MANGGORGA TESIS KARYA MUSIK
Untuk memeroleh gelar Magister Seni (M.Sn.)
pada Program Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
OLEH:
SAHAT TIMBUL PANDAPOTAN SINAGA NIM
177037007
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2022
ABSTRACT
This music thesis discusses and describes the creation of a musical work entitled Manggorga which departs from the carving art of the Toba Batak community. The purpose of this work report is to describe the process of creating and presenting a new musical composition entitled Manggorga which departs from the fine art of carving by the Toba Batak community by utilizing Toba Batak idioms and musical instruments combined with Western musical instruments using a Western musical approach. The theories used in the creation of this composition include: interpretation theory, program music theory, instrumentation theory, orchestration theory, ethnography of Batak Toba art, and using references from several previous works that were created and have been shown to the public.
The method of work that the author uses includes pre-creation (planning), the process of creation, and presentation (performance) of the work. Data collection techniques were carried out through library research, field research (observation, interviews and audio-visual recording). The result of the creation of this work is that the composition of Manggorga tells and describes the process of making gorga (manggorga) by utilizing Toba Batak sound idioms and processed with a Western harmony approach. This composition consists of three parts, 1) the first part tells about the process of making the lines (sketches) of the gorga motif; 2) the second part tells about the process of carving (manggorga) carved wooden boards according to the lines (sketches) of the gorga motif; and 3) the third part tells about the process of coloring the gorga carvings using three colors (white, red, and black). Manggorga's work is a new musical composition based on the Toba Batak tradition which was composed with a Western musical approach.
Keywords: Musical composition, Musical Works, Gorga, Manggorga, Toba Batak
ABSTRAK
Tesis karya musik ini membahas dan mendeskripsikan tentang penciptaan karya musik berjudul Manggorga yang berangkat dari kesenian kriya ukir masyarakat Batak Toba. Tujuan dari laporan karya ini untuk mendeskripsikan proses penciptaan dan penyajian komposisi musik baru berjudul Manggorga yang berangkat dari seni rupa kriya ukir masyarakat Batak Toba dengan memanfaatkan idiom-idiom dan alat musik Batak Toba yang dipadukan dengan alat musik Barat dengan menggunakan pendekatan musik Barat. Teori-teori yang digunakan dalam penciptaan komposisi ini antara lain: teori interpretasi, teori musik programa, teori instrumentasi, teori orkestrasi, etnografi kesenian Batak Toba, dan menggunakan rujukan dari beberapa karya terdahulu yang diciptakan dan telah dipertunjukan kepada masyarakat. Metode kekaryaan yang pengkarya gunakan meliputi pra penciptaan (perencanaan), proses penciptaan, dan penyajian (pertunjukan) karya.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, penelitian lapangan (observasi, wawancara dan perekaman audio visual). Hasil dari penciptaan karya ini adalah komposisi Manggorga menceritakan dan menggambarkan proses pembuatan gorga (manggorga) dengan memanfaatkan idiom-idiom bunyi Batak Toba dan diolah dengan pendekatan harmoni Barat.
Komposisi ini terdiri atas tiga bagian, 1) bagian pertama menceritakan tentang proses pembuatan garis-garis (sketsa) motif gorga; 2) bagian kedua menceritakan tentang proses mengukir (manggorga) papan kayu ukir sesuai garis-garis (sketsa) motif gorga; dan 3) bagian ketiga menceritakan tentang proses pewarnaan ukiran gorga dengan mengunakan tiga warna (putih, mera, dan hitam). Karya Manggorga merupakan komposisi musik baru yang berbasis tradisi Batak Toba yang disusun dengan pendekatan musik Barat.
Kata Kunci: Komposisi musik, Karya Musik, Gorga, Manggorga, Batak Toba
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan anugerah- Nya, pengkarya dapat menyelesaikan penyusunan karya musik dengan judul
“Manggorga”, sebuah penciptaan karya musik berbasis penelitian tradisi Batak Toba dengan memanfaatkan idiom-idion musik Batak Toba dipadukan dengan musik Barat.
Tesis Karya Musik ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Seni (M. Sn) pada Program Studi Penciptaan dan Pengkajian seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Tesis ini merupakan hasil penelitian dan penciptaan karya musik berbasis tradisi Batak Toba yang digarap dengan pendekatan musik Barat.
Penyelesaian tesis karya musik ini tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini pengkarya ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, dan Ibu Dr.T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya yang telah memberi fasilitas pembelajaran sehingga penulis dapat memperdalam ilmu di Universitas Sumatera Utara dengan baik.
Kepada Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., dan Bapak Drs.Torang Naiborhu, M.Hum., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi S-2 Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, pengkarya juga mengucapkan terima kasih banyak atas petunjuk yang diberikan selama perkuliahan. Kepada Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D., dan Bapak Dr. Pulumun P. Ginting, S.Sn., M.Sn selaku dosen pembimbing yang telah banyak membimbing dan mengarahkan pengkarya selama proses pengerjaan karya musik ini hingga selesai. Pengkarya juga berterima kasih kepada seluruh dosen prodi S-2 Penciptaan dan Pengkajian Seni USU, di antaranya Bapak Drs.
Kumalo Tarigan, M.A., Ph.D., Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si., Ibu Dr. Dardanila.
M.Hum., dan lain-lain, terima kasih atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan selama pengkarya menjalani proses kuliah di program studi yang tercinta ini.
Ucapan terima kasihku juga kepada Bapak Drs. Ponisan selaku tenaga administrasi di program studi ini, yang telah banyak membantu penulis dalam berbagai keperluan administrasi perkuliahan.
Terima kasihku yang tidak terhingga kepada kedua orang tuaku, Ayahanda (+) Djamauli Sinaga dan Ibunda S. Romsah Nainggolan, yang selalu menopang dan mendukung pengkarya baik dalam doa, kasih sayang dan materi yang tidak bisa terbalaskan dengan apa pun. Terima kasih banyak juga pengkarya sampaikan khusus kepada istrti tercinta S. Veronica Saragi dan kedua ananda tercinta Erasmus dan Elgorga Sinaga, yang selalu memberikan semangat dan mendoakan pengkarya.
Kepada seluruh rekan guru di SMAN 6 Pematang Siantar, pengkarya juga mengucapkan terima kasih atas doa dan semangat yang diberikan. Kepada teman- teman seperjuangan stambuk 2017 di program studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, terima kasih untuk kebersamaan yang terjalin selama perkuliahan, semoga kita semua semakin sukses dan bahagia.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh tim yang telah mendukung terciptanya karya musik berjudul Manggorga dan terlaksananya pertunjukan musik Manggorga. Pengkarya berharap kiranya tesis karya musik ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pecinta seni budaya.
Medan, Januari 2022 Pengkarya
Sahat Timbul Pandapotan Sinaga NIM: 177037007
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Sahat Timbul Pandapotan Sinaga
Tempat, Tanggal Lahir Rantau Prapat, 28 Juni 1984 Jenis Kelamin Laki – laki
Agama Kristen Protestan
Kewarganegaraan Indonesia Nomor Kontak 081370414684
Alamat Pematang Siantar
Pekerjaan Guru PNS Seni Budaya di SMA Negeri 6 Pematang Siantar
Pendidikan SDN 112139 Rantau Prapat SLTP Negeri 5 Rantau Prapat SMA Negeri 3 Rantau Prapat
S1 Pendidikan Seni Musik UNIMED Pengalaman di bidang
kesenian
Mengajar musik di berbagai sekolah, dan lembaga.
Menyajikan musik tradisional dan musik modern di berbagai tempat.
Melayani musik ibadah di berbagai gereja di kota Medan.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis karya musik ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan, magister atau pun doktoral di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam tesis ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2022
Sahat T. P. Sinaga NIM. 177037007
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
RIWAYAT HIDUP ... vii
PERNYATAAN ... viii
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar belakang penciptaan ... 1
1.2 Rumusan masalah penciptaan ... 8
1.3 Tujuan dan manfaat penciptaan... 9
1.3.1Tujuan penciptaan ... 9
1.3.2 Manfaat penciptaan ... 9
1.4 Landasan teoritis ... 10
1.4.1 Teori interpretasi ... 11
1.4.2 Musik programa ... 11
1.4.3 Teori instrumentasi ... 13
1.4.4 Teori orkestrasi ... 14
1.4.5 Etnografi kesenian Batak Toba ... 16
1.4.6 Pembicaraan rujukan penciptaan karya musik ... 17
1.5 Metode penciptaan ... 22
1.5.1 Observasi ... 23
1.5.2 Wawancara ... 24
1.5.3 Perekaman data audio visual ... 26
1.5.4 Tahapan penciptaan karya ... 26
BAB II DESKRIPSI KESENIAN MASYARAKAT BATAK TOBA ... 30
2.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak Toba ... 30
2. 2 Kesenian Masayarakat Batak Toba ... 31
2.2.1 Seni rupa ... 31
2.2.2 Seni musik ... 32
BAB III DESKRIPSI PROSES PENCIPTAAN KARYA MUSIK ... 35
3.1 Proses penciptaan karya musik ... 35
3.1.1 Ide dan gagasan komposisi musik ... 35
3.1.2 Tahap Pelacakan an pemilihan idiom bunyi ... 24
3.1.3 Tahap mengkomposisi bunyi ... 36
3.1.4 Tahap instrumentasi dan pemilihan pemain ... 37
3.2 Proses Latihan dan Pembimbingan ... 39
3.2.1 Proses latihan ... 39
3.2.2 Proses pembimbingan ... 39
3.3 Hambatan dan Solusi ... 40
3.3.1 Hambatan ... 40
3.3.2 Solusi ... 40
3.4. Deskripsi Bentuk Komposisi musik ... 41
3.4.1 Bagian pertama (melukis sketsa gorga) ... 41
3.4.2 Bagian kedua (mengukir/memahat/manggorga) ... 43
3.4.3 Bagian ketiga (mewarnai ukiran gorga) ... 44
BAB IV PEMENTASAN KARYA MUSIK ... 48
4.1 Sinopsis ... 48
4.2 Deskripsi Lokasi ... 49
4.3 Penataan Panggung ... 49
4.4 Durasi Karya ... 49
4.5 Susunan Acara ... 50
4.6 Pendukung Karya ... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
5.1 Kesimpulan ... 52
5.2 Saran ... 53 DAFTAR PUSATAKA
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penciptaan Karya
Gorga merupakan salah satu kekayaan budaya masyarakat Batak Toba yang diwariskan oleh leluhurnya sejak zaman dahulu. Gorga merupakan seni pahat atau seni ukir kayu tradisional yang mengandung ornamen1 khas Batak Toba. Pada awalnya gorga dibuat atau diukir di dinding luar bagian depan rumah tradisional Batak Toba dengan berbagai corak atau ragam hias yang memiliki makna dan nilai tertentu. Rumah tradisional Batak Toba yang diukir ornamen disebut ruma gorga atau jabu gorga. Bentuk dan lekuk gorga pada sebuah ruma gorga merupakan gambaran identitas si pemilik rumah dan sekaligus sebagai doa dan harapan si penghuni rumah.
