BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.7 Farmasis dan Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit
Seorang farmasis memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien (Patient Oriented). Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu pelayanan ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan kefarmasian (Pharmaceutical care). Praktek Pharmaceutical care merupakan suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Suhartono, 2015).
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan farmasis kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety) sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin (Kemenkes, 2016). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan meliputi.
a. Pengkajian dan pelayanan resep
Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis Resep. Farmasis harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan (Kemenkes, 2016).
b. Penelusuran riwayat penggunaan Obat
Penelusuran riwayat penggunaan Obat merupakan proses untuk mendapatkan informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan Obat pasien (Kemenkes, 2016).
c. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error) seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah Sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya (Kemenkes, 2016).
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh Farmasis kepada dokter, Farmasis, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit (Kemenkes, 2016).
e. Konseling
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat dari Farmasis (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif Farmasis, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya.
Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap Farmasis. Pemberian konseling Obat bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan cost-effectiveness yang pada akhirnya meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety) (Kemenkes, 2016).
f. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Farmasis secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya. Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas permintaan pasien maupun sesuai dengan program Rumah Sakit yang biasa disebut dengan Pelayanan Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care). Sebelum melakukan kegiatan visite Farmasis harus mempersiapkan diri dengan
mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi Obat dari rekam medik atau sumber lain (Kemenkes, 2016).
g. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien (Kemenkes, 2016).
h. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan kerja farmakologi (Kemenkes, 2016).
i. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan Obat yang dilakukan oleh farmasis secara terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif (Kemenkes, 2016).
j. Dispensing sediaan steril
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat (Kemenkes, 2016).
k. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Farmasis kepada dokter (Kemenkes, 2016).
Setiap Rumah Sakit dipersyaratkan mengadakan dan memelihara Rekam Medis yang memadai dari setip penderita baik pada penderita rawat inap maupun penderita rawat jalan. Rekam Medis merupakan kumpulan informasi tertulis yang memeuat mengenai kesehatan dan perawatan pasien. Rekam Medis harus didokumentasikan secara akurat, segera tersedia dan dapat digunakan, mudah ditelusuri kembali dan lengkap informasi (Siregar & Lia, 2015). Rekam Medis pada dasarnya digunakan untuk perawatan pasien pada saat ini maupun di masa mendatang selain itu, Rekam Medis digunakan dalam manajemen dan perencanaan fasilitas dan layanan perawatan kesehatan, untuk penelitian medis dan sebagai informasi berupa data statistik tentang Rumah Sakit (Lauster & Sirvastava, 2014).
Menurut Permenkes nomor 269 tahun 2008 Rekam Medis merupakan berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien (Kemenkes, 2008). Rekam Medis dapat dibedah menjadi lima komponen utama, termasuk riwayat medis (sering dikenal sebagai riwayat dan catatan fisik pasien), hasil tes laboratorium dan diagnostik, daftar masalah, catatan klinis, dan catatan pengobatan. Tabel 2.11 merupakan item untuk tiap komponen Rekam Medis (Lauster & Sirvastava, 2014).
Tabel 2.11 Components of a Patient’s Medical Record Medical history (also known as history
and physical, or H&P)
• Patient demographics
• Chief complaint (CC)
• History of present illness (HPI)
• Past medical history (PMH)
• Family history (FH)
• Social history (SH)
•Allergies
• Medication history
• Review of systems (ROS)
• Physical examination (PE) Laboratory test results
Diagnostic test results Problem list
Clinical notes • Progress notes
• Consultation notes
• Off-service notes/transfer notes•
• Discharge summary
Treatment notes • Medication orders
• Surgical procedure documentation
• Radiation treatments
• Notes from ancillary practitioners
2.2 Landasan Teori
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan yang telah dijabarkan dapat kita ketahui bahwa DRP Interaksi obat secara potensial dapat terjadi pada pasien PGK. Hal ini dapat dibuktikan melalui penelitian Joel et al., Olumuyiwa et al.,dan Pasangka et.al. disamping itu dalam teori yang di paparkan oleh Dipiro et al. Dapat kita ketahui bahwa PGK merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah penyakit pemicu (faktor inisiasi) sehingga terapi utama PGK adalah untuk mengobati penyakit pemicu, disamping itu juga harus mengobati efek lain yang ditimbulkan oleh rusaknya ginjal didalam tubuh (komplikasi), sehingga hal ini akan menyebabkan pasien mengkonsumsi obat dalam jumlah yang banyak tentu saja hal tersebut akan memperbesar peluang terjadinya DRP interaksi obat. Berikut adalah kerangka Teori yang dirangkum dari beberapa pustaka dalam proposal ini.
