• Tidak ada hasil yang ditemukan

alamat dinas ka,dfaeeeeeeeeeeeeeeeee

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "alamat dinas ka,dfaeeeeeeeeeeeeeeeee"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH

DI KABUPATEN NIAS SUMATERA UTARA

Oleh :

YADESMAN TELAUMBANUA

10614031

PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA

BANDUNG

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lahan  sudah  menjadi  salah  satu  unsur  utama  dalam  menunjang kelangsungan

kehidupan  sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia   beraktivitas   untuk   mempertahankan   eksistensi.   Aktivitas   yang   pertama   kali

dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam.

Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi seiring pertumbuhan populasi

dan   perkembangan   peradaban   manusia.   Hal   ini   akhirnya   menimbulkan   permasalahan

kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta

dinamika   pembangunan.   Lahan   yang   semula   berfungsi   sebagai   media   bercocok   tanam,

berangsur­angsur   berubah   menjadi   multifungsi   pemanfaatan.   Perubahan   spesifik   dari

penggunaan   untuk   pertanian   ke   pemanfaatan   bagi   nonpertanian   yang   kemudian   dikenal

dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan

yang serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam

kapasitas   penyediaan   pangan,   dan   bahkan   dalam   jangka   panjang   dapat   menimbulkan

kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).

Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi

yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspek­aspek perubahan orientasi ekonomi, sosial,

budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan

berdampak   terhadap   pergeseran   kondisi   ekonomi,   tata   ruang   pertanian,   serta   prioritas­

(3)

Winoto, 1996).

Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana

tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar.

Dua   hal   terakhir   terjadi   lebih   sering   pada   masa   lampau   karena   kurangnya   pengertian

masyarakat   maupun   aparat   pemerintah   mengenai   tata   ruang   wilayah.   Alih   fungsi   dari

pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan

yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik

kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006).

Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan

lahan­lahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan yang semakin sempit semakin

terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja

di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang

terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan

kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih fungsi lahan (Gunanto, 2007).

Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan,

bangunan industri dan pemukiman. Kondisi demikian mencerminkan adanya peningkatan

permintaan   terhadap   lahan   untuk   penggunaan   nonpertanian   yang   mengakibatkan   banyak

lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga

dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah yang diduga akan

menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian lainnya.

Permasalahan tersebut diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras

nasional. Isu alih fungsi lahan sawah perlu mendapat perhatian karena beras merupakan

bahan pangan utama. Ketergantungan pada impor beras akan semakin meningkat apabila isu

(4)

ketergantungan   terhadap   impor   sifatnya   tidak   stabil   dan   akan   menimbulkan   kerawanan

pangan yang pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham, dkk, 2003).

Pemilik lahan mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian

oleh karena mengharapkan keuntungan lebih. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama

sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada dilokasi yang berkembang. Namun, bagi

petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa

beralih pekerjaan. Para petani semakin terjebak dengan semakin sempitnya kesempatan kerja

sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang pelik.

Masalah alih fungsi lahan dapat diatasi bila pemerintah daerah sangat ketat dalam hal

penataan   ruang.   Pemerintah   harus   tegas   dalam   melarang   pembangunan   perumahan   dan

industri yang hendak menggunakan lahan di kawasan pertanian. Alih fungsi lahan dapat

dicegah   dengan   menjadikan   sektor   pertanian   sebagai   lapangan   usaha   yang   menarik   dan

bergengsi secara alami. Alih fungsi lahan yang terjadi tanpa kendali dapat menimbulkan

persoalan ketahanan pangan, lingkungan dan ketenagakerjaan (Syahyuti, 2007).

Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam sepuluh tahun terakhir terus

mengalami alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian. Alih fungsi ini mengakibatkan luas

lahan pertanian di Kabupaten Nias khususnya padi sawah cenderung mengalami penurunan.

Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah jenis lahan sawah menjadi lahan

kering   dan   lahan   non   pertanian,   seperti   digunakan   untuk   bangunan,   dan   hal­hal   lain

sebagainya.

Oleh   karena   itu,   selain   untuk   melihat   laju   alih   fungsi   lahan   penelitian   ini   juga

bertujuan untuk melihat proyeksi luas lahan sawah sepuluh tahun mendatang dan dampaknya

terhadap   kecukupan   pangan   serta   apa   saja   yang   menjadi   motivasi   atau   faktor   yang

(5)

Identifikasi Masalah

Permasalahan yang dapat dirumuskan untuk diidentifikasi berdasarkan uraian latar

belakang diatas, yaitu:

1. Bagaimana   laju   alih   fungsi   lahan   sawah   dalam   sepuluh   tahun   terakhir   di   daerah

penelitian ?

