• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED FOR LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN DAN AWAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED FOR LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN DAN AWAM"

Copied!
155
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED

FOR LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN

DAN AWAM

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Cynthya Dewi

NIM : 019114029

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

When God prepares to do something wonderful,

He begins with a difficulty.

When He plans

To do something very wonderful,

He begins with an impossibility.(unkown)

“Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu

yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya…”(Yesaya 42:3)

Cinta

adalah mata air motivasi

yang mengalirkan semangat indahnya kehidupan

(Krishnamurti, Kartu Motivasi, Kanisius 2005)

Adanya perbedaan tercipta sebagai warna-warni dunia

Keunikan yang tak terhitung jumlahnya

Beragam karya agung-Nya memenuhi muka bumi ini

Dan IA menciptakan …….CINTA

Hingga tiap kehidupan di muka bumi ini dapat terangkai dalam suatu

harmonisasi

tangga nada yang mengalun penuh syahdu dalam panduan Sang

Maestro….

(5)

Karya sederhanaku ini kupersembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menemani dan menjadi andalanku dalam setiap langkah hidupku serta telah mengajariku akan arti CINTA…..aku percaya kasih

setia-Mu menuntunku sepanjang waktu.

Keluarga Dr. A Th. L. Gandiryanto, SpKO., yang sangat kusayangi. papa Gandi, mama Lena, mas Rudy dan adek Adit.

Terima kasih akan segala kasih, cinta, doa dan segala canda-tawa, suka–duka dan segala mujizat kehidupan yang pernah

dan akan selalu kita lewati bersama..I LOVE U ALL.

Keluarga Samad Valentinus, S.Pd., yang telah menerima kehadiranku dan membantuku dalam banyak hal. Om Romo

Janto, SJ., thanks ya buku-buku teologinya.

F. Herwindra yang telah menemani jiwa dan ragaku dalam 2 tahun terakhir ini. Thanks, aku belajar banyak dari setiap pengalaman yang pernah kita lalui. Semoga keberadaan kita

(6)

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perbedaan Kecenderungan

Aspek Dominan Need For Love And Belongingness Pada Rohaniwan dan Awam”

merupakan karya yang tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan

di suatu Perguruan Tinggi manapun sebelumnya, dan sepanjang pengetahuan saya

di dalamnya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Juni 2007

(7)

ABSTRAK

Penelitian ini adalah penelitian komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan awam, laki-laki dan perempuan. Subjek penelitian berjumlah 112 orang, terdiri dari 28 rohaniwan laki-laki, 28 rohaniwan perempuan, 28 awam laki-laki dan 28 awam perempuan di kota Malang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala need for love and belongingness yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian dianalisis dengan statistic non-parametrik crosstabs chi-square dari program SPSS for windows versi 13. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa :

1. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness ditinjau dari perbedaan peran (rohaniwan-awam). Dimana rohaniwan memiliki kecenderungan dominan pada aspek saling percaya dan kaum awam memiliki kecenderungan dominan pada aspek diterima dengan sepenuh hati.

2. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (laki-laki-perempuan). Dimana laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek cinta yang menerima, sedangkan pada perempuan tidak muncul aspek yang dominant. Hanya saja prosentase terbesar muncul pada aspek cinta yang memberi dan tidak ada rasa takut.

3. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness rohaniwan ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (rohaniwan laki-laki-rohaniwan perempuan). Dimana rohaniwan laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek saling percaya, sedangkan rohaniwan perempuan memiliki kecenderungan dominan pada aspek cinta yang memberi.

4. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness kaum awam ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (awam laki-laki – awam perempuan). Dimana awam laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek dimengerti secara mendalam, sedangkan awam perempuan memiliki kecenderungan dominan pada aspek diterima dengan sepenuh hati.

(8)

ABSTRACT

This study was a comparative research wich aimed to find the dominant tendency difference of need for love and belongingness among the spiritual leaders and the layme, male and female.. They where 112 persons as the subjects of the research consisting of 28 male spiritual leaders, 28 female spiritual leaders, 28 laymens and 28 laywomens in Malang, East Java. The data was collected by providing statements in the scale of need for love and belongingness of which the validity and reliability where tested. The data of the research was analyzed by non-parametrics statistic crosstabs chi-square of SPSS program for windows version 13. There were several conclusions from the data analysis result as follows :

1. There was a different dominant tendency of need for love and belongingness based on characters (the spiritual leader and the layman). In wich spiritual leaders had dominant aspect tendency in trusting each others, while the laymen have dominant aspect tendency in whole-hearted accepted aspect

2. There was a differences dominant tendency of need of love and belongingness based on the sexes (male and female). In wich males had dominant aspect tendency in accepting love, where females didn’t have dominant aspect tendency of need for love and belongingness. However, the main prosentages was in giving love and no anxiety.

3. There was a differences dominant tendency of spiritual leader need for love and belongingness based on the sexes (the male spiritual leader and the female spiritual leader). In wich male spiritual leaders had dominant aspect tendency in trusting each others, but female spiritual leaders had dominant aspect in giving love.

4. There was a differences dominant tendency of layman need for love and belongingness based on the sexes (laymens and laywomens). In wich laymens had dominant aspect tendency in deep understood by others, whereas laywomens have dominant aspect tendency in whole-hearted accepted

(9)

KATA PENGANTAR

Kasih karunia dariNya telah menuntun penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan bagian prasyarat dalam memperoleh gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis juga tidak melupakan bantuan-bantuan yang diberikan oleh beberapa pihak lain secara moril maupun materiil, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi. M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pembimbing akademik.

3. Ibu Dra. Lusi Pratidarmanastiti, M.S., selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Thanks a lot telah mengajariku untuk berani menghadapi setiap tantangan yang ada…

4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si. dan Bapak Wijoyo Adinugroho, S.Psi, selaku dosen penguji skripsi...thanks a lot atas pengalaman indah dan masukan-masukannya…

5. Ibu P. Henrietta PDASD., S.Psi. yang telah memberikan semangat, dan waktu untuk berbagi. Semangat Cie….aku tunggu kehadiran ponakan kecilku… 6. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi. yang telah memberikan saran dan pernah

menjadi pembimbing akademik penulis sebelumnya.

7. Bapak Agung Santoso, S.Psi. yang telah memberikan saran selama proses ini, terutama dengan rumus-rumusnya. Sukses dengan ilmu yang akan dijelang Ko 8. Semua dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta. Selamat mengajar dan memajukan psikologi SADHAR….

(10)

antara kalian. Karya-karya kalian sangat indah, doaku untuk setiap karya atas sentuhan tangan kalian…

10.Msgr. Herman Joseph Pandoyoputro, O.Carm., selaku Uskup Keuskupan Malang. Terima kasih banyak atas segala waktu, dukungan, bantuan, semangat dan sharing-sharingnya. Saya masih menunggu saat-saat sharing dan kerja sama berikutnya.

11.Romo Janto, SJ., Romo Adam Pr., Romo Denny Pr., Romo Agi, O’Carm, Fr. Monfort BHK, dan Suster Paulana SSpS, yang sudah banyak membantu dalam penyebaran skala penelitian, dukungan fisik, moril, semangat dan doa-doanya…… serta suster-suster Misi Abdi Roh Kudus atas doa, cinta dan penerimaannya pada saya dalam kegiatan hariannya

12.Semua subjek penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi skala penelitian, tanpa kalian penelitian ini tidak akan terselesaikan dengan baik…thaks a lot.

13.Pakdhe Iwan yang bersedia mengedit dan berdiskusi tentang materi skripsi ini.Thx a lot….

14.Tante Tiranda, thanks sudah mengajarkanku menjadi perempuan yang tegar dan mandiri…..tetap semangat ya tante..doa dan cintaku untukmu selalu. 15.The “Lonchiez” fam.: Mami Mira, Ita, Yayack, Anita, Ul-ul, Vera and Tyas.

Thanks, semoga persahabatan kita akan abadi selalu. Saling dukung dalam cinta dan doa demi kesuksesan bersama ya….liburan bareng yuks….

(11)

17.Komunitas Tari GENTA RAKYAT…..Thanks a lot atas segala proses yang telah kita lewati bersama, segala bentuk olah raga, rasa dan jiwa yang kita lalui…..doaku untuk tiap kesuksesan yang akan dijelang…ILU guys...

18.Komunitas “FRIENDS”, terima kasih atas semua pengalaman yang selalu memberi pengalaman baru….

