• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS DRP INTERAKSI OBAT PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PROFESOR. Dr. W. Z. JOHANNES KUPANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS DRP INTERAKSI OBAT PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PROFESOR. Dr. W. Z. JOHANNES KUPANG."

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS DRP INTERAKSI OBAT PASIEN

PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PROFESOR. Dr. W. Z. JOHANNES KUPANG

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Derajat Strata 1 Program Studi Sarjana Farmasi

Diajukan oleh:

Ridwan Brampi Kono 154111065

Kepada

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG 2019

(2)

i

(3)

ii

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v

PERSEMBAHAN

“Setiap kerja keras dan ketekunan tidak pernah mengecewakan ... Orang yang memulai sesuatu dengan bersusah payah akan menuai hasilnya dengan bersukacita”

(-Ridwan Kono-)

SKRIPSI INI KU PERSEMBAHKAN KEPADA:

Tuhan Yesus sebagai Bapa yang selalu mencurahkan kasih setiaNya padaku

Keluarga terkasih terkhusus bapa dan mama yang selalu memberikan support selama penyusunan skripsi ini.

Dosen-dosen prodi sarjana farmasi yang dengan tulus hati memberikan banyak ilmu dan pengetahuan serta motivasi

kepadaku selama menempuh pendidikan

Teman-teman Farmasi kelas A, B, dan C angkatan I

Universitas Citra Bangsa, Kupang

(7)

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”ANALISIS DRP INTERAKSI OBAT PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD PROFESOR. Dr. W. Z. JOHANES, KUPANG” Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.) di Unversitas Citra Bangsa Kupang.

Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, patutlah penulis menyampaikan limpah terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain :

1. Tuhan Yesus Kristus yang sungguh luar biasa, atas kelimpahan berkat perlindungan, serta pertolongan-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Dr. Jeffrey Jap, drg. M. Kes., selaku Rektor Universitas Citra Bangsa Kupang.

3. Ibu Novi Winda Lutsina, S. Farm., M.Si., Apt., selaku Ketua Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Citra Bangsa Kupang, yang telah

mendukung dan memberikan nasihat dalam proses penelitian hingga penyelesaian penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Maria Philomena Erika Rengga, S. Farm, M. Farm-Klin., Apt., selaku

Sekretaris Program Studi Sarjana Farmasi Universitas Citra Bangsa Kupang yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dalam proses

penelitian hingga penyelesaian penyusunan skripsi.

5. Ibu Maria Philomena Erika Rengga, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt. selaku Dosen Pembimbing utama, yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan ilmu serta membimbing penulis dalam menyusun Skripsi ini

(8)

vii

(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

PANITIA PENGUJI UJIAN SKRIPSI ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... . xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTAK ... xiv

ABSTRACT ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Teoritis... . 5

(10)

ix

1.4.2 Manfaat Praktis... . 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tinjauan Pustaka ... 6

2.1.1 Drug Related Problems (DRP) ... 6

2.1.2 Klasifikasi DRP ... 7

2.1.3 Interaksi Obat ... 11

2.1.3.1 Mekanisme Interaksi Obat ... 12

2.1.3.2 Keparahan Interaksi Obat ... 16

2.1.4 Penyakit Ginjal Kronik ... 17

2.1.4.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik... ... 17

2.1.4.2 Etiologi... ... 18

2.1.4.3 Patofisiologi PGK... ... 20

2.1.4.4 Klasifikasi PGK... ... 23

2.1.4.5 Perhitungan LFG... ... 24

2.1.4.6 Penyakit Penyerta... ... 26

2.1.5 Terapi PGK... ... 29

2.1.5.1 Terapi Non Farmakologi... ... 29

2.1.5.2 Terapi Farmakologi... ... 29

2.1.6 Rumah Sakit... ... 37

2.1.7 Farmasis dan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit... ... 39

2.1.8 Rekam Medis... ... 43

2.2 Landasan Teori ... 44

2.3 Kerangka Konsep Penelitian ... 46

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Desain Penelitian dan Rancangan Penelitian ... 48

3.2 Populasi dan Sampel Penelitiaan ... 48

3.2.1 Populasi ... 48

3.2.2 Sampel ... 48

3.3 Variabel Penelitiaan ... 49

3.4 Definisi Operasional... 49

3.5 Jalannya Penelitian ... 50

(11)

x

3.6 Jadwal Penelitian ... 50

3.7 Analisis Hasil... ... 50

3.7.1 Teknik Pengumpulan Data... ... 50

3.7.2 Teknik Analisis Data... ... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Karakteristik Pasien ... 52

4.1.1 Jenis Kelamin ... 52

4.1.2 Usia ... 53

4.1.3 Lama Perawatan Atau Length Of Stay (LOS) ... 55

4.1.4 Diagnosa Paien ... 57

4.2 Pola Penggunaan Obat ... 61

4.2.1 Jenis Obat ... 61

4.2.2 Jumlah Obat ... 65

4.3 Analisis Potensi Interaksi Obat ... 66

BAB V PENUTUP ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(12)

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi PGK ... 22

Gambar 2.2 Strategi Mencegah Progressi PGK Pada Pasien Diabetes ... 32

Gambar 2.3 Strategi Mencegah Progressi PGK Pasien Non Diabetes ... 35

Gambar 2.4 Algoritma Manajemen Hipertensi untuk Pasien PGK ... 36

Gambar 2.5 Kerangka Teori ... 45

Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 47

Gambar 3.1 Jalannya Penelitian ... 50

Gambar 4.1 Distribusi Jenis Kelamin Pasien PGK ... 52

Gambar 4.2 Distribusi Pasien PGK Berdasarkan Usia ... 54

Gambar 4.3 Lama Rawat Inap Pasien PGK ... 55

Gambar 4.4 Status Pasien PGK Saat Meninggalkan Rumah Sakit ... 57

Gambar 4.5 Penyakit Penyerta Pasien PGK ... 57

Gambar 4.6 Distribusi Obat Kardiovaskuler pada Pasien PGK ... 62

Gambar 4.7 Distribusi Suplemen Pada Pasien PGK ... 64

Gambar 4.8 Distribusi Obat Saluran Cerna Pada Pasien PGK ... 64

Gambar 4.9 Jumlah Jenis Obat yang di berikan pada Pasien PGK ... 65

Gambar 4.10 Jumlah Obat yang di konsumsi Pasien PGK Selama Rawat Inap ... 66

Gambar 4.11 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien PGK ... 67

Gambar 4.12 Distribusi Interaksi Obat Pada Pasien PGK ... 67

Gambar 4.13 Distribusi Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahan nya Pada Pasien PGK ... 68

Gambar 4.14 Jenis Obat yang Paling Sering Berinteraksi ... 64

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Description of Drug Related Problems Category ... 7

Tabel 2.2 Common Causes of Drug Related Problems... 8

Tabel 2.3 PCNE Clasification for Drug Related Problems... ... 10

Tabel 2.4 Penyebab PGK di Indonesia... ... 19

Tabel 2.5 GFR Categories in CKD... ... 23

Tabel 2.6 Classification of CKD Based On Presence or absence of systemic disease and location within the kidney of pathologicanatomic findings... ... .. 23

Tabel 2.7 Albuminuria Categories in CKD... ... 24

Tabel 2.8 The CKD-EPI Equation for Estimating GFR on the Natural Scale... ... 26

Tabel 2.9 Recomendations for Non-Insulin hyperglycemia Drug terapy For Patients with Moderate to severe CKD... .... 31

Tabel 2.10 Effeects of antihypertensive agents of RBF and GFR... .... 33

Tabel 2.11 Components of a Patient’s Medical Record... .... 44

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian... ... 50

Tabel 4.1 Diagnosis yang Menyertai Pasien PGK ... 58

Tabel 4.2 Distribusi jenis Obat Pada Pasien PGK ... 61

Tabel 4.3 Jumlah Pemberian Obat Dengan Potensi Interaksi Obat ... 68

(14)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rekapitulasi Data Pasien PGK RSUD Johanes ... 79

