• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) RAKHMI WALIDAINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO, JAWA BARAT (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) RAKHMI WALIDAINI"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,

JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara)

RAKHMI WALIDAINI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(2)

MEKANISME PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN AIR

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO,

JAWA BARAT

(Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara)

RAKHMI WALIDAINI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

(3)

RINGKASAN

RAKHMI WALIDAINI. Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara). Dibimbing oleh ENDES N. DAHLAN dan HARYANTO R. PUTRO.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki peran penting dalam perlindungan sistem tata air serta pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Kawasan ini memiliki nilai manfaat air sebesar Rp 4,341 milyar/tahun (Darusman 1993). Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi sistem tata air adalah melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Keberlanjutan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan bahan pertimbangan untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme, keterlibatan para pihak serta mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP.

Penelitian ini dilakukan di TNGGP dan sekitarnya pada bulan September-November 2011. Data dikumpulkan melalui studi literatur, observasi lapang dan wawancara semi terstruktur dengan narasumber kunci dan anggota kelompok tani. Narasumber dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Data dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif dan analisis para pihak berdasarkan Groenendjik (2003). Selain itu, mekanisme yang berjalan dilihat berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya.

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP didasari oleh surat edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008. Selanjutnya, dibentuk forum independen yang mengelola insentif dari para pemanfaat jasa lingkungan air TNGGP. Dana kompensasi yang terkumpul kemudian digunakan untuk menjalankan program kerja serta manajemen Forpela TNGGP. Keterlibatan para pihak dilihat berdasarkan keikutsertaan para pihak dalam mekanisme. Pihak yang terlibat pada awal penginisiasian mekanisme antara lain: BB TNGGP, ESP-USAID, RCS, Dinas PSDA, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Kehutanan, dan Dirjen PJLKKHL. Pihak yang terlibat dalam penerapan mekanisme antara lain: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, KSM Cinagara Asri, Forpela TNGGP, Mapala UI, YBUL, dan pemanfaat-pemanfaat air (PT Rejosari Bumi, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara dan Pusdiklat Karya Nyata).

Mekanisme ini termasuk mekanisme “PES-like” karena memenuhi hampir

semua kriteria Wunder (2005). Namun, berdasarkan perkembangan mekanisme PJL yang terjadi di lapangan, mekanisme PJL di desa Tangkil dan Cinagara lebih terlihat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat dengan melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, sedangkan upaya konservasi dilakukan BB TNGGP selaku pengelola kawasan TNGGP.

(4)

SUMMARY

RAKHMI WALIDAINI. Payment for Environmental Water Service Mechanism in Gede Pangrango National Park, West Java (Case Study in Tangkil and Cinagara Villages). Under supervision of ENDES N. DAHLAN and HARYANTO R. PUTRO.

Gede Pangrango National Park (GPNP) has an important role in protection water system and surrounding community empowerment. This area has a value of water benefits of Rp 4,341 billion/year (Darusman 1993). One of the ways is conducted to protect water system is through the payment for environmental services. Sustainability of this mechanism is expected to enhance the position of the GPNP as a provider of environmental water service and consideration for managing the use of environmental water services in protected area. The purpose of this research is to know about the payment of environmental water service mechanism, the involvement of all stakeholders, and to evaluate the payment of environmental water service mechanism in GPNP.

This research conducted in GPNP and its surrounding in September-November 2011. Data collected through the study of literature, field observation and semi structured interview with key speakers and members of farmer groups. Key speakers were selected by purposive considering the level of their knowledge of the mechanism. Data analyzed with descriptive qualitative analysis and stakeholder analysis based on the Groenendjik (2003). Besides, this mechanism views based on the definition of Wunder (2005) and other literature.

This mechanism is based on letter of Dirjen PHKA number SE.3/IV-SET/2008. Next, was formed an independent forum which manage the incentive of the water service users in GPNP. Collected compensation fund then used to carry out the work program and management of Forpela GPNP. The involvement of the stakeholders are based on their participation in the mechanism. Stakeholdes involved at the beginning are TNGGP office, ESP-USAID, RCS, Agency of PSDA, Agency of ESDM, Agency of Agriculture and Forestry, and Dirjen PJLKKHL. Stakeholders involved in the implementation of the mechanism, such as: KT Saluyu, KT Garuda Ngupuk, KSM Cinagara Asri, Forpela TNGGP, Mapala UI, YBUL, and water service users (Rejosari Bumi company, Pacul Mas Tani company, BPKH Cinagara, STPP Cinagara and Pusdiklat Karya Nyata).

This mechanism include to “PES-like” mechanism because it fulfilled

almost all criteria of Wunder (2005). However, based on the development of mechanism that occurs in the field, the mechanism in Tangkil and Cinagara villages more visible community empowerment as an effort to collaborate with various stakeholders, whereas conservation efforts done by GPNP officer as GPNP area manager.

(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Maret 2012

Rakhmi Walidaini E34070012

(6)

Judul Skripsi : Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara)

Nama : Rakhmi Walidaini

NIM : E34070012

Menyetujui, Pembimbing I,

Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. NIP. 19501226 198003 1 002

Pembimbing II,

Ir. Haryanto R. Putro, MS. NIP. 19600928 198503 1 004

Mengetahui,

Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. NIP. 19580915 198403 1 003

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt atas segala rahmat dan karunia yang diberikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi dengan judul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB.

Skripsi ini menguraikan tentang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang ada di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Skripsi ini lebih memfokuskan wilayah kajian pada desa Tangkil dan Cinagara. Mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan taman nasional menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pengelolaan jasa lingkungan hutan khususnya air. Selain itu, mekanisme ini diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan pusat pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan. Adanya keterlibatan para pihak diharapkan mampu mendukung keberlanjutan mekanisme ini. Oleh karena itu, skripsi ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengelola dan pihak terkait dalam pengelolaan jasa lingkungan air yang lebih baik di masa mendatang.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS yang telah memberikan bimbingan hingga skripsi ini terselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, Maret 2012

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 12 Juli 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Imam Satriyo dan Ibu Ibnatul Ukhro.

Penulis memulai jenjang pendidikan di TK Taman Putra tahun 1992-1995. Pada tahun 1995, penulis melanjutkan pendidikan di SDN Jatiasih VI dan lulus pada tahun 2001. Penulis kemudian melanjutkan di SMPN 9 Bekasi pada tahun 2001 dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 113 Jakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) sebagai anggota periode 2008/2009 dan 2009/2010. Penulis aktif sebagai anggota Kelompok Pemerhati Ekowisata (KPE) Tapak. Penulis mengikuti kegiatan Eksplorasi Flora, Fauna dan Ekowisata Indonesia (RAFFLESIA) di Cagar Alam Rawa Danau, Banten tahun 2009 dan Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) 2010 di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong-CA Burangrang tahun 2009 dan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2010. Selain itu, penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Laiwangi-Wanggameti, Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2011.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Studi Kasus Desa Tangkil dan Cinagara) dibimbing oleh Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Ir. Haryanto R. Putro, MS.

(9)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya yang begitu besar. Seraya mengucap alhamdulillah, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Mama Ibnatul Ukhro, Papa Imam Satriyo, Niesfi Isbania, kakek Husin Abubakar, nenek Takyum atas semua doa, kasih sayang, dukungan moril dan materiil, serta pelajaran hidup yang diberikan.

2. Bapak Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS dan Bapak Ir. Haryanto R. Putro, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Bapak Dr. Ir. Harnios Arief, MSc sebagai ketua sidang dan Bapak Dr. Ir. Sucahyo Sadiyo, MS sebagai perwakilan dosen penguji dari Fakultas Kehutanan yang telah memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Seluruh staf Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango atas izin, bantuan dan informasi yang telah diberikan selama penelitian.

