• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR ANALISIS REVIEW INDONESIA JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA) DALAM PERDAGANGAN BARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR ANALISIS REVIEW INDONESIA JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA) DALAM PERDAGANGAN BARANG"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

ANALISIS REVIEW INDONESIA JAPAN ECONOMIC

PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA)

DALAM PERDAGANGAN BARANG

PUSAT KEBIJAKAN KERJASAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2015

(2)

KATA PENGANTAR

Berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa, Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional telah menyelesaikan studi yang bertajuk “Analisis

Review Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) Dalam

Perdagangan Barang”. Tim analisis Puska KPI, BPPKP menyampaikan syukur kehadirat Allah SWT yang memperkenankan tersusunnya analisis ini. Analisis ini bertujuan untuk memberikan dukungan terhadap penyusunan posisi runding Indonesia dalam peninjauan kembali (review) atas pelaksanaan Perjanjian IJEPA sebagaimana tertuang dalam pasal 151 perjanjian tersebut.

Analisis ini difokuskan pada biaya dan manfaat bagi Indonesia untuk penyusunan permintaan (request) dan penawaran (offer) Indonesia dalam

Joint Committee on Trade in Goods peninjauan kembali (review) atas

pelaksanaan IJEPA. Analisis ini diharapkan dapat memberikan estimasi biaya dan manfaat yang dapat dijadikan dasar Tim Perunding IJEPA untuk menyusun strategi dalam peninjauan kembali (review) IJEPA.

Kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi sebesar-besarnya kepada Ibu Kepala BPPKP dan seluruh jajaran Eselon II di lingkungan BPPKP atas arahan dan masukannya untuk perbaikan dan kesempurnaan analisis ini. Kami mengucapkan terima kasih Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan semua pihak atas terselenggaranya analisis ini. Besar harapan kami analisis ini dapat dimanfaatkan oleh semua stakeholder di internal Kementerian Perdagangan dan di luar Kementerian Perdagangan.

TIM PENGKAJI

(3)

ABSTRAK

ANALISIS REVIEW INDONESIA JAPAN ECONOMIC

PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA)

DALAM PERDAGANGAN BARANG

IJEPA mulai diberlakukan sejak tahun 2008. Sebagaimana diamanatkan oleh perjanjian IJEPA pasal 151 bahwa Indonesia dan Jepang akan melaksanakan review pada masing-masing pelaksanaan perjanjian IJEPA dan review akan diarahkan untuk perbaikan implementasi IJEPA. Pihak Jepang selalu menjadikan pembahasan transposisi 11 pos tarif otomotif sebagai prasyarat terlaksananya General Review IJEPA kepada pihak Indonesia. Indonesia memiliki keinginan untuk menuntut haknya atas kategori R, Q, dan X. Berdasarkan penghitungan Constant Market Share, Jepang mengalami penurunan daya saing sehingga menjadi tidak kompetitif di Pasar Indonesia dan produk-produk yang menjadi request Indonesia ternyata secara total mengalami penurunan daya saing di pasar Jepang. Berdasarkan penghitungan partial equilibrium, Indonesia akan menderita kerugian sebesar tambahan impor untuk produk otomotif di atas 1500-3000 cc sebesar USD 31 juta apabila auto tariff diterima oleh Indonesia. Namun, welfare konsumen Indonesia meningkat sebesar USD 23 juta dan jauh lebih besar dibandingkan welfare Jepang yang hanya menikmati USD 5.57 juta. Indonesia akan kehilangan pendapatan negara sebesar USD 80.29 juta dan Jepang akan kehilangan pendapatan negara sebesar USD 1.1 milyar. Ekspor Indonesia akan meningkat sebesar USD 130 juta dan ekspor Jepang akan meningkat sebesar USD 68.7 juta. Apabila pertukaran antara auto tarif dengan request R,Q, dan X dilakukan maka Indonesia akan untung dengan peningkatan neraca perdagangan sebesar USD 61 juta. Indonesia perlu menambahkan permintaan pembangunan kapasitas untuk mengatasi standar dan kebijakan Sanitary Phitosanitary (SPS) Jepang.

(4)

ABSTRACT

ANALYSIS REVIEW ON INDONESIA JAPAN ECONOMIC

PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA)

ON TRADE IN GOODS

IJEPA was entered into force in 2008. As it is mandated by article 151 IJEPA agreement, Indonesia and Japan shall carry out review on implementation of the IJEPA and will be aimed at improving the implementation of the agreement. The Japanese always make the discussion of transposition 11 automotive tariff lines as a prerequirement of the General Review IJEPA. Indonesia has the desire to exercise the rights to negotiate on the category R, Q and X. Based on the Constant Market Share calculation, Japan experienced a decline in competitiveness in Indonesia and the products included in Indonesia’s request turns out to be decreasing in competitiveness in the Japanese market.

Based on the partial equilibrium calculation, Indonesia will suffer a loss of supplementary imports for automotive products over the 1500-3000 cc as much as USD 31 million if Indonesia accept the auto tariff request of Japan. However, consumer welfare in Indonesia increase to about USD 23 million and it is much larger than that those of the Japanese welfare which is accounted for USD 5:57 million. Indonesian government would lose revenue of USD 80.29 million and Japanese government will lose their revenues of USD 1.1 billion. Indonesia's exports will increase by USD 130 million and Japanese exports will increase by USD 68.7 million. It is suggested that Indonesia should add request for capacity building on market access to overcome the Japan’s Standard and Sanitary and Phyto-sanitary (SPS) policy.

(5)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ... ii

Abstrak ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Tabel ... vi

Daftar Gambar ... vii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Pengkajian... 3

1.4 Hasil Analisis ... 3

1.5 Dampak atau Manfaat ... 3

1.6 Ruang Lingkup ... 4

1.7 Sistematika Laporan... 4

BAB 2. LANDASAN TEORI ... 6

2.1 Teori Perdagangan Internasional ... 6

2.2 Teori Integrasi Perdagangan ... 7

BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN ... 10

3.1 Sumber Data ... 10

3.2 Metode Analisis Data ... 10

3.2.1 Analisis Deskriptif ... 10

3.2.2 Analisis Constant Market Share ... 10

3.2.3 Analisis Partial Equilibrium (Keseimbangan Parsial) ... 11

BAB 4. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA-JEPANG ... 13

4.1 Makroekonomi Indonesia Dan Jepang ... 13

4.2 Kinerja Perdagangan Dan Investasi Indonesia Dengan Jepang ... 14

4.2.1 Perdagangan 11 Pos Tarif Request Jepang untuk Produk Otomotif Indonesia ... 15

4.2.2 Perdagangan Kategori R, Q, dan X Indonesia di Pasar Jepang ... 21

BAB 5. ANALISIS COST DAN BENEFIT INDONESIA JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA) ... 28

5.1 Analisis Constant Market Share ... 28

5.2 Analisis Partial Equilibrium ... 32

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 36

6.1 Kesimpulan ... 36

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Perbandingan Makroekonomi Indonesia dan Jepang ... 13 Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Jepang ... 15 Tabel 4.3. Posisi Indonesia dalam Produksi Otomotif Dunia Tahun 2014 .... 17 Tabel 4.4. Perkembangan Produksi Otomotif Indonesia Tahun 2014 ... 18 Tabel 4.5. Pemetaan Kategori R dan Q berdasarkan

Kementerian Pembina ... 22 Tabel 5.1. Daftar Produk Otomotif yang Menjadi Request Jepang ... 28 Tabel 5.2. Hitungan Constant Market Share untuk Produk

Automotif Jepang ... 29 Tabel 5.3. Analisis Constant Market Share untuk Produk Kategori R, Q dan X

Indonesia di Pasar Jepang ... 30 Tabel 5.4. Dampak Penurunan Tarif di Pasar Jepang terhadap Ekspor

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Jepang dan Indonesia ... 14 Gambar 4.2. Perbandingan Struktur Otomotif Indonesia dengan

Malaysia, dan Thailand ... 16 Gambar 4.3. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia,

dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Perikanan

Kategori R1 ... 23 Gambar 4.4. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia,

dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Makanan

Minuman Kategori R1 ... 24 Gambar 4.5. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia,

dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Pertanian

Kategori R1 ... 26 Gambar 5.1. Hasil Analisis Partial Equilibrium untuk Request Offer

(8)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia dan Jepang telah menandatangani perjanjian IJEPA sejak 20 Agustus 2007. Perjanjian IJEPA menjelaskan bahwa review terhadap pelaksanaan perjanjian IJEPA akan dilakukan dalam waktu 5 tahun setelah implementasi IJEPA ditandatangani sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 151 Perjanjian IJEPA. Indonesia telah mengajukan permintaan review atas IJEPA sejak 20 September 2013. Permintaan ini baru ditindaklanjuti dalam Joint Group IJEPA sejak 9 Desember 2013 dan Pre-consultation untuk General Review dilakukan pada September 2014.

