bahwa tanggung jawab sosial perusahaan sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan, keluarga mereka, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.

Sejalan dengan definisi tersebut, Kotler & Lee (2005) memberikan definisi CSR sebagai komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui praktik bisnis diskresioner dan kontribusi dari sumber daya perusahaan. Tanggung jawab sosial adalah komitmen perusahaan untuk mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan dalam pengambilan keputusan, serta aktivitas yang mempengaruhi masyarakat dan lingkungan (ISO 26000 dalam Permana, 2013). Prinsip tanggung jawab sosial berdasarkan ISO 26000, antara lain akuntabilitas, transparansi, perilaku etis, penghormatan kepada kepentingan stakeholder, kepatuhan kepada hukum,

(9)

penghormatan kepada norma perilaku internasional dan penegakan hak asasi manusia (HAM) (ISO 26000 Guidance in Social Responsibility, 2013).

Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan tempat perusahaan beroperasi. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi perusahaan terhadap masyarakat (Rustiarini dalam Permana, 2013). Hal ini sejalan dengan teori legitimasi yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai keadilan (justice) dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Haniffa & Cooke, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan.

Menurut Pambudi (dalam Wakid, 2012), terdapat berbagai variasi cara pandang perusahaan terhadap CSR, apakah hal ini dianggap sebagai hal yang penting atau tidak. Cara pandang ini selanjutnya akan mempengaruhi praktik CSR yang dilakukan oleh perusahaan dan juga akan berdampak pada pengungkapan CSR yang dilakukannya. Sejauh ini terdapat tiga cara perusahaan memandang CSR. Pertama, sebagai strategi perusahaan yang pada akhirnya mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai kewajiban karena nantinya ada hukum yang memaksa penerapannya. Ketiga, karena perusahaan merasa sebagai bagian dari komunitas.

Selain tuntutan masyarakat, tekanan dari pemerintah juga berperan dalam mendorong perusahaan untuk memperhatikan tanggung jawab sosialnya. Tekanan pemerintah ini diwujudkan dalam undang-undang (UU) yang mengatur perusahaan dengan lingkungan sosialnya, yaitu dinyatakan dalam UU Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas, Bab

(10)

V, Pasal 74. Dalam pasal tersebut dijelaskan tanggung jawab sosial dan lingkungan dari perusahaan atas eksistensinya dalam kegiatan bisnis. Kemudian agar dapat berkesinambungan, perusahaan sangat perlu mempertimbangkan lingkungan sosialnya dalam setiap keputusan yang diambil.

Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2009), sebagaimana tertulis dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 Paragraf 9 menyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement). Khususnya bagi industri, faktor-faktor lingkungan hidup dan pegawai yang bekerja di dalamnya merupakan kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting. Berdasarkan PSAK Nomor 1 Paragraf 9, perusahaan-perusahaan di Indonesia dapat melaporkan kegiatan-kegiatan sosialnya untuk dikomunikasikan kepada pihak luar dalam bentuk laporan nilai tambah sehingga dapat dipahami bahwa upaya untuk pelaporan tanggung jawab sosial perusahaan sudah diakomodasi oleh profesi akuntan di Indonesia (IAI, 2009).

Mahendratmo (2013) mengungkapkan bahwa untuk perkembangan CSR di Indonesia, ternyata aspek-aspek sosial sudah terdapat di dalam regulasi yang berlaku di Indonesia, antara lain aspek sosial mengenai lingkungan terdapat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; aspek sosial mengenai energi terdapat dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi; aspek sosial mengenai produk dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen; aspek sosial mengenai tenaga kerja terdapat dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja; aspek sosial mengenai kesehatan dan keselamatan karyawan terdapat dalam UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja; serta aspek sosial mengenai keterlibatan dalam komunitas terdapat dalam Keputusan Menteri Badan

(11)

Usaha Milik Negara Nomor Kep-236/MBU/2003 tentang program kemitraan BUMN dengan usaha kecil dan program bina lingkungan

2) Pengungkapan Corporate Social Responsibility

Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Tanggung jawab sosial adalah komitmen perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasinya untuk senantiasa memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungan.