5. Bapak Usep Suparman (Forpela TNGGP/RCS), Bapak I Nyoman Sukarata dan Bapak I Made Soewecha (Forpela TNGGP/PT Rejosari Bumi unit Tapos), Bapak Idham Arsyad (ESP-USAID), Ibu Sondang R. Situmorang (PHKA), Bapak Suharso (BPKH Cinagara), Bapak Kenedy Putra (STPP Cinagara), Bapak Yono (PT Pacul Mas Tani), Bapak H. Bambang (Pusdiklat Karya Nyata), Mas Firmansyah (Mapala UI), Pak Mulyono (KT Saluyu), Bapak Manta (KT Saluyu), anggota KT Garuda Ngupuk, dan KSM Cinagara Asri yang telah berkenan menjadi narasumber dan memberikan banyak informasi dan bantuan kepada penulis selama penelitian.

6. Bapak Adang (KT Garuda Ngupuk) beserta keluarga atas bantuan dan informasi yang diberikan kepada penulis selama penelitian.

7. Ibu Nur dan Bapak Eko (KSM Cinagara Asri) atas bantuan dan informasi yang diberikan selama penelitian.

8. Staf desa Tangkil dan Cinagara atas izin dan bantuan yang telah diberikan selama penelitian.

(10)

9. Staf TU DKSHE yang telah banyak membantu administrasi penelitian.

10. Tanoto Foundation yang telah memberikan beasiswa kepada penulis selama menempuh perkuliahan.

11. Bapak Memen Suparman dan Ibu Cucu Suharyati atas doa, bantuan, informasi dan motivasi kepada penulis.

12. Andita Chairunnisa, Spetriani, Neina Febrianti, Retno Hastiti, Woro Probowati, Mettha Christiani, Fela Aditina, atas doa, motivasi, bantuan, dan persahabatan.

13. Nini Sriani, Dewanti Pratiwi, Risa Agustina, serta Teman-teman KSHE’44 KOAK (Angkatan Helarctos malayanus). Teman-teman di Rumah Hamasah, dan Wisma Blobo atas dukungan, bantuan, persahabatan dan kebersamaannya selama ini.

14. Septian Wiguna atas doa, bantuan, motivasi, dan kebersamaannya selama ini. 15. Semua pihak yang yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB IPENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 2

1.5 Kerangka Pemikiran ... 3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Jasa Lingkungan ... 5

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan ... 5

2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan ... 10

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP ... 11

2.5 Penelitian Terdahulu ... 12

2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP ... 12

2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS) ... 13

BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 16

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 16

3.2 Alat dan Obyek Penelitian ... 16

3.3 Metode Pengumpulan Data ... 16

3.3.1 Studi literatur ... 16

3.3.2 Observasi lapang dan wawancara ... 17

3.4 Metode Analisis Data ... 19

3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif ... 19

(12)

BAB IVKONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23

4.1 Penyedia Jasa Lingkungan ... 23

4.1.1 Kawasan TNGGP ... 23

4.1.2 Desa penyangga kawasan TNGGP ... 23

4.2 Pemanfaat Jasa Lingkungan Air... 27

BAB VHASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1 Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP ... 28

5.1.1 Latar belakang mekanisme pembayaran jasa lingkungan air ... 28

5.1.2 Penetapan nilai pembayaran jasa lingkungan air ... 30

5.1.3 Skema pembayaran jasa lingkungan air ... 33

5.1.4 Penerapan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara ... 37

5.1.5 Perkembangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air ... 39

5.2 Keterlibatan Para Pihak ... 42

5.2.1 Identifikasi para pihak ... 42

5.2.2 Peranan para pihak ... 43

5.2.3 Tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak ... 45

5.2.4 Hak dan kewajiban para pihak ... 50

5.3 Evaluasi Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP ... 55

5.3.1 Berdasarkan definisi Wunder (2005) ... 57

5.3.2 Berdasarkan perkembangan mekanisme ... 61

5.4 Permasalahan dan Solusi dalam Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP ... 67

5.4.1 Permasalahan... 67

5.3.4 Solusi yang ditawarkan ... 71

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN... 74

6.1 Kesimpulan ... 74

6.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(13)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data ... 18

2 Kepentingan (interest) masing-masing pihak ... 21

3 Penggunaan lahan di desa Tangkil tahun 2010 ... 24

4 Penduduk desa Tangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2010 ... 24

5 Penduduk desa Tangkil berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2010 ... 24

6 Penggunaan lahan desa Cinagara tahun 2007 ... 25

7 Penduduk desa Cinagara berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2007 ... 26

8 Penduduk desa Cinagara berdasarkan mata pencaharian tahun 2007 ... 26

9 Jumlah pemanfaat air yang terdaftar sebagai anggota Forpela TNGGP ... 27

10 Pemanfaatan air dari kawasan TNGGP oleh para pemanfaat ... 27

11 Nilai iuran pokok dan iuran wajib keanggotaan Forpela TNGGP ... 31

12 Jumlah kontribusi dari masing-masing pemanfaat air ... 32

13 Besaran, pengelolaan serta peruntukan iuran yang ada di masyarakat ... 32

14 Pemasukan dan pengeluaran Forpela TNGGP ... 33

15 Jenis kegiatan dan bantuan dalam penerapan pembayaran jasa lingkungan air di desa Tangkil dan Cinagara ... 37

16 Peranan masing-masing pihak... 44

17 Kepentingan (interest) masing-masing pihak ... 45

18 Hak dan kewajiban pemanfaat air berdasarkan AD/ART Forpela TNGGP dan MoU dengan BB TNGGP ... 52

19 Hak dan kewajiban BB TNGGP dan Forpela TNGGP berdasarkan MoU kemitraan tentang pemanfaatan air dari kawasan TNGGP ... 53

20 Hak dan kewajiban para pihak berdasarkan hasil wawancara ... 54

21 Kelebihan dan kekurangan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang dilakukan di TNGGP ... 64

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 4 2 Pembagian skema PES ... 6 3 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau, Banten . ... 13 4 Skema pembayaran jasa lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya

Lampung ... 15 5 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari

masing-masing pihak ... 21 6 Skema pendanaan jasa lingkungan air di TNGGP ... 34 7 Skema pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP ... 35 8 Bantuan yang diberikan kepada masyarakat kampung Gunung Batu, desa

Tangkil. Ket: (a) Domba; (b) Mesin mikrohidro ... 38 9 Bantuan berupa WC umum di desa Cinagara ... 41 10 Klasifikasi para pihak ... 43 11 Diagram matriks tingkat kepentingan (importance) dan pengaruh

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Panduan wawancara lembaga pemerintahan ... 82

2 Panduan wawancara LSM ... 83

3 Panduan wawancara Pemanfaat air ... 84

4 Panduan wawancara masyarakat ... 85

5 Panduan wawancara ketua kelompok tani ... 86

6 Lokasi-lokasi penelitian...87

7 Masukan pemanfaat air untuk pengelola TNGGP ketika proses pembentukan Forpela...88

8 Daftar pemanfaat yang memanfaatkan air dari kawasan TNGGP (di sekitar desa Tangkil dan Cinagara)...89

9 Daftar perusahaan pemanfaat air bersih di sekitar lokasi penelitian...89

10 Skoring masing-masing pihak...90

11 Rekomendasi Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Air di TNGGP...94

12 MoU kerjasama antara Forpela dengan Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango...95

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) memiliki peran penting dalam perlindungan sistem tata air serta pemberdayaan masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan Forpela TNGGP (2009), kawasan ini merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS). DAS tersebut adalah DAS Citarum (sub DAS Cikundul dan Cilaku), DAS Ciliwung, DAS Cisadane (sub DAS Cisadane Hulu), dan DAS Cimandiri (sub DAS Cimandiri Hulu dan Cicatih).

CI Indonesia (2009), menyatakan bahwa daerah hulu yang didominasi oleh hutan memiliki peran penting sebagai daerah tangkapan air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi serta fungsi lainnya. Puspaningsih (1999) menyebutkan pula bahwa daerah hulu memiliki fungsi lindung, fungsi hidrologis dan merupakan daerah resapan air untuk konsumsi daerah hilir. Selain itu, daerah hulu merupakan daerah pertanian bagi masyarakat hulu itu sendiri.

Kawasan TNGGP memiliki nilai manfaat dari fungsi hidrologis yang berjalan. Darusman (1993), menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. Selain itu, terdapat 11 desa dan 83 pemanfaat yang memiliki jaringan air langsung ke kawasan ini (USAID 2009).