19.Komunitas “Psychology Adventure Team” (PAT-su)…..thanks a lot bersama kalian aku menemukan banyak pengalaman baru yang tak terlupakan….kapan naik gunung lagi…

20.Kakak-adek dan temen angkatan se-Psikologi, Sadhar (maaf tidak bisa kusebutkan satu-satu) , miss Yosie, S.Psi., miss Icha S.Psi. dan especially

temen-temen di KBT……guys thanks ya atas semua bantuan, doa, dukungan dan persahabatan yang telah terjalin…..I’ll miss u much…

21.Temen-temen kost “Delima Raya” yang memberi keceriaan dengan suara-suaranya yang “khas”….I’ll miss u all…

22.Temen-temen “jauh di mata tetapi dekat di hati”-ku dimanapun kalian berada, doa-doa dan dukungan kalian sangat berarti. Walau tangan tak berjabat, raga tak berpelukan dan wajah tak bersua namun untaian doa dan sapaan hangat kalian selalu menemani hari-hariku…. Keep in touch ya friends…

Yogyakarta, 18 Juni 2007

(12)

DAFTAR ISI

Halaman Judul... i

Halaman Persetujuan... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Kata Pengantar ... ix

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar... xvii

Daftar Lampiran ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Rohaniwan dan Awam ... 9

(13)

1. Pengertian... 12

2. Sifat ... 16

3. Karakteristik Need For Love and Belongingness.. 17

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Need For Love and Belongingness... 19

a. Jenis Kelamin ... 19

b. Peran... 21

C. Perbedaan Kecenderungan Aspek Dominan Need For Love And Belongingness Pada Rohaniwan Dan Kaum Awam... 24

D. Hipotesis... 30

BAB III METODE PENELITIAN... 31

A. Jenis Penelitian... 31

B. Variabel Penelitian ... 31

C. Definisi Operasional... 32

1. Peran dan Jenis Kelamin ... 32

a. Peran ... 32

b. Jenis Kelamin ... 33

2. Need For Love And Belongingness... 33

D. Subjek Penelitian... 34

E. Metode Pengumpulan Data ... 35

1. Skala Need For Love and Belongingness... 35

(14)

a. Analisis Item ... 39

b. Validitas ... 40

c. Reliabilitas ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

G. Metode Analisis Data ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Persiapan Penelitian ... 45

1. Perijinan Penelitian ... 45

2. Lokasi Penelitian... 45

3. Penentuan Sampel ... 46

4. Tahap Uji Coba Penelitian ... 46

a. Pelaksanaan Uji Coba... 46

b. Hasil Uji Coba Penelitian... 47

1) Analisis Item ... 47

2) Validitas ... 47

3) Reliabilitas ... 48

B. Pelaksanaan Penelitian ... 51

1. Pengumpulan Data ... 51

2. Pelaksanaan Skoring ... 51

C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 51

1. Prosentase Aspek Berdasarkan Peran (Rohaniwan-Awam)... 52

(15)

(laki-laki-perempuan)... 53

3. Prosentase Aspek Pada Rohaniwan Laki-laki– Rohaniwan Perempuan ... 54

4. Prosentase Aspek Pada Awam laki-laki – Awam perempuan ... 55

D. Pembahasan... 56

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 69

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyebaran Item Need For Love and Belongingness... 38

Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas skala Need For Love And Belongingness 48 Tabel 3. Sebaran Item Skala Need For Love And Belongingness... 49

Tabel 4. Sebaran Item Penelitian Skala Need For Love And Belongingness ... 50

Tabel 5. Statistik Deskriptif ... 51

Tabel 6. Crosstabulation 1 (Peran-Aspek)... 52

Tabel 7. Analisis Chi-Square Tabel 6 ... 52

Tabel 8. Crosstabulation 2 (Jenis Kelamin-Aspek) ... 53

Tabel 9. Analisis Chi-Square Tabel 8 ... 53

Tabel 10. Crosstabulation 3 (Rohaniwan laki-laki – Rohaniwan perempuan)... 54

Tabel 11. Analisis Chi-Square Tabel 10 ... 54

Tabel 12. Crosstabulation 4 (Awam laki-laki – Awam Perempuan).... 55

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Manusia... 13

Gambar 2. Diagram Kebutuhan Manusia ... 14

Gambar 3 “Lingkaran Maslow”... 15

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Need For Love And Belongingness Try-Out ... 72

Lampiran B. Tabulasi Data Try-out ... 73

Lampiran C. Uji Reliabilitas Try- Out ... 81

Lampiran D. Reliabilitas Item-Penelitian... 83

Lampiran E. Kaidah Reliabilitas Menurut Guilford dan Frucher ... 85

Lampiran F. Skala Need For Love And Belongingness Penelitian ... 86

Lampiran G. Tabulasi Data Penelitian ... 87

Lampiran H. Tabel Ringkasan Nilai Total, Z-Score & Dominan Aspek 96

Lampiran I. Hasil Olah Data Dan Analisis ... 99

Lampiran J. Data Tambahan Mengenai Keuskupan Malang ... 103

Lampiran K. Data Paroki-paroki Keuskupan Malang ... 106

Lampiran L. Statistik Rohaniwan Keuskupan Malang 2004 ... 112

Lampiran M. Statistik Paroki & Stasi Gereja Katolik Indonesia 2004 . 117

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Tahap perkembangan manusia dalam rentang kehidupannya memiliki fase

dan tugas perkembangan yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya.

Tahap perkembangan itu adalah anak-anak, remaja, dan dewasa. Tahap

dewasa sendiri dibagi lagi menjadi dewasa awal, dewasa madya dan dewasa

akhir. Kali ini peneliti akan memfokuskan pembicaraan pada masa

perkembangan dewasa awal (dewasa muda).

Masa dewasa muda dikatakan juga sebagai masa transisi, pada tahap ini

peran dan tanggung jawab yang dipikulnya menjadi semakin besar. Individu

dewasa awal tidak lagi bergantung baik secara ekonomis, sosiologis maupun

psikologis pada orang tuanya, berbagai permasalahan yang dialami justru

menjadi pelajaran berharga yang dapat membentuk pribadi yang lebih matang,

tangguh dan bertanggungjawab terhadap masa depan (Dariyo, 2004). Individu

dewasa awal adalah mereka yang berada pada usia 21 sampai 39 tahun yang

memasuki masa transisi baik secara fisik, intelektual maupun peran sosial

(Santrock, 2002). Dinamika kehidupan masa dewasa awal ini merupakan hal

yang amat menarik untuk diperhatikan. Berbagai segi dan pengalaman dialami

dalam bentuk yang semakin kompleks dan unik.

Keunikan adalah milik setiap pribadi, akan tetapi dalam menjalani suatu

(20)

manusia juga disebut sebagai mahluk sosial. Keberadaan manusia sebagai

mahluk sosial ini membawa konsekuensi bahwa individu memerlukan

hubungan manusiawi dengan sesamanya yaitu dengan menjalin hubungan

akrab. Pada penelitian kali ini tugas perkembangan sosio–emosional subjek

dikaitkan dengan hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Kebutuhan yang sesuai

dengan tugas-tugas perkembangan sosio-emosional pada masa ini adalah

kebutuhan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki (selanjutnya disebut

need for love and belongingness).

Kebutuhan-kebutuhan manusia ada yang bersifat biologis dan ada juga

yang bersifat psikologis. Abraham Maslow mengelompokan

kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi sebuah hirarki. Hirarki kebutuhan-kebutuhan tersebut

meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta,

kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki, kebutuhan akan penghargaan dan

terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan yang

digambarkan oleh Abraham Maslow merupakan kebutuhan yang bertingkat.