Umumnya yang memiliki ruma gorga adalah para raja atau orang-orang terhormat di sebuah kampung Batak (huta), karena gorga bukan hanya sekedar hiasan yang bernilai estetis belaka. Lebih dari itu gorga memiliki makna, nilai, dan fungsi tertentu yang berhubungan dengan kehidupan spiritual masyarakat Batak Toba. Falsafah ruma gorga pada zaman dahulu yaitu bahwa setiap penghuni rumah meyakini bahwa mereka akan selamat dan sejahtera berkat kebijakan, kesucian dan kekuatan Mulajadi Nabolon2.
1 Ornamen merupakan susunan pola hias yang menggunakan motif dan kaidah-kaidah tertentu pada suatu bidang atau ruang, sehingga bentuk yang dihasilkan menjadi lebih indah dan menarik perhatian. (Lihat Daulat Saragi, Jenis Motif dan Nilai Filosofis Ornamen Tradisional Sumatera Utara (Yogyakarta : Thafa Media, 2017), hal.6.
2 Mulajadi Na Bolon disebut dengan beberapa sebutan, seperti Ompu, Ompungta, Ompungta Debata, atau Debata – adalah Kuasa tertinggi Sang Pencipta “yang tidak bermula dan tidak berakhir” (na so marmula, na so marujung); yang mengawali dan mengakhiri dan menjadikan
Menurut Rajamarpodang (1992 : 440) :
Seni ukir yang disebut gorga Batak itu adalah menggambarkan Debata Na Tolu dengan kuasa kemuliaan Mulajadi Na Bolon. Jenis gorga, bentuk gorga dan warna gorga adalah merupakan pengharapan dan doa sesuai dengan kepercayaan. Sesuai dengan kepercayaan itu bahwa bentuk bangunan rumah serta gorganya menggambarkan doa, pengharapan dan cita-cita berdasarkan kepercayaan. Sesuatu bangunan bergorga ada maksud dan tujuannya sesuai dengan kepercayaan itu.
Gorga yang dibuat pada rumah orang Batak Toba diyakini akan memberikan keselamatan dan kesejahteraan kepada penghuni rumah tersebut.
Seorang yang ahli dalam budaya Batak, dengan melihat bentuk dan gorga rumah akan dapat mengetahui apa maksud dan tujuan yang menjadi hasrat pendiri rumah tersebut3.
Di dalam Kamus Batak Toba Indonesia karangan Warneck (2012 : 108), dijelaskan bahwa “gorga adalah ragam ukiran, pewarnaan dinding rumah dengan tiga warna dasar merah, hitam, putih.” Ketiga warna gorga yaitu putih, merah dan hitam disebut dengan tiga bolit atau disebut juga bonang manolu4. Ketiga warna tersebut menjadi warna khas bagi orang Batak Toba, di mana warna putih sebagai simbol kesucian, warna merah sebagai simbol keberanian dan kekuatan, dan warna hitam sebagai simbol dari kepemimpinan dan kebijaksanaan. Dahulu kala nenek moyang suku Batak Toba mewarnai gorga dengan cara dan bahan yang alami. Warna merah dihasilkan dari batu hula, yaitu sejenis batu alam yang
3 Lihat DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak (Medan : CV.Armanda, 1992), hal.402.
4 Bonang Manulo adalah tiga benang masing-masing warna hitam, putih dan merah dipilin menjadi satu adalah simbol doa masyarakat Batak merupakan keyakinan bahwa seseorang akan selamat apabila yakin bahwa tidak ada yang lebih kuat dari Tuhan Yang Maha Esa mula kebijakan, kesucian dan kekuatan itu. Lihat DJ. Gultom Rajamarpodang, op.cit hal. 196.
berwarna merah. Warna putih dihasilkan dari tanah buro, yaitu jenis tanah lunak berwarna keputih-putihan. Warna hitam dihasilkan dari sejenis daun tanaman yang dicampur dengan kerak abu hitam yang dikikis dari bagian bawah periuk atau kuali sehabis memasak. Namun, di zaman sekarang ini pewarnaan gorga kebanyakan menggunakan cat minyak kemasan kaleng dengan beragam merek yang tersedia di pasar.
Jenis motif gorga Batak Toba ada bermacam-macam, di antaranya yaitu gorga Sitompi, gorga Dalihan na tolu, gorga Simeol-eol, gorga Hariara Sundung di langit, gorga Simataniari, gorga Gaja dompak, gorga Ulu paung, gorga Boraspati, gorga Adop-adop, dan gorga Ipon-ipon.5 Masing-masing motif gorga tersebut memiliki makna dan nilai filosofis tertentu sesuai dengan budaya Batak Toba. Contohnya gorga Simeol-eol memiliki makna simbol kegembiraan dan sukaria, agar penghuni rumah tidak larut dalam kesedihan atau kesusahan hidup.
Simeol-eol artinya lemah gemulai atau lenggak-lenggok. Gorga Simeol-eol merupakan jenis gorga yang paling umum dan mendominasi dalam setiap pembuatan gorga.
Menurut Saragi (2017 : 83) :
Motif ornamen Batak Toba dibagi menjadi lima pola, yaitu : pola kosmos, tumbuhan, hewan, manusia dan raksasa atau khayal. Pola tumbuhan mengadopsi jenis-jenis tanaman yang ada di daerah itu sendiri, yaitu tumbuhan pakis, labu, dan sejenis tanaman yang menjalar. Jenis hewan yang dijadikan motif antara lain : kerbau, kuda, dan cicak. Sedangkan motif khayal atau raksasa terdiri dari motif Singa-singa, Gajah dompak, Jenggar atau Jorngom.
Seiring dengan perkembangan zaman, ornamen gorga juga mengalami perkembangan dalam pengaplikasiannya, sehingga ornamen gorga tidak hanya diukir pada permukaan dinding kayu papan rumah tradisional Batak Toba. Gorga juga diaplikasikan pada benda-benda dan bangunan-bangunan lainnya. Selain itu, motif gorga juga sudah banyak diaplikasikan pada produk fesyen (busana).
Contoh benda-benda yang digorga (diukir) antara lain : taganing, garantung, hasapi, peti mati, asbak rokok, perahu, mainan gantungan kunci, mata kalung dan benda lainnya. Sedangkan bangunan yang digorga antara lain: kantor pemerintahan, hotel, sekolah, gedung pertunjukan, wisma, rumah ibadah, makam dan bangunan lainnya. Pembuatan gorga yang semulanya dengan cara diukir atau dipahat terlebih dahulu juga turut mengalami perkembangan. Ada yang menggunakan cara yang lebih mudah yaitu langsung melakukan pengecatan (melukis) pada bidang permukaan benda atau bangunan sesuai dengan bentuk atau sketsa gorga yang diinginkan atau diperlukan si pemesan.
Orang yang ahli membuat gorga disebut panggorga. Panggorga merupakan seniman atau pengrajin ukir dan pahat pada masyarakat Batak Toba, yang dalam bahasa Toba disebut juga pande uhir (ahli ukir). Menurut Warneck (Kamus Batak Toba Indonesia 2012 : 108), “panggorga artinya pengukir”. Pada zaman dahulu dalam masyarakat Batak Toba, keberadaan seorang panggorga termasuk diistimewakan dan disakralkan. Hal itu dikarenakan panggorga memiliki keahlian dalam membuat ukiran-ukiran yang sarat dengan nilai-nilai filosofis kehidupan masyarakat Batak Toba. Seorang panggorga dalam melakukan aktivitasnya diyakini mendapat ilham dari Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Sang Maha Pencipta).
Marpaung dan Pasaribu (2009 : 15) mengatakan bahwa :
Semua ukiran-ukiran, patung-patung, dan gambar-gambar tersebut (gorga) ditorehkan pada rumah Batak oleh tangan-tangan terampil Pande tukang (ahli tukang). Pande tukang ini sangat dihormati, mereka dianggap marsahala (berkharisma). Merekalah sebenarnya yang paling tahu arti atau makna semua yang mereka kerjakan.