Keberlangsungan sistem tata air sangat bergantung pada kelestarian ekosistem hutan (Suprayitno 2008). Perubahan yang terjadi pada daerah hulu akan berdampak pada sistem tata air yang mengalir pada daerah hilir. Dampak pada daerah hilir antara lain banjir, penurunan debit air untuk irigasi, kurangnya pasokan air minum, serta perubahan kualitas dan kuantitas air (CI Indonesia 2009). Selain itu, industri dan pemanfaat air yang berada di sekitar kawasan TNGGP akan terkena dampak pengurangan debit air untuk kebutuhan mereka.

Perlindungan sistem tata air pada kawasan TNGGP tidak dapat dilakukan sendiri. Hal tersebut memerlukan peran serta dari masyarakat, khususnya masyarakat desa penyangga kawasan TNGGP. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

(17)

Mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment for Environmental Services (PES) dilakukan untuk meminimalisasi kerusakan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar kawasan. Mekanisme yang dilakukan di TNGGP bertujuan untuk membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP dan meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui pengembangan inkubasi usaha terpadu (Forpela TNGGP 2009).

Keberlanjutan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air diharapkan akan meningkatkan posisi kawasan TNGGP sebagai penyedia jasa lingkungan air dan pusat pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan. Selain itu, penerapan dari mekanisme pembayaran jasa lingkungan air tersebut dapat dijadikan pertimbangan dalam pembentukan kebijakan untuk mengatur pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP. 2. Mengetahui keterlibatan para pihak dalam mekanisme pembayaran jasa

lingkungan air di kawasan TNGGP.

3. Mengevaluasi mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah informasi mengenai mekanisme pembayaran jasa lingkungan air serta penerapannya di TNGGP. Bagi para pihak terkait, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sarana evaluasi serta dapat menghasilkan sebuah rekomendasi bagi proses perumusan kebijakan dan peraturan perundangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini terfokus pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang berjalan di kawasan TNGGP. Hal-hal yang diteliti meliputi: latar belakang mekanisme, penetapan nilai kompensasi, skema pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan, para pihak yang terlibat, peranan para pihak, tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak, serta hak dan kewajiban para pihak. Selain itu, penelitian ini

(18)

juga melihat perkembangan mekanisme yang ada serta kendala dan solusi yang ditawarkan. Lokasi penelitian difokuskan pada desa Tangkil (KT Garuda Ngupuk dan Saluyu) dan Cinagara (KSM Cinagara Asri), pemanfaat air dan pihak lain yang berada di sekitar lokasi tersebut (meliputi resort Tapos, Cimande, dan Bodogol).

1.5 Kerangka Pemikiran

Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang harus dijawab antara lain:

1. Bagaimana sejarah dan proses berjalannya mekanisme PJL di kawasan tersebut? Apa saja hal yang disepakati para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Apa saja norma dan peraturan yang diacu para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Sejauh mana perkembangan mekanisme PJL yang berlangsung di kawasan tersebut? Apa saja output yang diharapkan?

2. Siapa saja pihak yang terlibat dalam mekanisme PJL di kawasan tersebut? Apakah keterlibatan para pihak tersebut sudah tepat atau masih terdapat pihak lain yang seharusnya dilibatkan dalam mekanisme tersebut? Selain itu, apa peranan, hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat? Bagaimana pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing pihak serta penegakan mekanisme yang berjalan?

3. Apakah mekanisme yang dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip PJL dan masih tergolong mekanisme PJL? Apa saja kendala yang dihadapi selama berlangsungnya mekanisme tersebut? Apa solusi dan rekomendasi untuk hal-hal tersebut?

Pertanyaan penelitian tersebut tergambar dalam bagan alir kerangka pemikiran penelitian (Gambar 1). Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab melalui analisis deskriptif menggunakan triangulasi data (poin 1 dan 3) serta analisis para pihak (poin 2). Sebelumnya dilakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait serta penelusuran dokumen yang berhubungan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di kawasan TNGGP.

(19)

Gambar 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP)

Banjir; penurunan debit air untuk irigasi serta industri; kurangnya pasokan air minum, serta perubahan kualitas dan kuantitas air.

Organisasi, yang meliputi : -Pihak-pihak yang terkait -Peran para pihak

-Penegakan mekanisme

(insentif, disinsentif)

Mekanisme non PJL Kinerja mekanisme PJL berdasarkan : -Realita di lapangan

-Studi Literatur

-Manfaat bagi kedua belah pihak Norma, yang meliputi :

-Peraturan-peraturan terkait -Perjanjian-perjanjian para pihak yang diacu bagi pelaksanaan mekanisme

Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)

Nilai manfaat air yang

disediakan kawasan ini

adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun.

- membangun kemitraan untuk mendukung upaya konservasi kawasan TNGGP

- meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga melalui pengembangan inkubasi usaha terpadu.

Masyarakat desa

Tangkil dan

Cinagara (desa

penyangga TNGGP)

Pemanfaat air dari kawasan TNGGP

Daerah tangkapan air,

mengontrol aliran air,

menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi serta

merupakan daerah

pertanian bagi masyarakat hulu itu sendiri

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jasa Lingkungan

Jasa lingkungan definisikan sebagai keseluruhan konsep sistem alami yang menyediakan aliran barang dan jasa yang bermanfaat bagi manusia dan lingkungan yang dihasilkan oleh proses ekosistem alami (Sutopo 2011). Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya (DPR RI 2007). Leimona et al. (2011) mendefinisikan jasa lingkungan sebagai penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan.

Wunder (2005), membagi produk jasa lingkungan hutan atau kawasan konservasi dalam empat kategori, yaitu:

1. Penyerap dan penyimpanan karbon (carbon sequestration and storage) 2. Perlindungan keanekaragaman hayati (biodiversity protection)

3. Perlindungan daerah aliran sungai (watershed protection) 4. Keindahan bentang alam (landscape beauty)

2.2 Pembayaran Jasa Lingkungan

Pembayaran jasa lingkungan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan posisi tawar jasa lingkungan. Pembayaran jasa lingkungan merupakan pemberian penghargaan berupa pembayaran, kemudahan, keringanan kepada pelaku pengelola penghasil jasa lingkungan dari suatu kawasan hutan, lahan atau ekosistem (Suprayitno 2008). Wunder (2005) menyatakan pembayaran jasa lingkungan (Payment for Environmental Services) sebagai “a voluntary transaction where a well-defined ES (or land-use likely to secure that service) is being ‘bought’ by a (minimum one) ES buyer from (minimum one) ES provider if and only if ES provider secures ES provision (conditionally)....” Berdasarkan

definisi tersebut, terlihat adanya beberapa pihak yang berkaitan dengan pembayaran jasa lingkungan, yaitu penyedia jasa, pembeli jasa serta perantara diantara keduanya.

(21)

Wunder (2008) membagi skema PES menjadi tiga bagian, yaitu skema PES murni, skema “PES-like”, dan insentif ekonomi lainnya (Gambar 2). Skema

“PES-like “ lebih banyak diterapkan dibandingkan dengan skema PES murni. Skema “PES-like” memenuhi kriteria-kriteria PES menurut Wunder (2005) tetapi

tidak semua kriteria.

Sumber: Wunder (2008)

Gambar 2 Pembagian skema PES.

CIFOR (2008) menyatakan bahwa terdapat hal-hal yang membuat skema “PES-like” lebih dominan dibandingkan skema PES murni. Hal-hal tersebut

diilustrasikan dengan membahas masing-masing kriteria, yaitu:

1. Pertama, PES memiliki konsep sukarela, kerangka negosiasi, dimana hal ini membedakan PES dari pendekatan “command and control”. Hal ini

mensyaratkan bahwa penyedia potensial benar-benar memiliki pilihan dalam penggunaan lahan, walaupun tidak pada setiap kasus.

2. Kedua, jasa yang dibeli harus didefinisikan dengan baik. Pada kenyataannya, apa yang dipikirkan untuk menyediakan jasa seringkali tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, dan bahkan kadang tidak mungkin, khususnya ketika hal itu berasal dari proses hidrologi.

