• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam iklan politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam iklan politik"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2009, partai politik dan kandidat peserta Pemilu mulai sibuk berkampanye. Menurut catatan Komisi Pemilihan Umum, ada 38 partai politik dan 6 partai lokal di Aceh yang bisa lolos menjadi peserta Pemilu tahun 2009 ini. Diperlukan usaha dan strategi kampanye dari masing-masing partai agar dapat menempati ruang khusus di hati masyarakat. Berbagai cara kampanye untuk mempersuasi masyarakat diterapkan guna meraih suara konstituen.

Dalam konstalasi politik menjelang Pemilu, peran citra dan popularitas Parpol atau kandidat menduduki posisi penting. Selain bertujuan untuk menjaring suara konstituen, popularitas juga berperan sebagai jalan untuk mengkonstruksi atau meningkatkan citra partai atau kandidat. Hasil studi Fritz Plasser et al (1999) sebagaimana dikutip Adman Nursal, menunjukkan fakor pertama yang mempengaruhi peluang kandidat untuk menang Pemilu di Eropa adalah image atau citra.1 Citra sebagai kunci kemenangan Pemilu juga menjadi keniscayaan di Indonesia sejak Pemilu 2004. Citra adalah gambaran manusia mengenai sesuatu, atau jika mengacu pada Lippman, citra adalah persepsi akan sesuatu yang ada di

1

(2)

benak seseorang dan citra tersebut tidak selamanya sesuai dengan realitas sesungguhnya.2

Seringkali gambaran mengenai partai politik atau kandidat itu masih kosong. Bila kondisinya seperti itu, berarti partai tersebut belum dikenal. Karena tidak dikenal maka mereka tidak bisa membuat gambaran tentang partai atau kandidat partai tersebut. Karena itu, popularitas merupakan prasyarat untuk membangun sebuah citra. Oleh karena itu wajar bila para kandidat maupun partai politik gencar berkampanye, misalnya dengan promosi maupun beriklan.

Citra bersifat abstrak dan tidak dapat diukur secara matematis, tetapi wujudnya bisa dirasakan dari penilaian baik atau buruk. Selain melalui penilaian baik atau buruk, citra dapat dirasakan melalui penerimaan tanggapan yang positif maupun negatif dari konstituen pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Tanggapan masyarakat tersebut berkaitan dengan timbulnya rasa hormat, kesan-kesan yang baik dan menguntungkan terhadap suatu citra partai politik atau kandidat.

Salah satu indikator berhasilnya pembentukan citra ini adalah dengan tingkat popularitas partai atau kandidat yang dinilai melalui survei yang diadakan kepada masyarakat. Kemudian dampak nyatanya berupa perolehan suara Parpol atau kandidat pada saat Pemilu berlangsung.

Pentingnya citra diri dalam peta politik juga dikemukakan oleh Yasraf Amir Piliang. Ia menyatakan dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik seakan menjadi

2

(3)

mantra yang menentukan pilihan politik. Melalui mantra elektronik itu, maka persepsi, pandangan, dan sikap politik masyarakat dibentuk bahkan dimanipulasi. Ia juga telah menghanyutkan para elite politik dalam gairah mengkonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Politik kini menjelma menjadi politik pencitraan, yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik.3

Salah satu cara untuk mengkonstruksi citra Parpol atau kandidat yaitu pengelolaan pesan melalui periklanan politik. Perubahan sistem Pemilu yang diselenggarakan secara langsung telah mendorong para kandidat politik menerapkan strategi kampanye yang menonjolkan figur, nama, tag line, seperti layaknya sebuah iklan. Konsekuensinya, saat menjelang Pemilu, masyarakat tidak hanya melihat produk shampo, kosmetik, atau mobil saja pada iklan-iklan di media massa, akan tetapi juga tampilan-tampilan dari tokoh peserta Pemilu dengan beragam jargon yang berbeda.

Nimmo mengatakan, jika dalam iklan komersial yang dipromosikan adalah penjualan produk barang atau jasa, maka dalam iklan politik yang dipromosikan adalah periklanan citra. Yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki pejabat pemerintah, atau memberi informasi kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang politikus. Atau bisa juga untuk meningkatkan prospek pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan kebijakan tertentu.4

3

Yasraf Amir Piliang, Narsisisme: Politik: Banalitas, Simplisitas, dan Minimalitas, dalam Sumbo Tinarbuko, Iklan Politik Dalam Realitas Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2009, halm vii-xiii

4

(4)

Periklanan politik, jika dibandingkan dengan propaganda atau retorika, merupakan salah satu cara kampanye yang dinilai lebih efisien di era kemajuan teknologi ini. Ade Armando mengatakan pada dasarnya kampanye dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu: kampanye melalui media massa (baik pemberitaan maupun iklan) dan kampanye melalui komunikasi sosial atau kampanye yang menggunakan jalur-jalur interpersonal. Keduanya saling melengkapi, namun efektifitas pilihan di antara keduanya sangat bergantung pada corak khalayak yang hendak dipengaruhi. Di pihak lain, dalam era banjir informasi saat ini, seorang kandidat yang tidak menggunakan sarana media massa dengan baik hampir pasti akan gagal meraih dukungan masyarakat.5

Diantara sekian banyak jenis media massa, televisi dianggap sebagai media yang paling masif dalam mempersuasi konstituen. Dengan kecepatan penyampaian pesannya, televisi menjadi alternatif utama sebagai wahana kampanye yang efektif. Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi, baik melalui berita, acara khusus atau iklan sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan pengaruh impression management.6 Televisi bukan hanya bisa didengar tapi juga dilihat (audio visual). Pesannya lebih mudah direkam dalam benak pemirsanya, apalagi jika dibuat menarik dan ditayangkan berkali-kali.

5

Ade Armando, Kampanye Melalui Media Massa: Keniscayaan di abad 21, dalam Maswadi Rauf et.al, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, halm 181-183

6

(5)

Tak heran jika semakin mendekati waktu Pemilu, tingkat belanja iklan politik di media massa meningkat cukup tajam. Sepanjang 2008, riset AC Nielsen menunjukkan iklan politik menghabiskan dana Rp 2,2 triliun atau naik 66 persen dibandingkan tahun 2007. Sebesar Rp 1,31 triliun masuk media cetak, sisanya Rp 862 miliar di televisi dan Rp 86 miliar di majalah.7 Sedangkan belanja iklan partai politik di media massa dalam kuartal pertama 2009 sudah mencapai Rp 1,065 triliun. Angka ini meningkat tiga kali lipat dibanding Pemilihan Umum 2004 lalu.8

Beberapa partai politik yang mengalokasikan dana kampanyenya dalam porsi besar, terlihat gencar meramaikan belantika periklanan politik di televisi. Mereka antara lain Partai Golkar, Partai Gerindra, PDIP, dan Partai Demokrat. Hasil riset AC Nielsen dalam kuartal pertama 2009 memperlihatkan, Partai Golkar menempati posisi teratas dengan belanja iklan sebanyak Rp 185 Miliar dengan 16 ribu spot iklan. Disusul Partai Demokrat Rp 123 Miliar dalam 11 ribu spot dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Rp 66 Miliar yakni 4 ribu spot iklan.9 Semakin mendekati pelaksanaan waktu Pemilu, mereka gencar melakukan serangan udara lewat iklan politik dengan berbagai materi dan versi untuk mendongkrak popularitas dan membangun citra sehingga bisa menjaring suara konstituen.

Terkait dengan masalah citra dan politik, Neil Postman, seorang pedagog dan kritikus media, sebagaimana dikutip Aruman, mengatakan politik adalah show

7

Belanja Iklan Politik Habiskan Dana Rp 2,2 Triliun,

http://www.liputan6.com/politik/?id=172256, diakses pada 25 Februari 2009, 06:47 WIB

8

Belanja Iklan Partai Politik Mencapai Rp 1 Triliun,

http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/04/28/brk,20090428-173209,id.html, diakses pada 11 Mei 2009, 17.20 WIB

(6)

business. Dalam masyarakat tontonan, citra, kesan, dan penampilan luar adalah segalanya. Di Indonesia, tipe pemilih masih termasuk dalam kategori tradisional. Dalam politik tradisional, politik ditandai oleh ketergantungan partai politik pada karisma individu pimpinannya. Realitas yang diperoleh dari survei yang dilakukan majalah MIX-MarketingXtra menunjukkan, citra yang dibangun oleh partai sebagian besar ditentukan oleh tokohnya.10

Dari survei tersebut, ketika ditanya tentang ingatan apa yang muncul ketika ditanyakan tentang partai politik, hampir semua responden menyebut nama tokoh. Misalnya, PDIP lekat dengan nama Megawati Soekarno Putri, Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto, dan Partai Demokrat dengan Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam hal demikian, citra tokoh perlu dikemas sedemikian rupa sehingga agar memikat masyarakat. Ketika politik masih mengandalkan kharisma tokoh, maka figur sang tokoh harus dikemas sehingga semenarik mungkin.