Tanggung jawab sosial perusahaan dapat menjadi bentuk kepedulian perusahaan untuk memperbaiki kesenjangan sosial dan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas operasional perusahaan (Retno & Priatinah, 2012). Pengungkapan tanggung jawab sosial dianggap sebagai media untuk membuktikan kepedulian perusahaan terhadap masyarakat (Oktariani & Mimba, 2014). Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, serta kesejahteraan karyawan dapat terpenuhi.

Brochure (dalam Permana, 2013) mengemukakan bahwa tanggung jawab sosial dapat menjadi strategi bisnis ketika tujuan dari kebijakan dan program tanggung jawab sosial dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan diterapkan di dalam dan luar perusahaan, tanggung jawab sosial dapat menghasilkan manfaat yang besar terkait dengan bisnis perusahaan, tanggung jawab sosial yang dilakukan mendukung kegiatan inti perusahaan dan memberikan kontribusi bagi efektivitas perusahaan untuk mencapai misinya, serta tanggung jawab sosial dapat menciptakan rantai nilai yang baik.

(12)

Kesadaran masyarakat akan peran perusahaan dalam lingkungan sosial semakin meningkat, sehingga isu tentang pengungkapan CSR pun berkembang dengan cepat. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan telah melaksanakan aktivitas sosialnya untuk memastikan bahwa hak-hak mereka telah terpenuhi. Guthrie dan Mathews (dalam Sembiring, 2005) menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan itu sendiri dapat digambarkan sebagai ketersediaan informasi keuangan dan nonkeuangan berkaitan dengan interaksi organisasi dengan lingkungan fisik dan sosialnya, yang dapat dibuat dalam laporan tahunan perusahaan atau laporan sosial terpisah.

Menurut Sayekti & Wondabio (2007) dengan menerapkan CSR, diharapkan perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang menerapkan CSR mengharapkan akan direspon positif oleh para pelaku pasar. Sari (2014) menyatakan bahwa perkembangan CSR terkait dengan semakin parahnya kerusakan lingkungan yang terjadi di Indonesia maupun dunia, mulai dari penggundulan hutan, polusi udara dan air, hingga perubahan iklim, semua ini sangat perlu untuk dilakukan pengungkapan.

Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup (2006) dalam Seminar Sehari “A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR” juga mengatakan bahwa parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut pandang CSR adalah mengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden rules yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti bagaimana mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.

(13)

Pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pada Pasal 66 Ayat 2c tercantum bahwa laporan tahunan harus memuat laporan pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 3 juga menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, di mana pada Pasal 15 disebutkan bahwa setiap penanam modal berkewajiban menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, serta melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Darwin (dalam Novita dan Djakman, 2008) menyatakan bahwa pengungkapan kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi di dalam laporan tahunan atau laporan terpisah adalah untuk mencerminkan tingkat akuntabilitas, responsibilitas dan transparansi perusahaan kepada investor dan stakeholders lainnya. Pengungkapan tersebut bertujuan untuk menjalin hubungan komunikasi yang baik dan efektif antara perusahaan dengan publik dan stakeholders lainnya tentang bagaimana perusahaan telah mengintegrasikan CSR.

Giannarakis (2014) menyatakan bahwa terkait pelaporan CSR, semakin banyak perusahaan menyadari betapa pentingnya kesadaran sosial dalam menjalankan operasi perusahaannya. Pengungkapan CSR merupakan salah satu media yang dipilih untuk memperlihatkan kepedulian

(14)

perusahaan terhadap masyarakat di sekitarnya (Herawati, 2015). Dengan demikian, tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bukti bahwa perusahaan telah melaksanakan kewajibannya. CSR telah membuat perusahaan menjadi lebih ambisius dalam menanggulangi masalah dengan cara yang lebih strategis dan terintegrasi, selain itu CSR juga diperlukan untuk membuat kontribusi yang signifikan untuk mengatasi degradasi lingkungan (Ningsih & Ciptono, 2007). Daniri (dalam Wakid, 2012) menyatakan tiga alasan penting bagi perusahaan untuk merespon dan mengembangkan tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya. Alasan pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Alasan kedua yaitu kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Alasan ketiga yaitu kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk mengurangi atau bahkan menghindari konflik sosial.

