• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PEMERINTAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PEMERINTAHAN"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PEMERINTAHAN

DI

Dinas Kesehatan Kota Bandung Februari 2016

Disusun oleh : Aprian Rinaldi, S.Farm

22152003

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI FARMASI BANDUNG

BANDUNG

2016

(2)

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER PEMERINTAHAN

DI

Dinas Kesehatan Kota Bandung Februari 2016

Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Pendidikan Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi Bandung

Disetujui Oleh : Pembimbing

Pembimbing PKPA Dinas Kesehatan Kota Bandung

Pembimbing PKPA UPT PKM Garuda

Dra.Efi Pujatningsih., Apt Asep Kamal Sahroni, S.Farm.,Apt

Pembimbing PKPA

Program Pendidikan Profesi Apoteker

(3)

III KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat, ridho dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker yang dilaksanakan dari tanggal 01-29 Februari 2016 di Dinas Kesekatan Kota Bandung dan UPT Puskesmas Garuda Bandung. Laporan ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian apoteker pada Program Pendidikan Profesi Apoteker di Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu baik secara moral maupun material, saran-saran, bimbingan dan dukungan dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker. Oleh Karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Entris Sutrisno ,S.Farm.,MH.Kes., Apt. selaku Ketua Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.

2. Dr. Patonah, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Pendidikan Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi Bandung.

3. Dr. Fauzan Zein. M.Si., Apt. selaku pembimbing PKPA dari Sekolah Tinggi Farmasi Bandung yang telah memberikan waktu untuk membimbing dalam proses penyusunan laporan ini.

4. dr. Hj. Ahyani Raksanagara, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung

5. Dra.Efi Pujatningsih, Apt., selaku pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker di Dinas Kesehatan Kota Bandung.

6. Asep Kamal Sahroni, S.Farm., Apt. selaku pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker di UPT Puskesmas Garuda Bandung.

7. Keluarga tercinta terima kasih atas doa yang tak pernah henti, sahabat-sahabat mahasiswa apoteker angkatan XIV STFB, staff, serta seluruh pihak yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini.

(4)

IV Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan dunia dan akhirat atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih banyak kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Semoga laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dapat menambah dan memperluas wawasan serta meningkatkan pengetahuan dalam bidang ilmiah, dan tentunya bermanfaat bagi kita semua.

Bandung, Februari 2016

(5)

V DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... III DAFTAR ISI ... V DAFTAR LAMPIRAN ... VII

BAB I PENDAHULUAN ... 8

1.1 Latar Belakang... 8

1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker ... 10

1.3 Waktu dan Pelaksanaan PKPA ... 10

BAB II TINJAUAN UMUM DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG ... 11

2.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 11

2.1.1 Sejarah Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 11

2.1.2 Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 12

2.1.3 Organisasi Dan Personalia Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 12

2.1.4 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 12

2.1.5 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 13

2.1.6 Kebijakan dan Program Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 14

2.2 Penjelasan Umum Persediaan Obat dan Perbekalan Farmasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ... 15

2.3.1 Perencanaan ... 15

2.3.2 Pengadaan ... 24

2.3.3 Penyimpanan ... 27

2.3.4 Distribusi ... 31

2.3.5 Pencatatan dan Pelaporan ... 35

2.3.6 Supervisi dan Evaluasi ... 37

2.3 Gambaran Umum Puskesmas ... 40

2.4.1 Definisi Puskesmas ... 40

2.4.2 Prinsip Penyelenggaraan, Tugas dan Fungsi Puskesmas... 40

2.4.3 Persyaratan Puskesmas ... 42

2.4.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas ... 45

BAB III TINJAUAN KHUSUS SEKSI FARMASI DAN PERBEKALAN KESEHATAN DAN UPT PUSKESMAS GARUDA DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG ... 66

(6)

VI

3.1 Seksi Farmasi dan Perbekalan Kesehatan ... 66

3.2 Uraian Tugas Pokok dan Fungsi ... 66

3.3 Pengawasan dan Pembinaan ... 67

3.4 Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan ... 71

3.4.1 Perencanaan ... 71

3.4.2 Pengadaan ... 72

3.4.3 Penerimaan dan Pemeriksaan ... 73

3.4.4 Penyimpanan ... 73

3.4.5 Distribusi ... 74

3.4.6 Pencatatan dan Pelaporan ... 75

3.4.7 Supervise dan Evaluasi ... 75

3.5 Puskesmas Garuda ... 76

3.5.1 Profil Puskesmas Garuda ... 76

3.5.2 Visi Misi dan Motto UPT Puskesmas Garuda ... 76

3.5.3 Struktur Organisasi UPT Puskesmas Garuda ... 77

3.5.4 Fasilitas di UPT Puskesmas Garuda ... 77

3.5.5 Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di Puskesmas Garuda ... 77

3.5.6 Pelayanan Farmasi Klinik ... 79

3.5.7 Tugas dan Tanggung Jawab Apoteker ... 81

BAB IV PEMBAHASAN ... 82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

5.1 Kesimpulan ... 90

5.2 Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93

(7)

VII DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung ... 95

Lampiran 2 Struktur Organisasi Puskesmas Garuda ... 96

Lampiran 3 Blanko Resep Puskesmas Garuda... 97

Lampiran 4 Etiket ... 98

Lampiran 5 Kartu Stok Obat ... 99

Lampiran 6 Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) ... 100

Lampiran 7 Formulir Konseling Obat ... 101

Lampiran 8 Laporan Penggunaan Obat Rasional (POR) ... 102

Lampiran 9 SOP Perencanaan ... 103

Lampiran 10 SOP Penyimpanan ... 104

Lampiran 11 SOP Distribusi Obat ... 105

(8)

8 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan masyarakat yang dapat diwujudkan dalam berbagai upaya kesehatan. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu upaya pembangunan nasional maka perlu diselenggarakan upaya kesehatan melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif), yang dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan pemerataan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, persediaan obat-obatan yang memadai, berkualitas, aman, distribusi yang merata, harga yang terjangkau oleh masyarakat luas serta meningkatkan ketepatan dan efisiensi penggunaannya. Upaya kesehatan yang dilakukan perlu didukung pula oleh sarana kesehatan yang memadai, meliputi rumah sakit, apotek, puskesmas dan lain-lain.

Menurut Undang-Undang No.36 tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera maka kualitas sumber daya manusianya perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatnnya. Kesehatan merupakan salah satu modal penting dalam pembangunan kualitas sumber daya manusia. Tujuan umum pembangunan kesehatan nasional adalah tercapainya mutu dan lingkungan hidup yang optimal bagi setiap penduduk serta tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meliputi kesehatan badaniah, rohaniah, sosial, dan bukan hanya keadaan bebas dari penyakit, cacat, dan kelemahan.

Salah satu akses obat yang diimplementasikan oleh pemerintah adalah melalui Dinas Kesehatan, dengan membentuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Puskesmas merupakan salah satu saranan kesehatan yang berfungsi untuk melakukan upaya kesehatan dasar untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk agar mendapatkan

(9)

9 derajat kesehatan yang optimal. Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggunng jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.

Pelayanan kefarmasian menurut Permenkes RI No 30 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu Pelayanan Kefarmasian mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama yang berorientasi kepada produk (Drug Oriented) menjadi paradigma baru yang berorientasi pada pasien (Patient Oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker sebagai salah satu tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peran penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat sebagai penyelenggara bidang kesehatan tertinggi di Provinsi Jawa Barat, mempunyai fungsi sebagai pelaksanan urusan pemerintahan daerah bidang kesehatan dan penyedia informasi rumah sakit yang berada di Jawa Barat dalam perumusan dan penetapan kebijakan teknis urusan bidang kesehatan, serta pengkoordinasian dan Pembina Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD).

