TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Halusinasi .1 Pengertian .1 Pengertian
2.2.5 Respon terhadap Stressor
Respon terhadap stressor merupakan suaturespon dari proses evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh individu terhadap stressor dengan tujuan untuk melihat tingkat kemaknaan dari suatu kejadian yang dialaminya. Secara spesifik proses ini melibatkan respon kognitif, respon afektif, respon fisiologis, respon perilaku dan respon sosial (Stuart, 2009).
a. Respon Kognitif
Respon kognitif adalah penilaian individu secara kognitif terhadap stressor yang dialami dan merupakan mediator bagi interaksi antara individu dan lingkungan. Individu dapat menilai adanya suatu bahaya/potensi terhadap suatu stressor yang dipengaruhi oleh: pandangan/pengertian: sikap, terbuka terhadap adanya perubahan, peran serta seseorang secara aktif dalam suatu kegiatan, dan kemampuan untuk kontrol diri terhadap pengaruh lingkungan. Sumber untuk toleransi terhadap masalah yang dihadapi selama ini yang berasal dari diri sendiri serta lingkungannya.
Kemampuan koping, hal ini seringkali berhubungan dengan pengalaman secara individual. Efektifitas koping yang dipergunakan oleh klien dalam mengatasi masalahnya. Koping yang tersedia dan dapat dipergunakan oleh klien (Stuart, 2009). Respon kognitif pada halusinasi meliputi tidak mengetahui cara mengontrol halusinasi yang muncul dengan benar, adanya gangguan kognitif, penurunan persepsi, ketidakmampuan melihat bagian tubuh atau ketidakmampuan membedakan yang nyata dan tidak nyata serta ketidakmampuan memahami hubungan sosial nyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Disimpulkan bahwa respon kognitif klien halusinasi adalah adanya penurunan kemampuan secara kognitif, ketidakmampuan mengambil keputusan dan ketidakmampuan mengatasi masalah.
b. Respon Afektif
Respon afektif adalah penilaian individu secara afektif terhadap stressor yang dialami. Hal ini terkait dengan: ekspresi emosi : respons emosi dalam menghadapi masalah dapat berupa perasaan sedih, gembira, takut, marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, surprise. Klasifikasi dari emosi akan tergantung pada tipe, lama
dan intensitas dari stresor yang diterima dari waktu ke waktu. Mood dapat berupa emosi dan sudah berlangsung lama yang akan mempengaruhi suasana hati seseorang. Sikap (attitude): hal ini terjadi bila stresor telah berlangsung lama, sehingga sudah menjadi suatu kebiasaan/pola bagi individu tersebut (Stuart, 2009).
Respon afektif halusinasi terkait dengan: sedih, bingung, apatis/pasif, sehingga tidak ada motivasi untuk melakukan aktivitas. Tidak ada keinginan untuk melakukan aktivitas, tidak berdaya, putus asa, frustasi, gugup, muram, gelisah, muncul perasaan takut, mudah tersinggung, kadang merasa curiga terhadap orang lain, perasaan tidak mampu, perasaan negatif tentang dirinyanyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Dapat disimpulkan bahwa respon afektif yang berhubungan dengan klien halusinasi adalah adanya perasaan sedih, apatis/pasif, merasa takut, mudah tersinggung, gelisah dan curiga terhadap orang lain.
c. Respon Fisiologis
Respons fisiologis adalah penilaian individu yang dimanifestasikan dengan adanya interaksi neuroendokrin, yang dapat diperoleh dari hasil pemeriksaan penunjang, meliputi: hormon pertumbuhan, prolaktin, hormon adenokortikotropik, hormon
luteinising dan stimulasi folikel, hormon tiroid, vasopresin, oksitosin, insulin,
epineprin, norepineprin dan beberapa neurotransmiter lain di otak.
Respon fight atau flight yang dilakukan oleh klien dalam menghadapi suatu permasalahan akan distimulasi oleh sistem saraf otonom serta meningkatnya aktivitas dari pituitari adrenal (Stuart, 2009). Respon fisiologis pada klien halusinasi dapat dilihat dari adanya kelelahan, keletihan, kelemahan, penurunan muskuloskeletal, penurunan neuromuskuler, nyeri, ketidaknyamanan yang dihubungkan dengan peran neurotransmitter norepineprin, bahwa penurunan kadar norepineprin akan menyebabkan kelemahan, sehingga mengakibatkan seseorang berperilaku negatif yang ditimbulkannyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Kesimpulannya penurunan kadar norepineprin menyebabkan kelelahan dan kelmahan sehingga menyebabkan halusinasi.
d. Respon Perilaku
Respon perilaku merupakan suatu reflek dari respons emosi dan perubahan fisiologis sebagai suatu kemampuan analisis kognitif dalam menghadapi suatu situasi yang penuh dengan stres (Stuart, 2009). Perilaku yang dapat muncul pada klien dengan halusinasi adalah berbicara, senyum dan tertawa sendiri, mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, megecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta tidak melakukan melakukan aktivitas, lebih suka menyendiri, duduk sendiri dan tidak ada kontak mata saat berinteraksi (Townsend, 2009). Dapat disimpulkan bahwa klien yang mengalami halusinasi akan muncul perilaku mengatakan mendengar suara, melihat, menghirup, megecap dan merasa sesuatu yang tidak nyata, merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan, serta tidak melakukan melakukan aktivitas, lebih suka menyendiri, duduk sendiri dan tidak ada kontak mata saat berinteraksi.
e. Respon Sosial
Respons sosial yaitu memandang masalah yang muncul berasal dari kegagalan mereka sendiri dengan koping yang dipergunakannya (Fontaine, 2009). Klien dengan halusinasi cenderung menyalahkan dirinya sendiri, bersikap pasif dan perilakunya menarik diri. Sikap curiga dan bermusuhan sehingga lama kelamaan klien akan menarik diri dari orang lain yang akan menyebabkan klien mudah mengalami halusinasinyata (Townsend, 2009; Stuart, 2009; Fontaine, 2009). Respon yang telah diuraikan di atas merupakan sekumpulan tanda dan gejala pada klien dengan halusinasi, apabila terdapat pada klienmenyebabkan klien berada pada rentang maladaptif karena ketidakmauan,ketidaktahuan dan ketidakmampuannya untuk mengontrol halusinasi.
f. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah beberapa usaha yang secara langsung dilakukan klien untuk mengelola stres yang dihadapi (Stuart, 2009). Mekanisme koping terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu mekanisme koping konstruktif dan dekstruktif. Mekanisme koping konstruktif bersifat membangun dan menguatkan ketahanan mental klien, sedangkan mekanisme koping dekstruktif bersifat merusak dan menyebabkan kondisi
maladaptif pada klien. Kemampuan mengatasi masalah yang dimiliki oleh klien akan menghasilkan mekanisme koping konstruktif atau destruktif.
Klien halusinasi menggunakan beberapa mekanisme pertahanan diri dalam upaya untuk melindungi diri dari pengalaman menakutkan yang disebabkan oleh stressor mereka. Regresi adalah berkaitan dengan masalah informasi pengolahan dan pengeluaran sejumlah besar energi dalam upaya untuk mengelola kegelisahan, menyisakan sedikit untuk aktivitas hidup sehari-hari. Proyeksi adalah upaya untuk menjelaskan persepsi membingungkan dengan menetapkan responsibiIity kepada seseorang atau sesuatu. Penarikan Diri ini berkaitan dengan masalah membangun kepercayaan dan keasyikan dengan pengalaman internal (Videbeck, 2008).
Kemampuan klien halusinasi dalam mengatasi masalah yang memunculkan mekanisme koping konstruktif digunakan sebagai dasar perawat untuk menyusun kegiatan yang bertujuan untuk menguatkan kemampuan klien. Kemampuan mengatasi masalah dan mekanisme koping, respon klien terhadap stressor dapat digunakan sebagai dasar penyusunan rencana keperawatan pada klien halusinasi.
2.2.6 Sumber Koping
Kemampuan atau koping merupakan pilihan atau strategi bantuan untuk memutuskan mengenai apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi atau berespon terhadap suatu permasalahan akibat stres yang dialami. Perawat dapat menentukan tindakan yang tepat dalam melakukan asuhan keperawatan, dengan mengetahui kemampuan yang dimiliki oleh klien. Klien diharapkan memiliki kemampuan yang meliputi dua hal, yaitu sumber koping dan mekanisme koping. Sumber koping terdiri dari empat hal, yaitu kemampuan individu (personal abilities), dukungan sosial (social support), ketersediaan materi (material assets) dan kepercayaan (positive belief). Sumber koping adalah beberapa sumber potensi baik secara internal maupun eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan masalah akibat stressor yang ada (Stuart, 2009). Mekanisme koping adalah upaya sadar dari individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi akibat paparan stressor. Penggunaan mekanisme koping dipengaruhi oleh tingkat stres, sumber stres, serta kemampuan
seseorang dalam menghadapi realitas hidup, hubungan interpersonal, dan kesuksesan yang ditampilkan (Stuart, 2009).
a) Kemampuan Individu.
Kemampuan individu adalah kemampuan yang dimiliki oleh individu dan biasa dilakukan dalam menghadapi masalah. Kemampuan individu yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan dalam memahami (kognitif) terhadap masalah yang dihadapi secara rasional. Kemampuan dalam mengontrol emosi (afektif) terhadap masalah yang ada. Secara fisiologis dan perilaku yang perlu dioptimalkan adalah hidup teratur (aktivitas dan istirahat) dan pola makan yang teratur dan bergizi sehingga asupan energi bisa mensuplai otak dengan baik. Seorang klien yang mengalami halusinasi dikatakan berhasil mengontrol halusinasi jika muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah (isi, durasi, respon, waktu dan frekuensi), kemampuan mengontrol halusinasi, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi halusinasi (Stuart, 2009).
Kemampuan memanfaatkan (dukungan sosial) yang ada dan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dengan tidak bertolak belakang dari nilai yang dimiliki. Seorang klien yang mengalami halusinasi dikatakan berhasil mengontrol halusinasi jika muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah (isi, durasi, respon, waktu dan frekuensi), kemampuan mengontrol halusinasi, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi halusinasi (Stuart, 2009). Dapat disimpulkan bahwa kemampuan individu yang harus dimiliki oleh klien halusinasi adalah kemampuan untuk mengontrol halusinasi yang
muncul, biasanya didapatkan data rendahnya motivasi klien, keterbatasan intelektual klien yang sangat mempengaruhi dalam kemampuan mengontrol halusinasi dan keterbatasan fisik serta ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
b) Kepercayaan
Kepercayaan (positive belief) merupakan keyakinan dan gambaran positif seseorang sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stresor. Stuart (2009) mengemukakan bahwa keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan yang dimaksud adalah keyakinan terhadap tenaga kesehatan, keyakinan tentang kemampuan mengatasi masalah saat mengalami halusinasi, keyakinan bahwa perilaku dapat diubah dan keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Penyimpangan lain tidak adanya kepercayaan kepada petugas kesehatan bahwa petugas kesehatan dapat membantu klien yang mengalami halusinasi. Hal ini terbukti dari sebagian besar perilaku klien dan keluarga dalam mencari pengobatan bagi klien yang mengalami halusinasi. Orang yang didatangi pertama kali adalah Dukun atau pengobatan alternatif, karena mereka percaya bahwa Dukun bisa membantu kesembuhan mereka.
c) Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah sumber dukungan yang berasal dari eksternal dan merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan (Stuart, 2009). Dukungan sosial adalah dukungan untuk individu yang didapat dari keluarga, teman, kelompok atau orang-orang disekitar klien termasuk perawat dalam ruangan dan dukungan terbaik yang diperlukan oleh klien adalah dukungan dari keluarga (Maglaya, 2009). Dukungan sosial pada klien yang mengalami halusinasi tidak adekuat maka, seseorang akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor/masalahnya.
Keluarga sebagai care giver bagi klien harus memiliki kemampuan tentang cara merawat klien (Maglaya, 2009). Kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki oleh keluarga terdiri dari kemampuan memahami dan mengerti tentang halusinasi,
kemampuan memberikan bantuan untuk mengontrol halusinasi pada klien dengan halusinasi.
Kelompok merupakan sumber pendukung sosial bagi klien yang bisa diperoleh dari orang lain di sekitar tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental, dan afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan, dan menjalin persahabatan antar anggota kelompok.
Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2009). Masyarakat sebagai sumber pendukung, terdiri dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa, dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga yang tinggal di sekitar klien, idealnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan psikologis bagi klien.
Kader kesehatan sebagai sistem pendukung bagi klien juga harus memiliki kemampuan-kemampuan untuk ikut merawat klien dengan halusinasi (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kader kesehatan jiwa adalah kemampuan dalam melakukan kegiatan untuk memberikan dukungan, dorongan dan motivasi kepada klien untuk mengontrol halusinasi dan pengetahuan cara mengontrol halusinasi untuk memberikan kegiatan, bercakap-cakap, menghardik dan minum obat.
Kemampuan yang terdiri dari sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki oleh klien halusinasi inilah yang menjadi perhatian khusus perawat, karena dengan mengetahui sumber koping dan mekanisme koping tersebut menjadi dasar dalam pemberian suatu tindakan keperawatan kepada klien halusinasi untuk mencapai standar kemampuan yang harus dimiliki oleh klien dan atau keluarga. Halusinasi, diperkirakan sebagai akibat dari kurangnya sumber pendukung internal dan eksternal, sehingga klien tidak mengetahui cara mengontrol halusinasi.
d) Ketersediaan Pelayanan kesehatan dan Finansial Materi
Ketersediaan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat akan mempermudah dalam mengantisipasi permasalahan kesehatan termasuk penanganan masalah klien dengan halusinasi. Tujuan ketersediaan pelayanan kesehatan adalah supaya masyarakat mudah mendapatkan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh institusi pelayanan kesehatan yang disebut Rumah Sakit. Menurut UU RI no 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,dalam BAB VI pasal 19 ayat 1-3 Rumah Sakit sebagai pelayanan kesehatan terdiri dari Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus. Rumah Sakit Umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah Sakit Khusus memberikan pelayanan utama pada satu jenis kekhususan tertentu. Contoh Rumah Sakit Khusus adalah Rumah Sakit Jiwa. Rumah Sakit Jiwa memberikan pelayanan kesehatan terkait masalah kesehatan jiwa.
Pelayanan kesehatan harus bisa menjamin dan memberikan kemampuan pada klien untuk menyelesaikan masalah kesehatan. Ketersediaan finansial, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan membutuhkan dana. Dana bisa berasal dari dana pribadi, asuransi kesehatan pribadi atau jaminan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (JAMKESDA). Menurut UU kesehatan nomor 36 tahun 2009 Bab IX pasal 144 ayat 1-5, dijelaskan bahwa upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang mendapatkan kehidupan kejiwaan yang sehat; upaya kesehatan jiwa tersebut terdiri dari tindakan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif klien gangguan jiwa dan psikososial; upaya kesehatan jiwa tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan; pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
Berdasarkan penjelasan di atas, klien dengan halusinasi yang tidak mampu secara ekonomi bisa menggunakan fasilitas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dalam hal materi terkait perawatan kesehatannya. Fasilitas yang dimaksudkan adalah
fasilitas berupa jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang bisa didapatkan melalui persetujuan RT, RW dan Kelurahan setempat. Beberapa klien halusinasi yang membutuhkan jamkesda sudah berhasil memanfaatkan fasilitas tersebut.