BAB II
TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian dan Perkembangan Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Setiap manusia dari lahir sampai nanti dia meninggal dunia pada dasarnya
adalah bertindak sebagai konsumen. Sudah semestinya ada Undang-Undang yang
melindunginya. Sebelum membahas lebih jauh mengenai konsumen, ada baiknya
terlebih dahulu memahami apa itu pengertian dari konsumen dan perlindungan
yang melindungi konsumen tersebut.
Konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),
atau consument atau konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer
adalah lawan dari produsen, berarti setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang dan/atau jasa itu nanti menentukan termasuk
konsumen kelompok mana pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa
Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.13
Sebelum muncul Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hanya ada
pengertian normatif tentang perlindungan konsumen dalam hukum positif di Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen, istilah konsumen mempunyai definisi sebagai berikut :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan”.
13Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
Indonesia. Dalam GBHN melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1993), disebutkan
kata “konsumen” dalam rangka membicarakan tentang sasaran dalam bidang
perdagangan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang pengertian konsumen
dalam ketetapan ini.
Diantara ketentuan normatif itu, terdapat Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang ini diberlakukan pada tanggal 5 Maret 2000, satu tahun setelah
diundangkan. Di dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, istilah
konsumen mempunyai definisi yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang
dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang
lain.
Batasan dari konsumen menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan
kembali.
Unsur-unsur dari definisi konsumen adalah :14
a. Setiap Orang
Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus
sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan
keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon
atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon).
Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha”
dalam Pasal 1 ayat (3), yang secara nyata membedakan kedua pengertian persoon
di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”.
Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada
orang perseorangan saja atau sebatas badan usaha saja. Namun, konsumen
haruslah mencakup kepada orang dan atau badan usaha dengan makna lebih luas
daripada badan hukum.
b. Pemakai
Sesuai dengan bunyi Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, kata "pemakai" menekankan bahwa konsumen adalah
konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah "pemakai" dalam hal ini sekaligus
menunjukkan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari
transaksi jual-beli. Artinya, sebagai konsumen tidak harus selalu memberikan
prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan atau jasa
itu. Konsumen memang tidak hanya pembeli (buyer atau koper) saja,tetapi semua
orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Jadi yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (consumer
transaction) adalah saat adanya peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.
c. Barang dan/atau Jasa
Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti
terminologi tersebut digunakan kata produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai
setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak
bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
Undang-undang perlindungan konsumen tidak menjelaskan perbedaan
istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.
Jasa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diartikan sebagai
setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi
masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya
harus lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus
(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian “disediakan bagi
masyarakat” tersebut.
Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” harus ditafsirkan sebagai
bagian dari suatu transaksi konsumen. Artinya, jika ada seseorang yang menjual
rumahnya kepada orang lain dikarenakan adanya kebutuhan yang mendadak,
perbuatannya itu tidak dapat dikatakan sebagai transaksi konsumen. Si pembeli
dalam hal ini tidak dapat dikatakan sebagai “konsumen” menurut undang-undang
perlindungan konsumen.
d. Yang Tersedia dalam Masyarakat
Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus
tersedia di pasaran. Seperti bunyi dari Pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang
ini, syarat itu tidak lagi merupakan suatu syarat yang mutlak yang dituntut oleh
masyarakat konsumen. Contohnya, perusahaan pengembang (developer)
perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum
bangunannya jadi.
e. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, dan makhluk hidup lain. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu
mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan itu tidak hanya
ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga diperuntukkan bagi orang
lain (di luar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk mahkluk hidup lain ,
seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia
adalah bagian dari kepentingannya.
f. Barang dan/atau Jasa itu tidak untuk Diperdagangkan
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam
peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara.
Menurut Az. Nasution, batasan mengenai konsumen adalah sebagai
berikut:15
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c. Konsumen-akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non komersial).
Pengertian perlindungan konsumen menurut Undang-Undang
Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 1 adalah:
“Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.”
Dari pengertian perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Perlindungan Konsumen di atas, telah memberikan cukup
kejelasan bahwa pelaku usaha tidak dapat bertindak sewenang-wenang terhadap
konsumen sehingga dapat merugikan pihak konsumen.