Dalam mewujudkan pembangunan kesehatan khususnya dalam bidang farmasi seperti tersebut di atas maka sangat diperlukan peranan seorang apoteker untuk mengerjakan pekerjaan kefarmasian dan pelayanan kefarmasian di lingkungan Dinas Kesehatan dan Puskesmas. Untuk mempersiapkan para apoteker yang profesional maka dilaksanakan praktek kerja di Dinas Kesehatan dan Puskesmas sebagai pelatihan untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan di masa kuliah serta dapat mempelajari segala kegiatan dan permasalahan yang ada di Dinas Kesehatan Kota Bandung dan Puskesmas terutama yang berkaitan dengan penggunaan obat. Dengan latar belakang tersebut maka diadakan kerjasama antara

(10)

10 Program Studi Profesi Apoteker Sekolah Tinggi Farmasi Bandung dengan Dinas Kesehatan Kota Bandung berupa Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA).

1.2 Tujuan Praktek Kerja Profesi Apoteker

Tujuan dilakukannya Praktek Kerja Profesi Apoteker di institusi pemerintahan bidang farmasi adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan pemahaman calon Apoteker tentang peran, fungsi dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan kefarmasian di bidang pemerintahan. 2. Membekali calon Apoteker agar memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap perilaku (profesionalime) serta wawasan dan pengalaman nyata (reality) untuk melakukan praktik profesi dan pekerjaan kefarmasian di bidang Pemerintahan. 3. Memberi kesempatan kepada calon Apoteker untuk melihat dan mempelajari strategi dang pengembangan praktik profesi Apoteker di bidang Pemerintahan. 4. Memberi gambaran nyata tentang permasalahan (problem solving) praktek dan

pekerjaan kefarmasian di bidang pemerintahan.

5. Mempersiapkan calon Apoteker agar memiliki sikap-perilaku dan profesionalisme untuk memasuki dunia praktek profesi dan pekerjaan kefarmasian di bidang Pemerintahan.

6. Memberi Kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan tenaga kesehatan lain yang bertugas di bidang Pemerintahan.

7. Memberikan kesempatan kepada calon Apoteker untuk belajar pengalaman praktik profesi apoteker dibidang pemerintahan dalam kaitan dengan peran, tugas, dan fungsi Apoteker dalam bidang kesehatan masyarakat.

1.3 Waktu dan Pelaksanaan PKPA

Praktek Kerja Profesi Apoteker ini dilaksanakan di Dinas Kesehatan Kota Bandung Jl. Supratman No. 73 Bandung pada tanggal 1-5 Februari 2016 dan UPT Puskesmas Garuda Jl. Dadali No. 81 Bandung dari tanggal 7-29 Februari 2016.

(11)

11 BAB II

TINJAUAN UMUM

DINAS KESEHATAN KOTA BANDUNG

2.1 Gambaran Umum Dinas Kesehatan Kota Bandung

2.1.1 Sejarah Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah salah satu instansi pemerintah yang sudah ada sejak jaman kependudukan Belanda. Pada tahun 1946 sampai 1949 Dinas Kesehatan disebut juga “Plaatselijke Gezond Heidsdienst Bandung” yang berkantor di Gemeente Bandung. Pimpinannya adalah Dr. Molte V. Kuhlewein sebagai Hoofd Gouvernementsart Hoofd V.D Plaatselijke Gezondheids Bandung.

Tahun 1950 Plaatselijke Gezond Heidsdienst berubah menjadi Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung. Adapun pejabat yang ditunjuk adalah dr. R. Admiral Suratedja, Kepala Kesehatan Kota Besar Bandung. Wakilnya berturut-turut dr. R. Poerwo Soewarjo kemudian dr. R. Sadikun.

Kantor pusat Dinas Kesehatan berkedudukan di Gemeente Bandung atau kantor Kotapraja Bandung yang sekarang dikenal sebagai kantor Pemerintah Daerah Kotamadya Bandung sampai pertengahan tahun 1960 dan bagian preventif yang sekarang dikenal dengan seksi pemberantasan penyakit menular berkantor di Jalan Bawean Nomor 1 Bandung.

Pada tahun 1960 kantor pusat Dinas Kesehatan pindah ke jalan Badak Singa Nomor 10 Bandung, menempati sebagian dari kantor penjernihan air yang sekarang merupakan kantor perusahaan daerah air minum (PDAM) sampai tanggal 9 Oktober 1965. Pada tanggal 9 Oktober 1965 pindah lagi ke Jalan Supratman Nomor 73 Bandung sampai sekarang.

Pada tahun 1950 Jawatan Kesehatan Kota Besar Bandung terdiri dari 10 Balai Pengobatan kemudian pada tahun 1972 berkembang menjadi 4 pusat kesehatan yang terdiri dari 1 Pusat Kesehatan Masyarakat, 18 Balai Kesehatan Khusus kemudian 18 Balai Kesehatan Ibu dan Anak serta 6 Klinik Bersalin.

(12)

12 2.1.2 Profil Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan Kota Bandung terletak di jalan Supratman Nomor 73 Bandung dan dipimpin oleh dr. Hj. Ahyani Raksanagara, M.Kes. Dinas Kesehatan Kota Bandung adalah instansi kesehatan tertinggi dalam satu wilayah administrasi Pemerintahan Kota Bandung yang bertanggung jawab kepada Walikota Bandung. Departemen Kesehatan berhubungan secara teknis fungsional dengan Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan sebaliknya. Dinas Kesehatan Kota Bandung mempunyai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) terdiri dari 73 Puskesmas (30 puskesmas induk dan 43 puskesmas pembantu), satu Pelayanan Kesehatan Mobilitas dan satu Laboratorium Kesehatan.

2.1.3 Organisasi Dan Personalia Dinas Kesehatan Kota Bandung

Struktur organisasi Dinas Kesehatan Kota Bandung bedasarkan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 13 Tahun 2007, Tanggal 4 Desember 2007 dapat dilihat pada Lampiran 2.

2.1.4 Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung

1. Visi Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dengan memperhatikan perkembangan pembangunan kesehatan keinginan, harapan serta tujuan pembangunan kesehatan di Kota Bandung telah ditetapkan visi yaitu “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, yang mempunyai makna, pertama suatu kota yang secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan sosial melalui pemberdayaan potensi masyarakat dengan memaksimalkan seluruh potensi kehidupan baik secara bersama-sama maupun mandiri sehingga dapat mewujudkan masyarakat yang berprilaku sehat, hidup di lingkungan yang aman, nyaman dan sehat yang diawali dari terwujudnya kelurahan sehat dan kecamatan sehat.

Kedua, mandiri adalah masyarakat berupaya berperan serta secara aktif dalam mencegah, melindungi dan memelihara dirinya. Keluarga, masyarakat dan lingkungannya agar terhindar dari resiko gangguan kesehatan.

(13)

13 2. Misi Dinas Kesehatan Kota Bandung

Untuk merealisasikan visi “Bandung Kota Sehat yang Mandiri“, maka Dinas Kesehatan Kota Bandung telah menetapkan misi pembangunan kesehatan sebagai berikut:

a. Meningkatkan serta mendorong kesadaran individu, keluarga serta masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.

b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.

c. Mengutamakan profesionalisme dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

d. Menggali potensi masyarakat dalam pembangunan kesehatan.

2.1.5 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Kesehatan Kota Bandung

Dinas Kesehatan merupakan salah satu sistem kesehatan pemerintah daerah di lingkungan pemerintah Kota Bandung yang bertanggung jawab dalam bidang pembangunan kesehatan, rincian tugas pokok fungsi dinas kesehatan sebagai lembaga dinas teknis.

1. Tugas Pokok

Terselenggaranya pembangunan kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna dalam rangka mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

2. Fungsi:

a. Melaksanakan tugas teknis operasional di bidang kesehatan yang meliputi pengembangan dan pembinaan pelayanan kesehatan, pencegahan pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan, kesehatan keluarga, pelayanan kefarmasian dan pengawasan makanan dan minuman serta pembinaan program berdasarkan kebijakan Walikota Bandung.

b. Pelaksanaan tugas teknis fungsional di bidang kesehatan berdasarkan kebijakan Gubernur Provinsi Jawa Barat.

c. Pelaksanaan pelayanan teknis administrasi ketatausahaan yang meliputi kepegawaian, keuangan, umum dan perlengkapan.