KETERANGAN :
= diteliti = tidak diteliti
Gambar 2.5 Kerangka Teori Penelitian
Mendukung
Mengurangi Morbiditas dan Mortalitas (Dipiro et al., 2009).
Analisis DRP interaksi obat (Cipolle et al., 2012) Polifarmaasi atau terapi lebih dari lima obat (Dipiro et al., 2009).
DRP Interaksi Obat (Baxter, 2010) Perlu di Terapi
Terapi Non Farmakologi
• Diet rendah protein
• Berhenti merokok
• Berolah raga (Dpiro et al., 2009).
Terapi farmakologi
• Terapi intensif insulin
• Terapi antidiabetes oral
• Terapi hipertensi
• Terapi hiperlipidemia (Dipiro et al., 2009)
Jika tidak di tangani dengan baik PGK akan berevolusi menjadi gagal ginjal stadium ahkir/ End Stage Renal Disease (ESRD) (Dipiro et al., 2016)
• Faktor kerentanan
• Faktor inisiasi
• Faktor progresi (Dipiro et al., 2009)
• Pemeriksaan patologis
• Pemeriksaan Lab (darah dan urine)
• Uji pencitraan (imaging test) (Levey, 2002)
Definisi PGK
Suatu kerusakan ginjal yang terjadi >
3 bulan berupa kelainan struktur ataupun kelaianan fungsi ginjal yang di tunjukan dengan penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) yaitu <
60ml/menit/1,73 m2 (Levey, 2002)
2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian merupakan model konseptual mengenai bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting (Sugiono, 2017). Karangka konsep dalam penelitian menjadi dasar dari penelitian agar pembaca dapat memahami mengenai konsep penelitian yang dirancang. Skema kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari populasi yaitu data Rekam Medis pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang Pada Tahun 2018 yang memenuhi karakteristik populasi, kemudian akan diambil 100 sampel dan di lakukan identifikasi dan analisis pada dua variabel yaitu pola penggunaan obat meliputi jenis obat, jumlah obat dan rute pemberian obat, adapun variabel kedua yaitu analisis DRP interaksi obat potensial yang di klasifikasikan berdasarkan keparahannya yaitu interaksi obat minor, sedang/moderate, dan mayor. kerangka konsep dalam proposal ini ditunjukan pada gambar 2.6
KETERANGAN :
= variabel penelitian
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian Terapi Farmakologi
Reaksi Obat Tidak Di Kehendaki
Masalah pemilihan obat
Permasalahan dosis Masalah penggunaan obat
Lain-lain Interaksi obat
Identifikasi dan analisis Berdasarkan keparahan nya:
• Interaksi minor
• Interaksi sedang
• Interaksi mayor Drugs related problems (DRP)
2018
Pengambilan sampel dengan teknik Systematic Sampling
Pola Penggunaan Obat:
• Jenis obat
• Jumlah obat
48 BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif observasional (non eksperimental) yang pengumpulan datanya dilakukan secara retrospektif dengan melihat data Rekam Medis pasien Penyakit Ginjal Kronik (PGK) di instalasi rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang Pada Tahun 2018.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah data Rekam Medis pasien penyakit PGK yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang pada tahun 2018. Jumlah populasi yang didapat adalah 400. Adapun kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah data rekam medis pasien PGK yang tidak lengkap.
