• Tidak ada hasil yang ditemukan

Motivasi menjalin relasi romantis pada perempuan yang dilabeli Bispak sebuah studi kasus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Motivasi menjalin relasi romantis pada perempuan yang dilabeli Bispak sebuah studi kasus"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

i

Motivasi Menjalin Relasi Romantis pada Perempuan yang

Dilabeli Bispak: Sebuah Studi Kasus

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh:

Ivander Harlison Tjahjo 119114185

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

“SUMURUP LAN URUP GAWE URIP NDER! OJO KENDO!”

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Saya persembahkan karya ilmiah ini kepada:

Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, perlindungan serta kesempatan yang

senantiasa diberikan kepada saya.

Untuk Ayah, yang dengan sabar dan semangat agar dapat melihat anaknya yang

nakal bertoga.

Untuk Ibu yang senatiasa memberikan nasihat, semangat dan mendengarkan keluh

kesah penulis.

Untuk aplikasi Tinder yang telah membatu penulisan dalam penelitianini untuk

penulis.

Untuk semua orang-orang baik yang ada di sekitar penulis.

Dan untuk orang-orang yang sering memandang sebelah mata

mahasiswa-mahasiswa yang membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan tugas akhir.

(6)
(7)

vii

Motivasi Menjalin Relasi Romantis pada Perempuan yang

Dilabeli Bispak: Sebuah Studi Kasus

Ivander Harlison Tjahjo

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pola motivasi relasi romantis yang dilakukan oleh seorang wanita (Sm) yang dilabeli sebagai seorang bispak. Penelitian ini bersifat kualitatif, dengan metode studi kasus, yang memungkinkan peneliti untuk melihat kasus dari berbagai pandangan. Dari hasil penelitian, terdapat 3 hal yang ditemukan dalam penelitian ini. Pertama ,dalam memperoleh kenyamanan Sm berganti-ganti pasangan untuk mencapai rasa nyaman. Yang menunjukkan bahwa dalam relasi-romantisnya, terdapat sebuah komitmen, bukan terhadap pasangannya, akan tetapi pada dirinya akan pemenuhan rasa nyaman tersebut. Kedua, dalam pencariannya dalam kenyamanan ini yang menciptakan kondisi frustrasi-regresi. Frustrasi terjadi saat adanya ketidakmampuan Sm memperoleh rasa nyaman yang kemudian diwujudkan dalam regresi ke dalam hubungannya dengan orang baru. Ketiga, kebutuhan akan seks memang muncul, akan tetapi bukan sebagai tema utama dalam kebutuhan. Kebutuhan akan seks menjadi kebutuhan primer yang muncul saat kebutuhan untuk merasa nyaman, kebutuhan berafiliasi, dan kebutuhan untuk merasa aman telah dipenuhi oleh pasangannya. Bila dilihat dari hasil yang telah ditemukan, informan memiliki 4 jenis kebutuhan yang muncul jika dihubungkan dengan perilakunya. Keempat kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk merasa nyaman, kebutuhan berafiliasi, kebutuhan untuk merasa aman, dan kebutuhan seks.

(8)

viii

A Motivation on A Girl Whose Labeled As

Bispak

” in Romantic

Relations : A Study Case

Ivander Harlison Tjahjo

ABSTRACT

This research aimed to identify the motivation patterns on romantic relation from a girl (Sm) whose labeled as “bispak” (bisa diapakai). This research’s a qualitative, with case study as the method, thus let the researcher can obtained data from other angles. There’re 3 things that found at this research. First, on fulfilling the needs of comfort, Sm shows that she’ll keep changing in order to fulfill her needs of comfort. This showed that the commitment are exist, but it’s not for the sake of the relation, instead it’s for herself to keep maintaining the needs of comfort from the partners. Second, there’s a frustration-regression pattern in every relation, which happened because there was a frustation in unfulfilled needs of comfort that will led at regression on the relationship with the new partner. Third, there was need of sex, but it’s stand after the needs of comfort, affiliation, and safe are fulfilled. There are 4 motives that led by her needs, those are needs of comfort, needs of affiliation, needs of feeling safe, and needs of sex.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala penyertaan dan pendampingan selama proses pengerjaan skripsi ini. Pada proses penulisan skripsi ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M. Si Selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing selama proses penyusunan skripsi. Terimakasih atas semua bantuan, bimbingan, waktu, saran, serta kesabaran yang telah diberikan.

4. Bapak Paulus Eddy Suhartanto, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik 2011 yang selalu memberikan saran, dukungan dan bantuan selama penulis menempuh studi.

5. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah berbagi ilmu dan memberikan semangat.

6. Seluruh subjek penelitian saya yang sudah mau direpotkan dan mendoakan keberhasilan saya.

(11)

xi

dicurahkan untuk saya, selalu bersyukur bisa berada ditengah-tengah kalian.

8. Terima kasih pada aplikasi Tinder yang telah menyediakan subjek bagi penelitian ini.

9. Terima kasih pada Ym Dneirflrig yang telah memberikan semangat, dan memberi pelajaran apa itu hubungan yang sehat. Love you! 10.Terima kasih sebesar-besarnya kepada Mas Ucil, yang sudah mau

meluangkan waktunya disela-sela kesibukannya.

11.Keluarga besar UKF Futsal. Terima kasih sudah mengijinkan saya berkarya bersama kalian.

12.Teman-teman UK PAT, Arga, Bram, Mas Windra, Boni, Gandring, PakDhe, Sucek, dll. Terima kasih sudah mengijinkan saya berkeringat bersama kalian.

13.Teman-teman kontrakan, Maccabe, Bram, Rio, Kiplek, terima kasih karena saya bisa menjadi bagian dari kalian.

14.Kepada teman-teman angkatan 2011, yang satu persatu dari kita sudah meninggalkan kampus ini. Sukses untuk kalian semua. Senang bisa saling mengenal. Tuhan memberkati.

(12)

xii

Terimakasih untuk canda tawa yang kalian ciptakan. Terimakasih juga untuk dukungan, bantuan, perhatian dan kasih sayang kalian. Selalu sukses dan tetap bersahabat. Tuhan memberkati kalian lur!!. 16.Terima kasih Kepada seluruh pihak yang belum dapat peneliti

ucapkan satu persatu. Semoga Tuhan memberikan segala yang terbaik untuk kalian.

Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan, untuk itu penulis sangat terbuka untuk menerima saran dan kritik yang dapat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak orang. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

Yogyakarta, Penulis,

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ASBTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

A. Motivasi... 9

B. Relasi Romantis dan Hubungan Seksual... 14

(14)

xiv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 21

A. Jenis Penelitian... 21

B. Fokus Penelitian... 22

C. Metode Pengambilan Data... 23

D. Informan Penelitian... 29

E. Analisis Data... 29

F. Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Hasil Penelitian...39

B. Pembahasan... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan... 64

B. Keterbatasan Penelitian... 65

C. Saran... 65

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada 2016 lalu, penulis berkesempatan untuk bertemu dengan Sm (24 tahun) yang merupakan seorang mahasiswi dari salah satu universitas swasta di daerah Yogyakarta. Dalam sebuah perbincangan yang konfidensial, Sm mengaku melakukan hubungan seksual dengan pasangan-pasangannya. Ia bercerita ada sebanyak enam orang pada tahun 2015-2016 yang menjalin hubungan dengannya. Ia menjalin hubungan dengan tujuan memperoleh rasa aman dan nyaman. Dalam rangka pemerolehannya tersebut, hubungan seksual menjadi “bumbu” yang ia

gunakan dalam memperpanjang usia hubungannya.

Meskipun layaknya “bumbu”, hubungan seksual yang ia lakukan

(17)

2

menjadi identitas yang ia tampik. Sm merasa jengkel, sedih dan berusaha untuk melawan stigma dari lingkungan sosialnya tersebut.

Sm merupakan salah satu dari sekian banyak orang muda Indonesia yang mengalami tekanan terkait seks. Dalam alam pikir orang Indonesia, seorang seperti Sm disebut sebagai remaja yang memiliki asosiasi dengan ketidakstabilan diri. Para remaja inilah yang dalam masyarakat mendapat sorotan, sebab belum cukup umur menjadi orang yang dewasa, atau mampu menyesuaikan dengan norma sosial. Para remaja dianggap sering melakukan aktivitas yang tidak produktif, seperti kenakalan dan seks pra-nikah (Kartono, 2009).

Apabila Anda memasukkan kata kunci “bispak” lewat Google, Anda akan menemukan sekitar 31.400.000 hasil. Jumlah ini menunjukkan bahwa percakapan yang mencakup kata “bispak” sangat populer di Indonesia. Sampai saat ini, tidak jelas siapa yang mempopulerkan istilah yang merupakan singkatan dari “Bisa Dipakai” (atau bisa ditiduri).