Pembahasan General Review (GR) IJEPA ini telah menyangkut kepentingan masing-masing negara. Pihak Jepang bersikukuh untuk melanjutkan perundingan GR apabila pihak Indonesia setuju untuk melakukan perubahan pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang telah diterbitkan oleh Kementerian Keuangan. Pihak Jepang menuntut perubahan atas PMK 209 tahun 2012 yang memuat komitmen Indonesia tidak sesuai dengan Perjanjian IJEPA. Anggapan sepihak Jepang sangat merugikan Indonesia secara legal karena pihak Indonesia telah melakukan permintaan masukan sebelum PMK terbit. Namun pihak Jepang berdalih bahwa masalah pemberlakuan transposisi adalah proses domestik yang harus dilakukan oleh Indonesia tetapi tidak boleh melanggar komitmen yang telah disepakati.

Modalitas P-14 adalah pos tarif yang nilai tarifnya akan diturunkan menjadi 5 persen setelah 14 tahun. Sedangkan B-15 adalah pos tarif yang nilai tarifnya akan diturunkan menjadi nol persen setelah 15 tahun. Berdasarkan identifikasi Kementerian Keuangan, pihak Jepang menuntut untuk mengubah komitmen B-15 menjadi P-14 untuk 11 pos tarif otomotif. Pihak Kementerian Keuangan berkeberatan untuk

(9)

melakukan revisi karena adanya kendala hukum yang sulit dilakukan karena pengubahan PMK disebabkan oleh permintaan Jepang. Selain itu, pihak Kementerian Keuangan dan Kementerian Perindustrian telah menganalisis bahwa Indonesia telah kehilangan pemasukan yang berasal dari Bea Masuk selama 2008-2013 sebesar RP. 1,4 Triliun dengan nilai Impor mencapai mencapai Rp 35 T. Adapun sampai dengan Mei 2014 mencapai Rp. 2,15 Triliun

Indonesia memiliki kepentingan nasional untuk menagih kepada pihak Jepang untuk kategori R-1 dan R-4. Kategori R-1 adalah Tarif Bea Masuk akan dinegosiasikan kembali bersamaan dengan General

Review (tahun kelima setelah implementasi). Kategori R-4 adalah Tarif

Bea Masuk akan dinegosiasikan kembali di tahun keempat setelah negosisasi. Kategori R-1 dan R-4 merupakan komitmen Jepang dalam IJEPA.

Berdasarkan analisis Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kategori R hanya berjumlah 289 pos tarif atau 3 persen dari total pos tarif Jepang. Produk Kemenperin mencapai 170 HS, Kementerian Kelautan dan Perikanan berjumlah 61 HS, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) berjumlah 26 HS, Kementerian Pertanian berjumlah 8 HS, dan yang belum teridentifikasi sebanyak 24 HS. Kementerian Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa kategori R dan X Jepang harus dapat diturunkan dalam GR IJEPA ini melalui Surat Menteri Kelautan

dan Perikanan kepada Menteri Perdagangan dan Menteri

Perekonomian.

Analisis ini merupakan analisis untuk mengkaji ulang secara detil pelaksanaan IJEPA di bidang Trade in Goods. Kajian ini dilakukan untuk mendukung perundingan Review IJEPA untuk delegasi Indonesia. Kajian ini akan memberikan rekomendasi pada Sub Working Group

(10)

Dinamika yang terjadi adalah pihak Jepang selalu mempermasalahkan dalam hal transposisi untuk sektor otomotif. Pihak Jepang selalu menjadikan pembahasan transposisi 11 pos tarif otomotif sebagai prasyarat terlaksananya General Review IJEPA kepada pihak Indonesia. Sementara Indonesia memiliki keinginan untuk menuntut haknya atas kategori R, Q, dan X.

1.2 Perumusan Masalah

Permasalahan utama yang akan dijawab dalam kajian ini adalah berapa biaya dan keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia dalam review IJEPA?. Namun secara rinci kajian ini akan berusaha menjawab pertanyaan khusus sebagai berikut:

1. Sejauh mana biaya yang akan diderita oleh Indonesia apabila membuka pasarnya untuk 11 pos tarif otomotif?

2. Sejauh mana keuntungan bagi Indonesia apabila kategori R, Q, dan X didapatkan oleh Indonesia dalam review IJEPA?

1.3 Tujuan Pengkajian

Tujuan pengkajian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis biaya yang akan diderita oleh Indonesia apabila membuka pasarnya untuk sebelas (11) pos tarif otomotif.

2. Menganalisis keuntungan bagi Indonesia apabila kategori R, Q, dan X didapatkan oleh Indonesia dalam review IJEPA.

1.4 Hasil Analisis

Kajian ini akan menghasilkan output berupa 1 (satu) laporan manfaat perjanjian perdagangan bebas dan rekomendasi strategi dan kebijakan diplomasi perdagangan barang yang perlu dilakukan oleh Kementerian Perdagangan untuk review yang membawa pemanfaatan IJEPA yang optimal.

1.5 Dampak atau Manfaat

Kajian ini diharapkan akan memberikan dampak/manfaat sebagai berikut:

(11)

1. Sebagai masukan kepada Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional dan stakeholder lainnya dalam mengambil kebijakan untuk review IJEPA.

2. Sebagai referensi penelitian selanjutnya berkenaan dengan optimalisasi perjanjian perdagangan bebas.

1.6 Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Biaya dan Manfaat terhadap request dan offer atas review IJEPA. 2. Sebelas (11) Pos tariff otomotif dan produk kriteria R,Q, dan X

1.7 Sistematika Laporan

Kajian ini akan disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Perumusan Masalah

1.3. Tujuan Pengkajian

1.4. Ruang Lingkup Pengkajian

1.5. Metodologi

1.6. Sistematika Penulisan

BAB II. Landasan Teori

2.1. Teori Perdagangan Internasional

2.2. Teori Integrasi Perdagangan

BAB III. Metodologi Pengkajian

3.1. Sumber data

3.2. Metode Analisis Data

BAB IV. Perkembangan Perjanjian Perdagangan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement

4.1. Perkembangan Perjanjian Perdagangan Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (IJEPA)

(12)

BAB V. Analisis Cost dan Benefit Indonesia Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)

5.1. Analisis Constant Market Share

5.2. Analisis Partial Equilibrium

BAB VI Kesimpulan dan Rekomendasi

6.1. Kesimpulan

(13)

BAB 2. LANDASAN TEORI

2.1 Teori Perdagangan Internasional

Teori ini dikemukakan oleh David Ricardo dalam bukunya

Principles of Political Economy and Taxation (1871). Menurut bukunya

bahwa suatu negara yang kurang efisien dalam memproduksi barang dan jasa dengan negara lain dapat memproduksi barang yang dihasilkan dengan melakukan spesialisasi dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki kerugian absolut yang lebih kecil. Dan mengimpor barang yang memiliki kerugian yang besar dalam memproduksi suatu barang dan jasa. Jadi keunggulan komparatif suatu negara bila terjadi biaya yang lebih murah dalam memproduksi barang dan jasa di suatu negara dibandingkan dengan negara lain.

Beberapa yang mendukung teori ini (yang disebut dengan

Ricardian) mengatakan bahwa suatu negara harus melakukan

spesialisasi penuh daripada memproduksi bermacam macam barang dan jasa. Tetapi model Ricardian tidak dilengkapi faktor faktor pendukung seperti jumlah pekerja dan modal dari dalam suatu negara. Selain Ricardian, Teori Hecksher – Ohlin (Teori H-O) juga menjelaskan tentang teori komparatif tetapi lebih memfokuskan pada faktor-faktor pendukungnya. Berdasarkan teori H-O perdagangan international dapat terwujud karena perbedaan faktor pendukung yang dimiliki oleh negara. Hecksher-Ohlin mengatakan bahwa negara akan mengekspor barang yang diproduksi dengan menggunakan secara insentif faktor produksi yang tersedia berlimpah (abundace factors) di negara tersebut dan mengimpor barang yang diproduksi dengan menggunakan faktor produksi yang langka di negara tersbeut.

