PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED
FOR LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN
DAN AWAM
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh :
Cynthya Dewi
NIM : 019114029
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
When God prepares to do something wonderful,
He begins with a difficulty.
When He plans
To do something very wonderful,
He begins with an impossibility.(unkown)
“Buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskannya, dan sumbu
yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkannya…”(Yesaya 42:3)
Cinta
adalah mata air motivasi
yang mengalirkan semangat indahnya kehidupan
(Krishnamurti, Kartu Motivasi, Kanisius 2005)
Adanya perbedaan tercipta sebagai warna-warni dunia
Keunikan yang tak terhitung jumlahnya
Beragam karya agung-Nya memenuhi muka bumi ini
Dan IA menciptakan …….CINTA
Hingga tiap kehidupan di muka bumi ini dapat terangkai dalam suatu
harmonisasi
tangga nada yang mengalun penuh syahdu dalam panduan Sang
Maestro….
Karya sederhanaku ini kupersembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menemani dan menjadi andalanku dalam setiap langkah hidupku serta telah mengajariku akan arti CINTA…..aku percaya kasih
setia-Mu menuntunku sepanjang waktu.
Keluarga Dr. A Th. L. Gandiryanto, SpKO., yang sangat kusayangi. papa Gandi, mama Lena, mas Rudy dan adek Adit.
Terima kasih akan segala kasih, cinta, doa dan segala canda-tawa, suka–duka dan segala mujizat kehidupan yang pernah
dan akan selalu kita lewati bersama..I LOVE U ALL.
Keluarga Samad Valentinus, S.Pd., yang telah menerima kehadiranku dan membantuku dalam banyak hal. Om Romo
Janto, SJ., thanks ya buku-buku teologinya.
F. Herwindra yang telah menemani jiwa dan ragaku dalam 2 tahun terakhir ini. Thanks, aku belajar banyak dari setiap pengalaman yang pernah kita lalui. Semoga keberadaan kita
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Perbedaan Kecenderungan
Aspek Dominan Need For Love And Belongingness Pada Rohaniwan dan Awam”
merupakan karya yang tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
di suatu Perguruan Tinggi manapun sebelumnya, dan sepanjang pengetahuan saya
di dalamnya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 18 Juni 2007
ABSTRAK
Penelitian ini adalah penelitian komparatif yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan awam, laki-laki dan perempuan. Subjek penelitian berjumlah 112 orang, terdiri dari 28 rohaniwan laki-laki, 28 rohaniwan perempuan, 28 awam laki-laki dan 28 awam perempuan di kota Malang. Metode pengumpulan data dilakukan dengan memberikan skala need for love and belongingness yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Data penelitian dianalisis dengan statistic non-parametrik crosstabs chi-square dari program SPSS for windows versi 13. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa :
1. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness ditinjau dari perbedaan peran (rohaniwan-awam). Dimana rohaniwan memiliki kecenderungan dominan pada aspek saling percaya dan kaum awam memiliki kecenderungan dominan pada aspek diterima dengan sepenuh hati.
2. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (laki-laki-perempuan). Dimana laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek cinta yang menerima, sedangkan pada perempuan tidak muncul aspek yang dominant. Hanya saja prosentase terbesar muncul pada aspek cinta yang memberi dan tidak ada rasa takut.
3. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness rohaniwan ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (rohaniwan laki-laki-rohaniwan perempuan). Dimana rohaniwan laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek saling percaya, sedangkan rohaniwan perempuan memiliki kecenderungan dominan pada aspek cinta yang memberi.
4. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness kaum awam ditinjau dari perbedaan jenis kelamin (awam laki-laki – awam perempuan). Dimana awam laki-laki memiliki kecenderungan dominan pada aspek dimengerti secara mendalam, sedangkan awam perempuan memiliki kecenderungan dominan pada aspek diterima dengan sepenuh hati.
ABSTRACT
This study was a comparative research wich aimed to find the dominant tendency difference of need for love and belongingness among the spiritual leaders and the layme, male and female.. They where 112 persons as the subjects of the research consisting of 28 male spiritual leaders, 28 female spiritual leaders, 28 laymens and 28 laywomens in Malang, East Java. The data was collected by providing statements in the scale of need for love and belongingness of which the validity and reliability where tested. The data of the research was analyzed by non-parametrics statistic crosstabs chi-square of SPSS program for windows version 13. There were several conclusions from the data analysis result as follows :
1. There was a different dominant tendency of need for love and belongingness based on characters (the spiritual leader and the layman). In wich spiritual leaders had dominant aspect tendency in trusting each others, while the laymen have dominant aspect tendency in whole-hearted accepted aspect
2. There was a differences dominant tendency of need of love and belongingness based on the sexes (male and female). In wich males had dominant aspect tendency in accepting love, where females didn’t have dominant aspect tendency of need for love and belongingness. However, the main prosentages was in giving love and no anxiety.
3. There was a differences dominant tendency of spiritual leader need for love and belongingness based on the sexes (the male spiritual leader and the female spiritual leader). In wich male spiritual leaders had dominant aspect tendency in trusting each others, but female spiritual leaders had dominant aspect in giving love.
4. There was a differences dominant tendency of layman need for love and belongingness based on the sexes (laymens and laywomens). In wich laymens had dominant aspect tendency in deep understood by others, whereas laywomens have dominant aspect tendency in whole-hearted accepted
KATA PENGANTAR
Kasih karunia dariNya telah menuntun penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi yang merupakan bagian prasyarat dalam memperoleh gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis juga tidak melupakan bantuan-bantuan yang diberikan oleh beberapa pihak lain secara moril maupun materiil, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Eddy Suhartanto, S.Psi. M.Si. selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi., M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan pembimbing akademik.
3. Ibu Dra. Lusi Pratidarmanastiti, M.S., selaku pembimbing skripsi yang dengan sabar membimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Thanks a lot telah mengajariku untuk berani menghadapi setiap tantangan yang ada…
4. Ibu Kristiana Dewayani, S.Psi., M.Si. dan Bapak Wijoyo Adinugroho, S.Psi, selaku dosen penguji skripsi...thanks a lot atas pengalaman indah dan masukan-masukannya…
5. Ibu P. Henrietta PDASD., S.Psi. yang telah memberikan semangat, dan waktu untuk berbagi. Semangat Cie….aku tunggu kehadiran ponakan kecilku… 6. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi. yang telah memberikan saran dan pernah
menjadi pembimbing akademik penulis sebelumnya.