Namun, istilah ini muncul sejak pertengahan 90an dan menjadi prokem di kalangan Ekekutif Muda Jakarta yang kala itu tengah menjadi profesi favorit para sarjana di Indonesia. Berbeda dengan kata PSK (Pekerja Seks Komersial), yang seringkali digunakan dengan bayaran (komersial). Istilah bispak diasosiasikan dengan “seks sebagai suatu kesenangan semata” (just for fun).

(18)

Human Sexuality (2014). Lehmiller (2014) mengatakan bahwa seks, selain sebagai fungsi reproduksi, dapat pula dilihat sebagai bentuk rekreasi, cara untuk mengekspresikan cinta atau menjadi lebih intim dengan pasangannya, cara untuk merayakan peristiwa yang menyenangkan dan bagi beberapa orang menjadi cara untuk memperoleh uang. Banyaknya alasan untuk melakukan hubungan seksual menjadikan pemahaman soal motivasi melakukan hubungan seksual menjadi lebih kompleks.

Mc Adams & Dubin (1992), mengatakan bahwa motivasi tidak terlepas dari adanya kebutuhan yang dimiliki individu. Motivasi adalah cermin dari perilaku individu. Perilaku individu itu sendiri merupakan gabungan sejumlah kebutuhan dasar, kebiasaan-kebiasaan pribadi, pengalaman, bakat, dan kemampuan pribadi, serta pengaruh dari lingkungan (Maslow dalam Goble, 1987). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa motivasi pada seseorang berkaitan erat dengan sistem kebutuhannya. Perbedaan kebutuhan dari masing-masing individu inilah yang menyebabkan perbedaan motivasi yang dimiliki, meski wujud perilakunya sama.

(19)

mensyaratkan rasa aman dari segala macam ancaman dan kecemasan di sekitarnya. Kebutuhan kedua ini tidak akan mungkin terpenuhi sebab rasa tidak aman akan hadir lewat sesuatu yang tidak bisa dikontrol individu, misalnya bencana alam dan perang. Kebutuhan ketiga adalah kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang yang berupa afiliasi terhadap orang lain. Wujud kebutuhan ini tampak dalam persahabatan, percintaan, atau pembentukan keluarga. Apabila terpenuhi, kebutuhan keempat yang muncul adalah kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan ini meliputi sikap untuk menghormati orang lain dan memiliki harga diri. Dengan dipenuhinya penghargaan ini, maka individu akan siap untuk mengaktualisasikan dirinya. Kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri ini menunjukkan bahwa individu musti mengembangkan potensi, individu harus menjadi seseorang yang dapat ia capai, seorang penyair musti membuat puisi atau seorang musisi musti membuat lagu.

(20)

juga muncul. Dengan demikian, hirarki kebutuhan yang disampaikan Maslow tidak begitu cocok untuk menggali motivasi yang dimiliki Sm.

Guna mengisi kekurangan yang dimiliki Maslow, gagasan Clayton Alderfer (1969/1972) dalam ERG Theory (Existence, Relatedness and Growth Theory) soal frustrasi-regresi akan menjawab bagaimana seseorang tidak perlu menunggu sampai kebutuhan masing-masing hirarki dalam Maslow terpenuhi. Teori yang digagas Alderfer ini menempatkan kebutuhan seseorang dalam konteks organisasi, misalnya dalam tempat kerja ataupun dalam jejaring masyarakat. Apabila kebutuhan yang lebih tinggi bermasalah dan tidak terpenuhi, maka seseorang akan kembali ke kebutuhan yang lebih rendah. Misalnya, apabila seseorang mengalami kegagalan dalam pengaruh yang kreatif dan produktif terhadap diri sendiri maupun lingkungan (seorang musisi karir bermusiknya mandek) maka ia akan cenderung kembali ke kebutuhan yang lebih rendah (musisi menjadi model iklan). Dalam hal ini, frustrasi mengakibatkan regresi ke kebutuhan yang lebih rendah. Atau dengan kata lain ada tegangan yang muncul dalam pemenuhan kebutuhan dengan hasrat manusia (Yang, Hwang & Chen, 2011).

(21)

Selain itu, jika berbicara dengan kebutuhan-kebutuhan manusia, maka tidak dapat lepas dari teori kebutuhan miliki Murray (1954). Murray mengatakan bahwa terdapat 20 kebutuhan manusia yang mendorong manusia dalam memunculkan perilaku-perilaku di kesehariannya. Ketiadaan komitmen dalam kasus Sm ini menarik sebab akan menantang tesis Sternberg & Barnes (1988) mengenai teori segitiga cinta dengan tiga komponennya; hasrat, intimasi dan komitmen. Komitmen yang dimiliki Sm dan pasangannya tidak semata-mata sebagaimana dipahami Sternberg sebagai keputusan sadar untuk terikat satu sama lain, komitmen pada Sm tampak dalam keterikatannya pada hasrat terhadap rasa nyaman.

Perlu dicatat bahwa sedari awal penyebutan “bispak” mengalami

sebuah konstruksi dari dunia yang sifatnya maskulin dan melihat wanita semata-mata sebagai objek seksual. Namun, yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah soal pengalaman para kaum muda ini soal menjalin hubungan yang melibatkan penetrasi alat kelamin, secara khusus pola psikologis seperti apa yang terbangun pada seorang wanita yang melibatkan diri dalam dunia yang berganti-ganti pasangan seksual. Karenanya, kesadaran bahwa sebutan “bispak” dalam penelitian ini mengandung adanya ketimpangan dalam dunia yang didominasi oleh pandangan maskulin perlu dipahami sedari awal.

(22)

kompleks, karenanya kasus Sm ini akan mengisi satu dari sekian banyak pola yang terbentuk. Oleh karenanya, peneliti mencoba untuk menghindari pelabelan terhadap orang-orang yang disebut “bispak”, sebab bispak sendiri bisa memojokkan seseorang dengan berubah-rubah dalam istilah-istilah lain; ciblek, lonte, cabe-cabean, atau kimcil.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini, adalah bagaimana pola motivasi perempuan yang dilabeli bispak dalam menjalin relasi romantis?

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui pola motivasi perempuan yang dilabeli bispak dalam menjalin relasi romantis.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan contoh gambaran model hubungan lawan jenis dalam perkembangan masyarakat urban.

(23)

a. Memberikan gambaran kritis bagaimana pelabelan terhadap seseorang dapat membuat perubahan mengenai identitas dirinya.

b. Memberikan alternatif pengetahuan bagaimana seseorang menghadapi pelabelan terhadap dirinya.

(24)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Motivasi

1. Pengertian Motivasi

Steers & Porter (1983) mengungkapkan bahwa kata “motivasi”, atau dalam bahasa Inggris biasa disebut “motivation”, berasal dari bahasa

Latin movere yang berarti “menggerakan” atau “daya penggerak”. Pengertian motivasi dinyatakan secara lebih komprehensif oleh Berry dan Houston (dalam Marpaung, 2000) sebagai suatu dorongan, arah, dan persistensi dari perilaku manusia. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Kanfer (Hughes, 1999) bahwa motivasi adalah segala sesuatu yang memberikan arah, intensitas dan persistensi dari perilaku.

Menurut Azwar (2000) motivasi tidak lain adalah sebuah rangsangan, dorongan, maupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang dalam berbuat sesuatu yang sudah ditetapkan sebelumnya. Hal ini sejalan dengan Lawler (dalam Wijono, 2010) yang mendefinisikan motivasi sebagai perilaku yang diatur oleh pusat pengontrolan pada manusia yang mengarahkan individu untuk mencapai suatu tujuan.

(25)

(dalam Schultz, 2009). Dalam teori ini, Murray mengatakan, bahwa keputusan-keputusan manusia dalam berperilaku didasari oleh kebutuhannya, kebutuhan ini yang membentuk kepribadian individu tersebut. Kemudian, kebutuhan tersebut memunculkan tegangan dan manusia akan berusaha untuk mencari cara untuk menghilangkan atau menguranginya dengan cara bertindak untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Sehingga, kebutuhan akan memberikan kekuatan dan mengarahkan perilaku untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan miliknya. Murray dalam Schultz (2009), menyebutkan setidaknya terdapat 20 kebutuhan manusia yang terbagi menjadi 4 kelompok. Berikut adalah kebutuhan-kebutuhan yang disebutkan Murray. Pertama adalah kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai power, kekayaan, prestis, pengetahuan atau prestasi kreatif: achievement, aggression, counter-action, dominance, exhibition, order, dan understanding. Kedua, kebutuhan ynag dimotivasi oleh afeksi, kekaguman, simpati, cinta, dan ketergantungan: affiliation, deference, nurturance, succorance, dan sex. Kemudian, ketiga, kebutuhan yang dimotivasi oleh keinginan akan kebebasan, perubahan, perangsangan, dan permainan: autonomy, play/playmirth, dan sentience. Terakhir, adalah kebutuhan lain-lain: abasement, defendance, harmavoidance, inavoidance, dan rejection.