2. Bagaimana   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   maupun   mengalihfungsikan

lahannya di daerah penelitian ?

3. Bagaimana proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun mendatang di

daerah penelitian ?

4. Bagaimana   dampak   alih   fungsi   lahan   sawah   terhadap   kecukupan   pangan   sepuluh

tahun mendatang di daerah penelitan?

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah dalam sepuluh tahun terakhir di

daerah penelitian.

2. Untuk   mengetahui   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   lahannya   ataupun

mengalihfungsikan lahannya di daerah penelitian.

3. Untuk menganalisis proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi di daerah penelitian

sepuluh tahun kedepan.

4. Untuk  menganalisis  dampak  alih  fungsi  lahan  sawah  terhadap  kecukupan  pangan

(6)

TINJAUAN PUSTAKA

Manfaat Lahan Sawah

Lahan   sawah   dapat   dianggap   sebagai   barang   publik,   karena   selain   memberikan

manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat

sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung,

manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal

penyediaan   pangan,   penyediaan   kesempatan   kerja,   penyediaan   sumber   pendapatan   bagi

masyarakat   dan   daerah,   sarana   penumbuhan   rasa   kebersamaan   (gotong   royong),   sarana

pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata.

Manfaat   tidak   langsung   terkait   dengan   fungsinya   sebagai   salah   satu   wahana   pelestari

lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana

untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto, dkk, 2002).

Defenisi Alih Fungsi

Lestari   (2009)   mendefinisikan   alih   fungsi   lahan   atau   lazimnya   disebut   sebagai

konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya

semula   (seperti   yang   direncanakan)   menjadi   fungsi   lain   yang   menjadi   dampak   negatif

(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat

diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktor­faktor yang secara

garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah

jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

(7)

Kebutuhan   lahan   untuk   kegiatan   nonpertanian   cenderung   terus   meningkat   seiring

dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi

lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan

jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di

sekitarnya   juga   beralih   fungsi   secara   progresif.   Menurut   Irawan   (2005),   hal   tersebut

disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau

industri   di   suatu   lokasi   alih   fungsi   lahan,   maka   aksesibilitas   di   lokasi   tersebut   menjadi

semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong

meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan

di   sekitarnya   meningkat.   Kedua,   peningkatan   harga   lahan   selanjutnya   dapat   merangsang

petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku

pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya

lahan­lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas

lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya

3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan

sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan  nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut

telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih

fungsi penggunaan tanah lain.

Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di

luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau

Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan

untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan

(8)

Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap

alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :

1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada

umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan

penduduk atas lahan juga lebih tinggi.

2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.

3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada

umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.

4. Pembangunan   prasarana   dan   sarana   pemukiman,   kawasan   industri,   dan   sebagainya

cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan

topografi  seperti  itu  (terutama  di  Pulau  Jawa) ekosistem  pertaniannya  dominan  areal

persawahan.

Fenomena   alih   fungsi   lahan   pertanian   sudah   menjadi   perhatian   semua   pihak.

Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah

beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Hasil penelitian

tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar

4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA

(42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.

Faktor­Faktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan

Menurut   Lestari   (2009)   proses   alih   fungsi   lahan   pertanian   ke   penggunaan

nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang

menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:

(9)

Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan,

demografi maupun ekonomi.

2. Faktor Internal.

Faktor  ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh  kondisi sosial­ekonomi rumah

tangga pertanian pengguna lahan.

3. Faktor Kebijakan.

Yaitu aspek   regulasi   yang   dikeluarkan   oleh   pemerintah   pusat maupun daerah

yang   berkaitan   dengan   perubahan   fungsi   lahan   pertanian.   Kelemahan   pada

aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan

hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab

alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis

ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani  menjual asetnya berupa sawah untuk

memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan

makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihak­pihak pemilik modal. Sawah tadah hujan

paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa

dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masing­masing sawah tadah hujan 310

ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah

irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada

sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di

Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah

yang ada tidak efekttif.

Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama

(10)

1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar pusat

pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan industri.

2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

3. Semakin   menonjolnya   tujuan   jangka   pendek   yaitu   memperbesar   pendapatan   asli

daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam

di era otonomi.

Produksi   padi   secara   nasional   terus   meningkat   setiap   tahun,   tetapi   dengan   laju

pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan

nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama

melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006).

Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah

Alih   fungsi   lahan   sawah   ke   penggunaan   nonpertanian   dapat   berdampak   terhadap

turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana

berkaitan   dengan   aspek­aspek   perubahan   orientasi   ekonomi, sosial,   budaya,   dan   politik

masyarakat.

Berdasarkan   penelitian   yang   dilakukan   oleh   Rahmanto,   dkk   (2002),   ditinjau   dari

aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18

tahun (1981­1998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta

ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 1984­1997 yang berkisar antara

1,5­ 2,5 juta ton/tahun.

Alih    fungsi    lahan   sawah   juga    menyebabkan   hilangnya   kesempatan petani

memperoleh   pendapatan   dari   usahataninya.   Dalam   penelitian Rahmanto, dkk (2002)

(11)

mencapai Rp 1,5 ­ Rp 2 juta/Ha/tahun dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran

300 ­ 480 HOK/Ha/tahun. Perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi

juga   ikut   berkurang,   masing­masing   sebesar   Rp   46   ­   Rp   91   ribu   dan   Rp   45   ­   Rp   114

ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya

pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya

lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga

menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara

lain :

1. Berkurangnya   luas   sawah   yang   mengakibatkan   turunnya   produksi   padi,   yang

mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta

mengakibatkan  bergesernya   lapangan  kerja   dari  sektor   pertanian  ke  nonpertanian.

Apabila   tenaga   kerja   tidak   terserap   seluruhnya   akan   meningkatkan   angka

pengangguran.

2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak

optimal pemanfaatannya.

3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri,

sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan

tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah

tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.

4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan

pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di

Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.

(12)

dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat pula membawa dampak

positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi sejumlah petani terutama buruh tani

yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat

mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi lahan yang

dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan hak pemilikan

lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan, pemanfaatan lahan tersebut

untuk   kegiatan   non   pertanian.   Dampak   alih   fungsi   lahan   pertanian   terhadap   masalah

pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut

secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan

pertanian   dimiliki   oleh   petani.   Oleh   karena   itu   pengendalian   pemanfaatan   lahan   untuk

kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:

1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan

2. Mengendalikan   dampak   alih   fungsi   lahan   tanaman   pangan   tersebut   terhadap

keseimbangan pengadaan pangan.

Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan

Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan

sawah   sudah   banyak   dibuat.   Akan   tetapi,   hingga   kini   implementasinya   belum   berhasil

diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena

kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian

alih   fungsi   lahan   sawah   tersebut.   Terdapat   tiga   kendala   mendasar   yang   menjadi   alasan

mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :

(13)

alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih  fungsi lahan

tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian

lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.

2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan­peraturan pengendaliah alih fungsi lahan

baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan­perusahaan atau

badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian

ke   nonpertanian.   Oleh   karena   itu,   perubahan   penggunaan   lahan   sawah   ke

nonpertanian   yang   dilakukan   secara   individual/perorangan   belum   tersentuh   oleh

peraturan­peraturan   tersebut,   dimana   perubahan   lahan   yang   dilakukan   secara

individual diperkirakan sangat luas.

3. Kendala   Konsistensi   Perencanaan.   RTRW   yang   kemudian   dilanjutkan   dengan

mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam  pengendalian

untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam

kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan

lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.

Menurut   penelitian   yang   dilakukan   oleh   Widjanarko,   dkk   (2006)   dalam   konteks

pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang hidup dari sektor

nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan

pola   pemanfaatan   lahan   pertanian   di   Pulau   Jawa   yaitu   faktor   privatisasi   pembangunan

kawasan   industri,   pembangunan   pemukiman   skala   besar   dan   kota   baru,   serta   deregulasi

investasi   dan  kemudahan   perizinan.   Tiga   kebijakan   nasional   yang  berpengaruh   langsung

terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah :

1. Kebijakan   privatisasi   pembangunan   kawasan   industri   sesuai   Keputusan   Presiden

(14)

melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya

sesuai   dengan   mekanisme   pasar.   Dampak   kebijakan   ini   sangat   berpengaruh   pada

peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi

subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.

2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan  fungsi

lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru.

Akibat   ikutan   dari   penerapan   kebijakan   ini   ialah   munculnya   spekulan   yang

mendorong minat para petani menjual lahannya.

Sehingga terlihat bahwa sering sekali terjadi ketidakserasian antar kebijakan yang

dikeluarkan   pemerintah   untuk   mengatasi   alih   fungsi   yang   justru   sering   sekali   justru

meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.