(14)

14 2.1.6 Kebijakan dan Program Dinas Kesehatan Kota Bandung

Untuk mencapai tujuan dan sasaran yang terdapat dalam setiap misi. Pemerintah kota Bandung mengeluarkan kebijakan dalam bidang kesehatan sebagai berikut:

1. Mengupayakan pembangunan kelurahan dan kecamatan berwawasan kesehatan.

2. Menggerakan semua potensi masyarakat dalam meningkatkan derajat kesehatan dan mewujudkan lingkungan sehat perkotaan.

3. Mengupayakan peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan baik, promotif, kuratif dan rehabilitatif kepada masyarakat.

4. Mengupayakan peningkatan SDM kesehatan.

5. Mengupayakan peningkatan sumber dan proporsi pembiayaan kesehatan melalui advokasi dan pemberdayaan masyarakat.

Dalam menjabarkan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Bandung pada pelaksanaan pembangunan Kesehatan Kota Bandung, dirumuskan dalam tiga program pokok:

1. Program lingkungan sehat, perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat.

2. Program peningkatan pelayanan kesehatan.

3. Program pengawasan obat, makanan, minuman dan bahan berbahaya. Program- program lainnya :

1. Program-program rencana pembangunan jangka menengah daerah bidang kesehatan Kota Bandung :

a. Program obat dan perbekalan kesehatan b. Program upaya kesehatan masyarakat

c. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat

d. Program peningkatan sarana dan prasarana dan manajemen kesehatan e. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit dan lingkungan

(15)

15 2. Program pembangunan kesehatan :

a. Program obat dan perbekalan kesehatan b. Program upaya kesehatan masyarakat

c. Program pengawasan obat dan bahan makanan

d. Program promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat e. Program pembangunan lingkungan sehat

f. Program pencegahan dan penanggulangan penyakit menular g. Program standarisasi pelayanan kesehatan

h. Program pengadaan, peningkatan dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya

i. Program kemitraan peningkatan pelayanan kesehatan j. Program peningkatan pelayanan kesehatan lansia

k. Program pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan l. Program pelayanan administrasi perkantoran

m. Program peningkatan sarana dan prasarana aparatur n. Program peningkatan kapasitas sumber daya aparatur

o. Program peningkatan pengembangan sistem pelaporan capai kinerja dan keuangan.

2.2 Penjelasan Umum Persediaan Obat dan Perbekalan Farmasi di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

2.3.1 Perencanaan

Perencanaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan awal yang amat menentukan dalam perencanaan obat. Tujuan perencanaan obat dan perbekalan kesehatan yaitu untuk menetapkan jenis serta jumlah obat dan perbekalan kesehatan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan dasar termasuk obat program kesehatan yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan koordinasi dan keterpaduan dalam hal perencanaan kebutuhan obat dan perbekalan kesehatan sehingga pembentukan tim perencanaan obat terpadu merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat di setiap kabupaten/kota.

(16)

16 Manfaat perencanaan obat terpadu :

1. Menghindari tumpang tindih penggunaan anggaran

2. Keterpaduan dalam evaluasi, penggunaan dan perencanaan 3. Kesamaan persepsi antara pemakai obat dan penyedia anggaran 4. Estimasi kebutuhan obat lebih tepat

5. Koordinasi antara penyedia anggaran dan pemakai obat 6. Pemanfaatan dana pengadaan obat dapat lebih optimal

Proses perencanaan obat dan perbekalan kesehatan melalui beberapa tahap sebagai berikut :

1. Tahap Perencanaan Kebutuhan Obat

Pengadaan obat diawali dengan perencanaan kebutuhan dimana kegiatan yang dilakukan adalah:

A. Tahap Pemilihan Obat

Pemilihan obat berdasarkan pada Obat Generik terutama yang tercantum dalam Daftar Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Daftar Obat Essensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku dengan patokan harga sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Daftar Harga Obat untuk Obat Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dan Obat Program Kesehatan. Fungsi pemilihan obat adalah untuk menentukan apakah obat benar-benar diperlukan sesuai dengan pola penyakit yang ada.

Pada perencanaan kebutuhan obat, apabila dana tidak mencukupi, perlu dilakukan analisa kebutuhan sesuai anggaran yang ada (dengan menggunakan metode perhitungan ABC) dan untuk seleksi obat perlu dilakukan analisa VEN.

Untuk mendapatkan perencanaan obat yang tepat, seleksi kebutuhan obat harus mempertimbangkan beberapa hal berikut : 1. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik

yang memberikan efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan ditimbulkan,

2. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin, hal ini untuk menghindari duplikasi dan kesamaan jenis,

(17)

17 3. Hindari penggunaan obat kombinasi kecuali jika obat tersebut

mempunyai efek yang lebih baik dibandingkan obat tunggal, 4. Memiliki rasio manfaat/biaya yang paling menguntungkan. B. Tahap Kompilasi Pemakaian Obat

Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian setiap bulan dari masing-masing jenis obat di Unit Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas selama setahun, serta untuk menentukan stok optimum (stok kerja ditambah stok pengaman = stok optimum).

Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah: 1. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing Unit

Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas.

2. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh Unit Pelayanan Kesehatan/ Puskesmas.

3. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat Kabupaten/ Kota.

4. Pola penyakit yang ada.

C. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat

Menentukan kebutuhan obat merupakan salah satu pekerjaan kefarmasian yang harus dilakukan oleh Apoteker di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota. Dengan koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu (termasuk obat program), maka diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis, jumlah dan waktu serta mutu yang terjamin. Untuk menentukan kebutuhan obat dilakukan pendekatan perhitungan melalui metode konsumsi dan atau morbiditas.

1. Metode Konsumsi

Didasarkan atas analisa data konsumsi obat tahun sebelumnya. Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metoda konsumsi perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Pengumpulan dan pengolahan data

(18)

18 c) Perhitungan perkiraan kebutuhan obat

d) Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan alokasi dana Untuk Metode ini dapat menggunakan rumus:

A = (B+C+D) – E Keterangan:

A : Rencana Pengadaan D : Lead Time (3 – 6 Bulan)

B : Pemakaian Rata-Rata X 12 Bulan E : Sisa Stok

C : Buffer Stock (10-210%)

Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan dengan metode konsumsi: a) Daftar obat b) Stok awal c) Penerimaan d) Pengeluaran e) Sisa stok

f) Obat hilang/rusak, kadaluarsa g) Kekosongan obat

h) Pemakaian rata-rata/pergerakan obat pertahun i) Waktu tunggu

j) Stok pengaman k) pola kunjungan 2. Metode Morbiditas

Metoda morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit. Adapun faktor yang perlu diperhatikan adalah perkembangan pola penyakit dan lead time. Langkah-langkah dalam metoda ini adalah: a) Memanfaatkan pedoman pengobatan.

b) Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani.

c) Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit.

d) Menghitung jumlah kebutuhan obat.

(19)

19 a. Perkiraan jumlah populasi.

Komposisi demografi dari populasi yang akan diklasifikasikan berdasarkan jenis kelamin untuk umur antara:

1. 0 – 4 tahun, 2. 5 – 14 tahun, 3. 15 – 44 tahun,

4. 45 tahun (disesuaikan dengan LB-1),

5. atau ditetapkan berdasarkan kelompok dewasa (> 12 tahun) dan anak (1 – 12 tahun).

b. Menetapkan pola morbiditas penyakit.

c. Masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.

d. Menghitung perkiraan jenis dan jumlah obat sesuai dengan pedoman pengobatan dasar di puskesmas.

e. Frekuensi kejadian masing-masing penyakit pertahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.

f. Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus dikali jumlah obat sesuai pedoman pengobatan dasar di puskesmas. g. Untuk menghitung jenis, jumlah, dosis, frekuensi dan lama

pemberian obat dapat menggunakan pedoman pengobatan yang ada. h. Menghitung jumlah kebutuhan obat yang akan datang dengan

mempertimbangkan faktor antara lain: 1. Pola penyakit

2. Lead time 3. Buffer stock

i. Menghitung kebutuhan obat tahun anggaran yang akan datang. Manfaat informasi yang didapat adalah sebagai sumber data dalam

menghitung kebutuhan obat untuk pemakaian tahun mendatang dengan menggunakan metoda morbiditas.

