ANALISIS ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
DI KABUPATEN NIAS SUMATERA UTARA
Oleh :
YADESMAN TELAUMBANUA
10614031
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Lahan sudah menjadi salah satu unsur utama dalam menunjang kelangsungan
kehidupan sejak manusia pertama kali menempati bumi. Lahan berfungsi sebagai tempat manusia beraktivitas untuk mempertahankan eksistensi. Aktivitas yang pertama kali
dilakukan adalah pemanfaatan lahan untuk bercocok tanam.
Penguasaan dan penggunaan lahan mulai beralihfungsi seiring pertumbuhan populasi
dan perkembangan peradaban manusia. Hal ini akhirnya menimbulkan permasalahan
kompleks akibat pertambahan jumlah penduduk, penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta
dinamika pembangunan. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam,
berangsurangsur berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari
penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang kemudian dikenal
dengan istilah alih fungsi lahan. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan
yang serius. Implikasi alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam
kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan
kerugian sosial (Iqbal dan Sumaryanto, 2007).
Dampak alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian menyangkut dimensi
yang sangat luas. Hal itu terkait dengan aspekaspek perubahan orientasi ekonomi, sosial,
budaya, dan politik masyarakat. Arah perubahan ini secara langsung atau tidak langsung akan
berdampak terhadap pergeseran kondisi ekonomi, tata ruang pertanian, serta prioritas
Winoto, 1996).
Perubahan penggunaan lahan dapat dapat terjadi karena adanya perubahan rencana
tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan karena mekanisme pasar.
Dua hal terakhir terjadi lebih sering pada masa lampau karena kurangnya pengertian
masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai tata ruang wilayah. Alih fungsi dari
pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan
yang menekankan kepada aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik
kepada investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanah (Widjanarko, dkk, 2006).
Pertumbuhan penduduk yang cepat diikuti dengan kebutuhan perumahan menjadikan
lahanlahan pertanian berkurang di berbagai daerah. Lahan yang semakin sempit semakin
terfragmentasi akibat kebutuhan perumahan dan lahan industri. Petani lebih memilih bekerja
di sektor informal dari pada bertahan di sektor pertanian. Daya tarik sektor pertanian yang
terus menurun juga menjadikan petani cenderung melepas kepemilikan lahannya. Pelepasan
kepemilikan lahan cenderung diikuti dengan alih fungsi lahan (Gunanto, 2007).
Pertumbuhan perekonomian menuntut pembangunan infrastruktur baik berupa jalan,
bangunan industri dan pemukiman. Kondisi demikian mencerminkan adanya peningkatan
permintaan terhadap lahan untuk penggunaan nonpertanian yang mengakibatkan banyak
lahan sawah, terutama di sekitar perkotaan, mengalami alih fungsi. Alih fungsi lahan juga
dapat terjadi oleh karena kurangnya insentif pada usahatani lahan sawah yang diduga akan
menyebabkan terjadi alih fungsi lahan ke tanaman pertanian lainnya.
Permasalahan tersebut diperkirakan akan mengancam kesinambungan produksi beras
nasional. Isu alih fungsi lahan sawah perlu mendapat perhatian karena beras merupakan
bahan pangan utama. Ketergantungan pada impor beras akan semakin meningkat apabila isu
ketergantungan terhadap impor sifatnya tidak stabil dan akan menimbulkan kerawanan
pangan yang pada gilirannya akan mengancam kestabilan nasional (Ilham, dkk, 2003).
Pemilik lahan mengalihfungsikan lahan pertaniannya untuk kepentingan nonpertanian
oleh karena mengharapkan keuntungan lebih. Secara ekonomis, lahan pertanian, terutama
sawah, harga jualnya tinggi karena biasanya berada dilokasi yang berkembang. Namun, bagi
petani penggarap dan buruh tani, alih fungsi lahan menjadi bencana karena mereka tidak bisa
beralih pekerjaan. Para petani semakin terjebak dengan semakin sempitnya kesempatan kerja
sehingga akan menimbulkan masalah sosial yang pelik.
