• Tidak ada hasil yang ditemukan

WATAN JIWA. Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WATAN JIWA. Manajemen asuhan..., Sri Nyumirah, FIK UI, 2013"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

M MANAJEM KLIE DI RU PROG MEN ASUHA EN DENGA UMAH SAK KAR FAKULTA GRAM SPE UNIV D AN KEPER AN HALU KIT Dr. H RYA ILMI Sri Nyu 100680 AS ILMU ESIALIS K VERSITAS DEPOK, JU RAWATA USINASI DI H MARZOE IAH AKHI umirah 01084 KEPERAW KEPERAW S INDONES ULI 2013 N SPESIAL I RUANG S EKI MAHD IR WATAN WATAN JIW SIA ALIS JIWA SADEWA DI BOGOR WA A PADA R

(2)

MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN SPESIALIS JIWA PADA KLIEN HALUSINASI DI RUANG SADEWA DI RUMAH SAKIT Dr. H MARZOEKI MAHDI BOGOR

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa (Sp.Kep.J)

Sri Nyumirah NPM. 1006801084

PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN JIWA FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JULI 2013

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)

UNIVERSITAS INDONESIA Karya Ilmiah Akhir, 2013

Sri Nyumirah, Budi Anna Keliat, Novy Helena Catherina Daulima

Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada Klien Halusinasi Di Ruang Sadewa RSMM Bogor

xv +131 hal + 14 Tabel + 2 Skema + Lampiran

Halusinasi merupakan diagnosa keperawatan terbanyak (54,05%) yang ditemukan mulai dari 18 Februari – 20 April 2013 di ruang Sadewa. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini menggambarkan asuhan keperawatan spesialis jiwa pada klien halusinasi. Metode yang digunakan dengan studi kasus pada 20 klien halusinasi dengan purposive sampling. Pada 7 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis, perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga, 10 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif, dan 3 klien dilakukan tindakan keperawatan generalis dan terapi perilaku. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam menggunakan tanggapan yang rasional untuk melawan pikiran dan perilaku yang negatif, serta meningkatkan kemampuan keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi, sehingga mengurangi tanda dan gejala munculnya halusinasi. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan terapi perilaku mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melawan pikiran negatif yang muncul saat halusinasi muncul. Hasil studi menunjukkan klien yang mendapatkan tindakan keperawatan generalis dan terapi kognitif mengalami peningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perilaku yang positif saat halusinasi muncul. Tindakan keperawatan generalis, terapi perilaku kognitif dan psikoedukasi keluarga direkomendasikan untuk klien halusinasi disertai penelitian lebih lanjut.

Kata kunci : Halusinasi, terapi perilaku kognitif, terapi perilaku dan terapi kognitif, model stres adaptasi Stuart dan interpersonal Peplau

(10)

Sri Nyumirah, Budi Anna Keliat, Novy Helena Catherina Daulima

Psychiatric Nursing Specialist Case Management with Hallucination at Sadewa Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital, Bogor

xv +131 pages + 14 Tables + 2 Schemas + Attachment

Hallucination was the major nursing diagnose (54,5%) found during 18 – April, 20 2013 at Sadewa ward. The aim of this scientific writing paper was to described the nursing intervention spesialist mental of clients with hallucinations. The method used by the 20 client case study with purposive sampling hallucinations. At 7 clients cognitive behavioral therapy and family psychoeducation, cognitive therapy 10 clients, and 3 client behavior therapy. The study result showed that clients get generalist nursing action, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation increase the clients ability to use a rational response to counter negative thought and behaviors that increase the ability of hallucinations. The study result showed clients get generalist nursing action and behavior therapy to increase the clients ability to fight the negative thoughts that arise when hallucinations appear. The study result showed that clients get generalist nursing action and cognitive therapy have increased the ability of clients in making postive behavior as hallucinations appear. Generalist nursing action, cognitive behavioral therapy and family psychoeducation for clients hallucinations accompanied recommended further research.

Key words : Hallucination, cognitive behavior therapy (CBT), cognitive therapy (CT), behavior therapy (BT), Stuart’s Stress Adaptation Model and Peplau’s Interpersonal Model

(11)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Ilmiah Akhir dengan judul ” Manajemen Asuhan Keperawatan Spesialis Jiwa Pada

Klien Halusinasi Di Ruang Sadewa - RSMM Bogor”. Penyusunan Karya Ilmiah

Akhir ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Spesialis Keperawatan Jiwa di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak sehingga penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Erie Darmawan, SpKj., selaku Direktur utama RS Dr. H. Marzoeki Mahdi

Bogor yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengunakan lahan BLU sebagai tempat praktek.

2. Ibu Dewi Irawati, M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

3. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pasca Sarjana S2 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

4. Ibu Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M.App.Sc., selaku Pembimbing I yang telah membimbing penulis dengan sabar, tekun, bijaksana dan cermat memberikan masukan dan motivasi dalam penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.

5. Ibu Novy Helena, CD., S.Kp.,MSc., selaku Pembimbing II yang telah memberikan masukan, arahan serta cermat memberikan bimbingan selama proses penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini.

6. Ibu Dr. Puji Triastuti, MARS, selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini.

7. Ibu Fauziah, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.J selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini.

8. Ibu Yossie Susanti Eka Putri, S.Kp.,MN selaku penguji saya yang telah memberikan masukan untuk perbaikan Karya Ilmiah Akhir ini dan selaku Ketua Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

(12)

10. Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

11. Ns. Ice Yulia Wardani, S. Kp., M. Kep., Sp. Kep. J., selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

12. Dr. Mustikasari, S. Kp., MARS., selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

13. Herni Susanti, S.Kp., M.N, selaku pengajar Mata Kuliah Keperawatan Jiwa pada Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

14. Staf pengajar Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan yang telah membekali ilmu, sehingga penulis mampu menyusun Karya Ilmiah Akhir ini.

15. Suami tercinta Hery Prihastomo yang selalu memberikan dukungan, doa, dan pengertiannya dalam proses Karya ilmiah akhir ini

16. Bapak, Ibu dan mertua saya yang selalu mendoakan dan memberikan arahan supaya penulis selalu berjuang untuk mencari ilmu.

17. Teman- teman di Stikes Cendekia Utama Kudus yang telah memberikan motivasi dan keringanan kerja selama dalam proses belajar.

18. Rekan-rekan angkatan VI (2010) Program Pasca Sarjana Keperawatan Jiwa yang selalu memberikan dukungan dan kerjasamanya.

19. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan proposal ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikan yang telah Bapak/Ibu/Saudara/i berikan dan mudah-mudahan Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat bagi upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.

Depok, Juli 2013

(13)

xi Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... v

HALAMAN PERNYATAAN PLAGIARISME ... vi

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 10

1.3 Manfaat ... 11

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hidegard Peplau dalam merawat klien halusinasi... 13

2.1.1 Konsep Stres Adaptasi Stuart... ... 13

2.1.1.1. Faktor Predisposisi... 14

2.1.1.2. Faktor Presipitasi ... 20

2.1.1.3. Penilaian Stressor... 23

2.1.1.4. Sumber Koping... 26

2.1.2 Konsep Teori Hidegard Peplau... 31

2.1.2.1. Aplikasi Penerapan Teori Peplau Pada Klien Halusinasi... 35

2.1.3 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan teori Hidegard Peplau.……... 39

2.2 Halusinasi………... 41

2.2.1 Pengertian …….………... 41

2.2.2 Proses Terjadinya Halusinasi... 43

2.2.3 Faktor Predisposisi... 45

2.2.4 Faktor Presipitasi... 47

2.2.5 Respon Terhadap Stressor... 49

2.2.6 Sumber Koping... 52

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan perilaku, koping individu efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Johnsons,1997 dalam Videback 2008). Kesehatan jiwa juga mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan semua segi dalam kehidupan manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya yang akan mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial individu secara optimal yang selaras dengan perkembangan masing-masing individu. Ciri – ciri sehat jiwa adalah perilaku positif terhadap diri sendiri, mampu tumbuh dan berkembang dan mampu mencapai aktualisasi diri, mempunyai integritas diri, rasa otonomi yang positif, mampu mengekspresikan realita secara tepat dan mampu menguasai lingkungan yang berubah (Jahoda dalam Stuart, 2009). Seorang individu dapat beradaptasi terhadap perubahan–perubahan yang terjadi, maka seorang tersebut akan dalam kondisi sehat jiwa, namun sebaliknya bila seorang tidak mampu beradaptasi akan terjadi kondisi gangguan jiwa.