Jumlah Kasus x Jumlah Obat per kasus sesuai Pedoman Pengobatan

(20)

20 D. Tahap Proyeksi Kebutuhan Obat

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah:

1) Menetapkan rancangan stok akhir periode yang akan datang. Rancangan stok akhir diperkirakan sama dengan hasil perkalian antara waktu tunggu (lead time) dengan estimasi pemakaian rata - rata /bulan ditambah Stok pengaman (buffer stock).

d = (Lt x R ) + sp Keterangan :

d = rancangan stok akhir R = Estimasi pemakaian rata-rata perbulan Lt = Waktu tunggu (Lead Time) sp = Stok pengaman (Buffer stock)

2) Menghitung rancangan pengadaan obat periode tahun yang akan datang. Perencanaan pengadaan obat tahun yang akan datang dapat dirumuskan sebagai berikut:

a = b + c + d - e - f Keterangan:

a = Rancangan kebutuhan obat tahun yang akan datang

b = Kebutuhan obat untuk sisa periode berjalan (sesuai tahun anggaran yang bersangkutan)

c = Kebutuhan obat untuk tahun yang akan datang

d = Rancangan stok akhir (jumlah obat yang dibutuhkan pada periode lead time dan buffer stok tahun yang akan datang) e = Perkiraan sisa stok akhir periode berjalan/ Stok awal

periode yang akan datang di IFK

f = Rencana penerimaan obat pada periode berjalan (Januari– Desember)

3) Menghitung rancangan anggaran untuk total kebutuhan obat, dengan cara:

a. Melakukan analisis ABC – VEN.

b. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan dengan anggaran yang tersedia.

c. Menyusun prioritas kebutuhan dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan data 10 penyakit terbesar.

(21)

21 4) Pengalokasian kebutuhan obat per sumber anggaran, dengan

melakukan kegiatan:

a. Menetapkan kebutuhan anggaran untuk masing-masing obat persumber anggaran.

b. Menghitung persentase belanja untuk masing-masing obat terhadap sumber anggaran.

c. Menghitung persentase anggaran masing-masing obat terhadap total anggaran dari semua sumber.

2. Tahap Penyesuaian Rencana Pengadaan Obat

Dengan melaksanakan penyesuaian perencanaan obat dengan jumlah dana yang tersedia, maka informasi yang didapat adalah jumlah rencana pengadaan, skala prioritas masing-masing jenis obat dan jumlah kemasan untuk rencana pengadaan obat tahun yang akan datang. Beberapa metoda untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi anggaran pengadaan obat:

1) Analisa ABC

Berdasarkan berbagai observasi dalam inventori manajemen, yang paling banyak ditemukan adalah tingkat konsumsi pertahun hanya diwakili oleh relatif sejumlah kecil item. Sebagai contoh, dari pengamatan terhadap pengadaan obat dijumpai bahwa sebagian besar dana obat (70%) digunakan untuk pengadaan 10% dari jenis/ item obat yang paling banyak digunakan, sedangkan sisanya sekitar 90% jenis/ item obat menggunakan dana sebesar 30%. Oleh karena itu analisa ABC mengelompokkan item obat berdasarkan kebutuhan dananya, yaitu:

Kelompok A: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 70% dari jumlah dana obat keseluruhan.

Kelompok B: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%.

(22)

22 Kelompok C: kelompok jenis obat yang jumlah nilai rencana pengadaannya menunjukkan penyerapan dana sekitar 10% dari jumlah dana obat keseluruhan.

Langkah-langkah menentukan Kelompok A, B dan C:

a. Hitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk masing-masing obat dengan cara mengalikan kuantum obat dengan harga obat. b. Tentukan peringkat mulai dari yang terbesar dananya sampai

yang terkecil.

c. Hitung persentasenya terhadap total dana yang dibutuhkan. d. Hitung akumulasi persennya.

e. Obat kelompok A termasuk dalam akumulasi 70%

f. Obat kelompok B termasuk dalam akumulasi >70% s/d 90% (menyerap dana ± 20%)

g. Obat kelompok C termasuk dalam akumulasi > 90% s/d 100% (menyerap dana ± 10%)

2) Analisa VEN

Salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dana obat yang terbatas dengan mengelompokkan obat berdasarkan manfaat tiap jenis obat terhadap kesehatan. Semua jenis obat yang tercantum dalam daftar obat dikelompokkan kedalam tiga kelompok berikut: Kelompok V: kelompok obat-obatan yang sangat esensial (vital), yang termasuk dalam kelompok ini antara lain:

1. Obat penyelamat (life saving drugs)

2. Obat untuk pelayanan kesehatan pokok (obat anti diabetes, vaksin dan lain-lain)

3. Obat untuk mengatasi penyakit penyebab kematian terbesar. Kelompok E: kelompok obat yang bekerja kausal yaitu obat yang bekerja pada sumber penyebab penyakit.

Kelompok N: obat penunjang yaitu obat yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan.

(23)

23 a. Penyesuaian rencana kebutuhan obat dengan alokasi dana yang tersedia. Obat yang perlu ditambah atau dikurangi dapat didasarkan atas pengelompokan obat menurut VEN.

b. Penyusunan rencana kebutuhan obat yang masuk kelompok V agar diusahakan tidak terjadi kekosongan obat.

Untuk menyusun daftar VEN perlu ditentukan lebih dahulu kriteria penentuan VEN yang sebaiknya disusun oleh suatu Tim. Dalam menentukan kriteria perlu dipertimbangkan kondisi dan kebutuhan masing-masing wilayah. Kriteria yang disusun dapat mencakup berbagai aspek antara lain:

a. klinis b. konsumsi c. target kondisi d. biaya

Langkah-langkah menentukan VEN : a. Menyusun analisa VEN

b. Menyediakan data pola penyakit c. Merujuk pada pedoman pengobatan. 3. Tahap Koordinasi Lintas Program

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD) dibiayai melalui berbagai sumber anggaran. Oleh karena itu koordinasi dan keterpaduan perencanaan pengadaan obat dan perbekalan kesehatan mutlak diperlukan, sehingga pembentukan Tim Perencanaan Obat Terpadu adalah merupakan suatu kebutuhan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan dana obat melalui koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antar instansi yang terkait dengan perencanaan obat di setiap Kabupaten/ Kota.

Berbagai sumber anggaran yang membiayai pengadaan obat dan perbekalan kesehatan antara lain:

a. APBN atau Dana Alokasi Khusus (DAK) b. APBD 1/Provinsi sebagai buffer

(24)

24 d. Askes/BPJS

e. Program Kesehatan

f. Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) g. Sumber-sumber lain

2.3.2 Pengadaan

Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan merupakan proses untuk penyediaan obat yang dibutuhkan di Unit Pelayanan Kesehatan. Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah dan Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pengadaan obat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Keputusan Presiden No. 70 tahun 2012 tentang Pengadaan barang/jasa Pemerintah melalui :

1. Pelelangan Umum 2. Pelelangan Sederhana 3. Pelelangan Terbatas 4. Pemilihan Langsung 5. Seleksi Umum 6. Seleksi Sederhana 7. Sayembara 8. Kontes

9. Penunjukan langsung untuk 10. Swakelola

11. Pengadaan Langsung Tujuan pengadaan obat adalah :

a. Tersedianya obat dengan jenis dan jumlah yang cukup sesuai kebutuhan pelayanan kesehatan.

(25)

25 c. Obat dapat diperoleh pada saat diperlukan.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan obat adalah : 1. Kriteria Obat dan Perbekalan Kesehatan

a. Kriteria umum

1) Obat yang tercantum dalam daftar obat Generik, Daftar Obat.

2) Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD), daftar Obat Program Kesehatan, berdasarkan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) yang masih berlaku.

3) Obat telah memiliki Izin Edar atau Nomor Registrasi dari Kementerian Kesehatan R.I cq. Badan POM.

4) Batas kadaluarsa obat pada saat pengadaan minimal 2 tahun. Khusus untuk vaksin dan preparat biologis ketentuan kadaluwarsa diatur tersendiri.

5) Obat memiliki Sertifikat Analisa dan uji mutu yang sesuai dengan nomor batch masing-masing produk.