Selain itu dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai perlindungan
konsumen, hal ini membuat posisi konsumen dan pelaku usaha seimbang dan
saling menghargai akan hak dan kewajibannya.
Menurut Az. Nasution, “hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen. Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan
bermasyarakat”.16
2. Perkembangan Perlindungan Konsumen
Sebelum membahas mengenai masalah perlindungan kosumen, kita perlu
memahami mengenai sejarah gerakan perlindungan konsumen dari awal mula
adanya perlindungan konsumen hingga perkembangannya sampai saat ini.
Dengan melihat sejarah ini, kita bisa mencermati bagaimana dengan
pergulatan sosial, ekonomi, dan politik pada saat itu mendesak masalah
perlindungan konsumen muncul ke permukaan wacana publik.
Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh
tahun lalu di berbagai Negara dan sampai saat ini sudah puluhan Negara memiliki
undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada
konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan
perkembangan itu, berbagai Negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen
yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di
samping itu, telah berdiri pula organisasi konsumen internasional, yaitu
International Organization of Consumer Union (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (selanjutnya disebut YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain do
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.17
Gelombang pertamaterjadi pada tahun 1891. Pada tahun ini, di New York
terbentuk Liga Konsumen yang pertama kali di dunia. Baru pada tahun 1898, di
tingkat nasional Amerika Serikat terbentuk Liga Konsumen Nasional (The
National Concumer’s League). Organisasi ini kemudian semakin tumbuh pesat Perkembangan hukum konsumen di dunia berawal dari adanya gerakan
perlindungan konsumen pada abad ke-19, terutama ditandai dengan munculnya
gerakan konsumen yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Ada tiga fase atau
gelombang gerakan perlindungan konsumen.
17Nurmadjito, makalah “Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan Tentang
dan pada tahun 1903, telah berkembang menjadi 64 cabang yang meliputi 20
negara.18
Dalam perjalanannya, gerakan perlindungan konsumen ini bukannya tidak
mendapat hambatan dan rintangan. Untuk menghasilkan Undang-Undang The
Food and Drugs Act dan The Meat Inspection Act yang lahir pada tahun 1906
telah mengalami berbagai hambatan.19
Perjuangannya dimulai pada tahun 1892, namun parlemen di sana gagal
menghasilkan Undang-Undang ini. Kemudian dicoba lagi pada tahun 1902 yang
mendapat dukungan bersama-sama oleh Liga Konsumen Nasional, The General
Federation of Women’s Club dan State Food and Dairy Chemist, namun ini juga gagal. Akhirnya pada tahun 1906 lahirlah The Food anf Drugs Act dan The Meat
Inspection Act.20
Selanjutnya disebut gelombang kedua, yaitu terjadi pada tahun 1914,
dengan dibukanya kemungkinan untuk terbentuknya komisi yang bergerak dalam
bidang perlindungan konsumen, yaitu apa yang disebut dengan FTC (Federal
Trade Comission), dengan The Federal Trade Comission Art, tahun 1914.21
Selanjutnya, sekitar tahun 1930-an mulai dipikirkan urgensi dari pendidik.
Mulailah era penulisan buku-buku tentang konsumen dan perlindungan konsumen
yang disertai dengan riset-riset yang mendukungnya. Tragedi Elixir Sulfanilamide
pada tahun 1937 yang menyebabkan 93 konsumen di Amerika Serikat meninggal
18
Happy Susanto, op.cit., hal.6.
19Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal. 13.
20Ibid
dunia telah mendorong terbentuknya The Food, Drug and Cosmetics Act, tahun
1938 yang merupakan amandemen dari The Food and Drugs Act, tahun 1906.22
Di negara-negara lain selain Amerika Serikat setelah era ketiga ini
terjadilah kebangkitan yang berarti bagi perlindungan konsumen. Inggris telah
memberlakukan Hops (Preventions of Frauds) Act dalam tahun 1866, The Sale of
Goods Act, tahun 1893, Fabrics (Misdescription) Act, tahun 1955, The Restictive
Trade Protection Act, tahun 1956. The Consumer Protect Act baru ada pada tahun 1961 dan diamendir pada tahun 1971.