2.1.6.Profitabilitas

Menurut Belkaoui & Karpik (1989), hubungan antara kinerja keuangan suatu perusahaan dengan pengungkapan CSR paling baik diekspresikan dengan pandangan bahwa tanggapan sosial yang diminta dari manajemen sama dengan kemampuan yang diminta untuk membuat suatu perusahaan memperoleh laba. Alexander & Buchloz (1978) juga mengungkapkan bahwa manajemen yang sadar dan memperhatikan masalah sosial juga akan mengajukan kemampuan yang diperlukan untuk menggerakkan kinerja keuangan perusahaan.

Profitabilitas merupakan faktor yang membuat manajemen menjadi bebas dan fleksibel untuk mengungkapkan pertanggungjawaban sosial kepada pemegang saham (Hackston dan Milne, 1996). Belkaoui & Karpik (1989) mengatakan bahwa dengan kepeduliannya terhadap masyarakat menghendaki manajemen untuk membuat perusahaan menjadi profitable. Hubungan

(15)

antara profitabilitas perusahaan dengan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan telah menjadi postulat (anggapan dasar) untuk mencerminkan pandangan bahwa reaksi sosial memerlukan gaya manajerial, sehingga semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pengungkapan informasi sosial (Anggraini dalam Dianawati & Fuadati, 2016).

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah profitabilitas. Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan untuk mencapai laba, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan maka semakin besar pula pengungkapan informasi sosialnya (Sari, 2014). Profitabilitas secara teoretis mempunyai pengaruh positif terhadap pengungkapan CSR. Profitabilitas juga memiliki peranan penting dalam memberikan keyakinan perusahaan untuk mengungkapkan tanggung jawab sosial guna memperoleh legitimasi dan nilai positif dari masyarakat.

Profitabilitas berkaitan dengan CSR menunjukkan bahwa kinerja suatu perusahaan untuk menghasilkan keuntungan dapat berpengaruh pada pembuatan keputusan investasi, artinya semakin baik kinerja keuangan yang dimiliki perusahaan, maka akan memiliki kepercayaan yang tinggi untuk mengungkapkan tanggung jawab sosialnya (Herawati, 2015). Sehingga, semakin tinggi tingkat profitabilitas perusahaan, diharapkan semakin besar pula pengungkapan informasi sosialnya.

Hossain & Andrew (2006) mengemukakan bahwa perusahaan dengan tingkat pengembalian lebih tinggi dari rata-rata industri memiliki inisiatif untuk mengkomunikasikan lebih banyak informasi mengenai perusahaannya, termasuk informasi sosial dan lingkungannya yang memungkinkan menjadi berita yang baik (good news) dalam laporan tahunan perusahaan mereka. Semakin tinggi tingkat profitabilitas, maka akan semakin memberi motivasi kepada

(16)

perusahaan untuk mengungkapkan CSR agar mendapatkan legitimasi dan nilai positif dari para stakeholder.

Berbeda dengan perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah yang akan sangat mempertimbangkan pelaksanaan dan pengungkapan CSR karena dikhawatirkan akan mengganggu operasional perusahaan. Perolehan laba yang semakin besar akan membuat perusahaan mengungkapkan informasi sosial yang lebih luas (Retno & Priatinah, 2012). Dengan demikian, perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung lebih banyak melakukan pengungkapan CSR.

2.1.7. Good Corporate Governance

Menurut Cadbury Committee (1992), good corporate governance (GCG) adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya dan stakeholder pada umumnya. Daily dan Dalton (dalam Yintayani, 2011) mengemukakan bahwa GCG yang efektif dalam jangka panjang dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan menguntungkan pemegang saham.

Effendi (dalam Ramdhaningsih & Utama, 2013) mengemukakan bahwa GCG merupakan seperangkat peraturan dalam rangka pengendalian perusahaan untuk menghasilkan value added bagi para stakeholders, karena dengan adanya GCG akan terbentuk pola kerja manajemen yang transparan, bersih dan profesional. Kesadaran atas pentingnya GCG maupun CSR dilandasi pemikiran bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai kewajiban ekonomi dan legal kepada pemegang saham (shareholders), namun juga kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders).