Kebutuhan bertingkat artinya seseorang akan cenderung memenuhi kebutuhan

yang paling mendasar dahulu yaitu kebutuhan fisiologis, sebelum melangkah

pada pemenuhan kebutuhan di atasnya sampai dengan kebutuhan aktualisasi

diri. Artinya kebutuhan yang ada di tingkat dasar pemuasannya lebih

mendesak daripada kebutuhan di atasnya (Koswara, 1991). Penelitian ini

secara khusus difokuskan pada need for love and belongingness, dengan

asumsi bahwa subjek-subjek penelitian telah terpenuhi kebutuhan fisiologis

(21)

(pekerjaan, keluarga, moral, kesehatan, dan lain-lain). Hal ini dapat dilihat

pada fakta kehidupan subyek baik rohaniwan maupun awam. Subjek awam

terdiri dari individu-individu yang belum menikah, baik yang sudah bekerja

maupun belum bekerja. Subjek awam sebagian besar masih tinggal dan

mendapat jaminan aspek kehidupan dari orang tua (terutama yang belum

bekerja) dan ada beberapa yang sudah memiliki tempat tinggal sendiri (yang

sudah bekerja). Fakta-fakta ini menjadi dasar asumsi bahwa subjek awam

telah terpenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya. Sedangkan pada

subjek rohaniwan, sehubungan dengan perannya, memiliki jaminan aspek

kehidupan (makan, tempat tiggal, dan lain-lain), dan kesehatan dari

masing-masing ordo dan konggregasinya. Rohaniwan yang menjadi subjek adalah

yang telah menerima sakramen imamat ataupun kaul kekal. Hal ini menjadi

dasar asumsi bahwa kebutuhan fisiologis dan rasa amannya telah terpenuhi.

Maslow mengatakan bahwa pada prinsipnya pembentukan dan

perkembangan kepribadian didasari oleh motivasi untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Dariyo, 2004). Dorongan untuk memenuhi

kebutuhanlah yang mengarahkan perilaku individu pada pencapaian kepuasan.

Terpenuhinya kebutuhan akan membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan

dan perkembangan pribadinya. Sebaliknya apabila tidak terpenuhi dengan baik

dapat menyebabkan gangguan kepribadian atau psikopatologis. Demikian pula

halnya dengan need for love and belongingness yang merupakan salah satu

kebutuhan yang penting untuk terpenuhi pada masa ini (sehubungan dengan

(22)

hanya pada suatu hubungan romantis saja. Kebutuhan ini sehubungan dengan

kesempatan dan kebebasan tanpa diskriminasi untuk menjalin interaksi sosial

dengan siapa saja.

Masa transisi pada dewasa awal juga berkaitan dengan perubahan peran

sosial. Faktor gender sebagai elemen yang melekat dalam kehidupan

masyarakat pun ikut menyumbangkan pengaruhnya atas perubahan-perubahan

yang terjadi. Gender memiliki elemen yang kompleks, yaitu segala sesuatu

yang menyangkut jenis kelamin, peran, tingkah laku, kecenderungan dan

atribut yang lain. Pada penelitian ini peneliti akan melihat pada 2 elemen yaitu

peran dan jenis kelamin.

Manusia selain mempunyai kebutuhan juga terdapat pula berbagai macam

pilihan untuk pemenuhannya, termasuk cara menjalani kehidupan. Masing–

masing manusia menjalani hidupnya dengan cara yang unik. Salah satu bentuk

pilihan itu adalah hidup selibat, yaitu menjadi seorang rohaniwan. Rohaniwan

merupakan tokoh rohani pada agama Katolik. Para rohaniwan harus

menempuh pendidikan khusus sampai dianggap layak dan memiliki kesediaan

penuh dan mereka akan melalui pengukuhan peran melalui sakramen Gereja

maupun pengucapan kaul. Para rohaniwan lebih memilih untuk hidup secara

berbeda, yaitu mereka hidup di bawah naungan hirarki Gereja ataupun

konggregasi (dan meninggalkan keluarganya) dengan segala macam aturan–

aturan mengikat yang ada di dalamnya. Hal ini dirasa unik oleh peneliti,

karena begitu banyak pilihan hidup yang lain dan melihat tidak banyak

(23)

imam, biarawan dan biarawati yang lebih sedikit atau bahkan sangat sedikit

jika dibandingkan dengan jumlah umat yang ada). Berdasarkan data statistik

Gereja Katolik Indonesia Keuskupan Malang tahun 2004 jumlah umat Katolik

87.384, sedangkan jumlah rohaniwan 1.195. Sebagaimana kemunculan peran

akan selalu berpasangan maka keberadaan rohaniwan dilengkapi dengan

keberadaan awam, dimana kehidupan kaum awam cenderung lebih bebas.

Dunia selibat para rohaniwan yang terikat oleh banyak aturan terutama

tentang hidup selibat menimbulkan keterbatasan hubungan relasi sosial

terhadap lawan jenis. Kaum rohaniwan hidup dalam konggregasi tertentu

dengan segala aturan–aturan yang mengikatnya. Rohaniwan mulai masuk ke

dalam konggregasi sampai dengan mereka benar–benar menjadi imam, bruder,

frater atau suster melalui sebuah perjalanan yang tidak singkat. Lamanya

tahun pendidikan dan hidup selibat dengan berbagai tahapan–tahapannya

membuat peneliti memiliki persepsi bahwa kehidupan yang demikian sudah

terinternalisasi dalam diri mereka. Pada akhirnya perilaku dan sikap yang

tampak, sebagai hasil internalisasi tadi, menciptakan image tertentu dalam

masyarakat tentang rohaniwan yang notabene dikatakan “suci”. Kali ini

peneliti secara khusus tertarik dengan need for love and belongingness pada

kaum rohaniwan, meskipun mereka melaksanakan aturan–aturan secara

konsekwen (terutama aturan mendasar yang sangat umum yaitu tidak

menikah) bukan berarti menjadikan mereka kehilangan need for love and

belongingness itu sebagai manusia. Pada masyarakat umum keadaan tidak

(24)

tersendiri bagi para rohaniwan itu sendiri. Hubungan sosial mereka seringkali

mendapat sorotan yang kurang wajar (khususnya hubungan dengan lawan

jenis), hal ini memicu munculnya desas-desus miring, dianggap memalukan

bahkan merusak tatanan keagamaan (HIDUP, 18 Februari 2007). Selanjutnya

peneliti ingin melihat apakah ciri-ciri atau sifat-sifat yang terdapat pada peran

masing-masing (rohaniwan dan awam) menimbulkan perbedaan

kecenderungan munculnya aspek dominan pada need for love and

belongingness-nya.

Elemen lain yang mempengaruhi perjalanan kehidupan manusia adalah

jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan salah satu elemen gender yang

merupakan kategori dasar dalam kehidupan sosial (Sears, 1991). Salah satu

penelitian yang mendukung kecenderungan masyarakat untuk membagi dunia

menjadi sisi maskulin dan feminin adalah penelitian terhadap lukisan-lukisan

dan pahatan termashur. Menurut hasil penelitian, lukisan-lukisan dan pahatan

tersebut akan lebih menampilkan situasi kerja dan peperangan pada figur pria

sedangkan fenomena pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak pada figur

wanita (O’Kelly dalam Sears, 1991). Perbedaan berdasarkan jenis kelamin

inipun tampak pada ekspresi cinta, wanita dikatakan lebih mengekspresikan

kelembutan, ketakutan, dan kesedihan sedangkan bagi pria pengendalian

kemarahan adalah suatu orientasi emosional yang umum (Cancian&Gordon,

1988 dalam Santrock, 2002). Berdasarkan data-data perbedaan jenis kelamin

di atas peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah ciri-ciri ataupun sifat-sifat

(25)

menimbulkan perbedaan kecenderungan aspek dominan pada need for love

and belongingness-nya.

Perbedaan peran yang telah dikemukakan pada kehidupan masing-masing

individunya tidak dapat lepas dari interaksinya dengan jenis kelamin.

Konkritnya pada rohaniwan ada rohaniwan laki-laki (romo, bruder, frater)

dan rohaniwan perempuan (suster), demikian pula halnya dengan awam ada

awam laki-laki dan awam perempuan. Kombinasi kedua hal ini sama-sama

melekat dalam diri individu, sehingga peneliti akan melihat pula apakah

kombinasi dari ciri-ciri atau sifat-sifat peran dan jenis kelamin ini dapat

menimbulkan perbedaan kecenderungan aspek dominan pada need for love

and belongingness-nya.

Tambahan pada pembahasan selanjutnya peneliti lebih memilih untuk

menggunakan rumusan kalimat need for love and belongingness (dalam

bahasa Inggris). Alasan dari hal ini adalah karena penulis menemukan

rumusan terjemahan kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbeda-beda pada

berbagai buku. Penulis berusaha untuk menghindari persepsi yang berbeda

atas terjemahan-terjemahan yang berbeda itu, maka diputuskan untuk

menggunakan rumusan kata dalam bahasa Inggris.

Kenyataan dan uraian di atas mendorong penulis untuk meneliti

mengenai “Perbedaan Kecenderungan Aspek Dominan Need For Love

(26)

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and

belongingness pada rohaniwan dan awam baik laki-laki maupun perempuan.