7. Bapak Agung Santoso, S.Psi. yang telah memberikan saran selama proses ini, terutama dengan rumus-rumusnya. Sukses dengan ilmu yang akan dijelang Ko 8. Semua dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta. Selamat mengajar dan memajukan psikologi SADHAR….
antara kalian. Karya-karya kalian sangat indah, doaku untuk setiap karya atas sentuhan tangan kalian…
10.Msgr. Herman Joseph Pandoyoputro, O.Carm., selaku Uskup Keuskupan Malang. Terima kasih banyak atas segala waktu, dukungan, bantuan, semangat dan sharing-sharingnya. Saya masih menunggu saat-saat sharing dan kerja sama berikutnya.
11.Romo Janto, SJ., Romo Adam Pr., Romo Denny Pr., Romo Agi, O’Carm, Fr. Monfort BHK, dan Suster Paulana SSpS, yang sudah banyak membantu dalam penyebaran skala penelitian, dukungan fisik, moril, semangat dan doa-doanya…… serta suster-suster Misi Abdi Roh Kudus atas doa, cinta dan penerimaannya pada saya dalam kegiatan hariannya
12.Semua subjek penelitian yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi skala penelitian, tanpa kalian penelitian ini tidak akan terselesaikan dengan baik…thaks a lot.
13.Pakdhe Iwan yang bersedia mengedit dan berdiskusi tentang materi skripsi ini.Thx a lot….
14.Tante Tiranda, thanks sudah mengajarkanku menjadi perempuan yang tegar dan mandiri…..tetap semangat ya tante..doa dan cintaku untukmu selalu. 15.The “Lonchiez” fam.: Mami Mira, Ita, Yayack, Anita, Ul-ul, Vera and Tyas.
Thanks, semoga persahabatan kita akan abadi selalu. Saling dukung dalam cinta dan doa demi kesuksesan bersama ya….liburan bareng yuks….
17.Komunitas Tari GENTA RAKYAT…..Thanks a lot atas segala proses yang telah kita lewati bersama, segala bentuk olah raga, rasa dan jiwa yang kita lalui…..doaku untuk tiap kesuksesan yang akan dijelang…ILU guys...
18.Komunitas “FRIENDS”, terima kasih atas semua pengalaman yang selalu memberi pengalaman baru….
19.Komunitas “Psychology Adventure Team” (PAT-su)…..thanks a lot bersama kalian aku menemukan banyak pengalaman baru yang tak terlupakan….kapan naik gunung lagi…
20.Kakak-adek dan temen angkatan se-Psikologi, Sadhar (maaf tidak bisa kusebutkan satu-satu) , miss Yosie, S.Psi., miss Icha S.Psi. dan especially
temen-temen di KBT……guys thanks ya atas semua bantuan, doa, dukungan dan persahabatan yang telah terjalin…..I’ll miss u much…
21.Temen-temen kost “Delima Raya” yang memberi keceriaan dengan suara-suaranya yang “khas”….I’ll miss u all…
22.Temen-temen “jauh di mata tetapi dekat di hati”-ku dimanapun kalian berada, doa-doa dan dukungan kalian sangat berarti. Walau tangan tak berjabat, raga tak berpelukan dan wajah tak bersua namun untaian doa dan sapaan hangat kalian selalu menemani hari-hariku…. Keep in touch ya friends…
Yogyakarta, 18 Juni 2007
DAFTAR ISI
Halaman Judul... i
Halaman Persetujuan... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Motto ... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataan Keaslian Karya... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Kata Pengantar ... ix
Daftar Isi ... xii
Daftar Tabel ... xvi
Daftar Gambar... xvii
Daftar Lampiran ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Rohaniwan dan Awam ... 9
1. Pengertian... 12
2. Sifat ... 16
3. Karakteristik Need For Love and Belongingness.. 17
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Need For Love and Belongingness... 19
a. Jenis Kelamin ... 19
b. Peran... 21
C. Perbedaan Kecenderungan Aspek Dominan Need For Love And Belongingness Pada Rohaniwan Dan Kaum Awam... 24
D. Hipotesis... 30
BAB III METODE PENELITIAN... 31
A. Jenis Penelitian... 31
B. Variabel Penelitian ... 31
C. Definisi Operasional... 32
1. Peran dan Jenis Kelamin ... 32
a. Peran ... 32
b. Jenis Kelamin ... 33
2. Need For Love And Belongingness... 33
D. Subjek Penelitian... 34
E. Metode Pengumpulan Data ... 35
1. Skala Need For Love and Belongingness... 35
a. Analisis Item ... 39
b. Validitas ... 40
c. Reliabilitas ... 41
F. Prosedur Penelitian ... 42
G. Metode Analisis Data ... 43
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45
A. Persiapan Penelitian ... 45
1. Perijinan Penelitian ... 45
2. Lokasi Penelitian... 45
3. Penentuan Sampel ... 46
4. Tahap Uji Coba Penelitian ... 46
a. Pelaksanaan Uji Coba... 46
b. Hasil Uji Coba Penelitian... 47
1) Analisis Item ... 47
2) Validitas ... 47
3) Reliabilitas ... 48
B. Pelaksanaan Penelitian ... 51
1. Pengumpulan Data ... 51
2. Pelaksanaan Skoring ... 51
C. Hasil Analisis Data Penelitian ... 51
1. Prosentase Aspek Berdasarkan Peran (Rohaniwan-Awam)... 52
(laki-laki-perempuan)... 53
3. Prosentase Aspek Pada Rohaniwan Laki-laki– Rohaniwan Perempuan ... 54
4. Prosentase Aspek Pada Awam laki-laki – Awam perempuan ... 55
D. Pembahasan... 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penyebaran Item Need For Love and Belongingness... 38
Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas skala Need For Love And Belongingness 48 Tabel 3. Sebaran Item Skala Need For Love And Belongingness... 49
Tabel 4. Sebaran Item Penelitian Skala Need For Love And Belongingness ... 50
Tabel 5. Statistik Deskriptif ... 51
Tabel 6. Crosstabulation 1 (Peran-Aspek)... 52
Tabel 7. Analisis Chi-Square Tabel 6 ... 52
Tabel 8. Crosstabulation 2 (Jenis Kelamin-Aspek) ... 53
Tabel 9. Analisis Chi-Square Tabel 8 ... 53
Tabel 10. Crosstabulation 3 (Rohaniwan laki-laki – Rohaniwan perempuan)... 54
Tabel 11. Analisis Chi-Square Tabel 10 ... 54
Tabel 12. Crosstabulation 4 (Awam laki-laki – Awam Perempuan).... 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Hirarki Kebutuhan Manusia... 13
Gambar 2. Diagram Kebutuhan Manusia ... 14
Gambar 3 “Lingkaran Maslow”... 15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Skala Need For Love And Belongingness Try-Out ... 72
Lampiran B. Tabulasi Data Try-out ... 73
Lampiran C. Uji Reliabilitas Try- Out ... 81
Lampiran D. Reliabilitas Item-Penelitian... 83
Lampiran E. Kaidah Reliabilitas Menurut Guilford dan Frucher ... 85
Lampiran F. Skala Need For Love And Belongingness Penelitian ... 86
Lampiran G. Tabulasi Data Penelitian ... 87
Lampiran H. Tabel Ringkasan Nilai Total, Z-Score & Dominan Aspek 96
Lampiran I. Hasil Olah Data Dan Analisis ... 99
Lampiran J. Data Tambahan Mengenai Keuskupan Malang ... 103
Lampiran K. Data Paroki-paroki Keuskupan Malang ... 106
Lampiran L. Statistik Rohaniwan Keuskupan Malang 2004 ... 112
Lampiran M. Statistik Paroki & Stasi Gereja Katolik Indonesia 2004 . 117
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Tahap perkembangan manusia dalam rentang kehidupannya memiliki fase
dan tugas perkembangan yang berbeda-beda sesuai dengan tahapan usianya.
