BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Pasien
4.1.3 Lama Perawatan Atau Length Of Stay (LOS)
Pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes menjalani rawat inap dengan waktu yang bervariasi. Sebanyak 60 pasien (71,4%) menjalani rawat inap selama 1-5 hari, 15 pasien (17,9%) menjalani rawat inap selam 6-10 hari, dan sebanyak 5 pasien (6,0%) menjalani rawat inap selama 11-15 hari.
Jangka waktu rawat inap pasien terlama adalah selama 1bulan (>20 hari), namun kebanyakan subjek penelitian menjalani perawatan selama 1-5 hari.
Seperti yang terlihat pada gambar 4.3 dibawah ini.
Gambar 4.3 Lama Rawat Inap Pasien PGK 71,4
17,9
6 3,6 1,2
1-5 hari 6-10 hari 11-15 hari 16-20 hari 1 bulan (>20 ) Persentase Lama Rawat Inap Pasien PGK
PERSENTASE (%)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fina et al., 2011 di RSUD Dr.
Moewardi menunjukan persentase pasien PGK dengan lama perawatan < 7 hari lebih tinggi yaitu sebesar (59,15%) dibandingkan pasien dengan lama rawat inap > 7 hari yaitu sebesar (40,85%). Rata-rata pasien di RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes hanya menerima perawatan selama 1-5 hari. Hal ini berkaitan dengan alasan pasien meninggalkan rumah sakit yaitu sebanyak 45 (53,6%) pasien dinyatakan pulang dalam kondisi membaik.
Pasien PGK di RSUD Prof. Dr.W.Z. Johannes juga memiliki lama perawatan hingga lebih dari 10 hari yang dapat disebabkan karena pasien PGK menderita komplikasi lain seperti anemia sehingga pasien memerlukan perawatan intensif dan memakan waktu lebih lama.
Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan hampir semua pasien penyakit ginjal tahap akhir mengalami anemia. Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari PGK. Rendahnya hemoglobin pada saat masuk rumah sakit diprediksi akan berpengaruh pada tingginya lama perawatan pasien dan anemia pada pasien PGK juga dapat meningkatkan risiko masuk rumah sakit kembali (Mcdougal et al., 2008). Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu sebesar 53 (27%) pasien memiliki penyakit penyerta anemia disamping itu adanya interaksi obat dapat mempengaruhi tujuan terapi yang diinginkan pada pasien sehingga akan memperlama waktu rawat inap pasien di rumah sakit (Cipolle et al., 2012).
Dalam penelitia ini diperoleh data status pasien PGK saat meninggalkan rumah sakit seperti yang ditunjukan pada gambar 4.4
Gambar 4.4 Status Pasien PGK Saat Meninggalkan Rumah Sakit
4.1.4 Diagnosa Pasien
Diagnosa yang ditemukan didalam penelitian ini tidak hanya PGK saja tetapi disertai dengan diagnosa penyakit penyerta. Kebanyakan pasien dalam penelitian ini memiliki 2 penyakit penyerta atau lebih. Pasien dengan 1-4 penyakit penyerta sebesar 64 pasien (76,2%), pasien dengan penyakit penyerta sebanyak 5-8 penyakit sebesar 16 pasien (19,0%) ada juga pasien PGK tanpa keterangan penyakit penyerta yaitu pasien PGK yang diagnosa penyakit penyertanya tidak ditemukan pada catatan rekam medik sebesar 4 pasien (4,8%) seperti yang tercantum pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.5 Penyakit Penyerta Pasien PGK 17,9
53,6
1,2
27,4
sembuh diijinkan pulang
membaik diijinkan pulang
meninggal dunia tanpa keterangan Status Pasien PGK Saat Meninggalkan Rumah Sakit
PERSENTASE (%)
4,8
76,2
19
PGK Tanpa keterangan Penyakit
1-4 penyakit penyerta 5-8 Penyakit penyerta Persentase Penyakit Penyerta Pada Pasien PGK
Persentase (%)
Penyakit penyerta yang paling banyak di derita oleh pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes adalah anemia sebesar (27%), hipertensi sebesar (23%) dan dyspnea sebesar 7% seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Diagnosis Yang Menyertai Pasien PGK
Diagnosis Jumlah Persentase (%)
Hipertensi 46 23
Hidronefrosis Bilateral 1 1
Hepatitis Kronis 2 1
Decompensatio Cordis 1 1
Ca Cervix 1 1
Asites 2 1
Hhf 1 1
Penyakit Jantung Koroner 1 1
Herpes Zooster 1 1
Diare 1 1
Diabetes Miletus 4 2
Sindrom Uremia 1 1
Infeksi Saluran Kemih 1 1
Abdominan Discomfort 1 1
General Weakness 1 1
Anemia merupakan penyakit penyerta yang paling banyak diderita oleh pasien PGK dalam penelitian ini yaitu sebesar 53 orang pasien (27%).