Masalah alih fungsi lahan dapat diatasi bila pemerintah daerah sangat ketat dalam hal
penataan ruang. Pemerintah harus tegas dalam melarang pembangunan perumahan dan
industri yang hendak menggunakan lahan di kawasan pertanian. Alih fungsi lahan dapat
dicegah dengan menjadikan sektor pertanian sebagai lapangan usaha yang menarik dan
bergengsi secara alami. Alih fungsi lahan yang terjadi tanpa kendali dapat menimbulkan
persoalan ketahanan pangan, lingkungan dan ketenagakerjaan (Syahyuti, 2007).
Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam sepuluh tahun terakhir terus
mengalami alih fungsi lahan, khususnya lahan pertanian. Alih fungsi ini mengakibatkan luas
lahan pertanian di Kabupaten Nias khususnya padi sawah cenderung mengalami penurunan.
Lahan yang paling banyak mengalami alih fungsi adalah jenis lahan sawah menjadi lahan
kering dan lahan non pertanian, seperti digunakan untuk bangunan, dan halhal lain
sebagainya.
Oleh karena itu, selain untuk melihat laju alih fungsi lahan penelitian ini juga
bertujuan untuk melihat proyeksi luas lahan sawah sepuluh tahun mendatang dan dampaknya
terhadap kecukupan pangan serta apa saja yang menjadi motivasi atau faktor yang
Identifikasi Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan untuk diidentifikasi berdasarkan uraian latar
belakang diatas, yaitu:
1. Bagaimana laju alih fungsi lahan sawah dalam sepuluh tahun terakhir di daerah
penelitian ?
2. Bagaimana motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalihfungsikan
lahannya di daerah penelitian ?
3. Bagaimana proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi sepuluh tahun mendatang di
daerah penelitian ?
4. Bagaimana dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan sepuluh
tahun mendatang di daerah penelitan?
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menganalisis laju alih fungsi lahan sawah dalam sepuluh tahun terakhir di
daerah penelitian.
2. Untuk mengetahui motivasi petani dalam mempertahankan lahannya ataupun
mengalihfungsikan lahannya di daerah penelitian.
3. Untuk menganalisis proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi di daerah penelitian
sepuluh tahun kedepan.
4. Untuk menganalisis dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan
TINJAUAN PUSTAKA
Manfaat Lahan Sawah
Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan
manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat
sosial. Lahan sawah memiliki fungsi yang sangat luas yang terkait dengan manfaat langsung,
manfaat tidak langsung, dan manfaat bawaan. Manfaat langsung berhubungan dengan perihal
penyediaan pangan, penyediaan kesempatan kerja, penyediaan sumber pendapatan bagi
masyarakat dan daerah, sarana penumbuhan rasa kebersamaan (gotong royong), sarana
pelestarian kebudayaan tradisional, sarana pencegahan urbanisasi, serta sarana pariwisata.
Manfaat tidak langsung terkait dengan fungsinya sebagai salah satu wahana pelestari
lingkungan. Manfaat bawaan terkait dengan fungsinya sebagai sarana pendidikan, dan sarana
untuk mempertahankan keragaman hayati (Rahmanto, dkk, 2002).
Defenisi Alih Fungsi
Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif
(masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan juga dapat
diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain disebabkan oleh faktorfaktor yang secara
garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah
jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian. Alih fungsi
lahan pertanian sulit dihindari akibat kecenderungan tersebut. Beberapa kasus menunjukkan
jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama lahan di
sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan (2005), hal tersebut
disebabkan oleh dua faktor. Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau
industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi
semakin kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan
di sekitarnya meningkat. Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang
petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku
pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya
lahanlahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) secara nasional, luas
lahan sawah kurang lebih 7,8 juta Ha, dimana 4,2 juta Ha berupa sawah irigasi dan sisanya
3,6 juta Ha berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000 Ha lahan
sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan nonpertanian. Luas lahan sawah tersebut
telah beralih fungsi menjadi perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih
fungsi penggunaan tanah lain.