Era gelombang ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun
1960-an yang melahirkan era hukum perlindungan konsumen dengan lahirnya
satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumer law). Pada tahun
1962 Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy menyampaikan consumer
message ini dicantumkan formulasi pokok-pokok pikiran yang sampai sekarang
terkenal sebagai hak-hak konsumen (consumer bill of rights). Presiden Jimmy
Carter juga dapat dikenang sebagai pendekar perlindungan konsumen karena
perhatian dan apresiasinya yang besar sekali.
23
Era ketiga ini menyadarkan negara-negara lain untuk membentuk
Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Beberapa Undang-Undang-undang Perlindungan
Konsumen negara lain adalah sebagai berikut :24
a. Australia: Consumer Affairs Act, tahun 1978,
b. Irlandia: Consumer Information Act, tahun 1978,
c. Finlandia: Consumer Protection Act, tahun 1978,25
22Ibid
23Ibid
Selain di dunia, perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia
memiliki sejarahnya sendiri.
Praktis sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal
istilah konsumen. Kendatipun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk
menggunakan beberapa istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen.
Variasi penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mengacu
kepada perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian
tentang hak-hak konsumen.26
Di Indonesia masalah perlindungan konsumen baru mulai terdengar pada
tahun 1970-an. Ini terutama ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) bulan Mei 1973. Secara historis, pada awalnya
Yayasan ini berkaitan dengan rasa mawas diri terhadap promosi untuk
memperlancar barang-barang dalam negeri.27
Tokoh-tokoh yang terlibat pada waktu itu mulai mengadakan temu wicara
dengan beberapa kedutaan asing, Departemen Perindustrian, DPR, dan tokoh-Atas desakan suara-suara dari masyarakat, kegiatan promosi ini harus
diimbangi dengan langkah-langkah pengawasan, agar masyarakat tidak dirugikan
dan kualitasnya terjamin. Adanya keinginan dan desakan masyarakat untuk
melindungi dirinya dari barang yang rendah mutunya telah memacu untuk
memikirkan sungguh-sungguh usaha untuk melindungi konsumen ini, dan
mulailah gerakan untuk merealisasikan cita-cita itu.
25
Ibid
26Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2013, hal. 13.
tokoh masyarakat lainnya. Puncaknya lahirlah YLKI dengan motto yang telah
menjadi landasan dan arah perjuangan YLKI, yaitu melindungi konsumen,
menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.28
Untuk mencapai tujuan tersebut, YLKI melakukan kegiatan di beberapa
bidang, yaitu:29
1. Bidang pendidikan,
2. Bidang penelitian,
3. Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan,
4. Bidang pengaduan,
5. Bidang umum dan keuangan.
Setelah itu, suara-suara untuk memberdayakan konsumen semakin gencar,
baik melalui ceramah-ceramah, seminar-seminar maupun melalui tulisan-tulisan
di media massa.
Sebagai salah satu Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), YLKI masih terus berkembang hingga kini dan tetap
menjadi pelopor gerakan perlindungan konsumen. Pihak konsumen yang
menginginkan adanya perlindungan hukum terhadap hak-haknya sebagai
konsumen bisa meminta bantuan YLKI untuk melakukan upaya pendampingan
dan pembelaan hukum.30
28Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op.cit., hal.15-16.
29
Happy Susanto, op.cit, hal. 10.
30Ibid
YLKI pada awalnya hanyalah sekelompok kecil anggota masyarakat yang
Ajang promosi ini dinamakan Pekan Swakarya. Dengan adanya ajang
promosi ini, menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan suatu tempat atau
wadah yang tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Yayasan ini sejak awal tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen
(pelaku usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan yakni dengan
menyelenggrakan Pekan Swakarya II dan Pekan Swakarya III yang benar-benar
dimanfaatkan produsen dalam negeri.31
Sejak dekade 1980-an, gerakan atau perjuangan untuk mewujudkan sebuah
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dilakukan selama
bertahun-tahun. Pada masa Orde Baru, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
tidak memiliki keinginan yang besar untuk mewujudkannya. Hal ini terbukti
pengesahan Rancangan Undang-undang Perlindungan Konsumen (RUUPK)
selalu ditunda.32
Selain adanya YLKI yang berperan sebagai lembaga perlindungan
konsumen di Indonesia, ada juga muncul beberapa organisasi serupa, antara lain
Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) di Semarang yang
berdiri sejak bulan Februari tahun 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai
anggota Consumers International (CI). Di luar itu, saat ini cukup banyak lembaga
swadaya masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, Puncaknya adalah pada era reformasi yaitu pada masa pemerintahan
Presiden BJ Habibie tepatnya tanggal 20 April 1999 lahirnya Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
31Cellina Tri Siwi Kristiyanti,op.cit., hal.15.