(17)

Secara sederhana, GCG adalah tentang bagaimana sebuah perusahaan diatur dan diawasi, karena fokus utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendalian dan keseimbangan (checks and balances) untuk menjamin bahwa kepentingan manajemen dalam organisasi tidak menyimpang dari pemilik perusahaan, dalam hal ini shareholders (Suwaidi, 2006). GCG merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk melindungi para investor dari asimetri informasi dan dampak negatifnya (Khomsiyah, 2005).

Beberapa lembaga yang mengatur prinsip-prinsip maupun pedoman terhadap penerapan GCG, yaitu Organizational for Economic Cooperation and Development (OECD) dan Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), yang menunjukkan harus adanya perlindungan terhadap investor, bahkan terhadap pihak-pihak yang lebih luas lainnya. Menurut pedoman yang dikeluarkan oleh OECD (2016), GCG mengacu kepada pembagian kewenangan antara semua pihak, yaitu pemegang saham, manajemen, dewan komisaris beserta direksi yang menentukan arah dan kinerja suatu perusahaan.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan GCG adalah:

1) Suatu struktur yang mengatur pola hubungan yang harmonis terkait dengan peran dewan direksi, komisaris dan pemegang saham.

2) Suatu prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan dan kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawaban.

3) Suatu sistem yang bertujuan untuk melindungi para investor dari asimetri informasi dan dampak negatifnya.

Asas GCG menurut KNKG (2006) terbagi menjadi lima asas, antara lain transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi

(18)

(independency), serta kewajaran dan kesetaraan (fairness). Asas ini diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders).

1) Transparansi (Transparency)

Transparansi merupakan prinsip dasar untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, di mana perusahaan harus menyediakan informasi yang relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan.

2) Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas merupakan prinsip dasar di mana perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar, untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

3) Responsibilitas (Responsibility)

Responsibilitas merupakan prinsip dasar di mana perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan, serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan, sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang.

4) Independensi (Independency)

Independensi merupakan prinsip dasar di mana untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

5) Kewajaran dan Kesetaraan (Fairness)

Kewajaran dan kesetaraan merupakan prinsip dasar di mana dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan, dengan cara memberikan

(19)

kesempatan kepada pemangku kepentingan untuk memberikan masukan dan menyampaikan pendapat bagi kepentingan perusahaan, serta membuka akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip transparansi dalam lingkup kedudukan masing-masing.

Penerapan GCG memiliki banyak manfaat, antara lain peningkatan kinerja perusahaan melalui supervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan pemangku kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang berlaku (Gunarsih, 2002). Selain itu, penerapan GCG juga dapat meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik dalam jangka panjang, serta menciptakan dukungan para stakeholder dalam lingkungan perusahaan terhadap keberadaan dan berbagai strategi maupun kebijakan yang dijalankan perusahaan.

Keberhasilan penerapan GCG juga mempunyai prasyarat tersendiri. Seperti yang diungkapkan Daniri (dalam Pertiwi & Pratama, 2012), ada dua faktor yang memegang peranan, yaitu faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG, di antaranya terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif, dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik atau lembaga pemerintahan, serta terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat yang dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional, dengan kata lain sebagai acuan.

Faktor internalnya adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktik GCG yang berasal dari dalam perusahaan, antara lain terdapatnya budaya perusahaan yang mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan, berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG,

(20)

manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG, terdapatnya sistem pemeriksaan yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari penyimpangan yang mungkin akan terjadi, serta adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat mengikuti perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.

Bagi investor, GCG memberikan jaminan bahwa mereka akan memperoleh returns (imbal hasil) yang memadai atas dana yang ditanamkan ke perusahaan, sedangkan bagi badan-badan otoritas, GCG akan meningkatkan efisiensi, integritas dan kredibilitas pasar modal sebagai salah satu alternatif investasi yang pada gilirannya akan menentukan alokasi dana masyarakat kepada kegiatan ekonomi yang produktif (Shleifer & Vishny, 1997). Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar pihak-pihak yang berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan fungsi, serta perannya sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing.

