• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Halusinasi .1 Pengertian .1 Pengertian

2.2.7 Diagnosa dan Tindakan

2.2.7.2. Diagnosa Keperawatan dan Tindakan Keperawatan

Diagnosa keperawatan perlu diketahui terlebih dahulu pada klien untuk mempermudah klien dalam menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien dan menentukan tidakan keperawatan yang mau dilakukan pada klien. Tindakan keperawatan yang dilakukan tersebut terdiri dari tindakan generalis dan spesialis baik individu, keluarga maupun kelompok.

a) Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang dibahas disini adalah disgnosa halusinasi yaitu diagnosa yang diberikan apabila ada persepsi sensori yang salah yang meliputi salah satu dari kelima panca indera (Townsend, 2009).

b) Tindakan Keperawatan

Tindakan Keperawatan Generalis

Tindakan keperawatan generalis merupakan terapi keperawatan yang dapat dilakukan oleh perawat pada semua jenjang pendidikan seperti perawat dengan pendidikan D.III keperawatan, Ners serta Spesialis. Tindakan keperawatan generalis pada masalah halusinasi, dibagi berdasarkan sasaran tindakan, yaitu klien, keluarga, dan kelompok. Berikut ini penjelasan tentang perencanaan tindakan keperawatan generalis:

1. Individu

Tindakan keperawatan klien halusinasi menurut Keliat dan Akemat (2010) adalah yang pertama membina hubungan saling percaya, yang kedua dengan cara mengajarkan klien mengenal dan yang ketiga memahami halusinasi yang terjadi (isi, durasi, frekuensi, respon dan situasi) serta mengajarkan cara mengendalikan halusinasi dengan cara menghardik, bercakap-cakap, melakukan aktivitas terjadwal dan yang keempat pemanfaatan obat.

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caroline, Keliat dan Sabri (2008) bahwa penerapan standar asuhan keperawatan klien halusinasi dalam mengontrol halusinasi akan mempengaruhi kemampuan kognitif dan psikomotor klien sehingga klien halusinasi akan mengalami penurunan terhadap intensitas tanda dan gejala halusinasi yang muncul.

Disimpulkan bahwa tindakan keperawatan generalis pada klien halusinasi yang dilakukan sesuai standar asuhan keperawatan memiliki dampak yang positif pada penurunan tanda dan gejala halusinasi, sehingga meningkatkan kemampuan kongnitif dan psikomotor klien ketika muncul halusinasi.

2. Keluarga

Tindakan keperawatan keluarga pada klien halusinasi bertujuan agar keluarga mampu merawat klien dengan halusinasi. Tindakan keperawatan yang diberikan adalah mendiskusikan bersama-sama keluarga mengenai masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat klien dengan halusinasi, selanjutnya mendiskusikan bersama-sama keluarga faktor-faktor yang menyebabkan halusinasi dan mendemonstrasikan cara merawat klien dengan halusinasi.

Keluarga diajarkan mengenai pentingnya memberikan penghargaan dan pujian yang wajar atas upaya dan keberhasilan yang telah dilakukan dan dicapai oleh klien dan terus mendorong klien untuk melakukan kegiatan yang telah berhasil dilakukan klien. Langkah terakhir menyusun perencanaan pulang untuk klien. Membuat perencanaan pulang keluarga membuat perencanaan kegiatan yang akan dilakukan klien selama dirumah. Dapat disimpulkan bahwakegiatan yang dilakukan bertujuan

agar keluarga tidak hanya mampu secara kognitif tapi keluarga juga mampu mempraktekkan dan melakukan cara merawat klien dengan halusinasi bila klien telah pulang ke rumah.

3. Kelompok

Tindakan keperawatan generalis untuk kelompok klien dengan halusinasi adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi halusinasi (TAKSP:Hall). Pemberian terapi aktifitas kelompok halusinasi pada klien dengan halusinasi terbukti efektif untuk meningkatkan kemampuan klien dalam mengendalikan perilaku kekerasan hal ini ditunjang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Keliat dan Akemat (1999) yang menyimpulkan bahwa TAKSP:halusinasi mampu meningkatkan kemampuan mengendalikan perilaku pada klien dengan halusinasi.

Terapi kelompok ini terdiri dari lima sesi. Tujuan dilakukan TAKSP: halusinasi adalah agar klien mampu meningkatkan kemampuan klien dalam mengontrol halusinasi, Sesi satu mengajarkan cara mengenal halusinasi yang biasa muncul. Sesi kedua mengontrol halusinasi dengan menghardik atau mengusir. Sesi ketiga mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap sedangkan sesi empat mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi kelima adalah mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat (Keliat & Akemat, 2010).