3. Ketiga, terdapat minimum satu pembeli jasa

4. Keempat, terdapat minimum satu penyedia jasa. Bagaimanapun, pada praktiknya beberapa inisiatif dibiayai oleh donor lain daripada pembeli jasa, sementara yang lainnya membayar penyedia jasa tetapi menggunakan

(22)

sumberdaya tersebut untuk aktivitas proyek dibandingkan pembayaran kepada penyedia jasa.

5. Kelima, pada skema PES, pembayaran oleh pengguna tergantung pada keberlanjutan penyediaan jasa. Kriteria persyaratan ini sangat sulit dilakukan, dan di beberapa negara berkembang, bisnis ini seperti fitur PES, dimana hal itu berarti “anda membayar apa yang anda dapatkan”, meningkatkan substansi resistensi politik.

Wunder (2008) menyebutkan bahwa kelima kriteria PES digunakan di beberapa skema yang sebenarnya, tetapi penerapan dari skema “PES-like

memenuhi hampir keseluruhan kriteria-lebih banyak jumlahnya. Beberapa skema PES berlangsung sendirinya, umumnya pada inisiatif dilakukan oleh pembeli jasa lingkungan atau perantara seperti lembaga non-pemerintahan (LSM).

Wunder (2008) lebih lanjut menyebutkan, skema “PES-like” lainnya

dijalankan oleh lembaga pemerintah, yang berperan sebagai pembeli atas nama pengguna jasa lingkungan. Skema tersebut memiliki cakupan wilayah yang lebih luas dan cenderung menggabungkan beberapa jasa lainnya, serta mengutamakan berbagai tujuan lainnya (pengentasan kemiskinan, pengembangan sektoral dan regional). Hal ini didukung oleh dukungan politik, tetapi mungkin akan membahayakan keefektifan dalam mencapai tujuan lingkungan mereka.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) menyebutkan bahwa konteks PES yang dilakukan di kawasan konservasi dapat disesuaikan pada beberapa kondisi tertentu, tetapi tetap membutuhkan perhatian khusus. Secara pribadi, komunitas dan masyarakat lokal menyediakan, pilihan-pilihan penggunaan lahan biasanya secara hukum kurang dibatasi, sehingga PES dapat diaplikasikan untuk mempengaruhi pilihan manajemen sumberdaya secara sukarela. Kawasan konservasi, bagaimanapun, sudah diutamakan untuk dijaga secara ketat, dimana pada dasarnya membuat PES tidak dapat digunakan.

Wunder dan Wertz-Kanounnikoff (2009) juga menyebutkan, pembayaran di kawasan konservasi bisa disesuaikan dalam kasus-kasus khusus berikut: (a) dalam penggunaan kawasan konservasi secara berkelanjutan dimana jarak yang legal atau toleransi dari pilihan penggunaaan lahan berada (pilot PES berada pada pengaturan-pengaturan tertentu); (b) ketika kawasan konservasi sudah

(23)

dideklarasikan “di atas” tanah-tanah pribadi atau komunal sebelumnya, atau (c) ketika potensi “command and control” secara de facto mendekati nol. Bagaimanapun, walau dibawah keadaan yang bertentangan, insentif dari konteks PES di kawasan konservasi berpotensi untuk dapat ditingkatkan. Misalnya, aksi dari pembayaran penghuni liar illegal yang tidak menebang menciptakan dilema keadilan, tuntutan hukunan bagi yang suka menentang (mendorong harapan bahwa menghindari aktivitas-aktivitas ilegal layak mendapat kompensasi) dan “magnet” efek demografi (pembayaran bahkan menarik lebih banyak penghuni liar).

Penggunaan PES sebagai cara untuk meningkatkan nilai baru bagi manajemen kawasan konservasi mungkin adalah sebuah pilihan, tetapi hal tersebut tidak jauh berbeda dari ide asli PES sebagai kompensasi penyedia jasa yang menanggung biaya konservasi. Ketika pendekatan “command and control

dan PES dapat dikombinasikan di beberapa kasus (Wunder & Wertz-Kanounnikoff 2009).

Rosa et al. (2003) menekankan bahwa prinsip yang paling penting dalam menentukan mekanisme pembayaran dan imbal jasa lingkungan adalah keterlibatan jangka panjang masyarakat sebagai penyedia jasa lingkungan. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial jasa lingkungan adalah sebagai alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial yang lestari (Leimona et al. 2011).

Landell-Mills dan Porras (2002) menjelaskan beberapa mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang diterapkan di dunia, yaitu:

1. Direct negotiation, yaitu transaksi langsung antara penyedia dan pengguna jasa lingkungan. Pada umumnya, hal ini tercakup dalam suatu proyek pembangunan lingkungan. Hal ini seringkali menghasilkan proses negosiasi yang panjang. 2. Intermediary-based transaction. Dalam proses ini, fasilitator berperan agar

mengurangi biaya transaksi dengan cara mencari informasi, bernegosiasi, dan menyelesaikan proses transaksi. Fasilitator juga berperan mengurangi resiko

(24)

kegagalan dengan membangun kapasitas masyarakat, mencari partner yang tepat, serta mengidentifikasi masalah yang ada.

3. Pooled transaction, yaitu pendekatan yang mengandung resiko transaksi dengan membagikan investasi melalui beberapa pengguna jasa lingkungan. 4. Joint venture, yaitu mekanisme yang melibatkan investor yang menawarkan

input yang seimbang untuk memulai suatu perusahaan dan menyalurkan imbalan bagi lingkungan melalui perusahaan tersebut. Imbalan tersebut berbentuk bagi keuntungan, konsultasi teknis, dana langsung, dan lain-lain. 5. Retail based traders, yaitu imbalan jasa lingkungan yang terdapat pada produk

pasar dan jasa.

6. Internal traiding, yaitu transaksi antar departemen dalam suatu organisasi. 7. Over the conter traders/users fees. Jasa lingkungan dikemas terlebih dahulu

dalam menjalankan mekanisme ini.

Cahyono dan Suyanto (2006) menyatakan, imbal jasa multifungsi DAS mensyaratkan pemanfaat jasa membayar jasa yang diterimanya kepada penyedia jasa. Selain itu, jasa yang akan dibayarkan oleh penerima jasa kepada penyedia jasa harus disepakati terlebih dahulu. Penyedia jasa pun harus dapat memastikan bahwa jasa tersebut merupakan hasil pengelolaannya dan ketersediaannya tergantung pada keputusan yang diambil oleh penyedia jasa.

Gouyon (2004), membagi imbalan berkaitan dengan jasa lingkungan dalam tiga kategori yaitu :

1. Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi atas pertukaran suatu perubahan tata guna lahan.

2. Imbalan non finansial, misalnya penyediaan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi pihak yang menyediakan jasa lingkungan.

3. Akses ke sumberdaya atau pasar, seperti pemilikan lahan, atau akses pasar yang lebih baik dengan sertifikasi jasa lingkungan atau dengan skema alokasi kontrak publik.

Waage dan Stewart (2007), menyebutkan empat prasyarat keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang berjalan, yaitu :

1. Jasa lingkungan yang benar-benar dipahami oleh seluruh pemangku kepentingan serta adanya kemamapuan teknis pengelolaannya.

(25)

2. Informasi pasar yang mudah dipahami dan mudah diakses siapapun (transparan dan akuntabel).

3. Kerangka hukum yang suportif serta adanya lembaga pengawas yang kredibel. 4. Selalu bersedia melakukan perbaikan mekanisme apabila ada keberatan atau

kritik.

2.3 Peraturan Perundang-undangan tentang Pembayaran Jasa Lingkungan Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mendasari mekanisme pembayaran jasa lingkungan menurut RCS (2008), diantaranya : 1. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 70 menyebutkan bahwa

(1) masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan; (2) pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang yang berdaya guna dan berhasil guna; (3) serta dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah dapat dibantu oleh forum pemerhati kehutanan.

2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pasal 7 menyebutkan bahwa perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Selanjutnya, pasal 27 menyebutkan bahwa pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan.

3. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.

4. PP Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

5. SK Menhut Nomor 456/Menhut-II/2004, tentang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat di dalam dan di sekitar Kawasan Hutan, maka kegiatan pemberdayaan masyarakat dilakukan terhadap masyarakat desa di luar hutan.