6) Obat diproduksi oleh Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB. b. Kriteria mutu obat

Mutu dari obat dan perbekalan kesehatan harus dapat dipertanggung jawabkan. Kriteria mutu obat dan perbekalan kesehatan adalah sebagai berikut:

1) Persyaratan mutu obat harus sesuai dengan persyaratan mutu yang tercantum dalam Farmakope Indonesia edisi terakhir.

2) Industri Farmasi yang memproduksi obat bertanggung jawab terhadap mutu obat melalui pemeriksaan mutu (Quality Control) yang dilakukan oleh Industri Farmasi.

3) Pemeriksaan mutu secara organoleptik dilakukan oleh Apoteker penanggung jawab Instalasi Farmasi Propinsi, Kabupaten/ Kota. Bila terjadi keraguan terhadap mutu obat dapat dilakukan pemeriksaan mutu di Laboratorium yang ditunjuk pada saat pengadaan dan merupakan tanggung jawab distributor yang menyediakan.

(26)

26 2. Persyaratan Pemasok

Pemilihan pemasok adalah penting karena dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas obat. Persyaratan pemasok sebagai berikut :

a. Memiliki izin Pedagang Besar Farmasi / Industri Farmasi yang masih berlaku.

b. Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus ada dukungan dari Industri Farmasi yang memiliki Sertifikat CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik) bagi tiap bentuk sediaan obat yang dibutuhkan untuk pengadaan.

c. Industri Farmasi harus memiliki Sertifikat CPOB bagi tiap bentuk sediaan obat yang dibutuhkan untuk pengadaan.

d. Pedagang Besar Farmasi atau Industri Farmasi harus memiliki reputas yang baik dalam bidang pengadaan obat.

e. Pemilik dan atau Apoteker penanggung jawab Pedagang Besar Farmasi, Apoteker penanggung jawab produksi dan quality control f. Industri Farmasi tidak sedang dalam proses pengadilan atau tindakan

yang berkaitan dengan profesi kefarmasian.

g. Mampu menjamin kesinambungan ketersediaan obat sesuai dengan masa kontrak.

3. Penentuan Waktu Pengadaan dan Kedatangan Obat

Waktu pengadaan dan waktu kedatangan obat dari berbagai sumber anggaran perlu ditetapkan berdasarkan hasil analisis data:

a. Sisa stok dengan memperhatikan waktu

b. Jumlah obat yang akan diterima sampai dengan akhir tahun anggaran c. Rata-rata pemakaian

d. Waktu tunggu/ lead time

Berdasarkan data tersebut dapat dibuat: a. Profil pemakaian obat.

b. Penetapan waktu pesan. c. Waktu kedatangan obat.

(27)

27 4. Penerimaan dan Pemeriksaan Obat

Penerimaan dan pemeriksaan merupakan salah satu kegiatan pengadaan agar obat yang diterima sesuai dengan jenis dan jumlah serta sesuai dengan dokumen yang menyertainya.

5. Pemantauan Status Pesanan

Pemantauan status pesanan bertujuan untuk :

a. Mempercepat pengiriman sehingga efisiensi dapat ditingkatkan b. Pemantauan dapat didasarkan kepada sistem VEN.

c. Petugas Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota memantau status pesanan secara berkala.

d. Pemantauan dan evaluasi pesanan harus dilakukan dengan memperhatikan:

1. Nama obat 2. Satuan kemasan 3. Jumlah obat diadakan

4. Obat yang sudah diterima 5. Obat yang belum diterima

2.3.3 Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara menempatkan obat dan perbekalan kesehatan yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat dan perbekalan kesehatan.

Tujuan penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan adalah untuk : a. Memelihara mutu obat

b. Menghindari penyalahgunaan dan penggunaan yang salah c. Menjaga kelangsungan persediaan

d. Memudahkan pencarian dan pengawasan Kegiatan penyimpanan obat meliputi: 1. Penyiapan Sarana Penyimpanan

Ketersediaan sarana yang ada di unit pengelola obat dan perbekalan kesehatan bertujuan untuk mendukung jalannya organisasi. Adapun sarana yang minimal sebaiknya tersedia adalah sebagai berikut :

(28)

28 b. Kendaraan roda dua dan roda empat, dengan jumlah 1 – 3 unit c. Komputer + Printer dengan jumlah 1 – 3 unit

d. Telepon & Faximile dengan jumlah 1 unit e. Sarana penyimpanan:

1. Rak : 10 - 15 unit 2. Pallet : 40 - 60 unit 3. Lemari : 5 - 7 unit 4. Lemari Khusus : 1 unit

5. Cold chain (medical refrigerator)

6. Cold Box 7. Cold Pack 8. Generator

f. Sarana Administrasi Umum: 1. Brankas : 1 Unit

2. Mesin Tik : 1 – 2 unit

3. Lemari arsip : 1 – 2 unit

g. Sarana Administrasi Obat dan Perbekalan Kesehatan: 1. Kartu Stok

2. Kartu Persediaan Obat 3. Kartu Induk Persediaan Obat 4. Buku Harian Pengeluaran Barang 5. SBBK (Surat Bukti Barang Keluar)

6. LPLPO (Laporan Pemakaian dan Laporan Permintaan Obat) 7. Kartu Rencana Distribusi

8. Lembar bantu penentuan proporsi stok optimum 2. Pengaturan Tata Ruang

Untuk mendapatkan kemudahan dalam penyimpanan, penyusunan, pencarian dan pengawasan obat, maka diperlukan pengaturan tata ruang gudang dengan baik. Pengaturan tata ruang selain harus memperhatikan kebersihan dan menjaga gudang dari kebocoran dan hewan pengerat juga harus diperhatikan ergonominya.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam merancang gudang adalah sebagai berikut :

A. Kemudahan bergerak

Untuk kemudahan bergerak, maka gudang perlu ditata sebagai berikut:

(29)

29 1. Gudang jangan menggunakan sekat-sekat karena akan membatasi pengaturan ruangan. Jika digunakan sekat, perhatikan posisi dinding dan pintu untuk mempermudah gerakan.

2. Berdasarkan arah arus penerimaan dan pengeluaran obat, ruang gudang dapat ditata berdasarkan sistem :

a. Arus garis lurus b. Arus U

c. Arus L

3. Sirkulasi udara yang baik

Salah satu faktor penting dalam merancang gudang adalah adanya sirkulasi udara yang cukup di dalam ruangan gudang. Sirkulasi yang baik akan memaksimalkan stabilitas obat sekaligus bermanfaat dalam memperbaiki kondisi kerja petugas. Idealnya dalam gudang terdapat AC, namun biayanya akan menjadi mahal untuk ruang gudang yang luas. Alternatif lain adalah menggunakan kipas angin/ventilator/rotator. Perlu adanya pengukur suhu di ruangan penyimpanan obat dan dilakukan pencatatan suhu.

B. Rak dan Pallet

Penempatan rak yang tepat dan penggunaan pallet akan dapat meningkatkan sirkulasi udara dan pemindahan obat. Penggunaan pallet memberikan keuntungan:

1) Sirkulasi udara dari bawah dan perlindungan terhadap banjir, serangan serangga (rayap)

2) Melindungi sediaan dari kelembaban 3) Memudahkan penanganan stok 4) Dapat menampung obat lebih banyak 5) Pallet lebih murah dari pada rak C. Kondisi penyimpanan khusus

a) Vaksin dan serum memerlukan Cold Chain khusus dan harus dilindungi dari kemungkinan putusnya aliran listrik (harus tersedianya generator).

(30)

30 b) Narkotika dan bahan berbahaya harus disimpan dalam lemari khusus dan selalu terkunci sesuai dengan peraturan yang berlaku. c) Bahan-bahan mudah terbakar seperti alkohol, eter dan pestisida

harus disimpan dalam ruangan khusus, sebaiknya disimpan di bangunan khusus terpisah dari gudang induk

D. Pencegahan kebakaran

Perlu dihindari adanya penumpukan bahan-bahan yang mudah terbakar seperti dus, karton dan lain-lain. Alat pemadam kebakaran harus diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan dalam jumlah yang cukup. Contohnya tersedia bak pasir, tabung pemadam kebakaran, karung goni, galah berpengait besi.