Penelitian yang dilakukan Irawan (2005) menunjukkan bahwa laju alih fungsi lahan di
luar Jawa (132 ribu Ha per tahun) ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Pulau
Jawa (56 ribu ha per tahun). Sebesar 58,68 persen alih fungsi lahan sawah tersebut ditujukan
untuk kegiatan nonpertanian dan sisanya untuk kegiatan bukan sawah. Alih fungsi lahan
Winoto (2005) mengemukakan bahwa lahan pertanian yang paling rentan terhadap
alih fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh :
1. Kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada
umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan
penduduk atas lahan juga lebih tinggi.
2. Daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan.
3. Akibat pola pembangunan di masa sebelumnya. Infrastruktur wilayah persawahan pada
umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering.
4. Pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya
cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan
topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya dominan areal
persawahan.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah menjadi perhatian semua pihak.
Penelitian yang dilakukan Winoto (2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 Ha sawah
beralih fungsi ke penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Hasil penelitian
tersebut juga menunjukkan total lahan sawah beririgasi seluas 7,3 juta Ha dan hanya sekitar
4,2 juta Ha (57,6%) yang dapat dipertahankan fungsinya sedang sisanya sekitar 3,01 juta HA
(42,4%) terancam beralih fungsi ke penggunaan lain.
FaktorFaktor Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Menurut Lestari (2009) proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan
nonpertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang
menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan,
demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal.
Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosialekonomi rumah
tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan.
Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah
yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada
aspekregulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan
hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ilham, dkk (2003) diketahui faktor penyebab
alih fungsi dari sisi eksternal dan internal petani, yakni tekanan ekonomi pada saat krisis
ekonomi. Hal tersebut menyebabkan banyak petani menjual asetnya berupa sawah untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang berdampak meningkatkan alih fungsi lahan sawah dan
makin meningkatkan penguasaan lahan pada pihakpihak pemilik modal. Sawah tadah hujan
paling banyak mengalami alih fungsi (319 ribu Ha) secara nasional. Lahan sawah di Jawa
dengan berbagai jenis irigasi mengalami alih fungsi, masingmasing sawah tadah hujan 310
ribu Ha, sawah irigasi teknis 234 ribu Ha, sawah irigasi semi teknis 194 ribu Ha dan sawah
irigasi sederhana 167 ribu Ha. Sementara itu di Luar Jawa alih fungsi hanya terjadi pada
sawah beririgasi sederhana dan tadah hujan. Tingginya alih fungsi lahan sawah beririgasi di
Jawa makin menguatkan indikasi bahwa kebijakan pengendalian alih fungsi lahan sawah
yang ada tidak efekttif.
Menurut Wicaksono (2007), faktor lain penyebab alih fungsi lahan pertanian terutama
1. Rendahnya nilai sewa tanah (land rent); lahan sawah yang berada disekitar pusat
pembangunan dibandingkan dengan nilai sewa tanah untuk pemukiman dan industri.
2. Lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.
3. Semakin menonjolnya tujuan jangka pendek yaitu memperbesar pendapatan asli
daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kelestarian (sustainability) sumberdaya alam
di era otonomi.
Produksi padi secara nasional terus meningkat setiap tahun, tetapi dengan laju
pertumbuhan yang cenderung semakin menurun. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan
nonpertanian karena pesatnya pembangunan dianggap sebagai salah satu penyebab utama
melandainya pertumbuhan produksi padi (Bapeda, 2006).
Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan nonpertanian dapat berdampak terhadap
turunnya produksi pertanian, serta akan berdampak pada dimensi yang lebih luas dimana
berkaitan dengan aspekaspek perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik
masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rahmanto, dkk (2002), ditinjau dari
aspek produksi, kerugian akibat alih fungsi lahan sawah di Jawa selama kurun waktu 18
tahun (19811998) diperkirakan telah menyebabkan hilangnya produksi beras sekitar 1,7 juta
ton/tahun atau sebanding dengan jumlah impor beras tahun 19841997 yang berkisar antara
1,5 2,5 juta ton/tahun.
Alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan hilangnya kesempatan petani
memperoleh pendapatan dari usahataninya. Dalam penelitian Rahmanto, dkk (2002)
mencapai Rp 1,5 Rp 2 juta/Ha/tahun dan kehilangan kesempatan kerja mencapai kisaran
300 480 HOK/Ha/tahun. Perolehan pendapatan pengusaha traktor dan penggilingan padi
juga ikut berkurang, masingmasing sebesar Rp 46 Rp 91 ribu dan Rp 45 Rp 114
ribu/Ha/tahun akibat terjadinya alih fungsi lahan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) terkonsentrasinya
pembangunan perumahan dan industri di Pulau Jawa, di satu sisi menambah terbukanya
lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga
menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara
lain :
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan dan timbulnya kerawanan pangan serta
mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian.
Apabila tenaga kerja tidak terserap seluruhnya akan meningkatkan angka
pengangguran.
2. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi tidak
optimal pemanfaatannya.
3. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun industri,
sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan mengakibatkan
tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah
tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti penjarahan tanah.
4. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa sedangkan
pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di
Kalimantan Tengah, tidak menunjukkan dampak positif.
dampak negatif seperti mengurangi produksi beras, akan tetapi dapat pula membawa dampak
positif terhadap ketersediaan lapangan kerja baru bagi sejumlah petani terutama buruh tani
yang terkena oleh alih fungsi tersebut serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Irawan dan Friyatno (2005) proses alih fungsi lahan pertanian pada tingkat
mikro dapat dilakukan oleh petani sendiri atau dilakukan pihak lain. Alih fungsi lahan yang
dilakukan oleh pihak lain tersebut biasanya berlangsung melalui pelepasan hak pemilikan
lahan petani kepada pihak lain yang kemudian diikuti dengan, pemanfaatan lahan tersebut
untuk kegiatan non pertanian. Dampak alih fungsi lahan pertanian terhadap masalah
pengadaan pangan pada dasarnya terjadi pada tahap kedua. Namun tahap kedua tersebut
secara umum tidak akan terjadi tanpa melalui tahap pertama karena sebagian besar lahan
pertanian dimiliki oleh petani. Oleh karena itu pengendalian pemanfaatan lahan untuk
kepentingan pengadaan pangan pada dasarnya dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu:
1. Mengendalikan pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain, dan
2. Mengendalikan dampak alih fungsi lahan tanaman pangan tersebut terhadap
keseimbangan pengadaan pangan.
Aspek Kebijakan Dalam Alih Fungsi Lahan
Berbagai kebijakan yang berkaitan dengan masalah pengendalian alih fungsi lahan
sawah sudah banyak dibuat. Akan tetapi, hingga kini implementasinya belum berhasil
diwujudkan secara optimal. Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) hal ini antara lain karena
kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian
alih fungsi lahan sawah tersebut. Terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan
mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi lahan
tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian
lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturanperaturan pengendaliah alih fungsi lahan
baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaanperusahaan atau
badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian
ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke
nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh
peraturanperaturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara
individual diperkirakan sangat luas.
3. Kendala Konsistensi Perencanaan. RTRW yang kemudian dilanjutkan dengan
mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian
untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun dalam
kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk mengalih fungsikan
lahan sawah beririgasi teknis menjadi nonpertanian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Widjanarko, dkk (2006) dalam konteks
pembangunan di Pulau Jawa, jumlah keluarga atau rumah tangga yang hidup dari sektor
nonpertanian mencapai 100%. Beberapa faktor penting yang berpengaruh pada perubahan
pola pemanfaatan lahan pertanian di Pulau Jawa yaitu faktor privatisasi pembangunan
kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi
investasi dan kemudahan perizinan. Tiga kebijakan nasional yang berpengaruh langsung
terhadap alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian ialah :
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan Presiden
melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri dan memilih lokasinya
sesuai dengan mekanisme pasar. Dampak kebijakan ini sangat berpengaruh pada
peningkatan kebutuhan lahan sejak tahun 1989, yang telah berorientasi pada lokasi
subur dan menguntungkan dari ketersediaan infrastruktur ekonomi.