(26)

dan validitas pada Thematic Apperception Test (TAT) yang berdasar pada teori Murray menunjukkan nilai yang rendah (Flett, 2008). Melengkapi bagaimana kebutuhan ini berdinamika dalam alam psikologis seseorang, teori motivasi berbasis kebutuhan bereksistensi, terhubung dan bertumbuh dikembangkan Clayton Alderfer pada tahun 1969, atau sering disebut sebagai ERG Theory.

Teori ERG mencoba memberikan pandangan baru dan mengkritik teori hierarki milik Maslow (1954). Sebenarnya kategori kebutuhan dalam teori ERG dan Maslow hampir sama, akan tetapi, Maslow tidak dapat memberikan bukti secara empiris dan beberapa studi yang pernah dilakukan pun tidak dapat memvalidasi teori Maslow (Hall & Nougaim, 1968; Korman dkk., 1997; Lawler & Suttle, 1972; Rauschenberger dkk., 1980).

(27)

dalamnya adalah interaksi dengan orang lain. Selain itu, konsep kebutuhan akan kasih sayang dan penghargaan pun memiliki ambiguitas dalam batasannya. Maslow menyebutkan bahwa kebutuhan akan penghargaan berisi tentang memperhatikan dan menghormati seseorang. Hal tersebut sama dengan kebutuhan akan rasa kasih sayang, yang membutuhkan seseorang untuk memperhatikan dan menghormati pasangannya.

Berbeda dengan teori Maslow, teori ERG berasumsi bahwa manusia memiliki 3 bentuk kebutuhan. Ketiga bentuk kebutuhan tersebut adalah kebutuhan untuk eksistensi (E), yang bersifat material dan fisiologis; kebutuhan untuk berelasi (R), yang berisi tentang hubungan antara satu sama lain; dan yang terakhir adalah kebutuhan untuk berkembang (G), yang berisi tentang kebutuhan seseorang untuk menjadi produktif atau kreatif dalam lingkungannya. Alderfer (1969), menambahkan bahwa manusia memiliki tujuan-tujuan yang kompleks, dan hal itu dapat terjadi karena ada campuran ketiga kebutuhan tersebut dalam kehidupan manusia.

Telah diketahui bahwa kebutuhan untuk eksistensi (E), memiliki sifat yang bentuknya material dan fisiologis. Kebutuhan ini secara tidak langsung berhubungan dengan kelangsungan hidup seseorang. Karakteristik dari kebutuhan eksistensi terdapat pada “satu menang, dan satu kalah.” Kebutuhan untuk eksistensi ini berisi dari berbagai bentuk

(28)

tidak peduli dengan jatah atau berapa banyak yang didapatkan oleh orang lain, selain yang didapat oleh individu tersebut.

Bentuk kedua dari ERG adalah kebutuhan untuk berelasi (R), yang berisi tentang hubungan satu orang dengan lainnya. Karakteristik dari kebutuhan berelasi ini terdapat pada kepuasan atas proses dalam berbagi atau bersifat mutualisme. Manusia mendapatkan kepuasan ini dengan cara berbagi pikiran dan perasaan dengan satu dan yang lainnya. Kebutuhan berelasi dapat berwujud rasa kepercayaan satu sama lain, rasa saling memiliki, dan mendapat penghargaan dari lingkungannya.

Bentuk kebutuhan yang terakhir adalah kebutuhan untuk berkembang (G), yang berisi tentang harga diri dan aktualisasi diri seseorang. Kebutuhan untuk harga diri tersebut merujuk pada produktivitas seseorang dalam mengejar impian, mencari ilmu pengetahuan, mendapatkan sesuatu, mengkontrol, membangun kepercayaan diri, dan bersifat mandiri. Aktualisasi diri dapat terbentuk saat seseorang telah mencapai tujuan hidupnya dan dapat mengembangkan dirinya. Singkatnya, kebutuhan ini dapat tercapai saat seseorang dapat memecahkan masalah dengan kemampuannya sendiri dan mendapatkan sesuatu yang baru darinya. Kebutuhan ini bergantung pada kemampuan seseorang dalam menemukan kesempatan untuk memaksimalkan dirinya dan menjadi apa yang ia inginkan.

(29)

kebutuhan-kebutuhan sebelumnya secara bertahap. Akan tetapi, Alderfer mengemukakan bahwa teori ERG memungkinkan untuk melihat kebutuhan manusia berdasarkan kumpulan tiga kebutuhan pokok manusia. Hubungan E, R, dan G tidaklah berbentuk hierarkis, seperti yang dikemukakan oleh Maslow. Dalam teori ERG, memungkinkan manusia untuk memunculkan frustasi-regresi, yang berarti seseorang yang telah memenuhi suatu kebutuhan dan mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, akan tetapi gagal dalam proses pemenuhannya tersebut, maka seseorang akan kembali lagi untuk mendapat kepuasan dari tingkatan yang sebelumnya pernah ia capai. Dalam hal ini, frustasi menyebabkan regresi pada kebutuhan yang lebih rendah. Atau dengan kata lain, ada tegangan yang muncul saat pemenuhan kebutuhan dengan hasrat manusia (Yang, Hwang & Chen, 2011).

B. Relasi Romantis dan Hubungan Seksual 1. Pengertian Relasi Romantis

(30)

Dalam prakteknya, relasi romantis memiliki dua bentuk, yaitu dengan komitmen atau tanpa komitmen (Manning, Giordano, dan Longmore 2006). Relasi romantis yang berjalan dengan komitmen diasosiasikan dengan kestabilan kehidupan seseorang (Shulman & Connolly, 2013). Kehadiran komitmen dalam relasi romantis merupakan bentuk dari pemenuhan kebutuhan kelekatan manusia, yang dapat membantu seseorang menjaga hubungannya tersebut (Rodrigues, Hall, & Fincham, 2006). Artinya, hubungan romantis yang memiliki komitmen memiliki durasi yang lebih panjang, bahkan dapat berujung pada pernikahan, daripada relasi romantis ynag tidak memiliki komitmen. Selain itu, relasi romantis dengan komitmen juga diasosiasikan dengan proses kedewasaan seorang remaja dalam kehidupannya (Regnerus & Uecker, 2011).

Dalam kategori Indonesia, relasi romantis yang melibatkan komitmen disebut sebagai pacaran. Sementara, relasi romantis dapat pula berbentuk kasual atau tanpa ikatan, misalnya saja “Teman Tapi Mesra”.

Berbeda dengan pacaran yang diikuti dengan komitmen, relasi kasual ini tidak memerlukan komitmen. Bagian selanjutnya akan berfokus pada relasi romantis yang berbentuk kasual.

2. Relasi Romantis Kasual dan Hubungan Seksual

(31)

touching (menggerayangi), stimulasi oral-genital, petting (menggesek-gesekkan bagian tubuh yang sensitif, dan akhirnya hubungan seksual (L’ Enge et.al., 2005; Nevid & Rathus 2008).

Hubungan seksual yang terjadi dalam relasi romantis tanpa komitmen atau relasi yang bersifat kasual memiliki bentuk yang dikenal dengan CSR (Casual Sex Relationship). CSR sendiri memiliki 4 bentuk di dalamnya, keempat bentuk tersebut adalah one night stand (ONS), booty call (BC), fuck buddy (FB), dan friend with benefits (FWB) (Wentland, 2014). CSR merupakan bentuk modern dan populer dalam kehidupan relasi remaja (Lehmiller, VanderDrift, & Kelly, 2011).

(32)

didalamnya. Kata “buddy”, memiliki arti sobat, yang mencirikan awal dari sebuah pertemanan. Sedangkan kata “friend”, memiliki arti sahabat. Sahabat merupakan tingkatan lanjutan dari sobat, karena didalam sahabat, terdapat afeksi didalmnya, selain itu sahabat pun saling memberikan support satu sama lain.

Di dalam bentuk BC, hubungan seks yang terjadi memang karena sebelumnya keduanya telah kenal satu sama lain, akan tetapi hal yang membedakan adalah media dalam menjalani BC. Wentland (2014), menambahkan bahwa hubungan BC dapat terjadi karena salah satu atau keduanya sedang dibawah pengaruh alkohol atau bahkan obat-obatan, yang akhirnya mendorong pelakunya untuk menghubungi pasangannya tersebut untuk melakukan hubungan seksual. Dalam BC, hubungan seksual yang terjadi pun tidak sesering dalam FWB dan FB.

Bentuk terakhir dalam CSR adalah ONS. ONS menurut penelitian Wentland (2014) adalah hubungan seks yang terjadi pada orang-orang yang belum kenal, bahkan bertemu sebelumnya. Awal mula ONS biasanya terjadi karena mereka bertemu dalam sebuah bar atau pesta. Wentland menambahkan bahwa pelaku ONS biasanya dibawah pengaruh pengaruh alcohol atau bahkan obat-obatan. Dalam ONS, setelah hubungan seksual terjadi, tidak ada kelanjutan yang terjadi setelahnya, walaupun ada kemungkinan untuk pelakunya saling bertukar informasi satu sama lain.

(33)

monogami (satu pasanagan), individu yang menjalani satu atau lebih dari bentuk-bentuk CSR akan lebih cenderung terkena berbagai penyakit kelamin atau bahkan HIV-AIDS. Akan tetapi, disisi lain remaja yang melakukan CSR memiliki pengalaman seks yang memadai sebelum akhirnya siap untuk melanjutkan ke jenjang pernikahan. Hal ini menjadi bagian penting karena kepuasan seksual adalah salah satu faktor pentingnya dalam menjalani kehidupan berumah tangga (Farley & Davis, 1980; Przybyla & Byrne, 1981; Frederick, Lever, Gillespie & Garcia, 2017).

C. Dinamika Motivasi pada Perempuan yang Menjalin Relasi Romantis dan Melakukan Hubungan Seksual secara Berulang

(34)

miliknya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut akan berubah menjadi motif. Motif sendiri akan menjadi penyebab seseorang dalam melakukan segala sesuatu (Handoko, 1992).

Keadaan ketidakseimbangan dalam diri individu akan mendorong individu untuk bereaksi dalam rangka untuk mencapai keseimbangannya. Dorongan merupakan kecenderungan bereaksi dalam rangka pemenuhan kekurangan dan memotivasi untuk mengembalikan keseimbangan (Matsumoto, 2009). Dengan adanya tuntutan menuju keseimbangan ini, maka tidak terpenuhinya kebutuhan (frustrasi) mendorong individu kembali pada kebutuhan yang belum terpenuhi ini (regresi) (Aldeyfer, 1969).

(35)

Namun, batasan moral soal hubungan seksual ini pada kenyataannya tidak mampu menjadi patokan kaum perempuan untuk tidak terlibat dalam hubungan seksual. Kenyataan di lapangan yang melabeli perempuan yang sering berganti pasangan sebagai “bispak” mendatangkan pengalaman unik terkait dengan

(36)

21 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Secara umum, penelitian kualitatif bersifat eksploratif, atau lebih mengandalkan data berupa ungkapan yang diberikan oleh informan penelitian untuk mengeksplorasi fenomena atau permasalahan pokok yang terdapat dalam sebuah penelitian (Supratiknya, 2015). Penelitian ini ditujukan untuk mencapai pemahaman mendalam mengenai organisasi ataupun peristiwa khusus daripada mendeskripsikan bagian permukaan dari sampel besar dari sebuah populasi (Denzin & Lincoln, dalam Herdiansyah, 2010).

Menurut Creswell (2014), penelitian kualitatif merupakan penelitian ilmiah untuk memahami masalah-masalah manusia dalam konteks sosial dan budaya dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks. Menurut Moleong (2005) yang dicoba untuk dipahami dari informan penelitian kualitatif misalnya adalah perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, yang secara holistik dideskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah dengan berbagai metode alamiah.

(37)

studi kasus adalah keterikatan kasus yang diangkat untuk menjadi bahan penelitian memiliki kekhususan terkait waktu, tempat kejadian dan informan penelitian. Keterikatan ini oleh Smith (Merriam, 1998; Asmadi, 2004) disebut sebagai faktor istimewa yang membedakan studi kasus dengan penelitian kualitatif lainnya. Dengan pendekatan studi kasus seorang peneliti memungkinkan untuk mendapat pemahaman utuh dan terintegrasi mengenai hubungan berbagai fakta terkait (Poerwandari, 2005). Metode studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila digunakan pada pokok pertanyaan yang berkenaan dengan How atau Why, bila peneliti hanya mampu sedikit mengontrol serta konteks penelitiannya berada pada situasi nyata (Yin, 2002).

Dalam penelitian ini, studi kasus yang digunakan adalah studi kasus dengan single level analysis. Menurut Mooney (2008), studi kasus tunggal, single level analysis, adalah studi kasus yang menyoroti perilaku individu dengan satu masalah utama. Bentuk studi kasus ini yang dipakai dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini yang diteliti adalah pola motivasi perempuan yang dilabeli bispak dalam menjalin relasi romantis.

B. Fokus Penelitian

(38)

wanita sehingga mengarahkan mereka atau melatarbelakangi mereka untuk menjadi bispak.

C. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang dilakukan oleh penelitian ini antara lain adalah:

1. Wawancara

(39)

Selama proses wawancara, peneliti memiliki kebebasan untuk menanyakan lebih jauh apabila ada hal-hal menarik yang muncul. Wawancara dengan partisipan dilakukan di tempat dan waktu yang terpisah sesuai dengan kesepakatan yang dibuat kedua belah pihak. Hasil wawancara kemudian direkam agar selanjutnya bisa dianalisis secara verbatim agar peneliti menjadi lebih mudah dalam mencari tema-tema yang muncul.

Informasi yang akan digali terhadap informan dilakukan dengan menggunakan panduan sebagai berikut :

a) Wawancara mengenai latar belakang informan

Berisi tentang pertanyaan yang bermaksud untuk menggali latar belakang informan, perlakuan pasangan yang sedang, dan yang sudah pernah dialami oleh informan. Dalam wawancara ini juga akan digali lebih mendalam tentang motivasi informan dalam berhubungan seksual dengan pasangan-pasangannya.

b) Wawancara mengenai keadaan informan saat ini

Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui akibat secara psikologis dari perlakuan pasangan terhadap informan di masa lalu dan masa kini.

(40)

SSCT (Saks Sentence Completion Test) adalah suatu teknik proyeksi yang dikembangkan oleh Joseph M. Sacks, Sidney Levy dan beberapa psikolog lainnya dari New York Veterans Administration Mental Hygiene Service. SSCT sendiri berbentuk kalimat-kalimat tidak sempurna yang harus dilengkapi oleh testee sehingga menjadi sebuah kalimat yang utuh (Completion task).

Dalam penelitian ini, SSCT digunakan untuk mengungkap dinamika kepribadian, yang dapat menampakkan diri individu dalam hubungan interpersonal dan dalam interpretasi terhadap lingkungan. Dalam kaca mata klinis, tes ini dapat menampakkan suatu gangguan sehingga tes ini bermanfaat untuk terapi. SSCT juga dapat digunakan sebagai bahan awal untuk suatu wawancara eksploratif lebih dalam, karena jika waktunya cukup kita dapat menanyakan tiap aitem yang terdapat pada tes ini (Hutagalung, 2012).

Tes ini berisi 60 item pertanyaan, yang didalamnya terdapat 15 tema yang berbeda. Kelima belas tema tersebut adalah :

1. Sikap terhadap Ibu (14, 29, 44, 59) 2. Sikap terhadap Ayah (1, 16, 31, 46)

3. Sikap terhadap kehidupan keluarga (12, 27, 42, 57) 4. Sikap terhadap wanita (10, 25, 40, 55)

(41)

6. Sikap terhadap teman-teman dan kenakalan (8, 23, 38, 53)

7. Sikap terhadap pimpinan di sekolah/pekerjaan (6, 21, 36, 51)

8. Sikap terhadap bawahan (4, 19, 34, 48) 9. Sikap terhadap teman sekerja (13, 28, 43, 58) 10.Sikap terhadap ketakutan-ketakutan (7, 22, 37, 52) 11.Sikap terhadap rasa bersalah (15, 30, 45, 60)

12.Sikap terhadap kemampuan diri sendiri (2, 17, 32, 47) 13.Sikap terhadap masa lalu (9, 24, 39, 54)

14.Sikap terhadap masa depan (5, 20, 35, 50) 15.Sikap terhadap cita-cita (3, 18, 33, 49)

b. Tes Big F ive Inventory

(42)

analisis faktor sehingga diperoleh 12 faktor kepribadian (Ramdhani, 2012).

Karya Cattell tersebut merupakan pemicu bagi

peneliti-peneliti kepribadian lainnya. Dari sinilah diperoleh lima faktor

yang sangat menonjol, yang kemudian diberi nama oleh Goldberg

dengan Big Five (Goldberg, 1981; Tupes & Christal, 1992).

Kelima dimensi tersebut adalah (1) Extra version, ditandai oleh adanya semangat dan keantusiasan. Individu ekstraver bersemangat di dalam membangun hubungan dengan orang lain. Mereka tidak pernah sungkan berkenalan dan secara aktif mencari teman baru. Keantusiasan mereka ini tercermin di dalam pancaran emosi positif. Mereka tegas dan asertif dalam bersikap. Bila tak setuju, mereka akan menyatakan tidak, sehingga mereka mampu menjadi pimpinan sebuah organiasi

Dimensi kedua adalah Agreeableness, mempunyai ciri-ciri ketulusan dalam berbagi, kehalusan perasaan, fokus pada hal-hal positif pada orang lain. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka tampil sebagai individu yang baik hati, dapat kerjasama, dan dapat dipercaya.

(43)

hadir tepat waktu, berprestasi, teliti, dan suka melakukan pekerjaan hingga tuntas.

Dimensi keempat, Neuroticism sebagai lawan dari Emotional stability. Neuroticism sering disebut juga dengan ’sifat pencemas’ sedangkan emotional stability disebut dengan kestabilan emosi. Sifat neuroticism ini identik dengan kehadiran emosi negatif seperti rasa khawatir, tegang, dan takut. Seseorang yang dominan sifat pencemasnya mudah gugup dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut orang kebanyakan hanya sepele. Mereka mudah menjadi marah bila berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Secara umum, mereka kurang mempunyai toleransi terhadap kekecewaan dan konflik.

Dimensi terakhir yang kelima adalah Openness atau openness to experience, untuk selanjutnya disebut secara bergan-tian dengan ’keterbukaan’. Dimensi ini erat kaitannya dengan

keterbukaan wawasan dan orisinalitas ide. Mereka yang terbuka siap menerima berbagai stimulus yang ada dengan sudut pandang yang terbuka karena wawasan mereka tidak hanya luas namun juga mendalam. Mereka senang dengan berbagai informasi baru, suka belajar sesuatu yang baru, dan pandai menciptakan aktivitas yang di luar kebiasaan.

(44)

menunjukkan “Sangat Tidak Setuju” hingga 5 yang menunjukkan “Sangat Setuju”, sesuai dengan karakteristik yang cocok menurut

informan.

D. Informan Penelitian

Informan penelitian adalah 1 (satu) wanita yang dikriteriakan menjadi bispak atau bisa dipakai. Kriteria responden adalah wanita yang sering berganti pasangan, akan tetapi tidak mau dibayar untuk berhubungan seks. Penelitian ini hanya melibatkan satu orang informan. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan informan yang dipengaruhi oleh ketidak bersediaannya untuk diwawancara yang melihat bahwa menjadi bispak adalah aib untuk di umbar ke khalayak umum.

E. Analisis Data

(45)

1. Wawancara

Data-data diperoleh dari penelitian diorganisasikan secara rapi, lengkap dan sistematis. Organisasi data yang sistematis memungkinkan penelitian untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis yang dilakukan, menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian (Highlen dan Finley dalam Peorwandari, 1998). Data-data yang akan diorganisasikan dalam penelitian ini meliputi :

a. Data-data mentah (kaset atau hasil wawancara dan hasil catatan lapangan)

b. Data yang sudah diproses (transkip wawancara dan catatan refleksi penulisan)

c. Data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode spesifik d. Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas

(46)

2. Tes Psikologi

a. Tes SSCT (Saks Sentence Completion Test)

Interpretasi tes SSCT dengan menggunakan norma yang telah distandarkan. Untuk mengetahui derajat permasalahan, digunakan penilaian kuantitatif :

2 : sangat terganggu (membutuhkan pertolongan untuk mengolah konflik

1 : agak terganggu (masih dapat menyelesaikan konflik tanpa bantuan pihak luar)

0 : tidak ada tanda-tanda gangguan dalam dimensi sikap tersebut

x : tidak diketahui atau kurang cukup bukti adanya gangguan dalam dimensi sikap tersebut

b. Tes BFI (Big F ive Inventory)

(47)

1. Neuroticism (N)

Neuroticism menggambarkan seseorang yang memiliki masalah dengan emosi yang negatif seperti rasa khawatir dan rasa tidak aman. Secara emosional mereka labil, seperti juga teman-temannya yang lain, mereka juga mengubah perhatian menjadi sesuatu yang berlawanan.

Skor tinggi : Cemas, gugup, marah, depresi, emosional, merasa tidak aman, merasa tidak mampu, mudah panik

Skor rendah: Tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah, riang.

2. Extraversion (E)

Extraversion, atau bisa juga disebut faktor dominan-patuh (dominance-submissiveness). Faktor ini merupakan dimensi yang penting dalam kepribadian, dimana extraversion ini dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Kecenderungan untuk mengalami emosi yang positif dan “good mood”, serta merasakan

(48)

Skor tinggi : mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama, optimis, fun-loving, affectionate, ramah, bersahabat

Skor rendah: Cenderung tidak menyukai interaksi sosial dan kurang mempunyai harapan/pandangan yang positif, tidak ramah, bersahaja, suka menyendiri, orientasi pada tugas, pendiam.

3. Openness (O)

Faktor openness terhadap pengalaman merupakan faktor yang paling sulit untuk dideskripsikan, karena faktor ini tidak sejalan dengan bahasa yang digunakan tidak seperti halnya faktor-faktor yang lain. Openness mengacu pada bagaimana seseorang bersedia melakukan penyesuaian pada suatu ide atau situasi yang baru.

(49)

juga menggambarkan pribadi yang mempunyai pemikiran yang sempit, konservatif dan tidak menyukai adanya perubahan serta kurang berani mengambil resiko.

4. Agreeableness (A)

Agreebleness dapat disebut juga social adaptibility atau likability yang mengindikasikan seseorang yang ramah, memiliki kepribadian yang selalu mengalah, menghindari konflik dan memiliki kecenderungan untuk mengikuti orang lain.

Skor tinggi : menyenangkan, lembut, dapat dipercaya, penurut, suka membantu, pemaaf, cenderung penuh kasih sayang, peduli kepada orang lain.

Skor rendah: sulit percaya pada orang lain, agresif, sinis, kasar, curiga, pendendam, manipulatif, tidak simpati, tidak kooperatif, dan sewaktu-waktu bermusuhan.

5. Conscientiousness (C)

(50)

discipline seseorang. Seseorang yang conscientious memiliki nilai kebersihan dan ambisi. Orang-orang tersebut biasanya digambarkan oleh teman-teman mereka sebagai seseorang yang well-organize, tepat waktu, dan ambisius.

Conscientiousness mendeskripsikan kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana, terorganisir, dan memprioritaskan tugas. Di sisi negatifnya trait kepribadian ini menjadi sangat perfeksionis, kompulsif, workaholic, dan membosankan.

Skor tinggi : teratur, berdisiplin tinggi, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, hati-hati.

Skor rendah: kadang-kadang tampak kehilangan arah dan kedisiplinan, tanpa tujuan, tidak dapat diandalkan, malas, sembrono, lalai, mudah menyerah, hedonistic. F. Kredibilitas dan Dependabilitas Penelitian

1. Kredibilitas

(51)

Menurut Poerwandari, agar dapat memotret kompleksitas tersebut penelitian harus menjamin bahwa subyek diidentifikasikan dan dideskripsikan dengan akurat. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kemajemukan (kompleksitas) aspek-aspek yang terkait dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif.

Beberapa cara yang dilakukan untuk meminimalisir bias dan menjaga kredibilitas dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data sebanyak mungkin dengan menggunakan wawancara dan dengan menggunakan tes psikologi, yaitu tes SSCT dan tes BFI.

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang dapat digunakan antara lain dengan mengunakan teknik triangulasi data yang mengacu pada pengambilan sumber-sumber data yang berbeda untuk menjelaskan suatu hal tertentu (Poerwandari, 2005). Moleong (2007) menyatakan bahwa triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam penelitian ini, hasil dari wawancara dibuat triangulasi dan digabungkan dengan hasil triangulasi dari tes psikologi sehingga mendapatkan deskripsi dampak psikologis informan yang mendalam.

(52)

yang dianggap berkompeten untuk menganalisa hasil tes psikologi sehingga dengan adanya pemeriksaan hasil analisa tes psikologi oleh interater diharapkan keabsahan data dari tes psikologi dapat terjaga. Interater tes SSCT dan BFI adalah Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko M.Psi.

Stangle dan Sarantoks (dalam Poerwandari, 1998) menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, validitas dicapai tidak melalui manipulasi variabel, melainkan melalui orientasinya dan upayanya mendalami dunia empiris, dengan menggunakan metode paling cocok untuk pengambilan dan analisis data. Konsep yang dipakai antara lain validitas kumulatif, validitas komunikatif, validitas argumentatif dan validitas ekologis. Kredibilitas penelitian ini dicapai melalui :

a. Eksplorasi kondisi informan

b. Konfirmasi data dan analisisnya pada responden penelitian (validitas komunikatif). Hasil temuan setelah melakukan analisa juga dikomunikasikan oleh peneliti pada nara sumber.

c. Data mentah dapat menjadi bukti pada hasil temuan dan kesimpulan (validitas argumentative). Hasil temuan dan kesimpulan yang didapat dalam penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan melalui data mentah, yaitu verbatim wawancara, tes SSCT dan tes BFI.

(53)

Dalam penelitian kualitatif, realibilitas penelitian disebut juga dengan dependabilitas. Dalam penelitian ini, dependabilitas dicapai melalui koherensi dengan pengumpulan data memakai alat perekam. Alat perekam tersebut berupa handphone, yang digunakan untuk merekam data wawancara yang telah dilakukan. Sehingga, data yang dihasilkan mendapatkan uraian data yang baik. Selain itu, peneliti juga melakukan diskursus dengan dosen pembimbing.

(54)

39 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Identitas Informan

Nama : Sm

Umur : 24 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat/Tanggal Lahir : Padang, 24 Agutus 1992

Urutan Kelahiran : 1 (pertama) dari 2 (dua) bersaudara

2. Latar Belakang

Informan berumur 24 tahun dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dengan adiknya berjenis kelamin laki-laki. Informan berasal dari daerah Sumatera Utara. Informan pindah ke Yogyakarta semenjak SMA. Saat ini informan merupakan mahasiswi semester akhir di suatu Universitas swasta di Yogyakarta. Pada saat kuliah ini, informan mengaku belum pernah kembali lagi ke rumahnya di Sumatera Utara. Akan tetapi informan tetap berhubungan dengan kedua orang tuanya lewat telepon dan beberapa kali melakukan Video Call.

(55)

40

Informan sebenarnya tidak ingin menjadi SPG pada awalnya. Sm menjadi SPG karena ada latar belakang ekonomi di belakangnya. Ayah informan jatuh sakit dan tidak bisa bekerja lagi. Sedangkan ibunya hanya bekerja sebagai pegawai serabutan. Informan memiliki keinginan untuk membiayai kehidupan kuliahnya dan pengobatan ayahnya dengan gajinya sebagai SPG.

Sm sebenarnya memiliki latar belakang keluarga yang religius dan disiplin. Pada awalnya, Sm kucing-kucingan dengan orang tuanya karena takut ketahuan jika dirinya menjadi SPG. Informan takut orang tuanya mencap dirinya sebagai anak nakal dan menjadi seorang wanita yang menjual dirinya (PSK). Seiring berjalannya waktu, informan mulai terbuka dengan orang tuanya karena telah ketahuan oleh adiknya yang juga kuliah di universitas yang sama dengan Sm.

Pada saat menjadi SPG, Sm sempat berhubungan dengan beberapa pria. Hubungan tersebut Sm jalani tanpa status, akan tetapi ada hubungan seksual si dalamnya. Dalam beberapa hubungan tersebut, informan mengaku selalu merasakan kekecewaan dan sakit hati dalam menjalankannya. Akan tetapi, informan menanggapinya dengan santai dan mencari pria lain untuk menggantikan pasangan-pasangan sebelumnya.

(56)

disakiti secara fisik oleh pria terssebut, seperti dicekik, dilempar rokok, dan perlakuan kasar lainnya.

3. Pengambilan Data

Penelitian ini, menggunakan 3 (tiga) metode dalam pengambilan data. Ketiga metode tersebut adalah wawancara, sebagai data utama; sedangkan kedua metode yang lainnya adalah tes psikologis berupa tes SSCT dan tes BFI.

Langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah melakukan rappor terhadap informan. Rappor dilakukan oleh peneliti selama kurang lebih seminggu sebelum penelitian dilakukan. Jangka waktu yang dekat tersebut dikarenakan peneliti sudah kenal dengan informan selama beberapa tahun yang lalu. Rappor dilakukan untuk menjaga kedekatan antara peneliti dan informan, agar terjadi keterbukaan dan rasa percaya informan terhadap peneliti.

Wawancara pertama kali dilaksanakan oleh peneliti untuk menanyakan beberapa hal berkaitan dengan hubungan informan dengan pasangan-pasangannya, kriteria pria idaman informan, dan berkaitan dengan syarat-syarat apa saja yag harus dipenuhi agar bisa berhubungan seksual dengan informan. Wawancara kedua dilaksanakan untuk menanyakan hal-hal yang berfokus dengan apa arti seks bagi informan.

(57)

tes psikologi tersebut adalah tes SSCT dan tes BFI. Tes SSCTdigunakan untuk mengungkap dinamika kepribadian, yang dapat menampakkan diri individu dalam hubungan interpersonal dan dalam interpretasi terhadap lingkungan. Sedangkan Tes BFI, digunakan untuk menggambarkan ciri-ciri individu yang membedakannya dengan individu lain.

Berikut jadwal pengumpuln data yang diakukan oleh peneliti :

No Waktu Pelaksanaan Tempat Keterangan

1 Rabu, 10 Agustus 2016 Kos Informan

Tes SSCT dan Tes BFI

2 Jumat, 9 Desember 2016 Kos Informan

Wawancara 1 pada informan 3 Senin, 12 Desember 2016 Kos

Informan

Wawancara 2 pada informan Tabel 01. Jadwal pengumpulan data

Analisa data yang digunakan dalam tes wawancara yaitu menggunakan analisis isi dengan cara memberi koding pada kalimat yang menunjukkan indikasi topik masalah kemudian dibuat suatu kesimpulan. Dalam interpretasi tes psikologi, peneliti menggunakan 1 orang interater untuk mendapatkan keabsahan data.

(58)

Sedangkan untuk tes BFI, skor diberikan pada tiap 44 soal pertanyaan, yang mengandung 5 dimensi BFI didalamnya. Informan diminta untuk menjawab 44 pertanyaan, dengan skala 1 (sangat tidak setuju) hingga 5 (sangat setuju). Lalu, jumlah tiap dimensi dijumlahkan dan diurutkan berdasarkan skor mana yang tinggi dan yang rendah.

Hasil analisa data dari wawancara dan tes psikologi digabungkan untuk mendapatkan gambaran mengenai informan. Hasil tersebut di dinamikakan dengan latar belakang informan sehingga didapatkan suatu kesimpulan mengenai motivasi informan dalam melakukan hubungan seksual.

a. Tes Big F ive Inventory

Tes BFI berisi 44 soal pertanyaan. Setiap pertanyaan diisi dengan skor yang paling menggambarkan diri informan. Terdapat 5 dimensi didalamnya. Kelima dimensi tersebut adalah O (Openess to Experience), C (Conscientiousness), E (Extraversion), A (Agreeableness), dan N (Neuroticism).

(59)

mendapatkan poin sebesar 30 poin. Sedangkan pada dimensi N (Neuroticism), informan mendapatkan skor 22 poin.

Berdasarkan hasil data BFI, informan mendapatkan skor yang hampir sama antara dimensi O, A, C, dan E, yang termasuk dalam kategori tinggi. Sedangakan untuk dimensi N, subjek mendapatkan skor yang terdapat dalam kategori rendah.

Dalam dimensi O (Openess to Experience), informan memiliki kecenderungan nilai imajinasi, ingin tahu, kreatif, broadmindedness, berani mengambil resiko, dan inovatif dalam membuat rencana dan mengambil keputusan.

Pada dimensi A (Agreebleness), informan cenderung memiliki sifat yang menyenangkan, lembut, dapat dipercaya, penurut, suka membantu, pemaaf, cenderung penuh kasih sayang, dan peduli kepada orang lain.

Selanjutnya, pada dimensi C (Conscientiousness), informan cenderung teratur, berdisiplin tinggi, pekerja keras, dapat diandalkan, disiplin, tepat waktu, rapi, dan hati-hati.

Pada dimensi E (Extraversion), informan cenderung mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, aktif, banyak bicara, orientasi pada hubungan sesama, optimis, fun-loving, affectionate, ramah, dan bersahabat.

(60)

bersikap tenang, santai, merasa aman, puas terhadap dirinya, tidak emosional, tabah, dan riang.

b. Tes SSCT

Dalam SSCT, terdapat 15 tema didalamnya. Tema yang pertama adalah sikap terhadap ibu. Pada tema ini, informan mendapat rating 1, yang menunjukkan bahwa informan memiliki masalah terhadap ibunya, akan tetapi masih bisa menyelesaikan konfliknya. Informan melihat sosok ibunya sebagai sosok yang banyak menuntut dan sering berlawanan pada dirinya. Akan tetapi, informan melihat ada nilai positif di dalamnya.

Tema yang selanjutnya adalah sikap terhadap ayah. Pada tema ini, informan mendapat rating 1. Informan memiliki masalah pada pandangannya terhadap ayahnya. Informan melihat sosok ayahnya sebagai sosok yang sangat menyayanginya, akan tetapi saat ayahnya jatuh sakit, informan merasa kehilangan sosok ayahnya tersebut.

Tema berikutnya adalah sikap terhadap kehidupan keluarga. Informan memiliki rating 1. Informan memiliki masalah terhadap kehidupan keluarganya. Informan merasa diberikan tuntutan sebagai anak pertama. Informan juga merasa bahwa keluarganya tidak sebahagia saat dirinya masih anak-anak.

(61)

manja dan tidak mau berusaha. Informan memiliki pandangan negatif terhadap sosok wanita dan berusaha untuk menjadi sosok yang mandiri. Tema berikutnya adalah sikap terhadap ketakutan-ketakutan. Pada tema ini, informan mendapat rating 1. Informan tidak menyukai hal-hal bersifat tidak pasti dalam kehidupannya. Informan juga memiliki fobia pada serangga. Dalam mengatasi rasa takut, informan dapat melakukan hal-hal konyol.

Selanjutnya, pada sikap pada rasa bersalah, informan mendapat rating sebesar 1. Informan merasa memiliki kesalahan pada masa lalunya, terkait dengan keterbukaan terhadap keluarganya. Informan merasa sangat bersalah saat dirinya memutuskan untuk merokok.