3. Penyusunan Stok Obat

Obat disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a. Gunakan prinsip First Expired date First Out (FEFO) dan First In

First Out (FIFO) dalam penyusunan obat yaitu obat yang masa kadaluwarsanya lebih awal atau yang diterima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya obat yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umurnya relatif lebih tua dan masa kadaluwarsanya mungkin lebih awal.

b. Susun obat dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur. Untuk obat kemasan kecil dan jumlahnya sedikit disimpan dalam rak dan pisahkan antara obat dalam dan obat untuk pemakaian luar dengan memperhatikan keseragaman nomor batch.

c. Gunakan lemari khusus untuk menyimpan narkotika dan psikotropika. Simpan obat yang stabilitasnya dapat dipengaruhi oleh temperatur, udara, cahaya dan kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.

d. Perhatikan untuk obat yang perlu penyimpanan khusus. e. Cantumkan nama masing-masing obat pada rak dengan rapi.

f. Apabila persediaan obat cukup banyak, maka biarkan obat tetap dalam box masing-masing.

(31)

31 4. Pengamatan mutu obat

Mutu obat yang disimpan di ruang penyimpanan dapat mengalami perubahan baik karena faktor fisik maupun kimiawi yang dapat diamati secara visual. Jika dari pengamatan visual diduga ada kerusakan yang tidak dapat ditetapkan dengan cara organoleptik, harus dilakukan sampling untuk pengujian laboratorium.

2.3.4 Distribusi

Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman obat, terjamin keabsahan, tepat jenis dan jumlah secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan unit-unit pelayanan kesehatan. Distribusi obat dilakukan agar persediaan jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari kekosongan dan menumpuknya persediaan serta mempertahankan tingkat persediaan obat.

Tujuan distribusi adalah :

1) Terlaksananya pengiriman obat secara merata dan teratur sehingga dapat diperoleh pada saat dibutuhkan.

2) Terjaminnya mutu obat dan perbekalan kesehatan pada saat pendistribusian

3) Terjaminnya kecukupan dan terpeliharanya penggunaan obat di unit pelayanan kesehatan.

4) Terlaksananya pemerataan kecukupan obat sesuai kebutuhan pelayanan dan program kesehatan.

Kegiatan distribusi obat di Kabupaten/ Kota terdiri dari :

1) Kegiatan distribusi rutin yang mencakup distribusi untuk kebutuhan pelayanan umum di unit pelayanan kesehatan

2) Kegiatan distribusi khusus yang mencakup distribusi obat untuk : a. Program kesehatan

b. Kejadian Luar Biasa (KLB) c. Bencana (alam dan sosial)

(32)

32 1. Kegiatan Distribusi Rutin

Perencanaan Distribusi

Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota merencanakan dan melaksanakan pendistribusian obat ke unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya serta sesuai kebutuhan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

A. Perumusan stok optimum

Perumusan stok optimum persediaan dilakukan dengan

memperhitungkan siklus distribusi rata-rata pemakaian, waktu tunggu serta ketentuan mengenai stok pengaman.

Rencana distribusi obat ke setiap unit pelayanan kesehatan termasuk rencana tingkat persediaan, didasarkan kepada besarnya stok optimum setiap jenis obat di setiap unit pelayanan kesehatan. Perhitungan stok optimum dilakukan oleh Instalasi Farmasi Kab/Kota.

Stok Optimum = Pemakaian Obat Dalam Satu Periode Tertentu + Stok Pengaman + Waktu Tunggu B. Penetapan frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan

Frekuensi pengiriman obat ke unit pelayanan ditetapkan dengan memperhatikan :

1) Anggaran yang tersedia

2) Jarak dan kondisi geografis dari IFK ke UPK 3) Fasilitas gudang UPK

4) Sarana yang ada di IFK

C. Penyusunan peta lokasi, jalur dan jumlah pengiriman

Agar alokasi biaya pengiriman dapat dipergunakan secara efektif dan efisien maka IFK perlu membuat peta lokasi dari unit-unit pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya. Hal ini sangat diperlukan terutama untuk pelaksanaan distribusi aktif dari IFK. Jarak (km) antara IFK dengan setiap unit pelayanan kesehatan dicantumkan pada peta lokasi. Dengan mempertimbangkan jarak, biaya transportasi atau kemudahan fasilitas yang tersedia, dapat ditetapkan rayonisasi dari wilayah

(33)

33 pelayanan distribusi. Disamping itu dilakukan pula upaya untuk memanfaatkan kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat membantu pengangkutan obat ke UPK misalnya kunjungan rutin petugas

Kabupaten ke UPK, pertemuan dokter Puskesmas yang

diselenggarakan di Kabupaten/Kota dan sebagainya.

Atas dasar ini dapat ditetapkan jadwal pengiriman untuk setiap rayon distribusi misalnya ada rayon distribusi yang dapat dilayani sebulan sekali, ada rayon distribusi yang dapat dilayani triwulan dan ada yang hanya dapat dilayani tiap enam bulan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.

2. Kegiatan Distribusi Khusus

Kegiatan distribusi khusus di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota dilakukan

sebagai berikut:

a. Instalasi Farmasi Kabupaten/ Kota dan pengelola program Kabupaten/ Kota, bekerjasama untuk mendistribusikan masing-masing obat program yang diterima dari propinsi, kabupaten/ kota.

b. Distribusi obat program ke Puskesmas dilakukan oleh IFK atas permintaan penanggung jawab program, misalnya pelaksanaan program penanggulangan penyakit tertentu seperti Malaria, Frambusia dan penyakit kelamin, bilamana obatnya diminta langsung oleh petugas program kepada IFK Kabupaten/ Kota tanpa melalui Puskesmas, maka petugas yang bersangkutan harus membuat permintaan dan laporan pemakaian obat yang diketahui oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

c. Obat program yang diberikan langsung oleh petugas program kepada penderita di lokasi sasaran, diperoleh/diminta dari Puskesmas yang membawahi lokasi sasaran. Setelah selesai pelaksanaan pemberian obat, bilamana ada sisa obat harus dikembalikan ke Puskesmas yang bersangkutan. Khusus untuk Program Diare diusahakan ada sejumlah

(34)

34 persediaan obat di Posyandu yang penyediaannya diatur oleh Puskesmas.

d. Untuk KLB dan bencana alam, distribusi dapat dilakukan melalui permintaan maupun tanpa permintaan oleh Puskesmas. Apabila diperlukan, Puskesmas yang wilayah kerjanya terkena KLB/Bencana dapat meminta bantuan obat kepada Puskesmas terdekat.

Tata Cara Pendistribusian Obat

1) IFK Kabupaten/ Kota melaksanakan distribusi obat ke Puskesmas dan di wilayah kerjanya sesuai kebutuhan masing-masing Unit Pelayanan Kesehatan.

2) Puskesmas Induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling dan Unit-unit Pelayanan Kesehatan lainnya yang ada di wilayah binaannya.

3) Distribusi obat-obatan dapat pula dilaksanakan langsung dari IFK ke Puskesmas Pembantu sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah atas persetujuan Kepala Puskesmas yang membawahinya. Tata cara distribusi obat ke Unit Pelayanan Kesehatan dapat dilakukan dengan cara penyerahan oleh IFK ke Unit Pelayanan Kesehatan, pengambilan sendiri oleh UPK di IFK, atau cara lain yang ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

Pencatatan Harian Pengeluaran Obat

Obat yang telah dikeluarkan harus segera dicatat dan dibukukan pada Buku Harian Pengeluaran Obat sesuai data obat dan dilakukan dokumentasi. Fungsinya sebagai dokumen yang memuat semua catatan pengeluaran, baik mengenai data obat maupun dokumen yang menyertai pengeluaran obat tersebut. Manfaatnya sebagai sumber data untuk perencanaan dan pelaporan

(35)

35 2.3.5 Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dan pelaporan data obat di Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka penatausahaan obat-obatan secara tertib baik obat-obatan yang diterima, disimpan, didistribusikan maupun yang digunakan di Puskesmas dan unit pelayanan kesehatan lainnya. Tujuan pencatatan dan pelaporan adalah tersedianya data mengenai jenis dan jumlah penerimaan, persediaan, pengeluaran/ penggunaan dan data mengenai waktu dari seluruh rangkaian kegiatan mutasi obat.