Dalam teori komparatif dikenal juga model gravitasi yang meniru hukum gravitasi Newton. Model ini melihat perdagangan berdasarkan

(14)

jarak dan interaksi antar negara dalam ukuran ekonominya. Model ini lebih kuat secara empiris dibandingkan secara teoritis karena didukung analisis ekonometri. Faktor lain seperti pendapatan, hubungan diplomatik dan kebijakan suatu negara dimasukkan dalam model ini. Teori keunggulan komparatif juga melihat faktor spesifik seperti mobilitas buruh antara industri dalam jangka pendek ketika modal tidak bergerak. Teori tersebut menjelaskan bahwa modal fisik tidak mudah dipindahkan antar industri. Berbeda dengan model Ricardian dan H-O, model tidak bisa melihat pola perdagangan antar negara namun model ini dapat digunakan untuk melihat distribusi pendapatan.

2.2 Teori Integrasi Perdagangan

Perdagangan bebas adalah sebuah sistem di mana barang, modal, dan aliran tenaga kerja bebas berpindah antara negara-negara dengan tanpa hambatan. Banyak negara telah memiliki perjanjian perdagangan bebas, dan beberapa organisasi internasional mempromosikan perdagangan bebas antara anggota yang terlibat dalam perjanjian perdagangan bebas mereka. Ada sejumlah argumen baik yang positif maupun negatif mengenai perdagangan bebas ini dari berbagai pihak seperti ekonom, politisi, industri, dan peneliti.

Dalam perdagangan bebas selalu ada hambatan seperti pajak, kuota dan tariff yang berguna utuk melindungi produsen dalam negeri. Padahal tujuan dari perdagangan bebas memungkinkan perusahaan asing lebih mudah melakukan perdagangan dan membuat harga barang dan jasa lebih murah. Hal tersebut karena hambatan perdagangan dinilai membuat suatu ekonomi tidak efisien dan menyebabkan konsumen tidak dapat menikmati keunggulan dari efisiensi produktivitas negara lain. Pihak yang diuntungkan dengan adanya hambatan tersebut adalah produsen dan pemerintah Selain itu kompetisi yang timbul akibat perdagangan bebas diharapkan bisa mendorong perusahaan untuk

(15)

melakukan inovasi agar bisa bersaing dalam menangkap pangsa pasar. Perdagangan bebas juga mendorong kerjasama international dengan membentuk mitra dagang antar negara. Negara anggota kemitraan dagang tersebut akan saling memberikan kemudahan dalam mempromosikan keunggulan setiap negaranya.

Beberapa argumen yang menentang perdagangan bebas berpendapat bahwa adanya perdagangan bebas bisa merugikan dan menyakitkan bagi produsen dalam negeri. Perdagangan bebas dianggap memaksa para produsen untuk menentukan harga barang produksinya supaya bisa bersaing dengan produk impor. Hal tersebut berdampak terhadap pendapatan tenaga kerja dan kualitas dari barang produksinya.Perdagangan bebas menciptakan kekhawatiran tentang keamanan produk makanan yang beredar di konsumen. Pedagangan bebas mendorong perusahaan melakukan operasinya di luar negeri yang memiliki tenaga kerja yang lebih murah dan sistem peraturan yang masih longgar untuk mendapatkan biaya produksi yang lebih kecil. Hal tersebut berpotensi merugikan suatu negara yang sistem peraturannya sudah sangat ketat.

Teori ini dikemukakan oleh Adam Smith dalam bukunya The

Wealth of Nation (1776). Adam Smith berpendapat bahwa negara bisa

memperoleh keuntungan dari masing masing produk barang dan jasa dengan memproduksi secara eksklusif dan baik untuk kepentingan konsumsi.

Secara umum perdagangan bebas dapat diartikan suatu kebijakan pemerintah yang tidak mendiskriminasikan terhadap ekspor dan impor. Sebagian besar negara menganut perdagangan bebas termasuk anggota anggota WTO. Tetapi sebagian dari negara negara WTO masih memberlakukan kebijakan proteksionis yang mendukung para produsen lokal untuk melindungi tenaga kerjanya. Beberapa manfaat yang bisa diambil dari perdagangan bebas yaitu adanya kerjasama yang baik

(16)

antara negara negara penganut kerjasama perdagangan bebas, selain itu juga dapat memperoleh barang barang yang tidak bisa diproduksi oleh negara yg tidak mempunyai keunggulan dalam memproduksi suatu barang dan jasa.

(17)

BAB 3. METODOLOGI PENGKAJIAN

3.1 Sumber Data

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder digunakan untuk mendukung analisis-analisis di dalam desk research. Data sekunder meliputi data kuantitatif dan kualitatif yang didapatkan dari sumber yang terpercaya. Data primer dilakukan dengan cara wawancara dan observasi langsung dalam utilisasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Indonesia Jepang.

3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif dilakukan analisis pergerakan data sebelum dan sesudah perjanjian perdagangan bebas, Analisis deskriptif akan mencakup pengukuran central tendency ratio pergerakan data (growth), pergeseran (shift), pangsa (share), analisis tren, dan simple time series.

3.2.2 Analisis Constant Market Share

Analisis Constant Market Share Analysis diterapkan untuk data perdagangan sebelum dan sesudah implementasi PTA/FTA. Berdasarkan Richardson (1970), analisis CMSA merupakan upaya mendekomposisi partumbuhan ekspor suatu negara melalui 3 (tiga) komponen utama yaitu:

1) Peningkatan pada konsumsi impor negara tujuan ekspor (World

Demand Effect)

2) Komposisi ekspor negara A ke negara B (Product Effect) 3) Perubahan daya saing (Competitiveness Effect)

(18)

X(t) nilai ekspor pada tahun t; X(0) nilai ekspor pada tahun

0, m adalah pertumbuhan untuk total nilai ekspor, mi adalah

pertumbuhan ekspor komoditas i. Xi(t) adalah nilai ekspor komoditas i pada tahun t. Xi(0) adalah nilai ekspor komoditas i pada tahun 0.

3.2.3 Analisis Partial Equilibrium (Keseimbangan Parsial)

SMART Model atau “Single Market Partial Equilibrium

Simulation Tool” adalah model keseimbangan parsial sederhana

yang dikembangkan oleh WITS. Dengan menggunakan tools SMART yang ada di WITS, model ini dapat menghitung dampak penurunan tarif hingga level disagregasi hingga HS 6 dijit. Penelian ini mengadopsi apa yang dilakukan oleh SMART dan menghitung dampak penurunan tarif level disagregasi yang lebih rinci yaitu agregasi dalam level pos tarif untuk masing-masing negara. Untuk itu, penghitungan simulasi pada penelitian akan menggunakan microsoft excel.

Dengan menggunakan HS pada level pos tarif

permasalahan bias pada level agregasi menjadi berkurang. Misalnya jika analisa menggunakan agregasi untuk apel dan mangga ke dalam “buah” kemungkinan kita akan menghadapi masalah bias agregasi. Tarif “buah” adalah rata-rata tariff apel dan mangga tapi dalam kasus misalnya apel memiliki tarif nol sedangkan mangga memiliki tarif 10% maka tarif buah dianggap 5%. Jika PE dihitung pada level agregasi pos tarif maka tarif apel tetap 0% dan tarif mangga adalah 10% dan tidak terjadi bias agregasi.

(19)

Data dan karakteristik dari partial equilibrium berdasarkan pada ketentuan berikut: pertama nilai perdagangan diperlakukan sebagai kuantitas dan harga dunia dianggap sama dengan satu. Kedua, harga domestik adalah sama dengan harga dunia ditambahkan tariff yang berlaku. Ketiga, ada tiga parameter yang digunakan dalam model ini yaitu import demand elasticity; export

supply elasticity; dan substitution elasticity. Import demand elasticity

diestimasi oleh WITS untuk masing-masing negara/ekonomi pada setiap HS 6 dijit. Export supply elasticity dibuat pada nilai 99 (sebagai proksi untuk asumsi negara kecil) dan dapat lebih besar jika negara tersebut memiliki kekuatan pasar yang lebih tinggi. Substitution elasticity dibuat pada nilai 1,5 dan dapat lebih tinggi tergantung pada informasi dan studi yang sudah ada. SMART menggunakan asumsi Armington untuk substitusi di mana komoditi bersifat imperfect substitute di antara negara asal barang.