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan aspek

dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan awam.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat praktis

a. Memberi pemahaman dan informasi kepada pembaca tentang

kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness pada

rohaniwan dan awam baik laki-laki maupun perempuan.

b. Sebagai suatu wacana bahan evaluasi dan refleksi bagi individu pada

masa dewasa awal tentang kecenderungan aspek dominan need for

love and belongingness.

2. Manfaat teoritis

Menambah perbendaharaan ilmu psikologi kepribadian, psikologi

perkembangan dan psikologi sosial, khususnya mengenai kecenderungan

aspek dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan

(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ROHANIWAN DAN AWAM

Rohaniwan adalah orang-orang yang memilih cara hidup untuk mengejar

kesucian dan sedapat mungkin mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang

lain, dalam agama Katolik meliputi imam, bruder, frater (bagi yang berjenis

kelamin laki-laki), dan suster (bagi yang berjenis kelamin perempuan).

Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia rohaniwan adalah orang yang memilih cara hidup untuk mengejar kesucian dan sedapat mungkin mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang lain. Dalam semua agama besar, ada orang-orang yang mengkhususkan diri untuk kesucian diri dan pengabdian kepada sesama. Dalam agama katolik, kaum rohaniwan meliputi imam, bruder dan suster (rohaniwati), yang termasuk dalam berbagai komunitas berupa konggregasi, ordo, atau serikat rohaniwan. Ada komunitas yang bersifat kontemplatif dan ada yang bersifat aktif. Komunitas kontemplatif memusatkan diri pada peningkatan kehidupan rohani para anggotanya, sedangkan komunitas aktif mencurahkan perhatian pada karya sosial dan kerohanian di sekolah, rumah sakit, serta perawatan kaum miskin dan yatim piatu, di samping meningkatkan kesucian para anggotanya. Sebagai pengikat diri pada pilihan hidup mereka, para rohaniwan mengucapkan kaul prasetya sementara atau selamanya di hadapan pimpinan dan Tuhan, yakni janji selibat (tidak menikah), janji hidup miskin secara sukarela, dan janji patuh kepada kehendak Tuhan.

Konsili Vatikan II merumuskan bahwa mereka yang mengikrarkan

nasehat-nasehat Injil ini diharuskan untuk dapat mencari segala sesuatu dan

mencintai atas dasar Allah yang telah terlebih dahulu mencintai manusia (bdk

1 Yo 4:10). Pada segala situasi hendaknya mereka dapat mengembangkan

(28)

Keadaan inilah yang nantinya akan dapat mengalirkan desakan cinta kasih

kepada sesama demi penyelamatan dunia dan pembangunan Gereja. Cinta

kasih inilah yang menjiwai dan mengarahkan mereka pada pengamalan

nasehat-nasehat Injil.

Poerwadarminta (1987), kaum awam adalah sekelompok orang yang

merupakan orang kebanyakan, yaitu orang biasa yang bukan rohaniwan.

Kaum awam ini juga terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan

perempuan perbedaannya adalah mereka tidak memiliki sebutan khusus

seperti pada rohaniwan.

Kaum awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan iman atau status religius yang diakui dalam gereja. Jadi kaum kristiani yang berkat babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun menjadi umat Allah dengan cara mereka sendiri. Taat mengemban tugas imamat, kenabian, dan ragawi Kristus dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melakukan perutusan segenap umat kristiani dalam gereja dan dunia (Katekismus Gereja Katolik , 1995).

Sears (1991) mengatakan pembedaan kategori pria dan wanita

merupakan pembedaan individu berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin ini

merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial. Pembicaraan

tentang perbedaan jenis kelamin seringkali muncul dalam hubungannya

dengan sifat-sifat kepribadian umum yang merupakan kekhasan

masing jenis kelamin. Sifat-sifat kepribadian umum yang khas dari

masing-masing jenis kelamin inilah yang kemudian memberikan perbedaan tertentu

bagi keduanya di dalam strata kehidupan sosial. Salah satu bukti yang

(29)

menunjukkan perbedaan perolehan nilai pada pria dan wanita. Hasilnya adalah

pria lebih tinggi pada sifat-sifat yang berhubungan dengan kecakapan (seperti

kepemimpinan, objektivitas, dan kemandirian), sedangkan wanita untuk

sifat-sifat yang berhubungan dengan kehangatan dan kemampuan mengungkapkan

perasaan (seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain).

Individu yang telah menjadi rohaniwan merupakan individu-individu

yang berada pada usia perkembangan tahap dewasa awal ke atas, maka pada

penelitian ini lebih difokuskan pada subjek (baik imam/suster maupun kaum

awam) dengan rentang usia 26-39 tahun. Penentuan usia subjek dikaitkan

dengan usia minimal subjek yang memiliki peran rohaniwan berkaitan dengan

masa pendidikan yang harus mereka tempuh sebelum menyandang peran

sebagai imam/suster. Pemilihan rentang usia ini didasarkan pula atas teori

bahwa pada masa dewasa awal seorang individu memiliki tugas–tugas

perkembangan sosio-emosional antara lain adanya pernikahan dan keluarga,

dan peran sebagai orang tua. Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan erat

dengan need for love and belongingness. Fase-fase yang akan muncul pada

tahap perkembangan ini adalah meninggalkan rumah dan menjadi orang

dewasa yang hidup sendiri, bergabung menjadi keluarga melalui pernikahan,

dan menjadi orang tua (Santrock, 2002). Ketika seseorang tidak mampu

melaksanakannya maka akan muncul hal–hal yang memicu munculnya rasa

frustasi seperti kesendirian. Santrock mengemukakan bahwa kesendirian

adalah awan hitam yang menutupi banyak sisi kehidupan individu, suatu hal

(30)

dewasa muda ini secara umum berusia antara 21 sampai dengan 39 tahun

dimana mereka mengalami masa transisi baik secara fisik, intelektual dan

peran sosial (Santrock, 2002).

Kesimpulan dari penjabaran di atas adalah rohaniwan adalah

orang-orang yang memilih cara hidup untuk mengejar kesucian dan sedapat mungkin

mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang lain (dalam agama Katolik),

yang mana kehidupan mereka terikat pada kaul kemurnian, ketaatan dan

kemiskinan serta kaul-kaul lain serta sakramen tertentu sesuai dengan tarekat

ataupun konggregasinya masing-masing. Peran ini dipilih secara otonom oleh

individu itu sendiri demi pengabdian dan jiwa kerasulannya yang besar kepada

Kristus, mereka juga menjalani pendidikan khusus pada konggregasinya

masing-masing. Sedangkan kaum awam merupakan status bagi masyarakat

pada umumnya yang tidak menyandang peran rohaniwan siapapun dan apapun

profesinya. Pada penelitian ini dikhususkan pada kaum awam yang beragama

Katolik, dengan harapan bahwa mereka akan memiliki pandangan atau

minimal ajaran agama yang sama mengenai cinta dengan kaum rohaniwan.

B. NEED FOR LOVE AND BELONGINGNESS

1. Pengertian

Abraham Maslow, seorang ahli psikologi, membuat kerangka motif

manusia berdasarkan taraf kebutuhannya, mulai dari kebutuhan biologis

manusia yang dibawa sejak lahir, sampai dengan kebutuhan psikologis

yang paling kompleks yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut

(31)

yang paling tinggi. Maslow mengemukakan bahwa motif atau kebutuhan

tersebut akan menguasai tingkah laku manusia. Motif-motif yang berada di

atas biasanya akan mulai menguasai apabila kebutuhan di bawahnya telah

terpenuhi (Handoko, 1992).

Maslow merumuskan susunan hirarki yang menyebutkan lima

kebutuhan dimana masing-masing bersifat saling melengkapi satu dengan

yang lainnya (Kanuk, dalam Schiffman dan Kanuk, 2000). Kebutuhan–

kebutuhan tersebut diurutkan dalam bentuk piramid atau anak tangga

dimulai dari kebutuhan yang paling rendah tingkatannya. Maslow

mengatakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi akan cenderung muncul

ketika kebutuhan di bawahnya sudah terpenuhi.