Kegiatan pencatatan dan pelaporan meliputi :

1. Pencatatan dan Pengelolaan Data untuk mendukung Perencanaan 2. Pengadaan Obat melalui kegiatan perhitungan tingkat kecukupan obat

per UPK

3. Kegiatan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa rencana distribusi akan dapat didukung sepenuhnya oleh sisa stok obat di IFK. 4. Perhitungan dilakukan langsung pada Kartu Rencana Distribusi Obat. 5. Tingkat kecukupan dihitung dari sisa stok obat di IFK dibagi dengan

pemakaian rata-rata obat di Unit Pelayanan Kesehatan.

Jika tingkat kecukupan obat semakin menurun maka petugas IFK dapat mempergunakan catatan pada kartu Realisasi Pengadaan Obat untuk memberikan umpan balik kepada pemegang kebijakan agar mempercepat pengadaan obat yang alokasinya telah disetujui.

Jika semua pengadaan telah dilakukan, maka petugas IFK harus segera menyesuaikan stok optimum obat bersangkutan untuk seluruh UPK. Tingkat kecukupan dan sisa stok obat di IFK dalam mendukung rencana distribusi harus selalu dilaporkan kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Laporan Pengelolaan Obat

Sebagai unit kerja yang secara fungsional berada di bawah dan langsung bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, maka IFK memiliki kewajiban untuk melaporkan kegiatan pengelolaan obat yang dilaksanakan. Laporan yang perlu disusun IFK terdiri dari :

(36)

36 a) Laporan dinamika logistik dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Walikota/Bupati dengan tembusan kepada Kadinkes Provinsi tiga bulan sekali dan dari Provinsi ke Kementrian Kesehatan Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes tiga bulan sekali b) Laporan tahunan/ profil pengelolaan obat Kab/ Kota dikirim kepada

Dinkes Provinsi dan setelah dikompilasi oleh Dinkes Provinsi dikirimkan kepada Kemenkes Cq. Ditjen Bina Kefarmasian dan Alkes Pencatatan dan pelaporan terdiri dari :

a. Kartu stok dan kartu stok induk b. LPLPO dan SBBK

c. Buku penerimaan d. Buku pengeluaran Pencatatan dan Kartu Stok Fungsi :

1) Kartu stok digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa)

2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis obat yang berasal dari 1 (satu) sumber anggaran.

3) Tiap baris data hanya diper untukkan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat.

4) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan, perencanaan pengadaan distribusi dan sebagai pembanding terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanannya.

Pencatatan Kartu Stok Induk Fungsi :

1) Kartu Stok Induk digunakan untuk mencatat mutasi obat (penerimaan, pengeluaran, hilang, rusak atau kedaluwarsa).

2) Tiap lembar kartu stok hanya diperuntukkan mencatat data mutasi 1 (satu) jenis obat yang berasal dari semua sumber anggaran

3) Tiap baris data hanya diperuntukan mencatat 1 (satu) kejadian mutasi obat

(37)

37 4) Data pada kartu stok induk digunakan sebagai :

a. Alat kendali bagi Kepala Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan terhadap keadaan fisik obat dalam tempat penyimpanan.

b. Alat bantu untuk penyusunan laporan, perencanaan pengadaan dan distribusi serta pengendalian persediaan.

Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) Kegunaan LPLPO :

a. Sebagai bukti pengeluaran obat di Unit Pengelola Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan.

b. Sebagai bukti penerimaan obat di Rumah Sakit/Puskesmas

c. Sebagai surat permintaan/pesanan obat dari Rumah Sakit/Puskesmas kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota cq. IFK

d. Sebagai bukti penggunaan obat di Rumah Sakit / Puskesmas Laporan Pengelolaan Obat Tahunan

Fungsi:

Untuk mengetahui gambaran umum pengelolaan obat di daerah Kabupaten/Kota selama satu tahun anggaran. Manfaat Informasi adalah sebagai dasar tindak lanjut peningkatan dan penyempurnaan pengelolaan obat di Kabupaten/Kota dan bahan masukan dalam penyusunan profil kesehatan Kabupaten/Kota.

2.3.6 Supervisi dan Evaluasi

Supervisi berasal dari kata super (lebih tinggi) dan vision (melihat) sehingga secara umum dapat diartikan sebagai mengawasi dari atas atau oleh atasan. Supervisi dalam pengertian manajemen memiliki pengertian yang lebih luas, karena istilah yang digunakan adalah mengawasi dan bukan melihat, ini bukan dilakukan secara kebetulan. Mengawasi dalam arti bahasa Indonesia adalah mengamati dan menjaga jadi bukan hanya mengamati saja, akan tetapi memiliki pengertian menjaga.

(38)

38 Supervisi yang dilakukan oleh petugas IFK adalah proses pengamatan

secara terencana dari unit yang lebih tinggi (Instalasi Farmasi

Propinsi/Kabupaten/Kota) terhadap pelaksanaan pengelolaan obat oleh petugas pada unit yang lebih rendah (Puskesmas/Puskesmas Pembantu/UPT lainnya).

Pengamatan diarahkan untuk menjaga agar pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang disepakati bersama.

Tujuan supervisi ditujukan untuk menjaga agar pekerjaan pengelolaan obat yang dilakukan sesuai dengan pedoman yang berlaku. Ruang Lingkup Supervisi :

1. Pengelolaan obat meliputi : a. Seleksi,

b. Pengadaan, c. Penyimpanan,

d. Distribusi, pencatatan & pelaporan, e. Monitoring & evaluasi

2. Sarana Prasarana : a. Sarana Infrastruktur b. Sistem pengelolaan

c. Sarana penunjang (software, hardware) 3. Sumber daya manusia (jumlah dan kualifikasi) Supervisi Pengelolaan dan Penggunaan Obat 1. Kegiatan supervisi meliputi :

a. Proses penyusunan rencana

b. Persiapan pelaksanaan (tenaga, dana, waktu, check list) c. Pelaksanaan (kunjungan, diskusi, umpan balik, penyelesaian)

d. Pemanfaatan hasil supervisi (kompilasi hasil, analisa, rekomendasi tindak lanjut)

2. Kriteria petugas supervisi:

a. Memiliki pengetahuan mutakhir, bukan hanya dalam aspek penugasan, kebijaksanaan tetapi juga informasi mutakhir yang berkaitan dengan rencana kerja, sasaran kerja serta indikator kinerja unit organisasi.

(39)

39 b. Memiliki kemampuan dalam mengetahui semua ketentuan dan

instruksi, standar dan indikator evaluasinya.

c. Memiliki kemampuan dalam memastikan bahwa sistem informasi berjalan dengan teratur, ada pencatatan dari semua parameter yang dimonitor, mekanisme analisa, dan evaluasinya.

Analisa dan evaluasi terhadap hasil-hasil monitoring ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa mutu hasil kerja dari petugas mencapai apa yang diinginkan. Analisa dilakukan dengan membandingkan antara:

a) Rencana dengan realisasi b) Hasil dengan sasaran,

c) Proses kerja dengan sistem prosedur yang berlaku d) Sasaran kerja dengan ketentuan dan prosedur,

e) Biaya yang dipergunakan dengan anggaran yang tersedia f) dan lain-lain

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan suatu kondisi yang diharapkan dengan kondisi yang diamati. Hasil evaluasi dari hasil supervisi dapat langsung dibahas dengan yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan dapat mengetahui kondisinya.

Evaluasi bermanfaat untuk :

1. Menetapkan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam program yang sedang berjalan

2. Meramalkan kegunaan dari pengembangan usaha-usaha dan memperbaikinya

3. Mengukur kegunaan program-program yang inovatif

4. Meningkatkan efektifitas program, manajemen dan administrasi 2. Kesesuaian tuntutan tanggung jawab

Ada empat jenis evaluasi yang dibedakan atas interaksi dinamis diantara lingkungan program dan waktu evaluasi yaitu :

1. Evaluasi formatif yang dilakukan selama berlangsungnya kegiatan program. Evaluasi ini bertujuan untuk melihat dimensi kegiatan program yang melengkapi informasi untuk perbaikan program.

