• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Pembelajaran Matematika Realistik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Meningkatkan Kecerdasan Emosional Melalui Pembelajaran Matematika Realistik"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

65

Melalui Pembelajaran Matematika Realistik

Hasratuddin

Matematika FMIPA Universitas Negeri Medan Korespondensi: Jl. Sriwijaya No.2, Medan

Email: siregarhasratuddin@yahoo.com

Abstract: This study aimed to describe the difference increasing emotional intelligence of students based on realistic mathematics approach with conventional. The sample in this study of the eighth grade junior high school students in Medan were taken randomly from the school ranked high, medium and low based on the National Exam grades issued by Diknas Year 2008. Instrument used in this study was emotional intelligence scale. Results showed that 1) there is a difference in improving students' emotional intelligence among students who were given realistic approach to learning math usual, 2) there is no difference in improving emotional intelligence of students based on school ratings and gender, 3) there is no interaction between learning approach with the school rankings to increase emotional intelligence of students, 4) there is no interaction between learning approach with the gender to increase emotional intelligence of students, and 5) students have a positive response to the Realistic Mathematics Education. In general, realistic mathematics instruction can enhance emotional intelligence of students.

Key words : intelligence, emotion, learning, math, realistic

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan matematika realistik dengan pembelajaran biasa. Sampel dalam penelitian ini diambil secara acak siswa kelas VIII SMP level tinggi, sedang dan rendah berdasarkan peringkat yang dikeluarkan Badan Akreditasi Nasional Tahun 2008 di Kota Medan. Instrument yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala kecerdasan emosional. Melalui analisis statistic dengan uji-t dan deskriptif, hasil penelitian menunjukkan; 1) terdapat perbedaan peningkatan kecerdasan emosional antara siswa yang diberi pembelajaran matematika melalui pendekatan matematika realistik dengan siswa yang diberi pembelajaran biasa, 2) tidak terdapat perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan matematika realistik antara siswa berdasarkan level sekolah maupun berdasarkan gender, 3) tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan level sekolah terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa, 4) tidak terdapat interaksi antara pembelajaran dengan perbedaan gender terhadap peningkatan ke-cerdasanemosional siswa, dan 5) siswa mempunyai respon positif terhadap pembelajaran mate-matika melalui pendekatan matemate-matika realistic. Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran matematika melalui pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa SMP di Kota Medan.

Kata kunci: kecerdasan, emosi, pembelajaran, matematika, realistik

Fakta menunjukkan bahwa praktek dalam proses pembelajaran di sekolah-sekolah yang berlang-sung selama ini, dan hampir di semua jenjang pendidikan di Indonesia masih berkonsentrasi pada kemampuan otak kognitif tingkat pemaham-an ypemaham-ang cenderung pada hafalpemaham-an, sedpemaham-angkpemaham-an ke-mampuan ranah afektif termasuk didalamnya kecerdasan emosi, belum ditumbuhkan dan ham-pir tidak dikembangkan secara serius dan

sistem-atis (Sidi, 2003; Rasyada, 2007; Arifin, 2008; Safaria, 2009). Seperti, hasil observasi langsung yang dilakukan pada sekolah-sekolah SMP di Medan, menunjukkan bahwa proses pembelajaran yang berlangsung adalah satu arah dan kurang melibatkan interaksi dan aktivitas mental siswa. Hal ini terlihat, guru lebih aktif memberikan informasi atau menjelaskan materi yang diikuti dengan penulisan rumus dan pemberian contoh

(2)

soal yang dikerjakan secara bersama dengan do-minasi guru, kemudian diakhiri dengan pemberian latihan. Pada saat pengajaran berlangsung banyak siswa yang melakukan pekerjaan lain seperti me-ngerjakan tugas mata pelajaran lain, dan banyak siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru bahkan ada siswa yang ngobrol, tertidur, menjerit VDPELO PHQJDWDNDQ ³ZDNWX«X´ \DQJ EHUPDNQD waktu belajar matematika sudah atau maunya selesai). Selain itu, jika ada siswa yang memberi-kan jawaban yang salah, siswa lain menerta-ZDNDQQ\D GDQ PHPEHUL FDFLDQ VHSHUWL ³Valah NDX´ ERGRK NDOL NDX´ GDUL VHNRODK PDQD NDX GDQ lain-lain ucapan sejenisnya. Di samping itu, guru sering memberikan hukuman atau marah kepada siswa yang tidak dapat menjawab soal yang dibe-rikannya, seperti cara yang dibuat guru. Sehingga, tidak heran apabila hasil wawancara yang dilaku-kan kepada beberapa siswa menunjukdilaku-kan bahwa mereka takut, cemas dan merasa khawatir saat waktu belajar matematika di sekolah, dan siswa cenderung berpikir atau berperasaan tidak baik terhadap matematika. Sedangkan, hasil wawan-cara terhadap guru matematika yang bersangkut-an, diperoleh beberapa informasi penting, antara lain; kemampuan kognitif matematika siswa pada umumnya rendah, sedangkan kemampuan domain afektif dan psikomotor siswa belum pernah di-ukur.

Menurut informasi lain yang diperoleh dari sekolah-sekolah, guru-guru belum banyak tahu tentang model-model pembelajaran yang me-libatkan aktivitas siswa, sehingga mereka hanya menggunakan pembelajaran secara konvensional. Pada hal, banyak model-model pembelajaran yang telah ditemukan para ahli dan peneliti yang dapat melibatkan aktivitas siswa baik secara fisik mau-pun mental, seperti model pembelajaran problem solving, pembelajaran berbasis masalah, pembel-ajaran kontekstual, dan lain-lain, walaupun belum ditemukan model pembelajaran matematika yang secara khusus memperhatikan kemampuan ber-pikir kritis dan kecerdasan emosional disamping peningkatan hasil belajar matematika siswa. Se-hingga, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa salah satu faktor yang mengakibatkan kurangnya