3.2.2 Sampel
Sampel penelitian adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan menggunakan teknik Systematic sampling. Teknik pengambilan sampel ini didasarkan pada urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut tertentu (Sugiono, 2017). Jumlah pasien rawat inap PGK pada tahun adalah sebesar 400 pasien yang akan di seleksi berdasarkan karakteristik populasi sehingga akan di peroleh N populasi. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan ukuran sampel yang di anjurkan oleh Fraenkel dan Wallen (untuk penelitian deskriptif sampel minimum adalah 100 sampel) sehingga akan diambil 100 sampel dari populasi tersebut dengan menggunakan teknik Systematic sampling (Fraenkel et al., 2011). Pemberian nomor urut pada populasi di tentukan berdasarkan rentang interval (k) menggunakan rumus:
Sehingga rentang interval yang diperoleh sebesar:
Dengan demikian sampel akan dipilih dengan rentang tiap 4 rekam medis sesuai dengan metode Systematic sampling.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel yang bersifat mandiri yang terdiri dari pola penggunaan obat pasien PGK di Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang tahun 2018 yang meliputi jenis obat, jumlah obat, dan interaksi obat yang dibagi berdasarkan tingkat keparahannya (minor, sedang/moderate, dan mayor).
3.4 Definisi Operasional
a. Jenis obat adalah golongan obat yang diberikan pada pasien PGK berdasarkan Dipiro yang meliputi insulin, antidiabetes oral, antihipertensi, antihiperlipidemia, serta golongan obat lain untuk mengatasi komplikasi yang dialami pasien seperti anemia dan asidosis metabolik
b. Jumlah obat adalah total seluruh jenis obat yang diresepkan pada pasien PGK selama rawat inap baik itu obat untuk mengatasi penyakit penyerta ataupun untuk mengatasi komplikasi.
k = 𝑁𝑁
𝑛𝑛
N = Jumlah populasi n = Jumlah sampel
k =
400100
k = 4
3.5 Jalannya Penelitian
Gambar 3.1 Jalan nya Penelitian
3.6 Jadwal Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan juni-juli 2018 di Rumah Sakit Umum Daerah Profesor Dr. W. Z. Johannes Kupang uraian mengenai jadwal penelitian dirangkum dalam tabel 3.1
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
No Waktu Penelitian Agenda
1 Juli Minggu Ke I Dan Ke II Ujian Proposal Dan Perbaikan 2 Juli Minggu Ke III Dan Ke IV Pengurusan administrasi 3 Agustus Minggu Ke I Dan Ke II Pengumpulan data
4 Agustus Minggu III Dan IV Mengerjakan pembahasan dan kesimpulan
3.7 Analisis Hasil
3.7.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik pencatatan dan dokumentasi pada kelompok Observasi Terstruktur. Penelitian ini menggunakan teknik observasi terstruktur karena observasi yang akan dilakukan telah dirancang secara sistematis, tentang apa yang akan diamati, kapan dan dimana tempatnya, dalam hal ini
Penarikan Kesimpulan Sampel = 100 (Fraenkel & Wallen)
Teknik systematic sampling Populasi (Seluruh data rekam medis PGK yang
dirawat inap di RSUD Prof.Dr.W.Z.Johannes tahun 2018) = 400 N
Analisis Data (jenis, jumlah, & interaksi obat)
Kriteria eksklusi
bahwa subjek dalam penelitian ini, yaitu seluruh data Rekam Medis pasien PGK yang memenuhi karakteristik populasi yang di pilih dengan menggunakan systematic sampling, lalu dilakukan analisis untuk melihat pola penggunaan obat dan interaksi obat.
3.7.2 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan lembar pengumpulan data khusus untuk mengambil sampel dari populasi. Data kemudian diolah dengan SPSS, data yang dianalisis berupa data demografi pasien, data pola penggunaan obat serta data interaksi obat yang di identifikasi dengan Drugs.com lalu dikelompokan berdasarkan tingkat keparahannya, dimana dalam penelitian ini, data disajikan dalam bentuk tabel dan diagram.