Teori Lokasi

Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatan­kekuatan pasar, sistem

administratif   yang   dikembangkan   pemerintah,   dan   kepentingan   politik.   Pemerintah   di

sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya memegang peran kunci dalam alokasi

lahan seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan

misalnya hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).

Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent). Menurut

model   ini,   alokasi   lahan   akan   mengarah   pada   penggunaan   yang  menghasilkan   surplus

ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang

ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai

land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya.

(15)

lahan   yang   kualitasnya   homogen.   Tataguna   lahan   yang   dihasilkan   dapat   dipresentasikan

sebagi cincin­cincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut.

Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti

luas   yang   berkembang   disekeliling   daerah   perkotaan   yang   merupakan   pasar   komoditi

(16)

Keterangan : Land rent

A : Pusat Pasar B : Industri C : Perumahan

Kurva A

Kurva B  Kurva C

 Kurva D

A

B  C

D

Jarak dari pasar

Sumber : Tarigan, 2006

Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen

Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa komersial (pusat

kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi. Cincin­cincin B, C, dan D masing­

masing   merepresentasikan   penggunaan   lahan  untuk   industri,   perumahan,   dan   pertanian.

Meningkatnya land rent secara relatif akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasa­jasa

komersial sehingga menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B

(kawasan industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan

pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam sistem pasar,

alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan  land  rent  lebih rendah ke

aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi ( Tarigan, 2006).

Alih   fungsi   lahan   sawah   tidak   terlepas   dari   situasi   ekonomi   secara keseluruhan.

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan

cepat   sehingga   sektor   tersebut   membutuhkan   lahan   yang   lebih   luas.   Lahan   sawah   yang

(17)

lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena

land   rent  persatuan   luas   yang   diperoleh   dari   aktivitas   baru   lebih   tinggi   daripada   yang

dihasilkan sawah (Prayudho, 2009).

Hubungan antara nilai  land rent  dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai

kompetisi   penggunaan   sektor   komersial   dan   strategis,   mempunyai   hubungan   yang   erat.

Sektor   tersebut  berada  pada   kawasan  strategis   dengan  land  rent  yang   tinggi,   sebaliknya

sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rent

sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya

total. Suatu lahan sekurang­kurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu :

1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan.

2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.

3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan.

4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.

Umumnya  land   rent  yang   mencerminkan   mekanisme   pasar   hanya   mencakup

ricardian rent  dan  locational rent.  Ecological rent  dan  sosiological rent  tidak sepenuhnya

terjangkau mekanisme pasar (Prayudho, 2009).

Alih   fungsi   lahan   sawah   yang   terjadi   ditentukan   juga   oleh   pertumbuhan   sektor

tanaman pangan, dalam hal ini mengenai nilai hasil sawah. Nilai inilah yang menjadi dasar

individu mengalihfungsikan lahannya. Menurut teori oportunitas yang menjadi dasar asumsi

Wiliamson bahwa oportunisme merupakan tindakan  mengutamakan kepentingan diri dengan

menggunakan akal untuk berusaha mengeksploitasi situasi demi keuntungan (Priyadi, 2009).  Hal

tersebut   sesuai   dengan teori   lokasi   neo   klasik   yang   menyatakan   bahwa   substitusi   diantara

berbagai penggunaan faktor produksi dimungkinkan agar dicapai keuntungan maksimum.

(18)

semata­mata untuk memperoleh keuntungan maksimum (Prayudho, 2009).

Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren

Pembangunan  ekonomi  di  Indonesia  yang  terus berkembang  telah  mengakibatkan

tingginya permintaan akan lahan. Lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga alih

fungsi lahan, terutama dari pertanian ke non pertanian tidak dapat dihindari. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Sudirja (2008),  lahan sawah dalam periode 1999 – 2001,

mengalami penurunan sebesar 63.686 Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi

ladang, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa

lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka.

Hasil   penelitian   Sudirja   (2008)   menunjukkan   pula   bahwa   sampai   tahun   2020

diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni 680.000 Ha di

Jawa, 30.000 Ha di Bali, 62.500 Ha di  Sumatera  dan 35.000 Ha di Sulawesi. Proyeksi

tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis tren.

Tren adalah salah satu peralatan statistik  yang dapat digunakan untuk memperkiraan

keadaan  dimasa  yang  akan  datang  berdasarkan  pada  datamasa lalu. Tren juga merupakan

gerakan dan data deret berkala selama beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu

arah, dimana arah tersebut bisa naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).

Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan metode

kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan dalam bentuk : Y = a + b (x).

Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Tren linear

dilihat   melalui   garis   lurus   pada   grafik   tren   yang   dibentuk   berdasarkan   data   proyeksi.

Penyimpangan tren menunjukkan besarnya kesalahan nilai proyeksi dengan data yang aktual

(19)

Analisis tren memperlihatkan kecendrungan ketersediaan lahan dalam hal ini yaitu

usahatani padi dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah serta kemungkinan pencetakan

sawah baru di masa yang akan datang. Hasil proyeksiini dapat memperkirakan kebutuhan

pangan   masyarakat   serta   kebutuhan   lain   yang   berbasis   pada   penggunaan   lahan.   Melalui

proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada

intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).

Kerangka Pemikiran

Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis. Luasan tanah

pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian

ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas

pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat sehingga

timbul alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur

dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi

tidak   lepas   dari   kepentingan   berbagai   pihak   seperti   pemerintah,   swasta   dan   komunitas

(masyarakat).  Alih  fungsi lahan  adalah  perubahan  fungsi  sebagian  atau  seluruh kawasan

lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa

dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama

di wilayah­wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan

yang   tinggi   pada   daerah   pusat   perekonomian   ataupun   yang   berada   disekitar   pusat

perekonomian   menyebabkan   tekanan   terhadap   lahan   pertanian   pada   penggunaan

nonpertanian. Tekanan terhadap lahan pertanian tersebut berwujud terhadap penyempitan

(20)

keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang.

Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah

penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor pendorong semakin meningkatnya laju

alih fungsi lahan selain petani sendiri kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup

kuat untuk mempertahankan lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi

motivasi atau faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahannya.

Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir

terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten

Nias cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak beralih fungsi adalah jenis

lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih

fungsi dilihat berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Nias yang diperoleh dari BPS

serta   berdasarkan   motivasi   petani   dalam   mempertahankan   maupun   mengalih   fungsikan

lahannya.   Proyeksi   luas   lahan   sawah   dan   produksi   padi   akan   dianilis   trennya   melalui

kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana. Hasil proyeksi ini nantinya

akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak alihfungsi terhadap kecukupan pangan di

Kabupaten  Nias  sepuluh tahun yang akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah

sekarang.

Berdasarkan   kerangka   pemikiran  diatas,  lebih   jelasnya  dapat   dilihat  pada   gambar

skema kerangka pemikiran berikut :

Luas Lahan Sawah Kab. Nias

(21)

Dampak Alih Fungsi Proyeksi Luas Lahan dan

Lahan Sawah Produksi Padi

Terhadap Kecukupan Pangan Keterangan :

: menunjukkan pengaruh

Gambar 3. Skema kerangka pemikiran

Hipotesa Penelitian

Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi bahwa kondisi

yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan datang (Tarigan, 2006).

Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas lahan sawah dan produksi beras

sepuluh   tahun   mendatang   di   Kabupaten  Nias  cenderung   menurun   dan   hipotesa   2,

diproyeksikan   pula   bahwa   dampak   alih   fungsi   lahan   sawah   terhadap   kecukupan   pangan

Gambar

Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen

Referensi

Dokumen terkait

This paper has shown new development in flight control system for multi-rotor helicopters. It is shown that a control allocation strategy based on the classical approach

The goal of CLOSE-SEARCH is to integrate in a helicopter-type unmanned aerial vehicle, a thermal imaging sensor and a multi-sensor navigation system (based on the use of a

In the recent past, the use of unmanned aerial vehicles (UAVs) has increased, which can be ascribed to technical developments of electronic components and the possibility of

Dari uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa dasar utama proses pelaksanaan likuidasi bank adalah PP Nomor 25 Tahun 1999 dan SK Direksi BI Nomor

Laporkan kepada pengawas ujian apabila terdapat lembar soal yang kurang jelas, rusak, atau tidak lengkap.. Mintalah kertas buram kepada pengawas ujian,

Pelaksanaan tindakan penelitian dilakukan dua siklus masing masing siklus terdiri dari empat kali pertemuan dengan penerapan model kooperatif tipe TGT untuk

Hasil penelitian menujukan bahwa tidak semua dalam pemanfaatan sistem informasi manajemen memiliki peran terhadap pengambilan keputusan.Alasanya pertama penggunaan SIM

As shown in following screenshot, the node displays all the available passes, render layers and scenes present in the current rendered file.. Multiple Render Layers nodes can