• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stressor Predisposisi 2.1.1.1 Faktor Predisposisi

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau Dalam Merawat Klien Dengan Halusinasi

2.1.1. Konsep Teori Stres Adaptasi Stuart

2.1.1.1. Stressor Predisposisi 2.1.1.1 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisiyang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada klien skizofrenia meliputi faktor biologis, psikologis dan juga sosiokultural (Stuart & Laraia 2005; Stuart, 2009).

a. Biologi

Faktor biologi yang dapat menyebabkan terjadinya gangguan jiwa pada skizofrenia adalah faktor genetik, neuroanatomi, neurokimia serta imunovirologi (Videbeck, 2008).

1) Genetik

Secara genetik ditemukan perubahan pada kromosom 5 dan 6 yang mempredisposisiskan individu mengalami skizofrenia (Copel, 2007), sedangkan Buchanan dan Carpenter (2000, dalam Stuart & Laraia, 2005; Stuart, 2009) menyebutkan bahwa kromosom yang berperan dalam menurunkan skizofrenia adalah

kromosom 6, sedangkan kromosom lain yang juga berperan adalah kromosom 4, 8, 15 dan 22, Craddock et al (2006 dalam Stuart, 2009).

Penelitian lain juga menemukan gen GAD 1 yang bertanggung jawab memproduksi GABA, dimana pada klien skizofrenia tidak dapat meningkat secara normal sesuai perkembangan pada daerah frontal, dimana bagaian ini berfungsi dalam proses berfikir dan pengambilan keputusan Hung et al, (2007 dalam Stuart, 2009).

Penelitian yang paling sering memusatkan pada penelitian anak kembar yang menunjukkan anak kembar identik beresiko mengalami skizofrenia sebesar 50%, sedangkan pada kembar non identik/fraternal berisiko 15% mengalami skizofrenia. Resiko 15 % jika salah satu orang tua menderita skizofrenia, angka ini meningkat 40% - 50% jika kedua orangtua biologis menderita skizofrenia (Cancro & Lehman, 2000; Videbeck, 2008; Stuart, 2009; Townsend, 2009; Fontaine, 2009).

Semua penelitian ini menunjukkan bahwa faktor genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skizofrenia dan perlu menjadi perhatian untuk mengetahui resiko seseorang mengalami skizofrenia dilihat dari faktor keturunan.

2) Neuroanatomi

Penelitian menunjukkan kelainan anatomi, fungsional dan neurokimia di otak klien skizofrenia hidup, penelitian menunjukkan bahwa korteks prefrontal dan sistem limbik tidak sepenuhnya berkembang di otak klien dengan skizofenia. Penurunan volume otak mencerminkan penurunan baik materi putih dan materi abu-abu pada neuron akson (Kuroki et al, 2006; Higgins, 2007 dalam Stuart, 2009). Hasil pemeriksaan Computerized Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance

Imaging (MRI), memperlihatkan penurunan volume otak pada individu dengan

skizofrenia, temuan ini memperlihatkan adanya keterlambatan perkembangan jaringan otak dan atropi. Pemeriksaaan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan penurunan aliran darah ke otak pada lobus frontal selama tugas perkembangan kognitif pada individu dengan skizofrenia.

Penelitian lain juga menunjukkan terjadinya penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporalis dan frontal (Videbeck, 2008). Perubahan pada kedua lobus tersebut belum diketahui secara pasti penyebabnya. Keadaan patologis yang terjadi pada lobus temporalis dan frontalis berkorelasi dengan terjadinya tanda-tanda positif dan negatif dan skizofrenia.

Tanda-tanda positif skizofrenia Copel (2007) menyebutkan bahwa seperti psikosis disebabkan karena fungsi otak yang abnormal pada lobus temporalis. Tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia disebabkan oleh fungsi otak yang abnormal pada lobus frontalis. Hal ini sesuai dengan Sadock (2007) yang menyatakan bahwa fungsi utama lobus frontalis adalah aktivasi motorik, intelektual, perencanaan konseptual, aspek kepribadian, aspek produksi bahasa, apabila terjadi gangguan pada lobus frontalis, maka akan terjadi perubahan kepribadian, tidak memiliki kemauan atau motivasi, anhedonia. Fungsi utama dan lobus temporalis adalah ingatan dan emosi. Gangguan yang terjadi pada korteks temporalis dan nukleus limbik yang berhubungan pada lobus temporalis.

3) Neurokimia

Penelitian di bidang neurotransmisi telah memperjelas hipotesis disregulasi pada skizofrenia, gangguan terus menerus dalam satu atau lebih neurotransmitter atau neuromodulator mekanisme pengaturan homeostatik menyebabkan neurotransmisi tidak stabil atau tidak menentu. Teori ini menyatakan bahwa area mesolimbik overaktif terhadap dopamine, sedangkan apa area prefrontal mengalami hipoaktif sehingga terjadi ketidakseimbangan antara sistem neurotransmiter dopamine dan serotonin serta yang lain (Stuart, 2009). Pernyataan ini memberi arti bahwa neurotransmiter mempunyai peranan yang penting menyebabkan terjadinya skizofrenia.

Neurotransmiter yang berperan menyebabkan skizofrenia adalah dopamin dan serotonin. Satu teori yang terkenal memperlihatkan dopamin sebagai faktor penyebab, ini dibuktikan dengan obat-obatan yang menyekat reseptor dopamin pascasinaptik mengurangi gejala psikotik dan pada kenyataannya semakin efektif obat tersebut dalam mengurangi gejala skizofrenia.

Dopamin penting dalam respon terhadap stress dan memiliki banyak koneksi ke sistem limbik. Dopamin memiliki empat jalur utama dalam otak. (1) Jalur mesolimbik di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke daerah-daerah dari sistem limbik, termasuk amigdala, nucleus accumbens dan hipotalamus. Jalur mesolimbik dikaitkan dengan fungsi memori, emosi, gairah, dan kesenangan. Kelebihan aktivitas dalam saluran mesolimbik telah terlibat dalam gejala positif skizofrenia (misalnya halusinasi, delusi) dan perilaku emosi yang muncul sebagai perilaku agresif dan kekerasan. (2) Jalur mesokortikal di daerah tegmentum ventral dan proyeksi ke korteks. Jalur mesokortikal berkaitan dengan kognisi, perilaku sosial, perencanaan, pemecahan masalah, motivasi, dan penguatan dalam belajar, gejala negatif dari skizofrenia (misalnya afek datar, apatis, kurangnya motivasi dan anhedonia) telah dikaitkan dengan aktivitas berkurang dalam saluran mesokortikal yang mengarah pada kondisi harga diri rendah. (3) Jalur nigrostriatal di substantia nigra dan berakhir di striatum dari basal ganglia jalur ini terkait dengan fungsi kontrol. Degenerasi di jalur ini dikaitkan dengan penyakit parkinson dan gejala psikomotorik paksa skizofrenia. (4) Jalur tuberoinfundibular di hipotalamus dan proyeksi ke kelenjar pituitari (Townsend, 2009; Stuart, 2009). Hal ini terkait dengan fungsi endokrin, pencernaan, metabolisme, kelaparan, haus, kontrol suhu, dan gairah seksual Implikasinya dalam kelainan endokrin tertentu yang berkaitan dengan skizofrenia.

4) Imunovirologi

Penelitian yang menemukan “virus Skizofrenia” telah berlangsung (Torrey et al, 2007; Dalman et al, 2008). Bukti campuran menunjukkan bahwa paparan prenatal terhadap virus influenza, terutama selama trimester pertama, menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang tetapi tidak pada orang lain (Brown et al, 2004). Teori ini didukung oleh temuan riset yang memperlihatkan lebih banyak orang dengan skizofrenia lahir di musim dingin atau awal musim semi dan di daerah perkotaan (Van Os et al, 2004). Temuan ini menunjukkan musim potensial dan tempat lahir dampak terhadap risiko untuk skizofrenia. Infeksi virus lebih sering terjadi pada tempat keramaian dan musim dingin dan awal musim semi dan dapat terjadi in utero atau pada anak usia dini pada beberapa orang yang rentan (Gallagher et al, 2007; Veling et al, 2008 dalam Stuart, 2009).

Data epidemiologis menunjukkan bahwa tingginya insiden skizofrenia setelah terpapar kehamilan dengan influenza. Data lain mendukung hipotesis virus adalah peningkatan jumlah anomali fisik saat lahir, tingkat peningkatan komplikasi kehamilan dan kelahiran, lahir musiman yang konsisten dengan infeksi virus, kluster geografis kasus orang dewasa, dan hospitalisasi (Sadock, 2007). Dapat disimpulkan bahwa paparan prenatal pada virus influenza terutama selama trimester pertama, mungkin menjadi salah satu faktor penyebab skizofrenia pada beberapa orang dan kejadian yang paling banyak terjadi pada kehamilan dengan influenza.

b. Psikologis

Faktor psikologis juga ikut berperan mengakibatkan terjadinya skizofrenia. Awal terjadinya skizofrenia difokuskan pada hubungan dalam keluarga yang mempengaruhi perkembangan gangguan ini (Townsend, 2009). Teori awal menunjukkan kurangnya hubungan antara orangtua dan anak, serta disfungsi sistem keluarga sebagai penyebab skizofrenia. Penelitian lain disebutkan beberapa anak dengan skizofrenia menunjukkan kelainan motorik halus yang meliputi perhatian, koordinasi, kemampuan sosial, fungsi neuromotor dan respon emosional jauh sebelum mereka menunjukkan gejala yang jelas dari skizofrenia (Schiffman et al, 2004 dalam Stuart, 2009). Hal diatas didukung oleh Sinaga (2008) yang menyebutkan bahwa lingkungan emosional yang tidak stabil mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa anak disfungsi situasi sosial seperti trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, hostilitas dan hubungan interpersonal yang kurang hangat diterima oleh anak sangat mempengaruhi perkembangan neurologikal anak, sehingga lebih rentan mengalami skizofrenia di kemudian hari.

Berdasarkan faktor psikologis yang dapat mempengaruhi adalah tingkat intelegensi, kemampuan verbal, moral, kepribadian, pengalaman masa lalu, konsep diri dan motivasi (Stuart & Laraia, 2005). Faktor penyebab terjadinya skizofrenia berdasarkan teori interpersonal berpendapat bahwa skizofrenia muncul akibat hubungan disfungsional pada masa kehidupan awal dan masa remaja, skizofrenia terjadi akibat ibu yang cemas berlebihan, terlalu protektif atau tidak perhatian secara

emosional atau ayah yang jauh dan suka mengontrol (Torrey, 1995 dalam Videbeck, 2008). Hal ini memberi arti bahwa anak akan belajar pada orangtuanya yang mengalami skizofrenia dan akan mempraktekkan apa yang dilihatnya setelah ia besar dalam setiap ia mengalami masalah seperti cemas yang berlebihan yang menjadikan anak kurang percaya diri serta kurang mampu mengontrol emosional yang mengakibatkan anak berperilaku temperamen dan perilaku kekerasan atau karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun dengan berbagai stressor yang dialami yaitu lingkungan emosional yang tidak stabil, mempunyai resiko yang besar pada perkembangan skizofrenia, pada masa kanak terjadi trauma masa kecil yag tidak menyenangkan atau masa lalu yang tidak menyenangkan, kekerasan, dan hubungan interpersonal yang kurang hangat atau kurang perhatian.

c. Sosiokultural

Berdasarkan faktor sosial kultural meliputi disfungsi dalam keluarga, konflik keluarga, komunikasi doueble bind serta ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi tugas perkembangan (Towsend, 2009). Hal ini didukung oleh Seaward (1997, dalam Videbeck, 2008) menyebutkan bahwa skizofrenia disebabkan oleh faktor interpersonal yang meliputi komunikasi yang tidak efektif, ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan, dan kehilangan kontrolemosional. Pernyataan ini menunjukkan bahwa faktor sosial budaya seperti komunikasi yang tidak efektif anak menjadikan anak memiliki persepsi yang tidak akurat yang mengarah ke halusinasi; ketergantungan yang berlebihan atau menarik diri dalam hubungan menjadikan anak menjadi kurang percaya diri dan rendah diri dalam hubungan sosial yang mengarah pada harga diri rendah, serta kehilangan kontrol emosional yang menjadi anak meniru perilaku kekerasan yang dialami. karena kurang percaya diri menyebabkan anak menjadi lebih banyak diam, menyendiri dan melamun sehingga beresiko terjadinya halusinasi.

Faktor budaya dan sosial yang dapat menyebabkan terjadinya skizofrenia adalah masalah pekerjaan karena tidak bekerja sehingga tidak adanya penghasilan, adanya kekerasan, tidak memiliki tempat tinggal (tunawisma), kemiskinan dan diskriminasi ras, golongan, usia maupun jenis kelamin, kekerasan dalam rumah tangga,

permasalahan dengan pasangan (Seaward 1997, dalam Videbeck, 2008) dan diperkuat oleh Sinaga, (2008) menyatakan bahwa stressor sosial juga mempengaruhi perkembangan skizofrenia, diskriminasi pada komunitas minoritas mempunyai angka kejadian skizofrenia yang tinggi, skizofrenia lebih banyak didapatkan pada masyarakat di lingkungan perkotaan dibanding masyarakat pedesaan, individu dengan skizofrenia akan bergeser ke kelompok sosial ekonomi rendah, bergantung dengan lingkungan sekitar, kehilangan pekerjaan dan berkurang penghasilan. Faktor sosial kultural yang dapat mempengaruhi yaitu usia, jenis kelamin, pendidikan, penghasilan, pekerjaan. posisi sosial, latar belakang budaya, nilai dan pengalaman sosial individu (Stuart & Laraia, 2005).

Hal diatas memberikan gambaran pada kita semua bahwa faktor sosial budaya seperti masalah rumah tangga atau pasangan, kemiskinan, pendidikan maupun pekerjaan juga dapat mempengaruhi kualitas kesehatan jiwa individu, oleh sebab itu perlu ditingkatkan kemampuan individu dalam beradaptasi menghadapi situasi tersebut agar individu tidak mengalami skizofrenia.

2.1.1.2 Faktor Presipitasi a. Biologis

Stressor presipitasi adalah stimuli yang diterima individu sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan. Stressor presipitasi biologis berupa ancaman terhadap integritas fisik yang terjadi karena ketidakmampuan fisiologis atau penurunan kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari di masa mendatang, jika seorang klien yang terkena gangguan fisik, akan lebih mudah mengalami ansietas (Tarwoto & Wartonah, 2010). Ancaman terhadap integritas fisik meliputi sumber internal dan eksternal. Sumber internal meliputi kegagalan mekanisme fisiologis seperti sistem kardiovaskuler, sistem imun, atau regulasi suhu, sedangkan sumber eksternal meliputi terpaparnya infeksi virus atau bakteri, polusi lingkungan, bahaya keamanan, kehilangan perumahan yang adekuat, makanan, pakaian atau trauma injuri (Stuart & Laraia, 2005). Ancaman terhadap integritas fisik selanjutnya akan dilihat sebagai stressor presipitasi biologis.

Faktor biologis lainnya yang merupakan predisposisi dapat menjadi presipitasi dengan memperhatikan asal stressor, baik internal atau lingkungan eksternal individu. Waktu dan frekuensi terjadinya stressor penting untuk dikaji (Stuart & Laraia, 2005).

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa stressor presipitasi biologis yaitu segala bentuk ancaman yang terjadi karena adanya gangguan pada sistem kardiovaskuler, berupa peningkatan tekanan darah, yang akan mempengaruhi integritas fisik, dan dapat menimbulkan respon ketakutan klien terhadap kondisi kesehatannya yang dianggap dapat mengancam jiwanya.

b. Psikologis

Pemicu skizofrenia dapat diakibatkan oleh toleransi terhadap frustasi yang rendah, koping individu yang tidak efektif, impulsif dan membayangkan atau secara nyata adanya ancaman terhadap keberadaan dirinya, tubuh atau kehidupan, yang menjadikan klien berperilaku maladaptif serta kesalahan mempersepsikan stimulus yang tampak pada klien. Klien skizofrenia dapat terjadi karena beberapa perasaan seperti ansietas, rasa bersalah, marah,frustasi atau kecurigaan (Townsend, 2009). Ancaman terhadap sistem diri diindikasikan sebagai ancaman terhadap identitas diri, harga diri, dan fungsi integritas sosial. Ancaman terhadap sistem diri juga terdiri atas dua sumber yaitu internal daan eksternal (Stuart, 2009; Gunarsa, 1998). Sumber internal meliputi kesulitan dalam hubungan interpersonal di rumah atau di tempat kerja karena penurunan produktivitas, dan perubahan peran di keluarga dan masyarakat. Sumber eksternal terdiri atas resiko perceraian dan kehilangan orang berarti. Hal ini menggambarkan bahwa pada klien skizofrenia dengan halusinasi dapat dipicu kondisi rasa bersalah, cemas dan frustasi karena keinginannya tidak tercapai dan kehilangan orang yang dicintai, serta merasa tersinggung dapat muncul karena klien salah dalam mempersepsikan kondisi yang dialaminya pada klien.

c. Sosialkultural

Penelitian dilakukan yang menghubungkan skizofrenia dilihat dari kondisi sosial. Data statistik epidemiologi telah menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial ekonomi rendah lebih besar mengalami gejala-gejala yang berhubungan dengan

skizofrenia dibandingkan yang berasal dari kelompok sosial ekonomi lebih tinggi (Ho, Black, & Andreasen, 2003). Penjelasan untuk kejadian ini meliputi kondisi yang terkait dengan hidup dalam kemiskinan seperti akomodasi perumahan padat, nutrisi yang tidak memadai, tidak adanya perawatan sebelum melahirkan, beberapa sumber daya untuk menangani situasi stres, dan merasa putus asa untuk mengubah gaya hidup seseorang yang mengalami kemiskinan, selain itu kegagalan dalam integritas sosial dan ekonomi, termasuk didalamnya faktor status ekonomi dan penghasilan keluarga (Stuart, 2009).

 

Pandangan alternatif adalah bahwa dari hipotesis drift down, yang menunjukkan bahwa, karena gejala karakteristik gangguan, individu dengan skizofrenia mengalami kesulitan mempertahankan pekerjaan yang menguntungkan dan "drift down" ke tingkat yang lebih rendah sosial ekonomi (atau gagal untuk bangkit keluar dari kelompok sosial ekonomi rendah). Para pendukung pandangan ini mempertimbangkan kondisi sosial yang buruk sebagai akibat bukan penyebab skizofrenia (Townsend, 2009).

Penelitian telah dilakukan dalam upaya untuk menentukan apakah episode psikotik mungkin akan dipicu oleh peristiwa hidup penuh stres. Hal ini sangat mungkin, bagaimanapun stress yang dapat berkontribusi pada keparahan dan perjalanan penyakit, telah diketahui bahwa stres ekstrem dapat memicu episode psikotik. Stres memang dapat menimbulkan gejala pada seorang individu yang memiliki kerentanan genetik untuk skizofrenia. Peristiwa kehidupan, stres mungkin terkait dengan eksaserbasi gejala skizofrenia dan tingkat peningkatan kambuh. Pemahaman terhadap penerimaan lingkungan dan stres klien perlu diidentifikasi oleh petugas. Perlu dikaji asal stressor sosiokultural, waktu terjadinya stressor dan jumlah stressor psikologis yang terjadi dalam suatu waktu, dengan demikian banyak sekali stresor sosiokultural yang dapat mempengaruhi dan menjadi penyebab ataupun pencetus skizofrenia.