Pasien PGK dapat mengalami anemia dikarenakan adanya pengurangan massa nefron sehingga ginjal tidak mampu memproduksi erytropoetin yaitu suatu hormon endogen yang berperan dalam pembentukan sel darah merah (Dipiro et al., 2009). Erytropoetin merupakan hormon yang berfungsi merangsang produksi sel darah merah dimana 90% erytropoetin dihasilkan oleh sel-sel progenitor ginjal yang apabila tubuh kehilangan hormon ini dalam jumlah yang banyak maka akan menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi sel darah merah sehingga dapat menyebabkan terjadinya anemia. Penatalaksanaan terapi untuk anemia adalah dengan pemberian suplemen besi, asam folat, maupun transfusi darah (Levey., 2002).
Penyakit penyerta kedua yang paling banyak diderita oleh pasien PGK dalam penelitian ini yaitu hipertensi sebanyak 46 pasien (23%).
Hipertensi merupakan faktor inisiasi atau suatu faktor penyebab terjadinya PGK di seluruh dunia menurut data Indonesian renal registry (2017).
Hipertensi menempati posisi pertama etiologi penyebab PGK sebesar 36%.
Hipertensi dapat menyebabkan hipertrofi yang mengarah pada pengembangan hipertensi intraglomerular, keadaan ini dapat dimediasi oleh angiotensin II yang menyebabkan peningkatan tekanan darah dalam kapiler glomerulus dan secara langsung meningkatkan fraksi filtrasi sehingga akan merusak ukuran pada permeabilitas barier glomerulus. Selain itu hipertensi dapat pula terjadi sebagai kompilkasi PGK karena kondisi PGK juga memberikan pengaruh terhadap adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan adanya retensi natrium yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan volume darah intravaskular dan menyebabkan peningkatan tekanan darah (Dipiro et al., 2009).
Penyakit penyerta ketiga yang paling banyak diderita oleh pasien PGK dalam penelitian ini yaitu dyspnea sebanyak 14 orang pasien (7%).
Menurut Parshal et al., (2012) dyspnea biasa dikenal dengan sesak napas
atau ketidak nyamanan saat bernapas dan juga sesak dada (merasa tidak cukup udara untuk dihirup). Dyspnea merupakan gejala yang paling sering terjadi pada pasien PGK. Sebuah studi observasional telah mengungkapkan bahwa prevalensi dyspnea pada pasien penyakit ginjal kronik tahap akhir sebesar 60%. Salerno et al., (2016) mengemukakan bahwa dypsnea pada pasien PGK disebabkan oleh berbagai faktor seperti kongesti paru akibat berkurangnya tekanan onkolitik paru-paru yang dipicu oleh hipoalbuminemia dan uremia, hipertensi paru yang terjadi akibat rusak nya pembulu darah paru-paru dan disfungsi sel endotel akibat microembolism udara terkait hemodialisa, dan anemia yang memicu kekurangan oksigen dalam darah dan akan menyebabkan penurunan tekanan parsial vena, berkurangnya tekanan parsial vena akan menyebabkan terbuka nya pirau arteri-vena pada paru-paru sehingga menurunkan suplai oksigen pada arteri yang kemudian akan merangsang kemoreseptor karotis. Rangsangan ini akan mengirimkan sinyal ke batang otak sehingga akan muncul sensasi sesak napas yang kemudian dikenal dengan dyspnea.