Pada tema berikutnya, sikap terhadap hubungan heteroseksual, informan memiliki rating 0. Informan memiliki kehidupan seksual yang cenderung biasa-biasa saja. Akan tetapi, informan memiliki relasi seksual pada pria yang tidak memiliki status hubungan dengannya.

Sikap terhadap teman-teman dan kenakalan, informan mendapatkan rating 0. Informan memiliki kriteria teman sejati adalah orang yang mendukung dirinya, humoris, dan dapat dipercaya.

(62)

Selanjutnya pada sikap terhadap bawahan, informan mendapatkan rating 0. Informan memperlakukan bawahannya sebagai teman atau partner yang bisa dipercaya dan diandalkan. Informan juga dapat menyelesaikan tanggung jawabnya dengan disiplin.

Pada tema lingkungan kerja, informan mendapatkan rating 0. Informan senang bekerja dengan orang yang dapat dipercaya, mau kerja ekstra, dan pernah bekerja dengan informan sebelumnya.

Tema selanjutnya adalah sikap terhadap kemampuan diri sendiri. Informan mendapatkan rating sebesar 0. Informan melihat suatu hal positif dibalik masalah-masalah yang dihadapinya. Informan juga dirasa tabah dalam melewati masalah.

Pada sikap terhadap masa lalu, informan mendapat rating sebesar 0. Informan memiliki cita-cita yang belum tercapai saat ini dan berusaha untuk tidak mengulang kesalahan yang sama agar cita-citanya tercapai. Pada sikap terhadap masa depan, informan mendapat rating 0. Informan memiliki harapan untuk sukses dan mandiri di masa depan, setelah melakukan beberapa pengorbanan.

Tema yang terakhir adalah sikap terhadap cita-cita. Informan mendapat rating 0. Informan akan merasa bahagia bila mimpinya tercapai. Informan berharap dapat membahagiakan keluarga dan mendapatkan seorang pasangan.

(63)

Berdasarkan tema-tema yang telah diketahui dalam analisis terhadap informan, terdapat 4 tema besar.

1. Sakit Hati Terhadap Pasangan

Informan merasakan beberapa perasaan negatif yang membuat informan dapat berganti-ganti pasangan.

“Ke mental sebenernya. Jadi kaya apa yah.. misalnya gini

misalnya dia ngajak “ayo yoo main ke kos aja, nginep!”.

Gue males kan, kan awalnya kan iseng doang tu loh. Cuman

karena ya iseng dan ga pengen serius tu loh yaudah, terus

dia ngomong kaya “ahh dasar perek!” (no 616)

Informan merasakan sakit hati pada saat menjadi bispak. Informan merasa telah direndahkan oleh pasangannya tersebut.

“Ya itu, kaya dia pernah bilang “udah, disini aja sama

aku!”, gue kan ga suka yang posesif, terus gue jawab “ga

deh, aku pengen me time. Gue pengen nyantai sama

temen-temen gue.” Ga boleh tuh udah. Jadi tuh, ini kan ga ada

status kan tapi ngatur banget, posesif tapi kasar. Maksudnya

emang mungkin baik, cuman kasarnya itu sama emosian.”

(64)

Selain perasaan sakit hati, informan juga merasakan kekecewaan terhadap pasangan-pasangannya.

“Ohh ga iklas sih. “kok enak aja lu udah gitu sama gue

(berhubungan seksual), tapi kok gitu?”. Cuma lama-lama

kan emosian, maki-maki gitu.”(no 408)

Informan juga pernah merasakan tidak ikhlas pada pasangannya. Hal ini dikarenakan informan tidak mendapatkan hal yang ia inginkan setelah si pria berhubungan seksual dengan informan.

“Trauma iya, tapi bukan gue udah males ketemu cowo yah.

Males yang berhubungan sama cowo. Kaya yang ada

hubungannya personal gitu.” (no 581)

Informan juga pernah merasakan trauma akan menjalin hubungan dengan pria karena telah merasa disakiti berulang-ulang.

“Biasa sih, cuman maksa. Gue ga tau sih itu itungannya

(65)

jamannya SPGan, pulang jam 2 pagi, capek dong. Nah, tu

orang saking posesifnya, nungguin gue pulang kerja di

kantor. Pulang tuh dipaksa tidur di kosnya dia.” (no 537)

Informan juga kerap kali merasakkan ketidaknyamanan dalam berhubungan seksual dengan pasangan-pasangannya.

“Aku sebenernya masuk ke dunianya dia, dia kuajak

keduniaku cuman ga masuk hehe. Ga terlalu nyambung tu

loh, jadi obrolan sama candaannya tu ya cuman basa basi.

Gak yang akrab gitu.” (no 834)

Informan juga beberapa kali sempat terlibat dalam sebuah hubungan yang membuat dirinya tidak nyaman dalam menjalani hubungan tersebut.

2. Harapan Terhadap Relasi

Didalam kehidupannya, informan juga memiliki harapan-harapan yang terkait dengan kehidupan berelasinya.

“Ya kan siapa sih yang ga pengen punya someone yang bisa

(66)

Informan memiliki harapan atau impian agar informan mendapat seorang pasangan agar bisa diajak melakukan beberapa kegiatan bersama-sama.

“Yaa balik lagi, gue kan pernah ngalamin tuh sama pacar

gue sama yang bukan pacar. Maksudnya ketika kamu ada

komitmen, bakalan ada komunikasi mendalam, terus lebih

kaya yang bisa terbuka, bisa kaya yang bisa mendalam

gara-gara ada visi kedepannya, ga ngambang.” (no 235)

Informan juga mengharapkan bahwa ia mendapatkan seorang pacar dengan ada komitmen didalamnya dan mendapatkan kepastian.

“Cowo, tinggi tapi conditional karena fisik bisa ditoleransi,

lebih ke ngertiin gue, nyaman, udah.” (no 283)

Informan memiliki tipe pria idaman menurutnya. Informan tidak melihat dari sisi fisik dari seorang pria. Akan tetapi, lebih kepada pria yang bisa mengerti dan membuat informan nyaman.

(67)

Berikut adalah kebutuhan-kebutuhan yang terdapat dalam hasil wawancara informan, yang mencerminkan motivasi yang informan miliki dalam menjadi bispak.

“Ya mungkin karena gue terlalu narik diri, bener-bener ga

nggagas sama sekali, dan udah jadi kebutuhan tu loh, sepi.

Jadi pas dideketin tu ya bales, nanggepin. Ya faktor

kebutuhan jatohnya.” (no 755)

Informan melihat seks sebagai alat dari pemenuhan kebutuhan perasaan yang dimiliki informan.

“Kasih sayang hehehe. Cuy, gue butuh affection hehehe”

(no 890)

Motivasi lain yang membuat informan menjadi seorang bispak adalah butuhnya perasaan untuk disayang oleh pasangan.

“gue masih bisa maintain kebutuhan seksual gue, karena

gue ga umm fokusnya ga disitu. Lebih ke fulfill rasa nyaman itu

(68)

Berdasarkan hasil wawancara yang telah diketahui, dalam berhubungan seksual, informan membutuhkan rasa nyaman terlebih dahulu dari pasangan. Lalu, setelah itu, informan akan menggunakan seks untuk menjaga rasa nyaman tersebut (no 885).

“Tapi jatohnya itu ke kebutuhan. Guenya juga butuh, si cowo juga butuh.” (no 173).

Informan juga menggunakan seks sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan seksual yang informan miliki.

4. Penerimaan Resiko

“Kalo gue tau orang sih, banyak tau. Cuman, ga jadi

patokan. Karena kan balik lagi, kan atas dasarku sendiri”

(no 197)

Informan menerima resikonya sebagai seorang bispak. Informan menjadi bispak atas kemauannya sendiri, tanpa ada role model atau panutan dari lingkungannya.

“..ketika belum ada komitmen, cuma gue mau, berarti gue

(69)

si kampret si kampret”. Cuma yaudah lah emang resikonya

gue gitu. Ngerti lah resikonya gimana” (no 99)

Informan berani menerima resikonya dalam menjadi seorang bispak. Sebenarnya informan sudah mengerti apa resikonya, akan tetapi informan tetap menjalani pilihannya menjadi seorang bispak.

“Bukan lebih ke malu sih, lebih ke “ahh kalo ga ngerti diem

aja!”. Gue kan cuek ya orangnya, ga malu sih. Yaa biarin

sih urusan-urusan gue.” (no 142)”

Informan dapat menegenali lingkungannya. Informan juga dapat mengendalikan lingkungannya agar tidak terjadi masalah lebih lanjut.