Umumnya seorang panggorga mengetahui gorga seperti apa yang akan dibuatnya sesuai dengan karakter si pemesan atau si pemilik rumah. Seorang panggorga umumnya sangat memahami budaya Batak Toba, khususnya filosofi Dalihan Na Tolu6 yang menjadi dasar dan pedoman kehidupan masyarakat Batak sejak dahulu kala. Seorang panggorga dalam mengerjakan karyanya (manggorga) biasanya menggunakan peralatan seperti: pisau ukir, ketam, grenda, kayu pemukul (pasak-pasak) dan peralatan lainnya. Bahan gorga kayu biasanya menggunakan jenis kayu yang lunak dan memiliki ketahanan yang kuat terhadap sinar matahari dan hujan, sehingga kayu tidak mudah rusak dan lapuk. Jenis kayu ukir yang dahulu digunakan oleh orang Batak adalah kayu ingul atau kayu ungil. Namun sekarang ini telah digunakan jenis kayu lainnya seperti jior (juhar), kayu mahoni, kayu nangka, dan kayu pilihan lainnya.
Menurut seorang panggorga di desa Lumban Lobu Kabupaten Toba yang sudah cukup terkenal yaitu Jesral Tambun, gorga bukan hanya sekedar seni ukir
6 Secara harfiah, Dalihan Na Tolu mengandung arti tungku yang tiga. Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem hubungan sosial yang berlandaskan pada tiga pilar dasar kemasyarakatan, yakni : Hula-hula (pihak keluarga pemberi istri), anak boru (pihak keluarga penerima istri), dan dongan tubu (sesama saudara dari rahim ibu yang sama).
atau seni pahat semata, baginya gorga merupakan sebuah lukisan jiwa, di mana setiap lekukan motif gorga memiliki makna khusus atau arti tertentu. Sebelum membuat gorga (manggorga), seorang panggorga harus memahami terlebih dahulu karakter si pemilik rumah, termasuk status sosial, ekonomi dan adat- istiadatnya, agar gorga yang dibuat dapat menggambarkan identitas si pemesan.7 Menurut Warneck (Kamus Batak Toba Indonesia 2012 : 108), manggorga artinya adalah mengukir. Manggorga merupakan suatu kegiatan seni kriya ukir yang pengerjaannya dengan cara memahat, mencungkil dan mengukir suatu bahan kayu papan sehingga menghasilkan bentuk ukiran gorga tertentu.
Prosedur dalam manggorga atau mengukir yang sudah umum dilakukan oleh para panggorga Batak Toba adalah sebagai berikut:
1. Menggambar sketsa motif gorga pada kayu papan dengan menggunakan pensil;
2. Mengukir kayu papan sesuai dengan motif gorga yang sudah dibuat sebelumnya. Untuk mengukir digunakan pisau pahat dan alat pemukul. Ukiran gorga itu aslinya tidak terputus-putus, bila diikuti alurnya merupakan satu garis lengkung yang berkesinambungan;
3. Setelah gorga selesai diukir dan dibentuk sesuai motif dan coraknya, maka selanjutnya adalah proses pewarnaan papan bidang ukiran. Pertama, memberikan warna putih sebagai warna dasar pada bidang ukiran. Di mana keseluruhan permukaan kayu beserta lekukan-lekukan ukirannya diwarnai dengan cat warna putih. Kedua, pemberian warna merah pada bagian kayu gorga yang dikorek/dicungkil (permukaan yang lebih rendah atau dalam).
Ketiga, pemberian warna hitam pada bagian ukiran yang timbul pada papan (permukaan yang lebih tinggi).
Di mata pengkarya, karya seni gorga dan aktivitas manggorga merupakan sesuatu yang menarik untuk diangkat dan dibicarakan. Selain mengandung nilai estetis, gorga juga mengandung nilai filosofis dan spiritual bagi masyarakat Batak Toba, yang patut dilestarikan dan dikembangkan sehingga semakin dikenal, dicintai, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat, khususnya bagi orang Batak Toba. Melalui sebuah perenungan, pengkarya berimajinasi bahwa keindahan gorga dan aktivitas manggorga yang menghasilkan bunyi-bunyian yang bersifat ritmis dapat dijadikan sebagai ide dasar penciptaan karya musik.
Pada pengamatan awal yang dilakukan pengkarya terhadap aktivitas manggorga, terdapat bunyi pukulan atau ketukan mulai dari dua ketukan, tiga ketukan, empat ketukan hingga belasan ketukan. Banyak atau sedikitnya jumlah ketukan yang dihasilkan, tergantung pada beberapa hal, yaitu kedalaman kayu yang dipahat, panjang pendeknya garis motif yang diukir, dan lekukan garis motif yang dibuat. Di samping itu, bunyi ketukan-ketukan yang dihasilkan juga mengandung unsur dinamik (kuat atau lemahnya bunyi), sehingga ada ketukan yang terdengar kuat, sedang dan lemah. Perbedaan jumlah ketukan dan kuat- lemahnya bunyi ketukan yang dihasilkan dari aktivitas manggorga, bila didengarkan dengan penuh penghayatan, akan menghasilkan bunyi pola ritme tertentu.
Keindahan kesenian gorga dan peristiwa bunyi yang tercipta dari aktivitas manggorga telah menginspirasi dan merangsang pengkarya untuk menciptakan sebuah karya musik dalam bentuk komposisi baru8 dengan judul Manggorga.
Menurut pengkarya, gorga yang semulanya merupakan sebuah gagasan yang diaplikasikan pada permukaan kayu papan sebagai karya seni rupa, dapat juga diaplikasikan ke dalam bentuk bunyi-bunyian musikal yang lebih kompleks dan utuh. Komposisi musik berjudul Manggorga merupakan sebuah ide dan gagasan yang dituangkan ke dalam bunyi-bunyian untuk menceritakan sebuah proses penciptaan gorga, mulai dari awal hingga akhir pembuatannya beserta makna dan nilai yang terkandung dalam motif dan warna gorga tersebut. Karya musik ini disusun dengan memanfaatkan idiom-idiom musikal Batak Toba dan diolah dengan pendekatan harmoni musik Barat. Media ungkap (sumber bunyi) yang akan digunakan yaitu alat-alat musik tradisi Batak Toba dan ditambah dengan alat musik gesek Barat seperti biola, viola, cello dan kontra bass.
1.2. Rumusan Penciptaan Karya
Berdasarkan latar belakang di atas, pengkarya membuat rumusan penciptaan sebagai berikut :
8 Istilah komposisi baru mempunyai konotasi karya yang baru disusun, di antaranya dengan menggunakan berbagai sumber suara instrumen tradisi maupun non tradisi atau segala benda yang dapat menimbulkan bunyi sesuai kebutuhan. Komposer bebas memilih bunyi dan sumber bunyi untuk disusun menjadi karya komposisi baru. Sumber bunyi diperoleh dari hasil eksplorasi.
Dengan adanya kebebasan dalam karya musik atau komposisi baru karawitan tidak berarti karya musik disusun dengan seenaknya atau semena-mena, tetapi tetap ada batasnya dengan menggunakan pertimbangan estetik (rasa musikal yang mendalam), etika, dan kultur. Meskipun demikian, ternyata pada umumnya karya-karya komposisi baru para komposer tidak bisa lepas dengan konvensi-konvensi karya musik tradisi. Lihat Made Pande Sukerta, Metode Penyusunan Karya Musik. (Surakarta: ISI Press Solo, 2011.) hal. 7.
1. Bagaimana cara menginterpretasi (menafsirkan) idiom-idiom bunyi kegiatan manggorga sebagai dasar penciptaan komposisi baru?
2. Bagaimana cara menggarap idiom-idiom bunyi dari kegiatan manggorga sebagai sebuah komposisi musik baru yang utuh?
3. Bagaimana cara menyajikan komposisi musik “Manggorga” sebagai sebuah seni pertunjukan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penciptaan
1.3.1 Tujuan penciptaan
Tujuan dari penciptaan komposisi musik yang berjudul Manggorga yaitu:
1. Untuk menginterpretasi idiom-idiom bunyi dari kegiatan Manggorga menjadi dasar penciptaan komposisi baru.
2. Untuk menggarap idiom-idiom bunyi dari kegiatan Manggorga menjadi sebuah komposisi musik baru yang utuh.
3. Untuk menyajikan karya musik baru yang berjudul Manggorga dalam suatu pertunjukan.
4. Untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan pengkarya dalam menciptakan komposisi musik baru yang berlandaskan kesenian tradisi.
1.3.2 Manfaat penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penciptaan karya musik baru yang berjudul Manggorga yaitu :
1. Sebagai bahan referensi bagi penciptaan karya seni yang bersumber dari kekayaan budaya etnis yang ada di Indonesia, khususnya Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan apresiasi bagi para seniman, budayawan dan masyarakat.
3. Sebagai stimulus terhadap perkembangan karya musik baru.
4. Memperkaya khazanah komposisi musik baru di Sumatera Utara.
5. Memenuhi tugas akhir dalam meraih gelar Magister Seni pada Program Studi Penciptaan dan Pengkajian Seni FIB USU.
1.4 Landasan Teoritis
Setelah membuat rumusan penciptaan, maka langkah selanjutnya adalah mencari teori-teori, konsep-konsep, generalisasi-generalisasi yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian dan penciptaan karya yang akan dilakukan.
