• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Gizi Pasien Rawat Inap yang Mendapat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana Daerah Tarutung Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Status Gizi Pasien Rawat Inap yang Mendapat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana Daerah Tarutung Tahun 2012"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi Pasien Rawat Inap

Menurut Almatsier (2004), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi merupakan ekspresi keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu. Zat gizi berguna untuk memenuhi kebutuhan tubuh, produksi kalori dan proses yang terjadi dalam tubuh (Supariasa, 2001).

Rawat inap adalah pemeliharaan kesehatan dimana penderita tinggal/mondok sedikitnya satu hari berdasarkan rujukan dari pelaksana pelayanan kesehatan. Rawat inap merupakan pelayanan kesehatan perorangan yang meliputi observasi, diagnosa, pengobatan, keperawatan, rehabilitasi medik dengan menginap di ruang rawat inap pada sarana kesehatan yaitu rumah sakit pemerintah dan swasta, serta puskesmas perawatan dan rumah bersalin (Budiningsari, 2004).

(2)

penderita infeksi, kerusakan jaringan berat menyebabkan kenaikan kebutuhan kalori sebesar 10% dari kebutuhan metabolisme basal. Lain halnya pada pasien demam tinggi, kenaikan kebutuhan kalori mencapai 13% setiap kenaikan suhu tubuh 10C (Suandi, 1997).

Selain asupan makanan, proses penyakit juga dapat mempengaruhi status gizi pasien. Beberapa penyakit dapat menyebabkan terjadinya anoreksia nervosa (penurunan selera makan) maupun malabsorbsi zat gizi. Malabsorbsi zat gizi merupakan kelainan yang terjadi akibat penyerapan zat gizi yang tidak adekuat dari usus kecil ke dalam aliran darah. Kelainan ini biasanya terjadi pada pasien yang mengalami gangguan pencernaan (gastroentritis).

2.1.1. Klasifikasi Status Gizi

Status gizi dibedakan menjadi gizi baik, gizi kurang dan gizi lebih. Gizi baik adalah keadaan yang seimbang antara konsumsi pangan dengan kebutuhan zat gizi. Gizi kurang (under nutrition) adalah kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu. Gizi lebih (over nutrition) adalah kelebihan konsumsi pangan untuk periode tertentu (Supariasa, 2001).

(3)

Pada orang dewasa, masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu juga dapat mempengaruhi produktifitas kerja. Oleh karena itu pemantauan keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara adalah dengan memantau perbandingan antara berat dan tinggi badan (IMT). Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan.

IMT = Berat Badan kg

Tinggi Badan m x Tinggi badan m

Kategori ambang batas IMT untuk masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT

Kategori IMT

Kurus (underweight) < 18,5

Berat badan normal 18,5 – 24,9

Berat badan berlebih (overweight) 25 – 29,9

Obesitas – kelas 1 30 – 34,9

Obesitas – kelas 2 35 – 39,9

Obesitas – kelas 3 (obesitas morbid) ≥ 40,0 sumber: WHO, 2004

2.1.2. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Faktor yang mempengaruhi status gizi secara langsung adalah tingkat konsumsi dan tingkat kesehatan (penyakit infeksi) (Depkes, 2003).

1. Faktor Tingkat Konsumsi Makanan

(4)

yang berasal dari makanan dengan kebutuhan tubuh. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang seimbangnya masukan zat-zat gizi dari makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terlambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya penyakit dan atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya kemampuan kerja (Marsetyo, 1991).

Menurut Marsetyo (1991), konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan, tersedianya bahan makanan, pendidikan, dan pengetahuan gizi. Terjadinya masalah gizi disebabkan oleh tidak seimbangnya pemenuhan kebutuhan akan zat gizi yang diperoleh dari makanan. Oleh karena itu pangan dengan jumlah dan mutu yang memadai harus selalu tersedia dan dapat diakses oleh semua orang pada setiap saat.