Partial Equilibrium dari SMART pada dasarnya menghitung Trade Creation (TC), Trade Diversion (TD), Revenue Effect (RE),

dan Welfare Effect (WE). TE adalah peningkatan perdagangan (impor) negara yang dianalisa (atau reporting country) dari negara mitra kerjasama preferensial sebagai akibat dari adanya penurunan tarif yang membuat harga menjadi lebih murah. TD (sebagai mana yang didefinisikan dalam SMART) adalah beralihnya sumber barang impor yang awalnya berasal dari negara non anggota kerjasama ke negara anggota. RE adalah perubahan penerimaan yang bersumber dari tarif jika terjadi pemotongan tarif. WE adalah perubahan pada surplus konsumen.

(20)

BAB 4. PERKEMBANGAN PERDAGANGAN INDONESIA-JEPANG

4.1 Makroekonomi Indonesia Dan Jepang

Perbedaan makroekonomi Indonesia dan Jepang cukup signifkan. Produk Domestik Bruto (PDB) Jepang secara nominal sebesar dua kali lipat PDB Indonesia pada tahun 2014. Namun PDB riil Jepang telah mencapai hampir lima kali lipat PDB Indonesia. IJEPA merupakan contoh yang tepat untuk kerjasama perdagangan bebas antara negara maju dengan negara berkembang.

Tabel 4.1. Perbandingan Makroekonomi Indonesia dan Jepang

Sumber: IMF, 2015. World Economic Outlook April 2015

Pertumbuhan ekonomi Jepang jauh di bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jepang kembali berhasil tumbuh positif setelah krisis ekonomi yang melanda pada tahun 2009. Tekanan krisis ekonomi Jepang juga ditambah dengan berbagai rangkaian bencana gempa bumi yang dahsyat sehingga mengakibatkan resesi kedua terjadi pada tahun

GDP growth % 1.61 5.58

MARKET SIZE

Population Million person 127.34 247.95 USD/capita

Gross Domestic Bruto Gross Domestic Bruto Riil GDP Percapita

Japan

MACROEOCONOMY INDICATORS

4,685.29 Indicators

MACROECONOMIC COMPARASION INDONESIA AND JAPAN IN 2014

Unit Million USD in USD Million Indonesia 2,511.44 4,919.56 912.50 38,632.96 3,680.13

(21)

2011. Namun perekonomian Jepang kembali bisa tumbuh setelah 2012 dan berhasil dipertahankan hingga 2014.

Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Jepang dan Indonesia Sumber: IMF, 2015. World Economic Outlook April 2015

Kebijakan reformasi ekonomi Perdana Menteri Abe menekankan pada keterbukaan Jepang untuk dapat lepas dari krisis ekonomi. Jepang mulai menjadi negara yang sangat agresif untuk membuka akses pasar di luar negeri. Jepang mulai ikut berpartisipasi dalam negosiasi Trans

Pacific Partnership (TPP) sekaligus Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Hambatan di dalam negeri mulai dihilangkan

dengan melakukan lobby dengan parlemen untuk meliberalisasi sektor pertanian.

4.2 Kinerja Perdagangan Dan Investasi Indonesia Dengan Jepang

Indonesia selalu menikmati surplus neraca perdagangan dengan Jepang, tetapi surplus tersebut didorong oleh surplus neraca migas. Kinerja neraca perdagangan untuk non migas mengalami defisit yang berkelanjutan selama 2010-2014. Berdasarkan perkembangan nilai

(22)

ekspor pada Januari-Juli 2015, ekspor Indonesia mengalami penurunan sebesar 20.55 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun 2014.

Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Jepang (Dalam US$ Ribu)

Tren penurunan ekspor terlihat selama 2010-2014 dengan rata-rata

degradasi sebesar 4.24 persen per tahun. Ekspor migas mengalami tren penurunan yang lebih cepat dibandingkan dengan ekspor non migas selama periode yang sama. Penurunan yang cepat ini lebih disebabkan karena kelesuan pasar Jepang yang berhasil tumbuh sebesar 1.61 persen pada 2014.

4.2.1 Perdagangan 11 Pos Tarif Request Jepang untuk Produk Otomotif Indonesia

4.2.1.1 Industri Otomotif Indonesia

Struktur industri otomotif Indonesia didominasi oleh investasi asing (Natsuda et al, 2014). Natsuda et al (2014) menjelaskan bahwa Indonesia dapat menciptakan pabrik perakitan, pabrik pemasok komponen, dan penyerapan tenaga kerja di sektor otomotif yang jauh lebih besar dibandingkan

(Nilai : Ribu US$)

2014 2015 TOTAL PERDAGANGAN 42,747,614.40 53,151,308.40 52,902,939.30 46,370,847.00 40,173,241.30 (2.57) 23,583,907.20 18,785,233.00 (20.35) MIGAS 9,340,437.10 15,500,215.30 12,950,231.30 11,232,603.00 8,669,314.90 (4.60) 5,372,691.40 3,057,344.00 (43.09) NON MIGAS 33,407,177.40 37,651,093.10 39,952,708.00 35,138,243.90 31,503,926.40 (1.85) 18,211,215.80 15,727,889.00 (13.64) EKSPOR 25,781,813.60 33,714,696.10 30,135,107.70 27,086,258.80 23,165,662.50 (4.24) 13,557,202.20 10,771,674.40 (20.55) MIGAS 9,285,336.40 15,384,580.20 12,903,869.00 11,002,116.40 8,599,919.40 (4.77) 5,338,330.60 3,039,239.70 (43.07) NON MIGAS 16,496,477.30 18,330,116.00 17,231,238.70 16,084,142.30 14,565,743.10 (3.73) 8,218,871.50 7,732,434.70 (5.92) IMPOR 16,965,800.80 19,436,612.20 22,767,831.70 19,284,588.20 17,007,578.80 (0.03) 10,026,705.00 8,013,558.70 (20.08) MIGAS 55,100.70 115,635.10 46,362.40 230,486.60 69,395.60 12.20 34,360.80 18,104.40 (47.31) NON MIGAS 16,910,700.10 19,320,977.20 22,721,469.30 19,054,101.60 16,938,183.30 (0.11) 9,992,344.20 7,995,454.30 (19.98) NERACA PERDAGANGAN 8,816,012.90 14,278,083.90 7,367,276.00 7,801,670.50 6,158,083.70 (12.38) 3,530,497.20 2,758,115.70 (21.88) MIGAS 9,230,235.70 15,268,945.10 12,857,506.60 10,771,629.80 8,530,523.80 (4.94) 5,303,969.90 3,021,135.30 (43.04) NON MIGAS (414,222.80) (990,861.20) (5,490,230.60) (2,969,959.30) (2,372,440.20) 58.22 (1,773,472.70) (263,019.60) 85.17

Sumber: BPS, Processed by Trade Data and Information Center, Ministry of Trade

Trend(%) 2010-2014

Jan-Jul Perub.(%) 2015/2014

NERACA PERDAGANGAN INDONESIA DENGAN JEPANG

(23)

dengan negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand.

Gambar 4.2. Perbandingan Struktur Otomotif Indonesia dengan Malaysia, dan Thailand

Sumber: Natsuda et al (2014)

Indonesia merupakan produsen ke-14 dunia dengan produksi sebesar 1 juta unit mobil. Indonesia menduduki

peringkat di atas Thailand dan Malaysia. Indonesia

memproduksi sebagian mobil penumpang dan hampir 20 persen berupa mobil komersial. Indonesia memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen otomotif dunia dibandingkan Malaysia dan Thailand dengan mengundang pemain besar dunia untuk melakukan investasi di sector otomotif dunia (Natsuda et al 2014).

(24)

Tabel 4.3. Posisi Indonesia dalam Produksi Otomotif Dunia Tahun 2014

Sumber: OICA (2015)

Jepang merupakan produsen kedua terbesar dunia yang memiliki pertumbuhan produksi positif. Sebagian besar otomotif yang diproduksi Jepang adalah mobil penumpang. Jepang berhasil tumbuh 1.5 persen per tahun dengan produksi otomotif sebesar 9.7 juta unit mobil di tahun 2014. Pertumbuhan otomotif China jauh lebih besar dibandingkan Jepang dan masih merupakan produsen dunia terbesar otomotif di tahun 2014.

Indonesia dan Jepang memiliki kemampuan untuk memproduksi otomotif. Keterkaitan investasi Jepang untuk pengembangan sektor otomotif Indonesia sangat kuat (Natsuda et al 2014). Produsen otomotif Indonesia melalui kebijakan lokalisasi industri otomotif sebagai upaya membangun industri substitusi impor memperkuat kehadiran investasi otomotif Jepang di Indonesia (Natsuda et al 2014, Inoue 1990).