Oleh karena itu, materi pesan iklan politik televisi yang banyak digunakan Parpol adalah menonjolkan figur tokoh yang identik dengan partai tersebut. Misalnya, isi pesan iklan PAN yang menonjolkan Sutrisno Bachir sebagai Ketua Umum PAN yang bertajuk ”Hidup adalah Perbuatan”. Lalu PDIP dengan pemimpinnya Megawati Soekarno Putri mengusung materi iklan ”Sembako Murah” untuk rakyat. Partai Gerindra dengan Prabowo Subianto-nya membawa ”Isu Perubahan” dalam berbagai versi iklannya. Serta Partai Demokrat dengan

10

(7)

figur Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jargon Lanjutkan!, yang mengklaim berbagai keberhasilan pemerintah dalam materi pesan iklan politiknya. Beragamnya isi pesan yang disampaikan melalui iklan politik menunjukkan betapa pentingnya mengemas pesan politik melalui sebuah periklanan. Dalam Budi Setiyono11, Managing Director Frontier Research and Marketing Consultant, Handi, mengatakan bahwa partai politik harus memperhatikan aspek komunikasi dalam membuat bentuk iklan. Dalam setting iklan, parpol perlu membuat dengan seksama pesan yang ingin disampaikan, media yang dipilih, dan strategi apakah yang dipilih untuk mengorbitkan tokoh, lambang atau program parpol.

Terkait dengan hal ini, Partai Demokrat dalam berbagai iklan politiknya selalu mengidentikkan dirinya dengan sosok SBY. Semua iklan dan atribut kampanye Partai Demokrat menampilkan pesan seragam: ”Partai Demokrat, bersama SBY.” Pada Pemilu 2004, Partai Demokat yang hanya menempati urutan kelima dengan perolehan suara dengan jumlah 7,45 persen suara nasional, bersama Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, sukses mengantar SBY ke kursi presiden.

Dalam pembangunan citra Partai Demokrat, menurut Ketua Bidang Politik Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, memang disengaja dan disadari diidentikan dengan figur Presiden SBY.12 Berdasarkan hasil riset, Anas menyadari ada kesenjangan besar antara tingkat keterpilihan SBY dan Partai Demokrat. Oleh karena itu, dalam strategi kampanye, mereka lalu memutuskan untuk mengatrol

11

Budi Setiyono, Iklan dan Politik: Menjaring Suara dalam Pemilihan Umum, AdGoal Com, Jakarta, 2008, halm 21

12

(8)

suara Partai Demokrat dengan mencantolkan citra Partai Demokrat pada figur Presiden SBY. Keberadaan Partai Demokrat seakan tak terpisahkan dengan sosok SBY.

Konsekuensinya, sebagai partai yang berada di belakang pemerintah saat ini, citra Partai Demokrat pararel dengan citra Pemerintahan SBY. Setiap kali pemerintah mengambil keputusan tak populer, seperti kenaikan harga BBM, citra Yudhoyono merosot, begitu juga Partai Demokrat. Sebaliknya, citra Partai Demokrat akan terdongkrak jika pemerintah memutuskan kebijakan populis, seperti program BLT dan menurunkan harga BBM.

Hal ini pula lah yang dimanfaatkan Partai Demokrat dalam materi pesan iklan politiknya. Pada pertengahan Januari hingga pertengahan Februari 2009, Partai Demokrat mengeluarkan iklan politik bertajuk ”Berjuang untuk Rakyat” dengan berbagai versinya dan dengan jargon Lanjutkan!. Misalnya versi Penurunan Harga BBM dan Versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

(9)

Sedangkan dalam iklan versi Penurunan Harga Sembako, disebutkan bahwa pemerintahan Presiden SBY berhasil menurunkan harga-harga seperti harga BBM, tarif listrik industri, minyak goreng, serta tarif angkutan umum. Sehingga tingkat kepuasan rakyat terhadap pemerintahan Presiden SBY semakin meningkat. Klaim-klaim keberhasilan SBY dalam iklan politik tersebut dikemas begitu rupa sehingga tidak penting apakah pemerintah benar-benar bekerja untuk itu.

(10)

Isi pesan iklan politik Partai Demokrat melalui televisi yang ditayangkan sejak awal 2009 terlihat cukup berhasil dalam mencitrakan figur SBY. Hal ini nampak dalam hasil survei berbagai lembaga yang konsisten menempatkan popularitas SBY selalu di urutan teratas. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diumumkan pada 4 Januari 2009, memperlihatkan popularitas SBY semakin jauh meninggalkan tokoh-tokoh lain. Dari hasil riset LSI bertema "Rasionalitas Pemilih Kontestasi Partai Menjelang Pemilu 2009", SBY menangguk 43 persen suara dari 2.200 responden. Angka tersebut jauh meninggalkan suara yang diperoleh Megawati yaitu 19 persen, serta tokoh-tokoh lainnya yang hanya mendapat tak lebih dari 5 persen suara.13

Perolehan SBY itu mengalami peningkatan dari hasil survei LSI sebelumnya, di mana SBY hanya mendapat 32 persen suara. Menurut Direktur LSI, Saiful Mujani, kenaikan popularitas SBY lebih banyak disebabkan oleh citra kebijakan SBY yang dinilai baik oleh masyarakat. Menurutnya, sampai Desember 2008, publik menerima informasi tentang sukses pemerintah SBY dibanding pemerintah sebelumnya, secara lebih masif. Misalnya tentang penurunan harga BBM, pembagian Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan penurunan harga-harga.

Pada saat yang tidak jauh berbeda, popularitas Partai Demokrat pun juga meningkat. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan LSI pada 8-18 Februari 2009, menunjukkan 55,3 persen responden menyukai iklan partai Demokrat. Selain itu, jenis iklan yang paling berpengaruh terhadap para pemilih adalah iklan televisi dengan jumlah 59,7 persen. Sedangkan menurut hasil survei LP3ES, LIPI, CSIS,

13

(11)

PUSKAPOL UI yang berlangsung pada 9-20 Februari 2009, seperti yang dirangkum Majalah Tempo, menunjukkan jika dibandingkan dengan partai besar lainnya --seperti PKS, PDIP, PKB, PPP dan Partai Golkar-- Partai Demokrat dipilih responden diurutan teratas (31,8 %) karena faktor figur.14

Sebelumnya, terutama pada Juni 2008, ketika pemerintahan SBY menaikkan harga bahan bakar minyak hingga tiga kali, Partai Demokrat hanya berada di posisi ketiga dalam survei Saiful, dengan angka 9%, jauh berada di bawah Golkar (20%) dan PDIP (24%). Namun setelah November 2008 hingga Maret 2009, Partai Demokrat makin melesat dalam setiap survei. Berdasarkan survei sejumlah lembaga seperti LSI, LP3ES, Lembaga Riset Informasi (LRI), Reform Institute, CSIS, LIPI dan Puskapol UI, memperlihatkan Partai Demokrat selalu mendapat perolehan suara di atas 20%.15

Dalam pandangan Direktur LSI, Kustrido Ambardi, naiknya perolehan suara Partai Demokrat sampai 200 persen lebih, disebabkan identifikasi partai ini dengan figur SBY. Selain itu, ada kecenderungan program-program pemerintah yang pro-rakyat diasosiasikan dengan figur SBY. Sedangkan menurut Direktur Lingkaran Survei Indonesia, Denny J.A, Partai Demokrat unggul dalam variabel citra dan efek program BLT.16

Melihat realita di atas, popularitas dan citra Parpol atau citra kandidat salah satunya memang dipengaruhi oleh pemilihan isi pesan iklan politik televisi. Iklan politik televisi bertujuan informatif persuasif, namun ia hanya bersifat

14

“Contreng Partai, Bukan Caleg,” Majalah Tempo Edisi 30 Maret-5 April 2009, halm 89

15

”Lompatan Jauh Partai Demokrat,” Majalah Gatra No. 22 Tahun XV Edisi 9-15 April 2009, halm 14-17

(12)

meneguhkan pilihan konstituen yang sudah ada sebelumnya. Mengiklankan produk politik juga menuntut keterampilan seperti layaknya mengiklankan produk komersial, yaitu untuk diingat kata, warna, bentuk, hingga khasiatnya.