Prasetyo et al. (2009) menyebutkan peraturan perundang-undangan terkait mekanisme pembayaran jasa lingkungan, antara lain :

1. UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup yang mengatur kewenangan dalam pengelolaan lingkungan. Pasal 10 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berkewajiban

(26)

mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

2. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

3. PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Pasal 1 ayat 6 menyebutkan pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Disebutkan lebih lanjut pada pasal 22, pada hutan konservasi, pemberian izin pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Disebutkan dalam pasal 33 ayat 1 bahwa obyek pajak pengambilan dan pemanfaatan air (air bawah tanah dan air permukaan) adalah pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan; pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan. Pasal 34 menyebutkan subyek dan wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Air di TNGGP

Darusman (1993), menyebutkan bahwa nilai manfaat air yang disediakan kawasan ini adalah sebesar Rp 4,341 milyar/tahun atau setara dengan Rp 280 juta/ha taman nasional/tahun. USAID (2006) menyatakan bahwa keberadaan TNGGP memiliki peranan penting bukan hanya untuk wilayah hulu tetapi juga bagi wilayah hilir seperti Jakarta dan sekitarnya. Manfaat kawasan ini sebagai daerah tangkapan air yang penting bagi kabupaten Cianjur, Sukabumi, Bogor dan DKI Jakarta; penyerap dan penyimpan karbon; penyeimbang iklim mikro; pengatur tata air; wisata alam; penelitian dan pendidikan. Jasa ekosistem kawasan hutan ini secara terus menerus menopang kehidupan manusia dan pembangunan.

USAID (2006) lebih lanjut menjelaskan, belum ada kebijakan, strategi dan aksi nyata dalam pengelolaan air yang lebih menghargai peran kawasan TNGGP. Pada kenyataannya, upaya memelihara kawasan hutan sebagai penghasil jasa

(27)

lingkungan air akan jauh lebih murah dibandingkan dengan pembangunan konstruksi air.

2.5 Penelitian Terdahulu

2.5.1 Jasa lingkungan di TNGGP

Karya ilmiah mengenai peningkatan kualitas jasa lingkungan TNGGP melalui Payment for Environmental Services (PES), pernah dilakukan oleh Sudrajat et al. (2009). Sudrajat et al. (2009) menyebutkan bahwa pemilik villa, perkebunan teh dan instansi pembangkit listrik pun harus turut membayar jasa air dari TNGGP yang dimanfaatkan. Dana yang diperoleh dari hasil pembayaran jasa lingkungan tersebut dikelola oleh suatu badan/lembaga yang dibentuk khusus untuk mengatasi masalah lingkungan. Dana yang terkumpul tersebut akan digunakan untuk pengelolaan TNGGP untuk penjagaan kualitas lingkungan di kawasan.

Lebih lanjut lagi, Sudrajat et al. (2009) menyebutkan pembayaran jasa lingkungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk biaya reboisasi, manajemen pengelolaan, biaya informasi, dan biaya promosi. Dengan adanya mekanisme tersebut, maka kualitas lingkungan TNGGP tetap terjaga. Selain itu, manfaat jasa yang dihasilkan oleh TNGGP dapat terus ditingkatkan. Artinya, pembayaran jasa lingkungan berkorelasi positif dengan peningkatan jasa lingkungan.

Penelitian lainnya mengenai pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut adalah Sutopo (2011). Penelitian ini ditekankan pada pengembangan kebijakan pembayaran jasa lingkungan dalam pengelolaan air minum yang mengambil lokasi studi di DAS Cisadane Hulu. Penelitian ini menyebutkan tingkat apresiasi masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan mencapai 54,3% dan sebanyak 61,1% perusahaan pemanfaat air minum bersedia membayar jasa lingkungan. Selain itu, penelitian ini juga mengasilkan rataan kesediaan perusahaan membayar (WTP) sebesar Rp 1.538,65/m3 dan kesediaan menerima pembayaran jasa lingkungan (WTA) sebesar Rp 1.589,29/m3. Berdasarkan hasil tersebut, maka rataan yang digunakan sebagai dasar pembayaran jasa lingkungan adalah sebesar Rp 1.563,97/m3.

(28)

2.5.2 Penerapan pembayaran jasa lingkungan di indonesia (studi kasus di beberapa DAS)

Budhi et al. (2008) melakukan penelitian mengenai konsep dan penerapan dari program pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan bahwa penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau dimotivasi oleh gangguan yang merusak daerah tangkapan air dan penggunaan pupuk dan pestisida pada pertanian yang mencemari air. Faktor lain adalah kebutuhan akan ketersediaan air yang diketahui telah mengalami fluktuasi pada beberapa tahun terakhir.

Mekanisme ini diagggap penting diterapkan untuk mengatasi masalah air. Selain itu, banyak perusahaan yang setuju untuk membayar sejumlah kompensasi kepada masyarakat hulu. Namun, penerapan dari program tersebut tidak mudah. PT KTI sebagai perusahaan air kemudian siap mendanai penerapan tersebut sebagai uji coba PES. PT KTI mendanai komunitas hulu dari DAS Cidanau untuk menanam pohon dan menggunakan teknik konservasi pada pertanian mereka. Skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Cidanau dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Budhi et al. (2007)

Gambar 3 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau, Banten. Penerapan mekanisme ini telah memberikan beberapa manfaat kepada lingkungan dan kondisi petani yang terlibat dalam proyek. Manfaat tersebut antara lain penurunan praktek illegal logging, pertumbuhan pohon yang baik, pengaplikasian pertanian berbasis konservasi, sikap petani yang ramah lingkungan

LP3ES dan Rekonvasi Bhumi Industri PDAM Kelompok Tani PT KTI Sektor Swasta FKDC PLN Keterangan :

: Komunikasi dan Fasilitasi

: MoU dan PES

(29)

dan kondisi ekonomi petani, yang penting untuk keberlanjutan penerapan pembayaran jasa lingkungan. Namun, penerapan tersebut menemui beberapa hambatan. Hambatan tersebut yaitu konsep mekanisme pembayaran jasa lingkungan masih sulit untuk diterima sebagai regulasi baru. Hal ini dikarenan adanya anggapan dari pembuat kebijakan bahwa konsep tersebut telah diakomodasi oleh kebijakan yang telah ada. Kisah sukses dari penerapan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau perlu diambil sebagai pelajaran oleh pemerintah untuk kebijakan lingkungan ke depan.

Penerapan yang sukses oleh PT KTI ditekankan pada aspek pembelajaran. Hak dan kewajiban tiap para pihak dapat dikontrol secara transparan. Dengan beberapa improvisasi dan modifikasi, penerapan pembayaran jasa lingkungan dapat diuji coba pada skala nasional.

Lokasi lain yang menjadi penerapan mekanisme ini adalah DAS Wai Besai Sumberjaya, Lampung. Isu yang melatarbelakangi mekanisme pembayaran jasa lingkungan di Sumberjaya, Lampung dikemukakan oleh RUPES (2010). Tulisan tersebut menyebutkan bahwa pemerintah mempercayai deforestasi yang tidak terkontrol dan konversi lahan menjadi kebun kopi telah menyebabkan peningkatan erosi tanah. Erosi tersebut mengancam pengoperasian bendungan Sumberjaya dan mengurangi ketersediaan air untuk irigasi sawah di daerah hilir. Kepercayaan tersebut mengakibatkan pengusiran ribuan petani dari Sumberjaya antara tahun 1991-1996.

Hasil penelitian RUPES sejak tahun 1998 menunjukkan bahwa kebun kopi multistrata dapat mengontrol erosi dan meningkatkan taraf hidup petani. Selain itu, petani miskin di Trimulyo sangat tergantung pada lahan negara (Suyanto & Khususiyah 2006). Berdasarkan analisa Gini Rasio, lahan negara merupakan faktor yang menyebakan peningkatan pemerataan pemdapatan dan pemerataan kepemilikan lahan. Pemberian imbalan atas lahan (land right) akan mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pemerataan di kalangan petani.