Landasan ini perlu ditegakkan agar penelitian itu mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error). Untuk mendapatkan informasi mengenai berbagai hal yang disebutkan di atas, orang harus melakukan penelaahan kepustakaan. (Suryabrata, 2005 : 18).
Menurut Hardjana (2004 : 302) :
Seorang seniman pada umumnya akan bekerja menggunakan daya referensi teoritis dan pengetahuan berdasarkan pengalaman empirisnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan ciptaanya. Pengetahuan teoritis harus didukung dengan pemahamannya tentang berbagai pengetahuan yang menjadi stok pengetahuannya dalam menciptakan sebuah komposisi musik.
Berdasarkan pendapat di atas, pengkarya akan menggunakan beberapa teori yang relevan untuk menambah pemahaman dalam mengolah dan menganalisis data-data yang akan digunakan sebagai bahan dasar penciptaan komposisi musik. Dalam proses penciptaan komposisi musik, seorang komposer tidak cukup hanya mengandalkan perasaan atau intuisi semata, tetapi harus juga diperkuat dengan ilmu pengetahuan teoritis sebagai dasar dalam membantu dan
menyempurnakan rekayasa penciptaannya. Adapun teori-teori yang digunakan dalam penciptaan karya musik ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Teori interpretasi
Interpretasi adalah menafsirkan tentang suatu hal, dan berkaitan erat dengan pemahaman. Dalam kaitannya dengan interpretasi tersebut, pemahaman itu sangatlah kompleks, khususnya apabila berada pada manusia. Sulit untuk menentukan kapan sebenarnya manusia atau seseorang mulai mengerti tentang sesuatu atau hal tertentu. Seseorang haruslah terlebih dulu memahami atau mengerti untuk dapat memberikan interpretasi (Wahid, 2015: v).
Interpretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses interpretasi dengan bahasa yang tepat.
Sebagai langkah awal, pengkarya menafsirkan bunyi-bunyian ketukan- ketukan kegiatan manggorga menjadi bunyi-bunyian musikal berupa pola-pola ritme tertentu yang lebih kompleks dan utuh. Selain itu pengkarya juga akan menafsirkan garis-garis corak gorga dan mewujudkannya ke dalam melodi dan harmoni. Melodi yang akan disusun memanfaatkan idiom-idiom musikal Batak Toba dengan pendekatan musik kontemporer Barat.
1.4.2 Musik programa
Musik programa adalah musik instrumental yang besar pada abad ke-19 berhubungan dengan cerita, puisi, ide atau adegan. Bagian instrumental pada programa dapat mewakili emosi, karakter dan peristiwa cerita tertentu, atau dapat membangkitkan suara dan gerakan alam (Kamien, 2008: 214).
Kebanyakan musik dalam kategori programa mencoba untuk tidak hanya sekedar menyampaikan suasana (mood atau atmosfir) umum dari ide yang terkandung tetapi juga menyampaikan sifat dasar dari sebuah cerita. Dasar programatis sebuah komposisi dapat diarahkan ke tingkat yang lebih tinggi dari suatu realisme apabila musik yang dimaksudkan untuk menceritakan sebuah kisah atau pun melukiskan sebuah serial kejadian yang berhubungan. Menurut Prier (2009: 92) komposisi musik adalah suatu karya musik yang diciptakan oleh seorang komponis dan dicatat dengan pasti melalui not, sehingga dapat dibunyikan juga oleh orang lain tanpa bantuan atau kehadiran komponis.
Gaya musik programa berbeda dari gaya musik mutlak. Musik mutlak mempunyai aturan yang harus diikuti, berbeda dengan musik programa yang lebih bebas dan sesuai dengan keinginan komponis. Tidak mungkin penikmat musik dapat membedakan sebuah karya musik programa dari musik mutlak kecuali jika seseorang mengetahui judul atau maksud programatis komponisnya. (Miller 1971:
361).
Komposisi berjudul Manggorga akan disusun dan dituangkan oleh pengkarya ke dalam bentuk musik programa yang terdiri dari tiga bagian, dengan menggunakan penggabungan instrumen dan idiom dari musik tradisi Batak Toba
dan musik Barat. Melalui eksplorasi bunyi, pengkarya akan membuat tema yang diceritakan dan dituangkan ke dalam konsep yang diciptakan.
1.4.3 Teori instrumentasi
Menurut Banoe (Kamus Musik, 2003:196) : “Instrumentation (instrumentasi) adalah penetapan ragam alat musik yang dipergunakan dalam suatu formasi orkes. Penulisan musik bagi ragam alat tertentu sesuai dengan pilihan komponis atau seorang penggubah lagu.”
Dalam ilmu organologi, pengelompokkan dan karakteristik dari jenis instrumen dibagi ke dalam beberapa kelompok. Teori tentang instrumentasi yang dikemukakan oleh Curt Sachs dan Hornbostel (1961) mengenai pengklasifikasian alat musik yaitu, sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu : 1) idiofon, sumber getarnya adalah badan dari alat musik itu sendiri, 2) aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara, 3) membranofon, sumber getarnya adalah kulit atau membran, 4) kordofon, sumber getarnya adalah senar atau dawai.
Pemahaman tentang instrumentasi merupakan hal yang penting dan wajib bagi seorang komposer musik, demi terciptanya sebuah komposisi musik yang berkualitas baik. Sangat penting bagi seorang komposer untuk memahami aspek- aspek keilmuan instrumen musik untuk menunjang proses sebuah penciptaan karya musik yang berbobot.
Dalam komposisi Manggorga ini akan digunakan alat-alat musik tradisi Batak Toba dan dipadukan dengan kelompok alat musik gesek Barat. Alat-alat musik Batak Toba yang akan digunakan seperti: taganing dan gordang (membranofon), hasapi (kordofon), sulim (aerofon), ogung (idiofon), dan hesek (idiofon). Sedangkan alat musik gesek Barat yang digunakan yaitu Biola (kordofon) dan Cello (kordofon). Alasan pengkarya menggunakan alat-alat musik tradisi Toba adalah untuk menghadirkan karakteristik Batak Toba dan suasana alami daerah tanah Batak Toba yang merupakan daerah asal kesenian gorga tersebut. Sedangkan penggunaan alat musik gesek Barat untuk menambah kekayaan atau perluasan bunyi harmoni dalam komposisi berjudul Manggorga.
1.4.4 Teori orkestrasi
Dalam bukunya yang berjudul Orchestration (1955), Walter Piston menjelaskan bahwa orkestrasi merupakan teknik penulisan orkestra musik dengan asas-asas pengkombinasian berbagai instrumen musik yang berlainan jenis maupun yang sejenis. Pengkombinasian instrumen musik akan memunculkan warna suara yang akan lebih memperkaya komposisi secara keseluruhan. Untuk dapat memaksimalkan penyusunan dan mengatur pengkombinasian tersebut diperlukan sebuah aturan yang disebut dengan orkestrasi, yaitu menyusun secara tepat dan menuliskannya agar dapat dilihat keteraturannya. Dalam hal ini sangat jelas bahwa untuk menyusun sebuah komposisi musik kadangkala diperlukan ilmu orkestrasi guna memaksimalkan penciptaan sebuah komposisi musik.
Orkestrasi meliputi penulisan atau transkripsi dari sebuah komposisi musik agar dapat dipergunakan sebagai pedoman yang dapat dipraktekkan. Dalam sebuah orkestrasi, pengkombinasian instrumen musik dirancang berdasarkan kebutuhan akan komposisi yang diciptakan. Hal tersebut termasuk untuk menyusunkeselarasan berbagai bunyi dari instrumen musik yang digunakan. Menyusun orkestrasi dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan secara tepat dalam menyusun penggunaan instrumen dan juga tingkat dan warna suara dalam sebuah komposisi musik, hal ini juga dimaksudkan agar terhindar dari munculnya kesenjangan warna bunyi dalam sebuah komposisi musik yang dapat mengakibatkan hadirnya bunyi musik yang tidak harmonis.
Bentuk orkestrasi mempunyai dua pendekatan, yaitu: 1) Transkripsi, yaitu memindahkan tulisan notasi ke dalam formasi lain tanpa mengadakan perubahan sedikitpun dari score aslinya, baik mengenai melodi, harmoni, maupun tanda- tanda dinamik. 2). Aransemen, yaitu menulis kembali suatu komposisi/lagu ke dalam formasi lain dengan mengadakan perubahan yang signifikan di berbagai aspek dari score aslinya, akan tetapi tidak boleh merubah melodi pokoknya (cantus firmus). Dalam hal ini transkripsi yang akan dilakukan oleh pengkarya yaitu menuliskan komposisi musik Manggorga ke dalam bentuk notasi musik atau sering disebut partitur, sehingga dapat digunakan sebagai panduan dalam proses latihan untuk penyajian karya. Tujuan akhir dari transkripsi ini adalah sebagai dokumentasi dalam laporan karya akhir yang berjudul Manggorga.
Teori orkestrasi ini akan dijadikan sebagai rujukan dan akan digunakan untuk membangun sebuah komposisi musik yang akan diciptakan. Dalam hal ini pengkarya mengeksplorasi berbagai medium instrumen musik yang akan digunakan untuk lebih memaksimalkan penempatan instrumen musik secara tepat dan pengaturan range tone atau warna bebunyian agar dapat terorganisir dengan harmonis.