Lampiran 2 Lembar Pengumpulan Data Pasien PGK RSUD Johanes .. 85

Lampiran 3 Distribusi Interaksi Obat kardiovaskuler dan hipertensi.... 89

Lampiran 4 Distribusi Interaksi Obat kardiovaskuler dengan Suplemen ... 92

Lampiran 5 Distribusi Interaksi Obat kardiovaskuler dengan obat saluran cerna... 93

Lampiran 6 Hasil Analisis Interaksi Obat dengan Drugs.com ... 94

Lampiaran 7 Surat Permohonan Ijin Penelitian ... 99

Lampiran 8 Surat Pengantar Penelitian di Ruang Rekam Medik ... 100

Lampiran 9 Surat Keterangan Selesai Penelitian di Ruang Rekam medik ... 101

Lampiran 10 Surat Pernyataan Menjaga Kerahasiaan Pasien ... 102

(15)

xiv ABSTRAK

Kono, Ridwan Brampi. 2019. Analisis DRP Interaksi Obat Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Inap RSUD Profesor. Dr. W. Z. Johannes, Kupang. (Pembimbing I: Maria. Ph. E. Rengga, S.Farm., M.Farm-Klin., Apt.

Pembimbing II: Christin. A. Beama, S. Farm., M.Farm., Apt). Skripsi. Jurusan Farmasi Fakultas Kesehatan Universitas Citra Bangsa Kupang.

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan penyakit ginjal yang dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel, menahun, dan berlangsung progresif. Pasien dengan PGK biasanya menderita sejumlah besar komorbiditas serta komplikasi sebagai akibat dari terganggunya fungsi ginjal.

Kondisi tersebut mengakibatkan pasien mengkonsumsi lebih dari lima obat atau yang dikenal dengan polifarmasi yang rentan terhadap resiko terjadinya interaksi obat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan obat dan kejadian interaksi obat pada pasien PGK yang menjalani rawat inap.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang pengambilan datanya dilakukan secara retrospektif. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebesar 400 rekam medik. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 84 sampel yang dipilih dengan menggunakan teknik systematic sampling.

Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini adalah obat kardiovaskuler merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan oleh pasien PGK (44%). Jumlah obat terbanyak yang dikonsumsi yaitu 5-8 obat (56%).

Interaksi obat potensial ditemukan pada 85,7% sampel dengan tingkat keparahan minor sebesar 26%, sedang/moderate sebesar 68%, dan mayor sebesar 5%. Obat- obatan yang paling sering berinteraksi yaitu interaksi obat kardiovaskuler- kardiovaskular (30%), obat kardiovaskuler-suplemen (20%), serta obat kardiovaskuler-obat saluran cerna (15%).

Kata Kunci: Penyakit ginjal kronik, DRP, interaksi obat, signifikansi klinis, polifarmasi.

(16)

xv

ABSTRACT

Kono, Ridwan Brampi. 2019. Analysis of DRP in Chronic Kidney Disease in Inpatient Ward of Professor Dr. W. Z. Johannes Public Hospital, Kupang.

(Advisor I: Maria. Ph. E. Rengga, S. Farm., M. Farm-Klin., Apt. Supervisor II:

Christin. A. Beama, S. Farm., M. Farm. , Apt) Undergraduate thesis. Department of Pharmacy, Faculty of Health, Citra Bangsa University, Kupang.

Chronic Kidney Disease (CKD) is a disease which is associated with irreversible, chronic, and progressive decline in kidney function. Patients with CKD typically suffer from a large number of comorbidities and complications as a result of decline in kidney function. This may lead to the patient taking more than five drugs or known as polypharmacy which is vulnerable to the risk of drug interactions. The purpose of this study was to describe the pattern of drugs used and the incidence of drug interactions in CKD in inpatient ward of .

The method of the study is an observational descriptive and the data was collected retrospectively. The number of population in this study was 400. The number of sample was 84, which was taken using systematic sampling techniques.

The study showed that cardiovascular drugs is the class of therapy most prescribed for CKD (44%). The number of 5-8 drugs was the most prescribed for the patients (56%). Potential drug interactions were found in 85.7% and the severity levels are 26% for minor, 68% for moderate, and 5% for major. The interaction was most frequent between cardiovascular-cardiovascular drugs (30%), cardiovascular-supplements drugs (20%), and cardiovascular- gastrointestinal drugs (15%).

Keywords: Chronic kidney disease, DRP, drug interactions, clinically significant, polypharmacy.

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) atau yang sering juga disebut dengan Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan penyakit ginjal yang dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel, menahun dan berlangsung progresif (Dipiro, 2009). PGK sering dikaitkan dengan usia, di samping itu progres penyakit ini dapat dipercepat dengan adanya penyakit terdahulu seperti diabetes, hipertensi, obesitas, dan gangguan ginjal primer. PGK merupakan beban kesehatan global yang penanggulangannya memerlukan biaya tinggi. PGK apabila tidak ditangani dengan baik akan berevolusi menjadi penyakit ginjal stadium akhir/End Stage Renal Disease (ESRD) yaitu penyakit ginjal yang hanya dapat ditangani dengan hemodialisis (HD) dan transplantasi ginjal (Tierney, 2009).

PGK merupakan suatu kondisi yang ditimbulkan oleh adanya penyakit pemicu (faktor inisiasi), pasien dengan PGK biasanya menderita sejumlah besar komorbiditas termasuk penyakit yang mendasari terjadinya PGK seperti hipertensi, diabetes, penyakit ginjal polikistik, serta komplikasi sebagai akibat dari terganggunya fungsi ginjal seperti, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, anemia, asidosis metabolik, gangguan pada sistem tulang dan mineral, yang akan mengarah pada penggunaan sejumlah obat untuk mengurangi gejala dan komplikasi yang terkait dengan PGK (Dipiro et al., 2009). Penggunaan sejumlah besar obat tersebut dapat mengakibatkan pasien mengkonsumsi lebih dari lima obat atau yang dikenal dengan polifarmasi, berdasarkan penelitian prospektif observasional yang dilakukan oleh Schmidt et al. pada 5.217 pasien PGK yang terdiri dari PGK stadium G1 dan G3b menemukan prevalensi polifarmasi yang relatif tinggi yaitu 62% pada pasien PGK stadium G1 dan 86% pada pasien PGK stadium G3b dengan rata-rata jumlah penggunaan

(18)

obat yang berbeda yang dikonsumsi adalah 8 obat per hari dengan betablocker, ACE-Inhibitor, dan statin adalah yang paling sering digunakan (Schmidt et al., 2019). Olumuyiwa et al. dalam penelitiannya pada 123 pasien PGK juga menemukan bahwa prevalensi polifarmasi tinggi pada pasien PGK dengan persentase sebesar 85,37% dengan obat yang paling sering diresepkan adalah enoxaparin, lisinopril, kalsium karbonat, cal-calcidol dan erythropoietin. Pola kormobiditas spesifik dan komplikasi pada pasien PGK serta polifarmasi menyebabkan pasien PGK rentan terhadap Drug Related Problems (DRP) seperti interaksi obat dan reaksi obat merugikan (Olumuyiwa et al., 2018).

Data prevalensi PGK di dunia menunjukkan bahwa setiap tahunnya jumlah penderita PGK terus mengalami peningkatan. Penelitian Hill et al.

(2016) menunjukkan bahwa prevalensi PGK secara global adalah 13,4%

untuk tahap 1-2 dan 10,6% untuk tahap 3-5, dengan persentase pada Afrika Selatan dan Kongo sebesar 8,66%; sementara negara Asia, seperti India dan Bangladesh sebesar 13,10%; Iran 17,95%; Cina, Taiwan, dan Mongolia sebesar 13,18%; Jepang, Korea Selatan, dan Oceania sebesar 13,74%; Australia sebesar 14,71%; Amerika dan Kanada sebesar 15,45%;

dan Eropa sebesar 18,38% (Hill et al., 2016).