Keadaan ekonomi keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap konsumsi pangan, terutama pada golongan miskin. Pada golongan miskin, mereka menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan makanan. Faktor ekonomi yang paling berperan adalah pendapatan keluarga dan harga (baik harga pangan maupun harga komoditas kebutuhan dasar). Bila pendapatan keluarga berubah maka secara langsung dapat mempengaruhi perubahan konsumsi pangan keluarga. Pendapatan meningkat berarti peluang untuk membeli bahan pangan dengan kuantitas dan kualitas yang baik menjadi lebih besar, namun bila pendapatan menurun akan terjadi sebaliknya.

(5)

setiap harinya, sehingga kebutuhan tubuh masing- masing anggota keluarga akan zat gizi dapat terpenuhi.

2. Faktor Tingkat Kesehatan (Penyakit infeksi)

Kekurangan salah satu zat gizi dapat menimbulkan konsekuensi berupa penyakit defisiensi. Bila kekurangan dalam batas marginal dapat menimbulkan gangguan yang sifatnya lebih ringan atau menurunkan kemampuan fungsional misalnya menyebabkan badan cepat merasa lelah, menurunnya prestasi kerja dan prestasi belajar, serta menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi.

Pada orang sehat, absorbsi zat gizi akan berlangsung secara optimal dan proses metabolisme tubuh pun normal. Sebaliknya pada orang sakit, akan terjadi gangguan proses metabolisme sehingga menyebabkan malabsorbsi gizi dan penurunan persediaan gizi dalam tubuh. Terjadinya peningkatan kebutuhan kalori selama sakit dikarenakan terjadinya kerusakan jaringan, meningkatnya pembentukan zat anti, dan meningkatnya metabolisme juga sangat mempengaruhi pemakaian zat gizi dalam tubuh. Apabila orang sakit mengalami penurunan nafsu makan sehingga asupan makanan tidak adekuat, maka kondisi ini akan memperburuk status gizi mereka (Marsetyo, 1991).

2.2. Penilaian Status Gizi

(6)

Metode penilaian status gizi dibedakan menjadi dua cara (Supariasa, 2001) : a. Penilaian status gizi secara langsung : antropometri, biokimia, klinis dan

biofisik.

b. Penilaian status gizi secara tidak langsung : secara konsumsi, statistik vital, faktor ekologi.

2.2.1. Penilaian Status Gizi Secara Langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat penilaian, yaitu (Supriasa, 2002) :

1. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan.

2. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain : darah, urine, tinja, dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.

3. Klinis

(7)

4. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak bawah kulit.

Cara penilaian status gizi adalah yang paling sering digunakan adalah metode antropometri. Penilaian status gizi dengan cara antropometri banyak digunakan dalam berbagai penelitian atau survei. Pengukuran antropometri diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan bagi penentuan status gizi untuk negara berkembang. Pengukuran ini merupakan cara pengukuran yang sederhana, sehingga pelaksanaannya tidak hanya di rumah sakit atau puskesmas, tetapi dapat dilakukan di posyandu atau rumah penduduk (Pudjiadi, 2000).

Pengukuran status gizi orang dewasa menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT) . IMT merupakan hasil hitung dari berat badan (dalam kg) dibagi kuadrat tinggi badan (dalam cm). IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan.

2.2.2. Penilaian Status Gizi Secara Tidak Langsung

(8)

metode pengukuran konsumsi makanan tingkat individu atau perorangan adalah metode penimbangan makanan (food weighing) (Supariasa, 2001).

Pada metode penimbangan makanan (food weighing), responden atau petugas menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi responden selama satu hari. Kemudian, jumlah makanan yang dikonsumsi sehari dianalisis dengan menggunakan Daftar komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau Daftar Kandungan Zat Gizi Makanan Jajanan (DKGJ). Setelah itu, hasilnya dibandingkan dengan kecukupan gizi yang dianjurkan (AKG).

2.3. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

Diet adalah makanan ditentukan dan dikendalikan untuk tujuan tertentu. Dalam diet jenis dan banyaknya suatu makanan ditentukan (Budiyanto, 2001). Makanan adalah bahan yang jika dimakan, dicerna dan diserap akan menghasilkan paling sedikit satu macam nutrien. Nutrien adalah istilah yang dipakai secara umum pada setiap zat yang dicerna, diserap dan digunakan untuk mendorong kelangsungan faal tubuh (Beck, 1995). Zat-zat nutrien ini dibagi dalam dua golongan besar yakni makronutrien (zat gizi makro) dan mikronutrien (zat gizi mikro)(Paath dkk, 2005).