Pengungkapan CSR biasanya dikaitkan dengan GCG dan profitabilitas. Salah satu mekanisme GCG seperti komposisi komisaris independen adalah mekanisme yang dapat memberikan arahan dan pengawasan terhadap perusahaan dalam pelaksanaan dan pengungkapan CSR. Profitabilitas memberikan keyakinan kepada perusahaan untuk melakukan pengungkapan secara sukarela.

GCG merupakan kunci kesuksesan bagi perusahaan agar dapat tumbuh, berkembang, kemudian bersaing dan menguntungkan dalam jangka panjang, serta melindungi kepentingan stakeholders. Tanggung jawab sosial yang baik dapat dihasilkan dari tata kelola perusahaan yang baik. Hal ini dikarenakan tata kelola perusahaan yang menyangkut suatu struktur yang mengatur pola hubungan yang harmonis dari seluruh aspek dalam perusahaan harus diimbangi dengan

(21)

suatu proses yang transparan atas penentuan dan pencapaian tujuan perusahaan, serta pengukuran kinerjanya.

Teori stakeholder berusaha memberikan penjelasan mengenai GCG dari perspektif yang berbeda, yaitu bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingan sendiri, namun harus mampu memberikan manfaat bagi stakeholder-nya. Oleh karena itu, GCG adalah tentang bagaimana sebuah perusahaan menerapkan sistem yang transparan dan dengan akuntabilitas yang tinggi untuk memelihara keefektivan dari pengungkapan informasi yang akan membantu perkembangan kinerja corporate governance (Ranti, 2011).

Terdapat beberapa mekanisme GCG yang dapat menjamin dan mengawasi berjalannya sistem tata kelola perusahaan, antara lain kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran dewan komisaris, komposisi komisaris independen, ukuran dewan direksi, serta komite audit. Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan dan juga bertanggungjawab atas kualitas laporan yang disajikan. Praktik GCG mengharuskan adanya komisaris independen dalam perusahaan yang diharapkan mampu mendorong dan menciptakan iklim yang lebih independen, objektif dan menempatkan kesetaraan sebagai prinsip utama dalam memperhatikan kepentingan para stakeholder-nya. Tugas dari komisaris independen adalah mengawasi operasional dan kinerja perusahaan, serta memberikan peringatan kepada direksi ketika terjadi hal-hal yang mulai menyimpang dari visi dan misi perusahaan. Selanjutnya, memberikan pengarahan dan petunjuk kepada direksi, serta memberikan masukan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Komisaris independen juga bertugas untuk memastikan bahwa nasihat telah dijalankan serta dipenuhinya ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(22)

Herawati (2015) mengemukakan bahwa aplikasi pengendalian dan pengawasan terhadap manajemen oleh komisaris independen adalah ketika manajemen tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan capaian yang telah ditentukan. Aktivitas yang dimaksud adalah pelaksanaan dan pengungkapan CSR. Komisaris independen dapat melakukan aktivitas pengawasan dan pengendalian terhadap pengungkapan CSR, maka perusahaan yang memiliki komposisi komisaris independen yang lebih tinggi cenderung lebih banyak melakukan pengungkapan CSR. Dengan demikian, tujuan perusahaan untuk mendapatkan legitimasi dari para pemangku kepentingan dengan mengungkapkan tanggung jawab sosial akan dapat diperoleh karena keberadaan komisaris independen akan memberikan pengendalian dan pengawasan (Nurkhin, 2009).

Nurkhin (2009) menyatakan bahwa dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan, memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan. Komposisi dewan komisaris akan menentukan kebijakan perusahaan termasuk praktik dan pengungkapan CSR. Salah satu bagian penting dalam tata kelola perusahaan yang baik adalah komposisi komisaris independen karena komisaris independen berkewajiban untuk memberikan nasihat dalam pengambilan keputusan oleh dewan komisaris. Komisaris independen adalah seseorang yang tidak memiliki afiliasi dengan pemegang saham, direksi atau dewan komisaris, serta tidak memiliki jabatan direksi dalam perusahaan yang bersangkutan, sehingga tidak ada intervensi atau tekanan dari pihak manapun yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Komisaris independen memiliki peranan penting dalam perusahaan, yaitu sebagai pengawas dan mengarahkan agar perusahaan beroperasi sesuai dengan peraturan yang berlaku (Pradipta, 2015).