kemampuan siswa dalam matematika antara lain disebabkan cara mengajar yang dilakukan guru masih menggunakan pembelajaran konvensional, lebih menekankan pada latihan mengerjakan soal-soal rutin atau drill dan kurang melibatkan aktivitas mental siswa. Konsekuensi dari pola pembelajaran konvensional dan latihan menger-jakan soal secara drill mengakibatkan siswa kurang aktif dan kurang memahami konsep maupun nilai-nilai matematis. Kondisi ini menye-babkan hasil pendidikan sekolah kita hanya mampu menghasilkan insan-insan yang kurang memiliki kesadaran diri, kurang berpikir kritis, kurang kreatif, kurang mandiri, dan kurang mampu berkomunikasi secara luwes dengan ling-kungan pembelajaran atau kehidupan sosial ma-syarakat. Sehingga, tidak heran bila dalam kehi-dupan masyarakat, sebagai refleksi prilaku dari sekolah, sering terjadi konflik baik secara hori-zontal maupun secara vertikal. Hal ini sesuai de-ngan pernyataan Sidi (2003) yang mengatakan bahwa perilaku dan kebiasaan dalam kelas atau sekolah mencerminkan perilaku dalam kehidupan di masyarakat dan bernegara, karena anak sampai seusia remaja lebih banyak menghabiskan wak-tunya di sekolah. Dengan demikian, jika perma-salahan-permasalahan atau konflik-konflik yang dibiasakan diselesaikan di sekolah dengan pikiran secara kritis dan kecerdasan emosional yang baik, maka sudah tentu permasalahan atau konflik da-lam kehidupan, baik individu maupun dada-lam ma-syarakat tidak akan berakhir secara brutal atau anarkis. Oleh karenanya, perilaku dan kebiasaan bertindak dengan berpikir kritis dan kecerdasan emosional dalam proses pembelajaran di sekolah perlu ditemulakukan, sehingga siswa memiliki kemampuan yang memadai seperti memiliki moralitas yang tinggi serta penuh rasa percaya diri.

Kecerdasan emosional adalah kemampu-an seseorkemampu-ang untuk mengendalikkemampu-an emosi dirinya sendiri dan orang lain, membedakan satu emosi dengan lainnya dan menggunakan informasi ter-sebut untuk menuntun proses berpikir serta peri-laku seseorang. Sedangkan Cooper dan Ayman Sawaf (1997) mengatakan bahwa kecerdasan

(3)

emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Sehingga, kecerdasan emosional merupakan kebutuhan vital yang harus dimiliki, dan tuntutan dasar sebagai mahluk so-sial, karena dapat menghindarkan seseorang dari dehumanisasi dan demoralisasi, serta dapat mem-bangun hubungan baik dengan orang lain. Kecer-dasan emosional yang baik dapat membentuk sikap-peULODNX ³PHPDKDPL EHUDUWL PHmaafkan se-gaODQ\D´ Jadi, meningkatkan kecerdasan emosi-onal sangat perlu dan urgen untuk dikembangkan terlebih pada masa sekarang yang penuh dengan permasalahan-permasalahan atau tantangan-tan-tangan hidup. Dengan demikian, tidak berlebihan apabila disektor pendidikan mengharuskan untuk mempersiapkan peserta didik atau generasi pene-rus bangsa untuk menjadi orang-orang yang me-miliki pemikiran yang rasional, jujur dan berma-tabat, sehingga mampu menghadapi berbagai tan-tangan dan dapat bertahan hidup secara manu-siawi dengan penuh rasa percaya diri. Hal ini se-suai dengan tujuan umum diberikan matematika dijenjang persekolahan yaitu mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan kea-daan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berubah dan berkembang melalui latihan bertin-dak atas dasar pemikiran secara logis, kritis, cer-mat, jujur, efektif dan dapat menggunakan pola pikir matematis dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdiknas, 2004).

Matematika merupakan ilmu dasar yang sangat penting dan berguna dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam menunjang pemba-ngunan sumber daya manusia, memuat sarana berpikir, bersikap dan bertindak. Sehingga, mate-matika perlu dipelajari setiap orang. Bell (1981) mengatakan bahwa matematika dapat digunakan untuk menyusun pemikiran yang jelas, teliti, tepat dan taat asas (konsisten) melalui latihan menyele-saikan masalah yang bersifat pedagogi. Dengan demikian, matematika merupakan sarana untuk dapat menumbuh kembangkan pola pikir logis, kritis dan sistematis. Selanjutnya, Mason (dalam

Tall, 1991) mengatakan bahwa proses pembuktian dan penyelesaian masalah yang dilakukan siswa melalui tahapan memahami fokus permasalahan, merencanakan, menerapkan aturan dan menguji kembali, akan membentuk sikap meyakinkan diri-nya dan orang lain. Hal ini jelas merupakan tun-tunan sangat tinggi yang tidak mungkin bisa dicapai hanya melalui hafalan, latihan penyelesai-an soal ypenyelesai-ang bersifat rutin, serta proses pembela-jaran biasa. Dengan demikian, yang menjadi per-tanyaan VHODQMXWQ\D DGDODK µEDJDLPDQD nilai-nilai matematis itu dimiliki oleh setiap individu? Per-tanyaan ini berkaitan dengan bagaimana model pembelajaran matematika tersebut dilakukan se-hingga dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan afektif siswa?