(9)

Tabel 2.2. Bahan Makanan untuk Makanan Biasa dalam Sehari

Selanjutnya, untuk bahan makanan TKTP adalah bahan makanan biasa seperti yang terdapat pada Tabel 2.2. ditambahkan dengan bahan makanan seperti pada tabel 2.3.

(10)
(11)
(12)

Dalam upaya pemenuhan zat gizi yang optimal pada pelaksanaan asuhan gizi diperlukan keterlibatan dan kerjasama yang erat antar berbagai profesi terkait yang bergabung dalam tim asuhan gizi. Profesi yang terlibat adalah dokter, perawat, dietisien, dan profesi kesehatan lainnya sebagai pendukung seperti farmakolog, ahli patologi klinik, radiologi rekam medik dan administrasi. tiap anggota tim memberikan sumbangan spesifik sesuai dengan keahliannya yang diharapkan saling mengisi dalam upaya memberikan asuhan gizi yang optimal. Agar efektif diperlukan koordinasi yang baik melalui komunikasi secara teratur, baik secara tertulis melalui rekam medik, secara lisan melalui diskusi sewaktu-waktu, atau melalui kunjungan keliling (rounde) bersama yang dilakukan secara periodik. Tim asuhan gizi ini dibentuk di setiap unit rawat inap (Budiningsari, 2004)

Upaya pemenuhan kebutuhan gizi untuk pasien rawat inap dilakukan melalui pelayanan gizi dengan penyediaan makanan atau diet. Bagi sejumlah pasien dengan penyakit berat (critically ill patients) upaya pelayanan gizi tersebut tidak dapat dilaksanakan, karena berbagai keterbatasan pada penerimaan, pencernaan, dan penyerapan berbagai makanan (zat gizi). Untuk pasien demikian, diperlukan pelayanan gizi dengan pemberian makan enteral (enteral feeding) atau makanan parenteral (parenteral feeding) yang dikenal sebagai pemberian zat gizi pendukung (nutritional support). selain itu mungkin diperlukan pemberian zat gizi pelengkap (suplemen) dalam bentuk beraneka jenis vitamin dan mineral (Almatsier, 2004). 2.3.1. Tujuan Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

(13)

tubuh. Selain itu, pemberian diet ini juga dimaksudkan untuk menambah berat badan hingga mencapai berat badan normal (Almatsier, 2004).

2.3.2. Syarat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

Syarat – syarat diet tinggi kalori tinggi protein adalah menurut Almatsier (2004) adalah sebagai berikut :

1. Kalori tinggi, yaitu 40-45 kkal/ kg BB 2. Protein tinggi, yaitu 2,0 - 2,5 g/kg BB

3. Lemak cukup, yaitu 10 – 25% dari kebutuhan kalori total 4. Karbohidrat cukup, yaitu sisa dari kebutuhan kalori total 5. Vitamin dan mineral cukup, sesuai kebutuhan normal 6. Makanan diberikan dalam bentuk mudah cerna 2.3.3. Jenis Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

Ada dua jenis diet tinggi kalori tinggi protein yang dibedakan berdasarkan jumlah kalori dan protein yang dikandung, yaitu (Almatsier, 2004):

1. Diet tinggi kalori tinggi protein I (2600 kkal/hari, 100 gr protein/hari) 2. Diet tinggi kalori tinggi protein II (3000 kkal/hari, 125 gr protein/hari)

Berdasarkan keadaan, pasien dapat diberikan salah satu dari dua jenis diet tinggi kalori tinggi protein tersebut (Almatsier, 2004).

2.3.4. Indikasi Pemberian Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein

(14)

dari penyakit dengan panas tinggi, pasien yang sedang hamil dan post partum(nifas) dimana dalam keadaan tersebut kebutuhan akan kalori dan protein meningkat. Diet ini diberikan dengan tujuan agar dapat mencegah, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak serta menambah berat badan pasien hingga mencapai berat badan normal, untuk itu diharapkan agar pemberiannya sesuai dengan anjuran agar mencapai hasil yang optimal (Almatsier, 2004).