(32)

Gambar 2. Diagram Kebutuhan Manusia

Ketika kebutuhan secara fisiologis dan rasa aman sudah dapat terpenuhi maka

akan muncul need for love and belongingness sebagai kebutuhan di tingkat

selanjutnya. Berbeda halnya dengan kebutuhan yang lainnya, secara umum

kebutuhan ini memiliki eksistensi lebih besar, kebutuhan ini akan menetap relatif

lebih lama dalam diri seseorang sampai tercapai kestabilan untuk mengasihi dan

menerima serta dikasihi dan diterima oleh orang lain (gambar 2). Kanuk (dalam

Sciffman dan Kanuk, 2000) memberikan contoh kategori kebutuhan ini antara

lain adalah cinta dan kasih sayang serta penerimaan. Maslow, berdasarkan hasil

penelitiannya di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa mobilitas sosial yang tinggi

telah menjadi salah satu akibat dari kurang terpenuhinya need for love and

belongingness (Koswara, 1991). Selanjutnya Maslow dalam Koswara (1991) juga

menjabarkan bahwa need for love and belongingness yang tidak terpuaskan akan

(33)

mobilitas sosial yang

tinggi

munculnya masalah- masalah pribadi, keluarga, dan masyarakat.

kegagalan memuaskan

need for love and belongingness

Maslow memberikan pendapatnya bahwa manusia pada umumnya

mendambakan hubungan yang penuh kasih sayang dengan orang lain dan secara

khusus merupakan kebutuhan akan rasa memiliki di tengah kelompoknya, hal ini

dipengaruhi keberadaan manusia juga sebagai mahluk sosial. Keterpisahan atau

ketiadaan hubungan dengan orang lain akan mengakibatkan munculnya perasaan

kesepian, terasing, hampa, dan tak berdaya pada individu (Koswara, 1991). Tidak

terpenuhinya hubungan akrab antar individu juga akan menimbulkan perasaan

tertekan (baik disadari maupun tidak) dimana individu merasa ditolak dan

terkurung dalam dirinya sendiri, keadaan ini mampu menghisap semangat dan

memboroskan energi (Hulme, 2000). Kebutuhan-kebutuhan sosial yang memiliki

keterkaitan dengan need for love and belogingness antara lain adalah sebagai

(34)

a. Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dimana dia hidup

dan bekerja.

b. Kebutuhan akan disayangi oleh teman-temannya dan orang lain

dimana dia hidup dan bekerja.

Maslow dalam Goble (1987) mengingatkan bahwa need for love and

belongingness disini janganlah dikacaukan dengan seks yang merupakan

kebutuhan fisiologis saja. Difokuskan disini need for love and

belongingness adalah suatu kebutuhan individu untuk mengasihi dan

menerima orang lain serta dikasihi dan diterima keberadaannya oleh orang

lain atau lingkungan hidupnya.

2. Sifat

Need for love and belongingness merupakan kebutuhan yang berkaitan

erat dengan kebutuhan afeksi/emosi seseorang. Albin (1986)

mengemukakan bahwa cinta merupakan emosi yang membawa

kebahagiaan terbesar dan perasaan puas yang sangat mendalam. Hal ini

menggambarkan bahwa cinta merupakan salah satu elemen penting dalam

kehidupan manusia terutama berkaitan dengan relasi individu terhadap

sesamanya atau hubungan sosial. Maslow juga menemukan bahwa tanpa

cinta pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang akan

terhambat (Goble, 1987). Pendapat dari Kraeng memperkuat hal ini

dengan mengemukakan bahwa tendensi dari tindakan cinta yang paling

fundamental adalah menghidupkan, mengembangkan, dan

(35)

Berdasarkan penjabarannya, need for love and belongingness bersifat

sangat penting di dalam kehidupan manusia. Ketidakberadaannya mampu

menghambat pertumbuhan dan perkembangan seseorang, sedangkan

keberadaannya mampu menghidupkan, mengembangkan, dan

menyempurnakan. Keadaan demikian menjadi salah satu alasan bahwa

kebutuhan ini seringkali menetap dalam waktu yang relatif lebih lama

dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.

3. Karakteristik Need for Love and Belongingness

Need for love and belongingness mendorong individu untuk

membangun hubungan afektif dengan sesamanya. Keterpisahan dan

kehilangan akan mengakibatkan individu merasa kesepian dan tidak

berdaya. Kebutuhan ini akan terpenuhi dengan adanya hubungan yang

akrab dengan orang lain (Goble, 1987).

Roger mengemukakan beberapa karakteristik need for love and

belongingness yang disukai oleh Maslow, yaitu (Goble, 1987) :

a. Keadaan dimengerti secara mendalam

Keadaan dimana seseorang merasa dipahami sebagai individu dengan

sepenuhnya dengan segala karakter-karakter uniknya.

b. Diterima dengan sepenuh hati

Keadaan ketika seseorang mampu merasa diakui dan dihargai nilai-nilai

individualnya tanpa keterikatan emosional dari pihak lain, sehingga

(36)

karena lingkungan di sekitarnya mampu bersikap menerima

keberadaannya dengan baik.

Selanjutnya Maslow sendiri juga menunjukkan beberapa karakteristik

yang menggambarkan kebutuhan ini, yaitu (Goble, 1987) :

a. Saling percaya

Keadaan dimana kedua belah pihak yang berinteraksi memiliki

keyakinan dan pengertian yang kuat atas harapan dan pertimbangan nilai

satu sama lain.

b. Cinta yang memberi

Keadaan dimana manusia sebagai individu yang memiliki cinta atau

penuh dengan kasih sayang mampu mewujudnyatakannya dalam

interaksi dengan siapapun melalui berbagai bentuk sikap dan perilaku.

c. Cinta yang menerima

Keadaan dimana manusia sebagai individu yang membutuhkan cinta

mendapatkan cinta atau kasih sayang yang penuh dalam berbagai bentuk

oleh siapa pun di lingkungan hidupnya.

d. Tidak ada rasa takut

Keadaan dimana individu dapat merasa senang, tenang dan aman ketika

melakukan setiap perilaku dan dimanapun ia berada.

Need for love and belongingness yang dimaksudkan pada penelitian

berdasarkan penjabaran di atas merupakan kebutuhan afeksi yang

memiliki karakteristik dimana individu memiliki harapan untuk dimengerti

(37)

cinta yang memberi, cinta yang menerima, dan dalam keadaan tidak ada

rasa takut.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi need for love and belongingness

Perbedaan gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kebutuhan akan cinta (Dayakisni, 2006). Gender memiliki elemen yang

kompleks, yaitu segala sesuatu yang menyangkut jenis kelamin, peran,

tingkah laku, kecenderungan dan atribut yang lain (Baron & Byrne, 2003).

Berdasarkan penjabaran di atas dan penyesuaian dengan subjek penelitian

maka peneliti mengambil dua kategori faktor yang dapat mempengaruhi

kebutuhan akan cinta yaitu jenis kelamin dan peran.

a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan

cinta. Menurut Dayakisni (2006) dalam bukunya dikatakan bahwa

terdapat stereotype perempuan lebih romantis daripada laki-laki,

namun terdapat pula hasil riset yang menunjukkan laki-laki memiliki

skor lebih tinggi daripada perempuan pada skala romantisme. Selain

itu dikatakan juga bahwa laki-laki dan perempuan memiliki reaksi

berbeda pada pemutusan hubungan, tidak dijelaskan lebih lanjut

mengenai bentuk perbedaannya. Hasil penelitian Hatfield dan Walster

(1978) pun menunjukan bahwa laki-laki tiga kali lebih mungkin untuk

bunuh diri setelah berakhirnya hubungan cinta (dalam Bringham,

(38)

Beberapa perbedaan yang antara laki-laki dan perempuan ini antara

lain bahwa kebanyakan perempuan merasa bahwa mereka memberikan

cinta yang diwarnai persahabatan kepada pasangan mereka lebih

banyak daripada yang mereka terima. Dalam hal berkomunikasi

laki-laki lebih bersedia untuk berbicara tentang pandangan politik dan

kebanggaan pada kekuatan mereka, sedangkan perempuan

mengungkapkan perasaannya tentang orang lain dan

ketakutan-ketakutan mereka (Traupman dan Hatfield dalam Bringham, 1991).

Perbedaan inipun tampak pada ekspresi cinta, perempuan dikatakan

lebih mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan

sedangkan bagi pria pengendalian kemarahan adalah suatu orientasi

emosional yang umum (Cancian&Gordon, 1988 dalam Santrock,

2002). Beberapa penjelasan di atas kemudian menunjukkan bahwa

perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi munculnya perbedaan

need for love and belongingness.