Setiap sesi dalam TAKSP:halusinasi bisa dilakukan lebih dari satu kali pertemuan ini dilakukan agar kemampuan klien menjadi membudaya dan klien telah mampu melakukannya dalam kehidupan sehari-hari baik selama klien dirawat di rumah sakit maupun setelah klien kembali dimasyarakat. Teknik pembelajaran yang dilakukan pada TAKSP:halusinasi meliputi diskusi, demonstrasi dan redemonstrasi. Diskusi dilakukan untuk meningkatkan pemahaman klien terhadap topik yang sedang dilakukan. Diskusi klien dilatih untuk mampu mengeluarkan pendapat dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Demonstrasi bertujuan untuk memberikan contoh sikap, perilaku dan teknik komunikasi yang harus dimiliki klien untuk dapat berinteaksi dengan lingkungan sekitar. Redemonstrasi bertujuan melatih klien untuk mampu menampilkan sikap yang telah diajarkan sehingga klien memiliki ketrampilan berintraksi dengan lingkungan sekitar .

Tindakan Keperawatan Spesialis 1. Individu

Berikut ini diuraikan berbagai tindakan keperawatan spesialis yang diberikan pada klien dengan halusinasi.

1) Cognitive behavioral therapy (CBT), adalah terapi kombinasi antara terapi perilaku dan terapi kognif. Aspek perilaku membantu individu mengidentifikasi kebiasaan reaktif terhadap situasi yang merepotkan, hal ini mengajarkan individu untuk rileks dan menenangkan tubuh. Aspek kognitif berfokus pada pola pikiran yang menyimpang/distorsi yang menyebabkan perasaan tidak menyenangkan atau gejala-gejala dari gangguan jiwa (Fontaine, 2009).

Terapi perilaku kognitif merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda-tanda gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008). Terapi ini bertujuan memodifikasi fungsi berfikir, perasaan, bertindak, dengan menekankan fungsi otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, berbuat, dan mengambil keputusan kembali dengan merubah status pikiran, dan perasaannya klien diharapkan dapat merubah perilaku negatif menjadi positif (Oermarjoedi, 2003).

Tindakan keperawatan untuk perubahan perilaku menerapkan teori belajar untuk persoalan hidup dengan tujuan membantu orang mengatasi kesulitan dalam kehidupan klien. Kesulitan ini sering terjadi bersama dengan masalah kesehatan atau kondisi psikiatris. Perawat dapat menggunakan prinsip-prinsip berikut untuk memandu intervensi perubahan perilaku klien (Stuart, 2009): semua perubahan adalah perubahan diri klien adalah peserta aktif dan agen utama perubahan,

Self-efficacy sangat penting, klien perlu merasa bahwa mereka mengendalikan kehidupan

mereka sendiri dan menerima tanggung jawab atas upaya mereka, pendidikan adalah hanya salah satu bagian dari proses perubahan, sebuah aliansi terapi membantu klien memulai dan mempertahankan perubahan, dimensi responsif dan tindakan tentang hubungan perawat dan klien adalah bahan penting untuk perubahan, harapan adalah penting semua intervensi yang efektif didasarkan pada harapan positif dan penuh harapan bahwa kehidupan bisa lebih baik.

Penerapan terapi perilaku kognitif akan memberikan kesiapan klien untuk berubah terkait dengan motivasi seseorang atau apa yang disebut kesiapan sebagai motivasi. Perubahan perilaku terjadi secara bertahap dari waktu ke waktu (Prochaska et al, 1992 dalam Stuart, 2009). Menyebutkan tahapan perubahan, yaitu: Tahap pertama dari perubahan adalah precontemplation.

Pada tahap ini orang tidak berpikir bahwa mereka memiliki masalah, sehingga mereka tidak mungkin untuk mencari bantuan atau berpartisipasi dalam pengobatan, klien dapat mempertimbangkan, menjelajahi, atau melihat nilai manfaat dari perubahan. Tahap kedua perubahan adalah kontemplasi, menciptakan lingkungan yang mendukung dimana klien dapat mempertimbangkan perubahan tanpa merasa tertekan untuk melakukannya. Klien didorong untuk mengubah dalam fase ini mereka cenderung aktif menolak. Tahap ketiga perubahan adalah persiapan. Pada saat ini klien telah membuat keputusan untuk berubah dan menilai bagaimana keputusan yang terasa. Klien dapat dibantu untuk memilih tujuan pengobatan yang realistis dan cara yang berbeda untuk mencapai tujuan tersebut. Tahap keempat perubahan adalah tindakan.