52 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Pasien
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Prof. Dr. W. Z. Johannes, Kupang pada bulan Juli-Agustus 2019. Data yang diambil adalah data rekam medis pasien yang di diagnosa Penyakit Ginjal Kronik (PGK) pada periode tahun 2018.
Sampel dalam penelitian ini terdiri dari 100 rekam medis yang dipilih dengan menggunakan systematic sampling adapun dari 100 sampel 16 sampel memenuhi kriteria eksklusi sehingga diperoleh 84 sampel. Berikut merupakan gambaran mengenai karakteristik pasien PGK di RSUD Prof. Dr.
W. Z. Johannes Kupang.
4.1.1 Jenis Kelamin
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu pasien perempuan lebih banyak dari pada pasien laki-laki. Pasien perempuan berjumlah 55 orang (65,5%) sedangkan pasien laki-laki berjumlah 29 orang (34,5%) seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 4.1 Distribusi jenis kelamin pasien PGK 34,5%
65,5%
LAKI-LAKI PEREMPUAN
Distribusi jenis kelamin pasien PGK PERSENTASE (%)
Hasil ini didukung oleh beberapa studi yang dilakukan di dunia yang menunjukan bahwa insiden PGK lebih tinggi terjadi pada perempuan seperti yang dilakukan oleh USA NHANES Population (2007-2012), Aurora et al., (2013), Swedish National Study on Ageing And Care (2014) dan Maulidah (2015) yang masing-masing memberikan hasil perempuan (23,2%), laki-laki (17,7%); perempuan (50,2%), laki (49,8%); perempuan (23,2%), laki-laki (17,7%); perempuan (72,7%), dan laki-laki-laki-laki (27,3%). Namun beberapa penelitian lain juga menunjukan insiden PGK yang tinggi pada laki-laki seperti Middle and old-aged population of beijing (2008) perempuan (12,7%); laki-laki (13,3%), Olumuyiwa et al.,(2017) perempuan (33,3%);
laki-laki (66,7%) dan Pasangka et al.,(2017) perempuan (44,44%); laki-laki (55,56%). Goldberg & Krause (2016) mengemukakan bahwa prevalensi PGK cenderung lebih tinggi pada wanita akan tetapi perkembangan kerusakan ginjal dan resiko kematian cenderung lebih tinggi terjadi pada pria yang biasanya dikaitkan dengan gaya hidup yang buruk. Pengaruh jenis kelamin pada PGK masih kontorversial dan membutukan penelitian lebih jauh disamping itu Dipiro et al., (2009) memaparkan bahwa faktor penyebab terjadinya PGK antara lain faktor kerentanan, faktor inisiasi dan faktor progresi, yang mana faktor kerentanan merupakan faktor resiko terjadinya PGK yang meliputih usia, status ras, pendidikan, berkurangnya massa ginjal, riwayat keluarga dan berat bayi lahir rendah sedangkan jenis kelamin bukan merupakan faktor resiko penyebab terjadinya PGK.
4.1.2 Usia
Klasifikasi usia sampel dalam penelitian ini didasarkan pada klasifikasi usia menurut Depkes RI tahun 2009 yang terbagi menjadi 3 golongan usia yaitu masa lansia awal (46-55 tahun), masa lansia ahkir (56-65 tahun) dan masa manula ((56-65 tahun keatas). Berikut merupakan distribusi usia pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes tahun 2018.
Gambar 4.2 Distribusi Usia pasien PGK
Rentang usia paling tinggi yang diproleh dalam penelitian ini adalah 46-55 tahun yaitu sebanyak 57 orang atau sebesar 67,9%. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pasangka et al., (2017), yang menunjukan prevalensi terbesar pasien PGK adalah di atas 45 tahun.