B. Pembahasan

(70)

Pengalaman dan motivasi yang dialami oleh Sm ini, setidaknya menunjukkan beberapa hal mengenai relasi romantis kasual kontemporer. Pertama adalah soal kenyamanan. Sm berganti-ganti pasangan untuk mencapai rasa nyaman. Karena itu, bukan berarti komitmen tidak ada. Komitmen ada, akan tetapi bukan terhadap pasangan, melainkan terhadap rasa nyaman tersebut. Kedua, pencarian rasa nyaman ini yang kemudian menciptakan kondisi frustrasi-regresi sebagaimana pernah digagas oleh Alderfer (1969). Frustrasi muncul dalam ketidakmampuan Sm memperoleh rasa nyaman yang kemudian diwujudkan dalam regresi ke dalam keterhubungan dengan orang baru. Ketiga, kebutuhan akan seks muncul bukan sebagai tema utama dalam kebutuhan, melainkan menjadi kebutuhan dominan yang muncul setelah kebutuhan untuk merasa nyaman, kebutuhan berafiliasi, kebutuhan untuk merasa aman.

(71)

Bila disilangkan, maka dapat dikatakan bahwa Sm memiliki kebutuhan-kebutuhan yang bersifat untuk menjalin relasi, dan memiliki hasrat untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya yang selalu menemui masalah. Hal ini sejalan dengan hasil tes BFI, yang menunjukkan bahwa Sm adalah individu dengan oerientasi sosial, yang memungkinkan banyaknya muncul kebutuhan-kebuthan yang bersifat “keluar” atau berhubungan dengan orang lain.

Dalam teori ERG, dikenal dengan frustasi-regresi, yang memungkinan individu untuk kembali ke kebutuhan yang levelnya lebih rendah saat ia tidak dapat memenuhi hasrat yang dimilikinya. Hal ini memungkinkan seseorang membuat pola dalam perilakunya. Bila dilihat dari keempat kebutuhan yang dimiliki informan, maka terdapat pola yang terbentuk saat informan membentuk sebuah relasi.

(72)

Alderfer (1969) mengatakan bahwa kebutuhan akan relatedness akan muncul setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi. Setelah mencapai kepuasan dalam kebutuhan dasarnya, informan mulai mencari kepuasan dalam berelasi dengan seseorang. Informan dalam kebutuhannya berelasi merupakan sebuah sebab-akibat. Hal ini terlihat dari hasil SSCT yang mencerminkan bahwa informan merasa kehilangan sosok ayah yang membuatnya nyaman. Informan mengaku bahwa saat informan pindah ke Yogyakarta, ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya, selain lewat komunikasi handphone.

Kebutuhan-kebutuhan untuk merasa nyaman dan aman merupakan bentuk dari hal tersebut. Informan mulai memasuki proses seleksi dalam pemilihan pasangan. Informan mencari sosok pria yang dapat memberikan kepuasan dalam dahaga akan sosok ayahnya yang hilang tersebut. Ia merasa bahwa dengan mendapatkan kenyamanan, maka ia akan merasa hubungan menjadi berharga.

(73)

oleh Cannon (1929), saat seseorang dihadapkan pada suatu masalah (stressor), maka terdapat dua kemungkinan perilaku yang muncul, yaitu fight, melawan; atau flight, kabur dari masalah. Dalam cerita ynag dipaparkan oleh subjek, subjek memiliki harapan untuk memiliki relasi dengan komitmen didalamnya. Akan tetapi, hal tersebut selalu membentur masalah dalam pemenuhannya. Saat menemui masalah tersebut, informan lebih memilih untuk kabur dari masalah tersebut dan mencoba peruntungannya dengan relasi baru lainnya. Hal ini ditunjukkan dari bergantinya pasangan yang dimiliki informan, sebanyak enam relasi berbeda yang telah ia alami dalam kurun waktu satu tahun.

Pola tersebut memiliki bentuk yang sama pada tiap hubungan yang informan jalani. Pada relasinya pada pria no. 1, kebutuhan akan materi telah terpenuhi, lalu lanjut dengan kebutuhan untuk relasi yang dipuaskan juga dengan adanya sosok pria yang menemani dan berada disampingnya, yang membuatnya merasa aman dan nyaman. Akan tetapi, pada hubungannya tersebut, Sm menemukan masalah. Pasangan pertamanya tersebut menunjukkan perilaku kasar secara verbal yang akhirnya membuat Sm memilih untuk meninggalkan pria tersebut. Cerita pertama ini menunjukkan bahwa Sm telah baerhasil memenuhi kebutuhan E dan R, akan tetapi gagal dalam memenuhi kebutuhan G. Dari cerita tersebut, terjadi frustasi-regresi, yang membuat Sm kembali mencari kepuasan yang lebih dalam hal relasi.

(74)

perlakuan kasar dari pria kedua yang menjalani hubungan dengannya. Pencarian sosok lain ini sejalan dengan teori yang dikatakan Alderfer. Alderfer (1969), mengatakan bahwa saat kebutuhan untuk berkembang tidak terpuaskan, maka kebutuhan akan relasi yang sebelumnya telah terpenuhi akan bertambah. Sm mencari pria untuk mengisi kekosongan dalam kebutuhan akan berelasi tersebut.

Dalam pencariannya tersebut, Sm pun menjalani hubungan dengan pria yang kedua yang seturut dengan kebutuhannya tersebut. Dalam relasinya kedua tersebut, Sm mendapatkan masalah lagi dalam pemenuhan untuk tumbuh-kembangnya. Sm merasa bahwa pria yang kedua tersebut bukan sosok pria yang ideal menurutnya, karena dirasa kurang tegas dan Sm pun tidak mendapat kepuasan secara seksual. Frustasi-regresi pun kembali terjadi. Sm meninggalkan pria kedua itu, dengan rasa ketidakpuasan dalam kebutuhannya untuk bertumbuh-kembang.

(75)

Sm memang mengaku mendapatkan “titik cerah” pada pria ketiga

tersebut, akan tetapi, hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk timbulnya masalah. Sm merasa tidak diperhatikan oleh sosok pria yang ketiga ini. Sm merasa bahwa pria yang ketiga tersebut terlalu cuek. Peristiwa ini membuat Sm kembali mengalami frustasi-regresi, yang membuat kebutuhan akan berelasinya kembali dalam keadaan tidak stabil dan harus dipuaskan. Sm mengambil langkah untuk meninggalkan pria ketiga dan mencari pria berikutnya untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Perilaku flight kembali dilakukan oleh Sm saat mendapat masalah, yang akhirnya menjalin relasi dengan pria keempat, dengan alasan haus akan rasa kasih sayang dan perhatian yang harus dipenuhi. Setelah kepuasan tersebut terpenuhi, Sm menemukan masalah saat Sm mengalami kekerasan fisik yang membuatnya rehat dan rasa trauma dalam membentuk relasi romantis dengan pria.

(76)

saat individu dihadapkan dengan situasi fight or flight, dan stressor terus menumpuk, maka dapat terjadi trauma terhadap suatu kejadian. Seiring berjalannya trauma tersebut, maka semakin kuat juga kebutuhan yang muncul pada diri Sm.

Dalam teori milik Murray, Murray mengatakan bahwa dalam motivasi terlibat sisi ekstrinsik. Sisi ekstrinsik tersebut merupakan tekanan dari luar diri individu yang dapat merubah perilaku seseorang. Tekanan dari luar tersebut ikut ambil bagian dalam perilaku yang dimunculkan Sm. Selain itu, Sm yang telah diketahui membutuhkan sosok pria yang dapat menggantikan sosok ayahnya dalam kehidupannya. Maka, setelah rehat dan berusaha membenahi pikirannya, Sm akhirnya membuka dirinya terhadap pria untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lama tidak terpenuhi.

Sm memiliki niatan untuk mengisi kebutuhan berelasi yang telah ditinggalkannya kosong setelah sekian lama. Kebutuhan tersebut terpenuhi dengan hadirnya sosok pria kelima. Bila sebelumnya, Sm mencari sosok pria dengan niatan menjalin relasi dengan komitmen untuk kelanjutannya, pada pria yang kelima ini Sm murni hanya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah mengering dan mendorong dirinya untuk mengisinya kembali.

Gambar

Tabel 01. Jadwal pengumpulan data

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan perlakuan pemberian air buah nenas terhadap ayam petelur afkir dapat menurunkan persentase lemak abdominal, meningkatkan

Potensi Taman Satwa Cikembulan sebagai salah satu daya tarik wisata di.. Kabupaten Garut sudah cukup

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan skripsi ini

Dengan demikian, penerapan model kooperatif CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) efektif dapat meningkatkan hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

Pemohon memahami proses asesmen untuk skema Klaster Perawatan Pencegahan ( Preventive Maintenance ) Alat Berat Big Bulldozer yang mencakup persyaratan dan ruang

, puncak keempatbelas yang adalah metil oleat (18,68%) dengan rumus Selain itu dalam ketentuan biodiesel terdapat syarat adanya bilangan setana dimana memiliki

Dari 7 kelompok pengeluaran yang ada, pada bulan Oktober 2012 masing-masing kelompok memberikan andil inflasi/deflasi sebagai berikut: Kelompok Bahan Makanan -0,43

Kadar trigliserida dan HDL serum darah tikus yang mendapatkan perlakuan ekstrak etanol rimpang kencur (500 dan 1.000) mg/kg BB selama 30 hari tidak berbeda