PGK di Indonesia juga masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang harus ditangani. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 prevalensi PGK sebesar 0,38%, dengan prevalensi pada kelompok umur 65-74 tahun merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lain, yaitu sebesar 0,82%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013 prevalensi PGK sebesar 0,2% dengan prevalensi pada kelompok umur ≥ 75 tahun merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok umur yang lainnya yaitu sebesar 0,6%. Menurut data Indonesian Renal Registry (2017), jumlah pasien baru PGK pada tahun 2017 sebesar 30.831 dan pasien aktif sebesar 77.892, meningkat pesat dari tahun 2016 yang hanya berjumlah 25.446 untuk pasien baru dan 52.835 untuk pasien aktif. Data ini juga menunjukkan bahwa hipertensi

(19)

menempati urutan pertama pada etiologi penyebab PGK, yaitu sebesar 36% atau 8.472 kasus (Indonesian Renal Registry, 2017). Prevalensi PGK di provinsi NTT berdasarkan laporan Riskesdas 2018 adalah sebesar 0,33% (Riskesdas, 2018). Menurut laporan Indonesian Renal Registry (2017) jumlah pasien baru di Provinsi NTT adalah sebesar 398 pasien (Indonesian Renal Registry, 2017).

Drug Related Problems (DRP) adalah kejadian yang berkaitan dengan terapi obat yang mempengaruhi outcome yang diharapkan, baik secara aktual maupun potensial (PCNE, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Joel et al. pada 37 pasien PGK yang menjalani hemodialisa di Kanada, terdapat 39 kasus DRP dengan DRP yang paling umum adalah interaksi obat (25,64%), disusul dengan dosis terlalu tinggi (23,07%) (Joel et al., 2013). Dalam penelitian lainnya yang dilakukan oleh Olumuyiwa et al. terhadap 123 pasien PGK di Nigeria menemukan bahwa terjadi 1.851 interaksi obat potensial dengan persentase terbesar adalah pada interaksi dengan tingkat keparahan sedang (moderate) yaitu sebesar 62,7%

(Olumuyiwa et al., 2017). Penelitan tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasangka et al. pada sebuah Rumah Sakit pendidikan di Indonesia dan menemukan bahwa terjadi 292 potensi interaksi obat pada 45 pasien gagal ginjal rawat inap dengan persentase terbesar adalah interaksi dengan tingkat keparahan sedang (moderate) sebesar 70,54%

(Pasangka et al., 2017). Data ini menunjukkan risiko interaksi obat potensial sangat mungkin terjadi pada pasien PGK sehingga perlu adanya monitoring pengobatan yang baik oleh praktisi kesehatan terkait.

Peran Farmasis dalam pengobatan telah mengalami pergeseran paradigma dari pelayanan kefarmasian yang berorientasi obat (drug oriented) menjadi pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien (patient oriented), yang berperan dalam pemberian informasi dan edukasi terkait penggunaan obat, mengidentifikasi DRP, serta memberikan solusi sehingga dapat mengoptimalkan penggunaan obat dan meningkatkan kesehatan pasien. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa peran farmasi

(20)

klinis dapat meningkatkan penggunaan polifarmasi yang tepat, misalnya identifikasi obat yang dilakukan farmasi klinis dapat mengurangi peresepan yang tidak tepat (Peterson, 2017).

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Profesor. Dr. W. Z. Johannes Kupang merupakan Rumah Sakit rujukan sekaligus menjadi salah satu Rumah Sakit terbesar di kota Kupang dengan sarana dan prasarana yang memadai sehingga menjadi pilihan utama bagi masyarakat kota Kupang, terutama pasien PGK. Rumah Sakit ini merupakan salah satu dari dua Rumah Sakit di kota Kupang yang memiliki layanan hemodialisa bagi pasien PGK. Jumlah pasien PGK di Rumah Sakit ini mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2016 sebesar 520 pasien (432 pasien rawat jalan dan 72 pasien rawat inap) dan pada tahun 2017 sebesar 1672 pasien (1264 pasien rawat jalan dan 408 pasien rawat inap), karena keterbatasan tenaga kefarmasian di rumah sakit ini maka analisis DRP interaksi obat potensial pada polifarmasi (pasien PGK) masih jarang dilakukan.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk menjelaskan mengenai Drug Related Problem (DRP) interaksi obat potensial pada pasien PGK di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor. Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tahun 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pola penggunaan obat meliputi jenis obat dan jumlah obat yang diresepkan untuk tiap pasien pada terapi pasien PGK di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tahun 2018?

2. Bagaimana deskripsi DRP interaksi obat potensial pada terapi pasien PGK di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W.

Z. Johannes Kupang pada tahun 2018?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan mengenai gambaran pola penggunaan obat meliputi jenis obat dan jumlah obat yang diresepkan untuk tiap pasien pada terapi pasien PGK di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W.

Z. Johannes Kupang Pada Tahun 2018.

2. Mendeskripsikan mengenai DRP interaksi obat potensial yang terjadi pada terapi obat pasien PGK di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang Pada tahun 2018.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

1. Sebagai sumber informasi ilmiah mengenai DRP interaksi obat potensial pada pasien PGK di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tahun 2018.

2. Sebagai data awal atau bahan referensi yang dapat dikembangkan untuk penelitian lain.

1.4.2 Manfaat Praktis

Sebagai bahan evaluasi bagi pihak instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang mengenai DRP interaksi obat potensial khususnya interaksi obat mayor sehingga dapat dicegah atau diminimalisir di masa mendatang.

(22)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Drug Related Problems (DRP)

Drug Related Problems (DRP) adalah kejadian yang berkaitan dengan terapi obat yang mempengaruhi outcome yang diharapkan, baik secara aktual maupun potensial (PCNE, 2006). DRP merupakan permasalahan mendasar yang sering ditemui dalam praktik farmasi klinis.

Tujuan melakukan identifikasi DRP adalah untuk membantu pasien mencapai target terapi mereka dan mewujudkan hasil yang memuaskan dari terapi obat (Cipolle et al., 2012).

Untuk mengidentifikasi, menyelesaikan, dan mencegah DRP praktisi harus memahami bagaimana pasien dengan DRP hadir dalam praktik klinis. DRP pada pasien selalu memiliki tiga komponen masalah utama yaitu:

1. Peristiwa yang tidak diinginkan atau risiko dari suatu peristiwa yang dialami oleh pasien. Masalahnya dapat berupa keluhan medis, tanda dan gejala, diagnosis penyakit, penyakit, gangguan, kecacatan, nilai laboratorium yang abnormal atau sindrom. Peristiwa ini bisa merupakan hasil dari fisiologis, psikologis, sosiokultural, atau kondisi ekonomi.

2. Terapi obat (produk obat atau regimen dosis) yang berhubungan langsung dengan masalah yang dialami oleh pasien.

3. Hubungan yang ada atau diduga ada antara kejadian yang tidak diinginkan oleh pasien dengan terapi obat. Hubungan ini dapat berupa:

a. Konsekuensi dari terapi obat yang menunjukan hubungan langsung atau bahkan hubungan sebab-akibat.

b. Kebutuhan untuk menambah atau memodifikasi terapi obat untuk resolusi atau pencegahannya.

(23)

2.1.2 Klasifikasi DRP

Tidak ada penjelasan yang tepat yang dapat menjelaskan mengenai apakah ada masalah DRP atau tidak. Hal ini hanya dapat ditentukan melalui penilaian dan pengambilan keputusan oleh praktisi klinis dalam hal ini farmasi. Seorang farmasis dapat berkontribusi secara langsung pada perawatan pasien. Hal ini dikarenakan tidak ada praktisi lain yang dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan DRP secara rutin dan secara komprehensif selain praktisi farmasi (Cipolle et al., 2012).

Semua DRP yang dialami pasien dapat dikategorikan kedalam tujuh kategori seperti yang tertera pada tabel 2.2.