Kesederhanaan pesan menjadi kunci dalam iklan politik televisi. Pesan yang sederhana mudah diingat, bahkan kalau populer, itu bisa terlontar begitu saja dalam percakapan sehari-hari, misalnya kata Lanjutkan! Apalagi kalau tema isi pesannya menyangkut isu-isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti harga BBM dan Harga Sembako. Semua itu demi citra sang kandidat atau Parpol yang beriklan. Pengelolaan pesan yang baik, akan menetukan berbagai makna yang terkandung di dalamnya. Dalam iklan politik televisi Partai Demokrat dengan berbagai versinya yang bertema “Berjuang untuk Rakyat”, jelas terlihat ingin mencitrakan dirinya dan Presiden SBY. Hal ini nampak pada isi pesan iklan tersebut yang selalu mengkaitkan dengan kinerja Presiden SBY selama menjabat hampir lima tahun, dan mengklaimnya sebagai sebuah keberhasilan.

Citra memang menentukan, oleh karena itu pembentukan citra melalui teks-teks iklan politik, betapapun kurang jujur dan penuh polesan, bisa menentukan keberhasilan kampanye. Apalagi tayangan yang ditampilkan dalam iklan televisi adalah realitas yang belum tentu sesuai dengan realitas sebenarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi. Televisi memilih setting-setting tertentu dengan mengesampingkan kondisi-kondisi yang lain.17 Karena televisi melaporkan dunia nyata secara selektif, sudah tentu bisa mempengaruhi pembentukan citra tentang obyek yang diiklankan. Hal tersebut

17

(13)

disesuaikan dengan maksud si pembuat iklan atau pun si pemesan iklan ketika mengemas pesan-pesan yang akan ditampilkan.

Menurut Garin Nugroho, persuasi yang terkandung dalam iklan politik bukan hanya sekedar untuk menjaring suara, namun juga memuat pertempuran berbagai unsur-unsur kekuasan yang kompleks. Misalnya pertempuran sosial masyarakat terhadap ketokohan, harga diri, mengembalikan kehormatan, maupun pertunjukan kekuatan kekuasan di depan rakyat.18 Dari pernyataan Garin di atas, sebuah iklan politik bisa membawa suatu wacana, misalnya tentang pertempuran kekuasaan.

Hal ini menunjukkan bahwa teks-teks iklan politik bisa membawa suatu wacana tertentu dalam materi isi pesannya. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti lebih lanjut mengenai wacana-wacana tertentu, khususnya tentang citra Presiden SBY, yang ditampilkan di balik teks-teks pesan iklan politik televisi Partai Demokrat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Wacana-wacana apa saja yang dikemas tentang citra Presiden Soesilo

Bambang Yudhoyono dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional?

18

(14)

2. Bagaimana wacana-wacana tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut dikonstruksikan dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui wacana-wacana apa saja yang dikemas tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana wacana-wacana tentang citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono tersebut dikonstruksikan dalam teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat versi Penurunan Harga BBM, versi Harga Sembako I dan II, dan versi Anggaran Pendidikan Nasional.

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

(15)

dapat menyumbangkan pemikiran bagi penelitian serupa yang selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai masukan bagi pembaca bahwa di balik pesan-pesan iklan politik yang disampaikan melalui televisi terdapat wacana-wacana yang ingin disampaikan, misalnya tentang pembentukan citra tokoh dan partai politik.

b. Sebagai masukan untuk praktisi periklanan bahwa pengelolaan pesan dalam iklan politik melalui televisi dapat digunakan untuk membangun citra tokoh atau partai politik sebagai salah satu usahanya untuk memenangi pemilihan umum.

E. Telaah Pustaka

1. Komunikasi sebagai Produksi dan Pertukaran Makna

Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis, yang berarti sama. Sama di sini maksudnya adalah sama makna.19 Hal ini misalnya ditunjukkan dalam sebuah percakapan. Komunikasi bisa terus berlangsung kalau orang-orang yang terlibat di dalamnya bisa memaknai percakapan tersebut.

Pengertian di atas masih bersifat dasar, sehingga masih banyak kemungkinan perluasan tentang arti komunikasi. Begitu banyak konseptualisasi mengenai komunikasi, dan konseptualisasi ini mengalami banyak perkembangan

19

(16)

seiring dengan perkembangan teknologi dan kondisi budaya masyarakat. Banyak ahli komunikasi mencoba mendefisikan istilah komunikasi. Dan Nimmo20 mengatakan komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol.

Sedangkan Richard West dan Lynn Turner, seorang pakar komunikasi, mendefinisikan komunikasi sebagai proses sosial di mana individu-individu menggunakan simbol-simbol untuk menciptakan dan menginterpretasikan makna dalam lingkungan mereka.21 Dengan demikian, komunikasi merupakan suatu proses yang juga melibatkan unsur-unsur budaya yang terdapat dalam lingkungan mereka.

John Fiske, dalam salah satu karyanya yang berjudul Cultural and Communication Studies, melihat adanya keterkaitan erat antara unsur-unsur budaya dan komunikasi dalam membangun relasi dan kehidupan bersama di tengah kemajuan teknologi komunikasi massa, khususnya televisi. Ia menegaskan bahwa komunikasi adalah sentral bagi kehidupan budaya kita. Tanpa komunikasi, kebudayaan apapun akan mati. Konsekuensinya, komunikasi melibatkan studi kebudayaan dan berintegrasi.22

20

Dan Nimmo, Op Cit, hal 6

21

Richard West & Lynn H Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi Edisi 3, Salemba Humanika, Jakarta, 2008, halm 5

22

(17)

Secara umum, Fiske mendefinisikan komunikasi sebagai “interaksi sosial melalui pesan.”23 Dari pernyataan tersebut, yang ditekankan dalam komunikasi adalah pada interaksi sosial dan pada pesannya. Oleh karena itu, ia membagi studi komunikasi ke dalam dua mahzab utama. Mahzab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode). Serta bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mahzab ini juga melihat komunikasi sebagai proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi pribadi yang lain dalam interaksi sosial.24

Mahzab yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna; yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan. Bagi mahzab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Ia menilai interaksi sosial sebagai yang membentuk individu sebagai anggota dari suatu budaya atau masyarakat tertentu.25

Bagi mahzab yang melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna, pesan merupakan suatu konstruksi tanda yang melalui interaksinya dengan penerima, kemudian menghasilkan makna. Pengirim, yang didefinisikan sebagai transmiter pesan, menurun arti pentingnya. Penekanan begeser pada teks dan bagaimana teks itu “dibaca”. Membaca adalah proses menemukan makna yang terjadi ketika pembaca berinteraksi atau bernegoisasi dengan teks. Negosiasi ini terjadi karena pembaca membawa aspek-aspek pengalaman budayanya untuk

23

Ibid, hal. 8

24

Ibid

25Ibid

(18)

berhubungan dengan kode dan tanda yang menyusun teks. Ia juga melibatkan pemahaman yang agak sama tentang apa sebenarnya teks tersebut. Maka pembaca dengan pengalaman sosial yang berbeda atau dari budaya yang berbeda mungkin menemukan makna yang berbeda pada teks yang sama.26 Menurut Fiske, hal ini bukanlah bukti yang penting dari kegagalan komunikasi.

Mencapai makna merupakan hal yang penting dalam proses komunikasi. Memahami pesan adalah tujuan dari semua proses pemaknaan. Makna, karenanya, mengharuskan aktor komunikasi untuk menilai pemikiran mereka mengenai pesan-pesan dan juga menilai bagaimana orang lain menginterpretasikan pesan tersebut.

2. Iklan Politik Sebagai Unsur Komunikasi Politik

Untuk mendefinisikan istilah komunikasi politik, sebelumnya harus diketahui terlebih dulu pengertian tentang komunikasi dan politik. Bagian sebelumnya telah disebutkan mengenai pengertian istilah komunikasi. Menurut Nimmo, komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui simbol-simbol.