4.2 Pola Penggunaan Obat 4.2.1 Jenis Obat
Jenis obat dalam penelitian ini adalah golongan obat yang diberikan pada pasien PGK untuk mengatasi penyakit penyerta maupun komplikasi yang mana dalam penelitian ini terdapat 18 jenis obat seperti yang tertera pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Distribusi Jenis Obat Yang Diberikan Pada Pasien PGK
Jenis Obat Jumlah Persentase (%)
Kardiovaskuler Dan
Analgesik Anti Inflamasi 21 4
Anti Hemolitik 3 1
Obat Saluran Pernapasan 10 2
Anti Diabetes 5 1
Sebagaimana telah dipaparkan oleh Dipiro et al (2009) bahwa terapi farmakologis PGK berfokus pada pengobatan penyakit penyerta yang diderita oleh pasien PGK atau dengan kata lain penyakit PGK tidak memiliki lini terapi khusus. Penyakit-penyakit tersebut timbul akibat adanya manifestasi klinis dari PGK. Obat-obatan kardiovaskuler dan antihipertensi merupakan obat yang paling sering digunakan pada pasien PGK dengan persentase sebesar 44%. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa hipertensi dapat bertindak sebagai faktor resiko penyebab terjadinya PGK
dan dapat pula bertindak sebagai keadaan yang timbul karena adanya PGK.
Kondisi PGK memberikan pengaruh terhadap adanya peningkatan tekanan darah yang disebabkan oleh retensi natrium sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan volume darah intravaskular, kondisi inilah yang menyebabkan peningkatan tekanan darah. Pemberian obat-obatan ini bertujuan untuk mengontrol tekanan darah pasien PGK (Dipiro et al., 2009).
Obat-obatan kardiovaskular yang paling sering diberikan adalah Calcium Channel Blocker (26%), diuretik (19%) dan Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (15%) seperti ditunjukan pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.6 Distribusi Obat-Obatan Kardiovaskuler Dan Antihipertensi Pada Pasien PGK
Keterangan: ARB: Angiotensin Reseptor Blocker, NO=Nitrit oxide, HRI= HMGCO A Reduktase Inhibior, BB=Beta Blocker, ACEI=Angiotensin-Converting -Enzyme Inhibitor, CCB=Calcium Channel Blocker, AHKS=Antihipertensi Kerja Sentral
Suplemen menempati urutan kedua pada penggunaan obat dalam penelitian ini yang terdiri dari asam folat sebesar 38% (diberikan kepada 55 pasien) pemberian pemberian asam folat pada pasien anemia dengan PGK dapat dikombinasi juga dengan pemberian Pocket Red Cell, preparat besi, serta multi vitamin, dengan disesuaikan pada kondisi anemia yang diderita pasien. Kondisi anemia pada pasien PGK harus segera diatasi karena penurunan suplai oksigen ke jaringan akan menyebabkan hipertensi dan left ventricular hipertrofi yang merupakan salah satu penyebab kematian pada pasien PGK. Anemia juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran hal ini dikarenakan hemoglobin yang berfungsi untuk membawa
9% 9%
Distribusi Obat-obatan Kardiovaskuler Dan Antihipertensi Pada Pasien PGK
PERSENTASE
oksigen kejaringan jumlanya menurun sehingga menyebabkan suplai oksigen keotak ikut berkurang dan menyebabkan penurunan kesadaran pasien (Hidayat et al., 2010).