Tabel 2.1 Description of Drug Related Problems Categories

1 The drug therapy is unnecessary because the patient does not have a clinical indication at this time.

2 Additional drug therapy is required to treat or prevent a medical condition in the patient.

3 The drug product is not being effective at producing the desired response in the patient.

4 The dosage is too low to produce the desired response in the patient.

5 The drug is causing an adverse reaction in the patient.

6 The dosage is too high, resulting in undesirable effects experienced by the patient.

7 The patient is not able or willing to take the drug therapy as intended.

(24)

Tabel 2.2 Common Causes of Drug Related Problems Drug therapy problem category Drug therapy problem cause

Unnecessary drug therapy a. Duplicate therapy: multiple drug products are being used for a condition that requires only single drug therapy.

b. No medical indication at this time: there is no valid medical indicationrequiring drug therapy at this time.

c. Nondrug therapy more appropriate: the medical indication is moreappropriately treated with nondrug therapy.

d. Addiction/recreational drug use: drug abuse, alcohol use, or smoking iscausing the problem.

e. Treating avoidable adverse reaction: drug therapy is being taken to treat anavoidable adverse drug reaction associated with another medication.

Needs additional therapy a. Preventive therapy: preventive drug therapy is required to reduce the risk of developing a new condition.

b. Untreated condition: a medical condition requires the initiation of drug therapy.

c. Synergistic therapy: a medical condition requires additional pharmacotherapy to attain synergistic or additive effects.

Ineffective drug a. More effective drug available: the drug is not the most effective for themedical condition and a different drug is needed.

b. Condition refractory to drug: the medical condition is refractory to the drugproduct and a different drug is needed.

c. Dosage form inappropriate: the dosage form of the drug product isinappropriate.

d. Contraindication present: the drug product is contraindicated in this patient.

e. Drug not indicated for condition: the drug product is not an effectiveproduct for the indication being treated.

Dosage too low a. Ineffective dose: the dose is too low to produce the desired response.

b. Needs additional monitoring: clinical or laboratory parameters are requiredto determine if the dosage is too low for the patient.

c. Frequency inappropriate: the dosage interval is too infrequent to producethe desired response.

d. Incorrect administration: the drug product was not administered by theappropriate route or method.

(25)

e. Drug interaction: a drug interaction reduces the amount of active drugavailable resulting in lack ofeffectiveness in this patient.

f. Incorrect storage: the drug product was stored incorrectly and lost potency.

g. Duration inappropriate: the duration of the drug therapy is too short toproduce the desired response.

Adverse drug reaction a. Undesirable effect: the drug product causes an undesirable reaction that isnot doserelated.

b. Unsafe drug for the patient: a safer drug product is required due to patientrisk factors.

c. Drug interaction: a drug interaction causes an undesirable reaction that isnot doserelated.

d. Incorrect administration: the drug product was administered by theincorrect route or method resulting in an adverse reaction.

e. Allergic reaction: the drug product caused an allergic reaction.

f. Dosage increase/decrease too fast: the drug dosage was administered orescalated too rapidly resulting in an adverse reaction.

Dosage too high a. Dose too high: the dose of the drug is too high for the patient, resulting intoxicity.

b. Needs additional monitoring: clinical or laboratory parameters are requiredto determine if the dosage is too high for the patient.

c. Frequency too short: the dosing frequency is too short for the patient.

d. Duration too long: the duration of drug therapy is too long for this patient.

e. Drug interaction: a drug interaction increases the amount of active drugavailable resulting in toxicity in this patient.

(26)

Adherence a. Does not understand instructions: the patient does not understand how toproperly take or use the drug product and dosage regimen.

b. Cannot afford drug product: the patient cannot afford the drug therapyrecommended or prescribed.

c. Patient prefers not to take: the patient prefers not to take the drug therapyas instructed.

d. Patient forgets to take: the patient does not remember to take sufficiendoses of the medication.

e. Drug product not available: sufficient supply of the drug product is notavailable to the patient.

f. Cannot swallow/administer drug: the patient is not able to swallow or administer the drug therapy as intended.

Klasifikasi DRP menurut Pharmaceutical Care Network Europe Foundation (PCNE) Classification dapat dilihat pada Tabel 2.3 (PCNE, 2006).

Tabel 2.3 PCNE Classification for Drug Related Problems Code

V5.01

Primary Domains

problems P1

P2

P3

P4 P5

P6

Adverse reactions (s)

Patient suffers from an adverse drug event Drug Choice Problem

Patient gets or is going to get a wrong (or no drug) drug for his/her disease and/or condition

Dosing problem

Patient gets more or less than the amount of drug he/she requires

Drug Use Problem

Wrong or no drug taken/administered Interactions

There is a manifest or potential drug-drug or drug-food interaction

Other

causes C1

C2

C3

C4

Drug/Dose Selection

The cause of the DRP can be related to the selection of the drug and/or dosage schedule Drug Use Process

The cause of the DRP can be related to the way the patient uses the drug, in spite of proper dosage instructions (on the label) Information

The cause of the DRP can be related to a lack or misinterpretation of information

Patient/Psychological

(27)

C5

C6

The cause of the DRP can be related to the personality or behaviour of the patient.

(Pharmacy) Logistics

The cause of the DRP can be related to the logistics of the prescribing or dispensing mechanism

Other

Interventions I0

I1 I2 I3 I4

No intervention At prescriber level At patient (or carer) level At drug level

Other

Outcome of intervention O0 O1 O2 O3

Outcome intervention unknown Problem totally solved

Problem partially solved Problem not solved

2.1.3 Interaksi Obat

Suatu interaksi dikatakan terjadi ketika efek dari satu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau oleh beberapa agen kimia dari lingkungan. Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai suatu reaksi yang melibatkan obat yang terjadi ketika obat tersebut berada di dalam tubuh atau pun ketika obat akan di campur dan di berikan secara intravena. Hasil dari suatu interaksi obat dapat berbahaya jika interaksi menyebabkan peningkatan toksisitas obat misalnya ada peningkatan risiko kerusakan otot yang parah jika pasien yang menggunakan statin mulai mengonsumsi antijamur azole.

Penurunan efikasi karena interaksi kadang-kadang bisa sama berbahayanya dengan peningkatan metabolisme obat, sebagai contoh pasien yang menggunakan warfarin yang diberi rifampisin membutuhkan lebih banyak warfarin untuk mempertahankan antikoagulasi yang dibutukan dalam pengobatan (Baxter, 2010).

(28)

2.1.3.1 Mekanisme Interaksi obat

1) Interaksi obat pada fase farmakokinetik a) Fase absorpsi

Interaksi obat pada fase absorpsi merupakan interaksi yang melibatkan sebagian besar obat yang diberikan secara oral untuk di serap melalui selaput mukosa saluran pencernaan. Hasil dari interaksi pada fase ini dapat berupa berkurangnya absorpsi obat atau peningkatan absorpsi obat itu sendiri. Pengurangan absorpsi obat lebih sering terjadi pada interaksi obat fase absorsi, dari pada peningkatan absorpsi obat. Pengurangan absorpsi obat karena interaksi obat disebabkan oleh beberapa mekanisme seperti efek perubahan pH saluran cerna, perubahan motilitas saluran cerna, induksi atau penghambatan protein transporter obat, Adsorsi, kelasi dan mekanisme pengompleks lainnya, serta malabsorpsi yang disebabkan obat-obatan (Baxter, 2010).

b) Fase distribusi

Dampak yang sering muncul dalam interaksi obat pada fase distribusi biasanya berupa meningkatnya konsentrasi obat dalam tubuh sebagai akibat dari terganggu nya ikatan suatu obat dengan protein plasma. Beberapa obat juga dapat terhambat akibat adanya hambatan pada transporter obat oleh obat-obatan lain sehingga akan meningkatkan penyerapan substrat obat kedalam otak, yang dapat meningkatkan efek pada sistem saraf pusat yang dapat bersifat merugikan atau dapat juga bersifat menguntungkan (Baxter, 2010).

c) Fase Metabolisme

Meskipun beberapa obat dieliminasi dari tubuh dengan cara diekskresikan dan tidak berubah dalam urin, sebagian besar diubah secara kimiawi di dalam tubuh menjadi senyawa yang tidak larut dalam lemak, yang lebih mudah diekskresikan oleh ginjal. Jika tidak, banyak obat akan bertahan dalam tubuh dan

(29)

terus memberikan efeknya untuk waktu yang lama. Perubahan kimia ini disebut sebagai suatu proses yang sering kita kenal sebagai metabolisme, biotransformasi, degradasi biokimiawi atau juga sering disebut dengan detoksifikasi (Baxter, 2010).