Gangguan jiwa adalah merupakan respon maladaptif terhadap stressor dari dalam dan luar lingkungan yang berhubungan dengan perasaan dan perilaku yang tidak sejalan dengan budaya/kebiasaan/norma setempat dan mempengaruhi interaksi sosial individu, dan fungsi tubuh (Townsend, 2009). Gangguan jiwa merupakan kondisi kesehatan individu yang ditandai dengan terjadinya gangguan pada pola pikir, perasaan mood, kemampuan interaksi serta kemampuan melakukan aktifitas sehari-hari (Alliance on Mental Illness of America, 2010). Gangguan jiwa dapat diartikan sebagai suatu kumpulan gejala yang tercermin dari pola pikiran, perasaan serta perilaku individu yang terganggu yang akan mempengaruhi interaksi sosial individu, dan akan menyebabkan individu mengalami ketidakmampuan untuk terlibat dari aktivitas karena penyakit mental yang dialami atau peningkatan secara signifikan resiko untuk kematian, sakit dan mempengaruhi fungsi kehidupan.

(15)

Prevalensi gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan jiwa (WHO, 2009). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dari Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Kemenkes Republik Indonesia (Kemenkes RI, 2008), prevalensi gangguan mental emosional seperti gangguan kecemasan dan depresi sebesar 11,6% dari populasi orang dewasa dengan prevalensi tertinggi di Jawa Barat yaitu 20,0%. Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 0,46 %, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima diantaranya menderita gangguan jiwa berat. Prevalensi gangguan jiwa berat di Jawa Barat sebesar 0,22 % dan angka tersebut meningkat menjadi 0,40% di kota Bogor. Kondisi diatas mengambarkan prevalensi masalah kesehatan jiwa baik gangguan jiwa ringan sampai berat cukup tinggi dan membutuhkan penanganan yang serius serta berkesinambungan. Salah satu gangguan jiwa berat yang dialami oleh klien adalah skizofrenia.

Skizofrenia adalah suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realita (halusinasi dan waham), afek yang tidak wajar atau tumpul, gangguan kognitif (tidak mampu berfikir abstrak) dan mengalami kesukaran melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat, 2006). Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang akan membebani masyarakat sepanjang hidup penderita yang dikarakteristikan dengan disorganisasi pikiran, perasaan dan perilaku (Lenzenweger & Gottesman, 1994 dalam Sinaga 2008). Skizofrenia merupakan gangguan neurobiologikal otak yang persisten dan serius, sindroma secara klinis yang dapat mengakibatkan kerusakan hidup baik secara individu, keluarga dan komunitas. Seorang yang mengalami skizofrenia terjadi kesulitan berfikir dengan benar, memahami dan menerima realita, gangguan emosi/perasaan, tidak mampu membuat keputusan, serta gangguan dalam melakukan aktivitas atau perubahan perilaku.

(16)

Gejala yang muncul dari skizofrenia dibagi dalam 5 dimensi, yaitu gejala positif, gejala negatif, gejala kognitif, gejala agresif dan hostilitas serta gejala depresi dan

anxious (Shives, 2005; Sinaga, 2008). Gejala positif mengambarkan fungsi

normal yang berlebihan dan khas, meliputi waham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan dan disorganisasi perilaku seperti katatonia atau agitasi/kegelisahan. Gejala agresif dan hostile, gejala ini menekankan pada masalah pengendalian impuls. Hostile bisa berupa penyerangan secara fisik atau verbal terhadap orang lain, termasuk juga perilaku mencederai diri sendiri (suicide), merusak barang orang lain atau seksual acting out. Gejala depresi dan anxious pada klien skizofrenia sering kali didapatkan bersamaan dengan gejala lain seperti mood yang terdepresi, mood cemas, rasa bersalah (guilt), tension, irritabilitas atau kecemasan. Berdasarkan berbagai gejala diatas pada klien skizofrenia mengambarkan banyaknya masalah yang muncul seperti penyerangan terhadap orang lain, perilaku mencederai diri dan orang lain, halusinasi, depresi, rasa bersalah/harga diri rendah, waham.  

 

Prevalensi skizofrenia saat ini adalah 7 perseribu penduduk dewasa yang terbanyak pada usia 15-35 tahun, lebih dari 50% klien skizofrenia tidak mendapat perawatan yang sesuai dan tidak hanya itu, di negara berkembang ditemukan lebih dari 90% klien skizofrenia yang tidak diobati (WHO, 2010). Data statistik Direktorat Kesehatan Jiwa, Departemen Kesehatan menunjukan klien gangguan jiwa berat terbesar adalah skizofrenia yaitu 70% (Dep.Kes, 2008) dan klien yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa di seluruh Indonesia 90% dengan skizofrenia (RSJ Magelang, 2006). Berdasarkan hasil penelitian di RS Prof. HB. Sa’anin Padang yang sudah dilakukan oleh Basmanelly, Keliat dan Gayatri (2008) bahwa dari 60 klien skizofrenia sebagian besar diagnosa keperawatan halusinasi. Hasil penelitian di RS Dr Marzoeki Mahdi Bogor yang dilakukan oleh Lelono, Keliat dan Besral (2011) dan Sudiatmika, Keliat dan Wardani (2011) bahwa dari 60 klien skizofrenia dengan diagnosa keperawatan halusinasi, perilaku kekerasan dan harga diri rendah, dan 60 klien lagi dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan dan halusinasi. Prevalensi tersebut akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan upaya pencegahan terhadap skizofrenia, serta upaya pengobatan

(17)

dan perawatan klien skizofrenia dengan baik dan sesuai terutama pada diagnosa keperawatan halusinasi.

Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal. Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Suatu penyerapan panca indera tanpa ada rangsangan dari luar, suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui pancaindera tanpa stimulus eksternal; persepsi palsu. (Stuart, 2009). Halusinasi juga merupakan persepsi sensori yang salah yang meliputi salah satu dari kelima panca indera (Townsend, 2009). Halusinasi pendengaran paling sering terjadi ketika klien mendengar suara-suara, suara tersebut dianggap terpisah dari pikiran klien sendiri. Isi suara-suara tersebut mengancam dan menghina, sering kali suara tersebut memerintah klien untuk melakukan tindakan yang akan melukai klien atau orang lain (Copel, 2007), jadi halusinasi merupakan suatu pengalaman persepsi yang salah tanpa adanya stimulus dan pengalaman persepsi tersebut merupakan hal yang nyata bagi diri klien tetapi tidak untuk orang lain, sehingga perlu menjadi perhatian petugas di rumah sakit karena halusinasi juga bisa memicu perilaku kekerasan akibat persepsi yang salah dan perintah-perintah dari halusinasi yang didengar.