1.4.5 Etnografi kesenian Batak Toba
Etnografi merupakan bagian dari ilmu Antropologi (ilmu tentang manusia) yang bersifat deskriptif. Etnografi berasal dari kata Ethnography yang berarti pelukisan tentang bangsa-bangsa. Istilah ini umum dipakai di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang termaktub dalam karangan-karangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar Eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan bahan itu (Koentjaraningrat, 2009 : 9).
Etnografi adalah kajian tentang kehidupan dan kebudayaan suatu masyarakat atau etnik, misalnya tentang adat-istiadat, kebiasaan, hukum, seni, religi, dan bahasa. Bidang kajian yang sangat berdekatan dengan etnografi adalah etnologi, yaitu kajian perbandingan tentang kebudayaan dari berbagai masyarakat atau kelompok. Penelitian etnografi juga merupakan kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data-data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru akan lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya.
Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi aktivitas penting dalam etnografi.
Menurut Koentjaraningrat (2009 : 298) dikatakan bahwa :
Perhatian terhadap kesenian atau segala ekspresi hasrat manusia akan keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, mula-mula bersifat deskriptif. Para pengarang etnografi masa akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 dalam karangan-karangan mereka seringkali memuat suatu deskripsi mengenai benda-benda hasil seni, seni rupa, terutama seni patung, seni ukir, atau seni hias, pada benda alat-alat sehari- hari. Deskripsi-deskripsi itu terutama memperhatikan bentuk, teknik
Selain benda hasil seni rupa, lapangan kesenian lain yang juga sering mendapat tempat dalam sebuah karangan etnografi adalah seni musik, seni tari, dan drama.
Dipandang dari sudut cara kesenian sebagai ekspresi hasrat manusia akan keindahan itu dinikmati, maka ada dua lapangan besar, yaitu (a) seni rupa, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan mata, dan (b) seni suara, atau kesenian yang dinikmati oleh manusia dengan telinga. Dalam lapangan seni rupa ada seni patung, seni relief (termasuk seni ukir), seni lukis dan gambar, dan seni rias. Seni musik ada yang vokal (menyanyi) dan ada yang instrumental (dengan alat bunyi-bunyian), dan seni sastra lebih khusus terdiri dari prosa dan puisi.
Dalam penyusunan karya ini, pengkarya akan meneliti etnografi kesenian Batak Toba. Pengkarya akan mengkaji dan mendeskripsikan kesenian masyarakat etnis Batak Toba, khususnya tentang seni ukir gorga yang merupakan bagian dari seni rupa tradisi Batak Toba. Selain itu juga akan dijelaskan tentang seni musik tradisi Batak Toba yaitu ansambel gondang. Hal tersebut sangat penting untuk dipahami dengan benar dan mendalam, karena ide penciptaan karya musik ini berangkat dari aktivitas mengukir ragam hias Batak Toba yang disebut manggorga. Sedangkan etnografi musik Batak Toba dilakukan untuk lebih memahami idiomatika, estetika dan pengetahuan tentang musik gondang.
1.4.6 Pembicaraan rujukan penciptaan karya musik
Pembicaraan rujukan yang dimaksud adalah sebuah upaya pengkarya untuk merujuk beberapa karya musik terdahulu yang relevan dengan model penciptaan komposisi musik berjudul Manggorga. Beberapa rujukan dalam penciptaan komposisi musik yang akan digunakan yaitu:
a. Senggulat Mbacang karya musik Pulumun Petrus Ginting
Senggulat Mbacang adalah karya dari Pulumun Petrus Ginting yang bersumber dari cerita rakyat dalam masyarakat Karo. Dalam karya ini banyak idiom-idiom dari kesenian etnis Karo yang ditemukan kembali serta diolah sedemikian rupa dalam konteks pertunjukan yang baru.
Senggulat Mbacang merupakan cerita rakyat pada masyarakat Karo yang menceritakan seorang putri bernama Rudang Bulan yang dihadiahi seekor kuda oleh ayahnya karena merasa putri sudah dewasa. Untuk mengurus kuda tersebut raja memerintahkan seorang pemuda bernama Tare Iluh untuk mengasuh dan menjaganya. Kedekatan putri dan pengasuh kuda menumbuhkan benih-benih cinta, namun karena putri sadar akan cinta terlarang itu mereka memutuskan untuk lari dari kerajaan.
Dalam cerita rakyat Senggulat Mbacang terdapat nilai-nilai pengorbanan, perjuangan yang dihadirkan dalam bentuk pertunjukan musik oleh sang komposer.
Dalam karya musik Senggulat Mbacang, Pulumun Petrus Ginting mengolah ritem dasar Karo yaitu “ tung tang cek tang cek tang cek tung “ menjadi sebuah embrio dasar pada penciptaan karya musik sehingga tumbuh dan berkembang ke dalam instrumen non perkusif, misalnya string yang dimainkan dengan ritem dasar Karo.
Komposer menawarkan musik tradisi yang variatif dan fleksibel serta tidak hanya memakai instrumen musik Karo, melainkan menggabungkan semua instrumen musik yang ada pada masyarakat Batak dan Melayu.
Terdapat persamaan komposisi musik Senggulat Mbacang dengan komposisi musik Manggorga, yaitu sama-sama memanfaatkan idiom-idiom dan instrumen musik tradisional yang dipadukan dengan instrumen musik Barat dan diolah menggunakan harmoni Barat. Dengan kata lain, kedua karya tersebut sama- sama bertujuan mengangkat kembali kebudayaan atau tradisi dari suku asli yang ada di Sumatera Utara. Meskipun dalam pengolahan komposisi musiknya juga menggunakan teori musik Barat. Perbedaannya adalah karya Senggula Mbacang berangkat dari cerita rakyat Karo, sedangkan karya Manggorga berangkat dari kesenian tradisi Batak Toba yaitu seni kriya ukir.
b. Tambang karya Aqsa Mulya
Tambang adalah sebuah karya musik baru yang berangkat dari pengamatan terhadap sebuah objek tambang atau sampan, sebagai salah satu media transportasi di pesisir Pangkalan Berandan untuk menghubungkan antara pulau yang satu dengan pulau yang lain. Fenomena sosial budaya ini merangsang komposer untuk berfikir dan menafsirkan ulang atas apa yang diamati tersebut, melalui ekspresi musikal yang dikomunikasikan kepada orang lain. Ide yang bersifat musikal ini digarap dalam bentuk komposisi musik untuk mengilustrasikan budaya mendayung sampan sebagai salah satu core kehidupan budaya masyarakat pesisir di Pangkalan Berandan, yang sudah diwariskan oleh pendahulunya secara turun-temurun.
Sifat musikal yang paling mendasar dalam mengolah bebunyian dan ritem diadopsi dari resam budaya Melayu. Budaya bebunyian resam Melayu ini diolah menjadi sebuah ruang dimensi bunyi yang akan dipersembahkan untuk siapa saja yang ingin mendengar atau menikmatinya. Dalam hal ini idiom bunyi dalam resam Melayu diolah dengan mengadopsi ritem senandung dan zapin sebagai dasar pola-pola ritem komposisi musik. Melodi diciptakan dengan mendayagunakan pola-pola lagu floklore Melayu Langkat dengan menggunakan modus melodi Arabes. Akor iringan komposisi dengan pendekatan musik Barat.
Terdapat kesamaan karya musik Manggorga dengan karya musik Tambang yaitu sama-sama bersumber dari idiom-idiom tradisi yang diolah dengan pendekatan harmoni Barat. Dengan kata lain, kedua karya tersebut sama- sama bertujuan mengangkat kembali kebudayaan atau tradisi dari etnis asli yang ada di Sumatera Utara dengan unsur kebaruan. Perbedaannya adalah garapan komposisi Tambang memanfaatkan unsur-unsur musikal dan idiom bunyi resam Melayu (pola-pola lagu floklore Melayu Langkat) yang dipadukan dengan modus melodi Arabes dan harmoni musik Barat, sedangkan karya Manggorga digarap dengan memanfaatkan unsur-unsur musikal dan idiom Batak Toba dengan pendekatan musik kontemporer Barat.
c. Metode Penyusunan karya musik oleh Pande Made Sukerta
Tulisan Pande Made Sukerta ini membicarakan tentang metode penyusunan karya musik (sebagai sebuah alternatif). Menurutnya karya seni merupakan sebuah hasil renungan manusia yang diwujudkan dalam bentuk karya seni dengan menggunakan medium tertentu sesuai dengan bidangnya. Selain itu buku ini juga membicarakan tentang teks dan konteks sebuah karya seni, hubungan seni dengan manusia, unsur kreativitas, pro dan kontra penyusunan karya seni, seni karawaitan dan karya musik baru, seniman dan karya seninya, sumber-sumber medium bunyi sebagai sumber penciptaan musik, bentuk karya
musik, penyusunan karya musik dan hal-hal lain yang berhubungan dengan komposisi musik.
Tulisan Pande Made Sukerta ini menjadi acuan, referensi dan rujukan yang sangat penting dalam membantu pengkarya dalam melakukan langkah-langkah dan metode dalam penciptaan karya musik yang bersifat kebaruan. Buku ini juga menjelaskan bagaimana materi warna bunyi menjadi sebuah hal yang cukup penting di dalam proses penciptaan karya musik dan sekaligus memberikan solusi untuk para penata musik dalam mensiasati permasalahan sambungan rapat antara bagian satu ke bagian lainnya sehingga menjadi sebuah karya musik utuh tanpa terasa sedikitpun dari sebuah potongan-potongan motif dan bagian-bagian komposisi musik.
d. Epistemologi Penciptaan seni oleh Bambang Sugiharto
Tulisan Bambang Sugiharto membicarakan dan mendiskusikan tentang pilar-pilar eksistensi penciptaan seni sebagai sebuah ilmu. Hal-hal yang menjadi fokus diskusi dalam tulisan ini antara lain adalah: eksistensi ilmu dan seni, kebenaran dalam penciptaan seni, paradigma penciptaan seni, sumber penciptaan seni, dan sarana penciptaan seni. Oleh karena itu dikusi dan pembicaraan dalam tulisan ini dianggap penting dalam membantu pengkarya untuk lebih memahami persoalan penciptaan musik.