Usia merupakan salah satu faktor resiko terjadinya PGK yang mana menurut Dipiro et al., (2009) seiring bertambahnya usia seseorang akan menjadi rentan terkena PGK hal ini terkait dengan penurunan nilai GFR sekitar 8ml/menit/1,73m2, perubahan ini dimulai sejak umur 40 tahun.
Semakin bertambahnya usia akan menyebabkan berkurangnya fungsi ginjal dan berhubungan dengan penurunan kecepatan ekskresi glomerulus serta memburuknya fungsi tubulus (Levey, 2002). Berkembang nya PGK pada wanita akan mempercepat resiko terjadinya menopause dini (46-48 tahun) yang biasanya terjadi 5 tahun lebih cepat dari pada usia menopause seharus nya (Ahmed, 2017). Mekanisme menopause dini pada pasien PGK masih belum diketahui dengan pasti akan tetapi ada dugaan bahwa terjadi sejumlah besar perubahan hormonal akibat berkurangnya sekresi gonado trophin releasing hormom oleh hipotalamus sehingga akan menyebabkan hilangnya rangsangan pada hipofisis anterior. Hilangnya rangsangan ini akan menyebabkan berkurangnya sekresi FSH dan LH sehingga menyebabkan
67,9
20,2
11,9
Lansia awal (46-55 tahun)Lansia ahkir (56-65 tahun) Manula (65 tahun ketas) Distribusi Usia Pasien PGK
PERSENTASE (%)
terjadinya penurunan sekresi estrogen dan anovulasi. Pada pasien PGK juga akan terjadi hiperprolaktinemia sebagai hasil dari peningkatan produksi hipofisis yang meningkat karena efek resisten terhadap hambatan dopamine serta penurunan ekskresi ginjal (Ahmed, 2017). Estorgen memiliki fungsi renoprotektif melalui reseptor estrogen ER α dan ER β. Reseptor ER α banyak terdapat pada ginjal kusus nya pada sel mesangial, sel endotel dan otot polos pembulu darah ginjal. Estrogen mempengaruhi ginjal melalui proses sintesis dan aktivasi sejumlah sitokin serta aktivasi renin angiotensin, serta berperan dalam transduksi sinyal β yang mempengaruhi regulasi gen dan metabolisme matriks extra seluler. Defisiensi estrogen dapat mempercepat progress glomerulosklerosis serta disfungsi ginjal yang disebabkan akibat hipertensi intra glomerular kondisi menopause dini pada pasien PGK akan semakin memperburuk kondisi ginjal (Ahmed & Ramesh., 2016).
4.1.3 Lama Perawatan atau Length of Stay (Los)
Pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes menjalani rawat inap dengan waktu yang bervariasi. Sebanyak 60 pasien (71,4%) menjalani rawat inap selama 1-5 hari, 15 pasien (17,9%) menjalani rawat inap selam 6-10 hari, dan sebanyak 5 pasien (6,0%) menjalani rawat inap selama 11-15 hari.
Jangka waktu rawat inap pasien terlama adalah selama 1bulan (>20 hari), namun kebanyakan subjek penelitian menjalani perawatan selama 1-5 hari.
Seperti yang terlihat pada gambar 4.3 dibawah ini.
Gambar 4.3 Lama Rawat Inap Pasien PGK 71,4
17,9
6 3,6 1,2
1-5 hari 6-10 hari 11-15 hari 16-20 hari 1 bulan (>20 ) Persentase Lama Rawat Inap Pasien PGK
PERSENTASE (%)
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fina et al., 2011 di RSUD Dr.
Moewardi menunjukan persentase pasien PGK dengan lama perawatan < 7 hari lebih tinggi yaitu sebesar (59,15%) dibandingkan pasien dengan lama rawat inap > 7 hari yaitu sebesar (40,85%). Rata-rata pasien di RSUD Prof.
Dr. W. Z. Johannes hanya menerima perawatan selama 1-5 hari. Hal ini berkaitan dengan alasan pasien meninggalkan rumah sakit yaitu sebanyak 45 (53,6%) pasien dinyatakan pulang dalam kondisi membaik.