Berkaitan dengan pengajaran matematika yang sekarang berlangsung di sekolah-sekolah, Atwood (1990) mengatakan bahwa pola pengajar-an mekpengajar-anistik atau ypengajar-ang biasa disebut pengajarpengajar-an tradisional atau konvensional, yaitu pengajaran yang berlangsung satu arah, dimana guru lebih aktif menjelaskan dan memberi informasi, tidak akan membantu siswa mengembangkan keteram-pilan berpikir dan kecerdasan emosional yang baik. Salah satu ciri anak yang tidak memiliki ke-cerdasan emosional yang baik dalam belajar mate-matika adalah anak kurang bergairah atau tidak bersemangat, tidak kritis dan hanya memikirkan dan berfokus pada hasil atau jawab akhir (Skovs-mose, 1994). Suatu fakta umum menunjukkan bahwa banyak siswa sekolah menengah dalam menyelesaikan masalah bentuk konteks hanya mencari bilangan-bilangan yang terdapat pada konteks kemudian mengoperasikan bilangan ter-sebut. Sehingga, tidak jarang anak-anak dalam menyelesaikan masalah konteks matematis de-ngan bertanya dikalikan ya?, atau dibagikan ya?, atau ditambahkan ya?, dan lain pertanyaan seje-nisnya. Di samping itu, khususnya dalam matema-tika, banyak siswa berasumsi bahwa semua masa-lah harus ada jawab dan tunggal. Hal ini, menurut Skovsmose (1994) sebagai ciri anak yang kurang memiliki kecerdasan emosional yang baik ter-hadap proses penyelesaian masalah matematis. Misalnya dalam penelitian Greer (1997) dan

(4)

Hasratuddin (2005) terhadap penyelesaian siswa SMP tentang masalah konteks;

Di sebuah lapangan tempat ternak terdapat 125 ekor kambing yang digembala pak Som-at dengan 5 ekor anjingnya. Berapakah usia si pengembala?

Beberapa siswa memberikan jawaban seba-gai berikut:

125 + 5 = 130..., ini terlalu besar, dan 125 - 5 = 120...., masih terlalu besar...sekarang 125 : 5 = 25..., ini baru cocok.

Sehingga, siswa memberikan jawaban, saya kira si pengembala berusia 25 tahun.

Oleh karena itu, dalam membangkitkan semangat atau dorongan hati berbuat untuk me-nyelesaikan masalah selalu diperlukan kecerdasan emosi yang baik, terlebih dalam bidang matema-tika yang memiliki fungsi khusus terhadap penyelesaikan masalah (problem solving) (Piaget, 1974). Sehubungan dengan itu, maka ada suatu pertanyaan yang mendasar yang perlu dipertim-bangkan, yaitu bagaimana matematika dapat di-ajarkan dengan lebih baik, bagaimana anak-anak bisa didorong untuk tertarik dan berminat pada matematika, bagaimana cara sesungguhnya anak-anak belajar matematika, dan apa yang merupa-kan nilai matematis bagi mereka?

Suatu paradigma baru terhadap pembel-ajaran adalah menghubungkan belajar dan berpi-kir serta mengembangkan sikap kepribadian. Di-antara pandangan tersebut, Glaser (dalam McGre-gor, 2007) mengatakan bahwa pembelajaran matematika di sekolah-sekolah perlu menghu-bungkan belajar dan berpikir pada ranah yang spesifik, seperti pengembangan sikap yang meli-puti kecerdasan emosional. Sedangkan pendapat lain, Nelissen (2005) mengatakan bahwa penga-jaran matematika sekarang ini sudah saatnya ber-fokus pada keterampilan berpikir dan refleksi bel-ajar, interaksi dan pengembangan tentang konsep-konsep berpikir spesifik, dan mengembangkan konsep emosional (Morgan, Evans &Tsatsaroni, 2003). Hal ini menjadi dasar dan pertimbangan akan perubahan dalam proses pembelajaran ma-tematika di sekolah, tidak lagi hanya menekankan

pada pengembangan ranah kognitif semata, tetapi perlu melibatkan sikap emosional.

Banyak gagasan-gagasan para pakar yang mengusulkan bentuk pendidikan dan pengajaran yang harus dilakukan pada abad-21 untuk me-ningkatkan kualitas berpikir dan bersikap sosial interaktif siswa, yaitu pembelajaran yang mem-perhatikan perpaduan intelektual kognitif dan kecedasan emosional siswa. Antara lain, Covey (2008), menyebutkan bahwa pola pembelajaran yang mampu mengembangkan kecerdasan emo-sional dan berpikir anak adalah pola pembelajaran yang bernuansa sosial, yaitu pola pembelajaran yang melibatkan masyarakat belajar secara inter-aktif. Sedangkan, Oleinik T. (2003) mengatakan bahwa proses pembelajaran yang dapat mening-katkan kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa adalah pembelajaran berpusat pada siswa (sudent centered) dan berlangsung da-lam konteks sosial. Selanjutnya, Treffers, de Moor dan Feijs (dalam Goffree, F, 1995) menga-takan bahwa ada tiga pilar proses pembelajaran matematika dalam membangun pola pikir mate-matis dan kecerdasan interpersonal siswa, yaitu pembelajaran yang bersifat konstruktif, interaktif dan reflektif. Pembelajaran bersifat konstruktif maksudnya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuannya melalui permasalahan konteks-tual atau tantangan yang diberikan. Pembelajaran bersifat interaktif maksudnya adalah siswa aktif secara sosial-interaktif dalam proses pembelajaran dalam menemukan isi pengetahuan. Sedangkan pembelajaran bersifat reflektif adalah proses umpan balik terhadap hasil berpikir yang dila-kukan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa belajar matematika harus merupakan proses aktif seperti menyelidiki, menjustifikasi, mengeksplo-rasi, menggambar, mengkonstruksi, mengguna-kan, menerangmengguna-kan, mengembangkan dan mem-buktikan yang berlangsung secara sosial interaktif dan reflektif. Sehingga, pengajaran yang dilaku-kan tidak hanya bertujuan agar siswa mudah memahami pelajaran yang dipelajarinya, akan tetapi harus dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa.