Ranking Country Cars Commercial

vehicles Total % change Total 67,530,621 22,203,607 89,734,228 2.80% 1 China 19,919,795 3,803,095 23,722,890 7.30% 2 Japan 8,277,070 1,497,488 9,774,665 1.50% 3 Germany 5,604,026 303,522 5,907,548 3.30% 4 USA 4,253,098 7,407,601 11,660,699 5.40% 5 South Korea 4,124,116 400,816 4,524,932 0.10% 14 Indonesia 1,011,260 287,263 1,298,523 7.60% 18 Thailand 742,678 1,137,329 1,880,007 -23.50% 20 Malaysia 547,150 49,450 596,600 -0.80% 27 Taiwan 332,629 46,594 379,223 12.00%

(25)

Tabel 4.4. Perkembangan Produksi Otomotif Indonesia Tahun 2014

Sumber: GAIKINDO (2014)

Produksi Indonesia berhasil tumbuh sebesar 125 persen selama pelaksanaan IJEPA untuk produksi sedan yang ber cc dibawah 1500 cc. Namun, produksi sedan mengalami penurunan dari 10.974 unit di tahun 2007 menjadi 2.909 unit di tahun 2014 atau mengalami penurunan berkisar 73,49 persen selama 7 tahun pelaksanaan IJEPA. Untuk model 4x2, produksi mobil Jepang mengalami kenaikan untuk mobil yang ber cc kurang dari 3000 cc. Indonesia mulai membangun mobil di atas 1500 cc yang ditunjukkan dengan kenaikan signifikan lebih dari 5.000 persen.

Berdasarkan data OICA, Jepang merupakan produsen mobil yang tertinggi dunia sebelum IJEPA diberlakukan pada tahun 2007. Jepang menduduki peringkat pertama produsen terbesar dengan memproduksi 9.9 juta unit mobil di tahun 2007 diikuti oleh China pada posisi kedua dengan memproduksi

2007 2014

Sedan CC kurang sama dengan 1500 16,207.00 36,575 125.67 1500 - 3000 10,974.00 2,909 (73.49) lebih dari 3000 200.00 174 (13.00) 4x2 type kurang dari sama dengan 1500 194,422.00 613,705 215.66

1500-2500 87,527.00 121,000 38.24 2500-3000 2,359.00 27,223 1,054.01 lebih dari 3000 1,425.00 (100.00)

4x4 type kurang dari sama dengan 1500

-1500-3000 1,479.00 16,035 984.18 lebih dari 3000 176.00 10,493 5,861.93 Bus 1,700.00 4,165 145.00 Pick up/truck 108,558.00 281,246 159.07 Double Cabin 8,314.00 (100.00) 433,341.00 1,113,525.00 156.96 Produksi (Unit) Jenis Growth 2010-2014 Total

(26)

sebesar 6.3 juta unit dan Jerman pada posisi ketiga dengan produksi sebesar 5.7 juta unit.

Selama IJEPA dilaksanakan, data OICA menunjukkan bahwa produksi otomotif Jepang mengalami penurunan yang cukup drastis baik untuk mobil dan kendaraan komersial. Produksi mobil Jepang mengalami penurunan sebesar 16.77 persen selama IJEPA dilaksanakan. Produksi kendaraan komersial mengalami penurunan sebagaimana produksi mobil dengan tingkat penurunan yang lebih rendah atau sebesar 15.71 persen selama pelaksanaan IJEPA.

4.2.1.2 Perdagangan Otomotif Indonesia dan Jepang

Neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami defisit

sejak sebelum Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA) diberlakukan. Defisit neraca perdagangan

otomotif mengalami perbaikan pasca krisis ekonomi 1998. Neraca perdagangan otomotif Indonesia dengan Jepang membaik dari defisit sebesar USD 1.1 milyar pada tahun 2001 menjadi defisit sebesar USD 676 juta pada tahun 2007. Kondisi yang membaik ini disebabkan oleh reformasi kebijakan otomotif Indonesia yang mendorong target terealisasinya produksi 1 juta unit mobil.

Setelah pemberlakuan IJEPA, defisit neraca perdagangan

Indonesia terlihat semakin memburuk. Defisit neraca

perdagangan otomotif Indonesia dengan Jepang mencapai USD 1.3 milyar di tahun 2014. Peningkatan defisit neraca perdagangan Indonesia-Jepang disebabkan oleh terjadinya pergeseran spesialisasi produksi otomotif dari berorientasi

sedan menjadi produsen SUV (Sport Utility Vehicle)

(27)

domestic yang menekankan pada Low Cost Green Car (LCGC) mengakibatkan impor pada produk mobil penumpang ber cc tinggi meningkat karena produsen domestic tidak memasoknya lagi.

Defisit neraca perdagangan produk otomotif dengan Jepang memang sudah keniscayaan dari sejarah terbentuknya pembangunan industrialisasi otomotif Indonesia. Nastuda et al (2014) dan Aswicahyono (2008) menjelaskan bahwa dominasi investasi asing di Indonesia untuk sector otomotif adalah untuk memasok produk otomotif dalam negeri Indonesia dan tidak untuk mensuplai ekspor. Investasi asing yang ada di Indonesia menumbuhkan industri pendukung otomotif. Peningkatan pasokan komponen Indonesia yang berkualitas ekspor merupakan suatu potensi ekspor Indonesia di dunia yang dapat mendorong Indonesia berpartisipasi lebih dalam rantai nilai global untuk industry otomotif (Natsuda et al 2014).

Jepang merupakan pemasok produk otomotif kedua setelah Thailand. Berdasarkan data TradeMap, Indonesia mengimpor USD 6.2 milyar dan Jepang hanya memasok USD 1.8 milyar di tahun 2014. Impor utama kedua Indonesia dari dunia adalah HS 870323 (Automobiles w reciprocatg piston

engine displacg > 1500 cc to 3000 cc) atau sebesar USD 616

juta di tahun 2014. Jepang merupakan pemasok utama HS 870323 (Automobiles w reciprocating piston engine displacing > 1500 cc to 3000 cc) dengan menguasai 50 persen lebih impor Indonesia dari dunia atau sebesar USD 340 juta.

(28)

4.2.2 Perdagangan Kategori R, Q, dan X Indonesia di Pasar Jepang 4.2.2.1 Definisi Produk Kategori R, Q, dan X

Perjanjian Indonesia-Japan Economic Partnership

Agreement (IJEPA) tercantum komitmen masing-masing pihak

baik Indonesia maupun Jepang. Daftar komitmen Jepang terdiri dari kategori B, P, R, Q, dan X. Kategori B adalah kategori penurunan tariff yang pada jangka waktu tertentu disepakati produk itu akan dikenakan nol persen. Misalkan B15 berarti bahwa produk tersebut akan mengalami penurunan tariff yang akhirnya akan menjadi nol persen dalam 15 tahun setelah penandatanganan perjanjian tersebut. Kategori R adalah

kategori renegosiasi yang berarti produk ini akan

direnegosiasikan oleh kedua belah pihak setelah 5 tahun pelaksanaan IJEPA atau pada waktu review (peninjauan kembali) dilakukan. Kategori Q adalah kategori produk yang dikenakan quota. Sedangkan untuk kategori X adalah kategori produk yang dikeluarkan dari skema penurunan tarif.

Produk-produk dalam kategori “R” adalah produk dalam konsesi Jepang yang menjadi objek negosiasi dalam kurun waktu tertentu setelah implementasi, dan terbagi dalam “R1” dan “R4”. Kategori “R1” adalah tarif Bea Masuk akan dinegosiasikan kembali bersamaan dengan General Review (tahun kelima setelah implementasi). Kategori R4 adalah kategori tarif Bea Masuk akan dinegosiasikan kembali di tahun keempat setelah negosisasi. Berdasarkan identifikasi Tim Perunding IJEPA dan analisis yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Kementerian lainnya bahwa produk yang masuk dalam kategori R dan Q adalah sebagai berikut:

(29)

Tabel 4.5. Pemetaan Kategori R dan Q berdasarkan Kementerian Pembina

Sumber: IJEPA (diolah Puska KPI dan Direktorat Kerjasama Bilateral, Ditjen KPI)

4.2.2.2 Perkembangan Perdagangan Produk R Indonesia 4.2.2.2.1 Perkembangan Produk R1

Berdasarkan data TradeMap, perdagangan Jepang dengan dunia cukup besar dan mengalami pertumbuhan yang cukup menarik. Pasar Jepang untuk produk perikanan kategori R1 sebesar USD 2.5 milyar dan tumbuh rata-rata per tahun sebesar 3.05 persen salama 2010 – 2014. Peningkatan terjadi selama 2010-2013 dengan didorong oleh kenaikan konsumsi impor ikan Jepang karena terganggunya pasokan dalam negeri akibat gempa bumi yang terjadi. Pasar impor kembali ke USD 2.5 milyar setelah pasokan dalam negeri mulai kembali bergerak sehingga konsumsi impor mulai menurun.