Sedangkan istilah politik, sama seperti komunikasi, adalah sebuah proses, dan politik juga melibatkan pembicaraan. Ini bukan pembicaraan dalam arti sempit seperti kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih

26Ibid

(19)

inklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol: kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian.27

Nimmo mendifinisikan komunikasi politik sebagai ”communication (activity) considered political by virtue of its consequences (actual or potential) wich regulate human conduct under the condition of conflict”. Dalam pengertian Nimmo tersebut, komunikasi politik adalah kegiatan komunikasi yang dianggap berhubungan dengan politik berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya (aktual maupun potensial) yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik. Nimmo menyebutkan cakupan komunikasi politik meliputi komunikator politik, pesan politik, persuasi politik, media komunikasi politik, khalayak komunikasi politik dan akibat-akibat komunikasi politik.28

Periklanan politik menurut Nimmo merupakan salah satu cara utama mengenai persuasi politik. Jika dalam periklanan produk yang dipromosikan adalah penjualan barang atau jasa, maka dalam dunia politik menurut Nimmo yang ada ialah periklanan citra, yaitu imbauan yang ditujukan untuk membina reputasi pejabat pemerintah atau yang menghendaki menjadi pejabat pemerintah; memberi informasi kepada khalayak tentang kualifikasi, pengalaman, latar belakang, dan kepribadian seorang politikus; dan meningkatkan prospek pemilihan kandidat atau mempromosikan program dan kebijakan tertentu.29

Sebagai bagian dari komunikasi politik, di dalam iklan politik juga terdapat pembicaraan dalam arti inklusif seperti yang dijelaskan di atas, yaitu

27

Dan Nimmo, Op Cit, halm 8

28

Ibid, halm vii

29Ibid

(20)

pembicaraan yang berarti segala cara orang bertukar simbol: kata-kata yang dituliskan dan diucapkan, gambar, gerakan, sikap tubuh, perangai dan pakaian.

Dalam Advertising Excellence, Bovee (1995)30 mendeskripsikan iklan sebagai sebuah proses komunikasi, dimana terdapat: pertama, orang yang disebut sebagai sumber munculnya ide iklan; kedua, media sebagai medium; ketiga, adalah audiens.

Encoding decoding

Individu (noise)

Sumber Medium Audiens

Gambar 1.1 Iklan Sebagai Proses Komunikasi Sumber: Boove, 1995: 14 dalam Bungin (2008)

30

Bovee, Courdand L., Advertising Exellence, McGraw-Hill, Inc, New York, 1995, p.14, dalam Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008, hal 108

Masukan Balik

Jika saya beli ini, saya akan lebih

produktif Jika mereka

membeli ini, mereka akan lebih

produktif

Beli ini dan kamu akan bekerja lebih

(21)

Gambar di atas memuat muatan ide seseorang atau kelompok, baik itu pemesan iklan (perusahaan pemilik produk) atau pencipta iklan (perusahaan periklanan), untuk memberi citra kepada sebuah produk (politik) yang diiklankan. Karena itu ide-ide tersebut harus dikomunikasikan kepada khalayak agar ide tersebut dapat diterima dan juga untuk materi masukan balik.

Terjadi proses dilaketika dalam proses komunikasi tersebut, dimana individu menciptakan ide yang dikomunikasikan dan audiens memberi respons serta memberi masukan terhadap ide-ide baru dalam proses komunikasi tersebut.

Dalam proses menuangkan ide ke dalam pesan, terjadi proses encoding dimana ide itu dituangkan dalam bahasa iklan yang meyakinkan orang. Media kemudian mengambil alih ide itu dan kemudian dikonstruksi menjadi bahasa media. Pada tahap ini terjadi decoding karena audiens menangkap bahasa media itu dan membentuk pengetahuan-pengetahuan atau realitas, dan pengetahuan itu bisa mendorongnya merespons balik kepada iklan tersebut.

3. Iklan Politik Televisi

(22)

sangat luas dengan menggunakan media massa menandai kelebihan dari periklanan.31

Di Indonesia, pemasaran politik atau political marketing adalah sebuah keniscayaan. Menurut Adman Nursal,32 penulis buku Political Marketing, pada dasarnya political marketing adalah serangkaian aktivitas terencana, strategis tapi juga taktis, berdimensi jangka panjang dan jangka pendek, untuk menyebarkan makna politik kepada para pemilih.

Menurut Nursal, promosi dalam bentuk iklan hanya merupakan satu subbagian dari strategi pemasaran politik. Pergulatan orang-orang periklanan hanyalah satu bagian dari beberapa mata rantai bauran pemasaran, yang lazim disingkat 4P (product, price, promotion, dan place). Jika memakai bauran pemasaran, product berarti partai, manusianya (misalnya ketua umum), dan gagasan-gagasan partai yang akan disampaikan kepada konstituen. Price bisa dilihat sebagai suatu harga untuk para pendukungnya misalnya iuran bulanan bagi pengurus maupun kader, bisa juga atribut dan merchandising dari partai tersebut. Selanjutnya adalah promotion atau suatu upaya periklanan, kehumasan, dan promosi untuk sebuah partai yang di-mix sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Place merupakan tempat konstituen dapat menemukan berbagai hal dari partai tersebut. Misalnya Posko PDI-P, yang sebenarnya diharapkan sebagai pos pengamanan.

31

Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, Yogyakarta, Jalasutra, 2009, halm 239

32

(23)

Sedangkan Daniel J. Paré & Flavia Berger menyitir pendapat Scammell, terkait dengan political marketing mengemukakan sebagai berikut:33

.... political marketing is primarily about tactical campaign issues (e.g., image advertising, branding) and the use of sales techniques during campaigns. Instead it postulates that political marketing is, fundamentally, about organizational behaviour and the design of political products. The “products” are seen to be comprised, foremost, of intangibles such as how a political party performs in terms of its leadership, Members of Parliament and candidates, membership, staff, symbols, constitution, and its activities such as party conferences and policies.

Dari penjelasan di atas, periklanan citra sebagai salah satu teknik berkampanye merupakan bagian dari marketing politik. Selain itu, marketing politik juga merupakan perilaku organisasional dan bagian dari produk politik. Selain marketing politik, produk politik lainnya juga berupa anggota dan pengurus partai, ketentuan dan kebijakan Partai, serta lambang partai.

Salah satu karakter modernisasi kampanye adalah digunakannya televisi sebagai medium utama kampanye. Menurut Holtz-Bacha dan Kaid (2006) sebagaimana dikutip Danial, televisi digunakan oleh partai politik dan kandidat setidaknya melalui dua cara, yaitu melalui pemberitaan dan iklan politik. Dengan perkembangan baru di bidang teknologi komunikasi, Kaid dan Holtz-Bacha (1995) mendifinisikan iklan politik sebagai “any controlled message communicated through any channel designed to promote the political interest of individuals, parties, groups, goverments, or other organizations.” Definisi ini tidak saja menitikberatkan pada aspek kontrol dan promosional dari iklan politik

33

(24)

saja, tetapi juga membuka peluang memasukkan perbedaan iklan politik dari sisi format dan saluran penyampaian pesan politik.34

Iklan politik, khususnya iklan audiovisual, memainkan peranan strategis dalam political marketing. Riset Falkow & Cwalian dan Kaid menunjukkan, iklan politik berguna untuk beberapa hal:35

a. Membentuk citra kontestan dan sikap emosional terhadap kandidat. b. Membantu para pemilih untuk terlepas dari ketidakpastian pilihan

karena mempunyai kecenderungan untuk memilih kontestan tertentu. c. Alat untuk melakukan rekonfigurasi citra kontestan.

d. Mengarahkan minat untuk memilih kontestan tertentu. e. Mempengaruhi opini publik tentang isu-isu tertentu.

f. Memberi pengaruh terhadap evaluasi dan interpretasi para pemilih terhadap kandidat dan even-even politik.

Joslyn dalam Danial, menyebutkan ada dua macam fokus utama isi iklan politik televisi, yaitu iklan isu atau program dan iklan citra kandidat. Yang dimaksud dengan “iklan isu” adalah iklan-iklan politik televisi kandidat yang fokus pada isu-isu yang menjadi concern masyarakat secara umum atau posisi kebijakan, seperti kebijakan ekonomi, pajak, kebijakan luar negeri, topik-topik yang terkait dengan kesejahteraan sosial, dan lain-lain. Sedangkan yang dimaksud dengan iklan yang lebih menjual citra adalah iklan-iklan politik televisi yang lebih ”menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada sang kandidat, seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang telah dibuat sebelum pencalonan, karakter, dan sebagainya.36

(25)

awareness pemilih terhadap sang tokoh atau parpol bersangkutan. Mereka lebih “menjual” karakteristik personal atau kualitas yang ada pada kandidat, seperti latar belakang, pengalaman, langkah atau prestasi yang dicapai sebelum pencalonan, karakter, dan sebagainya terkadang dibuat secara artifisial dan bahkan hanya menutupi track record kandidat yang sebenarnya.37

Wiranto, dalam diskusi bertajuk “Dengan Iklan Politik Menuju Kontrak Politik”, mengatakan iklan-iklan politik TV lahir karena perkembangan politik di Indonesia dewasa ini memang menempatkan citra sebagai prioritas penting. Hal ini dipicu oleh peran media yang telah sedemikian maju dibandingkan pada Pemilu-pemilu sebelumnya. Media telah digunakan untuk menjangkau target konstituen politik, mencapai tujuan politik, dan mengatasi hambatan-hambatan komunikasi secara geografis ataupun psikografis mengingat besarnya jumlah dan luasnya sebaran konstituen.38

Diantara sekian banyak jenis media massa, televisi memang dianggap sebagai media yang paling masif dalam mempersuasi konstituen. Dengan kecepatan penyampaian pesannya, televisi menjadi alternatif utama sebagai wahana kampanye yang efektif. Televisi dianggap lebih tepat sasaran karena daya jangkaunya luas dan mudah masuk dalam ingatan bawah sadar konstituen. Pengelolaan kesan lewat televisi, baik melalui berita, acara khusus atau iklan sangatlah penting karena televisi dapat melipatgandakan pengaruh impression management (pengelolaan kesan).