seperti Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan
perwakilan YLKI di berbagai provinsi di Tanah Air.33
Jika dibandingkan dengan perjalanan panjang gerakan konsumen di luar
negeri khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus
memulai usaha untuk melindungi konsumen dari nol sama sekali. YLKI dapat
mempelajari bagaimana negara-negara maju yang lebih dahulu memiliki lembaga
perlindungan konsumen dalam menangani kasus-kasus yang merugikan
konsumen di negaranya. Hal ini dapat dijadikan pelajaran yang bermanfaat
sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengulangi kesalahan yang sama.34
Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang
atau jasa dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan YLKI ini
belum mempunyai kekuatan untuk memberlakukan atau mencabut suatu
peraturan. YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri. Hal ini tentu dikarenakan
YLKI sendiri bukan badan pemerintah dan tidak memiliki kekuasaan publik untuk
menerapkan suatu peraturan dan menjatuhkan sanksi.35
33
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 2000, hal.49.
34Cellina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit., hal.15.
35Shidarta, op.cit., hal.37.
Keberadaan Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8
Tahun 1999 ini dimaksudkan untuk sebagai landasan hukum yang kuat bagi
pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan konsumen. Dan diharapkan juga undang-undang ini dapat
mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala hak-haknya
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha jelas sangat
merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya para pelaku usaha berlindung
dibalik suatu perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu
antara pelaku usaha dan konsumen. Perjanjian ini disebut perjanjian baku. Ada
kalanya juga pelaku usaha berlindung dibalik informasi “semu” yang diberikan
kepada konsumen. Dikatakan informasi “semu” dikarenakan informasi yang
diberikan pelaku usaha kepada konsumen bersifat tidak nyata. Tidak nyata
maksudnya adalah bahwa informasi yang disampaikan tersebut tidak sesuai
dengan kenyataan.
Selain di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan konsumen, hukum konsumen banyak ditemukan di dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Undang-Undang Perlindungan
Konsumen mulai efektif berlaku pada tanggal 20 April tahun 2000.
Sesuai isi Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) Undang-Undang Perlindungan
Konsumen yang menyatakan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undang-undang ini”.
Hal ini berarti untuk “membela” kepentingan konsumen, selain masih
harus memuat berbagai kaidah yang menyangkut hubungan dan masalah
konsumen.
Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan
untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaknya peraturan
perundang-undangan itu merupakan sumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum
perlindungan konsumen. Peraturan perundang-undangan tersebut diantaranya
adalah :
a. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR
Hukum konsumen terutama hukum perlindungan konsumen mendapatkan
landasan hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, pada Pembukaan
Alinea ke-4 yang berbunyi : “... Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia ...” Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat
dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Ketentuan tersebut
berbunyi : “Tiap warga berhak atas penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”. Penghidupan yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, adalah merupakan hak dari warga negara dan hak semua orang
dan juga merupakan hak dasar bagi rakyat secara menyeluruh. Untuk
melaksanakan perintah Undang-Undang Dasar 1945 melindungi segenap
bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sejak tahun 1978 telah menetapkan berbagai
Ketetapan MPR. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat
konsumen, sekalipun dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada
masing-masing ketetapan. Jika pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah
“menguntungkan” konsumen, TAP-MPR 1988 “menjamin” kepentingan
konsumen, maka pada tahun 1993 digunakan istilah “melindungi” kepentingan
konsumen. Namun dalam masing-masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat
penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menguntungkan, menjamin, atau
melindungi kepentingan konsumen tersebut.
b. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata
Hukum perdata yang dimaksudkan adalah hukum perdata dalam arti luas,
termasuk hukum perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang
termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemua itu
baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tampak lebih dominan berlakunya
dibandingkan dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum
tidak tertulis, dan putusan-putusan pengadilan negeri maupun
pengadilan-pengadilan luar negeri yang berkaitan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
memuat berbagai kaidah hukum yang berkaitan dengan hubungan-hubungan
hukum dan masalah-masalah antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau
jasa dan konsumen pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku
kedua, buku ketiga, dan buku keempat memuat berbagai kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau jasa
tersebut. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, termuat
hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan sebagai subjek
hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan kewajiban
masing-masing, serta tata cara penyelesaian masalah yang terjadi dalam
sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa
yang diatur dalam peraturan perundang-perundangan bersangkutan.
B. Asas dan Tujuan Serta Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Hal yang penting dalam terbentuknya suatu peraturan adalah asas. Asas
memiliki arti sebagai suatu dasar, landasan, fundamen, prinsip dan jiwa atau
cita-cita.
Di dalam hukum perlindungan konsumen di Indonesia, ada beberapa asas
dan tujuan dan juga prinsip-prinsip hukum yang dapat memberikan arahan dalam
implementasinya. Dengan adanya asas dan tujuan yang jelas, hukum perlindungan
konsumen memiliki dasar pijakan yang kuat.
1. Asas Perlindungan Konsumen
Adapun asas perlindungan konsumen yang tertuang dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah :
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”
Penjabaran dari lima asas perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :36
a. Asas Manfaat
36Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Grasindo, 2007,
Asas ini dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun
spiritual.
d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, jika diperhatikan
substansinya, maka dapat dibagi menjadi tiga asas, yaitu :
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. Asas kepastian hukum.37
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Selain asas, hal yang diperlukan dalam suatu peraturan adalah adanya
tujuan. Tujuan adalah cita-cita, sasaran yang ingin dicapai yang menjadi salah satu
alasan mengapa suatu peraturan itu perlu untuk dibuat.
Seperti halnya didalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Kedudukan konsumen sebagai pihak yang lemah dan rentan terhadap pelanggaran
yang dilakukan oleh pelaku usaha perlu mendapatkan suatu perlindungan dari
pemerintah dan negara.
Adapun tujuan dari perlindungan konsumen yang dimuat dalam Pasal 3
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya senagai konsumen;Menciptakan sistem perlindungan yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
37Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Rajagrafindo
d. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
e. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyaman, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3. Prinsip-Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen
Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan konsumen dalam
hubungan hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang
dikenal dalam perjalanan sejarah hukum perlindungan konsumen. Prinsip-prinsip
tersebut adalah :38
A. Prinsip Let The Buyer Beware
Prinsip ini berasumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak
yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si
konsumen.Namun prinsip let the buyer beware ini ditentang oleh pendukung
gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme). Menurut prinsip ini, dalam
suatu hubungan jual beli keperdataan, yang wajib berhati-hati adalah pembeli.
Adalah kesalahan pembeli (konsumen) jika ia sampai membeli dan
mengkonsumsi barang-barang yang tidak layak.
Dengan adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, kecenderungan
caveat emptor dapat mulai diarahkan sebaliknya menuju kepada caveat venditor (pelaku usaha yang perlu berhati-hati).
B. Prinsip The Due Care Theory
Prinsip The Due Care Theory ini menyatakan bahwa pelaku usaha
mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk, baik
barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia tidak dapat
dipersalahkan. Untuk dapat mempersalahkan si pelaku usaha, seseorang haruslah
dapat membuktikan bahwa si pelaku usaha itu melanggar prinsip kehati-hatian.
Dilihat dari pembagian beban pembuktian, penggugat (konsumen) harus
memberikan bukti-bukti. Sedangkan tergugat (pelaku usaha) cukup bersikap
menunggu. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, barulah tergugat membela
dirinya. Misalnya dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam
peristiwa itu sama sekali tidak ada kelalaian (negligence).
Dalam kenyataan, agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan
bukti-bukti guna memperkuat gugatannya. Sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai
keunggulannya baik secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis relatif
mudah untuk berkelit dan menghindar dari gugatan-gugatan yang demikian.