(30)

Gambar 4.3. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia, dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Perikanan Kategori R1 Sumber: TradeMap (diolah Puska KPI)

Jepang bukanlah pasar untuk produk ikan Indonesia yang masuk dalam R1 ini. Konsumsi Jepang mengalami kenaikan dan ekspor Indonesia ke dunia juga mengalami kenaikan. Tetapi ekspor Indonesia ke Jepang justru menurun sebesar 9.02 persen rata-rata per tahun selama periode 2010-2014. Penurunan ekspor ke Jepang juga diikuti dengan penurunan pangsa pasar Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang. Pangsa pasar Indonesia di Jepang menurun dari 8.97 persen di tahun 2010 menjadi 6.91 persen di tahun 2014.

Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat

mengharapkan Indonesia dapat memperoleh bea masuk nol persen untuk produk kategori R1 ini. Pernyataan yang sama juga diekspresikan oleh pengusaha tuna Indonesia di Bali dan asosiasi tuna longfine Indonesia. Kepentingan Indonesia sangat

(31)

jelas bahwa keringanan tarif secara preferensi akan mendorong keunggulan kompetitif Indonesia di Pasar Jepang.

Sementara produk makanan minuman dalam kategori R1

yang menjadi binaan Kementerian Perindustrian juga

merupakan pasar yang besar di Pasar Jepang. Jepang mengimpor USD 7.1 milyar di tahun 2014 dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 4.64 persen. Pasar Jepang ini cenderung memiliki fluktuasi yang sama dengan pasar produk perikanan dengan pola pemulihan konsumsi yang sama.

Gambar 4.4. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia, dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Makanan Minuman Kategori R1 Sumber: TradeMap (diolah Puska KPI)

Indonesia belum mengarahkan potensi pasokannya ke pasar Jepang secara optimal. Indonesia mengekspor ke dunia sebesar USD 1.7 milyar di tahun 2014 tetapi hanya mengekspor USD 51 juta ke Jepang. Jepang masih memasang bea masuk sebagai alat proteksi untuk produk Indonesia.

Pertumbuhan ekspor Indonesia cukup meningkat dan jauh lebih tinggi dari pertumbuhan pasar. Ekspor Indonesia ke

(32)

Jepang untuk produk makanan minuman pada kategori R1 ini sebesar 21.54 persen rata-rata per tahun selama 2010 – 2014. Pertumbuhan ekspor ke Jepang untuk produk ini jauh lebih besar daripada pertumbuhan ekspor Indonesia ke dunia.

Gambar 4.5. Perkembangan Perdagangan Jepang, Indonesia, dan Ekspor Indonesia ke Jepang untuk Produk Pertanian Kategori R1 Sumber: TradeMap (diolah Puska KPI)

Pasar produk pertanian Jepang untuk kategori R1 ini cukup besar dan tumbuh selama lima tahun terakhir ini. Impor Jepang dari dunia sebesar USD 5.4 milyar dengan pertumbuhan rata-rata 0.1 persen per tahun selama 2010-2014. Namun, puncak pertumbuhan terjadi pada tahun 2011 karena gempa sangat mempengaruhi pasokan produk pertanian dalam negeri sehingga impor cenderung meningkat cukup signifikan di tahun 2011. Konsumsi produk impor mulai menurun ketika pasokan produksi dalam negeri meningkat di tahun 2012 hingga 2014.

(33)

4.2.2.2.2 Perkembangan Produk R4

Indonesia belum melakukan aktivitas ekspor ke Jepang untuk produk pertanian yang termasuk dalam R4 yang menjadi binaan Kementerian Pertanian. Produk pertanian dalam kategori R4 ini dapat dinegosiasikan untuk dimasukkan dalam proses liberalisasi IJEPA sehingga Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan konsesi dari pihak Jepang. Indonesia sangat berkepentingan untuk mendapatkan konsesi ini.

Untuk kategori R4 ini, Indonesia mengekspor ke dunia sebesar USD 89 ribu di tahun 2014 dengan pertumbuhan ekspor Indonesia ke dunia sebesar 36.14 persen per tahun selama 2010-2014. Sementara pasar Jepang sangat besar untuk produk ini dengan yang mengalami tren yang cenderung negatif. Pasar Jepang hanya mencapai USD 31 juta di tahun 2014 dengan pertumbuhan negatif sebesar 0.81 persen per tahun selama 2010-2014.

Indonesia belum mengekspor ke Jepang selama 2010-2014 untuk HS 220720 (Ethyl alcohol and other spirits,

denatured, of any strength). Pasar Jepang untuk produk ini

merupakan pasar yang kecil dan cenderung mengalami pertumbuhan negatif selama 5 tahun terakhir ini. Produk minuman keras memang diproteksi oleh Jepang di dalam IJEPA ini sehingga renegosiasi dalam review ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk memperoleh konsesi.

Namun untuk HS 220710 (Undenaturd ethyl alcohol of an

alcohol strgth by vol of 80% vol/higher), Indonesia berhasil

mengekspor USD 14 juta ke Jepang di tahun 2014 dengan pertumbuhan rata-rata per tahun sebesar 4.25 persen. Sementara pasar Jepang cukup besar dengan tingkat

(34)

pertumbuhan yang cukup tinggi. Impor Jepang untuk HS ini sebesar USD 462 juta dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5.26 persen per tahun selama 2010-2014. Indonesia sangat berpotensi memasuki pasar Jepang karena ekspor Indonesia ke dunia cukup besar dan mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi.

4.2.2.2.3 Perkembangan Produk Q

Perkembangan perdagangan produk Q memang menarik. Indonesia telah meminta tarif kuota untuk HS 0803.00 (fresh

pineapple) sebesar 0% in quota 10.000 MT/year. Jepang juga

memberikan tariff kuota untuk HS 0804.30 (Weighing less than

900g as a whole, not peeled, whether or not crowned) sebesar

0% in quota 3.000 MT/year (less than 2000g). Indonesia belum melakukan aktivitas ekspor sama sekali selama 5 tahun terakhir ini tetapi potensi ekspor Indonesia masih sangat besar. Indonesia juga mengalami ekspor yang menurun selama 5 tahun terakhir ini untuk produk sorbitol (HS 290544).

(35)

BAB 5. ANALISIS COST DAN BENEFIT INDONESIA JAPAN ECONOMIC PARTNERSHIP AGREEMENT (IJEPA)

5.1 Analisis Constant Market Share

Sebelas (11) Pos Tarif produk yang menjadi prasyarat Jepang adalah produk-produk sebagai berikut:

Tabel 5.1. Daftar Produk Otomotif yang Menjadi Request Jepang

Sumber: TradeMap (diolah Puska KPI)

Berdasarkan analisis Constant Market Share, produk-produk otomotif yang diminta oleh pihak Jepang memiliki penurunan daya saing secara keseluruhan. Produk-produk yang mengalami penurunan daya saing di Indonesia adalah HS 8703236391 (Dengan kapasitas silinder melebihi 2,000 cc tapi tidak melebihi 2.500 cc: Sistem penggerak dua roda (4x2)), HS 8703236492 (Sistem penggerak empat roda (4x4)), HS 8703236191 (Oth motor car excl van,1500-1800cc,not), dan HS 8703236192 (Oth motor car excl van,1500-1800cc,not untuk Sistem penggerak empat roda (4x4)).

HS Description

8703236391 Oth motor car excl van,2000-2500cc,not 8703236291 Oth motor car excl van,1800-2000cc,not 8703236491 Oth motor car excl van,2500-3000cc,not 8703236492 Oth motor car excl van,2500-3000cc,not

8703239210 Oth vehicle, 1800-2000 cc, (4x2) system, not ckd,int combust recipro p 8703236191 Oth motor car excl van,1500-1800cc,not

8703236292 Oth motor car excl van,1500-1800cc,not 8703236392 Oth motor car excl van,2000-2500cc,not 8703239410 Oth vehicle,2500-3000cc,not ckd,2 wd, in

8703239310 Oth vehicle, 2000-2500 cc, (4x2) system, not ckd,int combust recipro p 8703236192 Oth motor car excl van,1500-1800cc,not c

(36)

Tabel 5.2. Hitungan Constant Market Share untuk Produk Auto Tarif Jepang

Sumber: diolah Puska KPI

Keterangan: WE adalah world effect, CE adalah commodity effect, dan Comp adalah competitiveness (daya saing). DEX adalah delta ekspor.