Klien sekarang memiliki komitmen yang kuat untuk berubah dan telah mengidentifikasi rencana untuk masa depan. Mereka harus memberikan dukungan emosional dan membantu dalam mengevaluasi dan memodifikasi rencana mereka dari tindakan yang akan sukses. Tahap kelima perubahan adalah pemeliharaan. Perubahan terus, dan fokus ditempatkan pada klien apa yang perlu dilakukan untuk mempertahankan atau mengkonsolidasikan keuntungan. Setiap kambuh harus dilihat sebagai bagian dari proses perubahan dan bukan sebagai kegagalan. Tahap keenam dan terakhir adalah terminasi. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa seseorang tidak akan terlibat dalam perilaku lama dalam kondisi apapun. Klien lebih mungkin untuk terlibat dalam mengubah perilaku ketika mereka dapat menilai kesiapan mereka untuk intervensi perubahan dan merencanakan perubahan yang sesuai.

Terapi perilaku kognitif merupakan respon maladaptif timbul dari distorsi kognitif, distorsi tersebut dapat meliputi kesalahan logika, kesalahan dalam penalaran, atau pandangan dunia individual yang tidak mencerminkan realitas yang distorsi mungkin

baik positif atau negatif, hal ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan oleh Davis et al (2005) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan klien skizofrenia untuk intervensi meningkatkan kepercayaan yang positif bagi klien, sehingga muncul perilaku yang positif. Morisson (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat diberikan pada klien skizofrenia yang menjadikan klien dapat mengontrol perilaku marah, mengontrol klien yang berbicara sendiri atau halusinasi dan dapat meningkatkan hubungan klien baik di rumah sakit, keluarga dan di tempat kerja. Wahyuni, Keliat dan Yusron (2010) menerapkan terapi perilaku kognitif pada klien halusinasidapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien halusinasi. Fauziah, Hamid dan Nuraini (2009) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien skizofrenia dengan perilaku kekerasan. Sasmita, Keliat dan Budiharto (2007) Cognitive behaviour

therapy meningkatkan secara bermakna kemampuan kognitif dan perilaku klien

harga diri rendah. Erwina, Keliat, Yusron dan Helena (2010) mengatakan terapi perilaku kognitif dapat meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku klien pasca gempa

2) Terapi kognitif (CT) adalah suatu bentuk terapi yang dapat melatih pasien untuk mengubah cara berfikir yang negatif karena mengalami kekcewaan, kegagalan, dan ketidakberdayaan, sehingga psien dapat menjadi lebih baik dan dapat kembali produktif. Tujuannya mengubah pikiran-pikiran tidak logis dan negatif menjadi pikiran yang positif, obyektif dan rasional (Stuart & Laraia, 2005).

Terapi kognitif merupakan dasar pemikiran tentang bagaimana klien berpikir (kognitif), bagaimana klien merasakan (emosi) dan bagaimana klien bertingkah laku dalam semua interaksi. Secara umum tujuan terapi kognitif adalah membantu klien membentuk kembali cara berpikir mereka (Sanderson, 2002). Beberapa hasil penelitian turut mendukung bahwa terapi kognitif terbukti efektif untuk menurunkan ansietas pada klien.

Menurut Rahayuningsih dan Hamid (2008), terapi kognitif cukup efektif memperbaiki persepsi individu yang pada akhirnya dapat menurunkan ansietas pada klien dengan sakit fisik di RS Darmais. Hasil implementasi oleh Syafwani, Hamid,

dan Budiharto (2007), menggambarkan bahwa terapi kognitif dapat digunakan tidak hanya pada klien harga diri rendah dan percobaan bunuh diri saja, namun dapat juga dapat digunakan pada klien yang mempunyai masalah ansietas. Menurut Burns (1988), terapi kognitif efektif dan cepat memperbaiki kondisi psikis klien yang terganggu, termasuk ansietas, dan mengalami kesulitan konsentrasi berfikir. Menurut Sarfika, Keliat dan Wardani (2012), terapi kognitif juga efektif dalam meningkatkan kemampuan klien dalam mengubah pikiran negatif klien.