Elemen-elemen biologis, seperti hormon, dalam tubuh laki-laki dan

perempuan turut berperanan mempengaruhi setiap perilaku yang

muncul. Salah satu contoh konkritnya adalah ketidakstabilan emosi

yang sering dialami oleh perempuan ketika masa-masa menjelang

menstruasi. Ketidakstabilan ini dipengaruhi juga oleh ketidakstabilan

hormon di dalam tubuhnya. Selain itu terdapat perbedaan sifat-sifat

khas individu secara umum antara laki-laki dan perempuan dimana

(39)

sedangkan perempuan yang lemah-lembut, bijaksana, religius, peka

terhadap perasaan orang lain, mengungkapkan perasaan yang lembut,

tergantung, memiliki kebutuhan akan rasa aman yang besar.

Jenis kelamin yang dimaksudkan disini adalah pengkategorian

laki-laki dan perempuan dimana pembedaan ini muncul dari perbedaan

secara biologis, yang kemudian akan berpengaruh juga terhadap

perbedaan sikap, perilaku dan perlakuan di dalam kehidupan sosial.

b. Peran

Peran adalah harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsi di

tengah masyarakat. Peran menurut Boeree (2006) selalu hadir

berpasangan (rohaniwan-awam) yang mana masing-masing diharapkan

dapat memainkan perannya dengan baik. Agar suatu peran memiliki

makna maka individu harus memiliki serangkaian fungsi-fungsi

tertentu yaitu suatu manfaat/tugas di tengah-tengah masyarakat. Teori

peranan (role theory) mengakui bahwa faktor-faktor sosial memiliki

pengaruh pada tingkah laku individu dalam situasi yang berbeda.

Sedangkan peranan (dalam Dayakisni, 2006) adalah sekumpulan

tingkah laku yang dihubungkan dengan posisi tertentu (Sarbin&Allen,

1968 ; Biddle &Thomas, 1966). Teori peranan (Role Theory) yang

dikemukakan oleh Dayakisni mengatakan bahwa peranan yang

berbeda akan membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Peran

seseorang tidak hanya menentukan perilaku, tetapi juga beliefs

(40)

teori ini adalah apabila kita memiliki informasi tentang role

expectations untuk suatu posisi tertentu, maka kita dapat meramalkan

bagian dari perilaku yang bermakna dari orang yang melaksanakan

posisi tersebut. Pada penelitian ini peran yang dimaksud adalah

sebagai rohaniwan dan awam.

Sehubungan dengan need for love and belongingness maka akan

ada perbedaan kebutuhan ini pada rohaniwan dan awam. Konsili

Vatikan II merumuskan bahwa ketika seseorang memilih peran sebagai

rohaniwan maka mereka harus mencari dan mencintai di atas

segalanya Allah yang telah lebih dahulu mencintai kita (bdk 1Yo

4:10), dan dalam segala situasi mereka mengembangkan kehidupan

yang tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah (bdk Kol 3:3).

Berdasarkan hal-hal tersebut maka akan mengalir desakan cinta kasih

kepada sesama demi penyelamatan dunia dan pembangunan Gereja,

cinta kasih ini juga yang akan menjiwai dan mengarahkan pengamalan

nasehat-nasehat Injil. Para rohaniwan ini mendalami tugas tersebut

dengan tinggal dan bekerja bersama Yesus, serta bekerja seperti Yesus,

dimana nantinya akan memunculkan cinta bakti dan cinta yang

bijaksana dimana selanjutnya terwujud pada cinta agape.

(41)

Cinta agape ini tidak berarti menghapus cinta manusiawi manusia,

cinta ini justru meresapi dan memberi daya hidup serta orientasi

kepada cinta manusiawi sehingga manusia menjadi mampu

mewujudkan diri secara utuh melalui suatu proses menuju tujuan

tertentu. Cinta agape merupakan cinta murni yang tidak

mementingkan diri sendiri atau tidak mencari keuntungan diri sendiri

(1 Kor 13:5). Dalam perjalanan hidupnya diharapkan para rohaniwan

dapat mendalami dan menghayati cinta agape ini.

Pada kaum awam cinta yang tumbuh tidak terbatasi secara lebih

ketat pada arah tertentu seperti layaknya pada rohaniwan. Kaum awam,

terutama pada masa perkembangan dewasa awal, memasuki tugas–

tugas perkembangan antara lain berumah tangga. Memasuki awal masa

dewasa muda mereka mulai memasuki tahapan untuk hidup lebih

mandiri, kemudian dilanjutkan dengan mencari pasangan hidup dan

akhirnya berkeluarga. Mereka berpendapat bahwa lebih baik mencintai

dan kehilangan daripada tidak pernah mencintai sama sekali (Santrock,

2002). Mereka memiliki kebebasan yang lebih luas untuk mencintai

siapapun dan dalam bentuk apapun. Seperti dikemukakan Santrock

(2002) dalam bukunya bahwa kesendirian merupakan salah satu hal

dihindari dan hanya ingin dirasakan sedikit orang.

Penjabaran di atas menunjukkan bahwa akan ada perbedaan

kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness antara

(42)

seorang individu dimana di dalamnya terdapat harapan bersama yang

menyangkut fungsi-fungsinya di tengah masyarakat.

Need for love and belongingness adalah kebutuhan yang memiliki

eksistensi besar dan menetap dalam kurun waktu relatif lebih lama pada

individu, yang memiliki kategori akan cinta, kasih sayang dan penerimaan

dimana di dalamnya meliputi keadaan dimengerti secara mendalam, diterima

dengan sepenuh hati, saling percaya, cinta yang memberi, cinta yang

menerima, serta tidak akan ada rasa takut.

Beberapa karakteristik di atas akan menjadi aspek yang digunakan oleh

peneliti untuk mengukur skala need for love and belongingness pada

penelitian ini, antara lain :

1). keadaan dimengerti secara mendalam

2). diterima dengan sepenuh hati

3). saling percaya

4). cinta yang memberi

5). cinta yang menerima

6). tidak ada rasa takut.

C. PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED FOR

LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN DAN KAUM

AWAM

(43)

kebahagiaan terbesar dan perasaan puas yang sangat dalam, bahkan

kemudian Maslow menambahkan bahwa ketidakberadaan cinta akan mampu

menghambat pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang.

Pernyataan Freud juga mendukung hal di atas dimana ia mengatakan bahwa

cinta memiliki fungsi yang sangat penting bagi kesehatan mental dan fisik

(Mc.Clelland, 1985). Sedemikian pentingnya keberadaan cinta dalam

kehidupan manusia maka pembicaraan tentang cinta akan selalu ada dalam

rentang kehidupan manusia. Maslow mengkategorikan kebutuhan ini pada

need for love and belongingness.

Sehubungan dengan sifat unik dari individu maka masing-masing

individu pun akan memenuhi kebutuhan ini dengan cara uniknya sesuai

dengan perannya masing-masing. Salah satu peran yang muncul dalam

masyarakat, khususnya pada umat Katolik, adalah kaum rohaniwan.

Sebagaimana sifat peran yang selalu tampil berpasangan maka selain

rohaniwan juga akan ada awam.

Rohaniwan sebagaimana telah dijelaskan dalam definisinya memiliki

batasan-batasan hidup tertentu yang sesuai dengan aturan-aturan di dalam

biaranya masing-masing sesuai dengan ordo, tarekat, maupun

konggregasinya masing-masing. Salah satu ciri yang terlihat paling konkrit

dan mendasar, yang berbeda dengan awam-sehubungan dengan need for

love and belongingness, adalah status tidak menikah.

Individu pada masa perkembangan dewasa awal memiliki tugas-tugas

(44)

lain menikah, berumah-tangga, dan memiliki keturunan. Kaum awam pada

tahapan ini akan berusaha memenuhi need for love and belongingness

dengan memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut.