Beberapa metabolisme obat berlangsung dalam serum, ginjal, kulit dan usus, tetapi proporsi terbesar dilakukan oleh enzim yang ditemukan dalam membran retikulum endoplasma pada sel-sel hati. Metabolisme obat dihati melalui dua jenis reaksi utama yaitu, reaksi fase I yang juga disebut metabolisme lintas pertama (melibatkan oksidasi, reduksi atau hidrolisis), yang mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar, sedangkan reaksi fase II melibatkan penggabung obat dengan beberapa zat lain (enzim yang terlibat misalnya asam glukuronat, yang dikenal sebagai glukuronidase) yang bertujuan untuk membuat senyawa yang biasanya tidak aktif menjadi aktif (Baxter, 2010).

Sebagian besar reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim yang mengandung hem cytochrome P450 (CYP450) atau sitokrom P450 (Kadri, 2012). Sitokrom P450 bukan entitas tunggal, tetapi sebenarnya merupakan keluarga yang sangat besar dari isoenzim terkait, Namun, dalam aktivitasnya didalam tubuh hanya beberapa subfamili spesifik yang tampaknya bertanggung jawab atas sebagian besar (sekitar 90%) metabolisme obat yang biasa digunakan. Isoenzim yang berperan dalam metabolisme adalah CYP1A2, CYP2B6, CYP2C8, CYP2C9, CYP2C19, CYP2D6, CYP2E1 dan CYP3A4, enzim lain yang terlibat dalam metabolisme fase I termasuk monoamine oksidase (MAO) dan epoksida hidrolase (Baxter, 2010).

Kurang diketahui tentang enzim yang bertanggung jawab untuk reaksi konjugasi fase II. beberapa enzim seperti UDP- glucuronyltransferases (UGT), methyltrans-ferases, dan N- acetyltransferase (NAT) adalah contohnya. Efek yang sering

(30)

muncul pada interaksi obat fase metabolisme adalah peningkatan laju penyerapan obat, peningkatan Bioavailabilitas obat, dan penurunan bioavailabilitas obat. Efek-efek tersebut dapat disebabkan akibat aktivitas obat lain, makanan atau zat kimia yang menyebabkan perubahan metabolisme lintas pertama, penghambatan atau induksi metabolisme lintas pertama, induksi enzim dan penghambatan enzim (Baxter, 2010).

d) Fase ekskresi

Obat-obatan yang berpindah menggunakan sistem transportasi aktif yang sama di tubulus ginjal dapat bersaing satu sama lain untuk diekskresikan. Misalnya probenesid mengurangi ekskresi penisilin dan obat-obatan lainnya, dengan meningkatnya konsentrasi protein pengangkut obat dalam ginjal, sehingga dapat diketahui bahwa probenesid menghambat ekskresi obat yang bersifat anionik di ginjal penghambatan tersebut diakibatkan oleh adanya organic Anion Transporter (OATs).

Probenecid mungkin juga menghambat beberapa transporter ABC di ginjal. Transporter ABC, P-glycopro-tein, juga terdapat pada ginjal, dan obat-obatan yang mengambat transporter ini dapat mengubah eliminasi obat oleh ginjal. Aliran darah melalui ginjal sebagian dikendalikan oleh produksi prostaglandin yang menyebabkan vasodilatasi pada ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini terhambat, ekskresi beberapa obat oleh ginjal dapat dikurangi.

Berkurangnya ekskresi obat oleh ginjal terjadi akibat mekanisme yang mengakibatkan peningkatan kadar lithium di dalam serum yang terlihat pada beberapa anti inflamasi nonsteroid yang di berikan bersama litium (Baxter, 2010).

2) Mekanisme interaksi obat fase farmakodinamika

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi berupa berubanya efek dari satu obat yang di akibatkan oleh adanya kehadiran obat lain di tempat kerjanya. Terkadang obat bersaing secara langsung untuk

(31)

reseptor tertentu misalnya Agonis beta2 seperti salbutamol dan beta blocker seperti propranolol tetapi seringkali reaksinya lebih tidak langsung dan melibatkan gangguan pada mekanisme fisiologis.

Interaksi ini jauh lebih mudah diklasifikasikan (Baxter, 2010).

a) Interaksi aditif atau sinergis

Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan bersama, efeknya dapat menjadi aditif. Misalnya, alkohol menekan sistem saraf pusat dan, jika dikonsumsi dalam jumlah sedang bersama dengan dosis terapi normal dari obat ansiolitik atau hipnotik dapat menyebabkan kantuk yang berlebihan. Efek aditif dapat terjadi baik dengan efek utama obat maupun efek sampingnya, interaksi aditif atau sinergis juga dapat terjadi pada obat antimuskarinik dan obat antiparkinson yang menimbulkan toksisitas antimuskarinik yang hebat (Baxter, 2010).

b) Sindrom serotonin

Sindrom serotonin merupakan suatu interaksi obat yang terjadi akibat adanya stimulasi berlebihan pada reseptor serotonin yaitu reseptor 5-HT1A dan 5-HT2A akibat adanya efek gabungan dari dua obat seperti obat serotonergik dan obat serotomimetik.

Gejala khas dari sindrom serotonin terbagi kedalam tiga kategori utama yaitu kategori pertama berupa perubahan status mental, meliputi agitasi, kebingungan, mania, kategori kedua berupa disfungsi otonom, meliputi diaforesis, diare, demam, menggigil, serta kategori ke tiga berupa kelainan neuromuskuler yang meliputi hiperrefleksia, gangguan inkoordinasi, mioklonus dan tremor (Baxter, 2010).

c) Interaksi antagonis

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasangan obat dengan aktivitas yang saling bertentangan. Sebagai contoh, kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah dengan menghambat secara kompetitif efek dari vitamin K. Jika asupan

(32)

vitamin K meningkat, maka efek kumarin ditentang dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga membatalkan terapi (Baxter, 2010).

d) Interaksi neurotransmiter

Sejumlah obat dengan aksi yang terjadi pada neuron adrenergik dapat dihambat agar tidak mencapai tempat kerja nya akibat adanya obat lain. Antidepresan trisiklik mencegah reuptake noradrenalin (norepinefrin) menjadi neuron adrenergik perifer, dengan demikian pasien yang memakai trisiklik dan diberikan noradrenalin parenteral memiliki risiko hipertensi dan takikardia.

Efek antihipertensi dari clonidine juga dihambat oleh antidepresan trisiklik salah satu alasan yang mungkin adalah bahwa penggunaan clonidine sebagai antihipertensi pada sistem saraf pusat diblokir oleh trisiklik (Baxter, 2010).

e) Interaksi obat dengan obat herbal

Semakin banyak laporan telah melibatkan St John's wort (Hyperi-cum perforatum) dalam interaksi obat. Bukti menunjukkan bahwa ramuan itu dapat menginduksi isoenzim sitokrom P450 CYP3A4. dan juga dapat menginduksi P-glikoprotein. Karenanya St. John's wort menurunkan kadar ciclosporin, dan digoxin, beberapa bukti lain juga menunjukkan bahwa CYP2E1 dan CYP1A2 juga dapat diinduksi. St. John's wort memiliki sifat serotonergik yaitu sifat dalam menstimulasi serotonin sehingga menghasilkan interaksi farmakodinamik dengan selektif serotonin reuptake inhibitor, yaitu pengembangan sindrom serotonin (Baxter, 2010).