Selain itu diskusi dan pembicaraan dalam tulisan Bambang Sugiharto juga menunjukan ciri berfikir kelompok manusia dalam kebudayaan, seperti seniman, publik seni dan bagaimana membuka wacana mengenai pilar eksistensi ilmu disiplin seni yang semakin berkembang, baik dalam bidang kajian seni yang
bertolak dari sudut pandang ilmu budaya, ilmu antropologi, sosiologi dan sudut pandang ilmu penciptaan seni. Dengan demikian pemikiran ini dijadikan sebagai rujukan oleh pengkarya untuk memahami konsep-konsep penciptaan seni sebagai sebuah ilmu pengetahuan dari berbagai sudut pandang.
1.5 Metode Kekaryaan
Metode merupakan sebuah cara yang sistematis dan teratur dilakukan dalam melaksanakan sebuah kegiatan yang bersifat akademis dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam penciptaan karya musik ini pengkarya melakukan metode yang lebih bersifat interpretatif estetis. Hal tersebut dimaksudkan bahwa berdasarkan perenungan dan pengamatan terhadap kegiatan manggorga dan kesenian gorga yang kemudian diinterpretasikan ulang oleh pengkarya musik atas dasar pengalaman estetis yang ada untuk mewujudkan nilai baru dalam suatu pernyataan ekpresi musikal yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain.
Konsep ini juga tidak ingin terpengaruh untuk menggunakan unsur musikal yang terlalu mudah untuk diidentifikasi atau terlalu bersifat populer, atau terlalu terburu-buru dalam proses penggarapannya, sehingga terkesan instant dan rendah nilai. Konsep ini ingin lebih meluaskan ide penggarapannya pada unsur musikalnya seperti: meluaskan pengolahan unsur timbre, ritem, maupun bentuk melodi dan harmoni yang dengan memanfaatkan idiom-idiom musikal tradisi.
Dalam penerapan gagasan-gagasan materi komposisi musik, sebuah proses sungguh-sungguh menjadi inti pokok keseriusan sebuah penciptaan karya musik.
Waktu yang panjang, ketekunan dan ketelitian dalam proses mengkomposisi setiap bagian karya musik bertujuan agar karya musik terhindar dari kesan
tempelan atau tambal sulam dari unsur musik yang sudah ada. Dari keselurahan atas keseriusan konsep ini pengkarya lebih dapat belajar untuk memberikan tanggung jawab seutuhnya terhadap penggarapan komposisi musik yang dilakukan.
Berikutnya pengkarya juga mendeskripsikan hal-hal yang berhubungan dengan kekaryaan antara lain adalah pelaksanaan observasi, wawancara, perekaman data audio visual, dan metode penciptaan karya musik.
1.5.1 Observasi
Observasi adalah proses pengumpulan data yang dilaksanakan tanpa mengajukan pertanyaan, melainkan dengan cara mengamati secara langsung pada objek yang diteliti. Sugiyono (2010: 229) yang mengatakan bahwa: “Objek penelitian kualitatif yang diobservasi adalah situasi sosial dan kebudayaan yang sedang berlangsung, yang terdiri dari tiga komponen yaitu place (tempat), actor (pelaku) dan activities (aktivitas).”
a. Observasi tempat
Lokasi penelitian berada di desa Lumban Lobu, Kabupaten Toba Sumatera Utara, tepatnya di rumah kediaman seorang panggorga Batak yang sudah cukup terkenal, yaitu Jesral Tambun. Di rumah Jesral Tambun ini terdapat tempat atau ruang kerja (workshop) sebagai tempat melakukan segala aktivitas manggorga.
Dalam hal ini pengkarya mengunjungi, mengamati dan mencatat tempat di mana proses pembuatan gorga berlangsung sebagaimana adanya sebagai sumber dalam memahami fakta-fakta tempat.
b. Observasi pelaku
Observasi pelaku dilakukan terhadap panggorga yang bernama Jesral Tambun. Dalam hal ini pengkarya mengamati dan mencatat siapa saja orang- orang di sekelilingnya sehari-hari, khususnya pada saat Jesral bekerja atau manggorga.
c. Observasi aktivitas
Observasi tehadap aktivitas seni kriya ukir manggorga dilakukan dengan mengamati seluruh aktivitas yang dilakukan Jesral dari tahap persiapan, awal hingga akhir pembuatan gorga. Dalam hal ini pengkarya mengamati dan mencatat seluruh gerak-gerik aktivitas manggorga mulai dari membuat sketsa, mengukir, dan memberikan pewarnaan gorga. Termasuk juga mendata seluruh peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam manggorga dan cara menggunakannya..
1.5.2 Wawancara
Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data untuk mendapatkan informasi dengan bertanya langsung kepada subjek penelitian.
Menurut Bungin (2007:118) dikatakan bahwa:
“Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara yakni peneliti sendiri informan atau orang yang diwawancarai, wawancara dapat dilakukan dengan atau tanpa pedoman, dengan isi wawancara berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.”
Sesuai dengan pendapat tersebut, pengkarya melakukan wawancara langsung dan bertatap muka dengan beberapa narasumber yang berkompeten dan menguasai topik penciptaan karya ini, yaitu tentang gorga, manggorga, dan tentang budaya Batak Toba. Adapun narasumber yang pengkarya tentukan adalah:
a. Panggorga, 1 orang.
b. Seniman perupa yang sekaligus guru seni rupa, 1 orang.
c. Budayawan Batak Toba, 1 orang.
d. Pemusik Tradisi Batak Toba 2 orang.
Dalam proses wawancara ini pengkarya menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan yang diajukan kepada informan sesuai dengan kebutuhan penyusunan karya musik Manggorga. Wawancara ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan topik atau ide, gagasan karya. Informasi yang diperoleh berupa data dari beberapa informan kemudian diolah dan direduksi berdasarkan ketercapaian tujuan agar hasil yang diharapkan menjadi lebih akurat dan terpercaya.
Adapun hal-hal yang akan ditanyakan dalam wawancara adalah sebagai berikut:
a. Pengertian dari gorga dan sejarah gorga
b. Jenis gorga dan makna dari masing-masing gorga c. Perkembangan kesenian gorga saat ini
d. Prosedur dalam manggorga
e. Nama-nama peralatan dan perlengkapan dalam manggorga f. Hubungan gorga dengan keyakinan masyarakat Batak Toba g. Apa saja jenis kesenian masyarakat Batak Toba
h. Pengertian gondang, unsur musikal dan karakteristiknya.
1.5.3 Perekaman data audio visual
Selain data-data dalam bentuk tulisan dan lisan dari lapangan, diperlukan juga data dalam bentuk vidio (audio visual) sebagai dokumentasi pengkarya.
Perekaman data audio visual dilakukan dengan merekam aktivitas maggorga dan merekam pembicaraan dan penjelasan tentang gorga dari panggorga dan informan lainnya. Selanjutnya data audio visual yang diperoleh dari lapangan, diolah dan diseleksi. Data akhir digunakan sebagai bahan untuk menggarap komposisi Manggorga.
Perekaman dilakukan dengan menggunakan kamera DSLR Canon D-700 dan hasilnya disimpan pada file komputer musik untuk memudahkan dalam mengorganisir sumber musikal yang akan digunakan dalam komposisi musik ini.
1.5.4 Tahapan penciptaan karya
Tahapan dalam penyusunan karya musik atau komposisi berjudul Manggorga yaitu :
1. Pra penciptaan karya musik
a. Melakukan perenungan tentang ide penciptaan, khususnya tentang kesenian gorga
b. Mencari inspirasi dengan membaca buku-buku dan artikel tentang gorga dan kesenian Batak Toba, dan juga menonton vidio-vidio di Youtube tentang kebudayaan Batak Toba
c. Melakukan pengamatan lapangan terhadap ide penciptaan yaitu tentang gorga dan manggorga, kemudian melakukan pendokumentasian objek yang diamati sebagai sumber penciptaan musik.