37Ibid

, halm 232

38

(26)

Mengacu pada Schweiger dan Adami (1999), presentasi yang efektif tidak cukup dengan kata-kata melainkan juga gambar. Manusia adalah “binatang mata”. Menurut pepatah Cina, satu gambar menghasilkan seribu makna. Karena itu, gambar yang baik akan membantu efektivitas presentasi. Setidaknya ada empat alasan mengapa gambar mengahasilkan efek yang lebih baik dibandingkan dengan kata-kata:39

a. Dicamkan dan disimpan lebih dulu dibandingkan dengan kata-kata.

b. Merupakan alat aktivasi atau stimulus informasi yang lebih cepat dibandingkan teks.

c. Lebih mudah diingat dibandingkan dengan kata.

d. Bisa digunakan untuk menciptakan citra positif produk.

Televisi bersifat audio visual, sehingga teks-teksnya disesuaikan dengan sifat-sifat televisi. Spot iklan televisi yang rata-rata berdurasi 15 detik hingga 60 detik menuntut pesan yang bermakna dan mengena dirangkai dalam teks-teks yang singkat, sederhana dan mudah diingat. Terjadi proses pemilahan dan pemilihan kata-kata dan gambar-gambar yang akan ditayangkan. Dengan kata lain, realitas yang ditampilkan media (televisi) adalah realitas yang sudah diseleksi atau disebut dengan second hand reality. Televisi memilih setting-setting tertentu dengan mengesampingkan setting-setting yang lain.

Iklan politik melalui media massa, khususnya televisi, melaporkan dunia nyata secara selektif melalui penyeleksian kata-kata, teknik pengambilan gambar dan pemilihan setting-seting tertentu, sehingga bisa mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan sosial yang kadang timpang, bias, dan kurang cermat.

39

(27)

Hal ini disesuaikan dengan maksud si pembuat realitas (perancang iklan atau aktor politik yang beriklan).

Iklan dalam menyampaikan pesannya selalu menggunakan simbol-simbol. Karena simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang lainnya berdasarkan kesepakatan yang diyakini bersama oleh sekelompok orang. Penggunaan simbol memungkinkan perkembangan bahasa dan menangani hubungan antara manusia dengan objek (baik nyata ataupun abstrak) tanpa kehadiran manusia dan objek tersebut.40

Simbolisme dalam iklan memiliki tiga macam bentuk,41 pertama adalah citra atau image, yang bisa berupa representasi verbal maupun visual. Iklan lebih sering menggunakan bentuk-bentuk pictorial (visual) dan verbal secara simultan. Istilah citra sendiri sebetulnya bisa mengandung konotasi negatif. Hal ini terutama ketika citra diaplikasikan pada appearance yang hanya merupakan manipulasi karakter-karakter yang dangkal untuk tujuan misrepresentasi. Atau, ketika citra itu dianggap menyesatkan karena menyampaikan sesuatu yang tidak bisa diperdayakan atau memiliki daya tarik yang tidak jujur. Bentuk simbolisme yang kedua disebut ikon. Ikon sering disamakan dengan aspek pictorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen piktorial atau visualnya mendominasi pesan secara keseluruhan. Bentuk simbolisme yang ketiga adalah simbol, yaitu tanda tentang sesuatu yang bisa dilihat dan keberadaannya mengacu pada sesuatu yang lain. Periklanan modern begitu mengagungkan cara-cara komunikasi melalui

40

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004, hal 84

41

(28)

citra, simbol, dan ikon, yang bekerja tidak melalui aturan-aturan literal dan logis, tapi lebih melalui kiasan, asosiasi bebas, sugesti dan analogi.

4. Konstruksi Citra Dalam Iklan Politik Televisi

Dalam konteks kampanye pemilihan, citra adalah bayangan, kesan, atau gambaran tentang suatu objek terutama partai politik, kandidat, elite politik, dan pemerintah. Citra positif diyakini sebagai bagian terpenting dari tumbuhnya preferensi-preferensi calon pemilih terhadap partai atau kandidat. Citra terbentuk oleh paduan antara informasi dengan pengalaman.42

Berbagai studi di berbagai negara yang menerapkan pemilihan umum yang terbuka dan kompetitif menunjukkan bahwa yang paling penting di atas segalanya adalah citra (image favourability) si kandidat. Menurut Armando, bisa dikatakan, seorang kandidat yang sudah tercemar namanya secara serius di kalangan luas, tak akan bisa lolos dalam kompetisi terbuka dan objektif.43 Oleh karena itu pembentukan citra kandidat atau partai politik memegang peranan yang penting dalam kampanye pemilihan.

Menurut Pawito,44 upaya membangun citra dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pertama, memberikan penonjolan-penonjolan pada kesuksesan atau keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai di masa lampau. Kedua, menumbuhkan asosiasi pemikiran tentang partai atau kandidat dengan kebesaran sejarah di masa lampau, seperti kejayaan bangsa, pemimpin kharismatis yang

42

Pawito, Komunikasi Politik: Media Massa dan Kampanye Pemilihan, halm 264

43

Ade Armando, Op Cit, dalam Maswandi Rauf, Op Cit, halm 185

44

(29)

pernah ada, dan bentuk-bentuk ekspresi simbolik baik kata-kata maupun gambar-gambar.

Ketiga, memberikan penonjolan orientasi ke depan, misalnya dengan kecanggihan teknologi dan optimisme kemajuan-kemajuan di masa akan datang. Keempat, atau yang terakhir, menghadirkan tokoh-tokoh tertentu demi munumbuhkan dan memperkokoh keyakinan akan kuat atau luasnya dukungan termasuk tokoh-tokoh adat, tokoh masyarakat, dan pemimpin atau tokoh-tokoh dari negara lain.

Firmanzah, dalam bukunya yang berjudul Marketing Politik: Antara Pemahaman dan Realitas, mendefinisikan citra politik sebagai konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat (publik) akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktivitas politik. Citra politik tidak selalu mencerminkan realitas objektif. Suatu citra politik juga dapat mencerminkan hal yang tidak real atau imajinasi yang terkadang bisa berbeda dengan kenyataan fisik. Citra politik dapat diciptakan, dibangun, dan diperkuat, namun bisa juga melemah, luntur dan hilang dalam sistem kognitif masyarakat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi aktor atau individu agar melakukan suatu hal. Di samping itu, citra politik dapat pula mempengaruhi opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu.45

Masih di dalam buku yang sama, Firmanzah mengatakan membangun suatu citra image politik tidak dapat dilakukan tanpa adanya komunikasi politik. Komunikasi politik yang dimaksud dalam hal ini adalah semua hal yang dilakukan

45

(30)

oleh Parpol untuk mentransfer sekaligus menerima umpan balik tentang isu-isu politik berdasarkan semua aktivitas yang dilakukannya terhadap masyarakat.46 Menurutnya, proses komunikasi adalah proses yang sangat kompleks, terutama ketika berusaha membangun image politik. Yang penting bukan hanya data dan informasi, namun pesan-pesan simbolis yang ada di balik data dan informasi. Pesan simbolis itulah yang dapat membentuk image, bukan data dan informasinya. Data dan informasi membutuhkan interpertasi lebih dulu untuk bisa dimaknai. Ketika partai politik mencoba mentransfer makna, yang akan ditransfer adalah pesan-pesan simbolis.47

Dalam komunikasi, salah satu cara untuk membangun citra politik ini adalah melalui iklan politik. Biasanya pesan iklan atau konstruksi iklan memiliki klasifikasi tingkatan; pertama, untuk menyampaikan informasi produk; kedua, untuk menyampaikan informasi dan membangun citra (image); ketiga, pembenaran tindakan; keempat, menyampaikan informasi, membentuk citra (image), pembenaran, dan persuasi tindakan.48