3) Terapi perilaku (BT) adalah terapi yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai tujuan mengubah perilaku yang tidak diinginkan menjadi perilaku yang diinginkan.Tujuan untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif dalam berbagai perilaku meliputi kesehatan pribadi, interaksi sosial, kehadiran, dan formasi dalam pekerjaan dan tugas rumah tangga (Stuart & Laraia, 2005).

Prinsip terapi ini adalah: individu menerima token segera setelah mempertunjukkan perilaku yang diinginkan; bentuk token adalah suatu obyek yang benar-benar diinginkan klien atau kehormatan yang penuh arti atau hadiah yang bagus; hadiah dapat bersifat individual tergantung dari umur, jenis kelamin, hobi, dan tipe intensitas dari tanda yang tampak pada klien; besarnya reward/hadiah adalah sama nilainya untuk semua individu dalam suatu kelompok; penggunaan dari hukuman (respon costs) lebih sedikit risikonya dibandingkan bentuk-bentuk hukuman yang lain; individu dapat belajar ketrampilan-ketrampilan yang berhubungan dengan masa depan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Parendrawati, Keliat & Haryati (2008) menerapkan terapi perilaku dengan memberikan token ekonomi pada klien defisit perawatan diri dapat merubah perilakunya dalam melakukan perawatan diri.

2. Keluarga

Family Pscyhoeducation(FPE)

Berbagai ahli mendefinisikanpsikoedukasi keluarga (FPE) diantaranya menurut yang menyatakan bahwa psikoedukasi merupakan suatu alat terapi keluarga bertujuan untuk menurunkan faktor–faktor risiko yang berhubungan dengan

perkembangan gejala–gejala perilaku (Carson, 2000). Pendapat lain yang senada diutarakan oleh Stuart dan Laraia (2005), bahwa FPE adalah salah satu element program perawatan kesehatan jiwa keluarga yang dilakukan dengan cara memberikan informasi dan edukasi melalui komunikasi yang therapeutik.

Psikoedukasi keluargabertujuan untuk berbagi informasi tentang perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006).) Tujuan pemberian terapi ini adalah untuk mengurangi dan mencegah kekambuhan klien serta mempersiapkan klien kembali kedalam lingkungankeluarga dan masyarakat dengan memberikan ketrampilan dan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi klien, selain itu tujuan lainnya adalah memberikan dukungan terhadap anggota keluarga dalam dalam mengurangi beban keluarga terutama beban fisik dan mental dalam merawat klien dengan gangguan jiwa dalam waktu yang lama (Nevin, L, 2002).

Prinsip psikoedukasi dapat membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung pengobatan dan rehabilitasi klien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga itu sendiri. Peran perawat dalam family psychoeducation therapy meliputi lima komponen yaitu memberikan informasi terkait gangguan jiwa khususnya dalam merawat klien dengan halusinasi, melatih keluarga dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam keluarga, memberi kesempatan dalam memvalidasi perasaan klien dan keluarga terkait dengan keyakinan dan sumber-sumber pendukung dalam melakukan aktivitas sosial dan interaksi sosial klien, meningkatkan koping keluarga dalam menghadapi klien dengan gangguan jiwa, dan meningkatkan penggunaan dukungan formal atau informal bagi klien dan keluarga.

Family system therapy pemberian dukungan keluarga merupakan salah satu

alternatif terapi yang dapat diberikan pada keluarga, sebagaimana terapi yang disarankan oleh Dochterman (2004) yang menyatakan bahwa, terapi ini membantu keluarga mengidentifikasi dukungan dari keluarga terhadap klien dan menyediakan sumber-sumber yang dimiliki keluarga. Family system therapy perawat memfasilitasi sistem keluarga dalam menentukan peran, harapan peran, penyelesaian konflik, membantu anggota keluarga mengklarifikasi kebutuhan dalam berhubungan dengan

diri sendiri, orang lain, lingkungan dan zat yang lebih tinggi.Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sari, Keliat, Susanti dan Helena (2009) bahwa dengan penerapan terapi psikoedukasi keluarga dapat membantu mengurangi beban keluarga dan mengetahui cara merawat klien dengan gangguan jiwa yang masih dipasung.