LPM Equator (2011) menyatakan proses perumusan masalah, pendefinisian jasa lingkungan, aktor yang terlibat, serta indikator keberhasilan mekanisme pembayaran jasa lingkungan harus dipenuhi dalam pengembangannya. Mekanisme yang dikembangkan di Sumberjaya, Lampung merupakan salah satu

(30)

contoh penerapan pembayaran jasa lingkungan yang berhasil mengembangkan indikator keberhasilan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikator mengenai jumlah sedimentasi yang ada di sungai Way Besai. Indikator yang dikembangkan berasal dari aspek fisik, biologi, dan ekonomi. Berikut adalah skema pembayaran jasa lingkungan yang terjadi di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung (Gambar 4).

Gambar 4 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya Lampung.

Pemberian Pembangkit Listrik mikrohidro

PLTA

Pembayaran jasa

lingkungan riparian

melalui dinas pertanian dan kehutanan Pengelolaan hutan berbasis masyarakat (kepemilikan lahan) Masyarakat hulu DAS Way Besai Masyarakat peduli sungai RUPES (intermediary)

Pelaksanaan kontrak dimana masyarakat hulu berhasil menurunkan sedimen sungai, kemudian mendapatkan sejumlah insentif

(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data dilaksanakan di beberapa lokasi yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP. Lokasi-lokasi penelitian antara lain Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP), Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP, ESP-USAID, Sekretariat Mapala UI, PT Rejosari Bumi unit Tapos, PT Pacul Mas Tani, BPKH Cinagara, STPP Cinagara, Pusdiklat Karya Nyata serta desa Tangkil dan Cinagara. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September-November 2011. Lokasi-lokasi penelitian tersaji pada Lampiran 6.

3.2 Alat dan Obyek Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain perekam suara, kamera, panduan wawancara, serta alat tulis. Sedangkan obyek penelitian yang dikaji antara lain para pihak serta peranan masing-masing pihak yang terkait dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di TNGGP.

3.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur, observasi lapang dan wawancara. Metode-metode tersebut digunakan secara kombinasi untuk mendapatkan data di semua lokasi penelitian.

3.3.1 Studi literatur

Studi literatur dilakukan melalui penelusuran dokumen, pustaka, serta data-data pendukung lainnya yang berkaitan dengan mekanisme pembayaran jasa lingkungan air di TNGGP. Data-data tersebut diantaranya:

1. Perjanjian kerjasama kemitraan antara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dengan Forum Peduli Air (Forpela) TNGGP

2. Perjanjian kerjasama kemitraan antara TNGGP dengan pemanfaat air yang belum menjadi anggota Forpela TNGGP

3. Perjanjian kesepakatan bersama antara Forpela TNGGP dengan enam desa penyangga TNGGP yang tergabung dalam Model Desa Konservasi (MDK)

(32)

4. Perjanjian kesepakatan bersama masyarakat kampung Gunung Batu desa Tangkil dalam pengelolaan saluran air dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)

5. Surat Edaran Dirjen PHKA nomor SE.3/IV-SET/2008 tentang pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan konservasi

6. Laporan evaluasi kemitraan TNGGP 7. Laporan dan data Forpela TNGGP

8. Kondisi umum masyarakat desa Tangkil dan Cinagara 9. Penelusuran dokumen terkait lainnya.

3.3.2 Observasi lapang dan wawancara

Observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan TNGGP, para pihak yang terkait serta peranan para pihak tersebut dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan air. Selain itu, observasi lapang dan wawancara dilakukan untuk mengetahui perkembangan mekanisme pembayaran yang dilakukan.

Wawancara dilakukan pada narasumber kunci (key person) yang memiliki peranan penting dan terlibat langsung dalam mekanisme (direct players). Narasumber dipilih secara purposif dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan narasumber terhadap mekanisme. Purposif sampling, didasarkan pada kriteria yang ditetapkan sesuai dengan pertanyaan penelitian (Mack et al.

2005). Narasumber yang diwawancarai berjumlah 17 orang. Tujuan dan katakteristik responden penelitian (seperti ukuran dan keanekaragaman populasi) menentukan siapa dan berapa banyak responden yang harus dipilih. Walaupun memungkinkan, tidak diharuskan untuk mengumpulkan data dari semua anggota kelompok untuk mendapatkan hasil yang valid (Mack et al. 2005). Narasumber tersebut terdiri dari lima orang perwakilan BB TNGGP, satu orang perwakilan Forpela TNGGP, satu orang perwakilan ESP-USAID, satu orang perwakilan Mapala UI, lima orang perwakilan pemanfaat air, dan empat orang perwakilan kelompok tani.

Wawancara juga dilakukan kepada anggota kelompok tani yang berada di desa Tangkil dan Cinagara yang terlibat dalam mekansime pembayaran jasa lingkungan air. Anggota kelompok tani yang diwawancarai dipilih secara purposif

(33)

dengan mempertimbangkan informasi dari ketua kelompok tani. Jumlah responden yang diwawancarai 24 orang. Responden tersebut terdiri dari 10 orang anggota KT Garuda Ngupuk, 7 orang Anggota KSM Cinagara Asri, 3 orang anggota kelompok sanitasi, dan 4 orang masyarakat umum. Jenis dan metode pengunpulan data selengkapnya tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1 Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data Data Pokok

1 Keterlibatan para pihak :

- Identifikasi para pihak - Peranan dan fungsi para

pihak

- Tingkat kepentingan serta pengaruh para pihak

- Hak dan kewajiban para pihak serta pemenuhan hak dan kewajiban tersebut  BB TNGGP  Forpela TNGGP  ESP-USAID  RCS  Mapala UI  PT Rejosari Bumi  PT Pacul Mas Tani  BPKH Cinagara  STPP Cinagara  Pusdiklat Karya Nyata

 KT Saluyu

 KT Garuda Ngupuk

 KSM Cinagara Asri

Studi Literatur, observasi lapang, dan wawancara

2 Skema PJL di TNGGP :

- Latar belakang

- Dasar, cara perhitungan, dan proses penetapan nilai imbal jasa yang disepakati - Peraturan dari mekanisme yang berjalan - Skema PJL - Penegakan aturan (monev, pemberian

sanksi, dan lain-lain)

 BB TNGGP  Forpela TNGGP  ESP-USAID  RCS  Mapala UI  PT Rejosari Bumi  PT Pacul Mas Tani  BPKH Cinagara  STPP Cinagara  Pusdiklat Karya Nyata  KT Saluyu

 KT Garuda Ngupuk  KSM Cinagara Asri

Studi Literatur dan wawancara 3 Evaluasi mekanisme PJL: - Perkembangan mekanisme PJL yang dilakukan - Permasalahan yang timbul dan solusinya

 BB TNGGP  Forpela TNGGP  ESP-USAID  RCS  Mapala UI  PT Rejosari Bumi  PT Pacul Mas Tani  BPKH Cinagara  STPP Cinagara  Pusdiklat Karya Nyata  KT Saluyu  KT Garuda Ngupuk  KSM Cinagara Asri Wawancara, Observasi lapang, Studi Literatur

(34)

Tabel 1 (Lanjutan)

No Jenis Data Sumber Data Metode Pegumpulan

Data Data Pendukung

4 Kondisi monografi

masyarakat

 Kantor desa Tangkil

 Kantor desa Cinagara Studi Literatur

3.4 Metode Analisis Data

3.4.1 Analisis deskriptif kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan untuk menganalisis mekanisme pembayaran jasa lingkungan air yang terjadi di kawasan TNGGP. Analisis deskriptif dilakukan berdasarkan data dari dokumen perjanjian mekanisme pembayaran jasa lingkungan yang ada dengan tiga jalur analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Miles & Huberman 1992). Reduksi data untuk menyederhanakan data, meringkas, dan menggolongkannya. Penyajian data dapat berupa skema atau bagan alir mekanisme atau teks naratif. Penarikan kesimpulan dengan cara peninjauan ulang data untuk menarik kesimpulan.