46

Menurut Firmanzah, isu politik ini dilihat dalam perspektif yang sangat luas dan sangat terkait dengan usaha parpol untuk memposisikan dirinya dan membangun identitas dalam rangka memperkuat image-nya dalam bermasyarakat; isu politik tersebut dapat berupa ideologi partai, program kerja partai, figur pemimpin partai, latar belakang pendirian partai, visi dan tujuan jangka panjang partai, dan permasalahan-permasalahan yang diungkapkannya. Lihat Ibid, halm 255

47

Firmanzah menjelaskannya dengan memberi contoh sebagai berikut. Misalnya, ketika parpol menyatakan bahwa angka pengangguran sudah melampaui ambang batas, pesan simbolik yang ingin disampaikan adalah ketidakmampuan penguasa untuk mengatasinya. Tujuan utama pengungkapan data tentang pengangguran tidak hanya mempublikasikan cara menguranginya, tetapi juga menggiring pemahaman masyarakat bahwa hal-hal yang dilakukan pemerintah masih kurang tepat. Dengan cara ini, mereka mengarahkan pemahaman masyarakat bahwa pemerintah harus bertanggung jawab mengatasi angka pengangguran ini. Untuk selengkapnya, lihat Ibid, halm 257

48

(31)

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Bungin menyimpulkan model konstruksi citra (image) dilakukan melalui tahap-tahap pada bagan dibawah ini:

Gambar 1.2. Model konstruksi Citra (image) Iklan

Dalam iklan, ada produk (politik) yang diiklankan. Kemudian ada pesan produk dengan menggunakan simbol-simbol kelas sosial, kemudian ada pula pembenaran. Penggunaan simbol kelas sosial dan pembenaran menggunakannya serta realitas yang tercipta melalui proses ini, merupakan bangunan realitas yang dibangun oleh iklan televisi untuk tujuan persuasi tindakan konsumen (calon pemilih).

5. Unsur Naratif dan Sinematik Dalam Iklan

Bahasa memegang peranan penting dalam sebuah wacana, karena wacana ditampilkan melalui penggunaan bahasa. Bahasa dipandang sebagai faktor penting untuk merepresentasikan maksud si pembuat wacana, termasuk juga dalam iklan televisi yang bersifat audio visual. Bahasa dalam iklan televisi dibentuk dari unsur

Pembentuk konstruksi citra iklan

produk

Pesan image: Simbol-simbol

budaya dan kelas sosial

Kesan permbenaran

Persuasi Tindakan

(32)

naratif dan unsur sinematik yang keduanya saling bertautan dan tidak dapat dipisahkan. Menyitir pendapat Himawan Pratista, unsur naratif merupakan sisi tema atau cerita, sedangkan unsur sinematik merupakan sisi teknis. Aspek sinematik dapat membantu mewujudkan aspek naratif.49 Bisa dikatakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya.50

Naratif adalah suatu rangkaian peristiwa yang berhubungan satu sama lain dan terikat oleh logika sebab-akibat (kausalitas) yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu. Logika sebab akibat muncul akibat tuntutan dan keinginan dari pelaku cerita. Hukum kausalitas merupakan dasar naratif yang terikat dalam sebuah ruang dan waktu. Ruang adalah tempat dimana para pelaku cerita bergerak dan beraktifitas. Selain itu, sebuah cerita tidak mungkin terjadi tanpa adanya unsur waktu. Terdapat beberapa aspek waktu yang berhubungan dengan naratif, yakni urutan waktu, durasi waktu, dan frekuensi waktu. Aspek naratif juga mempunyai elemen-elemen pokok seperti karakter, permasalahan, serta tujuan. Selain itu juga terdapat pola struktur naratif berupa tahapan-tahapan yang menjadikan karakter, masalah, tujuan, aspek ruang dan waktu masing-masing ditetapkan dan berkembang menjadi alur cerita secara keseluruhan.51

Jika aspek naratif terkait dengan tema serta cara bertuturnya, maka aspek sinematik terkait dengan aspek-aspek teknis dalam produksi cerita dan perlakuan estetik terhadap ceritanya. Aspek sinematik diantaranya meliputi setting, tata cahaya, perlakuan sineas terhadap kamera saat mengambil objek, transisi gambar,

49

Himawan Pratista, Memahami Film, Yogyakarta, Homerian Pustaka, 2008, halm vii

50

Ibid, halm 1

51Ibid

(33)

pengelolaan suara, dsb. Berikut ini penjelasan mengenai unsur-unsur sinematik dalam pembuatan iklan televisi yang mendukung dalam menemukan wacana yang tersembunyi di balik teks iklan televisi.

a. Shot

Shot selama produksi memiliki arti proses perekaman gambar sejak kamera diaktifkan (on) hingga kamera dihentikan (off) atau juga sering diistilahkan satu kali take (pengambilan gambar). Sementara shot pasca produksi memiliki arti satu rangkaian gambar utuh yang tidak terinterupsi oleh potongan gambar (editing). Shot merupakan unsur terkecil dalam film. Adegan (scene) adalah satu segmen pendek dari keseluruhan cerita yang memperlihatkan satu aksi kesinambungan yang diikat oleh ruang, waktu, isi (cerita), tema, karakter, atau motif. Satu adegan biasanya terdiri dari beberapa shot yang saling berhubungan.52

b. Setting atau latar

Setting adalah seluruh latar bersama segala propertinya (semua benda yang tidak bergerak). Setting merupakan salah satu hal utama yang sangat mendukung aspek naratif. Fungsi utama setting adalah sebagai penunjuk ruang dan waktu untuk memberikan informasi yang kuat dalam mendukung tema. Selain berfungsi sebagai latar cerita, setting juga mampu membangun mood sesuai dengan tuntutan cerita.53

52

Ibid, halm 29

53Ibid

(34)

c. Pencahayaan

Arah cahaya merujuk pada posisi sumber cahaya terhadap obyek yang dituju. Obyek yang dituju biasanya adalah pelaku cerita dan paling sering adalah bagian wajah.54

1. Frontal lighting, cenderung menghapus bayangan dan menegaskan bentuk sebuah obyek atau wajah karakter.

2. Side lighting, cenderung menampilkan bayangan ke arah samping tubuh karakter atau bayangan pada wajah.

3. Back lighting mampu menampilkan bentuk siluet sebuah obyek atau karakter jika tidak dikombinasi dengan arah cahaya lain. Dalam film-film bisu, back lighting digunakan untuk menutup sebuah adegan sebelum berganti ke adegan lain (seperti efek fade out).

4. Under lighting biasanya ditempatkan di bagian depan bawah karakter dan biasanya pada bagian wajah. Efeknya seperti cahaya senter atau api unggun yang diarahkan dari bawah. Arah cahaya seperti ini biasanya digunakan untuk mendukung efek horor atau sekedar untuk mempertegas sumber cahaya alami seperti lilin, api unggun, dan lampu minyak.

5. Top lighting sangat jarang digunakan dan umumnya untuk mempertegas sebuah benda atau karakter. Top lighting bisa pula sekedar menunjukkan jenis pencahayaan (buatan) dalam sebuah adegan, seperti lampu gantung dan lampu jalan.

54Ibid

(35)

d. Efek Khusus

Di era digital ini hampir tidak ada yang tidak mungkin dilakukan dalam sinema. Sineas dapat menambah atau mengurangi gambar apa saja dengan menggunakan teknik digital atau lebih dikenal dengan istilah Computer Generated Imagery (CGI). Sineas dapat menambah atau mengubah set dan properti, karakter, warna gambar, serta apapun yang diinginkan sesuai dengan tuntutan naratif serta estetiknya.55

e. Jarak kamera terhadap objek56

1. Extreme long shot, merupakan jarak kamera yang paling jauh dari obyeknya. Wujud manusia nyaris tidak nampak. Teknik ini umumnya untuk menggambarkan sebuah obyek yang sangat jauh atau panorama yang luas.

2. Long shot, tubuh manusia tampak jelas namun latar belakang masih dominan. Long shot seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih dekat. 3. Medium long shot, pada jarak ini tubuh manusia terlihat dari bawah lutut

sampai ke atas. Tubuh fisik manusia dan lingkungan sekitar relatif seimbang.

4. Medium shot, memperlihatkan tubuh manusia dari pinggang ke atas. Gesture serta ekspresi wajah mulai nampak. Sosok manusia mulai dominan dalam frame.

55

Ibid, halm 99

56Ibid

(36)

5. Medium close up, memperlihatkan tubuh manusia dari dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan latar belakang tidak lagi dominan. Adegan percakapan normal biasanya menggunakan jarak ini.