Tahap perkembangan itu adalah anak-anak, remaja, dan dewasa. Tahap
dewasa sendiri dibagi lagi menjadi dewasa awal, dewasa madya dan dewasa
akhir. Kali ini peneliti akan memfokuskan pembicaraan pada masa
perkembangan dewasa awal (dewasa muda).
Masa dewasa muda dikatakan juga sebagai masa transisi, pada tahap ini
peran dan tanggung jawab yang dipikulnya menjadi semakin besar. Individu
dewasa awal tidak lagi bergantung baik secara ekonomis, sosiologis maupun
psikologis pada orang tuanya, berbagai permasalahan yang dialami justru
menjadi pelajaran berharga yang dapat membentuk pribadi yang lebih matang,
tangguh dan bertanggungjawab terhadap masa depan (Dariyo, 2004). Individu
dewasa awal adalah mereka yang berada pada usia 21 sampai 39 tahun yang
memasuki masa transisi baik secara fisik, intelektual maupun peran sosial
(Santrock, 2002). Dinamika kehidupan masa dewasa awal ini merupakan hal
yang amat menarik untuk diperhatikan. Berbagai segi dan pengalaman dialami
dalam bentuk yang semakin kompleks dan unik.
Keunikan adalah milik setiap pribadi, akan tetapi dalam menjalani suatu
manusia juga disebut sebagai mahluk sosial. Keberadaan manusia sebagai
mahluk sosial ini membawa konsekuensi bahwa individu memerlukan
hubungan manusiawi dengan sesamanya yaitu dengan menjalin hubungan
akrab. Pada penelitian kali ini tugas perkembangan sosio–emosional subjek
dikaitkan dengan hirarki kebutuhan Abraham Maslow. Kebutuhan yang sesuai
dengan tugas-tugas perkembangan sosio-emosional pada masa ini adalah
kebutuhan cinta, kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki (selanjutnya disebut
need for love and belongingness).
Kebutuhan-kebutuhan manusia ada yang bersifat biologis dan ada juga
yang bersifat psikologis. Abraham Maslow mengelompokan
kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi sebuah hirarki. Hirarki kebutuhan-kebutuhan tersebut
meliputi kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta,
kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki, kebutuhan akan penghargaan dan
terakhir kebutuhan akan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan yang
digambarkan oleh Abraham Maslow merupakan kebutuhan yang bertingkat.
Kebutuhan bertingkat artinya seseorang akan cenderung memenuhi kebutuhan
yang paling mendasar dahulu yaitu kebutuhan fisiologis, sebelum melangkah
pada pemenuhan kebutuhan di atasnya sampai dengan kebutuhan aktualisasi
diri. Artinya kebutuhan yang ada di tingkat dasar pemuasannya lebih
mendesak daripada kebutuhan di atasnya (Koswara, 1991). Penelitian ini
secara khusus difokuskan pada need for love and belongingness, dengan
asumsi bahwa subjek-subjek penelitian telah terpenuhi kebutuhan fisiologis
(pekerjaan, keluarga, moral, kesehatan, dan lain-lain). Hal ini dapat dilihat
pada fakta kehidupan subyek baik rohaniwan maupun awam. Subjek awam
terdiri dari individu-individu yang belum menikah, baik yang sudah bekerja
maupun belum bekerja. Subjek awam sebagian besar masih tinggal dan
mendapat jaminan aspek kehidupan dari orang tua (terutama yang belum
bekerja) dan ada beberapa yang sudah memiliki tempat tinggal sendiri (yang
sudah bekerja). Fakta-fakta ini menjadi dasar asumsi bahwa subjek awam
telah terpenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa amannya. Sedangkan pada
subjek rohaniwan, sehubungan dengan perannya, memiliki jaminan aspek
kehidupan (makan, tempat tiggal, dan lain-lain), dan kesehatan dari
masing-masing ordo dan konggregasinya. Rohaniwan yang menjadi subjek adalah
yang telah menerima sakramen imamat ataupun kaul kekal. Hal ini menjadi
dasar asumsi bahwa kebutuhan fisiologis dan rasa amannya telah terpenuhi.
Maslow mengatakan bahwa pada prinsipnya pembentukan dan
perkembangan kepribadian didasari oleh motivasi untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya (Dariyo, 2004). Dorongan untuk memenuhi
kebutuhanlah yang mengarahkan perilaku individu pada pencapaian kepuasan.