(5)

Salah satu pembelajaran yang mengacu pada proses pembelajaran yang memuat unsur kon-struktif, interaktif dan reflektif adalah pembelajar-an matematika realistik, ypembelajar-ang di negeri asalnya, Belanda, disebut Realistic Mathematics Education

(RME) dan telah berkembang sejak tahun 1970-an. Adapun filosofiyang mendasari pembelajaran matematika realistik adalah bahwa matematika dipandang sebagai aktivitas manusia (Freuden-thal,1991; Treffers & Goffre, 1985; Gravemeijer, 1994; Moor, E. 1994; de Lange, 1996). Sehingga matematika tersebut harus tidak diberikan kepada VLVZD GDODP EHQWXN µKDVLO-MDGL¶ PHODLQNDQ VLVZD harus mengkonstruk sendiri isi pengetahuan me-lalui penyelesaian masalah-masalah kontekstual secara interaktif, baik secara informal maupun se-cara formal, sehingga mereka menemukan sendiri atau dengan bantuan orang dewasa/guru (guided reinvention), apakah jawaban mereka benar atau salah. RME menggabungkan pandangan tentang

apa itu matematika, bagaimana siswa belajar

matematika, dan bagaimana matematika harus diajarkan. Sehingga, Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi ( pas-sive receivers of ready-made mathematics). Me-nurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai situasi dan kesem-patan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematis ke tingkat yang lebih formal. Model-model yang muncul dari aktivitas matematis siswa dapat men-dorong terjadinya interaksi di kelas, sehingga mengarah pada level berpikir matematik yang lebih tinggi dan demokrasi belajar yang ber-makna. Jadi, pembelajaran matematika realistik adalah merupakan pembelajaran yang melibat- kan siswa secara aktif baik fisik maupun mental (student centered learning), dan bersifat demo-kratis, sehingga mempunyai profil lebih baik da-lam meningkatkan kecerdasan emosional siswa.

Sejak tahun 2001, Indonesia, mulai meng-adaptasi dan menerapkan RME di beberapa seko-lah tingkat SD/MI, dan diberi nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Hal ini disebabkan konsep RME sejalan dengan kebutuh-an untuk memperbaiki pendidikkebutuh-an matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagai-mana meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan bagaimana mengembangkan daya nalar yang bersifat demokratis. Beberapa hasil penelitian dalam pembelajaran matematika mela-lui pendekatan matematika realistik menemukan bahwa penalaran, prestasi dan minat belajar ma-tematika siswa lebih baik dila dibandingkan de-ngan pembelajaran biasa (Hasratuddin, 2002; Zul-kardi, 2002; Armanto, 2004; Saragih, 2007; Ari-fin, 2008). Dari uraian di atas, kiranya perlu ditemulakukan sejauh mana pembelajaran mate-matika melalui pendekatan matemate-matika realistik dapat meningkatkan kecerdasan emosional siswa. A. METODOLOGI PENELITIAN

1. Metode dan Desain Penelitian

Jenis penelitianadalah quasi eksperimen, dengan desain pretest-postest kontrol.

O X O O O

Pada desain ini, pengelompokan subjek penelitian dilakukan secara acak kelas, kelompok eksprimen diberi perlakuan pembelajaran dengan pendekatan mate-matika realistik (X), dan kelompok kon-trol diberi perlakuan pendekatan biasa, kemudian masing-masing kelas penelitan diberi pretes dan postes (O).

2. Subjek penelitian adalah siswa SMP di Kota Medan.

Instrument penelitian menggunakan skala kecerdasan emosional sebanyak 50 item dengan skor ideal 150.

3. Teknik Pengolahan data adalah dengan menggunakan analisis statistik ANOVA dan Uji-t.

(6)

B. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil proses pembelajaran

Tahapan yang dilakukan dalam pembel-ajaran matematika realistik, diawali dengan pem-berian tantangan atau masalah kontekstual, mem-berikan kesempatan kepada siswa untuk mema-hami dan menyelesaikan secara individu atau kelompok, kemudian mendiskusikan hasil secara klasikal sebagai refleksi. Pembelajaran matema-tika realistik memiliki konsep dan paradigma yang kuat dalam proses pembelajaran yaitu ada-nya prinsip reinvention. Hal ini, menunjukkan bahwa matematika itu tidak diberikan kepada sis-wa sebagai sesuatu yang sudah jadi, melainkan siswa harus mengkonstruk atau menemukan kon-sep-konsep, prinsip-prinsip atau prosedur-prose-dur matematika tersebut melalui penyelesaian masalah-masalah kontekstual yang realistik bagi anak. Proses pembelajaran berlangsung dari situa-si nyata, kemudian mengorganisasitua-sikan, menyu-sun masalah, mengidentifikasi aspek-aspek masa-lah secara matematis dan kemudian melalui inter-aksi diharapkan siswa menemukan konsep mate-matis itu sendiri, yang nantinya dapat diaplikasi-kannya dalam masalah dan situasi yang berbeda. Dengan demikian, proses belajar matematika ber-langsung dalam interaksi lingkungan sosial.

Pembelajaran dilakukan dengan cara dis-kusi kelompok yang beranggotakan tiga sampai lima orang. Hal ini dilakukan dengan tujuan mengaktifkan siswa secara interaktif dalam ke-lompok, memudahkan peneliti/pengajar dalam memberikan bantuan melalui bentuk pertanyaan-pertanyaan (scaffolding), dan menumbuhkan pe-ngetahuan dan kecerdasan emosional siswa.

Starting point pembelajaran matematika realistik dalam penelitian ini adalah memberikan masalah kontekstual berupa tantangan kepada siswa. Ma-salah tersebut dapat berupa latihan, pembentukan atau penemuan konsep, prosedur atau strategi pe-nyelesaian nonrutin maupun aturan-aturan dalam matematika (Treffers, 1987). Jika aksi mental siswa yang diharapkan tidak muncul dari siswa, seperti ketidak mampuan siswa mengaitkan kon-sep-konsep matematika sebelumnya dengan

in-formasi yang terdapat dalam masalah, maka guru dapat memberikan bantuan probing secara tidak langsung, yaitu dengan memberikan pertanyaan- pertanyaan berupa scaffolding kepada siswa, se-hingga terjadi interaksi antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa, atau siswa dengan konteks masalah. Aktivitas berupa pemberian bantuan o-leh guru melalui pertanyaan-pertanyaan, akan digunakan dalam proses pembelajaran sampai siswa memiliki kemampuan untuk melakukan re-fleksi atas aksi mental yang dilakukannya, dan bukan menghakimi maupun menghukum siswa. Fungsi guru dalam pembelajaran matematika realistik adalah sebagai fasilitator, mediator dan harus bersikap memahami siswa bahwa kesalahan yang dilakukan oleh siswa adalah bukan karena kemauannya, tetapi disebabkan kekurangan infor-masi yang ia miliki. Jadi, guru harus memiliki pandangan bahwa memahami berarti memaafkan segalanya.