(40)

40 2. Evaluasi sumatif yang dilakukan pada akhir program. Evaluasi ini perlu untuk menetapkan ikhtisar program, termasuk informasi outcome, keberhasilan dan kegagalan program.

3. Evaluasi penelitian adalah suatu proses penelitian kegiatan yang sebenarnya dari suatu program, agar diketemukan hal-hal yang tidak tampak dalam pelaksanaan program.

4. Evaluasi presumtif yang didasarkan pada tendensi yang menganggap bahwa jika kegiatan tertentu dilakukan oleh orang tertentu yang diputuskan dengan pertimbangan yang tepat, dan jika bertambahnya anggaran sesuai dengan perkiraan, maka program dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan.

Indikator adalah alat ukur untuk dapat membandingkan kinerja yang sesungguhnya. Indikator digunakan untuk mengukur sampai seberapa jauh tujuan atau sasaran telah berhasil dicapai. Penggunaan lain dari indikator adalah untuk penetapan prioritas, pengambilan tindakan dan untuk pengujian strategi dari sasaran yang ditetapkan. Hasil pengujian tersebut dapat digunakan oleh penentu kebijakan untuk meninjau kembali strategi atau sasaran yang lebih tepat. Indikator umumnya digunakan untuk memonitor kinerja yang esensial.

2.3 Gambaran Umum Puskesmas

2.4.1 Definisi Puskesmas

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 30 tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas yang dimaksud dengan Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disingkat Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

2.4.2 Prinsip Penyelenggaraan, Tugas dan Fungsi Puskesmas

Permenkes No 75 Tahun 2014 tentang Puskesmas prinsip penyelenggaraan Puskesmas meliputi:

a. paradigma sehat;

(41)

41 c. kemandirian masyarakat;

d. pemerataan;

e. teknologi tepat guna; dan

f. keterpaduan dan kesinambungan.

Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 75 tahun 2014 pasal 4 5, dan 6, Puskesmas mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Puskesmas menyelenggarakan fungsi:

a. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya. b. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya. c. Wahana pendidikan Tenaga Kesehatan.

Dalam menyelenggarakan fungsinya seperti pada huruf a, Puskesmas Berwenang untuk:

a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan.

b. Melakukan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan.

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan.

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain terkait.

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat.

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas. g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan. h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu,

(42)

42 i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan terhadap sistem kewaspadaan diri dan respon penanggulangan penyakit.

Dalam menyelenggarakan dungsinya seperti pada huruf b, Puskesmas berwenang untuk:

a. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu;

b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif;

c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu, keluarga, kelompok dan masyarakat;

d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan

keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;

e. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi;

f. Melaksanakan rekam medis;

g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses Pelayanan Kesehatan;

h. Melaksanakan peningkatan kompetensi Tenaga Kesehatan;

i. Mengoordinasikan dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan

j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan Sistem Rujukan.

2.4.3 Persyaratan Puskesmas

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 75 tahun 2014 pasal 9, persyaratan Puskesmas adalah sebagai berikut:

1) Puskesmas harus didirikan pada setiap kecamatan.

2) Dalam kondisi tertentu, pada 1 (satu) kecamatan dapat didirikan lebih dari 1 (satu) Puskesmas.

(43)

43 3) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan pertimbangan kebutuhan pelayanan, jumlah penduduk dan aksesibilitas.

4) Pendirian Puskesmas harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, peralatan kesehatan, ketenagaan, kefarmasian dan laboratorium.

a) Lokasi

Lokasi pendirian Puskesmas harus memenuhi persyaratan: d. geografis;

e. aksesibilitas untuk jalur transportasi; f. kontur tanah;

g. fasilitas parkir; h. fasilitas keamanan;

i. ketersediaan utilitas publik;

j. pengelolaan kesehatan lingkungan; dan k. kondisi lainnya.

Pendirian Puskesmas harus memperhatikan ketentuan teknis pembangunan bangunan gedung negara.

b) Bangunan

Bangunan Puskesmas harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a. persyaratan administratif, persyaratan keselamatan dan kesehatan

kerja, serta persyaratan teknis bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. bersifat permanen dan terpisah dengan bangunan lain; dan c. menyediakan fungsi, keamanan, kenyamanan, perlindungan d. keselamatan dan kesehatan serta kemudahan dalam memberi

pelayanan bagi semua orang termasuk yang berkebutuhan khusus, anak-anak dan lanjut usia.

c) Prasarana

Puskesmas harus memiliki prasarana yang berfungsi paling sedikit terdiri atas: sistem penghawaan (ventilasi); sistem pencahayaan; sistem sanitasi; sistem kelistrikan; sistem komunikasi; sistem gas

(44)

44 medik; sistem proteksi petir; sistem proteksi kebakaran; sistem pengendalian kebisingan; sistem transportasi vertikal untuk bangunan lebih dari 1 (satu) lantai; kendaraan Puskesmas keliling; dan kendaraan ambulans.

d) Sumber Daya Manusia

Sumber daya manusia Puskesmas terdiri atas tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan tersebut dihitung berdasarkan analisis beban kerja,

dengan mempertimbangkan jumlah pelayanan yang

diselenggarakan, jumlah penduduk dan persebarannya, karakteristik wilayah kerja, luas wilayah kerja, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama lainnya di wilayah kerja, dan pembagian waktu kerja.

Jenis Tenaga Kesehatan di Puskesmas paling sedikit terdiri atas:  dokter atau dokter layanan primer;

 dokter gigi;  perawat;  bidan;

 tenaga kesehatan masyarakat;  tenaga kesehatan lingkungan;  ahli teknologi laboratorium medik;  tenaga gizi; dan

 tenaga kefarmasian.

Tenaga Kesehatan di Puskesmas harus bekerja sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, etika profesi, menghormati hak pasien, serta mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien dengan memperhatikan keselamatan dan kesehatan dirinya dalam bekerja. Setiap Tenaga Kesehatan yang bekerja di Puskesmas harus memiliki surat izin praktek sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tenaga non kesehatan di Puskesmas harus dapat mendukung kegiatan ketatausahaan, administrasi keuangan, sistem informasi, dan kegiatan operasional lain di Puskesmas.

(45)

45 2.4.4 Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas

Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas meliputi standar:

1. Pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud meliputi: a. perencanaan kebutuhan; b. permintaan; c. penerimaan; d. penyimpanan; e. pendistribusian; f. pengendalian;

g. pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan; dan

l. pemantauan dan evaluasi pengelolaan.

2. Pelayanan farmasi klinik di Puskesmas meliputi:

a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat; b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);

c. konseling;

d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap); e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat; f. pemantauan terapi Obat; dan

g. evaluasi penggunaan Obat.

Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian, pengorganisasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Sumber daya kefarmasian meliputi:

a. sumber daya manusia; dan b. sarana dan prasarana.

Untuk menjamin mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, harus dilakukan pengendalian mutu Pelayananan Kefarmasian meliputi:

a. monitoring; dan b. evaluasi.

Penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas dilaksanakan pada unit pelayanan berupa ruang farmasi. Ruang farmasi dipimpin oleh seorang Apoteker sebagai penanggung jawab. Puskesmas yang belum memiliki Apoteker sebagai penanggung jawab, penyelenggaraan Pelayanan Kefarmasian secara

Referensi

Dokumen terkait

rangkaian proses di industri farmasi dalam pembuatan obat jadi, sesuai dengan.. keputusan Menteri Kesehatan

00.05.3.02152 tahun 2001 tentang CPOB yang mengharuskan pembuatan obat yang baik untuk menjamin mutu obat yang dihasilkan industri farmasi dalam seluruh aspek dan serangkaian

Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjamin mutu obat yang dihasilkan senantiasa

Cara Pembuatan Obat yang Baik adalah pedoman pembuatan obat bagi industri farmasi di Indonesia yang bertujuan untuk menjamin mutu obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi

pengendalian penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai dapat dilakukan oleh instalasi farmasi harus bersama dengan Tim Farmasi dan Terapi

Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Balai Besar Pengawas Obat

Elisabeth Kasih, S.Farm., M.Farm.Klin., Apt., selaku Ketua Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah