TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Teori Stres dan Adaptasi Stuart dan Hildegard Peplau Dalam Merawat Klien Dengan Halusinasi
2.1.1. Konsep Teori Stres Adaptasi Stuart
2.1.1.4 Sumber Koping
Kemampuan mengatasi suatu masalah merupakan koping yang dimiliki klien dalam berespon terhadap setiap stressor yang dihadapi (Stuart, 2009;Videbeck, 2008). Koping yang dimiliki oleh klien dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu kemampuan internal dan kemampuan eksternal. Kemampuan internal bersumber dari individu, meliputi kemampuan personal (personal abilities) dan keyakinan positif (positivebelief), sedangkan kemampuan eksternal bersumber dari luar individu. Termasuk dalam kemampuan eksternal yaitu dukungan sosial (socialsupport) dan ketersediaan materi (material assets) (Stuart, 2009). Kekuatan pada keempat komponen tersebut dapat membantu klien dalam mengintegrasikan pengalaman yang tidak menyenangkan di masa lalu menjadi pembelajaran untuk dapat beradaptasi di kehidupan selanjutnya.
a) Kemampuan Personal
Kemampuan personal merupakan kemampuan yang dimiliki oleh klien dalam mengatasi stressor (Stuart, 2009). Kemampuan tersebut meliputi pengetahuan, motivasi, kemampuan memecahkan masalah dan latihan mengurangi halusinasi. Kemampuan mengatasi stressor yang muncul yang dimiliki oleh klien merupakan suatu upaya untuk membantu klien mengatasi stressornya secara konstruktif. Kemampuan yang seharusnya dimiliki oleh klien untuk mengatasi stressor adalah kemampuan mengenal stressor yang muncul, kemampuan mengatasi stressor, dan latihan mengontrol stressor yang terjadi.
Seorang klien yang mengalami stressor dikatakan berhasil mengontrol stressor muncul, apabila mampu mengoptimalkan kemampuan personal yang dimiliki selama ini. Kemampuan personal yang perlu dioptimalkan meliputi kemampuan mengenal masalah, kemampuan mengatasi stressor, kemampuan meningkatkan konsep diri terkait peran dan posisi di masyarakat, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan memanfaatkan dukungan sosial yang ada, kemampuan menggunakan nilai kepercayaan yang selaras dan tidak bertolak belakang dari nilai positif yang dimiliki, dan latihan mengurangi stressor (Stuart, 2009). Seluruh kemampuan di atas, digunakan dalam rangka mengontrol stressor yang muncul. Klien dan keluarga sering mengenyampingkan stressor sebagai sebuah gejala yang mengancam, karena klien
dan keluarga cenderung lebih memprioritaskan masalah fisik daripada masalah psikososial. Keterbatasan intelektual klien sangat mempengaruhi dalam kemampuan penyelesaian masalah dan ketidakmampuan memanfaatkan dukungan sosial.
b) Keyakinan positif
Keyakinan positif merupakan nilai yang sudah tertanam sejak dini dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya melalui proses pembelajaran (Stuart, 2009). Keyakinan positif (positive belief), merupakan keyakinan spiritual dan gambaran positif klien terhadap kondisinya atau kemampuannya, sehingga dapat menjadi dasar dari harapan yang dapat mempertahankan koping adaptif walaupun dalam kondisi penuh stressor. Nilai/keyakinan untuk melihat sebuah masalah atau stressor dapat dibiasakan dengan tidak menakut-nakuti, mengancam atau nilai distorsi lainnya. Apabila keyakinan tersebut terdistorsi atau tidak adekuat maka akan terjadi ketidakseimbangan baik kognitif, afektif dan emosi yang berlanjut pada ketidakmampuan beradaptasi pada masalah/stressor. Distorsi dalam aspek keyakinan tersebut, hampir sama yaitu: memiliki keterbatasan kemampuan diri dalam menghadapi masalahnya. Keyakinan harus dikuatkan untuk membentuk keyakinan positif (kognitif) dan dapat menguatkan afektif, kestabilan fisiologis tubuh, perilaku konstruktif dan sosial yang baik. Keyakinan positif pada klien halusinasi diperoleh dari keyakinan terhadap kondisi kesehatan dan kemampuan diri dalam mengontrol halusinasi yang dirasakan serta keyakinan terhadap pelayanan kesehatan. Adanya keyakinan yang positif akan berpotensi meningkatkan motivasi klien untuk menggunakan mekanisme koping yang konstruktif. Keyakinan yang negatif akan meningkatkan halusinasi yang muncul dan berpotensi menimbulkan perilaku destruktif.