Upaya untuk mengatasi masalah gangguan jiwa terutama pada klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi diberikan dalam bentuk asuhan keperawatan jiwa pada klien dan melibatkan keluarga. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien dengan halusinasi yaitu tindakan keperawatan generalis dan spesialis. Tindakan keperawatan yang generalis sesuai dengan standar asuhan keperawatan yaitu mengidentifikasi halusinasi yang muncul (isi, jenis, durasi, situasi dan respon), mengontrol halusinasi dengan menghardik atau mengusir, bercakap-cakap dengan orang lain, melakukan kegiatan dan minum obat dengan teratur, serta melakukan terapi aktivitas stimulasi persepsi (Fortinash, 2007). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caroline, Keliat, dan Sabri (2008) bahwa penerapan standar asuhan keperawatan klien halusinasi dalam mengontrol halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotor klien,

(18)

sehingga klien halusinasi akan mengalami penurunan terhadap intensitas tanda dan gejala halusinasi yang muncul. Dapat disimpulkan bahwa tindakan keperawatan generalis pada klien halusinasi yang dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan memiliki dampak yang positif pada penurunan tanda dan gejala halusinasi, sehingga meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor klien ketika muncul halusinasi.

Tindakan keperawatan spesialis yang dapat dilakukan untuk klien baik individu maupun keluarga dengan halusinasi, untuk terapi individu adalah terapi perilaku kognitif (CBT) bahwa penerapan terapi psikososial dengan perilaku kognitif dapat merubah pola pikir yang negatif menjadi positif, sehingga perilaku yang maladaptif menjadi adaptif (Martin, 2010). Terapi perilaku (BT) menurut Laraia (2005) merupakan terapi yang digunakan untuk membentuk perilaku baru yang positif, sehingga meningkatkan ketrampilan atau meminimalkan perilaku yang dihindari. Terapi kognitif (CT) menurut Copel (2007) adalah terapi yang membantu klien untuk mengembangkan pola pikir yang rasional. Terapi keluarga yang dilakukan pada keluarga klien adalah terapi psikoedukasi keluarga yang merupakan satu elemen program perawatan kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui komunikasi yang terapeutik menurut (Stuart, 2009). Penerapan tindakan keperawatan spesialis pada klien maupun keluarga dengan halusinasi yang sesuai dapat membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor klien dalam mengontrol halusinasi dan menurunkan intensitas tanda dan gejala halusinasi, sehingga dapat menurunkan efek yang lebih lanjut.

Sesuai dengan penelitian yang terkait yaitu menurut Sasmita, Keliat dan Budiharto (2007) Cognitive behaviour therapy meningkatkan secara bermakna kemampuan kognitif dan perilaku klien harga diri rendah, Fauziah, Hamid dan Nuraini (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan, Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien halusinasi, Erwina, Keliat, Yusron dan

(19)

Helena (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien pasca gempa. Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Morisson (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan pada klien skizofrenia yang menjadikan klien dapat mengontrol perilaku marah, mengontrol klien yang berbicara sendiri atau halusinasi dan dapat meningkatkan hubungan klien baik di rumah sakit, keluarga dan di tempat kerja. Menurut Davis dkk (2005) terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien, sehingga muncul perilaku yang positif. Menurut Sudiatmika, Keliat dan Wardani (2011) bahwa penerapan terapi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT) pada klien halusinasi  dapat membantu individu untuk mengubah keyakinan irrasional menjadi lebih rasional melalui pembelajaran kognitif, emosi dan perilaku klien. Menurut Lelono, Keliat dan Besral (2011) klien yang menerapkan terapi psikososial RECBT pada klien halusinasi mengalami peningkatan kemampuan dan penurunan respon halusinasi secara bermakna, dilihat dari lima variabel yang diteliti yaitu: respon perilaku, sosial, kognitif, respon fisik, serta peningkatan kemampuan dalam mengendalikan pikiran negatif untuk menjadi positif, perasaan irrasional menjadi perasaan rasional dan perilaku negatif menjadi perilaku positif. Dapat disimpulkan bahwa penerapan tindakan keperawatan spesialis pada klien dengan halusinasi dapat meningkatkan kemampuan klien mengubah status pikiran, dan perasaanya klien dari perilaku negatif menjadi positif.

Kemampuan kognitif dan psikomotor klien dengan diagnosa keperawatan halusinasi meningkat apabila tindakan keperawatan yang dilakukan tidak hanya menggunakan pendekatan tindakan keperawatan saja, namun perlu dilakukan pendekatan tindakan medis yaitu pemberian antipsikotik agar menghasilkan perbaikan yang lebih optimal dibandingkan pendekatan secara tunggal. Tindakan medis dengan pemberian antipsikotik yang digunakan merupakan pemberian obat dengan kategori tipikal atau atipikal antipsikotik yang akan menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan menurunkan perilaku maladaptif pada klien (Gorman, 2007 dalam Townsend, 2009). Tindakan medis dengan pemberian antipsikotik tergantung dari keadaan klien ketika datang dalam fase apa, jika dalam fase akut

(20)

perlu penangganan yang segera. Interval antara munculnya gejala dengan perawatan/pengobatan pertama berhubungan dengan kecepatan dan kualitas respon pengobatan dan gejala negatif yang muncul, semakin cepat klien mendapat pengobatan setelah terdiagnosis, maka semakin cepat dan bermakna responnya. Pengobatan fase akut lebih difokuskan untuk menurunkan gejala psikotik yang berat, umumnya setelah dilakukan pengobatan selama 4-8 minggu dengan obat antipsikotik klien masuk dalam fase stabilisasi (Sinaga, 2008). Dapat disimpulkan bahwa pendekatan medis dengan pemberian antispikotik harus diberikan pada klien dengan halusinasi untuk membantu klien menurunkan gejala psikotik pada fase akut dan membantu meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotor pada klien.

Karya Ilmiah Akhir ini dilaporkan dan dianalisis berdasarkan praktik klinik keperawatan jiwa III di RS Dr Marzoeki Mahdi di Ruang Sadewa selama 9 minggu yaitu dari tanggal 18 Februari sampai dengan 19 April 2013. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi (RSMM) Bogor merupakan Rumah Sakit Tipe A Khusus yang merawat klien dengan gangguan fisik, jiwa dan Napza, sebagai pusat rujukan klien gangguan jiwa dan pusat pengembangan keperawatan jiwa di Indonesia. RSMM Bogor memiliki kapasitas tempat tidur 641 dan 484 tempat tidur untuk klien gangguan jiwa dengan BOR : 64,4%, TOI 47,96 hari, dan LOS 86,7 hari. Ruang Sadewa merupakan ruang kelas 1 laki-laki dan perempuan dengan kapasitas tempat tidur 25, dengan menggunakan pendekatan MPKP metode tim mulai tahun 2003, dengan jumlah tenaga kesehatan 13 yaitu perawat sejumlah 12 perawat, 11 dengan pendidikan D3 dan 1 pendidikan S1 Ners, sedangkan tenaga medis 1 dokter umum, dan 9 dokter psikiatri.

Di ruang Sadewa pada bulan Februari – April 2013 ada beberapa diagnosis yang muncul baik medis dan keperawatan. Diagnosis keperawatan utama yang ditemukan dari 37 klien selama di rawat yaitu, sebanyak 20 klien diagnosis keperawatan halusinasi, 9 diagnosis keperawatan RPK, 5 diagnosis keperawatan HDR Kronik, dan 3 diagnosis keperawatan isolasi sosial. Diagnosa medis yang ditemukan skizofrenia paranoid sebanyak 24 klien, skizofrenia 3 klien, gangguan

(21)

afektif bipolar 4 klien, psikosis 5 klien, dan skizofrenia hebrefenik 1 klien. Diagnosa medis yang paling sering ditemukan skizofrenia paranoid sebanyak 24 klien dan diagnosa keperawatan utama yang paling sering ditemukan adalah halusinasi sebanyak 20 klien. Manajemen asuhan keperawatan dengan halusinasi telah diberikan tindakan keperawatan generalis dan tindakan keperawatan spesialis.

Tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien halusinasi di Ruang Sadewa meliputi tindakan keperawatan generalis dan spesialis keperawatan jiwa baik dengan pendekatan individu, keluarga maupun kelompok, sehingga memberikan dampak yang positif bagi klien yaitu untuk mengoptimalkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yang muncul baik kognitif, afektif dan psikomotor klien. Tindakan keperawatan generalis dilakukan oleh perawat ruangan dan mahasiswa yang paraktik di ruang Sadewa. Setiap klien halusinasi di ruang Sadewa tidak selalu diberikan tindakan keperawatan yang sama karena setiap klien mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, sesuai dengan pengkajian yang sudah dilakukan di ruang Sadewa yang dilakukan dari faktor predisposisi, presipitasi, dengan melihat tanda dan gejala klien baik kognitif, afektif dan psikomotor, mekanisme koping yang digunakan klien dan sumber koping yang dimiliki klien maupun keluarga sampai menemukan diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan yang muncul tidak hanya diagnosa keperawatan halusinasi namun ada diagnosa lain di setiap klien yaitu diagnosa keperawatan perilaku kekerasan, harga diri rendah, dan isolasi sosial, defisit perawatan diri, setelah mengetahui diagnosa keperawatan pada klien akan mempermudah perawat dalam memberikan tindakan keperawatan yang tepat.

Tindakan keperawatan spesialis yang sudah dilakukan oleh penulis pada klien halusinasi di ruang Sadewa yaitu dari 20 klien, diberikan terapi melalui pendekatan individu dan melibatkan keluarga jika ada anggota keluarga yang datang mengunjungi klien. Tindakan keperawatan spesialis yang telah diberikan dengan pendekatan individu meliputi terapi perilaku kognitif (CBT) sebanyak 7 klien, terapi kognitif (CT) sebanyak 10 klien, dan terapi perilaku (BT) sebanyak 3

(22)

klien. Tindakan keperawatan yang diberikan pada keluarga adalah terapi psikoedukasi keluarga sebanyak 7 keluarga. Berdasarkan hasil penerapan tindakan keperawatan spesialis telah sesuai dengan konsep (teori Peplau’s) pendekatan yang sudah dilakukan pada klien dan keluarga dengan diagnosa keperawatan halusinasi adalah keperawatan psikodinamis, yaitu memahami kemampuan seorang klien halusinasi dengan tingkah laku klien untuk membantu klien mengidentifikasi kesulitan yang dirasakan dan untuk mengaplikasikan prinsip berhubungan antar manusia pada permasalahan yang timbul dan pada semua pengalaman yang dialami klien, sehingga tercipta hubungan interpersonal antara perawat dan klien untuk mempermudah pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis yang diberikan oleh perawat. Berdasarkan hasil dari pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis keperawatan jiwa terbukti mampu mengatasi diagnosa keperawatan halusinasi yaitu meningkatnya kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi yang muncul dengan menyeimbangkan antara pikiran, perasaan dan perilaku klien yang rasional.

Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien dengan halusinasi yang sudah dilakukan di Rumah Sakit sudah dikembangkan melalui model praktik keperawatan profesional (MPKP) yang diberikan oleh perawat ruangan. Pelaksanakan MPKP di ruang Sadewa untuk mempermudah dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien, sehingga ada kesinambungan dalam melakukan asuhan keperawatan yang setiap hari dilakukan adalah penerapan operan yaitu melaporkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang sudah dilakukan kedua tim bagi shift pagi, siang dan malam, pre dan post conference yaitu melaporkan rencana yang mau dilakukan pada klien dan melaporkan hasil tindakan keperawatan yang dilakukan pada masing-masing tim sebelum operan, membuat daftar alokasi pasien untuk mempermudah kolaborasi tim atas pengelolaan masing-masing klien. Melakukan asuhan keperawatan dengan berkolaborasi untuk masing-masing klien perawat ruangan melakukan terapi generalis dan penulis melakukan terapi spesialis. Visit dokter juga dilakukan oleh dokter psikiatri yang didampingi oleh perawat ruangan untuk melaporkan hasil tindakan keperawatan

(23)

yang sudah dilakukan oleh perawat, sehingga ada tindak lanjut dari tenaga medis (dokter) terhadap terapi obat yang diberikan dari resep dokter yang diberikan.

Hasil manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa yang sudah dilakukan menunjukan hasil dapat mengubah perilaku maladaptif menjadi adaptif pada klien dengan peningkatan kemampuan klien baik kognitif, psikomotor dan afektif dalam mengontrol halusinasi yang muncul. Berdasarkan hal tersebut penulis akan mencoba menganalisis manajemen asuhan keperawatan spesialis jiwa dan melaporkannya dalam bentuk Karya Ilmiah Akhir.

1.2. Tujuan penelitian 1.2.1. Tujuan Umum

Mengambarkan hasil manajemen kasus spesialis keperawatan jiwa terhadap klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s.

1.2.2. Tujuan Khusus

1.2.2.1. Diketahuinya karakteristik klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor.

1.2.2.2. Diketahuinya gambaran kasus yang meliputi stressor, respon dan kemampuan yang dimiliki klien halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor.

1.2.2.3. Diketahuinya pelaksanaan terapi spesialis terhadap klien yang mengalami halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor. 1.2.2.4. Diketahuinya hasil terapi spesialis yang sudah dilakukan pada klien yang

mengalami halusinasi di Ruang Sadewa Rumah Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s.

1.2.2.5. Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanan terapi spesialis pada klien dengan halusinasi di Ruang Sadewa Rumah

(24)

Sakit Dr Marzoeki Mahdi Bogor dengan pendekatan model stres adaptasi Stuart dan model Hildegard Peplau’s.

1.3. Manfaat Penelitian

1.3.1. Manfaat Aplikatif

1.3.1.1. Klien halusinasi dapat dilakukan tindakan keperawatan di Rumah Sakit dengan baik oleh tenaga keperawatan dan medis dengan melibatkan keluarga yang berpartisipasi sebagai dukungan sosial yang terdekat saat klien di rumah yang telah dilatih cara merawat klien dengan gangguan jiwa.

1.3.1.2. Meningkatkan kualitas asuhan keperawatan jiwa, khususnya pada klien dengan halusinasi yang diberikan oleh perawat di ruangan dengan melibatkan keluarga.

1.3.1.3. Menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun program rehabilitasi yang lebih bervariatif dalam penanggulangan masalah gangguan jiwa pada klien halusinasi di masa mendatang.

1.3.2. Manfaat Keilmuan

1.3.2.1 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran peran perawat kesehatan jiwa di Rumah Sakit dalam menangani masalah halusinasi pada klien gangguan jiwa di Rumah Sakit. 1.3.2.2 Masukan bagi pengelola program kesehatan jiwa di Rumah Sakit Dr.

Marzoeki Mahdi Bogor dalam merencanakan program-program yang lebih efektif dan merupakan dasar dalam merumuskan kebijakan dalam menangani masalah gangguan jiwa.

1.3.3 Manfaat Metodologi

1.3.3.1 Dapat dijadikan data rujukan terkait dengan proses belajar mengajar yang melibatkan mahasiswa program pascasarjana terkait dengan manajemen pelayanan kesehatan jiwa dan asuhan keperawatan jiwa secara nyata di Rumah Sakit.

(25)

1.3.3.2 Memperoleh pengalaman dalam penerapan ilmu dan konsep keperawatan jiwa khususnya dalam menerapkan terapi spesialis pada klien gangguan jiwa dan melakukan koordinasi serta kerjasama dengan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.