2. Kebijakan pemerintah lainnya yang sangat berpengaruh terhadap perubahan fungsi
lahan pertanian ialah kebijakan pembangunan permukiman skala besar dan kota baru.
Akibat ikutan dari penerapan kebijakan ini ialah munculnya spekulan yang
mendorong minat para petani menjual lahannya.
Sehingga terlihat bahwa sering sekali terjadi ketidakserasian antar kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi alih fungsi yang justru sering sekali justru
meningkatkan laju alih fungsi lahan terutama lahan sawah.
Teori Lokasi
Mekanisme perubahan penggunaan lahan melibatkan kekuatankekuatan pasar, sistem
administratif yang dikembangkan pemerintah, dan kepentingan politik. Pemerintah di
sebagian besar negara di dunia pada kenyataannya memegang peran kunci dalam alokasi
lahan seperti pajak, zonasi (zoning), maupun kebijakan langsung seperti kepemilikan lahan
misalnya hutan, daerah lahan tambang, dan sebagainya (Prayudho, 2009).
Model klasik dari alokasi lahan adalah model Ricardo (Ricardian Rent). Menurut
model ini, alokasi lahan akan mengarah pada penggunaan yang menghasilkan surplus
ekonomi (land rent) yang lebih tinggi, yang tergantung pada derajat kualitas lahan yang
ditentukan oleh kesuburannya serta kelangkaan lahan. Menurut pendekatan von Thunen nilai
land rent bukan hanya ditentukan oleh kesuburannya tetapi merupakan fungsi dari lokasinya.
lahan yang kualitasnya homogen. Tataguna lahan yang dihasilkan dapat dipresentasikan
sebagi cincincincin lingkaran yang bentuknya konsentris yang mengelilingi kota tersebut.
Pendekatan von Thunen mencoba untuk menerangkan berbagai jenis pertanian dalam arti
luas yang berkembang disekeliling daerah perkotaan yang merupakan pasar komoditi
Keterangan : Land rent
A : Pusat Pasar B : Industri C : Perumahan
Kurva A
Kurva B Kurva C
Kurva D
A
B C
D
Jarak dari pasarSumber : Tarigan, 2006
Gambar 2. Diagram cincin dan perbedaan kurva sewa tanah dari Von Thunen
Cincin A merepresentasikan aktivitas penggunaan lahan untuk jasa komersial (pusat
kota). Land rent pada wilayah ini mencapai nilai tertinggi. Cincincincin B, C, dan D masing
masing merepresentasikan penggunaan lahan untuk industri, perumahan, dan pertanian.
Meningkatnya land rent secara relatif akan meningkatkan nilai tukar (term of trade) jasajasa
komersial sehingga menggeser kurva land rent A ke kanan dan sebagian dari area cincin B
(kawasan industri) terkonversi menjadi A. Demikian seterusnya, sehingga konversi lahan
pertanian (cincin D) ke peruntukan pemukiman (cincin C) juga terjadi. Dalam sistem pasar,
alih fungsi lahan berlangsung dari aktivitas yang menghasilkan land rent lebih rendah ke
aktivitas yang menghasilkan land rent lebih tinggi ( Tarigan, 2006).
Alih fungsi lahan sawah tidak terlepas dari situasi ekonomi secara keseluruhan.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan beberapa sektor ekonomi tumbuh dengan
cepat sehingga sektor tersebut membutuhkan lahan yang lebih luas. Lahan sawah yang
lain seperti pemukiman, industri manufaktur dan fasilitas infrastruktur. Hal ini terjadi karena
land rent persatuan luas yang diperoleh dari aktivitas baru lebih tinggi daripada yang
dihasilkan sawah (Prayudho, 2009).