Suplemen selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah suplemen kalsium yang diberikan pada 54 pasien (40%). Tujuan pemberian kalsium adalah untuk mengatasi kondisi hiperfosfatemia yang timbul akibat defisiensi kalsium pada pasien PGK. Keseimbangan antara fosfat dan kalsium didalam tubuh dimediasi oleh hormon paratyroid, pada pasien dengan PGK akan terjadi ketidak mampuan ginjal dalam mengeliminasi fosfat sehingga akan menyebabkan hiperfosfatemia yang kemudian menyebabkan penurunana konsentrasi kalsium dalam tubuh secara timbal balik, berkurang nya hormon paratyroid akan menyebabkan stimulasi hormon paratyroid oleh kelenjar paratyroid, hormon paratyroid kemudian akan berupaya untuk menormalkan kalsium dengan cara meningkatkan mobilisasi kalsium pada tulang sehingga akan menyebabkan terjadinya gangguan tulang dan mineral pada pasien PGK. Kalsium asetat dan kalsium karbonat termasuk dalam golongan fosfat binding agent yang bekerja dengan cara mengikat fosfor dari makanan dalam saluran cernah sehingga membentuk kompleks almunium-magnesium atau magnesium fosfat yang bersifat tidak larut sehingga tidak dapat diserap dan akan dikeluarkan melalui feses (Dipiro et al., 2009). Distribusi suplemen yang diberikan pada pasien PGK ditunjukan pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.7 Distribusi Suplemen Pada Pasien PGK
Obat gastrointestinal atau saluran cerna menempati urutan ketiga sebagai obat terbanyak yang diberikan kepada pasien PGK di RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes yaitu di berikan kepada 69 pasien (12%) obat saluran cernah yang sering digunakan adalah obat-obatan untuk mengatasi mual-muntah pada pasien PGK. Manifestasi klinis pada pasien PGK salah satunya adalah asidosis metabolik asidosis metabolik memiliki salah satu tanda yaitu mual muntah. Obat-obatan saluran cernah yang diberikan berperan dalam mengatasi mual muntah dengan menghambat produksi asam lambung yang berlebih.
Gambar 4.8 distribusi obat-obatan saluran cerna pada pasien PGK
Keterangan: PPI=pompa proton inhibitor, PML=Pelindung Mukosa Lambung, NABIK=Natrium bikarbonat
40%
4%
41%
1% 4% 10%
Distribusi Suplemen Pada Pasien PGK
PERSENTASE
40%
13%
26%
9% 9%
1% 1%
Distribusi Obat-obatan Saluran Cerna Pada Pasien PGK
PERSENTASE
4.2.2 Jumlah Obat
Jumlah Obat dalam penelitian ini didefinisikan sebagai total seluruh jenis obat yang diresepkan pada pasien PGK selama menjalani rawat inap baik itu obat untuk mengatasi penyakit penyerta maupun untuk mengatasi komplikasi. Pasien PGK selama menjalani rawat inap dalam penelitian ini paling sedikit menerima 1-3 jenis obat sementara jumlah obat yang paling banyak diterima oleh pasien PGK yaitu 7 jenis obat, adapun obat yang diterima oleh pasien PGK meliputi rute intravena, oral, subkutan, topikal dan rektal. Jumlah jenis obat yang diterima pasien PGK selama rawat inap dapat dilihat pada gambar 4.9 dibawah ini
Gambar 4.9 Jumlah Jenis Obat Yang Diberikan Pada Pasien PGK
Dengan rata-rata jumlah obat yang dikonsumsi pasien selama rawat inap adalah 3 pasien (4,8%) menerima 16-20 obat, 22 pasien (22,6%) menerima 9-12 obat, 47 pasien (57,1%) menerima 5-8 obat serta sebanyak 12 pasien (14,3%) menerima 1-4 obat. Seperti terlihat pada gambar 4.10 dibawah ini.
67,9%
31,0%
1,2%
1-3 jenis obat 4-6 jenis obat 7 jenis obat Jumlah Jenis Obat Yang DI Berikan Pada Pasien PGK
PERSENTASE
Gambar 4.10 Jumlah Obat Yang Di Konsumsi Pasien PGK Selama Rawat Inap
Jumlah obat yang dikonsumsi oleh pasien PGK di RSUD Prof. Dr.