Pasien PGK di RSUD Prof. Dr.W.Z. Johannes juga memiliki lama perawatan hingga lebih dari 10 hari yang dapat disebabkan karena pasien PGK menderita komplikasi lain seperti anemia sehingga pasien memerlukan perawatan intensif dan memakan waktu lebih lama.
Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan hampir semua pasien penyakit ginjal tahap akhir mengalami anemia. Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas secara bermakna dari PGK. Rendahnya hemoglobin pada saat masuk rumah sakit diprediksi akan berpengaruh pada tingginya lama perawatan pasien dan anemia pada pasien PGK juga dapat meningkatkan risiko masuk rumah sakit kembali (Mcdougal et al., 2008). Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yaitu sebesar 53 (27%) pasien memiliki penyakit penyerta anemia disamping itu adanya interaksi obat dapat mempengaruhi tujuan terapi yang diinginkan pada pasien sehingga akan memperlama waktu rawat inap pasien di rumah sakit (Cipolle et al., 2012).
Dalam penelitia ini diperoleh data status pasien PGK saat meninggalkan rumah sakit seperti yang ditunjukan pada gambar 4.4
Gambar 4.4 Status Pasien PGK Saat Meninggalkan Rumah Sakit
4.1.4 Diagnosa Pasien
Diagnosa yang ditemukan didalam penelitian ini tidak hanya PGK saja tetapi disertai dengan diagnosa penyakit penyerta. Kebanyakan pasien dalam penelitian ini memiliki 2 penyakit penyerta atau lebih. Pasien dengan 1-4 penyakit penyerta sebesar 64 pasien (76,2%), pasien dengan penyakit penyerta sebanyak 5-8 penyakit sebesar 16 pasien (19,0%) ada juga pasien PGK tanpa keterangan penyakit penyerta yaitu pasien PGK yang diagnosa penyakit penyertanya tidak ditemukan pada catatan rekam medik sebesar 4 pasien (4,8%) seperti yang tercantum pada gambar dibawah ini.
Gambar 4.5 Penyakit Penyerta Pasien PGK 17,9
53,6
1,2
27,4
sembuh diijinkan pulang
membaik diijinkan pulang
meninggal dunia tanpa keterangan Status Pasien PGK Saat Meninggalkan Rumah Sakit
PERSENTASE (%)
4,8
76,2
19
PGK Tanpa keterangan Penyakit
1-4 penyakit penyerta 5-8 Penyakit penyerta Persentase Penyakit Penyerta Pada Pasien PGK
Persentase (%)
Penyakit penyerta yang paling banyak di derita oleh pasien PGK di RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes adalah anemia sebesar (27%), hipertensi sebesar (23%) dan dyspnea sebesar 7% seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Diagnosis Yang Menyertai Pasien PGK
Diagnosis Jumlah Persentase (%)
Hipertensi 46 23
Hidronefrosis Bilateral 1 1
Hepatitis Kronis 2 1
Decompensatio Cordis 1 1
Ca Cervix 1 1
Asites 2 1
Hhf 1 1
Penyakit Jantung Koroner 1 1
Herpes Zooster 1 1
Diare 1 1
Diabetes Miletus 4 2
Sindrom Uremia 1 1
Infeksi Saluran Kemih 1 1
Abdominan Discomfort 1 1
General Weakness 1 1
Anemia merupakan penyakit penyerta yang paling banyak diderita oleh pasien PGK dalam penelitian ini yaitu sebesar 53 orang pasien (27%).
Pasien PGK dapat mengalami anemia dikarenakan adanya pengurangan massa nefron sehingga ginjal tidak mampu memproduksi erytropoetin yaitu suatu hormon endogen yang berperan dalam pembentukan sel darah merah
Pasien PGK dapat mengalami anemia dikarenakan adanya pengurangan massa nefron sehingga ginjal tidak mampu memproduksi erytropoetin yaitu suatu hormon endogen yang berperan dalam pembentukan sel darah merah