Terpenuhinya kebutuhan akan membawa pengaruh positif bagi pertumbuhan
dan perkembangan pribadinya. Sebaliknya apabila tidak terpenuhi dengan baik
dapat menyebabkan gangguan kepribadian atau psikopatologis. Demikian pula
halnya dengan need for love and belongingness yang merupakan salah satu
kebutuhan yang penting untuk terpenuhi pada masa ini (sehubungan dengan
hanya pada suatu hubungan romantis saja. Kebutuhan ini sehubungan dengan
kesempatan dan kebebasan tanpa diskriminasi untuk menjalin interaksi sosial
dengan siapa saja.
Masa transisi pada dewasa awal juga berkaitan dengan perubahan peran
sosial. Faktor gender sebagai elemen yang melekat dalam kehidupan
masyarakat pun ikut menyumbangkan pengaruhnya atas perubahan-perubahan
yang terjadi. Gender memiliki elemen yang kompleks, yaitu segala sesuatu
yang menyangkut jenis kelamin, peran, tingkah laku, kecenderungan dan
atribut yang lain. Pada penelitian ini peneliti akan melihat pada 2 elemen yaitu
peran dan jenis kelamin.
Manusia selain mempunyai kebutuhan juga terdapat pula berbagai macam
pilihan untuk pemenuhannya, termasuk cara menjalani kehidupan. Masing–
masing manusia menjalani hidupnya dengan cara yang unik. Salah satu bentuk
pilihan itu adalah hidup selibat, yaitu menjadi seorang rohaniwan. Rohaniwan
merupakan tokoh rohani pada agama Katolik. Para rohaniwan harus
menempuh pendidikan khusus sampai dianggap layak dan memiliki kesediaan
penuh dan mereka akan melalui pengukuhan peran melalui sakramen Gereja
maupun pengucapan kaul. Para rohaniwan lebih memilih untuk hidup secara
berbeda, yaitu mereka hidup di bawah naungan hirarki Gereja ataupun
konggregasi (dan meninggalkan keluarganya) dengan segala macam aturan–
aturan mengikat yang ada di dalamnya. Hal ini dirasa unik oleh peneliti,
karena begitu banyak pilihan hidup yang lain dan melihat tidak banyak
imam, biarawan dan biarawati yang lebih sedikit atau bahkan sangat sedikit
jika dibandingkan dengan jumlah umat yang ada). Berdasarkan data statistik
Gereja Katolik Indonesia Keuskupan Malang tahun 2004 jumlah umat Katolik
87.384, sedangkan jumlah rohaniwan 1.195. Sebagaimana kemunculan peran
akan selalu berpasangan maka keberadaan rohaniwan dilengkapi dengan
keberadaan awam, dimana kehidupan kaum awam cenderung lebih bebas.
Dunia selibat para rohaniwan yang terikat oleh banyak aturan terutama
tentang hidup selibat menimbulkan keterbatasan hubungan relasi sosial
terhadap lawan jenis. Kaum rohaniwan hidup dalam konggregasi tertentu
dengan segala aturan–aturan yang mengikatnya. Rohaniwan mulai masuk ke
dalam konggregasi sampai dengan mereka benar–benar menjadi imam, bruder,
frater atau suster melalui sebuah perjalanan yang tidak singkat. Lamanya
tahun pendidikan dan hidup selibat dengan berbagai tahapan–tahapannya
membuat peneliti memiliki persepsi bahwa kehidupan yang demikian sudah
terinternalisasi dalam diri mereka. Pada akhirnya perilaku dan sikap yang
tampak, sebagai hasil internalisasi tadi, menciptakan image tertentu dalam
masyarakat tentang rohaniwan yang notabene dikatakan “suci”. Kali ini
peneliti secara khusus tertarik dengan need for love and belongingness pada
kaum rohaniwan, meskipun mereka melaksanakan aturan–aturan secara
konsekwen (terutama aturan mendasar yang sangat umum yaitu tidak
menikah) bukan berarti menjadikan mereka kehilangan need for love and
belongingness itu sebagai manusia. Pada masyarakat umum keadaan tidak
tersendiri bagi para rohaniwan itu sendiri. Hubungan sosial mereka seringkali
mendapat sorotan yang kurang wajar (khususnya hubungan dengan lawan
jenis), hal ini memicu munculnya desas-desus miring, dianggap memalukan
bahkan merusak tatanan keagamaan (HIDUP, 18 Februari 2007). Selanjutnya
peneliti ingin melihat apakah ciri-ciri atau sifat-sifat yang terdapat pada peran
masing-masing (rohaniwan dan awam) menimbulkan perbedaan
kecenderungan munculnya aspek dominan pada need for love and
belongingness-nya.
Elemen lain yang mempengaruhi perjalanan kehidupan manusia adalah
jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan salah satu elemen gender yang
merupakan kategori dasar dalam kehidupan sosial (Sears, 1991). Salah satu
penelitian yang mendukung kecenderungan masyarakat untuk membagi dunia
menjadi sisi maskulin dan feminin adalah penelitian terhadap lukisan-lukisan
dan pahatan termashur. Menurut hasil penelitian, lukisan-lukisan dan pahatan
tersebut akan lebih menampilkan situasi kerja dan peperangan pada figur pria
sedangkan fenomena pekerjaan rumah tangga atau mengasuh anak pada figur
wanita (O’Kelly dalam Sears, 1991). Perbedaan berdasarkan jenis kelamin
inipun tampak pada ekspresi cinta, wanita dikatakan lebih mengekspresikan
kelembutan, ketakutan, dan kesedihan sedangkan bagi pria pengendalian
kemarahan adalah suatu orientasi emosional yang umum (Cancian&Gordon,
1988 dalam Santrock, 2002). Berdasarkan data-data perbedaan jenis kelamin
di atas peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah ciri-ciri ataupun sifat-sifat
menimbulkan perbedaan kecenderungan aspek dominan pada need for love
and belongingness-nya.
Perbedaan peran yang telah dikemukakan pada kehidupan masing-masing
individunya tidak dapat lepas dari interaksinya dengan jenis kelamin.
Konkritnya pada rohaniwan ada rohaniwan laki-laki (romo, bruder, frater)
dan rohaniwan perempuan (suster), demikian pula halnya dengan awam ada
awam laki-laki dan awam perempuan. Kombinasi kedua hal ini sama-sama
melekat dalam diri individu, sehingga peneliti akan melihat pula apakah
kombinasi dari ciri-ciri atau sifat-sifat peran dan jenis kelamin ini dapat
menimbulkan perbedaan kecenderungan aspek dominan pada need for love
and belongingness-nya.