c) Dukungan sosial
Dukungan sosial merupakan komponen terpenting dalam sumber koping yang perlu dikembangkan. Dukungan sosial akan membuat klien merasa tidak sendiri dan berada pada lingkungan keluarga atau masyarakat yang peduli pada dirinya. Dukungan sosial tidak adekuat maka klien akan merasa sendiri dan terlalu berat menghadapi stressor (Friedman, 2010; Maglaya, 2009). Dukungan sosial bagi klien dapat bersumber dari keluarga, kelompok, dan orang-orang di sekitar klien (masyarakat). Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah
tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dalam menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Maglaya, 2009). Keluarga merupakan sumber pendukung utama bagi klien yang meliputi dukungan dalam merawat klien (Stuart, 2009). Dukungan psikologis bagi klien akan dapat dipenuhi jika keluarga mampu memenuhi tugas kesehatan keluarga. Maglaya (2009) menyebutkan bahwa lima tugas kesehatan yang harus dimiliki keluarga, meliputi: kemampuan mengenal masalah, mengambil keputusan yang tepat untuk mengatasi masalah, merawat anggota keluarga yang mengalami masalah, memodifikasi lingkungan (fisik, psikis, dan sosial) yang tepat untuk menurunkan stressor yang muncul, dan mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan secara tepat. Kurangnya informasi yang lengkap tentang diagnosa, kondisi psikososial, dan cara memfasilitasi peningkatan kesehatan klien mengakibatkan ketidaktahuan keluarga. Kurangnya dukungan emosional serta sikap empati dan konstruktif dalam memahami perasaan dan reaksi keluarga mengakibatkan ketidakmauan keluarga.
d) Kelompok merupakan sumber pendukung sosial bagi klien yang bisa diperoleh dari orang lain di sekitar tempat tinggal klien, dimana masing-masing anggota kelompok memiliki masalah yang hampir sama (Stuart, 2009; Videbeck, 2008). Kemampuan yang harus dimiliki oleh kelompok meliputi pemberi dukungan (informasi, instrumental, dan afektif), sosialisasi, peningkatan informasi, pemberdayaan, dan menjalin persahabatan antar anggota kelompok.
e) Masyarakat adalah sumber pendukung klien yang diperoleh dari orang-orang yang bertempat tinggal di sekitar klien (Stuart, 2009). Masyarakat sebagai sumber pendukung, terdiri dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, kader kesehatan jiwa, dan tetangga yang tinggal dalam satu wilayah dengan klien. Tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tetangga yang tinggal di sekitar klien, idealnya memiliki kemampuan untuk menciptakan lingkungan psikologis bagi klien. Kader kesehatan jiwa (KKJ) merupakan sumber daya masyarakat yang perlu dikembangkan di Kelurahan Siaga Sehat Jiwa (Keliat, Panjaitan, & Riasmini, 2010). Kemampuan menciptakan lingkungan psikologis tercermin dari pemberian dukungan emosional, informasional, dan instrumental bagi klien agar mampu mengatasi masalah.
f) Material Asset
Material asset dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu ketersediaan pelayanan kesehatan dan finansial. Pelayanan kesehatan merupakan upaya yang diselenggarakan sendiri/secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat (Notoatmodjo, 2007; Levey & Lomba, 1973). Pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu pelayanan kesehatan primer, sekunder, dan tersier (Juanita, 2002). Pelayanan kesehatan primer (primary health care) merupakan pelayanan kesehatan terdepan, yang pertama kali diperlukan masyarakat pada saat mereka mengalami ganggunan kesehatan. Pelayanan kesehatan sekunder dan tersier (secondary and tertiary health
care) adalah rumah sakit, tempat masyarakat memerlukan perawatan lebih lanjut
(rujukan). Pelayanan kesehatan primer pada umumnya bersifat rawat jalan/ambulatory services (Sanusi, 2010).
Klien akan relatif mudah untuk menjangkau pusat pelayanan primer ketika muncul gejala yang dirasakan, maka setiap pelayanan kesehatan primer seharusnya memiliki pusat pelayanan kesehatan jiwa. Klien membutuhkan pelayanan kesehatan jiwa yang lebih lengkap, atau pelayanan kesehatan primer belum mencukupi, maka klien dirujuk ke pelayanan kesehatan sekunder, yang meliputi dokter spesialis dan dokter subspesialis yang terbatas, atau jika belum mencukupi, klien dapat dirujuk ke dokter sub spesialis yang lebih luas, yang berperan sebagai pelayanan kesehatan tersier (Ramadhan, 2011).
Klien membutuhkan ketersediaan dana finansial yang mencukupi dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan. Finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien yang dibutuhkan untuk dapat menjangkau pusat pelayanan kesehatan, baik primer, sekunder, atau tersier (Juanita, 2002). Finansial meliputi sumber penghasilan, aset/investasi (tanah, rumah, dll), dan tabungan, apabila finansial mencukupi, maka klien relatif mudah menjangkau pusat pelayanan kesehatan, tetapi kenyataan di realita menunjukkan bahwa beberapa klien kesulitan dalam menjangkau pusat pelayanan kesehatan primer. Salah satu kendala yang menghambat akses klien menuju pusat pelayanan kesehatan primer yaitu keterbatasan finansial. Indonesia
merupakan negara berkembang, dimana lebih dari 50 % penduduknya berada di bawah garis kemiskinan (Juanita, 2002).
Penderita gangguan jiwa lebihdari75% dari pembayaran pajak di Amerika Serikat yang dialokasikan bagi penderita gangguan jiwa dihabiskan untuk pengobatan penderita skizofrenia (Stuart, 2009). Di Indonesia dibutuhkan jaminan kesehatan bagi klien yang dapat diperoleh dari pemerintah ataupun pihak swasta untuk menguatkan dukungan finansial bagi klien. Jaminan kesehatan yang bersumber dari swasta dapat berupa asuransi kesehatan atau jaminan sosial. Jaminan kesehatan yang bersumber dari pemerintah dapat berupa Jamkesmas. Jamkesmas merupakan jaminan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dan bertujuan untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2011).
Keberadaan Jamkesmas diharapkan akan mampu menguatkan dukungan finansial klien, sehingga mampu mengatasi keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan. Dukungan finansial merupakan ketersediaan dana yang dimiliki oleh klien untuk membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari. Status ekonomi yang adekuat merupakan sumber koping dalam menghadapi situasi yang penuh dengan stres (Townsend, 2009).
Kondisi sosial ekonomi rendah berhubungan dengan hidup dalam kemiskinan, tinggal di pemukiman padat penduduk, nutrisi tidak adekuat, dan perasaan putus asa serta tidak berdaya untuk mengubah kondisi hidup dalam kemiskinan. Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa status ekonomi yang rendah akan mengurangi kemampuan koping klien dalam menghadapi masalah, oleh karena itu, klien membutuhkan penguatan materal asset melalui dukungan finansial yang akan membantu dalam perawatan dan kehidupan sehari-hari, yang meliputi ketersediaaan finansial baik dari asuransi kesehatan maupun tabungan pribadi. Ketersediaan finansial akan membantu klien dalam menjangkau pusat layanan kesehatan. Terpenuhinya akses terhadap pelayanan kesehatan akan berpotensi meminimalkan masalah pada klien, akibat tidak optimalnya sumber koping yang dimiliki.
Ketersediaan materi akan mendorong klien untuk melakukan kontrol kesehatan (khususnya kontrol klien) dengan baik, melakukan rekreasi yang dapat mengurangi perasaan tegang dan rasa tidak nyaman. Ketidakmampuan dalam aset materi akan menyebabkan beberapa penyimpangan dalam menyelesaikan masalah (mekanisme koping). Material asset pada klien halusinasi yang biasanya ditemukan adalah kemampuan finansial kurang dari kebutuhan dan berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah. Kemampuan materi dapat dioptimalkan melalui pemberian pemahaman tentang masalahnya (kognitif), mengatur perasaan (afektif) optimisme, memperbaiki perilaku, mengontrol fisiologis tubuh dan mengembangkan hubungan sosial untuk memperluas support system.