Evaluasi mekanisme yang ada dilihat dengan metode triangulasi, yaitu dengan mengecek kesesuaian antara data yang ada di dokumen terkait, pengamatan lapang serta hasil wawancara. Selain itu, mekanisme yang berjalan dilihat berdasarkan definisi Wunder (2005) dan literatur lainnya. Kesesuaian antara mekanisme yang ada dengan literatur dilakukan untuk melihat apakah mekanisme yang ada termasuk mekanisme PJL atau mekanisme lainnya.

Evaluasi terhadap mekanisme tersebut juga dianalisis secara deskriptif kualitatif. Kerr dan Jindal (2007) menyatakan metode kualitatif menyediakan pengertian yang mana konteks ini dapat dipahami dan digunakan untuk mengungkap aspek penting dari sebuah proyek. Peneliti kualitatif biasanya kurang menempatkan penekanan pada pengukuran dan lebih kepada proses dan pemahaman secara tajam serta faktor-faktor penentu keberhasilan proyek, biasanya dengan menekankan perspektif yang beragam dari berbagai pihak. Sebuah analisis kualitatif cenderung kurang memikirkan tentang penerapan hasil yang spesifik untuk lokasi proyek lainnya, tetapi lebih memfokuskan pada generalisasi pelajaran yang dapat diterapkan untuk proyek lainnya.

(35)

3.4.2 Analisis para pihak

Analisis terhadap keterlibatan para pihak dilakukan untuk mengetahui peran dan fungsi dari masing-masing pihak. Keterlibatan para pihak dianalisis melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Groenendjik (2003). Proses indentifikasi para pihak merupakan proses awal dalam metode ini. Selanjutnya, dilakukan pengklasifikasian para pihak menjadi pihak primer dan sekunder. Pembagian ini dilakukan berdasarkan tingkat keterkaitan para pihak dengan mekanisme yang ada.

Atribut kunci dari masing-masing pihak kemudian diidentifikasi dan dianalisis. Atribut kunci yang dimaksud adalah kepentingan (interest). Selain itu, dimasukkan pula atribut lainnya yaitu pengaruh (influence) dan tingkat kepentingan (importance). Masing-masing pihak memiliki atribut yang berbeda dan dianalisis tergantung pada situasi dan tujuan analisis.

Kepentingan (interest) terhadap tujuan mekanisme merupakan atribut yang penting untuk diinvestigasi dari para pihak. Kepentingan ini mendukung tujuan (para pihak juga menginginkan apa yang coba dicapai oleh mekanisme) atau kebalikannya. Pengaruh (influence) adalah kewenangan para pihak untuk mengontrol keputusan apa yang dibuat, untuk memfasilitasi penerapannya atau untuk menggunakan tekanan yang mempengaruhi mekanisme secara negatif. Pengaruh mungkin saja diartikan sebagai tingkatan orang, kelompok, atau organisasi yang dapat membujuk atau memaksa pihak lain dalam membuat keputusan dan mengikuti beberapa tindakan.

Tingkat kepentingan (importance) mengindikasikan prioritas yang diberikan untuk memuaskan kebutuhan dan kepentingan para pihak pada mekanisme. Oleh karena itu, tingkat kepentingan merujuk pada masalah, kebutuhan, dan kepentingan para pihak yang merupakan prioritas dari mekanisme. Kepentingan dari tiap para pihak yang diidentifikasi tersaji pada Tabel 2.

(36)

Tabel 2 Kepentingan (interest) masing-masing pihak

Kepentingan (Interest)

Potensi dampak terhadap proyek *

Tingkat kepentingan relatif * Pihak primer Pihak 1 ... Pihak n Pihak sekunder Pihak 1 ... Pihak n

Keterangan : Tanda positif (+), negatif (-), tidak jelas (-/+), dan tidak diketahui (?) diisi pada kolom potensi dampak, sedangkan kolom tingkat kepentingan relatif diisi dengan skala 0-5 berdasarkan kebijakan dan tujuan mekanisme (Groenendjik 2003).

Keberhasilan suatu mekanisme juga tergantung pada kebenaran asumsi yang dibuat oleh masing-masing pihak serta resiko yang dihadapi oleh mekanisme tersebut. Resiko-resiko tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan. Kombinasi pengaruh dan kepentingan masing-masing pihak akan menghasilkan identifikasi asumsi dan resiko masing-masing pihak. Kombinasi tersebut dibuat pada satu diagram matriks (Gambar 5). Posisi masing-masing pihak pada suatu kuadran tertentu akan mengindikasikan resiko relatif yang mungkin ditimbulkan. Selain itu, posisi tersebut juga dapat mengindikasikan peluang kerjasama antar pihak untuk mendukung mekanisme yang ada.

High

Importance

Low influence High

Gambar 5 Diagram matriks kepentingan (interest) dan pengaruh (influence) dari masing-masing pihak.

Berdasarkan matriks tersebut, kotak A, B, dan C merupakan pihak kunci yang dapat mempengaruhi mekanisme secara signifikan. Implikasi dari masing-masing kotak adalah sebagai berikut :

Pihak 1 Pihak 4 A B Pihak 2 Pihak 1 Pihak 3 D C A B Pihak 4

(37)

A.Para pihak dengan tingkat kepentingan tinggi terhadap mekanisme tetapi memiliki pengaruh yang rendah. Hal tersebut mengimplikasikan pihak-pihak tersebut memerlukan inisiatif khusus untuk melindungi kepentingan mereka. B.Para pihak dengan tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terhadap

keberhasilan mekanisme. Untuk membentuk kerjasama efektif dalam mendukung mekanisme, sebaiknya pihak yang terlibat langsung dengan mekanisme membangun hubungan kerja dengan pihak-pihak ini.

C.Para pihak yang memiliki pengaruh tinggi tetapi tidak memiliki kepentingan terhadap mekanisme. Pihak-pihak ini dapat menjadi sumber resiko yang signifikan. Selain itu, dibutuhkan monitoring dan manajemen dengan hati-hati. Pihak-pihak ini dapat menghentikan mekanisme dan perlu diperhatikan.

D.Para pihak pada kuadran ini memiliki pengaruh dan kepentingan yang rendah terhadap mekanisme. Pihak-pihak tersebut mungkin memerlukan monitoring dan evaluasi namun dengan prioritas yang rendah. Pihak-pihak pada kuadran ini bukanlah subyek dari mekanisme yang berlangsung.

(38)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Penyedia Jasa Lingkungan 4.1.1 Kawasan TNGGP

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) terletak diantara 106°51’-107°02’ BT dan 6°51’ LS. Kawasan ini awalnya memiliki luas 15.196 ha. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No 174/Kpts-II/tanggal 10 Juni 2003, kawasan ini diperluas menjadi ± 21.975 ha. Saat ini luasan kawasan TNGGP adalah 22.851,03 ha (Juanda 2010).

Juanda (2010) menyebutkan bahwa berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, curah hujan di dalam kawasan TNGGP termasuk ke dalam Tipe A. Kawasan ini memiliki curah hujan yang tinggi dengan rata-rata hujan tahunan antara 3.000-4.200 mm. Sebagian besar kawasan ini merupakan akuifer daerah air tanah langka dan sebagian kecil merupakan akuifer produktif sedang dengan sebaran yang luas. Akuifer produktif ini memiliki kekerasan keterusan yang sangat beragam. Umumnya air tanah tidak tertekan dengan debit air kurang dari 5 liter/detik (Juanda 2010).

Menurut USAID (2009), terdapat puluhan sungai yang berhulu di kawasan TNGGP. Kawasan ini juga merupakan hulu dari empat Daerah Aliran Sungai (DAS) (Forpela 2009). Air yang dihasilkan dari kawasan ini mengairi 10.998 ha sawah dan dimanfaatkan oleh 184.000 KK di 149 desa (USAID 2009). Selain itu, air tersebut juga dimanfaatkan oleh hotel dan restoran yang berada di sekitar kawasan.

4.1.2 Desa penyangga kawasan TNGGP 4.1.2.1 Desa Tangkil

Desa Tangkil memiliki luas 644,27 ha. Desa ini berbatasan dengan desa Lemah Duhur di sebelah utara, sebelah selatan berbatasan dengan desa Cinagara, sebelah barat dengan desa Pasir Muncang, dan sebelah timur dengan kawasan TNGGP. Penggunaan lahan di desa Tangkil tersaji pada Tabel 3.