6. Close up, umumnya memperlihatkan wajah, tangan, kaki, atau sebuah obyek kecil lainnya. Teknik ini mampu memeperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gestur yang mendetail. Close up biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih intim. Close up juga memperlihatkan sangat mendetail sebuah benda atau obyek. Dimensi jarak kamera juga mempengaruhi akting pemain, pengambilan close up mampu memperlihatkan ekspresi wajah sementara pengambilan long shot hanya memperlihatkan gerakan tubuh.

7. Extreme close up, mampu memperlihatkan lebih mendetail bagian dari wajah, seperti telinga, mata hidung, dan bagian lainnya.

f. Sudut pengambilan gambar57

Sudut kamera adalah sudut pandang kamera terhadap obyek yang berada dalam frame. Secara umum sudut kamera dapat dibagi menjadi tiga, yakni high-angel (kamera melihat obyek dalam frame yang berada di bawahnya), straight-on angel (kamera melihat obyek dalam frame lurus), serta low angel (kamera melihat obyek dalam frame yang berada di atasnya).

57Ibid

(37)

1. High angel

Sudut kamera high-angel mampu membuat obyek seolah tampak lebih kecil, lemah serta terintimidasi.

2. Low angel, membuat sebuah obyek seolah tampak lebih besar, dominan, percaya diri, serta kuat.

g. Editing58

Definisi editing pada tahap produksi adalah proses pemilihan serta penyambungan gambar-gambar yang telah diambil. Sementara definisi editing pasca produksi adalah teknik-teknik yang digunakan untuk menghubungkan tiap shot-nya. Berdasarkan aspek temporal, editing dibagi menjadi dua jenis, yakni editing kontinu dan editing diskontinu. Editing kontinu adalah perpindahan shot langsung tanpa lompatan waktu. Sebaliknya, editing diskontinu adalah perpindahan shot dengan terjadi lompatan waktu.

Transisi shot diantaranya bisa dilakukan dalam bentuk cut dan wipe. Cut merupakan transisi shot ke shot lainnya secara langsung. Shot A langsung berubah seketika menjadi shot B. Cut sifatnya amat fleksibel hingga memungkinkan untuk editing kontinu maupun editing diskontinu. Sedangkan wipe merupakan transisi shot dimana frame sebuah shot bergeser ke arah kiri, kanan, atas, bawah, atau lainnya hingga berganti menjadi sebuah shot baru. Teknik wipe biasanya digunakan untuk perpindahan shot yang terputus waktu tidak berselisih jauh.

58Ibid,

(38)

h. Musik

Musik merupakan elemen yang berperan penting dalam memperkuat mood, nuansa, serta suasana. Himawan Pratista membagi musik menjadi dua macam, yaitu ilustrasi musik dan lagu, sebagai berikut:59

1.Ilustrasi musik, adalah musik latar yang mengiringi aksi selama cerita berjalan. Musik latar sering berupa musik tema yang berfungsi memperkuat mood, cerita, serta tema. Seperti ilustrasi dengan tempo cepat yang mampu memberikan efek energik maupun tempo lambat yang memberikan efek sendu dan dramatis.

2.Lagu, sama halnya dengan ilustrasi musik lagu juga dapat membentuk kharakter serta mood. Lagu dengan didukung liriknya semakin memperkuat mood dalam adegan.

6. Analisis Wacana Sebagai Sebuah Pendekatan

Wacana atau discourse berasal dari bahasa latin discursus yang berarti “lari kian kemari”. Alex Sobur memberikan definisi wacana sebagai berikut:60

1. Komunikasi pikiran dengan kata-kata, ekspresi, ide, gagasan, konservasi atau percakapan

2. Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu obyek studi pokok telaah

3. Risalah tulis, disertasi formal, kuliah, ceramah, maupun khotbah

Samsuri mendefinisikan wacana sebagai rekaman kebahasaan yang utuh tentang suatu peristiwa komunikasi, terdiri dari seperangkat kalimat yang

59

Ibid, halm 154-157

60

(39)

mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu bisa menggunakan bahasa lisan dan tulisan.61

Sedang Little John menyebut wacana sebagai ”using signs and language in a coherent and integrated way to make a statement or achieve a goal” (penggunaan tanda dan bahasa secara koheren dan utuh untuk membuat pernyataan atau mencapai tujuan).62

Dari beberapa penjelasan di atas, bahasa merupakan unsur pokok dan penting dalam sebuah wacana. Menurut Nimmo, bahasa adalah proses komunikasi makna melalui lambang. Bahasa adalah suatu sistem komunikasi yang tersusun dari kombinasi lambang-lambang signifikan (tanda dengan makna dan tanggapan bersama bagi orang-orang), didalamnya signifikansi lambang-lambang itu lebih penting daripada situasi langsung tempat bahasa itu digunakan, dan lambang-lambang itu digabungkan menurut peraturan tertentu.63

Bahasa tidak hanya berupa bahasa verbal, namun juga nonverbal. Ada dua hal yang harus diingat saat memikirkan penggunaan bahasa verbal dan non verbal. Pertama, komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, adalah kegiatan yang berupa kata yang diucapkan, jeda, anggukan kepala, atau ekspresi lain. Juga meliputi tindakan yang bila terjadi di depan orang lain yang mengamatinya, tindakan itu diinterpretasikan. Kedua, sebagai kegiatan simbolik masing-masing (bahasa

61Ibid

, hal 10

62

Stephen W. Litle John, Theories of Human Communication 6th ed, Belmont, Wadsworth, halm 83

63

(40)

verbal dan nonverbal) memperoleh makna dari konteks tempat ia terjadi dan tanggapan orang terhadapnya.64

Iklan adalah bentuk komunikasi persuasi melalui media tertentu yang juga menggunakan bahasa verbal maupun non verbal sebagai unsur penting. Untuk iklan televisi, bahasa digunakan dalam bentuk gambar, suara maupun kata-kata, atau audio visual.

Tarigan dalam Sobur mendefinisikan analisis wacana sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, analisis wacana adalah telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. 65

Pawito menjelaskan para kalangan peminat analisis wacana pada umumnya meyakini beberapa prinsip dasar dalam analisis wacana.66 Pertama, komunikasi terdiri dari tindakan-tindakan kompleks yang kemudian membentuk pesan di mana dikandung wacana atau wacana-wacana tertentu. Kedua, manusia terikat oleh ketentuan-ketentuan ketika menggunakan bahasa, membawakan wacana, atau melakukan tindakan-tindakan.

Ketiga, komunikator menggunakan wacana untuk mencapai tujuan, dan cara yang ditempuh dalam penggunaan wacana pada dasarnya terikat oleh ketentuan-ketentuan. Kempat, kendati bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan wujud nyata dari aktivitas komunikasi, namun sebenarnya discourse-lah yang menjadi materi dari komunikasi.

Banyak ahli yang menyumbangkan ide besarnya bagi perkembangan analisis wacana. Salah satunya adalah John Powers. Bagi Powers, pesan

64

Ibid, halm 90-91

65

Alex Sobur, Op Cit, halm 48

66

(41)

(messages) merupakan hal yang bersifat sentral dalam komunikasi. Dalam kaitan ini, pesan memiliki tiga unsur pokok yang bersifat struktural, yakni:67

a. Lambang atau simbol sebenarnya relatif bersifat independen. Artinya, antara lambang dan realitas yang dilambangkan sebenarnya tidak ada hubungan yang logis.

b. Bahasa merupakan suatu kode yang bersifat formal. Artinya, kata-kata serta kalimat-kalimat dan tanda-tanda bahasa lain dikembangkan dan dimaknai sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada atau berkembang di masyarakat.

c. Wacana pada umumnya memiliki struktur tertentu sebagai konsekuensi dari sifat saling kait-mengkait antara unsur wacana yang satu dengan yang lainnya.

F. Kerangka Pemikiran

Dalam konstalasi politik di era reformasi dan kemajuan teknologi, iklan politik adalah sebuah keniscayaan untuk tumbuh subur di Indonesia. Periklanan politik menjadi alat kampanye yang diprioritaskan para kandidat atau partai politik menjelang pemilihan umum. Kemunculan iklan politik ini di Indonesia mulai terlihat saat Pemilu 1999 berlangsung. Lalu pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 pertumbuhan iklan politik ini semakin subur. Jumlah spot iklan di media massa meningkat berkali-kali lipat.