Sedangkan menurut penghitungan CMSA, produk-produk yang menjadi request Indonesia ternyata secara total mengalami penurunan daya saing di pasar Jepang. Penurunan daya saing ini disebabkan mulai masuknya pemain baru seperti Thailand yang mendapatkan preferensi nol persen dengan Ketentuan Asal Barang Asean Trade In Good

Agreement (ATIGA). Selain itu tren ekspor mulai muncul produk-produk

dari Jerman dan Amerika walaupun dalam jumlah cukup kecil. Produk-produk baru ini menurunkan pangsa pasar Jepang di Indonesia.

Indonesia dapat melepas B15 menjadi P14 sehingga tariff menjadi 5 persen pada tahun 2016 hanya untuk HS 8703236292 karena penambahan ekspor masih sangat kecil dan tidak didorong oleh daya saing. Indonesia memiliki daya saing produk dalam negeri yang cukup

(37)

kuat untuk HS ini karena investasi asing di produk pada HS ini meningkat.

Tabel 5.3. Analisis Constant Market Share untuk Produk Kategori R, Q dan X Indonesia di Pasar Jepang

Sumber: diolah Puska KPI

Sedangkan berdasarkan analisis constant market share,

perubahan ekspor Indonesia ke Jepang untuk produk kategori R, Q, dan X lebih didorong oleh permintaan impor Jepang dari dunia daripada daya saing. Selama periode 2012-2014, ekspor Indonesia ke Jepang untuk produk kategori R,Q, dan X mengalami penurunan sebesar USD 149 juta. Penurunan ini disebabkan oleh penurunan permintaan Jepang akan produk impor dunia sebesar USD 99 juta atau sebesar 66 persen dari perubahan ekspor Indonesia ke Jepang. Perubahan konsumsi Jepang terhadap produk yang diimpor ternyata hanya sebesar USD 17 juta atau berkisar 11.8 persen dari total perubahan. Penurunan daya saing produk Indonesia ke Jepang hanya sebesar USD 32 juta atau 21.62 persen dari penurunan yang terjadi.

Produk R1 pembinaan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terdiri dari 29 pos tariff. Namun hanya 26 pos tariff yang diperdagangkan

(38)

dan Jepang melakukan impor dari dunia. Tuna bluefine (HS 030194) dan Anchovies (HS 030242) merupakan produk yang tidak diperdagangkan oleh Jepang. Jepang tidak melakukan impor untuk kedua pos tariff tersebut selama periode 2012-2014. (lihat lampiran kajian)

Indonesia tidak melakukan kegiatan ekspor untuk 10 pos tariff kategori R1 yang menjadi binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan ini ke Jepang, tetapi Jepang melakukan impor dari dunia. Sementara Jepang mengimpor hampir mencapai USD 962 juta di 2010 dan mengalami penurunan menjadi USD 672 juta di 2014. Untuk 10 pos tariff ini, Indonesia tidak dapat dianalisis daya saingnya dan dapat disimpulkan bahwa 10 pos tariff ini Indonesia belum berdaya saing di Jepang. (lihat lampiran kajian)

Analisis untuk produk kategori R1 yang menjadi binaan KKP dapat dilakukan untuk 16 pos tariff saja. Ekspor untuk 16 pos tariff ini mengalami penurunan dari USD 208 juta menjadi USD 138 juta di 2014. Penurunan sebesar hampir USD 20 juta ini lebih disebabkan oleh penurunan permintaan Jepang untuk impor dari dunia sebesar USD 78 juta dan penurunan daya saing sebesar USD 10 juta. Penurunan ini ternyata ditahan oleh pola konsumsi Jepang yang menyukai pada 16 pos tariff ini dibandingkan dengan pos tariff impor lainnya. (lihat lampiran kajian).

Produk R1 untuk binaan Kementerian Perindustrian untuk makanan minuman terdiri dari 73 pos tariff tetapi ternyata hanya 20 pos tariff saja yang melakukan ekspor ke Jepang. Indonesia belum melakukan ekspor ke Jepang untuk produk turunan susu (seperti susu kaleng), produk buah-buahan kaleng, minyak bunga matahari dan produk turunan kakao. Sementara impor Jepang dari dunia cukup besar untuk produk ini. (lihat lampiran kajian).

(39)

Penurunan ekspor produk R1 untuk binaan Kementerian Perindustrian untuk makanan minuman didorong lebih kuat oleh penurunan konsumsi impor Jepang dari dunia dan daya saing produk Indonesia daripada perubahan pola konsumsi masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang sangat suka produk ini tetapi lebih berorientasi domestic daripada mengimpor untuk produk yang sama. (lihat lampiran kajian).

Melihat hasil analisis Constant Market Share tersebut, perjuangan Indonesia untuk meminta sudah tepat karena hampir semua ekspor ke Jepang untuk produk tersebut mengalami penurunan baik daya saing maupun ekspor. Indonesia perlu memperjuangkan produk binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan dan binaan Kementerian Perindustrian untuk produk makanan minuman yang masuk dalam kategori X karena Indonesia memiliki daya saing yang tinggi.

5.2 Analisis Partial Equilibrium

Berdasarkan penghitungan partial equilibrium, Indonesia akan menderita kerugian sebesar tambahan impor untuk produk otomotif di atas 1500-3000 cc sebesar USD 31 juta apabila auto tarif diterima oleh Indonesia. Namun, welfare konsumen Indonesia meningkat sebesar USD 23 juta dan jauh lebih besar dibandingkan welfare Jepang yang hanya menikmati USD 5.57 juta.

(40)

Gambar 5.1. Hasil Analisis Partial Equilibrium untuk Request

Offer GR IJEPA (Dalam USD Juta)

Sumber: Hasil Partial Equilibrium, diolah Puska KPI

Indonesia akan kehilangan pendapatan negara sebesar USD 80.29 juta dan Jepang akan kehilangan pendapatan negara sebesar USD 1.1 milyar. Ekspor Indonesia akan meningkat sebesar USD 130 juta dan ekspor Jepang akan meningkat sebesar USD 68.7 juta. Apabila pertukaran antara auto tarif dengan request R,Q, dan X dilakukan maka Indonesia akan untung dengan peningkatan neraca perdagangan sebesar USD 61 juta.

Pihak Jepang akan kehilangan pendapatan negara sebesar USD 1.1 milyar. Kompensasi peningkatan kesejahteraan ekonomi adalah sebesar USD 550 juta. Indonesia akan mengalami peningkatan ekspor USD 130 juta ke Jepang apabila R,Q, dan X disetujui untuk diberikan preferensi tarif.

(41)

Indonesia perlu mendorong preferensi Jepang untuk produk R1 binaan KKP dan R4 binaan kemenperin karena Indonesia benar-benar menjadi produsen paling efisien di pasar Jepang. Kedua kelompok produk tersebut mengalami peningkatan ekspor lebih didorong oleh

penciptaan perdagangan (trade creation) daripada pengalihan

perdagangan (trade diversion).

Indonesia perlu waspada untuk HS 030194 (live bluefine tuna) karena Indonesia tidak mengekspor ke dunia dan ke Jepang sehingga pembukaan pasar juga tidak akan membawa kenaikan ekspor Indonesia. Indonesia perlu memperjuangkan 10 pos tarif binaan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang masuk dalam kategori R1 yang Indonesia belum dapat masuk ke Jepang. Hambatan tariff masih menjadi masalah dan tentunya pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan dapat menganalisis kebijakan SPS dan Standar Jepang.