(39)

Tabel 3 Penggunaan lahan di desa Tangkil tahun 2010

No. Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha)

1 Perumahan 169 2 Sawah 199 3 Perkebunan/ladang 179 4 Perikanan 1,5 5 Jalan Desa 32 6 Pemakaman 5,6 7 Perkantoran Umum 1

8 Lapangan Olah Raga 1,5

9 Bangunan Pendidikan 6

10 Bangunan Peribadatan 2,5

11 Lainnya 47,17

Jumlah 644,27

Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010)

Penggunaan lahan yang mendominasi desa Tangkil adalah sawah dan kebun/ladang yaitu berturut-turut sebesar 199 ha dan 179 ha. Hal ini sesuai dengan mata pencaharian penduduk desa Tangkil di sektor pertanian (Tabel 4). Tabel 4 Penduduk desa Tangkil berdasarkan mata pencaharian tahun 2010

No. Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (jiwa)

1 Petani 629

2 Buruh Tani 1200

3 Pedagang 350

4 Pegawai Negeri Sipil 11

5 Wiraswasta 60 6 Pegawai Swasta 30 7 Karyawan Pabrik 150 8 Buruh Bangunan 276 9 Pengrajin 128 10 Penjahit 15 11 Tukang Ojek 560 12 Bengkel 4 13 Supir Angkot 10 14 Pensiunan 6 15 Lainnya 763 Jumlah 4.192

Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010)

Penduduk desa Tangkil berjumlah 8.720 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 1.360 jiwa/km2. Penduduk desa Tangkil terdiri dari 4.343 laki-laki dan 4.377 perempuan. Tingkat pendidikan masyarakat desa Tangkil sebagian besar tamat sekolah dasar yaitu 2.530 orang. Tingkat pendidikan masyarakat desa Tangkil selengkapnya pada Tabel 5.

Tabel 5 Penduduk desa Tangkil berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2010

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Jiwa)

1 Tidak tamat SD 1522

2 Tamat SD/sederajat 2530

(40)

Tabel 5 (Lanjutan)

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (Jiwa)

4 Tamat SLTA/sederajat 285 5 Tamat D1/D2/D3 13 6 Tamat S1 10 7 Tamat S2 - 8 Tamat S3 - Jumlah 4.690

Sumber : Laporan kinerja kepala desa Tangkil (2010)

Desa Tangkil memiliki kelompok tani bernama KT Garuda Ngupuk dan KT Saluyu. Kelompok tani ini merupakan mitra kerja Forpela TNGGP dalam melaksanakan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di kawasan tersebut. 4.1.2.2 Desa Cinagara

Desa Cinagara memiliki luas 496,52 Ha. Desa ini berbatasan dengan desa Tangkil di sebelah utara, desa Pasir Buncir di sebelah selatan, desa Muara Jaya di sebelah barat dan kawasan TNGGP di sebelah timur. Penggunaan lahan di desa Cinagara tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Penggunaan lahan desa Cinagara tahun 2007

No. Penggunaan Luas Lahan

Ha %

1 Jalan 2 0,40

2 Sawah dan Ladang 298,50 60,12

3 Bangunan Umum 1,00 0,20 4 Empang/ Kolam 2,50 0,50 5 Perumahan/ pemukiman 33,00 6,65 6 Perkuburan 3,00 0,60 7 Kehutanan 150,00 30,20 8 Lain-lain 6,52 1,31 Jumlah 496,52 100,00

Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalamIskandar (2008)

Penggunaan lahan terbesar di desa Cinagara adalah sawah dan ladang sebesar 298,5 Ha (60,12%) yang terdiri dari beberapa peruntukan jenis tanaman. Jenis tanaman yang ditanam pada areal tersebut diantaranya padi (260 ha), jagung, tomat, kacang panjang, terong, buncis, ketimun, pisang, pepaya, salak, kelapa dan kopi. Penggunaan lahan yang paling kecil adalah untuk bangunan umum yang hanya sebesar satu ha (0,2%).

Penduduk di desa Cinagara berdasarkan data monografi desa (2007) diacu dalam Iskandar (2008) berjumlah 9.622 orang. Penduduk desa Cinagara terdiri atas 5.023 orang laki-laki (52,20%) dan 4.599 orang perempuan (47,80%) dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.176 KK.

(41)

Penduduk desa Cinagara yang tercatat berdasarkan tingkat pendidikan adalah 1.955 orang (Monografi desa 2007 diacu dalam Iskandar 2008). Tingkat pendidikan penduduk desa Cinagara terbagi dua, yaitu tingkat pendidikan umum dan tingkat pendidikan khusus. Tingkat pendidikan penduduk desa Cinagara tersaji pada Tabel 7.

Tabel 7 Penduduk desa Cinagara berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2007

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk

Orang Persentase

1 Lulusan Pendidikan Umum

a) TK 75 3,84 b) SD 135 6,91 c) SMP/SLTP 225 11,51 d) SMA/SLTA 125 6,39 e) Akademi/D1-D3 35 1,79 f) Sarjana (S1-S3) 10 0,51

2 Lulusan Pendidikan Khusus

a) Pondok Pesantren 75 3,84

b) Madrasah 525 26,85

c) Pendidikan Keagamaan 725 37,08

d) Kursus/Keterampilan 25 1,28

Jumlah 1.955 100,00

Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalamIskandar (2008)

Jumlah penduduk Desa Cinagara yang tercatat dalam monografi desa tahun 2007 menurut pekerjaannya berjumlah 1.365 orang yang terbagi dalam beberapa jenis pekerjaan yang disajikan dalam Tabel 8.

Tabel 8 Penduduk desa Cinagara berdasarkan mata pencaharian tahun 2007

No. Mata Pencaharian Jumlah Penduduk

Orang Persentase (%)

1 Pegawai Negeri Sipil 25 1,83

2 ABRI 5 0,37 3 Swasta 425 31,14 4 Petani 375 27,47 5 Pertukangan 75 5,49 6 Buruh Tani 435 31,87 7 Pensiunan 15 1,10 8 Pemulung 10 0,73 Jumlah 1.365 100,00

Sumber : Data monografi desa Cinagara (2007) diacu dalamIskandar (2008)

Sebagian besar penduduk yang tercatat memiliki pekerjaan di sektor pertanian baik sebagai petani 375 orang (27,47%) dan sebagai buruh tani 435 orang (31,87%). Sebanyak 8.257 orang (85,81%) lainnya masuk dalam kelompok

Gambar

Gambar 1  Bagan alir kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 2  Pembagian skema PES.
Gambar 4  Skema Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Way Besai, Sumberjaya  Lampung.
Tabel 1  Jenis, sumber, dan metode pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Mekanisme Pembayaran Jasa Lingkungan Penyediaan Sumberdaya Air (Studi Kasus di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram,

Itulah sebabnya CI tertarik bekerjasama dengan pihak TNGGP yang saat itu dapat dikatakan membutuhkan bantuan pihak luar untuk menjaga kualitas hutan tersebut dan

Untuk memperoleh data komposisi dan struktur vegetasi di kawasan hutan TNGGP dilakukan melalui kegiatan analisis vegetasi menggunakan metode jalur berpetak pada

Penelitian dilakukan pada dua lokasi hutan yang berada di dalam TNGGP (Gambar 1) yaitu: (1) vegetasi tepi hutan yang merupakan kawasan TNGGP yang berbatasan langsung

Hasil pendataan tahun pertama 2009 hutan rasamala Bodogol TNGGP masih termasuk kategori hutan sekunder, hal ini dicirikan oleh susunan diameter batang tumbuhan yang sebagian

Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan obat!. Hal tersebut disebabkan tanah yang subur dan

Berdasarkan hasil analisis prospektif dapat disimpulkan bahwa terdapat 4 faktor kunci yang mempengaruhi kebijakan pemanfaatan jasa lingkungan air di kawasan TNGC,

Berdasarkan hasil pengamatan dapat dilihat populasi satwa primata cenderung lebih tinggi pada kawasan non-ekowisata. Walaupun jalur ekowisata menyediakan sumber pakan yang