Disinilah letaknya kelemahan dari prinsip ini.
C. Prinsip The Privity of Contract
Dalam prinsip ini pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi
konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara mereka telah terjalin
suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal
diluar yang diperjanjikan. Konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi
Dalam perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen yang bersifat masif,
seperti perjanjian standar, hanya hal-hal yang dianggap kesalahan prinsipiil yang
diperjanjikan. Kesalahan-kesalahan “kecil” menurut versi pelaku usaha, biasanya
tidak disinggung secara khusus dalam perjanjian itu. Akibatnya, jika konsumen
menuntut pelaku usaha atas kesalahan-kesalahan “kecil” itu, maka pelaku usaha
akan berdalih bahwa kesalahan tersebut tidak tercakup dalam perjanjian.
D. Prinsip Kontrak Bukan Syarat
Seiring dengan semakin kompleksnya transaksi konsumen, prinsip the
privity of contract tidak mungkin lagi dipertahankan lagi secara mutlak untuk
mengatur hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen. Jadi, kontrak bukan
lagi merupakan syarat untuk menetapkan eksistensi suatu hubungan hukum.
Sekalipun demikian ada pandangan yang menyatakan prinsip kontrak
bukan syarat hanya berlaku untuk objek transaksi berupa barang. Sebaliknya,
kontrak selalu dipersyaratkan untuk transaksi konsumen di bidang jasa.
E. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat
dibedakan sebagai berikut :
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liabilty
atau liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku
dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini
Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukannya.
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu :
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.
Pengertian “hukum” , tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi
juga bertentangan dengan kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena
adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak
korban.
Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus
mengganti kerugian yang diderita orang lain.
Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan
Pasal 163 Herziene Indonesische Reglement (HIR) atau Pasal 283
Hukum Perdata. Dikatakan barangsiapa yang mengaku mempunyai suatu hak,
harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu (actorie incumbit probatio).
1. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak
bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.
Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah
seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan
sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika
diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak bahwa asas demikian cukup
relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan
kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang harus
menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen
tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen
sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia
gagal menunjukkan kesalahan si tegugat.
2. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung
jawab (presumption of liabilty principle). Prinsip praduga untuk tidak selalu
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian
biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum pengangkutan.
Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya
dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari
penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta
pertanggungjawabannya.
Meskipun demikian, dalam Pasal 44 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, dijelaskan bahwa bagasi kabin/bagasi
tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawabannya sepanjang bukti kesalahan
pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk
membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang (konsumen).
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan
prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability).
Prinsip strict liability ini adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan
kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada
pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,
misalnya keadaaan force majeure. Sebaliknya prinsip absolute liability adalah
Menurut R.C. Hoeber prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena:
1) Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan
adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,
2) Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu
ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertenti pada harga produknya,
3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.
Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen
secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen
barang yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung
jawab itu dikenal dengan nama product liability.
Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product
liability dapar dilakukan berdasarkan tiga hal, yaitu :
a. Melanggar jaminan (brench of warranty), misalnya khasiat yang timbul
tidak sesuai dengan janji yant tertera dalam kemasan produk,
b. Ada unsur kelalaian (negligence), yaitu produsen lalai memenuhi standar
pembuatan obat yang baik, dan
c. Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict ability).
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability
principle) sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan dalam
perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan
secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan
klausula yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung
jawabnya. Jika ada pembatasan, mutlak harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang jelas.
C. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Produsen Sebagai Pelaku Usaha
Sebagai pengguna barang dan/atau jasa, konsumen memiliki hak dan
kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen itu sangat penting. Hal ini
tujuannya adalah jika suatu saat nanti ada perlakuan dari pelaku usaha yang tidak
adil baginya, maka konsumen dapat segera menyadari akan hal tersebut. Dengan
demikian tidak ada hak-hak dari konsumen yang dirugikan.
Hak adalah suatu kewenangan atau kekuasaan dan atau kepentingan yang
diberikan dan dilindungi oleh hukum baik pribadi maupun umum. Maka dapat
diartikan bahwa hak itu adalah sesuatu yang layak atau patut diterima.
Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak adalah
kepentingan umum yang dilindungi oleh hukum, sedangkan kepentingan adalah
mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum dalam
melaksanakannya.39
Secara tradisional dikenal dua macam pembedaan hak, yaitu hak yang
dianggap melekat pada tiap-tiap manusia sebagai manusia dan hak yang ada pada
manusia akibat adanya peraturan, yaitu hak yang berdasarkan undang-undang.40
a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen, mengatur hak-hak konsumen sebagai berikut :
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
39Sudikno Mertukusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1986,
hal.40.
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Hak-hak dasar konsumen tersebut sebenarnya bersumber dari hak-hak
dasar umum yang diakui secara internasional. Hak-hak dasar umum tersebut
pertama kali dikemukakan oleh John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (AS),
pada tanggal 15 Maret 1962 melalui “A special Message for the Protection of
Consumer Interest” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of Consumer Right).
Deklarasi ini menghasilkan empat hak dasar konsumen (the four consumer
basics rights) yang meliputi hak-hak sebagai berikut :41
1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);
2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);
3. Hak untuk memilih (the right to choose);
4. Hak untuk didengarkan (the right to be heard).
Empat dasar hak ini diakui secara internasional. Organisasi-organisasi
konsumen yang tergabung dalam The International Organization of Consumer
Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut. Di Indonesia, YLKI memutuskan hanya untuk menambah satu hak
sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat.
Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, karena
Undang-Undang ini secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan
intelektual (HAKI) dan di bidang pengelolaan lingkungan.
Di samping hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 4 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen tersebut, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat
negatif persaingan curang. Hal ini berdasarkan dari pertimbangan, kegiatan bisnis
yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum
dikenal dengan terminologi “persaingan curang” (unfair competition). Hal ini
diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Maka demikian jika semua hak-hak konsumen yang diterapkan di
Indonesia tersebut disusun kembali, maka susunannya adalah sebagai berikut :42
1) Hak Konsumen Mendapatkan Keamanan
Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang
ditawarkan kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan
jika dikonsumsi atau digunakan sehingga konsumen tidak dirugikan baik
secara jasmani dan rohani. Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan
dengan hak untuk mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum
yang memenuhi syarat yang ditetapkan.
2) Hak untuk Memilih
Dalam mengonsumsi suatu produk konsumen berhak menentukan pilihannya.
Konsumen tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga tidak lagi
bebas untuk membeli atau tidak membeli. Jika jadi membeli, maka konsumen
bebas untuk menentukan produk mana yang akan dibeli.
3) Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar
Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai dengan
informasi yang benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai keliru
atas produk barang dan/atau jasa. Informasi ini dapat disampaikan dengan
berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan di berbagai media,
atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).
Menurut Troelstrup, “pada saat ini konsumen membutuhkan banyak informasi yang lebih relevan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya, saat ini : (1) pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas, dan (2) daya beli konsumen semakin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi sehinga membuka akses yang lebih besar
kepada bermacam-macam produsen atau penjual”.43
4) Hak untuk Didengar
Hak untuk didengar ini erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan
informasi. Ini disebabkan informasi yang diberikan pihak yang berkepentingan
atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen. Dalam hal ini
konsumen berhak untuk mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.
Tata krama dan tata cara periklanan Indonesia menyebutkan jika diminta
oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan
harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu.
Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran dinyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/atau
berita jika diketahui terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran
dan/atau berita. Penyanggah berita itu mungkin adalah konsumen dari produk
tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya
kurang dari 24 jam atau pada kesempatan pertama pada ruang mata acara yang
sama, dan dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran
dan/atau berita yang disanggah. Ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran ini
jelas menunjukkan hak untuk didengar, yang dalam doktrin hukum dapat
diidentikkan dengan hak untuk membela diri.
5) Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum
Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi
daripada hak pelaku usaha untuk membuat eksonerasi secara sepihak. Jika
permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak mendapat tanggapan yang
berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk advokasi. Konsumen berhak
menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang dipandang merugikan
karena mengkonsumsi produk itu.
Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak harus menempuh
upaya hukum terlebih dahulu. Namun sebaliknya, setiap upaya hukum pada
hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian dari salah satu pihak.
6) Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru.
Wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-haknya.
Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen ini tidak harus diartikan
sebagai proses formal yang dilembagakan. Bentuk informasi yang lebih
komprehensif dengan tidak semata-mata menunjukkan menonjolkan unsur
komersialisasi, sebenarnya sudah merupakan bagian dari pendidikan konsumen.
7) Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai Dengan Nilai
Tukar yang Diberikan
Hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang tidak
wajar. Kuantitas dan kualitas suatu barang dan/atau jasa yang dikonsumsi harus
sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya. Namun pelaku usaha
dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi
korban dari ketiadaan pilihan. Konsumen dihadapkan pada kondisi take it or leave
konsumen, maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya-biaya tertentu
yang sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Praktik ini dikenal dengan istilah
externalities.
8) Hak untuk mendapatkan Ganti Kerugian
Jika konsumen merasakan kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, konsumen
berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Jenis dan jumlah ganti kerugian
harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau sesuai dengan kesepakatan
bersama.
9) Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat
Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang
diterima sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi
konsumen di dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas,
dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya.
Lingkungan hidup meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkunga non
fisik.
Menurut Heindrad Steiger, “setiap pemilik hak dapat mengajukan tuntutan agar kepentingannya terhadap lingkungan yang baik dan sehat dapat terpenuhi. Tuntutan tersebut memiliki dua fungsi yang berbeda. Pertama, the function of defense (Abwehrfunktion), yakni hak bagi individu untuk mempertahankan diri dari pengaruh lingkungan yang merugikannya. Kedua, the function of performance (Leistungs-funktion), yakni hak individu untuk menuntut dilakukannya suatu tindakan agar lingkungannya
dipulihkan atau diperbaiki”.44
44
10) Hak untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang
Persaingan curang atau dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
disebut dengan “persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang
pengusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan
usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan
alat atau sarana yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam
pergaulan perekonomian.
Walau persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari
persaingan itu dirasakn oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen
memperoleh keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang, konsumen pula
yang dirugikan.
Namun sebagai konsumen, kita juga memiliki beberapa kewajiban yang
harus diperhatikan atau dilaksanakan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen menyebutkan kewajiban-kewajiban konsumen adalah :
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Sebagai konsumen kita wajib untuk membaca dan meneliti label, etiket,
kandungan barang dan/atau jasa, serta tata penggunannya. Kita juga wajib
memiliki itikad baik. Karena dengan itikad yang baik, kebutuhan konsumen
terhadap barang dan/atau jasa yang diinginkannya bisa terpenuhi dengan penuh
kepuasan. Untuk mendapatkan barang dan/jasa yang diinginkan tersebut,
konsumen harus membayar sebagai gantinya sesuai dengan harga yang telah
disepakati. Jika suatu saat nanti konsumen merasa ada keluhan terhadap barang
dan/atau jasa yang telah didapat, konsumen dapat secepatnya menyelesaikan
masalah tersebut dengan pelaku usaha. Penyelesaian masalah sebisa mungkin
dilakukan dengan cara damai. Namun jika tidak ditemukan titik penyelesaian, bisa
dilakukan dengan cara hukum sesuai dengan norma dan prosedur yang berlaku.45
45Happy Susanto, op.cit., hal.27.
Pelaku usaha dan konsumen merupakan bagian yang penting dari suatu
transaksi ekonomi. Seperti konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan
kewajibannya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
kenyamanan dalam berusaha dan untuk menciptakan pola hubungan yang
seimbangan antara konsumen dan pelaku usaha.
Pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
“Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Dalam penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang termasuk dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, hak dari pelaku usaha adalah :
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Hak pelaku usaha di atas juga disertai dengan kewajiban bagi pelaku
usaha. Kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah :
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Dilihat dari uraian mengenai hak dan kewajiban konsumen dengan hak dan
kewajiban dari pelaku usaha di atas, jelas bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
merupakan timbal balik dari hak dan kewajiban konsumen. Ini artinya adalah
bahwa hak dari konsumen merupakan kewajiban dari pelaku usaha. Begitu juga