Keadaan tersebut berbeda dengan rohaniwan yang memiliki

batasan-batasan yang mutlak, akan tetapi batasan-batasan yang telah ada tidak membuat

mereka begitu saja kehilangan cinta. Hal ini berkaitan dengan inti pokok

mengenai manusia dimana ia diciptakan atas dasar cinta dan dalam cinta

untuk saling mencinta (Kraeng, 2000). Kraeng selanjutnya mengemukakan

bahwa manusia dapat mengarahkan seluruh kemampuannya melalui jalur

kesadarannya sendiri baik secara moral, sosial maupun spiritual menuju

puncak dari kesadaran itu sendiri, yaitu cinta. Pilihan hidup sebagai

rohaniwan membawa individu untuk lebih memfokuskan dirinya dalam

perjalanan bersama Yesus bahkan Allah sendiri dengan hidup dan bekerja

bersamaNya. Bentuk kehidupan yang demikian akan cenderung membawa

para rohaniwan pada bentuk cinta agape. Cinta agape merupakan cinta Ilahi,

cinta Allah sendiri yang senantiasa diarahkan kepada manusia, yang tidak

akan mungkin dapat dipahami dan dihayati serta diamalkan tanpa cinta

personal. Cinta personal yang dimaksudkan disini menurut Kraeng (2000)

adalah kesiapsediaan hati untuk menerima orang lain sebagaimana adanya,

yang merupakan penyerahan diri secara total, menghargai setiap

keunikannya. Makna teologis membawa rohaniwan pada kesepadanan arti

mengenal dan mencintai, dimana hal ini berarti menerima orang lain

(45)

perhatian pada nilai keseluruhan pribadi. Rohaniwan ini menjiwai Allah

sendiri sebagai pokok cinta yang menyentuh inti terdalam dari pribadi

manusia yaitu pada hatinya. Sehingga sebagai pribadi pencinta, sesuai

hakekat hidup manusia juga, mereka menjadi pribadi yang bisa memberi

semangat hidup kepada orang lain dengan cinta dan perhatiannya yang jujur

dan tulus iklhas. Karakteristik perbedaan peran di atas menunjukkan bahwa

akan ada kecenderungan rohaniwan lebih dominan pada indikator saling

percaya dan cinta yang memberi. Sedangkan pada awam lebih cenderung

dominan pada keadaan dimengerti secara mendalam, diterima dengan

sepenuh hati, cinta yang menerima, dan tidak ada rasa takut.

Elemen lain yang dapat mempengaruhi adanya perbedaan pada

kebutuhan ini adalah perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin

seperti telah dijelaskan di atas pembedaan individu berdasarkan ciri-ciri

biologis. Elemen-elemen biologis, seperti hormon, dalam tubuh laki-laki dan

perempuan turut berperanan mempengaruhi setiap perilaku yang muncul.

Salah satu contoh konkritnya adalah ketidakstabilan emosi yang sering

dialami oleh perempuan ketika masa-masa menjelang menstruasi.

Ketidakstabilan ini dipengaruhi juga oleh ketidakstabilan hormon di dalam

tubuhnya. Selain itu terdapat perbedaan sifat-sifat khas individu secara

umum antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki dikenal lebih agresif,

mandiri, tidak emosional, objektif, dll, sedangkan perempuan yang

lemah-lembut, bijaksana, religius, peka terhadap perasaan orang lain,

(46)

akan rasa aman yang besar. Perbedaan-perbedaan di atas mampu

menyiratkan bahwa kecenderungan perempuan akan lebih dominan pada

aspek keadaan diterima dengan sepenuh hati, cinta yang memberi dan

keadaan tidak ada rasa takut. Sedangkan pada laki-laki lebih dominan pada

keadaan dimengerti secara mendalam, saling percaya dan cinta yang

menerima.

Beberapa penjelasan mengenai perbedaan rohaniwan dan awam, baik

dari sudut pandang perbedaan peran maupun jenis kelamin lebih lanjut akan

dijadikan bahan penelitian oleh peneliti untuk mengetahui apakah

perbedaan-perbedaan tersebut (peran dan jenis kelamin) akan mempengaruhi

perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness

(47)

INDIVIDU

Masa dewasa awal

Latar belakang yang berbeda

Hidup komunitas dengan budaya yang berbeda Tuntutan sosial (norma)

Pendidikan

PERAN

ROHANIWAN KAUM AWAM

JENIS KELAMIN

Imam,Bruder/Frater Suster Laki-laki Perempuan (laki-laki) (perempuan)

? ? ? ?

Aspek-aspek Need for Love And Belongingness :

keadaan dimengerti secara mendalam diterima dengan sepenuh hati

(48)

D. HIPOTESIS

Berdasarkan penjabaran di atas maka hipotesis bagi penelitian ini yaitu :

1. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and

belongingness pada rohaniwan dan awam

2. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and

belongingness pada laki-laki dan perempuan

3. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and

belongingness pada rohaniwan laki-laki dan rohaniwan

perempuan.

4. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and

belongingness pada awam laki-laki dan awam perempuan.

Pada hipotesis penelitian ini perbedaan akan dilihat berdasarkan skor

dominan pada aspek-aspek yang akan dijabarkan berdasarkan data-data hasil

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian

untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kecenderungan aspek

dominan need for love and belongingness (sebagai variabel tergantung) ditinjau

dari perbedaan peran dan jenis kelamin (sebagai variabel bebas).

B. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek

pengamatan penelitian, juga bisa dikatakan sebagai faktor-faktor yang berperan

dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Menurut fungsinya dalam

penelitian, orang sering membedakan antara variabel tergantung dengan variabel

bebas. Variabel tergantung adalah variabel yang menjadi pusat persoalan,

sedangkan variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain atau

variabel tergantung.

Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel bebas : a. peran

b. jenis kelamin

(50)

C. Definisi Operasional

1. Peran dan jenis kelamin

a. Peran

Peran adalah harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsi di

tengah masyarakat. Rohaniwan merupakan individu yang memiliki peran

sebagai pemuka agama-guru iman dalam agama Katolik dimana

kehidupan mereka terikat pada kaul kemurnian, ketaatan dan kemiskinan

serta kaul-kaul lain sesuai dengan tarekatnya masing-masing, yaitu para

suster, bruder dan imam. Peran ini dipilih secara otonom oleh individu itu

sendiri demi pengabdian dan jiwa kerasulannya yang besar kepada

Kristus, mereka juga menjalani pendidikan khusus. Sedangkan awam

merupakan peran bagi masyarakat pada umumnya yang tidak menyandang

status rohaniwan, siapapun dan apapun profesinya. Pada penelitian ini

dikhususkan pada awam yang beragama Katolik, dengan harapan bahwa

mereka akan memiliki pandangan atau minimal ajaran agama yang sama

mengenai cinta dengan para rohaniwan.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah pembedaan kategori laki-laki dan perempuan

yang merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial.

(51)

hubungannya dengan sifat-sifat kepribadian umum yang muncul secara

khas pada masing-masing jenis kelamin.

2. Need for love and belongingness

Need for Love and Belongingness adalah kebutuhan individu untuk

mengasihi dan menerima orang lain serta dikasihi dan diterima keberadaannya

oleh orang lain atau lingkungan hidupnya. Perbedaan kecenderungan

dominasi pada aspek-aspek yang ada akan diukur menggunakan skala need

for Love and Belongingness dengan dasar teori Maslow, yaitu :

a. keadaan dimengerti secara mendalam

b. diterima dengan sepenuh hati

c. saling percaya

d. cinta yang memberi

e. cinta yang menerima

f. tidak ada rasa takut

Pengukuran skala ini didasarkan pada besarnya harapan yang

mencerminkan kebutuhan mereka. Apabila semakin besar harapan mereka

pada salah satu item maka mereka akan memiliki kecenderungan lebih untuk

memilih jawaban sangat setuju pada favorabel dan sangat tidak setuju pada

unfavorabel. Semakin dominan skor statistik yang diperoleh pada salah satu

aspek maka akan semakin dominan pula kecenderungan subjek pada aspek

(52)

D. Subjek Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan mengunakan

metode teknik sampling purposif (purposive sampling). Karakteristik subjek

antara lain :

1. Usia 26-39 tahun, individu berada pada tahap perkembangan dewasa

awal (Santrock, 1999) yang kemudian disesuaikan dengan usia minimal

rohaniwan ditinjau dari masa pendidikannya.

2. Beragama katolik, subjek penelitian akan memiliki ajaran yang sama

mengenai cinta dan kasih sayang.

3. Tidak/ belum menikah. Peran rohaniwan membawa konsekwensi

keadaan tidak menikah, mka pada subjek awam diambil subjek yang

memiliki kriteria belum menikah. Asumsinya status tidak/belum

menikah (yang kurang lebih hampir sama) akan mensejajarkan

keberadaan rohaniwan dan awam, sehingga kebutuhan,

harapan-harapan, maupun pengalaman dalam berelasi dalam kaitannya dengan

needfor love and belongingness akan kurang lebih sama.

4. Kedua jenis kelamin terwakili (laki-laki dan perempuan), baik pada

rohaniwan maupun awam. Rohaniwan laki-laki (28 subjek), rohaniwan

perempuan (28 subjek), awam laki-laki (28 subjek), dan awam

(53)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala Need for

Love and Belongingness.