Proses refleksi dalam pembelajaran akan diberi waktu khusus pada kegiatan diskusi pe-nyelesaian masalah dalam kelompok atau secara klasikal. Hal ini dilakukan, karena pada tahap ini siswa akan berinteraksi secara aktif dengan siswa yang lain, guru, materi dan lingkungan, sehingga diharapkan akan dapat menumbuhkan kemam-puan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa. Kegiatan ini dilakukan untuk setiap topik yang diajarkan pada pembelajaran dalam peneli-tian ini. Jadi, kesempatan siswa untuk berinte-raksi secara interaktif, sangat dituntut dalam pem-belajaran yang dilakukan. Hal ini bertujuan disamping untuk menemukan penyelesaian ma-salah dengan cara saling berinteraksi antara ang-gota kelompok, guru maupun lingkungan belajar yang nantinya diharapkan akan dapat mening-katkan kemampuan berpikir kritis dan kecerdasan emosional siswa. Dengan demikian, pemberian masalah kontekstual atau tantangan sangat me-nentukan kegiatan untuk melakukan konstruksi masalah, interaksi siswa maupun kegiatan refleksi dalam pembelajaran matematika realistik. Arman-to (2004), mengatakan bahwa fungsi masalah kontekstual dalam pembelajaran matematika rea-listik, diawal pembelajaran berfungsi sebagai

(7)

membantu pembentukan konsep, sifat atau cara pemecahan (model), ditengah proses pembelajar-an berfungsi sebagai mempembelajar-antapkpembelajar-an konsep mate-matis yang sudah dibangun atau ditemukan oleh siswa, di akhir pembelajaran berfungsi membantu siswa mengaplikasikan konsep yang telah diper-oleh. Karakteristik inilah salah satu yang mem-bedakan pembelajaran matematika realistik de-ngan pembelajaran biasa. Pada pembelajaran biasa, masalah (rutin) hanya berfungsi sebagai aplikasi dari suatu teori atau formula yang diberikan. Pembelajaran mengacu pada sistem

transfer of knowledge, guru berfungsi hanya seba-gai informan tunggal, dan siswa hanya dapat me-ngembangkan domain kognitifnya pada tahap aplikasi terhadap formula yang diberikan. Proses pembelajaran seperti ini tidak mengembangkan kemampuan berpikir siswa dan kecerdasan inter-personal siswa (Atwood, 1998).

2. Hasil Deskripsi dan Analisis Data Peningkatan Kecerdasan Emosional.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peningkatan kecerdasan emo-sional siswa berdasarkan pendekatan

pembelajar-an, peringkat sekolah dan gender. Di samping itu, diungkapkan pula interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah dan gender terhadap peningkatan kecerdasan emo-sional siswa. Sesuai dengan tujuan penelitian ter-sebut, maka data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah berupa peningkatan kecerdasan emo-sional yang meliputi skor awal dan akhir seba-nyak 50 item dengan rentangan skor 0 ± 150. Adapun hasil deskripsi dan analisis statistik data tentang kecerdasan emosional disajikan sebagai berikut.

a) Hasil dan analisis peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan perbedaan pendekatan pembelajaran.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perbedaan peningkatan kecer-dasan emosional siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran. Untuk melihat apakah terdapat per-bedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran digunakan uji-t dengan bantuan program SPSS. Berikut, rangkuman hasil perhitungan statistik berdasarkan pendekatan pembelajaran.

Tabel 1. Rangkuman Perhitungan Statistik Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Pendekatan Pembelajaran.

Unsur

Pendekatan Pembelajaran

Matematika Realistik Biasa

Skor Skala Kecerdasan Emosional Skor Skala Kecerdasan Emosional

Awal Akhir Gain N Awal Akhir Gain N

Mean 85,58 99,01 13.43 135 88,13 89,60 1,47 130

Stadev 11,65 12,07 1.42 9,58 10,70 1,12

Dari Tabel 1 di atas, dapat dikatakan bahwa peningkatan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan matematika realistik lebih tinggi dari pada pembelajaran biasa.

Selanjutnya, dari hasil perhitungan sta-tistik terhadap data peningkatan kecerdasan emosional siswa dengan menggunakan uji-t

dengan tingkat signifikansi 0,05, ditemukan bahwa nilai t-hitung 9,827, sedangkan t-tabel dengan derajat kebebasan, df (n ± 2) = (130 ± 2) = 128 dan uji dua sisi (0,025) adalah 1,980.

Dengan demikian, berdasarkan kriteria peng-ujian

t-hitung >t-Tabel, maka Ho ditolak. Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pening-katan kecerdasan emosional siswa berdasarkan pendekatan pembelajaran. Karena, rata-rata pe-ningkatan kecerdasan emosional siswa melalui pendekatan matematika realistik lebih tinggi dari pendekatan biasa, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan ma-tematika realistik lebih baik dari pendekatan biasa dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa.

(8)

b) Hasil perhitungan dan analisis statistik terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan peringkat sekolah.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan perbedaan peningkatan

kecer-dasan emosional siswa berdasarkan peringkat se-kolah. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa berda-sarkan peringkat sekolah digunakan uji-t dengan bantuan program SPSS. Rangkuman hasil perhi-tungan statistik tersebut disajikan sebagai berikut.

Tabel 2. Rekapitulasi Perhitungan Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Peringkat Sekolah

Peringkat Sekolah

Pendekatan Pembelajaran

Matematika Realistik Biasa

Rerata Skor Kecerdasan Emosional Rerata Skor Kecerdasan Emosional

Awal Akhir Gain N Awal Akhir Gain N

Tinggi 88,31 100,96 12.65 48 89,98 89,90 -0,08 48 Sedang 86,21 100,93 14.72 42 85,58 89,00 3,42 38 Rendah 82,07 95,13 13.06 45 88,32 89,90 1,68 44

Dari Tabel 2 di atas, diketahui bahwa rata-rata peningkatan kecerdasan emosional siswa yang paling tinggi dicapai pada sekolah peringkat sedang melalui pembelajaran ma-tematika realistik.