Hubungan antara nilai land rent dan alokasi sumber daya lahan diantara berbagai
kompetisi penggunaan sektor komersial dan strategis, mempunyai hubungan yang erat.
Sektor tersebut berada pada kawasan strategis dengan land rent yang tinggi, sebaliknya
sektor yang kurang mempunyai nilai komersial nilai rentnya semakin kecil. Economic rent
sama dengan surplus ekonomi yang merupakan kelebihan nilai produksi total diatas biaya
total. Suatu lahan sekurangkurangnya memiliki empat jenis rent, yaitu :
1. Ricardian rent, menyangkut fungsi kualitas dan kelangkaan lahan.
2. Locational rent, menyangkut fungsi eksesibilitas lahan.
3. Ecological rent, menyangkut fungsi ekologi lahan.
4. Sosiological rent, menyangkut fungsi sosial dari lahan.
Umumnya land rent yang mencerminkan mekanisme pasar hanya mencakup
ricardian rent dan locational rent. Ecological rent dan sosiological rent tidak sepenuhnya
terjangkau mekanisme pasar (Prayudho, 2009).
Alih fungsi lahan sawah yang terjadi ditentukan juga oleh pertumbuhan sektor
tanaman pangan, dalam hal ini mengenai nilai hasil sawah. Nilai inilah yang menjadi dasar
individu mengalihfungsikan lahannya. Menurut teori oportunitas yang menjadi dasar asumsi
Wiliamson bahwa oportunisme merupakan tindakan mengutamakan kepentingan diri dengan
menggunakan akal untuk berusaha mengeksploitasi situasi demi keuntungan (Priyadi, 2009). Hal
tersebut sesuai dengan teori lokasi neo klasik yang menyatakan bahwa substitusi diantara
berbagai penggunaan faktor produksi dimungkinkan agar dicapai keuntungan maksimum.
sematamata untuk memperoleh keuntungan maksimum (Prayudho, 2009).
Proyeksi Alih Fungsi Lahan dengan Analisis Tren
Pembangunan ekonomi di Indonesia yang terus berkembang telah mengakibatkan
tingginya permintaan akan lahan. Lahan merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga alih
fungsi lahan, terutama dari pertanian ke non pertanian tidak dapat dihindari. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Sudirja (2008), lahan sawah dalam periode 1999 – 2001,
mengalami penurunan sebesar 63.686 Ha untuk padi sawah, sebesar 231.973 Ha untuk padi
ladang, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 Ha yang menunjukkan betapa
lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka.
Hasil penelitian Sudirja (2008) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020
diperkirakan akan terjadi alih fungsi lahan sawah seluas 807.500 Ha yakni 680.000 Ha di
Jawa, 30.000 Ha di Bali, 62.500 Ha di Sumatera dan 35.000 Ha di Sulawesi. Proyeksi
tersebut di teliti melalui suatu metode proyeksi dengan analisis tren.
Tren adalah salah satu peralatan statistik yang dapat digunakan untuk memperkiraan
keadaan dimasa yang akan datang berdasarkan pada datamasa lalu. Tren juga merupakan
gerakan dan data deret berkala selama beberapa tahun dan cenderung menuju pada suatu
arah, dimana arah tersebut bisa naik, turun maupun mendatar (Ibrahim, 2009).
Perhitungan tren linear menggunakan analisis regresi linier sederhana dengan metode
kuadrat terkecil (least square method), yang dapat dinyatakan dalam bentuk : Y = a + b (x).
Proyeksi ini menjelaskan hubungan antara satu variabel dengan variabel lainnya. Tren linear
dilihat melalui garis lurus pada grafik tren yang dibentuk berdasarkan data proyeksi.