Tambahan pada pembahasan selanjutnya peneliti lebih memilih untuk
menggunakan rumusan kalimat need for love and belongingness (dalam
bahasa Inggris). Alasan dari hal ini adalah karena penulis menemukan
rumusan terjemahan kalimat dalam bahasa Indonesia yang berbeda-beda pada
berbagai buku. Penulis berusaha untuk menghindari persepsi yang berbeda
atas terjemahan-terjemahan yang berbeda itu, maka diputuskan untuk
menggunakan rumusan kata dalam bahasa Inggris.
Kenyataan dan uraian di atas mendorong penulis untuk meneliti
mengenai “Perbedaan Kecenderungan Aspek Dominan Need For Love
B. RUMUSAN MASALAH
Apakah ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and
belongingness pada rohaniwan dan awam baik laki-laki maupun perempuan.
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan aspek
dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan awam.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat praktis
a. Memberi pemahaman dan informasi kepada pembaca tentang
kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness pada
rohaniwan dan awam baik laki-laki maupun perempuan.
b. Sebagai suatu wacana bahan evaluasi dan refleksi bagi individu pada
masa dewasa awal tentang kecenderungan aspek dominan need for
love and belongingness.
2. Manfaat teoritis
Menambah perbendaharaan ilmu psikologi kepribadian, psikologi
perkembangan dan psikologi sosial, khususnya mengenai kecenderungan
aspek dominan need for love and belongingness pada rohaniwan dan
BAB II
LANDASAN TEORI
A. ROHANIWAN DAN AWAM
Rohaniwan adalah orang-orang yang memilih cara hidup untuk mengejar
kesucian dan sedapat mungkin mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang
lain, dalam agama Katolik meliputi imam, bruder, frater (bagi yang berjenis
kelamin laki-laki), dan suster (bagi yang berjenis kelamin perempuan).
Menurut Ensiklopedia Nasional Indonesia rohaniwan adalah orang yang memilih cara hidup untuk mengejar kesucian dan sedapat mungkin mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang lain. Dalam semua agama besar, ada orang-orang yang mengkhususkan diri untuk kesucian diri dan pengabdian kepada sesama. Dalam agama katolik, kaum rohaniwan meliputi imam, bruder dan suster (rohaniwati), yang termasuk dalam berbagai komunitas berupa konggregasi, ordo, atau serikat rohaniwan. Ada komunitas yang bersifat kontemplatif dan ada yang bersifat aktif. Komunitas kontemplatif memusatkan diri pada peningkatan kehidupan rohani para anggotanya, sedangkan komunitas aktif mencurahkan perhatian pada karya sosial dan kerohanian di sekolah, rumah sakit, serta perawatan kaum miskin dan yatim piatu, di samping meningkatkan kesucian para anggotanya. Sebagai pengikat diri pada pilihan hidup mereka, para rohaniwan mengucapkan kaul prasetya sementara atau selamanya di hadapan pimpinan dan Tuhan, yakni janji selibat (tidak menikah), janji hidup miskin secara sukarela, dan janji patuh kepada kehendak Tuhan.
Konsili Vatikan II merumuskan bahwa mereka yang mengikrarkan
nasehat-nasehat Injil ini diharuskan untuk dapat mencari segala sesuatu dan
mencintai atas dasar Allah yang telah terlebih dahulu mencintai manusia (bdk
1 Yo 4:10). Pada segala situasi hendaknya mereka dapat mengembangkan
Keadaan inilah yang nantinya akan dapat mengalirkan desakan cinta kasih
kepada sesama demi penyelamatan dunia dan pembangunan Gereja. Cinta
kasih inilah yang menjiwai dan mengarahkan mereka pada pengamalan
nasehat-nasehat Injil.
Poerwadarminta (1987), kaum awam adalah sekelompok orang yang
merupakan orang kebanyakan, yaitu orang biasa yang bukan rohaniwan.
Kaum awam ini juga terdiri dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan
perempuan perbedaannya adalah mereka tidak memiliki sebutan khusus
seperti pada rohaniwan.
Kaum awam adalah semua orang beriman kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan iman atau status religius yang diakui dalam gereja. Jadi kaum kristiani yang berkat babtis telah menjadi anggota Tubuh Kristus terhimpun menjadi umat Allah dengan cara mereka sendiri. Taat mengemban tugas imamat, kenabian, dan ragawi Kristus dan dengan demikian sesuai dengan kemampuan mereka melakukan perutusan segenap umat kristiani dalam gereja dan dunia (Katekismus Gereja Katolik , 1995).
Sears (1991) mengatakan pembedaan kategori pria dan wanita
merupakan pembedaan individu berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin ini
merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial. Pembicaraan
tentang perbedaan jenis kelamin seringkali muncul dalam hubungannya
dengan sifat-sifat kepribadian umum yang merupakan kekhasan
masing jenis kelamin. Sifat-sifat kepribadian umum yang khas dari
masing-masing jenis kelamin inilah yang kemudian memberikan perbedaan tertentu
bagi keduanya di dalam strata kehidupan sosial. Salah satu bukti yang
menunjukkan perbedaan perolehan nilai pada pria dan wanita. Hasilnya adalah
pria lebih tinggi pada sifat-sifat yang berhubungan dengan kecakapan (seperti
kepemimpinan, objektivitas, dan kemandirian), sedangkan wanita untuk
sifat-sifat yang berhubungan dengan kehangatan dan kemampuan mengungkapkan
perasaan (seperti kelembutan dan kepekaan terhadap perasaan orang lain).