(23)

Variabel komposisi komisaris independen digunakan berdasarkan dugaan bahwa keberadaan komisaris independen dapat melakukan pengawasan terhadap aktivitas perusahaan, salah satunya adalah dalam pengungkapan CSR. Semakin besar persentase komisaris independen, maka akan meningkatkan aktivitas pengawasan terhadap kualitas pengungkapan dan mengurangi usaha menutupi informasi perusahaan (Prasojo dalam Putri, 2013).

2.1.8. Leverage

Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi diprediksi akan mengungkapkan lebih banyak informasi, karena biaya keagenan perusahaan dengan struktur modal seperti itu lebih tinggi (Jensen & Meckling, 1976). Tambahan informasi diperlukan untuk menghilangkan keraguan pemegang obligasi terhadap informasi mengenai dipenuhinya hak-hak mereka sebagai kreditur. Oleh karena itu, perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah. Pendapat lain mengatakan bahwa semakin tinggi leverage¸ kemungkinan besar perusahaan akan mengalami pelanggaran terhadap kontrak utang, maka manajer akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi untuk mengurangi kemungkinan perusahaan melanggar perjanjian utang (Yintayani, 2011).

Manajer akan memilih metode akuntansi yang akan memaksimalkan laba sekarang. Kontrak utang biasanya berisi ketentuan bahwa perusahaan harus menjaga tingkat leverage tertentu. Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat leverage maka semakin besar kemungkinan perusahaan akan melanggar perjanjian kredit, sehingga perusahaan akan berusaha untuk melaporkan laba sekarang lebih tinggi (Belkaoui & Karpik, 1989). Dengan demikian, agar laba

(24)

yang dilaporkan tinggi maka manajer harus mengurangi biaya-biaya, termasuk biaya untuk mengungkapkan informasi sosial (Yintayani, 2011).

Rasio leverage adalah untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan utang, sehingga sebaiknya perusahaan harus menyeimbangkan berapa utang yang layak diambil dan dari mana sumber-sumber yang dapat digunakan untuk membayar utang tersebut. Perusahaan dengan rasio leverage yang tinggi memiliki kewajiban untuk melakukan pengungkapan yang lebih luas daripada perusahaan dengan rasio leverage yang rendah (Yintayani, 2011). Kreditur cenderung tertarik dengan kegiatan CSR (dan terutama kinerja lingkungan) dari perusahaan yang mereka berikan kreditnya, oleh karena itu sesuai dengan teori pemangku kepentingan, semakin bergantung sebuah perusahaan pada pendanaan eksternal, maka diharapkan dapat merespon ekspektasi kreditur mengenai kegiatan CSR perusahaan (Roberts dalam Carina et al., 2014).

2.2. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu sangat penting sebagai dasar pijakan dalam rangka penyusunan penelitian ini. Kegunaannya adalah untuk mengetahui hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Subbab ini akan menguraikan beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan pengungkapan CSR, GCG, leverage dan profitabilitas. Temuan penelitian terdahulu yang menjadi pedoman pada penelitian ini tersaji pada Lampiran 1.

Sembiring (2005) meneliti karakteristik perusahaan dan pengungkapan tanggung jawab sosial, dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 78 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 2002 dan menggunakan metode pemilihan sampel stratified random sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil

(25)

penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan pendapatan per lembar saham (Earning per Share/EPS) tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR, serta leverage perusahaan yang diproksikan dengan Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Terdapat beberapa perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005), yaitu penelitian ini menggunakan variabel moderasi dengan teknik analisis data Moderating Regression Analysis (MRA), serta metode pemilihan sampel pada penelitian ini menggunakan purposive sampling.