2.3.4.1. Pasien Sebelum dan Sesudah Operasi

Bagi pasien yang akan menjalankan pembedahan maupun yang sudah dilakukan pembedahan, diet merupakan faktor yang pening baik untuk mengurangi resiko pembedahan maupun untuk mempercepat waktu rekonvalesensinya. Jika tindakan pembedahan merupakan pengobatan kausal, maka diet merupakan pengobatan penunjangnya (Suandi, 1997).

(15)

karbohidrat yang tinggi dapat mengurangi kebutuhan protein dan memberi kesempatan bagi hepar (hati) untuk menimbun glukosa dan glikogen.

Proses pembedahan mengakibatkan hilangnya protein tubuh yang kadang-kadang tidak sedikit. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tubuh berusaha untuk memenuhi kebutuhan bagi penyembuhan luka-lukanya. Pada penderita pasca bedah harus diberi makanan yang mengandung cukup kalori dan protein. Jika jumlah kalori yang didapati dari karbohidrat dan lemak tidak cukup, maka tubuh memakai protein yang sudah terdapat dalam tubuh sebagai gantinya.

2.3.4.2. Pasien Baru Sembuh dari Penyakit dengan Panas Tinggi

Panas tinggi atau demam diartikan sebagai peningkatan suhu tubuh diatas batas normal. Pada keadaan demam (diatas 370C), terjadi peningkatan kebutuhan kalori sebesar 12% untuk setiap kenaikan suhu tubuh 10C (Suandi, 1997).

Panas tinggi merupakan gejala penting pada penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi kebutuhan kalori menjadi lebih tinggi untuk mengganti jaringan yang rusak, juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan zat anti yang semakin meningkat. Beberapa penyakit infeksi yang paling berbahaya di Indonesia antara lain: demam berdarah, demam chikungunya, diare, filiariasis, flu burung, malaria, pneumonia, polio, SARS, dan tuberculosis.

(16)

diantisipasi dengan pemberian cairan yang cukup melalui oral dan infus, serta makanan yang berkalori dan berprotein tinggi.

Penderita penyakit infeksi akut seperti influenza, cacar air, campak, bronkitis akut disertai kenaikan suhu tubuh membutuhkan tambahan kalori, protein, air dan elektrolit. Protein yang cukup harus diasup guna mengimbangi kehilangan protein yang berlebihan dikarenakan destruksi (perusakan) protein sel. Kerusakan jaringan berat menyebabkan kenaikan kebutuhan kalori sebesar 10% dari kebutuhan metabolisme basal.

2.3.4.3. Pasien Hamil dan Post Partum (Nifas)

Pola makan yang baik bagi ibu hamil harus memenuhi sumber karbohidrat, protein dan lemak serta vitamin dan mineral. Demi suksesnya kehamilan, keadaan gizi ibu pada waktu konsepsi harus dalam keadaan baik dan selama hamil harus mendapatkan tambahan protein, mineral, vitamin dan kalori (Paath, 2005).

Tambahan kalori selama hamil diperlukan baik bagi komponen janin maupun perubahan yang terdapat pada dirinya sendiri. Kurang lebih 27.000 kkal atau 100 kkal/hari dibutuhkan selama mengandung. Kebutuhan protein tergantung pada kecepatan pertumbuhan janinnya. Menurut WHO tambahan protein ibu hamil adalah 0,75 gram/kg berat badan.

(17)

sebagainya. Ibu nifas memproduksi 600-800 ml ASI per hari, oleh karena itu diperlukan tambahan kalori sebanyak 500 kkal dan 20 gr protein (Paath, 2005). 2.4. Manfaat Pemberian Diet bagi Proses Penyembuhan

Pemberian diet merupakan upaya pemenuhan kebutuhan gizi pasien yang dilakukan melalui pelayanan gizi rawat inap. Pelayanan gizi rawat inap adalah serangkaian kegiatan terapi gizi medis yang dilakukan di institusi kesehatan (rumah sakit) untuk memenuhi kebutuhan gizi pasien untuk keperluan metabolisme tubuh, peningkatan kesehatan, maupun mengoreksi kelainan metabolisme, dalam rangka upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Depkes, 2005).