Individu yang telah menjadi rohaniwan merupakan individu-individu
yang berada pada usia perkembangan tahap dewasa awal ke atas, maka pada
penelitian ini lebih difokuskan pada subjek (baik imam/suster maupun kaum
awam) dengan rentang usia 26-39 tahun. Penentuan usia subjek dikaitkan
dengan usia minimal subjek yang memiliki peran rohaniwan berkaitan dengan
masa pendidikan yang harus mereka tempuh sebelum menyandang peran
sebagai imam/suster. Pemilihan rentang usia ini didasarkan pula atas teori
bahwa pada masa dewasa awal seorang individu memiliki tugas–tugas
perkembangan sosio-emosional antara lain adanya pernikahan dan keluarga,
dan peran sebagai orang tua. Tugas-tugas perkembangan ini berkaitan erat
dengan need for love and belongingness. Fase-fase yang akan muncul pada
tahap perkembangan ini adalah meninggalkan rumah dan menjadi orang
dewasa yang hidup sendiri, bergabung menjadi keluarga melalui pernikahan,
dan menjadi orang tua (Santrock, 2002). Ketika seseorang tidak mampu
melaksanakannya maka akan muncul hal–hal yang memicu munculnya rasa
frustasi seperti kesendirian. Santrock mengemukakan bahwa kesendirian
adalah awan hitam yang menutupi banyak sisi kehidupan individu, suatu hal
dewasa muda ini secara umum berusia antara 21 sampai dengan 39 tahun
dimana mereka mengalami masa transisi baik secara fisik, intelektual dan
peran sosial (Santrock, 2002).
Kesimpulan dari penjabaran di atas adalah rohaniwan adalah
orang-orang yang memilih cara hidup untuk mengejar kesucian dan sedapat mungkin
mengabdikan dirinya bagi kepentingan orang lain (dalam agama Katolik),
yang mana kehidupan mereka terikat pada kaul kemurnian, ketaatan dan
kemiskinan serta kaul-kaul lain serta sakramen tertentu sesuai dengan tarekat
ataupun konggregasinya masing-masing. Peran ini dipilih secara otonom oleh
individu itu sendiri demi pengabdian dan jiwa kerasulannya yang besar kepada
Kristus, mereka juga menjalani pendidikan khusus pada konggregasinya
masing-masing. Sedangkan kaum awam merupakan status bagi masyarakat
pada umumnya yang tidak menyandang peran rohaniwan siapapun dan apapun
profesinya. Pada penelitian ini dikhususkan pada kaum awam yang beragama
Katolik, dengan harapan bahwa mereka akan memiliki pandangan atau
minimal ajaran agama yang sama mengenai cinta dengan kaum rohaniwan.
B. NEED FOR LOVE AND BELONGINGNESS
1. Pengertian
Abraham Maslow, seorang ahli psikologi, membuat kerangka motif
manusia berdasarkan taraf kebutuhannya, mulai dari kebutuhan biologis
manusia yang dibawa sejak lahir, sampai dengan kebutuhan psikologis
yang paling kompleks yaitu aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut
yang paling tinggi. Maslow mengemukakan bahwa motif atau kebutuhan
tersebut akan menguasai tingkah laku manusia. Motif-motif yang berada di
atas biasanya akan mulai menguasai apabila kebutuhan di bawahnya telah
terpenuhi (Handoko, 1992).
Maslow merumuskan susunan hirarki yang menyebutkan lima
kebutuhan dimana masing-masing bersifat saling melengkapi satu dengan
yang lainnya (Kanuk, dalam Schiffman dan Kanuk, 2000). Kebutuhan–
kebutuhan tersebut diurutkan dalam bentuk piramid atau anak tangga
dimulai dari kebutuhan yang paling rendah tingkatannya. Maslow
mengatakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi akan cenderung muncul
ketika kebutuhan di bawahnya sudah terpenuhi.
Gambar 2. Diagram Kebutuhan Manusia
Ketika kebutuhan secara fisiologis dan rasa aman sudah dapat terpenuhi maka
akan muncul need for love and belongingness sebagai kebutuhan di tingkat
selanjutnya. Berbeda halnya dengan kebutuhan yang lainnya, secara umum
kebutuhan ini memiliki eksistensi lebih besar, kebutuhan ini akan menetap relatif
lebih lama dalam diri seseorang sampai tercapai kestabilan untuk mengasihi dan
menerima serta dikasihi dan diterima oleh orang lain (gambar 2). Kanuk (dalam
Sciffman dan Kanuk, 2000) memberikan contoh kategori kebutuhan ini antara
lain adalah cinta dan kasih sayang serta penerimaan. Maslow, berdasarkan hasil
penelitiannya di Amerika Serikat, menjelaskan bahwa mobilitas sosial yang tinggi
telah menjadi salah satu akibat dari kurang terpenuhinya need for love and
belongingness (Koswara, 1991). Selanjutnya Maslow dalam Koswara (1991) juga
menjabarkan bahwa need for love and belongingness yang tidak terpuaskan akan
mobilitas sosial yang
tinggi
munculnya masalah- masalah pribadi, keluarga, dan masyarakat.
kegagalan memuaskan
need for love and belongingness
Maslow memberikan pendapatnya bahwa manusia pada umumnya
mendambakan hubungan yang penuh kasih sayang dengan orang lain dan secara
khusus merupakan kebutuhan akan rasa memiliki di tengah kelompoknya, hal ini
dipengaruhi keberadaan manusia juga sebagai mahluk sosial. Keterpisahan atau
ketiadaan hubungan dengan orang lain akan mengakibatkan munculnya perasaan
kesepian, terasing, hampa, dan tak berdaya pada individu (Koswara, 1991). Tidak
terpenuhinya hubungan akrab antar individu juga akan menimbulkan perasaan
tertekan (baik disadari maupun tidak) dimana individu merasa ditolak dan
terkurung dalam dirinya sendiri, keadaan ini mampu menghisap semangat dan
memboroskan energi (Hulme, 2000). Kebutuhan-kebutuhan sosial yang memiliki
keterkaitan dengan need for love and belogingness antara lain adalah sebagai
a. Kebutuhan akan perasaan diterima oleh orang lain dimana dia hidup
dan bekerja.
b. Kebutuhan akan disayangi oleh teman-temannya dan orang lain
dimana dia hidup dan bekerja.
Maslow dalam Goble (1987) mengingatkan bahwa need for love and
belongingness disini janganlah dikacaukan dengan seks yang merupakan
kebutuhan fisiologis saja. Difokuskan disini need for love and
belongingness adalah suatu kebutuhan individu untuk mengasihi dan
menerima orang lain serta dikasihi dan diterima keberadaannya oleh orang
lain atau lingkungan hidupnya.