Selanjutnya, dari hasil perhitungan statistik terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan peringkat se-kolah dan melalui uji ANOVA ditemukan bahwa nilai F-hitung adalah 0,347 dan signi-fikansi 0,708. Sedangkan, dari tabel F dengan signifikansi 0,05, df 1 (jlh klpok data ± 1) = 3 ± 1 = 2, dan df 2 (n ± 3) = 135 ± 3 = 132, di-peroleh bahwa nilai F-tabel adalah sebesar 3,072. Karena F-hitung < F-Tabel dan signi-fikansinya > 0,05, maka Ho diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

per-bedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan peringkat sekolah tinggi, sedang maupun rendah. Hal ini, berarti pen-dekatan matematika realistik dapat digunakan pada setiap peringkat sekolah tinggi, sedang maupun rendah dalam meningkatkan kecer-dasan emosional siswa.

c) Hasil perhitungan dan analisis statistik terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan gender.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan peningkatan kecerdasan e-mosional siswa berdasarkan gender. Rang-kuman perhitungan dan analisis statistik disa-jikan sebagai berikut.

Tabel 3. Rangkuman Perhitungan Statistik Peningkatan Rata-rata Kecerdasan Emosional Berdasarkan Gender.

Gender

Pendekatan Pembelajaran

Matematika Realistik Biasa

Rata-rata Skor Kecedasan Emosional Rata-rata Skor Kecerdasan Emosional

Awal Akhir Gain N Awal Akhir Gain N

L 86,36 99,22 12,86 58 88,37 90,04 1,67 57

P 84,99 98,84 13,85 77 87,95 89,26 1,31 73

Dari Tabel 3 di atas, ditemukan bahwa rata-rata peningkatan kecerdasan emo-sional siswa perempuan pada kelas ekspe-rimen lebih tinggi dari siswa laki-laki.

Sedangkan pada kelas biasa, rata-rata pening-katan kecerdasan emosional siswa laki-laki lebih tinggi dari siswa perempuan. Selanjut-nya, berdasarkan hasil perhitungan statistik

(9)

dan uji-t diperoleh nilai t-hitung sebesar± 0,339 dan nilai signifikansi 0,544. Dari tabel t, untuk uji dua sisi dengan signifikansi 0,025, derajat kebebasan df (n ± 2)= 135± 2= 133, diperoleh nilai t-tabel sebesar ± 1,980. Dari kriteria pengujian; karena ± t-tabel (- ” t-hitung (- ” W-tabel (1,980), maka Ho diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan gender melalui pendekatan matematika realistik. Dengan de-mikian, dapat dikatakan bahwa pendekatan matematika realistik dapat digunakan dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa dengan tidak harus memisahkan siswa perem-puan dengan siswa laki-laki.

d) Hasil dan analisis interaksi antara pen-dekatan pembelajaran dengan pering-kat sekolah terhadap peningpering-katan ke-cerdasan emosional siswa.

Untuk mengetahui adanya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan pe-ringkat sekolah terhadap peningkatan kecer-dasan emosional siswa, digunakan uji ANO-VA dua jalur. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh bahwa nilai signifikansi interaksi peringkat sekolah dengan pendekatan adalah 0,878 dan lebih besar dari 0,05, maka Ho di-terima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara faktor pendekatan pembelajaran yang digunakan dengan faktor peringkat sekolah terhadap kecerdasan emo-sional siswa. Lebih jelasnya, interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah terhadap peningkatan kecerdasan em-osional siswa disajikan pada grafik berikut.

Gambar 1. Interaksi Antara Pendekatan Pembe-lajaran Dengan Peringkat Sekolah

Dari Gambar 1 di atas, terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah. De-ngan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh bersama yang diberikan pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa. Hal ini, berimplikasi bahwa pembelajaran matematika realistik dalam me-ningkatkan kecerdasan emosional siswa dapat dilakukan tanpa memperhatikan peringkat sekolah. Lebih lanjut, rata-rata peningkatan kecerdasan emosional siswa melalui matema-tika realistik lebih tinggi dari pembelajaran biasa untuk setiap sekolah peringkat tinggi, sedang dan rendah.

e) Hasil dan analisis interaksi antara pen-dekatan pembelajaran dengan gender terhadap peningatan kecerdasan emosional siswa.

Untuk mengetahui adanya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gen-der terhadap peningkatan kecerdasan emosi-onal siswa, analisis statistik yang digunakan adalah ANOVA dua jalur. Dari hasil per-hitungan dan anailisis statitistik terhadap data kecerdasan emosional siswa, ditemukan bah-wa nilai signifikansi interaksi antara pende-katan pembelajaran dengan peringkat sekolah adalah 0,666, dan lebih besar dari 0,05, maka Ho diterima. Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gender terhadap

(10)

pening-katan kecerdasan emosional siswa. Lebih jelasnya, disajikan pada grafik berikut.

Gambar 2. Interaksi Antara Pendekatan Pembe-lajaran Dengan Gender Terhadap Peningkatan

Kecerdasan Emosional Siswa.

Dari Gambar 2 di atas, terlihat bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan gender terhadap pening-katan kecerdasan emosional siswa. Hal ini, menunjukkan bahwa tidak terdapat sum-bangan secara bersama oleh pendekatan pem-belajaran dengan gender terhadap kecerdasan emosional siswa. Dengan demikian, pembela-jaran matematika realistik dalam mening-katkan kecerdasan emosional dapat dilakukan tanpa memperhatikan kelompok gender laki-laki atau perempuan. Walaupun, peningkatan kecerdasan emosional siswa perempuan lebih baik dari siswa laki-laki. Namun, peningkatan

kecerdasan emosional siswa pada pendekatan matematika realistik lebih besar dari pem-belajaran biasa untuk siswa laki-laki dan pe-rempuan. Disamping itu, ditemukan bahwa peningkatan kecerdasan emosional siswa pe-rempuan lebih tinggi dari peningkatan kecer-dasan emosional siswa laki-laki melalui pem-belajaran matematika realistik.