Nurkhin (2009) menguji pengaruh corporate governance dan profitabilitas pada pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan, dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 80 perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2007 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen berpengaruh signifikan positif pada pengungkapan CSR, serta profitabilitas yang diproksikan dengan Return on Equity (ROE) berpengaruh signifikan positif pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurkhin (2009) adalah pada penelitian ini menggunakan variabel komposisi komisaris independen ditambah dengan leverage sebagai variabel moderasi. Perbedaan juga terlihat pada teknik analisis data yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan teknik analisis data MRA. Purwanto (2011) meneliti pengaruh profitabilitas pada CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 92 perusahaan nonkeuangan yang terdaftar di BEI tahun 2009 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan Return on Asset (ROA) tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR.

(26)

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwanto (2011) yaitu terletak pada teknik analisis data yang digunakan, serta pada penelitian ini juga memasukkan dua variabel moderasi yaitu GCG dan leverage.

Yintayani (2011) menguji faktor-faktor yang mempengaruhi CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 132 perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2009 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat leverage yang diproksikan dengan DER berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR, serta profitabilitas perusahaan yang diproksikan dengan ROA berpengaruh positif pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Yintayani (2011) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Terzaghi (2012) meneliti pengaruh mekanisme corporate governance pada pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 89 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI tahun 2008 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Terzaghi (2012) adalah pada penelitian ini menggunakan variabel komposisi komisaris independen ditambah dengan leverage sebagai variabel moderasi. Perbedaan juga terlihat pada teknik analisis data yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan teknik analisis data MRA.

Ramdhaningsih & Utama (2013) menguji pengaruh indikator GCG dan profitabilitas pada pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 10 perusahaan sektor

(27)

property dan real estate yang terdaftar di BEI tahun 2009-2011 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROE berpengaruh signifikan positif pada pengungkapan CSR, namun komposisi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramdhaningsih & Utama (2013) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Putri (2013) meneliti pengaruh corporate governance pada pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan di dalam sustainability report dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 28 perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2008-2011 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi komisaris independen tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri (2013) adalah pada penelitian ini menggunakan variabel komposisi komisaris independen ditambah dengan leverage sebagai variabel moderasi. Perbedaan juga terlihat pada teknik analisis data yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan teknik analisis data MRA.

Khan et al. (2013) menguji corporate governance dan pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 116 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Dhaka Stock Exchange (DSE) Bangladesh tahun 2005-2009. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan OLS Analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROA berpengaruh signifikan pada luas pengungkapan CSR, serta leverage berpengaruh signifikan pada luas pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan

(28)

penelitian yang dilakukan oleh Khan et al. (2013) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Putri & Christiawan (2014) meneliti pengaruh profitabilitas dan leverage pada pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 38 perusahaan seluruh sektor yang mendapatkan penghargaan Indonesia Sustainability Report Awards (ISRA) dan terdaftar di BEI tahun 2010-2012. Metode pemilihan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROA tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR, serta leverage yang diproksikan dengan Debt to Asset Ratio (DAR) tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Putri & Christiawan (2014) adalah pada penelitian ini menggunakan variabel komposisi komisaris independen ditambah dengan leverage sebagai variabel moderasi. Perbedaan juga terlihat pada teknik analisis data yang digunakan, yaitu penelitian ini menggunakan teknik analisis data MRA. Sari (2014) menguji pengaruh profitabilitas dan proporsi dewan komisaris independen pada pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 26 perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2012 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROA berpengaruh signifikan positif pada pengungkapan CSR, namun proporsi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2014) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini. Oktariani & Mimba (2014) meneliti tentang pengaruh karakteristik perusahaan dan tanggung jawab lingkungan pada pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dengan menggunakan

(29)

jumlah sampel sebanyak 6 perusahaan pertambangan yang terdaftar di BEI tahun 2008-2012. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dan menggunakan teknik analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leverage yang diproksikan dengan DER berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR, profitabilitas yang diproksikan dengan ROE berpengaruh signifikan negatif pada pengungkapan CSR, namun komposisi komisaris independen tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Oktariani & Mimba (2014) yaitu terletak pada teknik analisis data yang digunakan adalah MRA, serta pada penelitian ini juga memasukkan dua variabel moderasi yaitu GCG dan leverage.

Giannarakis (2014) menguji pengaruh corporate governance dan karakteristik keuangan pada keluasan pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 100 perusahaan yang terdaftar di USA Fortune 500 tahun 2011 dengan kriteria perusahaan besar. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan Return on Sales (ROS) dan ROE berpengaruh signifikan positif pada keluasan pengungkapan CSR, serta financial leverage berpengaruh signifikan pada keluasan pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Giannarakis (2014) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Carina et al. (2014) meneliti kualitas corporate governance dan pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 222 perusahaan yang terdaftar di Australian Stock Exchange (ASX) tahun 2004 dengan kriteria perusahaan yang memiliki Horwath CG Ranking. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa creditors power (leverage) berpengaruh signifikan positif pada

(30)

pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Carina et al. (2014) yaitu terletak pada teknik analisis data yang digunakan adalah MRA, serta pada penelitian ini juga memasukkan dua variabel moderasi yaitu GCG dan leverage.

Giannarakis et al. (2014) menguji pengaruh keuangan, governance dan lingkungan pada pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 100 perusahaan yang terdaftar di S&P 500 tahun 2009-2012. Teknik analisis yang digunakan adalah Least Squares Dummy Variable (LSDV). Hasil penelitian menunjukkan bahwa financial leverage tidak berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Giannarakis et al. (2014) terletak pada teknik analisis data dan variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Herawati (2015) meneliti corporate governance, karakteristik perusahaan dan pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 90 perusahaan sektor pertambangan yang terdaftar di BEI tahun 2009-2013 dan menggunakan metode pemilihan sampel purposive sampling. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROE berpengaruh pada pengungkapan CSR, namun komposisi komisaris independen tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2015) yaitu terletak pada teknik analisis data yang digunakan adalah MRA, serta pada penelitian ini juga memasukkan dua variabel moderasi yaitu GCG dan leverage.

Nawaiseh et al. (2015) menguji pengaruh profitabilitas pada pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 9 perusahaan sektor perbankan yang terdaftar di Amman Stock Exchange tahun 2011 berdasarkan kriteria kepemilikan saham publik perbankan komersial.

(31)

Teknik analisis yang digunakan adalah analisis korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan ROE berpengaruh signifikan positif pada keluasan pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Nawaiseh et al. (2015) terletak pada variabel pemoderasi yang digunakan dalam penelitian ini.

Habbash (2016) meneliti corporate governance dan pengungkapan CSR dengan menggunakan jumlah sampel sebanyak 267 perusahaan nonkeuangan yang terdaftar di Saudi Stock Exchange tahun 2007-2011. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis dengan Ordinary Least Square (OLS), manual content dan regresi berganda, serta checklist sejumlah 17 items pengungkapan CSR berdasarkan ISO 26000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa firm leverage yang diproksikan dengan DAR berpengaruh signifikan pada pengungkapan CSR, namun profitabilitas yang diproksikan dengan ROA tidak berpengaruh pada pengungkapan CSR. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Habbash (2016) yaitu terletak pada teknik analisis data yang digunakan adalah MRA, serta pada penelitian ini juga memasukkan dua variabel moderasi yaitu GCG dan leverage.

Referensi

Dokumen terkait

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

a) Kebutuhan akan perasaaan diterima orang lain dengan siapa ia bergaul dan berinteraksi dalam organisasi dan demikian ia memiliki sense of belonging yang tinggi. b)

Sesuai dengan kriteria diterima atau ditolaknya hipotesis maka dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa menerima hipotesis yang diajukan terbukti atau dengan kata lain variabel

Project : Embankment Rehabilitation and Dredging Work of West Banjir Canal and Upper Sunter Floodway of Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP/JEDI) – ICB Package

Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel dependen manajemen laba dan variabel independen asimetri informasi serta sampel yang digunakan perusahaan perbankan

Produk industrial (industrial’s good) adalah produk-produk yang dikonsumsi oleh Industriawan untuk kepentingan lain, yaitu untuk diubah, di produksi menjadi produk lain

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, dengan ini menyetujui untuk memberikan ijin kepada pihak Program Studi Sistem Informasi Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus

Untuk tujuan ini, baik Fakultas maupun Sekolah menyediakan sumber daya akademik maupuan sumber daya pendukung akademik (laboratorium, studio, perpustakaan), bukan