3. Kelompok

a) Terapi Kelompok Suportif

Terapi kelompok suportif merupakan sekumpulan orang-orang yang berencana, mengatur dan berespon secara langsung terhadap isue-isue dan tekanan yang khusus maupun keadaan yang merugikan (Grant-Iramu 1997 dalam Hunt, 2004). Terapi ini merupakan salah satu model dalam psikoterapi yang bersifat ekletik dan tidak tergantung pada satu konsep atau teori saja. Terapi ini menggunakan pendekatan psikodinamik yang bertujuan untuk memahami perubahan perilaku akibat faktor biopsikososial dengan memberikan penekanan pada respon koping maladaptif. Pada awalnya terapi ini bertujuan untuk memberikan support dan menyelesaikan perilaku kekerasan dari masing-masing anggotanya.

Terapi kelompok suportif yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan keterampilan dan penggunaan sumber-sumber koping yang dimiliki oleh anggota kelompok (Rockland, 1989 dalam Stuart & Laraia, 2005). Hasil pemberian terapi adalah meningkatnya kemampuan klien untuk berinteraksi dalam kelompok selain itu klien mendapatkan dukungan dari kelompok dalam mengatasi masalah dengan melakukan tukar menukar pengalaman (sharing). Kemampuan klien dalam memecahkan masalah sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Wheeler (2008), bahwa dengan pemberian terapi suportif akan membantu klien belajar meningkatkan kekampuan klien dalam memecahkan masalah (problem solving) dan meningkatkan kemampuan pertahanan diri. Beberapa tindakan keperawatan di atas diberikan oleh penulis kepada klien dan keluarganya dalam rangka memberikan asuhan keperawatan yang tepat untuk mengatasi masalah klien dan keluarga.Terapi ini sesuai dengan penelitian Hidayati, Hamid dan Mustikasari (2011) bahwa terapi suportif diberikan pada klien skizofrenia dengan masalah perilaku kekerasan mendapatkan peningkatan kemampuan dalam mengatasi perilaku kekerasan.

b) Kelompok Swa Bantu/Self Help Group

Self help group merupakan satu pendekatan untuk mempertemukan kebutuhan

keluarga dan sumber penting untuk keluarga dengan gangguan jiwa (Citron, et.all, 1999). Self helpgroup merupakan suatu kelompok atau peer dimana tiap anggota saling berbagi masalah baik fisik maupun emosional atau issue tertentu (Anonim, 2008). Self help group bertujuan untuk mengembangkan empathy diantara sesama anggota kelompok dimana sesama anggota kelompok saling memberikan penguatan untuk membentuk koping yang adaptif. Self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa perlu dilakukan untuk membantu keluarga mengatasi permasalahannya yang diselesaikan bersama dalam kelompok. Hasil penelitian pengaruh self help group terhadap kemampuan keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa di Kelurahan Sindang Barang dan Katulampa menunjukkan kemampuan kognitif dan psikomotor keluarga dalam merawat klien gangguan jiwa meningkat secara bermakna setelah melaksanakan self helpgroup (Utami, Keliat & Gayatri 2008). Bila dilihat dari hasil tersebut self helpgroup sangat penting dilakukan pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan gangguan jiwa.

Tujuan dari terapi ini adalah : membentuk self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, melakukan implementasi selfhelp group pada keluarga dengan gangguan jiwa, mengevaluasi self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa, mendokumentasian kegiatan self help group pada keluarga dengan gangguan jiwa. Prinsip Self help group, pembentukan self help group harusmemperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini: tiap anggota kelompok berperan secara aktif untuk berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta menemukan solusi melalui kelompok; sesama anggota saling memahami, mengetahui dan membantu berdasarkan kesetaraan, respek antara satu dengan yang lain dan hubungan timbal balik; Self help group merupakan kelompok informal dan dibimbing oleh volunteer; Selfhelp group adalah kelompok self supporting anggota

self helpgroup berbagi pengetahuan dan harapan terhadap pemecahan masalah serta

menemukan solusi melalui kelompok. Pembiayaan untuk pelaksanaan kegiatan ditanggung bersama kelompok; kelompok harus menghargai privacy dan kerahasiaan dari anggota kelompoknya; pengambilan keputusan dengan melibatkan kelompok

dan kelompok harus bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Terapi ini sesuai dengan penelitian dari Utami, Keliat dan Gayatri (2008) bahwa penerapan terapi self help group (SHG) dapat menyelesaikan masalah dan memberikan support terhadap semua anggota yang diberikan ke keluarga, sehingga menambah kemampuan keluarga dalam merawat klien yang mengalami gangguan jiwa.