2. Sifat
Need for love and belongingness merupakan kebutuhan yang berkaitan
erat dengan kebutuhan afeksi/emosi seseorang. Albin (1986)
mengemukakan bahwa cinta merupakan emosi yang membawa
kebahagiaan terbesar dan perasaan puas yang sangat mendalam. Hal ini
menggambarkan bahwa cinta merupakan salah satu elemen penting dalam
kehidupan manusia terutama berkaitan dengan relasi individu terhadap
sesamanya atau hubungan sosial. Maslow juga menemukan bahwa tanpa
cinta pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang akan
terhambat (Goble, 1987). Pendapat dari Kraeng memperkuat hal ini
dengan mengemukakan bahwa tendensi dari tindakan cinta yang paling
fundamental adalah menghidupkan, mengembangkan, dan
Berdasarkan penjabarannya, need for love and belongingness bersifat
sangat penting di dalam kehidupan manusia. Ketidakberadaannya mampu
menghambat pertumbuhan dan perkembangan seseorang, sedangkan
keberadaannya mampu menghidupkan, mengembangkan, dan
menyempurnakan. Keadaan demikian menjadi salah satu alasan bahwa
kebutuhan ini seringkali menetap dalam waktu yang relatif lebih lama
dibandingkan dengan kebutuhan yang lain.
3. Karakteristik Need for Love and Belongingness
Need for love and belongingness mendorong individu untuk
membangun hubungan afektif dengan sesamanya. Keterpisahan dan
kehilangan akan mengakibatkan individu merasa kesepian dan tidak
berdaya. Kebutuhan ini akan terpenuhi dengan adanya hubungan yang
akrab dengan orang lain (Goble, 1987).
Roger mengemukakan beberapa karakteristik need for love and
belongingness yang disukai oleh Maslow, yaitu (Goble, 1987) :
a. Keadaan dimengerti secara mendalam
Keadaan dimana seseorang merasa dipahami sebagai individu dengan
sepenuhnya dengan segala karakter-karakter uniknya.
b. Diterima dengan sepenuh hati
Keadaan ketika seseorang mampu merasa diakui dan dihargai nilai-nilai
individualnya tanpa keterikatan emosional dari pihak lain, sehingga
karena lingkungan di sekitarnya mampu bersikap menerima
keberadaannya dengan baik.
Selanjutnya Maslow sendiri juga menunjukkan beberapa karakteristik
yang menggambarkan kebutuhan ini, yaitu (Goble, 1987) :
a. Saling percaya
Keadaan dimana kedua belah pihak yang berinteraksi memiliki
keyakinan dan pengertian yang kuat atas harapan dan pertimbangan nilai
satu sama lain.
b. Cinta yang memberi
Keadaan dimana manusia sebagai individu yang memiliki cinta atau
penuh dengan kasih sayang mampu mewujudnyatakannya dalam
interaksi dengan siapapun melalui berbagai bentuk sikap dan perilaku.
c. Cinta yang menerima
Keadaan dimana manusia sebagai individu yang membutuhkan cinta
mendapatkan cinta atau kasih sayang yang penuh dalam berbagai bentuk
oleh siapa pun di lingkungan hidupnya.
d. Tidak ada rasa takut
Keadaan dimana individu dapat merasa senang, tenang dan aman ketika
melakukan setiap perilaku dan dimanapun ia berada.
Need for love and belongingness yang dimaksudkan pada penelitian
berdasarkan penjabaran di atas merupakan kebutuhan afeksi yang
memiliki karakteristik dimana individu memiliki harapan untuk dimengerti
cinta yang memberi, cinta yang menerima, dan dalam keadaan tidak ada
rasa takut.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi need for love and belongingness
Perbedaan gender merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kebutuhan akan cinta (Dayakisni, 2006). Gender memiliki elemen yang
kompleks, yaitu segala sesuatu yang menyangkut jenis kelamin, peran,
tingkah laku, kecenderungan dan atribut yang lain (Baron & Byrne, 2003).
Berdasarkan penjabaran di atas dan penyesuaian dengan subjek penelitian
maka peneliti mengambil dua kategori faktor yang dapat mempengaruhi
kebutuhan akan cinta yaitu jenis kelamin dan peran.
a. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang berkaitan dengan
cinta. Menurut Dayakisni (2006) dalam bukunya dikatakan bahwa
terdapat stereotype perempuan lebih romantis daripada laki-laki,
namun terdapat pula hasil riset yang menunjukkan laki-laki memiliki
skor lebih tinggi daripada perempuan pada skala romantisme. Selain
itu dikatakan juga bahwa laki-laki dan perempuan memiliki reaksi
berbeda pada pemutusan hubungan, tidak dijelaskan lebih lanjut
mengenai bentuk perbedaannya. Hasil penelitian Hatfield dan Walster
(1978) pun menunjukan bahwa laki-laki tiga kali lebih mungkin untuk
bunuh diri setelah berakhirnya hubungan cinta (dalam Bringham,
Beberapa perbedaan yang antara laki-laki dan perempuan ini antara
lain bahwa kebanyakan perempuan merasa bahwa mereka memberikan
cinta yang diwarnai persahabatan kepada pasangan mereka lebih
banyak daripada yang mereka terima. Dalam hal berkomunikasi
laki-laki lebih bersedia untuk berbicara tentang pandangan politik dan
kebanggaan pada kekuatan mereka, sedangkan perempuan
mengungkapkan perasaannya tentang orang lain dan
ketakutan-ketakutan mereka (Traupman dan Hatfield dalam Bringham, 1991).
Perbedaan inipun tampak pada ekspresi cinta, perempuan dikatakan
lebih mengekspresikan kelembutan, ketakutan, dan kesedihan
sedangkan bagi pria pengendalian kemarahan adalah suatu orientasi
emosional yang umum (Cancian&Gordon, 1988 dalam Santrock,
2002). Beberapa penjelasan di atas kemudian menunjukkan bahwa
perbedaan jenis kelamin dapat mempengaruhi munculnya perbedaan
need for love and belongingness.
Elemen-elemen biologis, seperti hormon, dalam tubuh laki-laki dan
perempuan turut berperanan mempengaruhi setiap perilaku yang
muncul. Salah satu contoh konkritnya adalah ketidakstabilan emosi
yang sering dialami oleh perempuan ketika masa-masa menjelang
menstruasi. Ketidakstabilan ini dipengaruhi juga oleh ketidakstabilan
hormon di dalam tubuhnya. Selain itu terdapat perbedaan sifat-sifat
khas individu secara umum antara laki-laki dan perempuan dimana
sedangkan perempuan yang lemah-lembut, bijaksana, religius, peka
terhadap perasaan orang lain, mengungkapkan perasaan yang lembut,
tergantung, memiliki kebutuhan akan rasa aman yang besar.