W. Z. Johannes sangat beragam dan hal tersebut dipengaruhi oleh penyakit lain yang diderita oleh pasien PGK. Selain itu terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pemberian obat pada pasien di antaranya yaitu pertimbangan manfaat dan resiko, penggunaan obat yang paling dikenal dan teruji secara klinis, penyesuaian obat dengan kebutuhan individu, penyesuaian dosis obat secara individual dan pemilihan cara pemberian obat yang paling aman (Junaidi, 2012). Dengan begitu meskipun pasien memiliki kesamaan jumlah dan jenis penyakit penyerta dapat menerima terapi yang berbeda. Karena dalam sebuah terapi kondisi individu pasien menjadi pertimbangan dalam pemilihan obat.
4.3 Analisis Potensi Interaksi Obat
Analisis interaksi obat dilakukan dengan penelusuran pada bank data Drugs.com yang mana data interaksi obat potensial pada pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes akan dikelompokan berdasarkan tingkat keparahannya yaitu minor, sedang/moderate dan mayor. Potensi interaksi obat yang ditemukan pada pengobatan pasien dengan PGK di RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes sebanyak 72 pasien (85,7%), sementara pada 12 pasien (14,3%) tidak ditemukan adanya kejadian interaksi obat. (Dapat dilihat pada lampiran), berikut adalah gambaran mengenai pasien yang memiliki interaksi obat.
14,3
57,1
22,6
4,8 1,2
1-4 OBAT 5-8 OBAT 9-12 OBAT 16-20 OBAT 25 OBAT Jumlah Obat Yang Di Konsumsi Pasien PGK Selama Rawat Inap
PERSENTASE
Gambar 4.11 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien PGK
Sebanyak 40 pasien (55,6%) dalam penelitian ini mengalami 1-3 interaksi obat, 13 pasien (18,06%) mengalami 4-6 interaksi obat, 8 pasien (11,11%) mengalami 7-9 interaksi obat, 6 pasien (8,33%) mengalami 10-12 interaksi obat, 1 pasien (1,39%) mengalami 13 interaksi obat serta 4 pasien (5,56%) mengalami >16 kejadian interaksi obat seperti tertera pada gambar 4.13 dibawa ini.
Gambar 4.12 Distribusi Interaksi Obat Pada Pasien PGK
Sebagai mana telah disebutkan pada penelitian Schmidt et al., (2019) bahwa rata-rata obat yang dikonsumsi oleh pasien PGK lebih dari 5 obat atau disebut dengan polifarmasi begitu pula dengan yang di kemukakan oleh Olumuyiwa et al,. (2018) bahwa prevalensi polifarmasi tinggi pada pasien
85,7%
14,3%
terjadi interaksi obat tidak terjadi interaksi obat Gambaran Kejadian Interaksi Obat Pada Pasien PGK
PERSENTASE
55,56%
18,06%
11,11% 8,33%
1,39% 5,56%
Distribusi Interaksi Obat Pada Pasien PGK
PGK sebesar 85,37% dan prevalensi kejadian interaksi obat sebesar 70,54%.
Temuan ini semakin memperkuat bahwa semakin banyak obat yang dikonsumsi maka semakin besar pula potensi terjadinya interaksi obat dalam terapi yang diterima pasien. namun dalam penelitian ini tidak ditemukan korelasi linear antara banyak nya obat yang diresepkan dan potensi interaksi obat yang ditemukan pada terapi pasien hal ini dapat dilihat pada tabel berikut (sisanya dapat dilihat pada lampiran1).
Tabel 4.3 Jumlah Pemberian Obat Dengan Potensi Interaksi Obat Nama pasien Jumlah pemberian obat Jumlah potensi interaksi
obat
Ny 21 9 3
Ny 99 7 3
NY 215 8 3
Ny 219 7 5
Tn 57 5 4
Interaksi obat yang terjadi pada pasien kemudian dikelompokan berdasarkan tingkat keparahannya dan diperoleh interaksi minor sebesar (26%), interaksi sedang/moderate sebesar (68%), dan interaksi mayor sebesar (5%) seperti pada gambar 4.14 dibawa ini.