1.3.3.3 Hasil Karya Ilmiah Akhir ini selanjutnya dapat menjadi bahan acuan untuk tindak lanjut program bagi spesialis keperawaan jiwa yang selanjutnya. 1.3.3.4 Berguna sebagai data dasar bagi penelitian selanjutnya dalam memberikan

(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini penulis akan menguraikan konsep teori stres adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau dalam merawat klien dengan halusinasi, menjelaskan konsep halusinasi, diagnosa serta penatalaksanaan baik medis maupun keperawatan yang telah dilakukan. Berikut ini akan penulis uraikan berbagai konsep yang terkait.

2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau Dalam Merawat Klien Dengan Halusinasi

Konsep teori membantu memberikan pengetahuan kepada perawat untuk meningkatkan praktik keperawatan dengan cara menguraikan, menjelaskan, meramalkan dan mengendalikan fenomena. Konseptual model memperlihatkan bagaimana hubungan antara konsep yang beraneka ragam dengan aplikasi berbagai teori untuk memprediksi atau mengevaluasi berbagai alternatif dari konsekuensi. Hal ini menjadi dasar dalam pengembangan dan dalam rangka penerapan terapi spesialis keperawatan jiwa dalam melakukan asuhan keperawatan jiwa pada klien halusinasi.

2.1.1. Konsep Teori Stres Adaptasi Stuart

Model Stress Adaptasi Stuart dari keperawatan jiwa memandang perilaku manusia dalam perspektif yang holistik terdiri atas biologis, psikologis dan sosiokultural dan aspek- aspek tersebut saling berintegrasi dalam perawatan. Komponen biospikososial dari model tersebut termasuk dalam faktor predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping (Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009).

Model adaptasi stres Stuart mengintegrasikan antara aspek biologis, psikologis, sosial budaya, lingkungan dan aspek etnik legal dalam perawatan klien ke dalam kesatuan kerangka kerja untuk proses asuhan keperawatan yang inklusif, holistik, dan relevan dengan kebutuhan klien, keluarga, kelompok, dan komunitas (Stuart, 2009). Model tersebut menjelaskan mengapa klien berespon terhadap stres dan membantu menyediakan pemahaman tentang proses dan tujuan yang diinginkandari intervensi keperawatan.

(27)

Skema 2.1 dibawah ini menjelaskan psikodinamika masalah keperawatan jiwa Faktor predisposisi

Biologi Psikologi Sosialkultural

Stresor presipitasi

Nature Origin Timing Number Penilaian terhadap stresor

Kognitif Afektif Fisiologis Perilaku Sosial

Sumber koping

Kemampuan personal Dukungan sosial Aset material Keyakinan positif

Mekanisme koping

Konstruktif Destruktif

Rentang respon koping

Respon adaptif Respon Maladaptif

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Skema 2.1. Psikodinamika Masalah Keperawatan Jiwa

2.1.1.1. Stressor Predisposisi 2.1.1.1 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisiyang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada klien skizofrenia meliputi faktor biologis, psikologis dan juga sosiokultural (Stuart & Laraia 2005; Stuart, 2009).

a. Biologi

Faktor biologi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada skizofrenia adalah faktor genetik, neuroanatomi, neurokimia serta imunovirologi (Videbeck, 2008).

1) Genetik

Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007), sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah

(28)

kromosom 6, sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam Stuart, 2009).

Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal, dimana bagaian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009).

Penelitian yang paling sering memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia sebesar 50%, sedangkan pada kembar non identik/fraternal berisiko 15% mengalami skizofrenia. Resiko 15 % jika salah satu orang tua menderita skizofrenia, angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis menderita skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008; Stuart, 2009; Townsend, 2009; Fontaine, 2009).

Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk mengetahui resiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor keturunan.

2) Neuroanatomi

Penelitian menunjukkan kelainan anatomi, fungsional dan neurokimia di otak klien skizofrenia hidup, penelitian menunjukkan bahwa korteks prefrontal dan sistem limbik tidak sepenuhnya berkembang di otak klien dengan skizofenia. Penurunan volume otak mencerminkan penurunan baik materi putih dan materi abu-abu pada neuron akson (Kuroki et al, 2006; Higgins, 2007 dalam Stuart, 2009). Hasil pemeriksaan Computerized Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance

Imaging (MRI), memperlihatkan penurunan volume otak pada individu dengan

skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya keterlambatan perkembangan jaringan otak dan atropi. Pemeriksaaan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan aliran darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan kognitif pada individu dengan skizofrenia.

(29)

Penelitian lain juga menunjukkan terjadinya penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporalis dan frontal (Videbeck, 2008). Perubahan pada kedua lobus tersebut belum diketahui secara pasti penyebabnya. Keadaan patologis yang terjadi pada lobus temporalis dan frontalis berkorelasi dengan terjadinya tanda-tanda positif dan negatif dan skizofrenia.

Tanda-tanda positif skizofrenia Copel (2007) menyebutkan bahwa seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal pada lobus temporalis. Tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus frontalis. Hal ini sesuai dengan Sadock (2007) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa, apabila terjadi gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan kepribadian, tidak memiliki kemauan atau motivasi, anhedonia. Fungsi utama dan lobus temporalis adalah ingatan dan emosi. Gangguan yang terjadi pada korteks temporalis dan nukleus limbik yang berhubungan pada lobus temporalis.

3) Neurokimia

Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis disregulasi pada skizofrenia, gangguan terus menerus dalam satu atau lebih neurotransmitter atau neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatik menyebabkan neurotransmisi tidak stabil atau tidak menentu. Teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik overaktif terhadap dopamine, sedangkan apa area prefrontal mengalami hipoaktif sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sistem neurotransmiter dopamine dan serotonin serta yang lain (Stuart, 2009). Pernyataan ini memberi arti bahwa neurotransmiter mempunyai peranan yang penting menyebabkan terjadinya skizofrenia.

Neurotransmiter yang berperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin. Satu teori yang terkenal memperlihatkan dopamin sebagai faktor penyebab, ini dibuktikan dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin pascasinaptik mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataannya semakin efektif obat tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia.

(30)

Dopamin penting dalam respon terhadap stress dan memiliki banyak koneksi ke sistem limbik. Dopamin memiliki empat jalur utama dalam otak. (1) Jalur mesolimbik di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke daerah-daerah dari sistem limbik, termasuk amigdala, nucleus accumbens dan hipotalamus. Jalur mesolimbik dikaitkan dengan fungsi memori, emosi, gairah, dan kesenangan. Kelebihan aktivitas dalam saluran mesolimbik telah terlibat dalam gejala positif skizofrenia (misalnya halusinasi, delusi) dan perilaku emosi yang muncul sebagai perilaku agresif dan kekerasan. (2) Jalur mesokortikal di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke korteks. Jalur mesokortikal berkaitan dengan kognisi, perilaku sosial, perencanaan, pemecahan masalah, motivasi, dan penguatan dalam belajar, gejala negatif dari skizofrenia (misalnya afek datar, apatis, kurangnya motivasi dan anhedonia) telah dikaitkan dengan aktivitas berkurang dalam saluran mesokortikal yang mengarah pada kondisi harga diri rendah. (3) Jalur nigrostriatal di substantia nigra dan berakhir di striatum dari basal ganglia jalur ini terkait dengan fungsi kontrol. Degenerasi di jalur ini dikaitkan dengan penyakit parkinson dan gejala psikomotorik paksa skizofrenia. (4) Jalur tuberoinfundibular di hipotalamus dan proyeksi ke kelenjar pituitari (Townsend, 2009; Stuart, 2009). Hal ini terkait dengan fungsi endokrin, pencernaan, metabolisme, kelaparan, haus, kontrol suhu, dan gairah seksual Implikasinya dalam kelainan endokrin tertentu yang berkaitan dengan skizofrenia.