2.1.3.2 Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi obat dapat dibagi kedalam tiga kategori yaitu:

1) Keparahan Minor

(33)

Interaksi obat dikategorikan sebagai interaksi obat minor apabila memberikan potensi yang rendah secara klinis dan tidak membutuhkan terapi tambahan (Tatro, 2009). Contoh interaksi minor adalah pada interaksi antara parasetamol dan ranitidine.

Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan dapat meningkatkan kadar enzim hati yang kembali normal setelah penghentian ranitidine (Baxter, 2010).

2) Keparahan sedang (moderate)

Interaksi obat dikategorikan sebagai interaksi obat sedang/

moderate apabila membutuhkan pengaturan dosis atau pemantauan (Tatro, 2009). Sebagai contoh interaksi sedang/moderate adalah interaksi antara irbesartan dan aspirin yang mana penggunaan kedua obat tersebut dapat mengurangi efek antihipertensi dari irbesartan. Mekanisme yang diusulkan adalah inhibisi sintesis prostaglandin vasodilatasi pada ginjal dan dengan demikian mempengaruhi homeostasis fluida dalam tubuh dan dapat mengurangi efek antihipertensi yang diinduksi aspirin (Baxter, 2010).

3) Keparahan Mayor

Interaksi obat dikategorikan sebagai interaksi obat mayor apabila menyebabkan potensi toksisitas yang serius (Tatro, 2009).

Sebagai contoh interaksi mayor adalah interaksi antara aminoglikosida dan furosemide yang mana penggunaan kedua obat tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya ototoksisitas atau nefrotoksisitas (Baxter, 2010).

2.1.4 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.4.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) sekarang ini telah menjadi suatu kondisi medis yang perlu untuk diperhatikan di dalam masyarakat.

Pada tahun 2002 The National Kidney Foundation-Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF-KDOQI) mengembangkan pedoman

(34)

praktek klinis di Amerika Serikat pedoman ini memperkenalkan terminologi PGK dan skema klasifikasi untuk mempromosikan deteksi dini penyakit, mencegah perkembangan penyakit dan mencegah komplikasi yang terkait (Levey, 2002).

NKF-KDOQI mendefinisikan PGK sebagai suatu kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan berupa kelainan struktur ataupun kelainan fungsi ginjal yang dapat ditunjukan dari adanya kelainan patologis, kelainan komposisi darah atau urin berdasarkan hasil uji pencitraan ginjal (imaging test) yang tidak normal. Penegakkan diagnosa PGK didasarkan pada penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yaitu < 60ml/menit/1,73 m2 selama lebih dari 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal (Levey, 2002).

2.1.4.2 Etiologi

Dipiro et al. mengklasifikasikan etiologi PGK menjadi tiga faktor penting, yaitu faktor kerentanan, faktor inisiasi, dan faktor progresi (Dipiro et al., 2009).

1) Faktor kerentanan

Individu dengan faktor kerentanan memiliki peningkatan risiko untuk mengalami PGK, meskipun faktor risiko ini belum terbukti secara langsung menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor- faktor ini termasuk faktor risiko sosiodemografi, seperti usia lanjut, usia mudah (16-18 tahun) atau pendidikan, dan status ras atau etnis minoritas, serta pengurangan massa ginjal, bobot lahir rendah, dan riwayat keluarga dengan PGK. Faktor kerentanan baru yang telah diusulkan termasuk inflamasi sistemik dan dislipidemia. Sebagian besar dari faktor-faktor kerentanan ini tidak perlu diatasi dengan intervensi farmakologis atau perubahan gaya hidup, tetapi lebih membantu untuk mengidentifikasi populasi potensial untuk menargetkan program penyaringan untuk mendeteksi keberadaan PGK (Dipiro et al., 2009).

(35)

2) Faktor inisiasi

Faktor inisiasi adalah faktor atau kondisi yang secara langsung memicu kerusakan ginjal, dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologis. Faktor-faktor ini termasuk diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun, penyakit ginjal polikistik, infeksi sistemik, infeksi saluran kemih, batu saluran kemih, gangguan saluran kemih bagian bawah, dan keracunan obat. Penyebab utama PGK adalah diabetes mellitus, hipertensi dan glomerulonefritis (Dipiro et al., 2009).

3) Faktor progresi

Faktor progresi merupakan suatu faktor yang bersifat memperburuk kerusakan ginjal yang telah terjadi, faktor ini berhubungan dengan penurunan fungsi ginjal yang lebih cepat setelah inisiasi kerusakan ginjal. Prediktor terpenting dari PGK progresif adalah persistensi penyakit inisiasi yang mendasarinya (misalnya, diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, dan penyakit ginjal polikistik), dan faktor yang memicu perkembangan PGK seperti proteinuria, tekanan darah tinggi, dan merokok (Dipiro et al., 2009).

Berdasarkan laporan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2017, penyebab utama PGK di Indonesia adalah penyakit hipertensi (36%) dan diabetes melitus (29%). Rincian penyebab PGK di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Penyebab PGK di Indonesia.

Penyakit penyebab PGK Jumlah penderita

Glomerulopati primer 2887

Nefropati diabetika 6994

Nefropati lupus (SLE) 122

Penyakit ginjal hipertensi 8472

Ginjal polikistik 254

Nefropati asam urat 343

Nefropati obstruksi 1043

Pielo nefrtis kronis 1623

(36)

Lain-lain 1789

Tidak diketahui 322

2.1.4.3 Patofisiologi PGK

Berbagai faktor etiologi sebenarnya merusak ginjal pada manusia yang bersifat hetrogen. Sebagai contoh, lesi struktural pada nefropati diabetika merupakan penyebab ekspansi mesangial glomerular, sementara pada nefropati hipertensi terjadi halinosis arteriol ginjal, pada penyakit ginjal polikistik terjadi perkembangan dan pertumbuhan kristal pada ginjal. Pada umumnya berbagai perubahan morfologi glomerulus biasanya bergantung pada diagnosis primer glomerulonefritis, skema lengkap mengenai patofisiologi PGK dapat diamati pada Gambar 2.1 Elemen kunci yang menggambarkan skema ini adalah hilangnya massa nefron, hipertensi kapiler glomerulus, dan proteinuria. Kehadiran atau paparan faktor inisiasi akan menyebabkan kerusakan ginjal yang ditandai dengan hilangnya fungsi nefron sehingga akan menyebabkan terjadinya hipertrofi nefron untuk mengkompensasi hilangnya fungsi ginjal dalam hal ini fungsi nefron.

Awalnya hipertrofi ini masih dapat dikompensassi secara adaptif akan tetapi seiring berjalannya waktu menjadi mal adaptif dan mengarah pada hipertensi glomerulus yang kemungkinan dimediasi oleh angiotensin II. Angiotensin II merupakan vasokontriktor yang baik pada arteriol aferen dan eferen namun lebih ampuh dalam mempengaruhi arteriol eferen sehingga akan menyebabkan hilangnya progresif unit nefron struktural, dan akhirnya menyebabkan berkurangnya Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Sehingga akan menyebabkan peningkatan tekanan darah pada glomerulus.

Perkembangan hipertensi intra glomerular umumnya berkorelasi dengan pengembangan hipertensi arteri sistemik.

Penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa tekanan kapiler intraglomerular yang tinggi merusak fungsi selektif dari penghalang

(37)

permeabilitas glomerulus. Rusaknya penghalang permeabilitas glomerulus akan menghasilkan albuminuria dan proteinuria.

Proteinuria yang dihasilkan diperkirakan akan mempercepat hilangnya nefron secara progresif karena kerusakan sel langsung. Protein- protein yang disaring terdiri dari albumin, transferrin, faktor komplemen, imunoglobulin, sitokin, dan angiotensin II, yang memiliki berat molekul beragam.