Gambar 4.13 Distribusi Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahannya Pada Pasien PGK
26%
5%
68%
minor mayor moderate
Distribusi Interaksi Obat Berdasarkan Tingkat Keparahannya Pada Pasien PGK
PERSENTASE
Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan bahwa interaksi obat terbanyak adalah interaksi obat dengan tingkat keparahan sedang/moderate sebesar 68% interaksi obat sedang/moderate adalah interaksi obat yang membutuhkan pengaturan dosis atau pemantauan dari praktisi kesehatan terhadap pasien. Interaksi obat terbanyak kedua selanjutnya adalah interaksi obat minor sebesar 26% interaksi obat minor yaitu interaksi obat yang mungkin mengganggu atau tidak disadari (interaksi obat diduga terjadi) tetapi tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap efek obat yang di inginkan interaksi minor biasanya memiliki mekanisme yang masih belum dipahami sehingga masih harus dilakukan penelitian lebih mendalam untuk mengetahui mekanismenya (Tatro., 2009). Interaksi mayor menduduki posisi ketiga dengan persentase sebesar 5% dengan pasangan obat yang berinteraksi yaitu sebanyak 21 pasang obat. Interaksi dengan tingkat keparahan mayor merupakan interaksi yang diutamakan untuk dicegah karena memiliki efek potensial yang membahayakan jiwa atau menyebabkan kerusakan permanen (Tatro., 2009). Dalam penelitian ini juga ditemukan obat-obatan yang paling sering berinteraksi yaitu interaksi antara obat-obatan kardiovaskuler dengan sesama obat-obatan kardiovaskuler sebesar 30% , obat kardiovaskuler dengan suplemen sebesar 20%, dan obat-obatan saluran cerna dengan obat-obatan kardiovaskuler sebesar 15% seperti pada gambar dibawah ini
Gambar 4.14 Jenis Obat Yang Paling Sering Berinteraksi Pada Pasien PGK
Keterangan: OSC=Obat saluran cerna, CV DAN HT= Cardiovaskuler dan hipertensi, AAI=Analgesik-anti inflamasi, OSN= Obat saluran napas.
Interaksi yang paling sering terjadi dalam penelitian ini yaitu antara sesama obat cardiovaskuler yang berjumlah 24 pasang obat yang berinteraksi (dapat dilihat pada lampiran 4), interaksi selanjutnya yang paling sering terjadi dalam penelitian ini yaitu antara obat kardiovaskuler dengan suplemen dengan total 10 pasang obat yang berinteraksi (dapat dilihat pada lampiran 5) dan Interaksi antara obat cardiovaskuler dengan obat-obatan saluran cerna dengan total 6 pasang obat yang berinteraksi (dapat dilihat dalam lampiran 6)
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Olumuyiwa et al., (2017), yang mana potensi interaksi obat pada pasien PGK dengan tingkat keparahan sedang/moderate merupakan interaksi terbanyak dengan persentase sebesar 62,7% , interaksi minor menempati urutan kedua sebesar 34,5% dan interaksi mayor sebesar 2,7%, temuan dalam penelitian ini juga menunjukan bahwa interaksi obat dengan tingkat keparahan mayor dapat mengancam jiwa. Berdasarkan analisis dari
15%
20%
30%
4% 6%
5%
1%
6% 4% 3% 3% 2%
Jenis Obat Yang Paling Sering Berinteraksi Pada Pasien PGK
efek-efek yang dihasilkan oleh obat-obatan yang berinteraksi efek-efek yang berpengaruh pada kondisi pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes yaitu pengurangan efek farmakologi obat-obatan anti hipertensi oleh suplemen kalsium, hal ini dapat terlihat dari data klinis berupa tekanan darah pasien yang rata-rata tidak mencapai target terapi (hipertensi resisten) pasien PGK dengan kondisi hipertensi yaitu <140/90 mmHg (Bell et al., 2015).
Berdasarkan pemaparan ini maka masih banyak pasien di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes yang berpotensi menglami interaksi obat. Oleh karena itu diperlukan perhatian khusus terhadap penggunaan obat-obatan pada pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes apoteker perlu melakukan penilaian interaksi obat sebagai langkah penting dalam melakukan pemantauan terapi obat sebab salah satu faktor penting keberhasilan terapi adalah dengan memantau terapi yang efektif dan tidak menimbulkan Drug Related Problem (DRP). Hal ini diharapkan dapat menimbulkan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan terhadap pasien serta mencapai hasil terapi yang optimal, farmasis juga bertanggung jawab dalam pemilihan terapi yang optimal serta meminimalisir kejadian yang berhubungan dengan DRP (Cipoole et al., 2012).
72 BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis DRP interaksi obat potensial pada pasien PGK di instalasi rawat inap RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes dapat disimpulkan bahwa:
1. Pasien PGK yang memiliki komorbid akan menerima terapi lebih dari lima obat, dengan jumlah obat terbanyak yang dikonsumsi pasien dalam penelitian ini yaitu 5-8 obat (57,1%) dengan obat terbanyak yang diberikan kepada pasien adalah obat-obatan kardiovaskuler dan antihipertensi sebesar (44%), suplemen sebesar (24%), obat-obatan gastrointestinal sebesar (14%), antibiotik sebesar (5%) dan analgesik anti inflamasi sebesar (4%).
2 sebanyak 72 pasien PGK (85,7%) di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes memiliki potensi interaksi obat dengan jumlah interaksi obat terbanyak yaitu 1-3 interaksi obat yang terjadi pada 40 pasien (55,6%), obat yang berinteraksi dengan tingkat keparahan sedang/moderate sebesar (68%), tingkat keparahan minor sebesar (26%) dan tingkat keparahan mayor sebesar (5%) dengan kejadian interaksi obat yang diduga telah terjadi pada pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes adalah antara obat-obatan kardiovaskuler dan antihipertensi dengan suplemen kalsium berupa pengurangan efek farmakologi amlodipine oleh suplemen kalsium hal ini dapat terlihat dari data klinis berupa tekanan darah pasien yang rata-rata tidak mencapai target terapi (hipertensi resisten) pasien PGK dengan kondisi hipertensi yaitu <140/90 mmHg
5.2 Saran
Penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode prospektif agar dapat melihat secara langsung perkembangan terapi pasien dan monitoring efek samping obat. penelitian ini dapat dijadikan gambaran profil dan terapi yang diberikan kepada pasien PGK untuk selanjutnya dapat dijadikan sebagai referensi pada penelitian terkait interaksi obat pada pasien PGK.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed BS & Ramehs S. Sex hormones in women with kidney disease. 2016.
Nephrol Dial Transplant (2016) 31: 1787–1795
Ahmed BS. Menopause And Chronic Kidney Disease. Seminars Innephrology, 2017 Vol 37 No 4 July 2017 Pp 404–411
Arora P, Vasa P, Brenner D, et al. Prevalence Estimates of Chronic Kidney Disease in Canada: results of a nationally representative survey, CMAJ, 2013; 185(9):E417-23.
Baxter K. Stockley’s Drug Interactions. Eighth edition. London: Pharmaceutical Press.2010.
Bell K, Twings J, Ollin RB. Hypertension : The Silent Killer. Alabama Pharmacy Association. 2015.
Cavanaugh LK. Diabetes Management issue for Patients with Chronic Kidney Disease.Clinical Diabetes. 2007;25(3):90-97.
Cipolle JR, Strand ML, Morley CP. Pharmaceutical Care Practice: The patient Centered Approach to Medication Management Services. USA:
MCGraw Hill. 2012.
Dharma, PS. Penyakit Ginjal Deteksi Dini dan Pencegahan. Yogyakarta: CV Solusi Distribusi. 2014.
Dipiro TJ, Talbert LR, Yee CG. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach.
Edisi VII. USA : Mc-Graw Hills Companies. 2009.
Fina S et al., Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan Menjalani Hemodialisa pada Penderita Gagal Ginjal Kronik di RSUD Dr.
Moewardi Surakarta.2011
Fraenkel RJ, Wallen EN, Hyun HH. How to evaluate Research in education eight edition.USA : Mc-Graw Hills Companies. 2011.
Fraenkel RJ, Wallen EN, Hyun HH. How to evaluate Research in education eight edition.USA : Mc-Graw Hills Companies. 2011.