4) Imunovirologi

Penelitian yang menemukan “virus Skizofrenia” telah berlangsung (Torrey et al, 2007; Dalman et al, 2008). Bukti campuran menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza, terutama selama trimester pertama, menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak pada orang lain (Brown et al, 2004). Teori ini didukung oleh temuan riset yang memperlihatkan lebih banyak orang dengan skizofrenia lahir di musim dingin atau awal musim semi dan di daerah perkotaan (Van Os et al, 2004). Temuan ini menunjukkan musim potensial dan tempat lahir dampak terhadap risiko untuk skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat terjadi in utero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang rentan (Gallagher et al, 2007; Veling et al, 2008 dalam Stuart, 2009).

(31)

Data epidemiologis menunjukkan bahwa tingginya insiden skizofrenia setelah terpapar kehamilan dengan influenza. Data lain mendukung hipotesis virus adalah peningkatan jumlah anomali fisik saat lahir, tingkat peningkatan komplikasi kehamilan dan kelahiran, lahir musiman yang konsisten dengan infeksi virus, kluster geografis kasus orang dewasa, dan hospitalisasi (Sadock, 2007). Dapat disimpulkan bahwa paparan prenatal pada virus influenza terutama selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang dan kejadian yang paling banyak terjadi pada kehamilan dengan influenza.

b. Psikologis

Faktor psikologis juga ikut berperan mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Awal terjadinya skizofrenia difokuskan pada hubungan dalam keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini (Townsend, 2009). Teori awal menunjukkan kurangnya hubungan antara orangtua dan anak, serta disfungsi sistem keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Penelitian lain disebutkan beberapa anak dengan skizofrenia menunjukkan kelainan motorik halus yang meliputi perhatian, koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor dan respon emosional jauh sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari skizofrenia (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009). Hal diatas didukung oleh Sinaga (2008) yang menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa anak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima oleh anak sangat mempengaruhi perkembangan neurologikal anak, sehingga lebih rentan mengalami skizofrenia di kemudian hari.

Berdasarkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi adalah tingkat intelegensi, kemampuan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Faktor penyebab terjadinya skizofrenia berdasarkan teori interpersonal berpendapat bahwa skizofrenia muncul akibat hubungan disfungsional pada masa kehidupan awal dan masa remaja, skizofrenia terjadi akibat ibu yang cemas berlebihan, terlalu protektif atau tidak perhatian secara

(32)

emosional atau ayah yang jauh dan suka mengontrol (Torrey, 1995 dalam Videbeck, 2008). Hal ini memberi arti bahwa anak akan belajar pada orangtuanya yang mengalami skizofrenia dan akan mempraktekkan apa yang dilihatnya setelah ia besar dalam setiap ia mengalami masalah seperti cemas yang berlebihan yang menjadikan anak kurang percaya diri serta kurang mampu mengontrol emosional yang mengakibatkan anak berperilaku temperamen dan perilaku kekerasan atau karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun dengan berbagai stressor yang dialami yaitu lingkungan emosional yang tidak stabil, mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa kanak terjadi trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, dan hubungan interpersonal yang kurang hangat atau kurang perhatian.

c. Sosiokultural

Berdasarkan faktor sosial kultural meliputi disfungsi dalam keluarga, konflik keluarga, komunikasi doueble bind serta ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan (Towsend, 2009). Hal ini didukung oleh Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan, dan kehilangan kontrolemosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya seperti komunikasi yang tidak efektif anak menjadikan anak memiliki persepsi yang tidak akurat yang mengarah ke halusinasi; ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan menjadikan anak menjadi kurang percaya diri dan rendah diri dalam hubungan sosial yang mengarah pada harga diri rendah, serta kehilangan kontrol emosional yang menjadi anak meniru perilaku kekerasan yang dialami. karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun sehingga beresiko terjadinya halusinasi.

Faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah masalah pekerjaan karena tidak bekerja sehingga tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi ras, golongan, usia maupun jenis kelamin, kekerasan dalam rumah tangga,

(33)

permasalahan dengan pasangan (Seaward 1997, dalam Videbeck, 2008) dan diperkuat oleh Sinaga, (2008) menyatakan bahwa stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan skizofrenia, diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizofrenia yang tinggi, skizofrenia lebih banyak didapatkan pada masyarakat di lingkungan perkotaan dibanding masyarakat pedesaan, individu dengan skizofrenia akan bergeser ke kelompok sosial ekonomi rendah, bergantung dengan lingkungan sekitar, kehilangan pekerjaan dan berkurang penghasilan. Faktor sosial kultural yang dapat mempengaruhi yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan pengalaman sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).

Hal diatas memberikan gambaran pada kita semua bahwa faktor sosial budaya seperti masalah rumah tangga atau pasangan, kemiskinan, pendidikan maupun pekerjaan juga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa individu, oleh sebab itu perlu ditingkatkan kemampuan individu dalam beradaptasi menghadapi situasi tersebut agar individu tidak mengalami skizofrenia.

2.1.1.2 Faktor Presipitasi a. Biologis

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi biologis berupa ancaman terhadap integritas fisik yang terjadi karena ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa mendatang, jika seorang klien yang terkena gangguan fisik, akan lebih mudah mengalami ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010). Ancaman terhadap integritas fisik meliputi sumber internal dan eksternal. Sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologis seperti sistem kardiovaskuler, sistem imun, atau regulasi suhu, sedangkan sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi virus atau bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan, kehilangan perumahan yang adekuat, makanan, pakaian atau trauma injuri (Stuart & Laraia, 2005). Ancaman terhadap integritas fisik selanjutnya akan dilihat sebagai stressor presipitasi biologis.

(34)

Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa stressor presipitasi biologis yaitu segala bentuk ancaman yang terjadi karena adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler, berupa peningkatan tekanan darah, yang akan mempengaruhi integritas fisik, dan dapat menimbulkan respon ketakutan klien terhadap kondisi kesehatannya yang dianggap dapat mengancam jiwanya.

b. Psikologis

Pemicu skizofrenia dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsif dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan klien berperilaku maladaptif serta kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada klien. Klien skizofrenia dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti ansietas, rasa bersalah, marah,frustasi atau kecurigaan (Townsend, 2009). Ancaman terhadap sistem diri diindikasikan sebagai ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri juga terdiri atas dua sumber yaitu internal daan eksternal (Stuart, 2009; Gunarsa, 1998). Sumber internal meliputi kesulitan dalam hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja karena penurunan produktivitas, dan perubahan peran di keluarga dan masyarakat. Sumber eksternal terdiri atas resiko perceraian dan kehilangan orang berarti. Hal ini menggambarkan bahwa pada klien skizofrenia dengan halusinasi dapat dipicu kondisi rasa bersalah, cemas dan frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan kehilangan orang yang dicintai, serta merasa tersinggung dapat muncul karena klien salah dalam mempersepsikan kondisi yang dialaminya pada klien.

c. Sosialkultural

Penelitian dilakukan yang menghubungkan skizofrenia dilihat dari kondisi sosial. Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala yang berhubungan dengan

(35)

skizofrenia dibandingkan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi lebih tinggi (Ho, Black, & Andreasen, 2003). Penjelasan untuk kejadian ini meliputi kondisi yang terkait dengan hidup dalam kemiskinan seperti akomodasi perumahan padat, nutrisi yang tidak memadai, tidak adanya perawatan sebelum melahirkan, beberapa sumber daya untuk menangani situasi stres, dan merasa putus asa untuk mengubah gaya hidup seseorang yang mengalami kemiskinan, selain itu kegagalan dalam integritas sosial dan ekonomi, termasuk didalamnya faktor status ekonomi dan penghasilan keluarga (Stuart, 2009).