Penyimpangan tren menunjukkan besarnya kesalahan nilai proyeksi dengan data yang aktual
Analisis tren memperlihatkan kecendrungan ketersediaan lahan dalam hal ini yaitu
usahatani padi dan kecenderungan alih fungsi lahan sawah serta kemungkinan pencetakan
sawah baru di masa yang akan datang. Hasil proyeksiini dapat memperkirakan kebutuhan
pangan masyarakat serta kebutuhan lain yang berbasis pada penggunaan lahan. Melalui
proyeksi ini dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di masa akan datang apabila tidak ada
intervensi terhadap kecenderungan yang ada saat ini (Ibrahim, 2009).
Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan sumberdaya strategis yang memiliki nilai ekonomis. Luasan tanah
pertanian tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah lahan pertanian
ini merupakan akibat dari adanya peningkatan jumlah dan aktivitas penduduk serta aktivitas
pembangunan. Hal tersebut mengakibatkan permintaan akan lahan pun meningkat sehingga
timbul alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian seperti perumahan, industri, infrastruktur
dan lain sebagainya untuk memenuhi permintaan yang ada. Alih fungsi lahan yang terjadi
tidak lepas dari kepentingan berbagai pihak seperti pemerintah, swasta dan komunitas
(masyarakat). Alih fungsi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan
lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang membawa
dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.
Masalah alih fungsi lahan pertanian terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama
di wilayahwilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Laju alih fungsi lahan
yang tinggi pada daerah pusat perekonomian ataupun yang berada disekitar pusat
perekonomian menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian pada penggunaan
nonpertanian. Tekanan terhadap lahan pertanian tersebut berwujud terhadap penyempitan
keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang.
Pembukaan areal baru yang sangat terbatas dan tidak sebanding dengan peningkatan jumlah
penduduk yang terus meningkat juga menjadi faktor pendorong semakin meningkatnya laju
alih fungsi lahan selain petani sendiri kurang memiliki motivasi atau keinginan yang cukup
kuat untuk mempertahankan lahan sawahnya. Kondisi atau dorongan ekonomi bisa menjadi
motivasi atau faktor pendorong petani untuk mengalihfungsikan lahannya.
Kabupaten Nias adalah salah satu Kabupaten yang dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir
terus mengalami alih fungsi lahan yang mengakibatkan luas lahan pertanian di Kabupaten
Nias cenderung mengalami penurunan. Lahan yang paling banyak beralih fungsi adalah jenis
lahan sawah, yang beralih fungsi menjadi lahan kering serta lahan non pertanian. Laju alih
fungsi dilihat berdasarkan data luas lahan sawah di Kabupaten Nias yang diperoleh dari BPS
serta berdasarkan motivasi petani dalam mempertahankan maupun mengalih fungsikan
lahannya. Proyeksi luas lahan sawah dan produksi padi akan dianilis trennya melalui
kecenderungan laju alih fungsi secara regresi linier sederhana. Hasil proyeksi ini nantinya
akan menjadi alat analisis untuk melihat dampak alihfungsi terhadap kecukupan pangan di
Kabupaten Nias sepuluh tahun yang akan datang dengan kondisi alih fungsi lahan sawah
sekarang.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar
skema kerangka pemikiran berikut :
Luas Lahan Sawah Kab. Nias
Dampak Alih Fungsi Proyeksi Luas Lahan dan
Lahan Sawah Produksi Padi
Terhadap Kecukupan Pangan Keterangan :
: menunjukkan pengaruh
Gambar 3. Skema kerangka pemikiran
Hipotesa Penelitian
Proyeksi tren linier dengan metode analisis regresi membuat asumsi bahwa kondisi
yang terjadi dimasa lampau akan terus berlanjut ke masa yang akan datang (Tarigan, 2006).
Oleh karena itu dapat ditarik hipotesa 1, diproyeksi luas lahan sawah dan produksi beras
sepuluh tahun mendatang di Kabupaten Nias cenderung menurun dan hipotesa 2,
diproyeksikan pula bahwa dampak alih fungsi lahan sawah terhadap kecukupan pangan