Sejumlah penelitian telah menunjukkan kehadiran dari protein- protein ini dalam tubulus ginjal dan mengaktifkan sel-sel tubular yang mengarah pada produksi sitokin inflamasi dan vasoaktif yang diregulasi, seperti endotelin, proteinchemoattractant monosit (MCP- 1), dan RANTES (diatur berdasarkan aktivasi, sel T normal ditekan dan disekresikan). Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi komplemen intratubular mungkin menjadi mekanisme utama kerusakan pada nefropati proteinurik progresif. Proteinuria dikaitkan dengan aktivasi komponen komplemen pada apikal membran tubulus proksimal. Kejadian ini akhirnya menyebabkan terbentuk nya jaringan parut interstitium, dan akhirnya menyebabkan berkurangnya LFG (Dipiro et al., 2009).

(38)

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi terjadinya PGK Progression of renal

disease Formation of advanced

glycation end-products Diabetes melitus

glomerullosclerosis

Microaneurysm formation Mesangial expansion

Mesangial injury

Systemic hypertension

Endothelial injury

Microthrombi occluding glomerular capillaries Focal detachment of

epithelial foot

Proteinuria

Glomerular hyaline deposition Epithelial injury Glomerular hypertrhopy

Hyperlipidemia

Increased glomerular blood flow

Increased glomerular capillary pressure Adaptive hemodynamic

changes

Ateriosclerosis Initial pathogenic injury

Glomerular injury

Reduced filtration area

(39)

2.1.4.4 Klasifikasi PGK

Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO) 2012 mengklasifikasikan PGK berdasarkan 3 kategori yaitu LFG, penyebab, dan albuminuria, yang di jelaskan pada tabel di bawa ini (KDIGO, 2012).

Tabel 2.5 GFR categories in CKD

Category GFR (ml/menit/1,73 m2) Terms

G1 >90 Normal or high

G2 60–89 Mildly decreased

G3a 45–59 Mildly to moderately

decreased

G3b 30–44 Moderately to severely

decreased

G4 15-29 Severely decreased

G5 <15 Kidney failure

Tabel 2.6 Classification of CKD based on presence or absence of systemic disease and location within the kidney of pathologicanatomic findings

Examples of systemic diseases affecting the kidney

Examples of primary kidney diseases (absence of systemic diseases affecting the

kidney) Glomerular diseases Diabetes, systemic autoimmune

diseases, systemic infections, drugs, neoplasia (including

amyloidosis)

Diffuse, focal or crescentic proliferative GN; focal and segmental glomerulosclerosis,

membranous nephropathy,minimal change

disease Tubulointerstitial

diseases

Systemic infections, autoimmune, sarcoidosis, drugs, urate, environmental toxins (lead, aristolochic acid), neoplasia

(myeloma)

Urinary-tract infections, stones, obstruction

Vascular diseases Atherosclerosis, hypertension, ischemia, cholesterol emboli, systemic vasculitis, thrombotic microangiopathy,

systemic sclerosis

ANCA-associated renal limited vasculitis, fibromuscular dysplasia

Cystic and congenital diseases

Polycystic kidney disease, Alport syndrome,

Fabry disease

Renal dysplasia, medullary cystic disease, podocytopathies

(40)

Tabel 2.7 Albuminuria categories in CKD

Category AER

(Mg/24 Jam)

ACR (approximate equivalent) (mg/mmol) (mg/g)

Terms

A1 <30 <3 <30 Normal to mildly increased

A2 30-300 3-30 30-300 Moderately increased A3 >300 >300 >300 Severely increased

2.1.4.5 Perhitugan LFG

Perhitungan LFG merupakan cara untuk mengukur kapasitas penyaringan ginjal. Penurunan LFG menjadi indeks terjadinya PGK.

LFG digunakan untuk menilai tingkat fungsi ginjal dan membantu dalam penentuan dosis obat yang dieksresi melalui ginjal. LFG diukur berdasarkan persamaan dengan perhitungan antara konsentrasi kreatinin serum dan beberapa variable seperti usia, jenis kelamin, ras, dan berat badan (KDIGO, 2012).

Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration (CKD-EPI) merupakan persamaan yang paling banyak digunakan dalam memperkirakan LFG pada pasien dewasa (Levey et al., 2009). NKF- KDOQI pada tahun 2009 merekomendasikan persamaan CKD-EPI untuk memperkirakan LFG pada pasien dewasa karena lebih akurat dibanding persamaan MDRD (KDIGO, 2012).

1) Persamaan Modification of Diet in Renal Disease (MDRD)

Persamaan MDRD diperkenalkan oleh Levey et al. Pada tahun 1999. Persamaan ini menggunakan 6 variabel yaitu serum kreatinin, usia, jenis kelamin, ras, Blood urea Nitrogen (BUN) dan kadar albumin. Persamaan ini disebut dengan persamaan MDRD 6- variabel.

(41)

Perhitungan LFG (MDRD 6-variabel):

Persamaan MDRD yang digunakan saat ini adalah MDRD 4-variabel. Persamaan ini hanya menggunakan empat variabel yaitu kreatinin serum, usia, jenis kelamin dan ras. Perhitungan LFG (MDRD 4-variabel) :

Perhitungan LFG (MDRD 4-variabel):

2) Persamaan Chronic Kidney Disease Epidemiology (CKD-EPI) Persamaan CKD-EPI diperkenalkan pada tahun 2009 oleh Chronic Kidney Disease Epidemiology Collaboration. Persamaan ini menggunakan variable kreatinin serum, usia, jenis kelamin dan ras dalam perhitungannya. Persamaan ini lebih akurat dibanding persamaan MDRD sehingga menjadi persamaan yang di rekomendasikan saat ini. Rumus perhitungan LFG berdasarkan CKD-EPI disajikan pada Tabel 2.8 (Levey et al., 2009).

eLFG= 170 x (Scr) -0,999 x (usia) -0,176 x (0,762 jika wanita) x (1,180 jika ras Afrika-Amerika) x (BUN) -0,170 x (alb) +0,318

eLFG= 186 x (Scr) -1,154 x (usia) -0,203 x (0,742 jika wanita) x (1,210 jika ras Afrika-Amerika)

(42)

Tabel 2.8 The CKD-EPI Equation for Estimating GFR on the Natural Scale Race and Sex Serum Creatinine μmol/L

(mg/dL)

Equation Black

Female

Male

≤62 (≤0,7)

>62 (>0,7)

≤80 (≤0,9)

>80 (>0,9)

LFG = 166 x (SCr/0,7)-0,329 x (0,993)usia

LFG = 166 x (SCr/0,7)-1,209 x (0,993)usia

LFG = 163 x (SCr/0,7)-0,411

x (0,993)usia

LFG = 163 x (SCr/0,7)-1,209 x (0,993)usia

White or other Female

Male

≤62 (≤0,7)

>62 (>0,7)

≤80 (≤0,9)

>80 (>0,9)

LFG = 144 x (SCr/0,7)-0,329 x (0,993)usia

LFG = 144 x (SCr/0,7)-1,209 x (0,993)usia

LFG = 141 x (SCr/0,7)-0,411 x (0,993)usia

LFG = 141 x (SCr/0,7)-1,209 x (0,993)usia

2.1.4.6 Penyakit Penyerta 1) Hipertensi

Hipertensi adalah etiologi ESRD kedua yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat. Prevalensi keseluruhan hipertensi di Amerika Serikat ditentukan dengan menggunakan Data NHANES yaitu sebesar 29,3%. Tingkat prevalensi hipertensi di Amerika Serikat tetap stabil antara 1999-2000 dan 2003-2004. Tingkat prevalensi tinggi juga telah dijelaskan pada populasi lain. Dalam Survei Gizi dan Kesehatan Nasional China tahun 2002, sekitar 153 juta atau satu dari enam orang dewasa Cina menderita hipertensi. Mirip dengan diabetes, meningkatnya prevalensi hipertensi juga mencerminkan meningkatnya obesitas dalam populasi (Himmelfard & Sayegh, 2010).