Tabel 5.4. Dampak Penurunan Tarif di Pasar Jepang terhadap Ekspor Indonesia

Sumber: diolah Puska KPI

Keterangan: Q adalah Kategori Q, R adalah kategori R, X adalah Kategori X, TANI adalah Kementerian Pertanian, DEPHUT adalah Kementerian Kehutanan, MM adalah Kementerian Perindustrian untuk Makanan Minuman, HULU adalah Kementerian Perindustrian untuk Kimia Hulu

Sumber: diolah Puska KPI

Kategori dan Pembina X sebelum TC TD TE X setelah Govt Revenue Welfare

QHU 15,607.00 2,729.30 1,327.08 4,056.39 19,663.39 (41,375.16) 20,687.58 QTANI 37.00 4.15 6.71 10.86 47.86 (123.75) 61.87 R1DKP 138,661.00 6,110.99 3,949.46 10,060.45 148,721.45 (37,569.69) 18,784.84 R1MM 47,135.00 6,261.76 9,583.20 15,844.95 62,979.95 (321,525.96) 160,762.98 R1TANI 4,846.00 240.96 643.98 884.94 5,730.94 (10,728.30) 5,364.15 R4DEPHUT 641,837.00 34,973.72 39,388.06 74,361.78 716,198.78 (516,889.73) 258,444.86 R4MM 14,138.00 4,056.49 604.16 4,660.65 18,798.65 (13,515.88) 6,757.94 R4TANI - - - - - - -XDKP 64,442.00 13,969.21 5,609.07 19,578.28 84,020.28 (137,608.50) 68,804.25 XMM 151.00 647.66 81.93 729.59 880.59 (23,080.27) 11,540.14 XTANI - - - - - - -Total R,Q, dan X 926,854.00 68,994.25 61,193.64 130,187.89 1,057,041.89 (1,102,417.25) 551,208.62

(42)

Khusus untuk R4 dan X binaan Kementan ternyata Indonesia tidak melakukan ekspor sama sekali ke Jepang. Namun Indonesia melakukan ekspor ke dunia sehingga potensi masih besar apabila konsesi bisa didapatkan.

Kenaikan ekspor terbesar akan dialami oleh produk kehutanan apabila pihak Jepang berkenan meliberalisasi produk tersebut. Indonesia akan mengalami kenaikan sebesar USD 74 juta apabila Jepang mau membuka pasarnya. Namun, Indonesia bukanlah produsen terefisien bagi Jepang karena pengalihan perdagangan (trade diversion) jauh lebih besar daripada penciptaan perdagangan (trade creation).

Apabila pertukaran dilakukan dengan hanya memberikan yang menjadi kewajian artikel 151 saja, yaitu pihak Jepang hanya memenuhi R dan Q saja dan Indonesia akan memenuhi transposisi 11 pos tariff otomotif saja maka Indonesia masih mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan tambahan ekspor sebesar USD 109 juta dan Jepang hanya mendapatkan USD 68.77 juta.

Kehati-hatian perlu dicermati untuk kebijakan non tarif produk-produk kategori R, Q, dan X terutama untuk tuna longfine hidup dan beberapa produk yang Indonesia belum dapat masuk ke pasar Jepang. Hambatan non tarif menjadi sangat penting karena akan menghambat ekspor yang terdorong oleh keunggulan kompetitif yang berasal dari harga. Perundingan pembangunan kapasitas untuk kebijakan non tarif Jepang terutama standard dan kebijakan SPS Jepang sebaiknya dijadikan single undertaking dalam perundingan barang.

(43)

BAB 6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan

Kajian ini memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Indonesia dan Jepang sedang melakukan General Review IJEPA sesuai dengan pasal 151 Perjanjian IJEPA.

2. Pemulihan perekonomian Jepang mulai terlihat sejak 2013 disertai dengan paket ekonomi Perdana Menteri Abe yang semakin agresif berpartisipasi dalam perundingan integrasi regional dan global.

3. Berdasarkan penghitungan Constant Market Share, Jepang

mengalami penurunan daya saing sehingga menjadi tidak kompetitif di Pasar Indonesia. Berdasarkan analisis Constant Market Share, produk-produk otomotif yang diminta oleh pihak Jepang memiliki penurunan daya saing secara keseluruhan. Produk-produk yang mengalami penurunan daya saing di Indonesia adalah HS 8703236391 (Dengan kapasitas silinder melebihi 2,000 cc tapi tidak melebihi 2.500 cc: Sistem penggerak dua roda (4x2)), HS 8703236492 (Sistem penggerak empat roda (4x4)), HS 8703236191 (Oth motor car

excl van,1500-1800cc,not), dan HS 8703236192 (Oth motor car excl van,1500-1800cc,not untuk Sistem penggerak empat roda (4x4)).

4. Berdasarkan penghitungan Constant Market Share, produk-produk yang menjadi request Indonesia ternyata secara total mengalami penurunan daya saing di pasar Jepang. Permintaan kepada Jepang untuk meliberalisasi produk kategori R,Q, dan X akan memberikan peningkatan daya saing produk Indonesia di Jepang.

5. Berdasarkan penghitungan partial equilibrium, Indonesia akan menderita kerugian sebesar tambahan impor untuk produk otomotif di atas 1500-3000 cc sebesar USD 31 juta apabila auto tarif diterima oleh Indonesia. Namun, welfare konsumen Indonesia meningkat sebesar

(44)

USD 23 juta dan jauh lebih besar dibandingkan welfare Jepang yang hanya menikmati USD 5.57 juta.

6. Ekspor Indonesia akan meningkat sebesar USD 130 juta dan ekspor Jepang akan meningkat sebesar USD 68.7 juta. Apabila pertukaran antara auto tarif dengan request R,Q, dan X dilakukan maka Indonesia akan untung dengan peningkatan neraca perdagangan sebesar USD 61 juta.

6.2 Rekomendasi Kebijakan

7. Pihak Indonesia sebaiknya tidak menerima seluruhnya permintaan Jepang untuk perubahan P14 ke B15 untuk komitmen penurunan tarif bea masuk untuk 11 pos tarif otomotif yang diajukan Jepang.

8. Indonesia harus memperjuangkan produk-produk kriteria R, Q, dan X untuk dapat diliberalisasi hingga nol persen.

9. Pihak Indonesia perlu menyampaikan pentingnya pembangunan kapasitas untuk sektor otomotif sebagai kompensasi peningkatan impor dan kehilangan pendapatan negara karena membuka 11 pos tarif otomotif Indonesia.

10. Pihak Indonesia perlu mengusulkan bahwa pembangunan kapasitas untuk kebijakan non tariff Jepang seperti standar dan kebijakan SPS.

(45)

DAFTAR PUSTAKA

Basri, M. C. (2012). Indonesia's Role in the World Economy: Sitting on the Fence. In A. Reid. Singapore: Institute of South East Asian Studies.

CNN. (2015, 5 19). Retrieved from CNN Indonesia:

http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150318055140-92-39871/pemerintah-tinjau-ulang-kerjasama-perdagangan-bebas/

Humphrey, J., & Memedovic, O. (2003). The Global Automotive Industry

Value Chian: What Prospects for Upgrading by Developing Countries.

Vienna: UNIDO.

Natsuda, K., Otsuka, K., & Thoburn, J. (2014, October 1). Dawn of

Industrialisation? The Indonesian Automotive Industry. Retrieved from

www.apu.ac.jp:

http://www.apu.ac.jp/rcaps/uploads/fckeditor/publications/workingPape rs/RWP_13005.pdf

OICA. (2015, April 12). World Vehicles Production. Retrieved from OICA: www.oica.org

Gambar

Tabel 4.1. Perbandingan Makroekonomi Indonesia dan Jepang
Gambar 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Jepang dan Indonesia
Tabel 4.2. Neraca Perdagangan Indonesia dengan Jepang  (Dalam US$ Ribu)
Gambar 4.2. Perbandingan Struktur Otomotif Indonesia dengan  Malaysia, dan Thailand
+7

Referensi

Dokumen terkait

Betha Landes K.S., Manfaat Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA) (Manfaat Ekspor Komoditi Non-Migas Indonesia ke Jepang), Program Sarjana Ilmu

jaminan pasokan bahan baku yang berupa LNG, minyak bumi, batubara dari Indonesia dan penurunan serta penghapusan tarif bea masuk untuk barang ekspornya ke Indonesia yang berbasis

Oleh karena itu dengan adanya kerjasama Indonesia dengan Jepang dalam kerangka IJEPA, pemerintah Indonesia akan berupaya memperoleh pembukaan pasar Indonesia di Jepang di

Maka pemerintah mewacanakan beberapa konsep untuk pencegahan supaya Negara Indonesia tidak menjadi negara yang komsumtif, karena pada saat ini masyarakat Indonesia lebih

Data yang dibutuhkan ialah data yang berkaitan langsung dengan penelitian penulis yakni tentang hubungan kerjasama Indonesia dan Jepang dalam perjanjian

Perwujudan kerjasama Jepang dan Indonesia dibidang ekonomi direalisasikan melalui IJEPA, suatu bentuk kerjasama yang menawarkan gagasan baru, lebih kompleks dibandingkan

IJ-EPA merupakan kerjasama ekonomi bilateral antara Indonesia dengan Jepang yang diratifikasi oleh kedua negara tersebut pada tanggal 20 Agustus 2007,

26 Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan bargaining position yang patut diperhitungkan oleh Jepang, lewat kesediaannya untuk