Dari hasil interaksi di atas, dapat di-simpulkan bahwa faktor yang paling besar memberikan kontribusi terhadap peningkatan kecerdasan emosional siswa adalah pende-katan pembelajaran bila dibandingkan dengan faktor peringkat sekolah dan gender.

f) Hasil dan analisis perbedaan peningka-tan kecerdasan emosional siswa

berdasarkan peringkat sekolah dan gender.

Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan peningkat-an kecerdaspeningkat-an emosional siswa berdasarkpeningkat-an peringkat sekolah dan gender. Sebelum dila-kukan analisis dan uji perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa terhadap pering-kat sekolah dan gender, maka perlu disajikan terlebih dahulu rangkuman hasil perhitungan statistik deskriptif sebagai berikut.

Tabel 4. Rangkuman Perhitungan Deskriptif Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Peringkat Sekolah Dan Gender.

Peringkat Sekolah

Gender

Pendekatan Pembelajaran

Matematika Realistik Biasa

Rata-rata Skor Kecedasan Emosional Rata-rata Skor Kecerdasan Emosional Awal Akhir Gain N Awal Akhir Gain N Tinggi L 88,47 103,68 15,21 19 89,1 96,57 7,38 21 P 88,21 99,17 10,96 29 90,5 104,3 13,78 27 Sedang L 85,37 100,21 14,84 19 84,0 95,80 11,73 15 P 86,91 101,52 14,61 23 86,5 98,65 12,08 23 Rendah L 85,30 94,05 8,75 20 90,6 91,48 0,88 21 P 79,49 96,00 16,51 25 86,2 97,96 11,74 23

Dari Tabel 4 di atas, dapat dikatakan bahwa peningkatan kecerdasan emosional sis-wa yang paling besar dicapai oleh sissis-wa pe-rempuan pada peringkat sekolah rendah melalui pembelajaran matematika realistik,

diikuti dengan siswa laki-laki pada sekolah pe-ringkat tinggi melalui pembelajaran matematika realistik, kemudian siswa laki-laki pada sekolah peringkat sedang.

(11)

C. SIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis statistik yang dilakukan, maka dapat diberikan be-berapa kesimpulan, antara lain:

1. Terdapat perbedaan peningkatan kecerdasan emosional siswa antara yang diberi pende-katan matematika realistik dengan pendepende-katan biasa.

2. Tidak terdapat perbedaan peningkatan ke-cerdasan emosional siswa berdasarkan pe-ringkat sekolah dan gender.

3. Tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan peringkat sekolah ter-hadap peningkatan kecerdasan emosional sis-wa.

4. Siswa memiliki respon yang positif terhadap pembelajaran matematika realistik. Secara umum, melalui pembelajaran matematika re-alistik dapat meningkatkan kemampuan ber-pikir kritis dan kecerdasan emosional siswa. 5. Gambaran kinerja siswa ditinjau dari proses

pembelajaran, penyelesaian masalah-masalah matematika dalam pembelajaran matematika melalui pendekatan matematika realistik, dan respon siswa, ditemukan bahwa siswa antu-sias terhadap materi pelajaran matematika, senang, suka dan interaktif, serta dapat mem-berikan motivasi bagi siswa untuk belajar matematika.

2. Rekomendasi

Dari temuan penelitian yang dilakukan maka berikut memberi berupa rekomendasi, an-tara lain:

1. Pembelajaran matematika dengan pendekatan matematika realistik dapat digunakan sebagai alternatif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa, serta dapat membangun dan meningkatkan system pendidikan yang demo-kratis dan sekaligus membangun pendidikan karakter.

2. Untuk mendorong terjadinya intraksi siswa, dalam proses pembelajaran, mulailah dengan pemberian masalah kontekstual berupa tan-tangan atau konflik kepada siswa sebagai

sa-rana dalam menemuan konsep, prosedur atau strategi penyelesaian nonrutin maupun aturan-aturan dalam matematika.

3. Berikan bantuan scaffolding secara tidak lang-sung berupa probing kepada siswa untuk me-micu terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan kon-teks masalah, dan siswa dengan lingkungan sampai siswa memiliki kemampuan untuk melakukan refleksi atas aksi yang dilakukan. 4. Bagi para guru atau pendidik, berikan

kesem-patan bernegoisasi kepada siswa untuk men-dorong interaksi dan inisiatif tumbuhnya ke-cerdasan emosional siswa. Pahamilah bahwa kesalahan yang dilakukan siswa bukan atas kemauannya, tetapi karena keterbatasan in-formasi yang mereka peroleh. Dalam proses pembelajaran, hilangkan budaya patriarkhi atau persepsi lebih memandang salah satu kelompok atau gender terhadap lainnya. 5. Sekolah atau pengemban pendidikan perlu

memperhatikan keseimbangan pengembangan kemampuan berpikir kritis sebagai ranah kog-nitif dan kecerdasan emosional sebagai ranah afektif. Sehingga, prilaku siswa dalam setiap bertindak tidak hanya menggunakan rasio, te-tapi perlu melibatkan perasaan secara menye-luruh dan naluri secara terintegrasi ( rasiohol-istigrasi). Dengan demikian, tidak berlebihan apabila sekolah mengharuskan guru memiliki

knowledge dan kecedasan emosional yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Z. (2008). Meningkatkan Motivasi Berpretasi, Kemampuan Pemecahan Masalah, dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD melalui Pembelajaran Matematika Realistik dalam Seting Kooperatif. Disertasi: UPI Bandung. Armanto, D. (2004). Soal Kontekstual dalam PMRI.

Makalah. Disajikan pada Workshop PMRI.

Bandung.

Atwood,M. (1990). Critical Thinking, Collaboration and Citizenship: Inventing a Framework

Appropriate for Our Times. USA: Charles C

Thomas, Publisher.

Bell, T. (1981). Promting Thinking Through Physical Education, Learning and Teaching in Action,

(12)

Cooper, R. dan Ayman S. (1997). Executive EQ, Kecerdasan Emosional dalam

Kepemim-pinan dan Organisasi. Gramedia: Jakarta

Covey, Stephen R. (2008). The 8th HABIT. Melampaui Efektivitas, menggapai Keagungan. Jakarta: Gramedia Utama.

De Lange J. (1987). Mathematics Insight and

Meaning. Utrecht: OW & OC.

De Lange J. (1996). Using and Applying mathematics

in Education. Netherlands: Kluwer Academic

Publisher.

De Lange, J. (2004). Mathematical Literacy for Living

from OECD-PISA Perspective. Paris:

OECD-PISA

Depdiknas (2008). Hasil Perolehan Nilai Ujian Akhir

Nasional TP. 2007/2008. Depdiknas: Jakarta.

Depdikiknas. (2004). Petunjuk Pelaksanaan dan

Pengelolaan Kurikulum. Jakarta: Depdiknas.

Freudenthal H. (1991). Revisiting Mathematics

Education. Dordrecht: Reidel Publishing.

Gardner,H.(1999). Multiple Intelligences for the 21st

Century.New York: Basic Books

Goffree, F dan Dolk, M. (1995). Standards for Mathematics Education. Freudenthal

In--stitute: SLO/NVORWO.

Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence. Jakarta : Gramedia.

Gravemeijer K. (1994). Developing Realistik

Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal

Institute.

Hasratuddin. 2002. Pengembangan model pem-belajaran matematika realistik dalam meningkatkan prestasi belajar siswa SMP di Kota Medan. Jurnal. vol. 11, No. 1, Sep-2002. Akreditasi No:23a/Dikti/Kep /2002, ISSN: 0852-0151.

McGregor, D. (2007). Developing Thinking;

Developing Learning. New York: Open

University Press.

Moor E. (1994). Geometry Instruction in the

Netherlands. The Realistik Approach.

Netherlands: Utrecht CD B Press.

Morgan, Evans &Tsatsaroni, (2003). Emotion in school mathematics practices: A contribution from discursive perspectives. emotionInmat diakses tgl 12-05-2009.

Nelissen, J.M.C. (2005). Thinking Skill in realistics mathematics. Jmc_nelissen: Journal PME. Vol 2 p 108-119 2005.

Oleinik, T. (2002). Development of critical thinking in mathematics courses. Pro ceedings of the 3rd International Mathematics Education and Society Con ference. Copenhagen: Centre for Research in Learning Mathematics, p.1-3. Piaget J. dan Inhelder B. (1974). 7KH &KLOG¶V

Construction of Quantities. London:

Routledge & Kegan Paul.

Raz, S. (2008). Membangun Generasi Emas. Jakarta: Prenada.

Rosyada, D. (2007). Paradigma Pendidikan

De-mokratis. Jakarta: Kencana.

Safari T.& Nofrans E.S. (2009). Management Emosi.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Saragih, S. (2007). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis Dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama Melalui Pendekatan Matematika Realistik. Disertasi: UPI Bandung.

Sidi, I.D. (2003). Menuju Masyarakat Belakar. Jakarta: Paramadina.

Stein, Steven J., Howard E. Book. Penerjemah: Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto. Penyunting: Sofia Mansoor. 2002. Ledakan EQ, 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa. Tall, D. (1991). The cognitive development of proof: Is

mathematical proof for all or for some? In Z. Usiskin (Ed.), Developments in school mathematics education around the world, Vol, 4 (pp. 117-136). Reston, VA: NCTM

Treffers,A.(1987). Realistic Mathematics Educa-tion in The Netherlands 1980-1990. Freudenthal University: Utrecht CD Press.

Treffers, A., & Goffree, F. (1985). Rational analysis of realistic mathematics education. In L. Streefland (Ed.), Proceedings of the Ninth Conference for the Psychology of Mathe-matics Education (Vol. 2, pp. 97-123). Noordwijkerhout: PME.

Zulkardi. (2002). Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesia student teachers. Disertasi doctor.

Gambar

Tabel 1. Rangkuman Perhitungan Statistik Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa  Berdasarkan  Pendekatan Pembelajaran
Tabel 3. Rangkuman Perhitungan Statistik Peningkatan Rata-rata Kecerdasan Emosional  Berdasarkan  Gender
Gambar 1. Interaksi Antara Pendekatan Pembe- Pembe-lajaran Dengan Peringkat Sekolah  Dari Gambar 1 di atas, terlihat bahwa  tidak  terdapat  interaksi  antara  pendekatan  pembelajaran  dengan  peringkat  sekolah
Tabel 4. Rangkuman Perhitungan Deskriptif Peningkatan Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Peringkat  Sekolah Dan Gender

Referensi

Dokumen terkait

Program Pembangunan Desa memahami bagaimana cara melaksanakan dan memberdayakan masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan, sarana dan prasarana dengan mengadakan

• Kemampuan awal siap pakai, mengacu pada kemampuan awal yang manapun dari ketujuh kemampuan awal yang diidentifikasi oleh Reigeluth, yang benar-benar telah dikuasai oleh

I WOULD LIKE TO OPEN my presentation on the theme of SIGNIS World Congress on the perspective of Southeast Asia especially Indonesia by looking at the GOOD NEWS came

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan tujuan yang

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan perbedaan relevansi nilai informasi akuntansi dengan pengukuran nilai Adjusted R² yang didapat dari hasil regresi antara

hamil, bersalin, nifas, bayi baru lahir, dan KB pada Ny.M umur 24 tahun. G1P0A0 di Puskesmas

Address Latch Enable output pulse for latching the low byte of the address during accesses to external memory.. This pin is also the program pulse input (PROG) during

Hasil ini menunjukkan bahwa ayam broiler jantan maupun betina memperlihatkan pertumbuhan atau perkembangan tulang yang baik, dapat dilihat bahwa hasil rata- rata panjang tulang