(43)

Hipertensi mendahului perkembangan ESRD dengan risiko yang semakin tinggi pada tekanan darah yang lebih tinggi.Tekanan darah tinggi merusak pembuluh darah di ginjal dan menurunkan kemampuan ginjal untuk bekerja dengan baik. Ketika kekuatan aliran darah tinggi, pembuluh darah meregang sehingga darah mengalir lebih mudah. Peregangan yang timbul akan menyebabkan luka dan melemahkan pembuluh darah ke seluruh tubuh, termasuk pada ginjal.

Pembuluh darah ginjal yang rusak menyebabkan pembungan Zat-zat sisah metabolit dan cairan ekstraseluler dari tubuh berhenti. Cairan ekstraseluler yang tidak di keluarkan akan masuk ke dalam pembuluh darah sehingga akan meningkatkan tekanan darah dan menciptakan siklus yang berbahaya (Dipiro et al., 2009).

2) Diabetes

Diabetes adalah penyebab utama PGK dan ESRD di seluruh dunia. Telah terdapat penelitian yang menunjukan bahwa terjadi peningkatan global dalam prevalensi diabetes selama 2 dekade terakhir, sehingga meningkatkan kekhawatiran tentang peningkatan prevalensi PGK. Nefropati diabetik terjadi pada diabetes melitus tipe I dan tipe II. Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit dimana tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau tidak dapat menghasilkan insulin dalam jumlah normal. Insulin adalah hormon yang mengatur jumlah glukosa di dalam darah (Himmelfard & Sayegh, 2010).

Kenaikan kadar gula darah dapat menyebabkan beberapa masalah di dalam tubuh. Terdapat luka pada pembuluh darah kecil penderita DM yang menyebabkan ginjal tidak dapat membersikan darah dengan baik. Tubuh penderita DM akan menyimpan lebih banyak air dan garam dari pada tubuh orang yang sehat, sehingga dapat menyebabkan penambahan berat badan dan menyebabkan pembengkakan pada pergelangan kaki. Protein mungkin dijumpai pada urin dan terdapat zat sisah metabolit pada darah. Penyakit DM juga menyebabkan kerusakan syaraf yang menyebabkan tubuh

(44)

kesulitan dalam mengosongkan kandung kemih. Kandung kemih yang penuh akan menekan dan melukai ginjal. Pertumbuhan bakteri yang cepat pada urin dengan kadar gula tinggi terjadi bila urin berada dalam kandung kemih terlalu lama (Dipiro et al., 2009).

3) Glomerulonefritis

Glomerulonefritis adalah penyebab ESRD ketiga di dunia yang paling umum. Diagnosis glomerulonefritis di peroleh dari pemeriksaan biopsi ginjal, glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral, yang mana peradangan dimulai dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria atau hematuria (Himmelfard & Sayegh, 2010).

Lesi ditemukan terutama pada glomerulus, namun seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi PGK. Glomerulonefritis dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu glomerulonefritis akut dan glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis akut disebabkan infeksi seperti infeksi pada tenggorokan, lupus dan sindrom wegner. Penyebab glomerulonefritis kronik tidak diketahui.

Penyakitnya muncul secara diam-diam tanpa gejala selama bertahun- tahun (Dipiro et al., 2009).

4) Anemia

Ginjal bertanggung jawab untuk mensekresi 90% dari eritropoietin hormone endogen, dan menggantikan fungsi ginjal yang dapat menyebabkan penurunan konsentrasi serum. Konsekuensi dari berkurang nya erythropoietin adalah terjadinya anemia. Eritropoietin merupakan hormon yang diproduksi oleh ginjal. Berkurangnya produksi eritropoietin mengakibatkan rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang menurun, sehingga produksi sel darah merah berkurang. Penyebab lain anemia pada PGK adalah kekurangan zat besi, vitamin B12, dan asam folat (Dipiro et al., 2009).

(45)

2.1.5 Terapi PGK

2.1.5.1 Terapi non Farmakologi

Diet rendah protein dapat membantuh mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Berbagai efek proteinuria yang merusak pada ginjal telah ditemukan, termasuk kerusakan pada penghalang filtrasi, dan peningkatan pengiriman zat besi, komplemen, dan lipid ke tubulus.

Pasien dengan sindrom nefrotik kemungkinan berisiko tinggi untuk mengalami kerusakan ginjal terkait protein karena kandungan protein yang lebih tinggi dalam urin yang disaring secara sekunder akibat kerusakan struktural glomerulus.

Pedoman KDOQI/ National Kidney Foundation untuk nutrisi pada pasien dengan PGK merekomendasikan diet asupan protein sebesar 0,6 g/kg/hari untuk pasien dengan LFG <25 mL/menit.

Pengambilan asupan protein hingga 0,75 g/kg per hari disarankan untuk pasien yang tidak dapat mencapai atau mempertahankan status gizi yang memadai dengan diet rendah protein (0,6g/kg/hari). Berhenti merokok dapat memperlambat progresi PGK dan mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Melakukan olahraga ringan selama 30 menit sebanyak 5 kali seminggu dapat menormalkan indeks massa tubuh menjadi 20-25 kg/m2 (Dipiro et al., 2009).

2.1.5.2 Terapi Farmakologi 1) Terapi intensif insulin

Terapi intensif insulin didefinisikan sebagai penggunaan insulin tiga kali atau lebih setiap hari dengan injeksi atau dengan pompa eksternal untuk mencapai nilai glukosa darah sebelum dan sesudah makan masing-masing 70 hingga 120mg/dL dan <180mg/dL.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang melakukan penelitian dengan menggunakan terapi insulin intensive menemukan bahwa terapi intesive insulin dapat mengurangi kejadian mikro albuminuria dan albuminuria dibandingkam dengan terapi standar pada pencegahan

Gambar

Gambar 2.1 Skema Patofisiologi terjadinya PGK  Progression of renal disease Formation of advanced glycation end-products  Diabetes melitus glomerullosclerosis  Microaneurysm formation  Mesangial expansion Mesangial injury  Systemic hypertension Endothelial
Tabel 2.5 GFR categories in CKD
Tabel 2.7 Albuminuria categories in CKD Category  AER   (Mg/24 Jam)  ACR (approximate equivalent)  (mg/mmol)     (mg/g)  Terms  A1  &lt;30  &lt;3                     &lt;30  Normal to mildly  increased  A2  30-300  3-30                 30-300   Moderately
Tabel 2.8  The CKD-EPI Equation for Estimating GFR on the Natural Scale Race and Sex  Serum Creatinine  μmol/L
+7

Referensi

Dokumen terkait

 Mampu menulis larik-larik puisi tentang peristiwa yang pernah dialami dengan pilihan kata yang tepat dan rima yang menarik  Mampu menyunting puisi yang.

Hal ini mengindikasikan bahwa kelima variabel tersebut tidak termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang literate (paham dan mampu) dalam mengelola keuangan bagi

Hasil elusi juga menunjukkan bahwa tiga dari empat spot fraksi etil asetat ekstrak bakau tunggal memiliki nilai Rf yang kecil, sehingga dapat pula dikatakan bahwa sebagian

[r]

Oleh karena itu dilakukan penelitian pemeliharaan kakap putih dengan menggunakan teknik pemeliharaan media air hijau, wadah gelap dan transparan terhadap kelangsungan hidup

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kenaikan dan penurunan pendapatan Pemerintah Daerah di Pulau Sulawesi berdasarkan analisis rasio ketergantungan keuangan

Tanaman tomat yang dibantu penyerbukannya oleh lebah terjadi peningkatan ukuran buah dan jumlah biji per buah dibandingkan dengan penyerbukan sendiri atau tanpa bantuan

Di selatan Semarang terdapat sesar naik ( thrust fault ). Sesar ini dipotong oleh sesar mendatar yang berarah barat laut- tenggara atau timur laut - barat daya, diantaranya sesar