Televisi menjadi media yang paling diminati untuk beriklan karena dinilai lebih efektif menjangkau konstituen. Hal ini karena televisi dengan sifatnya yang audio visual dan berada hampir di setiap rumah penduduk, dapat menjangkau besarya dan luasnya sasaran khalayak dalam waktu bersamaan. Televisi dapat mengatasi masalah demografis dan psikografis saat berkampanye. Dengan durasi waktu yang sangat singkat, iklan politik televisi dituntut memakai bahasa gambar,

67Ibid

(42)

kata-kata, dan suara yang mudah diingat, sederhana, dan menarik. Terjadi proses penyeleksian realitas yang akan ditayangkan dalam iklan tersebut. Hal ini disesuaikan dengan kepentingan si pembuat relaitas (partai politik atau perancang iklan).

Konsekuensinya, iklan politik ini tidak bebas nilai. Di balik teks-teks tayangan iklan politik tersebut tersembunyi makna-makna tertentu sehingga bisa membawa wacana-wacana tertentu pula. Terkait dengan hal ini, penelitian tentang teks-teks iklan politik televisi Partai Demokrat ini akan menggunakan kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran

Iklan Politik televisi

Partai Demokrat

Citra Presiden SBY

Analisis Wacana

Struktur Makro

Superstruktur

(43)

G. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif. Penelitian komunikasi kualitatif biasanya tidak dimaksudkan untuk memberikan penjelasan-penjelasan (explanations), mengontrol gejala-gejala komunikasi, mengemukakan prediksi-prediksi, atau menguji teori apapun, tetapi lebih dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran dan/atau pemahaman (understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas komunikasi terjadi.68

Penelitian kualitatif tidak mendasarkan bukti-bukti empirik pada logika matematik, prinsip-prinsip bilangan, ataupun teknik-teknik analisis statistik, tetapi lebih mendasarkan diri pada hal-hal yang bersifat diskursif, seperti transkip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dokumen-dokumen tertulis, dan data nondiskursif lazimnya dikonversikan ke dalam bentuk-bentuk nasrasi yang bersifat deskriptif sebelum dianalisis, diinterpretasi, dan kemudian disimpulkan.69

Penelitian kualitatif memiliki tujuan menemukan hal-hal yang bersifat tersembunyi (latent) yang karenanya sangat menaruh perhatian pada kejangggalan dan kontorversi. Peneliti dituntut untuk dapat mengemukakan penjelasan-penjelasan mengenai temuan-temuan data yang dinilai penting dan menarik, termasuk yang saling berbeda atau berlawanan satu sama lain.70 Pijakan analisis dan penarikan kesimpulan dalam penelitian komunikasi kualitatif adalah kategori-kategori substantif dari makna-makna, atau lebih tepatnya adalah

68

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, halm 35

69

Ibid, halm 37

70Ibid

(44)

interpretasi terhadap gejala yang diteliti, yang pada umumnya memang tidak dapat diukur dengan bilangan.71

2. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan dalam penelititan ini adalah analisis wacana. Pendekatan analisis wacana dipilih karena fenomena komunikasi massa bukanlah sekedar sebuah proses yang linier atau sebatas transmisi pesan kepada khalayak massa, tetapi dalam proses tersebut komunikasi dilihat sebagai produksi dan pertukaran pesan, yaitu dengan memperhatikan bagaimana suatu pesan (pesan teks) berinteraksi dengan masyarakat yang bertujuan memproduksi makna tertentu.72

Analisis wacana (Discourse Analysis) adalah salah satu alternatif dari analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan banyak dipakai.73 Jika analisis kuantitatif lebih menekankan pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi itu disampaikan, yakni lewat kata, frase, kalimat, serta metafora. Dengan melihat bagaimana struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa melihat makna tersembunyi dari suatu teks.

Pawito secara singkat menyatakan bahwa analisis wacana (discourse Analysis) adalah suatu cara atau metode untuk mengkaji wacana (discourse) yang terdapat atau terkandung di dalam pesan-pesan komunikasi baik secara tekstual

71

Ibid, halm 38

72

Alex Sobur, Op Cit, halm 145

73Ibid,

(45)

maupun kontekstual.74 Menurutnya, analisis wacana memungkinkan kita melihat bagaimana pesan-pesan diorganisasikan, digunakan dan dipahami. Di samping itu, analisis wacana juga dapat memungkinkan kita untuk melacak variasi cara yang digunakan komunikator dalam upaya mencapai tujuan melalui pesan-pesan berisi wacana-wacana tertentu. Hal ini mencakup berbagai hal termasuk misalnya, bagaimana proses-proses simbolik khususnya terkait dengan kekuasaan, ideologi, dan lambang-lambang bahasa serta apa fungsinya. Sementara itu, Eriyanto dalam Kriyantono mendefinisikan analisis wacana sebagai suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang mengemukakan pernyataan.75

Secara garis besar, terdapat dua pendekatan dalam analisis wacana (Keiko Matsuki, 1996: 351-352).76 Pertama, pendekatan sosiolinguistik yang menitikberatkan persoalan-persoalan bahasa secara mikro, seperti persoalan formasi tekstual dari wacana, atau bentuk-bentuk serta fungsi-fungsi dari lambang-lambang bahasa yang digunakan dalam teks. Kedua, pendekatan sosiokultural yang melihat wacana sebagai praktik sosial kehidupan manusia, dan menempatkan wacana sebagai tindakan manusia yang senantiasa berkaitan dengan proses-proses simbolik, seperti kekuasaan (power) dan ideologi. Selain itu, analisis wacana dalam kaijan komunikasi dapat dibedakan menjadi empat jenis:77 (a) wacana representasi (discourse of representation), (b) wacana pemahaman atau wacana interpretatif (discourse of understanding), (c) wacana keragu-raguan (discourse of suspicion), dan (d) wacana posmodernisme (discourse of

74

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, hal 170

75

Rahcmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group. Jakarta, 2007, halm 258

76

Pawito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, halm 172

77Ibid,

(46)

postmodernism). Peneliti sendiri akan menggunakan pendekatan sosiolinguistik dengan jenis wacana representasi, dimana peneliti mempersepsi objek dan membuat representasi realitas dalam bentuk pengungkapan bahasa.78

3. Obyek Penelitian

Dalam penelitian ini yang akan menjadi objek penelitian adalah tayangan iklan politik televisi Partai Demokrat sebagai berikut:

- versi Penurunan Harga Bahan Bakar Minyak - versi Penurunan Harga Sembako I

- versi Penurunan Harga Sembako II - versi Anggaran Pendidikan Nasional

Keempat ikan di atas mengunggulkan jargon Lanjutkan! dan bertajuk “Berjuang untuk Rakyat” serta ditayangkan pada pertengahan Januari 2009 hingga pertengahan Februari 2009.

4. Sumber Data

Data kualitatif adalah data yang berbentuk kata-kata, kalimat-kalimat, atau narasi-narasi.79 Berdasarkan sumbernya, maka data kualitatif dapat dikelompokkan menjadi:80 (a) data historis, dari sumber-sumber sejarah, (b) data teks, dari teks-teks tertentu, (c) data kasus, dari kasus-kasus tertentu, dan (d) data pengalaman individu sebagai anggota masyarakat tertentu yang menjadi objek penelitian. Selain itu, secara garis besar data dalam penelitian komunikasi

78

Ibid, halm 174

79

Kriyantono, Op Cit, halm 39

Gambar

Gambar 1.1 Iklan Sebagai Proses Komunikasi
Gambar 1.2. Model konstruksi Citra (image) Iklan
Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran
Tabel 1.1. Elemen Wacana van Dijk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Standart yang digunakan dalam pembuatan test online ini adalah seperti ujian nasional dalam artian siswa dapat mengerjakan soal dengan pengacakan soal

- Bila pada kehamilan 28-30 minggu masih didapatkan letak sungsang, maka dilakukan ultrasonografi untuk mencari kemungkinan adanya kelainan leta k   plasenta ( plasenta previa ),

Bagi Dinas Bina Marga dan Sumber Daya Air Kota Bogor, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak organisasi dalam hal

Adanya keterbatasan penelitian maupun keterbatasan dalam penyusunan skripsi ini makan peneliti ingin memberikan saran kepada pihak yang telah membantu dalam

Seperti halnya model Kemp, model lain yang dapat digunakan untuk mengembangkan produk terkait dengan pembelajaran adalah model Pengembangan Dick &

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari tingkat elumpuran tanah sawah menggunakn gelebeg, m sisir dan bajak rotari yang dirik olh raktor rda dua dengan

IRMA SURYANI HARAHAP. Serdang Bedagai Kec. Jurusan PPSD, Program Studi PGSD. Masalah dalam penelitian ini adalah rendahya hasil belajar Matematika Siswa. Rendahnya

[r]