1. Skala Need for Love and Belongingness

Skala need for love and belongingness disusun dengan mengacu pada

aspek-aspek need for love and belongingness menurut Maslow. Aspek-aspek tersebut

adalah dimengerti secara mendalam, diterima dengan sepenuh hati, saling

percaya, cinta yang memberi, cinta yang menerima, dan keadaan tidak ada rasa

takut.

Skala need for love and belongingness akan memakai model penskalaan

Likert atau metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings) yaitu

metode penskalaan yang berorientasi pada respon (Goble dalam Azwar, 1999).

Setiap skala diberikan kategori empat jawaban. Masing-masing item akan diberi

penilaian 4, 3, 2, 1 untuk SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju),

STS (Sangat Tidak Setuju) untuk jawaban subjek pada item yang bersifat

favorabel. Sebaliknya, untuk pernyataan yang bersifat unfavorabel akan

digunakan penilaian 1, 2, 3, 4 untuk SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak

Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).

Skala ini berbentuk pernyataan yang dilengkapi dengan alternatif jawaban

dengan menggunakan model skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu

meniadakan jawaban yang di tengah. Dasar pertimbangan yang dipergunakan

(54)

a.Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat

memutuskan atau memberi jawaban. Bias juga diartikan netral, setuju tidak,

tidak setuju juga tidak atau bahkan ragu-ragu

b.Tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderungan

menjawab ke tengah (central tendency effect)

c.Tersedianya jawaban yang di tengah akan menghilangkan banyak data

penelitian sehingga mengurangi informasi yang dapat dijaring dari responden.

(Hadi, 2000).

Guna mengungkapkan aspek-aspek tentang need for love and belongingness

maka dibuat pernyataan-pernyataan yang mengidentifikasikan aspek-aspek need

for love and belongingness. Pernyataan-pernyataan tersebut berbentuk

item-item yang bersifat favorabel dan unfavorabel. Item yang bersifat favorabel

adalah item yang mendukung atau menunjukkan ciri-ciri atribut yang akan

diukur. Sedangkan item yang bersifat unfavorabel adalah item yang tidak

mendukung atau tidak menunjukkan ciri-ciri atribut yang akan diukur.

Berdasarkan aspek-aspek need for love and belongingness tersebut, dibuat

60 item dengan spesifikasi 30 item bersifat favorabel dan 30 item bersifat

(55)

Tabel 1.

Penyebaran Item Need for Love and Belongingness

No. Aspek-aspek Indikator Favorabel item Unfavorabel item

%

1 Keadaan dimengerti

secara mendalam

keadaan dimana seseorang merasa dipahami sebagai individu dengan sepenuhnya

dengan segala karakter-karakter uniknya.

24, 42, 45, 49, 55

20, 21, 44, 54,

58 10 16,67 2 Diterima dengan sepenuh hati

keadaan ketika seseorang mampu merasa diakui dan dihargai nilai-nilai individualnya tanpa keterikatan emosional

dari pihak lain

12, 27, 28, 34, 57

11, 16, 30, 31, 53

10 16,67

3

Saling percaya

keadaan dimana kedua belah pihak yang berinteraksi memiliki keyakinan dan pengertian

yang kuat atas harapan dan pertimbangan nilai

satu sama lain.

9, 25, 29, 35, 51

4, 8, 46, 50, 52

10 16,67

4

Cinta yang Memberi

keadaan dimana manusia sebagai individu yang memiliki cinta atau penuh

dengan kasih sayang mampu mewujudnyatakannya dalam interaksi dengan siapapun melalui berbagai

bentuk sikap dan perilaku

2, 13, 17, 18, 48

3, 14, 23, 26, 39

10 16,67

5

Cinta yang Menerima

keadaan dimana manusia sebagai individu yang

membutuhkan cinta mendapatkan cinta atau kasih sayang yang penuh dalam berbagai bentuk oleh

siapa pun di lingkungan hidupnya.

1, 6, 10, 15, 59

5, 22, 36, 47, 56

10 16,67

6

Tidak ada rasa takut

Keadaan dimana individu dapat merasa senang, tenang dan aman ketika melakukan setiap perilaku

dan dimanapun ia berada

7, 19, 33, 41, 60

32, 37, 38, 40, 43

10 16,67

(56)

2. Kelayakan Skala Need for Love and Belongingness

Alat ukur yang digunakan sebagai instrument penelitian harus

memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat digunakan untuk mengungkap

fakta yang sebenarnya. Dua syarat di antaranya adalah alat ukur tersebut

harus valid dan reliabel. Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid

nantinya akan memberikan kesimpulan yang keliru dan menggambarkan

yang jauh berbeda dari keadaan sebenarnya (Azwar, 1997).

a. Analisis Item

Pengukuran validitas dilakukan dengan analisis butir menggunakan

teknik uji reliabilitas dan sekaligus uji validitas menggunakan

corrected item-total correlation. Teknik ini bertujuan untuk menguji

apakah tiap item atau butir pernyataan benar-benar mampu

mengungkapkan yang akan diukur atau konsistensi internal tiap item

alat ukur dalam mengukur semua faktor. Penghitungan ini dilakukan

dengan menggunakan komputer seri statistik program SPSS 13.00

Sebagai kriteria pemilihan item berdasar pada korelasi item total

biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,30 (Azwar, 1999). Item yang

memiliki koefisien korelasi minimal 0,30 diinterpretasikan sebagai

item yang memiliki daya diskriminasi tinggi dan dianggap

memuaskan, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi kurang

dari 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya

(57)

b. Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh

mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument pengukur (tes) dalam

melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997). Suatu tes dapat dikatakan

mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan

fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat

sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Sebuah alat ukur

dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto,

2002).

Pengujian validitas menggunakan content validity dan face validity.

Content validity adalah validitas yang mempertanyakan bagaimana

kesesuaian antara instrumen dengan tujuan dan deskripsi bahan yang

diajarkan atau diskripsi masalah yang akan diteliti (mencakup

keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur). Penelaahan harus

dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidang bersangkutan

dengan analisis rasional, atau dikenal dengan istilah penilaian oleh

ahlinya (expert judgement/professional judgement) (Azwar, 1997).

Face validity telah terpenuhi apabila penampilan tes telah meyakinkan

dan memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak

diukur. Skala psikologi ini diperiksa oleh Dosen Pembimbing

(58)

c. Reliabilitas

Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat

dipercaya (Azwar, 1997). Teknik yang digunakan untuk mengetahui

reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan teknik statistika,

yaitu menggunakan rumus Alpha Cronbach.

α = ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡

SD Y X SD k k 2 2 1 1

Keterangan :

k = Jumlah aitem yang valid

∑SD²X = Jumlah varians butir

SD²Y = Varians total

Uji reliabilitas skala dalam pengukuran ini memakai teknik

formula Alpha dari program SPSS versi 13.00.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Membuat item-item skala Need for Love and Belongingness untuk diuji

cobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama

dengan kelompok subjek sesungguhnya.

2. Melakukan uji coba.

3. Melakukan uji validit

Gambar

Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Manusia............................................        13
Gambar 1. HIRARKI KEBUTUHAN MANUSIA
Gambar 2. Diagram Kebutuhan Manusia
Gambar 3. Lingkaran Maslow
+7

Referensi

Dokumen terkait

Manajemen Komite Sekolah Menuju Pengelolaan Sekolah Mandiri (Disampaikan dalam Diktat pengembangan Komite sekolah, diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional,

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Mencapai Derajat Ahli Madya Program Studi Diploma III Perpajakan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa genotipe calpastatin dari induk dan penggembalaan yang berbeda tidak berpengaruh baik pada bobot lahir anak, bobot

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bagi konsumen pengguna

Pada tahun ke-1 penelitian ini lebih ditujukan untuk: (1) Mengidentifikasi kebutuhan masyarakat lokal dalam pemberdayaan SDM dan pengelolaan kawasan wisata di Kabupaten Karanganyar;

Bauran promosi merupakan sarana untuk mengkomunikasikan tujuan perusahaan dengan arah yang hendak ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut kepada para pihak yang

Penelitian dilaksanakan dengan menganalisis aspek kognitif menurut Taksonomi Bloom Revisi kemudian dianalisis lagi dengan aspek HOTS yang telah ditentukan pada soal tes

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pelaksanaan evaluasi hasil belajar peserta didik, apa saja kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan evaluasi hasil belajar,