 

Pandangan alternatif adalah bahwa dari hipotesis drift down, yang menunjukkan bahwa, karena gejala karakteristik gangguan, individu dengan skizofrenia mengalami kesulitan mempertahankan pekerjaan yang menguntungkan dan "drift down" ke tingkat yang lebih rendah sosial ekonomi (atau gagal untuk bangkit keluar dari kelompok sosial ekonomi rendah). Para pendukung pandangan ini mempertimbangkan kondisi sosial yang buruk sebagai akibat bukan penyebab skizofrenia (Townsend, 2009).

Penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menentukan apakah episode psikotik mungkin akan dipicu oleh peristiwa hidup penuh stres. Hal ini sangat mungkin, bagaimanapun stress yang dapat berkontribusi pada keparahan dan perjalanan penyakit, telah diketahui bahwa stres ekstrem dapat memicu episode psikotik. Stres memang dapat menimbulkan gejala pada seorang individu yang memiliki kerentanan genetik untuk skizofrenia. Peristiwa kehidupan, stres mungkin terkait dengan eksaserbasi gejala skizofrenia dan tingkat peningkatan kambuh. Pemahaman terhadap penerimaan lingkungan dan stres klien perlu diidentifikasi oleh petugas. Perlu dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu, dengan demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus skizofrenia.

2.1.1.3 Penilaian Stressor

Penilaian terhadap stressor merupakan penilaian individu ketika menghadapi stressor yang datang. Faktor biologis, psikososial dan lingkungan saling berintegrasi satu

(36)

sama lain pada saat individu mengalami stres sedangkan individu sendiri memiliki kerentanan (diatesis), yang jika diaktifkan oleh pengaruh stres maka akan menimbulkan gejala skizofrenia (Sinaga, 2008).

a. Respons Kognitif

Respon kognitif merupakan suatu mediator bagi interaksi antara klien dan lingkungan (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Klien dapat menilai adanya suatu bahaya terhadap stressor yang dipengaruhi oleh: Pertama, pandangan dan pemahaman klien terhadap stressor seperti sikap terbuka terhadap adanya perubahan, serta keterlibatannya secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. Kedua, adalah sumber untuk toleransi serta beradaptasi terhadap stressor yang dihadapi yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya. Ketiga, kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman klien dalam menghadapi stresor dan paparan terhadap cara menghadapi stresor. Keempat adalah efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi stresornya (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Respon kognitif klien skizofrenia akan muncul pembicaraan kacau dan tidak masuk akal, tidak mampu membedakan yang nyata dengan yang tidak nyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon kognitif pada klien skizofrenia, meliputi fokus perhatian terpecah, tidak bisa berfikir logis, muncul gangguan proses pikir, dan disorientasi atau tidak mampu membedakan yang nyata dan tidak nyata.

b. Respon Afektif

Respon afektif terkait dengan: Pertama, ekspresi emosi: respon emosi dalam menghadapi stresor dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, kejutan. Kedua, klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama dan intensitas dari stressor yang diterima dari waktu ke waktu. Ketiga, suasana hati dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. Keempat, sikap: hal ini terjadi bila stressor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Penilaian afektif sangat dipengaruhi oleh

(37)

kegagalan individu dalam menyelesaikan tugas perkembangan di masa lalu, terutama berkaitan dengan pengalaman berinteraksi dengan orang lain. Respon afektif yang dapat muncul perasaan, merasa ketakutan, mudah tersinggung, jengkel, merasa curiga, dan mudah marah (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon afektif pada klien skizofrenia meliputi, tidak sabar, mudah tersinggung, curiga terhadap orang lain dan mudah marah.

c. Respon Fisiologis

Respon fisiologis berkaitan dengan struktur fisiologis yang meliputi fungsi saraf, hormon, anatomi dan kimia saraf dimana diketahui otak memiliki reseptor khusus terhadap benzodiazepin yang berfungsi membantu regulasi ansietas. Regulasi tersebut berhubungan dengan aktivitas neurotransmiter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengatasi aktivitas neuron di bagian otak. Respon fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam menghadapi stressor akandistimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatkan aktivitas dari kelenjar pituitari adrenal (Stuart, 2009; Isaacs, 2001). Respon fisiologis dapat dilihat dari ekspresi wajah tidak semangat, lemah, lesu, berkeringat, pernapasan dan nadi meningkat, sulit tidur (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon fisiologis pada klien skizofrenia meliputi, lemah, lesu, tidak bersemangat dan sulit tidur.

d. Respon perilaku

Respon perilaku menunjukkan manifestasi dari penilaian kognitif dan afektif klien terhadap stressor (Stuart, 2009). Penilaian kognitif dan afektif tidak adekuat terhadap stressor dan tidak mampu mengatur fungsi fisiologisnya, maka hal tersebut akan mengakibatkan perilaku tidak normal/spesifik. Penjelasan tentang respon perilaku pada klien yang mengalami halusinasi klien berbicara, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, mengecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta malas melakukan perawatan diri seperti mandi, sikat gigi, ganti pakaian dan tidak ada kontak mata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Berdasarkan

(38)

penjelasan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa respon perilaku pada klien skizofrenia meliputi, bicara atau tertawa sendiri, suka menyendiri, malas merawat diri dan kadang terlihat curiga dengan orang lain.

e. Respon Sosial

Respon sosial yang muncul yaitu sikap curiga dan bermusuhan sehingga lama kelamaan klien akan menarik diri dari orang lain (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Hal ini memberikan arti bahwa apabila individu mengalami suatu stressor maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tampak melalui tanda dan gejala yang muncul pada klien yaitu muncul perilaku suka menyendiri, membatasi interaksi dengan orang lain dan kadang muncul perasaan marah dengan orang lain.

f. Mekanisme Koping

Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan klien untuk mengelola stres yang dihadapi (Stuart, 2009). Mekanisme koping terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu mekanisme koping konstruktif dan dekstruktif. Mekanisme koping konstruktif bersifat membangun dan menguatkan ketahanan mental klien, sedangkan mekanisme koping dekstruktif bersifat merusak dan menyebabkan kondisi maladaptif pada klien. Pada kenyataannya, sering dijumpai beberapa klien yang mengalami halusinasi menunjukkan mekanisme koping yang destruktif maka, diperlukan penguatan koping klien untuk merubah mekanisme koping destruktif menjadi konstruktif. Kemampuan mengatasi masalah yang dimiliki oleh klien akan menghasilkan mekanisme koping konstruktif atau destruktif. Kemampuan klien dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping konstruktif digunakan sebagai dasar perawat untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan klien. Kemampuan klien dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping destruktif akan digunakan sebagai dasar penyusunan kegiatan melatih keterampilan dan kemampuan klien untuk mengurangi stressor yang muncul. Kemampuan mengatasi masalah dan mekanisme koping, respon klien terhadap stressor dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada klien.

(39)

2.1.1.4 Sumber Koping

Kemampuan mengatasi suatu masalah merupakan koping yang dimiliki klien dalam berespon terhadap setiap stressor yang dihadapi (Stuart, 2009;Videbeck, 2008). Koping yang dimiliki oleh klien dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kemampuan internal dan kemampuan eksternal. Kemampuan internal bersumber dari individu, meliputi kemampuan personal (personal abilities) dan keyakinan positif (positivebelief), sedangkan kemampuan eksternal bersumber dari luar individu. Termasuk dalam kemampuan eksternal yaitu dukungan sosial (socialsupport) dan ketersediaan materi (material assets) (Stuart, 2009). Kekuatan pada keempat komponen tersebut dapat membantu klien dalam mengintegrasikan pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu menjadi pembelajaran untuk dapat beradaptasi di kehidupan selanjutnya.

a) Kemampuan Personal

Kemampuan personal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi stressor (Stuart, 2009). Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, motivasi, kemampuan memecahkan masalah dan latihan mengurangi halusinasi. Kemampuan mengatasi stressor yang muncul yang dimiliki oleh klien merupakan suatu upaya untuk membantu klien mengatasi stressornya secara konstruktif. Kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh klien untuk mengatasi stressor adalah kemampuan mengenal stressor yang muncul, kemampuan mengatasi stressor, dan latihan mengontrol stressor yang terjadi. 

Seorang klien yang mengalami stressor dikatakan berhasil mengontrol stressor muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah, kemampuan mengatasi stressor, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi stressor (Stuart, 2009). Seluruh kemampuan di atas, digunakan dalam rangka mengontrol stressor yang muncul. Klien dan keluarga sering mengenyampingkan stressor sebagai sebuah gejala yang mengancam, karena klien

(40)

dan keluarga cenderung lebih memprioritaskan masalah fisik daripada masalah psikososial. Keterbatasan intelektual klien sangat mempengaruhi dalam kemampuan penyelesaian masalah dan ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.

b) Keyakinan positif

Keyakinan positif merupakan nilai yang sudah tertanam sejak dini dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya melalui proses pembelajaran (Stuart, 2009). Keyakinan positif (positive belief), merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif klien terhadap kondisinya atau kemampuannya, sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor. Nilai/keyakinan untuk melihat sebuah masalah atau stressor dapat dibiasakan dengan tidak menakut-nakuti, mengancam atau nilai distorsi lainnya. Apabila keyakinan tersebut terdistorsi atau tidak adekuat maka akan terjadi ketidakseimbangan baik kognitif, afektif dan emosi yang berlanjut pada ketidakmampuan beradaptasi pada masalah/stressor. Distorsi dalam aspek keyakinan tersebut, hampir sama yaitu: memiliki keterbatasan kemampuan diri dalam menghadapi masalahnya. Keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan positif pada klien halusinasi diperoleh dari keyakinan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi yang dirasakan serta keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Adanya keyakinan yang positif akan berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan mekanisme koping yang konstruktif. Keyakinan yang negatif akan meningkatkan halusinasi yang muncul dan berpotensi menimbulkan perilaku destruktif.

c) Dukungan sosial

Dukungan sosial merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial akan membuat klien merasa tidak sendiri dan berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang peduli pada dirinya. Dukungan sosial tidak adekuat maka klien akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor (Friedman, 2010; Maglaya, 2009). Dukungan sosial bagi klien dapat bersumber dari keluarga, kelompok, dan orang-orang di sekitar klien (masyarakat). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah

(41)

tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dalam menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Maglaya, 2009). Keluarga merupakan sumber pendukung utama bagi klien yang meliputi dukungan dalam merawat klien (Stuart, 2009). Dukungan psikologis bagi klien akan dapat dipenuhi jika keluarga mampu memenuhi tugas kesehatan keluarga. Maglaya (2009) menyebutkan bahwa lima tugas kesehatan yang harus dimiliki keluarga, meliputi: kemampuan mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah, merawat anggota keluarga yang mengalami masalah, memodifikasi lingkungan (fisik, psikis, dan sosial) yang tepat untuk menurunkan stressor yang muncul, dan mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara tepat. Kurangnya informasi yang lengkap tentang diagnosa, kondisi psikososial, dan cara memfasilitasi peningkatan kesehatan klien mengakibatkan ketidaktahuan keluarga. Kurangnya dukungan emosional serta sikap empati dan konstruktif dalam memahami perasaan dan reaksi keluarga mengakibatkan ketidakmauan keluarga.

d) Kelompok merupakan sumber pendukung sosial bagi klien yang bisa diperoleh dari orang lain di sekitar tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental, dan afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan, dan menjalin persahabatan antar anggota kelompok. 

 

e) Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2009). Masyarakat sebagai sumber pendukung, terdiri dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa, dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga yang tinggal di sekitar klien, idealnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan psikologis bagi klien. Kader kesehatan jiwa (KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Kelurahan Siaga Sehat Jiwa (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kemampuan menciptakan lingkungan psikologis tercermin dari pemberian dukungan emosional, informasional, dan instrumental bagi klien agar mampu mengatasi masalah. 

(42)

f) Material Asset

Material asset dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu ketersediaan pelayanan kesehatan dan finansial. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2007; Levey & Lomba, 1973). Pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier (Juanita, 2002). Pelayanan kesehatan primer (primary health care) merupakan pelayanan kesehatan terdepan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health

care) adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut

(rujukan). Pelayanan kesehatan primer pada umumnya bersifat rawat jalan/ambulatory services (Sanusi, 2010).

Klien akan relatif mudah untuk menjangkau pusat pelayanan primer ketika muncul gejala yang dirasakan, maka setiap pelayanan kesehatan primer seharusnya memiliki pusat pelayanan kesehatan jiwa. Klien membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih lengkap, atau pelayanan kesehatan primer belum mencukupi, maka klien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder, yang meliputi dokter spesialis dan dokter subspesialis yang terbatas, atau jika belum mencukupi, klien dapat dirujuk ke dokter sub spesialis yang lebih luas, yang berperan sebagai pelayanan kesehatan tersier (Ramadhan, 2011).

Klien membutuhkan ketersediaan dana finansial yang mencukupi dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien yang dibutuhkan untuk dapat menjangkau pusat pelayanan kesehatan, baik primer, sekunder, atau tersier (Juanita, 2002). Finansial meliputi sumber penghasilan, aset/investasi (tanah, rumah, dll), dan tabungan, apabila finansial mencukupi, maka klien relatif mudah menjangkau pusat pelayanan kesehatan, tetapi kenyataan di realita menunjukkan bahwa beberapa klien kesulitan dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan primer. Salah satu kendala yang menghambat akses klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer yaitu keterbatasan finansial. Indonesia

(43)

merupakan negara berkembang, dimana lebih dari 50 % penduduknya berada di bawah garis kemiskinan (Juanita, 2002).

Penderita gangguan jiwa lebihdari75% dari pembayaran pajak di Amerika Serikat yang dialokasikan bagi penderita gangguan jiwa dihabiskan untuk pengobatan penderita skizofrenia (Stuart, 2009). Di Indonesia dibutuhkan jaminan kesehatan bagi klien yang dapat diperoleh dari pemerintah ataupun pihak swasta untuk menguatkan dukungan finansial bagi klien. Jaminan kesehatan yang bersumber dari swasta dapat berupa asuransi kesehatan atau jaminan sosial. Jaminan kesehatan yang bersumber dari pemerintah dapat berupa Jamkesmas. Jamkesmas merupakan jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dan bertujuan untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2011).

Keberadaan Jamkesmas diharapkan akan mampu menguatkan dukungan finansial klien, sehingga mampu mengatasi keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan. Dukungan finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien untuk membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres (Townsend, 2009).

Kondisi sosial ekonomi rendah berhubungan dengan hidup dalam kemiskinan, tinggal di pemukiman padat penduduk, nutrisi tidak adekuat, dan perasaan putus asa serta tidak berdaya untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa status ekonomi yang rendah akan mengurangi kemampuan koping klien dalam menghadapi masalah, oleh karena itu, klien membutuhkan penguatan materal asset melalui dukungan finansial yang akan membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari, yang meliputi ketersediaaan finansial baik dari asuransi kesehatan maupun tabungan pribadi. Ketersediaan finansial akan membantu klien dalam menjangkau pusat layanan kesehatan. Terpenuhinya akses terhadap pelayanan kesehatan akan berpotensi meminimalkan masalah pada klien, akibat tidak optimalnya sumber koping yang dimiliki.

Referensi

Dokumen terkait