Pelayanan gizi yang baik akan menunjang terapi selama perawatan berlangsung. Pelayanan gizi rawat inap sering disebut juga dengan terapi gizi medik. Terapi gizi harus disesuaikan dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi, dan status metabolisme tubuhnya. Terapi gizi menjadi salah satu faktor penunjang utama penyembuhan yang harus diperhatikan. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan pelayanan makanan yang baik diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan penyakit pasien (Depkes, 2003).

(18)

Pasien yang kondisinya sedang dan berat/kompleks yang dalam pelayanannya bukan sekedar memberikan makanan 3 kali sehari, namun harus melakukan pengkajian konsumsi gizi. Jika diketahui bahwa pasien menderita penyakit yang memerlukan diet untuk menunjang upaya penyembuhannya, atau jika hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pasien menderita penyakit yang memerlukan perubahan makanan, maka kepadanya diberikan terapi diet (Moehyi, 1997).

Konsumsi makanan yang seimbang sesuai kebutuhan akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan yang cepat bagi pasien yang dirawat di rumah sakit, sebaliknya pemberian makanan yang tidak sesuai akan memperlambat penyembuhan pasien bahkan bisa juga berakibat fatal terhadap pasien.

Pemberian diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kalori dan protein pasien yang semakin meningkat akibat proses penyakit.

Kalori diperlukan oleh tubuh dalam proses pertumbuhan dan mempertahankan jaringan tubuh, dalam proses mempertahankan suhu tubuh serta

dalam proses gerakan otot. Pemberian protein yang adekuat adalah penting untuk membantu proses penyembuhan luka, sintesis protein, dan sel kekebalan aktif (Made, 2007).

(19)

2.5. Kerangka Konsep

Berdasarkan pada masalah dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, maka kerangka konsep penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Dalam kerangka konsep di atas dijelaskan bahwa peneliti ingin mengetahui status gizi pasien rawat inap yang mendapat diet TKTP yang dapat diukur melalui indikator IMT. Setelah melakukan pengukuran, maka perubahan berat badan pasien rawat inap dapat dilihat dari selisih berat badan awal dan akhir pasien. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui jumlah kalori dan protein diet TKTP yang diberikan oleh rumah sakit.

Status gizi awal (IMT) pasien yang mendapat diet TKTP

Diet TKTP yang diberikan rumah sakit:

TKTP I

Gambar

Tabel 2.1. Kategori Ambang Batas IMT
Tabel 2.2. Bahan Makanan untuk Makanan Biasa dalam Sehari
Tabel 2.4. Bahan Makanan yang Dianjurkan dan Tidak Dianjurkan dalam Diet
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Syukur Alhamdulillah, penulis telah berhasil menyelesaikan karya tulis akhir yang berjudul “Keterkaitan Asupan Kalori dengan Penurunan Status Gizi pada Pasien Rawat Inap di

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan protein serta status gizi pasien Skizofrenia paranoid rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEPATUHAN DIET RENDAH GARAM PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA.. Pendahuluan: Hipertensi dapat disebabkan

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah sebesar 188 sampel yang didapatkan dari data sekunder berupa rekam medis pasien anak balita rawat inap umur 12-59 bulan di Rumah

Kegiatan pelayanan gizi di rumah sakit adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat rumah sakit rawat inap dan rawat jalan, untuk keperluan metabolisme tubuh,

Adapun sasaran kegiatan pelayanan gizi rumah sakit adalah pasien berobat jalan, rawat inap dan keluarga pasien.. Proses Penyampaian Pelayanan ( Service

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa semua alat skrining gizi dapat digunakan untuk memprediksi malnutrisi pada pasien rawat inap rumah sakit karena memiliki

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa semua alat skrining gizi dapat digunakan untuk memprediksi malnutrisi pada pasien rawat inap rumah sakit karena memiliki