2. Proses penciptaan komposisi musik
a. Membuat gagasan dan konsep dasar isi dari komposisi Manggorga
b. Menuangkan gagasan isi tentang Manggorga ke dalam ide garapan, dengan terlebih dahulu melakukan interpretasi, kemudian memilih idiom-idiom musikal Batak Toba yang diperlukan untuk mendukung gagasan isi, serta melakukan pendekatan musik Barat.
c. Menentukan garapan dengan melakukan eskplorasi dan eksperimentasi bunyi untuk menentukan warna suara/bunyi atau karakter suara yang dibutuhkan dalam karya tersebut
d. Menyusun atau menciptakan ritme/irama, melodi dan harmoni melalui eksplorasi bunyi/suara pada alat-alat musik yang digunakan
e. Menyusun bagian-bagian komposisi sesuai dengan gagasan dan garapan yang telah ditetapkan
f. Merangkaikan bagian-bagian komposisi sesuai dengan alur karya. Mulai dari bagian awal, pertengahan, dan akhir komposisi merupakan satu kesatuan utuh, yang menceritakan gagasan isi dari karya Manggorga.
g. Menetapkan instrumen-instrumen musik yang akan digunakan dan memilih para pemain/pendukung karya.
h. Menentukan jadwal latihan dan melaksanakan latihan bersama seluruh pendukung karya
i. Menganalisis dan mengevaluasi komposisi musik yang telah dimainkan pada latihan bersama
j. Melakukan bimbingan dan diskusi untuk memperoleh saran dan masukan
k. Melakukan revisi terhadap kekurangan-kekurangan dalam komposisi musik l. Menetapkan komposisi musik Manggorga yang sudah final dan utuh m. Melakukan latihan demi latihan demi kematangan penyajian karya musik 3. Penyajian Karya Musik
a. Merancang dan menentukan jadwal pertunjukan komposisi musik Manggorga
b. Mempersiapkan panitia pelaksana dan seluruh pendukung acara c. Mempersiapkan panggung pertunjukan yang representatif
d. Mempersiapkan semua peralatan musik, sound system, lighting, dan sarana pendukung lainnya
e. Melaksanakan pertunjukan karya musik berjudul Manggorga
f. Mempertanggungjawabkan komposisi musik Manggorga secara akademis di hadapan tim dosen pembimbing dan penguji.
Bagan 1.
Bagan 1.
Kerangka Berfikir Penciptaan Komposisi Musik Manggorga
Penciptaan Komposisi Musik Manggorga
Tahap 1 Pra penciptaan komposisi musik
Tahap 2 Proses penciptaan
komposisi musik
Tahap 3
Pertunjukan dan pertangung jawaban komposisi musik secara
akademis
- Perenungan - Perencanaan - Studi pustaka - Penelitian
lapangan
- Pendokumentasian
- Membuat konsep atau gagasan isi karya - Pemilihan idiom-idiom
bunyi
- Menentukan garapan - Instrumentasi, orkestrasi
dan pemilihan pemain - Menyusun komposisi - Proses latihan
- Menganalisa hasil latihan - Bimbingan dan diskusi - Revisi dan perbaikan
komposisi
- Menetapkan komposisi final
- Mempersiapkan dan menjadwalkan pertunjukan komposisi - Mempersiapkan
panggung pertunjukan - Mempertunjukan
komposisi musik - Mempertanggung
jawabkan komposisi musik secara akdemis
BAB II DESKRIPSI KESENIAN MASYARAKAT BATAK TOBA
2.1 Gambaran Umum Masyarakat Batak Toba
Pada awalnya masyarakat Batak Toba secara turun-temurun tinggal menetap atau mendiami hampir seluruh wilayah Pulau Samosir (Kabupaten Samosir) dan Kabupaten Tapanui Utara, menempati wilayah darat dan pedalaman-pegunungan di Provinsi Sumatera Utara. Namun seiring berjalannya waktu dan dinamika kebidupan, masyarakat Batak Toba atau orang Toba banyak yang merantau ke daerah atau wilayah lain, baik di dalam maupun luar pulau Sumatera, bahkan sampai ke luar negeri.
Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam sebuah sistem kekerabatan berdasarkan Dalihan Na Tolu. Secara harfiah, Dalihan Na Tolu artinya tungku yang berkaki tiga, yaitu tiga kelompok kekerabatan yang terdiri atas dongan tubu (sesama saudara lelaki yang lahir dari rahim ibu yang sama atau saudara senenek moyang dan semarga), hula-hula (pihak keluarga pemberi istri), dan boru (pihak keluarga penerima istri). Falsafah keidupan masyarakat Batak Toba yaitu Somba marhula-hula (hormat/sembah kepada hula-hula), Manat mardongan tubu (berhati-hati/rukun dengan sesama dongan tubu), Elek marboru (perhatian/ bersifat membujuk kepada boru). Segala kegiatan masyarakat Batak dalam hubungan sosial budaya dapat dikatakan sempurna apabila telah didukung ketiga kelompok kekerabatan tersebut.
Secara tradisional, mata pencaharian masyarakat Batak Toba sejak zaman dahulu umumnya bercocok tanam, seperti: berladang, bertani, beternak ikan dan
mengelola hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, masyarakat Batak Toba mulai memilih pekerjaan-pekerjaan bidang lainnya yang tersedia di dalam dan di luar tanah Batak, seperti perkebunan, pegawai pemerintahan/ swasta, berdagang, dan lain-lain.
2. 2 Kesenian Masayarakat Batak Toba
Sejak dahulu nenek moyang masyarakat Batak Toba telah mewariskan beragam bentuk kesenian seperti: seni rupa, seni musik, seni sastra, dan seni tari, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan hingga saat ini ragam kesenian tersebut masih tetap dilestarikan dan dikembangkan oleh generasi penerus masyarakat Batak Toba.
2.2.1 Seni rupa
Seni rupa yang terdapat di masyarakat Batak Toba diantaranya yaitu kerajinan patung kayu, patung batu, dan seni ukir ornamen gorga. Seni patung kayu contohnya patung Sigale-gale, patung manuk-manuk, dan lainnya.
Sedangkan patung batu contohnya altar persembahan, makam raja, dan lainnya.
Seni ukir ornamen yang disebut gorga umumnya ditemukan pada dinding luar bagian depan rumah tradisional Batak Toba. Motif dari ukiran gorga dapat berupa pola hewan, tumbuhan, manusia, khayalan, dan pola kosmos. Masing-masing motif tersebut memiliki makna dan nilai tertentu yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Batak Toba sejak dahulu. Ukiran gorga juga dapat ditemukan pada alat musik Toba, makam, dan gedung tertentu. Di samping itu juga terdapat seni rupa tekstil yang disebut ulos, yang merupakan jenis kain
tenunan yang dibuat dari bahan benang yang berwarna-warni. Kain ulos dapat dibedakan dari warna, pola rajutan, bahan, dan ukurannya. Seni rupa masyarakat Batak Toba, selain mengandung nilai estetis juga mengandung nilai spiritual, dan filosofi Batak Toba.
2.2.2 Seni musik
Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba kegiatan seni musik dapat dilihat dari dua konteks kegunaan, yaitu pertama, kegitan musik untuk sesuatu yang bersifat ritual keagamaan dan adat-istiadat, dan yang kedua, kegiatan musik untuk sesuatu yang bersifat hiburan. Kegiatan musik yang bersifat ritual keagamaan dan adat-istiadat diiringi dengan musik yang disebut gondang.
Sedangkan kegiatan musik yang bersifat hiburan bentuknya berupa nyanyian (ende), maupun berupa permainan alat-alat musik gabungan (uning-uningan) seperti sulim, tulila, talatoit, saga-saga, hasapi, taganing, dan alat musik non tradisional Batak.
Musik tradisional Batak Toba yang disebut gondang terbagi atas dua ensambel, yaitu Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi. Sejak dahulu kala musik Gondang diyakini orang Batak Toba sebagai sarana untuk berhubungan dengan Sang Pencipta (Mulajadi Na Bolon). Gondang Sabangunan terdiri atas beberapa alat musik, yaitu Sarune Bolon, Taganing dan Gordang, satu set Ogung (empat buah gong), dan hesek. Sedangkan Gondang Hasapi terdiri atas alat-alat musik seperti Hasapi Ende, Hasapi Doal, Sarune Etek, Garantung, dan Hesek.
Secara garis besar, pernan musikal alat-alat musik padda kedua ensambel tersebut
terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1) sebagai pembawa melodi, 2) sebagai pembawa ritem konstan, dan 3) sebagai pembawa ritem konstan variatif.
Khusus bagi penganut kepercayaan tradisi Batak Toba yang disebut Parmalim, Gondang merupakan sarana yang wajib digunakan dalam upacara ritual keagamaanya. Untuk upacara ritual yang bentuknya besar dan di luar rumah digunakan Gondang Sabangunan. Namun untuk upacara ritual yang bentuknya kecil atau di dalam ruangan ibadat digunakan Gondang Hasapi. Para pemain musik Gondang yang disebut pargonsi juga mendapat status dan peran yang istimewa dalam suatu upacara ritual dan adat, khususnya pemain Sarune (parsarune) dan pemain Taganing (partaganing). Karena pargonsi dianggap atau diyakin berfungsi sebagai mediator antara dunia manusia dan dunia para dewa, terutama dengan Sang Pencipta.
Modus atau tangga nada musik gondang Batak Toba dapat dikategorikan ke dalam pentatonik (lima nada dalam satu oktaf) sebagai nada pokok. Modus musikal pada Gondang Hasapi cenderung lebih tetap (fixed) dibanding pada Gondang Sabangunan yang lebih variatif. Namun dapat dikatakan bahwa hampir tidak ada terdapat suatu standar pelarasan yang baku pada musik Gondang.
Terdapat perbedaan pelarasan di antara grup musik di satu tempat dengan tempat lainnya. Ciri tekstural (jalinan musikal) pada musik Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi dapat dikategorikan heterofonik, di mana tiap-tiap alat musik melodis pada dasarnya memainkan motif atau pola melodi yang sama secara paralel dengan variasi tertentu sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Dalam konteks kekinian, alat-alat musik pada Gondang Sabangunan dan Gondang Hasapi sudah banyak dipadukan dengan alat-alat musik tradisi lain dan alat-alat musik Barat/modern untuk kebutuhan garapan musik.
Selain kesenian dalam bentuk rupa dan musik, masyarakat Batak Toba juga memiliki seni sastra dan seni tari. Seni sastra Batak Toba di antaranya:
umpasa dan umpama (pepatah dan petuah), tonggo-tonggo (rangkaian doa), turi- turian (cerita rakyat), dan lain-lain. Seni tari Batak Toba ada yang dinamakan tor- tor untuk keperluan upacara ritual keagamaan dan adat, dan ada yang dinamakan tumba untuk keperluan hiburan, khususnya bagi anak-anak dan pemuda-pemudi Batak Toba.
BAB III DESKRIPSI PROSES PENCIPTAAN KARYA MUSIK
3.1 Proses Penciptaan Komposisi Musik
Pada bagian ini dideskripsikan bagaimana proses penciptaan komposisi musik Manggorga secara rinci mulai dari awal hingga akhir, yaitu sejak mendapatkan inspirasi sampai mengaktualisasikannya menjadi komposisi musikal baru.
3.1.1 Ide dan gagasan komposisi musik
Berawal dari ketertarikan dan kekaguman pengkarya atas keindahan dan keunikan seni kriya ukir Batak Toba yang disebut gorga. Di mana gorga memiliki corak garis-garis yang merambat ke berbagai arah dan mengandung perpaduan tiga warna (putih, merah, dan hitam) yang harmonis. Motif atau corak gorga yang beragam juga memiliki makna dan nilai tertentu yang berkaitan dengan keyakinan dan pandangan hidup masyarakat Batak Toba sejak zaman dahulu. Proses pembuatan gorga (manggorga) membutuhkan ketelitian, kesabaran dan kerja keras. Kegiatan manggorga (mengukir atau memahat) selalu mengeluarkan bunyi- bunyian bersifat ritmis. Keindahan, keunikan gorga dan bunyi-bunyian ritmis yang dihasikan dari kegiatan manggorga telah merangsang pengkarya untuk berimajinasi, menginterpretasi dan menggarap sebuah komposisi musik baru dalam bentuk musik programa yang berjudul Manggorga. Komposisi musik baru ini berbasis tradisi dengan sentuhan dan pendekatan musik Barat.
Komposisi Manggorga akan menceritakan dan menggambarkan proses pembuatan gorga (manggorga) dengan memanfaatkan idiom-idiom bunyi Bata k
Toba dan diolah dengan pendekatan harmoni Barat. Komposisi ini terdiri atas tiga bagian, 1) bagian pertama menceritakan tentang proses pembuatan garis-garis (sketsa) motif gorga; 2) bagian kedua menceritakan tentang proses mengukir (manggorga) papan kayu ukir sesuai garai-garis (sketsa) motif gorga; dan 3) bagian ketiga menceritakan tentang proses pewarnaan ukiran gorga dengan mengunakan tiga warna (putih, mera, dan hitam).
3.1.2 Tahap pelacakan dan pemilihan idiom bunyi
Pada tahap ini pengkarya melakukan beberapa langkah kegiatan, antara lain:
a. Melakukan observasi lapangan guna memperoleh informasi yang dibutuhkan menyangkut perolehan data idiom bunyi manggorga.
b. Melakukan perekaman audio visual terhadap kegiatan manggorga.
c. Menyimpan hasil rekaman ke dalam file komputer.
d. Menyeleksi hasil rekaman manggorga untuk dipilih sebagai sumber inspirasi kekaryaan musik.
e. Mengorganisir hasil seleksi rekaman bebunyian aktifitas manggorga kedalam file komputer musik.
3.1.3 Tahap mengkomposisi bunyi
Pada tahap ini pengkarya melakukan beberapa aktivitas yang berhubungan dengan menyusun sebuah komposisi musik, antara lain:
a. Merancang struktur, bentuk komposisi musik menjadi beberapa bagian yang dapat mewakili gambaran tentang proses manggorga dalam bentuk komposisi musik baru.
b. Merancang beberapa pola ritem pada bagian atau pada tiap-tiap frase komposisi musik dengan mengadopsi idiom musik Batak Toba dan bunyi ritmis kegiatan manggorga sebagai dasar pembentukan komposisi musik.
c. Merancang dan menciptakan bentuk dasar melodi dan akor iringan pada tiap- tiap bagian atau frase komposisi musik yang ditafsir berdasarkan gerak garis- garis motif gorga dan idiom musik Batak Toba.
d. Mengembangkan bentuk ritem dasar menjadi lebih variatif sehingga dapat mewakili gambaran proses manggorga.
e. Mengembangkan bentuk melodi dan harmoni dasar menjadi bentuk-bentuk yang lebih sempurna dan dapat mewakili dalam menerjemahkan idiom Batak Toba pada aktivitas manggorga.
f. Menetapkan bentuk final dan utuh komposisi musik tanpa adanya revisi dan melakukan finalisasi karya musik yang siap untuk dipertunjukan dan dipertanggungjawabkan.
3.1.4 Tahap instrumentasi dan pemilihan pemain
Pada tahap ini pengkarya melakukan beberapa kegiatan, antara lain:
a. Menganalisis kebutuhan bunyi musikal dalam komposisi musik Manggorga b. Memilih instrumen-instrumen musik yang dapat memenuhi kebutuhan bunyi
musikal komposisi Manggorga
c. Menentukan dan mengundang pemain musik yang dibutuhkan dan memiliki kemampuan teknik bermain musik yang baik
d. Melakukan revisi atas kekurangan atau kekeliruan yang terjadi dalam penggunaan instrumen musik
e. Melakukan penggantian pengurangan ataupun penambahan pemain atas ketidak sesuaian yang terjadi dalam memenuhi kebutuhan komposis musik.
f. Memfinalisasi penggunaan instrumen dan pemain musik yang dibutuhkan dalam komposisi musik ini.
Adapun instrumen-instrumen musik yang digunakan dalam komposisi musik Manggorga adalah sebagai berikut:
1. Kelompok instrumen perkusi:
- Taganing, 1 set - Gordang, 2 unit - Ogung, 1 set - Papan kayu, 4 unit 2. Kelompok instrumen tiup:
- Sulim, 2 unit
3. Kelompok instrumen petik:
- Hasapi, 1 unit
4. Kelompok instrumen gesek:
- Violin, 2 unit - Viola, 1 unit - Cello, 2 unit
- Kontra Bass, 1 unit
3.2 Proses Latihan dan Pembimbingan
3.2.1 Proses latihan
Pada tahap ini pengkarya awali dengan menyusun jadwal latihan yang ditetapkan melalui kesepakatan bersama para pendukung karya (penyaji karya).
Atas kesepakatan bersama, jadwal latihan dibagi menjadi tiga kelompok waktu berdasarkan pengelompokan instrumen, yaitu kelompok tiup jadwal latihannya setiap hari Senin dan Selasa, kelompok gesek dan petik jadwalnya tiap hari Rabu dan Kamis, dan kelompok perkusi jadwal latihannya pada hari Jumat dan Sabtu.
Jadwal latihan tersebut berlaku dalam masa tiga bulan berturut-turut. Pada bulan pertama, latihan dilaksanakan berdasarkan kelompok instrumennya. Pada bulan kedua dilaksanakan latihan gabungan memadukan bagian-bagian komposisi musik secara keseluruhan. Pada bulan ketiga latihan juga dilaksanakan secara keseluruhan. Selama proses latihan dilakukan diskusi dengan para pemain/pendukung untuk lebih memperoleh pemahaman mendalam terhadap isi komposisi baik secara teknis, isi, ekspresi musik dan hal-hal lainnya untuk memperoleh hasil (pertunjukan) yang lebih sempurna.
3.2.2 Proses pembimbingan
Penyusunan karya musik ini dibimbing oleh dua orang dosen pembimbing yang telah ditetapkan oleh Ketua Program Studi S2 Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Proses pembimbingannya dibagi dalam dua hal, yaitu pembimbingan secara teknik penciptaan musik dan pembimbingan tehnik penulisan laporan penciptaan karya musik. Dalam prosesnya telah dilakukan beberapa kali diskusi dan bimbingan dari dosen
pembimbing kepada pengkarya secara terpisah. Proses pembimbingan teknik penciptaan musik dilakukan secara intens dari awal perencanaan hingga akhir proses penciptaan musik. Pembimbing juga melakukan pengamatan dan kritik atas hal-hal teknis yang dikerjakan oleh pengkarya musik. Sedangkan pembimbingan teknik penulisan laporan karya musik berjalan secara intens dengan melakukan diskusi, kritik dan pemberian masukan atas hal hal yang dapat menghadirkan kesempurnaan laporan karya musik dan pertunjukan karya tersebut.
3.3 Hambatan dan Solusi
3.3.1 Hambatan
Dalam proses penciptaan komposisi musik ini, pengkarya mengalami beberapa hambatan. Hambatan tersebut antara lain:
a. Kesulitan dalam mengumpulkan para pemain secara keseluruhan untuk dapat berlatih bersama sesuai jadwal latihan yang telah ditentukan.
b. Kesulitan dalam menyediakan sumber daya instrumen musik yang dapat mewakili sumber-sumber idiom bunyi yang akan digunakan.
c. Sulitnya menentukan tempat latihan yang representatif.
d. Kesulitan dalam mengatur dan mengorganisir seluruh pekerjaan yang berhubungan dengan proses pengkaryaan musik.
3.3.2 Solusi
Atas dasar hambatan-hambatan tersebut, maka pengkarya melakukan beberapa langkah sebagai solusi untuk mengatasinya, antara lain:
a. Menjadwalkan latihan secara terpisah berdasarkan bagian-perbagian atau berdasarkan instrumen section.