Jenis kelamin yang dimaksudkan disini adalah pengkategorian
laki-laki dan perempuan dimana pembedaan ini muncul dari perbedaan
secara biologis, yang kemudian akan berpengaruh juga terhadap
perbedaan sikap, perilaku dan perlakuan di dalam kehidupan sosial.
b. Peran
Peran adalah harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsi di
tengah masyarakat. Peran menurut Boeree (2006) selalu hadir
berpasangan (rohaniwan-awam) yang mana masing-masing diharapkan
dapat memainkan perannya dengan baik. Agar suatu peran memiliki
makna maka individu harus memiliki serangkaian fungsi-fungsi
tertentu yaitu suatu manfaat/tugas di tengah-tengah masyarakat. Teori
peranan (role theory) mengakui bahwa faktor-faktor sosial memiliki
pengaruh pada tingkah laku individu dalam situasi yang berbeda.
Sedangkan peranan (dalam Dayakisni, 2006) adalah sekumpulan
tingkah laku yang dihubungkan dengan posisi tertentu (Sarbin&Allen,
1968 ; Biddle &Thomas, 1966). Teori peranan (Role Theory) yang
dikemukakan oleh Dayakisni mengatakan bahwa peranan yang
berbeda akan membuat jenis tingkah laku yang berbeda pula. Peran
seseorang tidak hanya menentukan perilaku, tetapi juga beliefs
teori ini adalah apabila kita memiliki informasi tentang role
expectations untuk suatu posisi tertentu, maka kita dapat meramalkan
bagian dari perilaku yang bermakna dari orang yang melaksanakan
posisi tersebut. Pada penelitian ini peran yang dimaksud adalah
sebagai rohaniwan dan awam.
Sehubungan dengan need for love and belongingness maka akan
ada perbedaan kebutuhan ini pada rohaniwan dan awam. Konsili
Vatikan II merumuskan bahwa ketika seseorang memilih peran sebagai
rohaniwan maka mereka harus mencari dan mencintai di atas
segalanya Allah yang telah lebih dahulu mencintai kita (bdk 1Yo
4:10), dan dalam segala situasi mereka mengembangkan kehidupan
yang tersembunyi bersama Kristus di dalam Allah (bdk Kol 3:3).
Berdasarkan hal-hal tersebut maka akan mengalir desakan cinta kasih
kepada sesama demi penyelamatan dunia dan pembangunan Gereja,
cinta kasih ini juga yang akan menjiwai dan mengarahkan pengamalan
nasehat-nasehat Injil. Para rohaniwan ini mendalami tugas tersebut
dengan tinggal dan bekerja bersama Yesus, serta bekerja seperti Yesus,
dimana nantinya akan memunculkan cinta bakti dan cinta yang
bijaksana dimana selanjutnya terwujud pada cinta agape.
Cinta agape ini tidak berarti menghapus cinta manusiawi manusia,
cinta ini justru meresapi dan memberi daya hidup serta orientasi
kepada cinta manusiawi sehingga manusia menjadi mampu
mewujudkan diri secara utuh melalui suatu proses menuju tujuan
tertentu. Cinta agape merupakan cinta murni yang tidak
mementingkan diri sendiri atau tidak mencari keuntungan diri sendiri
(1 Kor 13:5). Dalam perjalanan hidupnya diharapkan para rohaniwan
dapat mendalami dan menghayati cinta agape ini.
Pada kaum awam cinta yang tumbuh tidak terbatasi secara lebih
ketat pada arah tertentu seperti layaknya pada rohaniwan. Kaum awam,
terutama pada masa perkembangan dewasa awal, memasuki tugas–
tugas perkembangan antara lain berumah tangga. Memasuki awal masa
dewasa muda mereka mulai memasuki tahapan untuk hidup lebih
mandiri, kemudian dilanjutkan dengan mencari pasangan hidup dan
akhirnya berkeluarga. Mereka berpendapat bahwa lebih baik mencintai
dan kehilangan daripada tidak pernah mencintai sama sekali (Santrock,
2002). Mereka memiliki kebebasan yang lebih luas untuk mencintai
siapapun dan dalam bentuk apapun. Seperti dikemukakan Santrock
(2002) dalam bukunya bahwa kesendirian merupakan salah satu hal
dihindari dan hanya ingin dirasakan sedikit orang.
Penjabaran di atas menunjukkan bahwa akan ada perbedaan
kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness antara
seorang individu dimana di dalamnya terdapat harapan bersama yang
menyangkut fungsi-fungsinya di tengah masyarakat.
Need for love and belongingness adalah kebutuhan yang memiliki
eksistensi besar dan menetap dalam kurun waktu relatif lebih lama pada
individu, yang memiliki kategori akan cinta, kasih sayang dan penerimaan
dimana di dalamnya meliputi keadaan dimengerti secara mendalam, diterima
dengan sepenuh hati, saling percaya, cinta yang memberi, cinta yang
menerima, serta tidak akan ada rasa takut.
Beberapa karakteristik di atas akan menjadi aspek yang digunakan oleh
peneliti untuk mengukur skala need for love and belongingness pada
penelitian ini, antara lain :
1). keadaan dimengerti secara mendalam
2). diterima dengan sepenuh hati
3). saling percaya
4). cinta yang memberi
5). cinta yang menerima
6). tidak ada rasa takut.
C. PERBEDAAN KECENDERUNGAN ASPEK DOMINAN NEED FOR
LOVE AND BELONGINGNESS PADA ROHANIWAN DAN KAUM
AWAM
kebahagiaan terbesar dan perasaan puas yang sangat dalam, bahkan
kemudian Maslow menambahkan bahwa ketidakberadaan cinta akan mampu
menghambat pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang.
Pernyataan Freud juga mendukung hal di atas dimana ia mengatakan bahwa
cinta memiliki fungsi yang sangat penting bagi kesehatan mental dan fisik
(Mc.Clelland, 1985). Sedemikian pentingnya keberadaan cinta dalam
kehidupan manusia maka pembicaraan tentang cinta akan selalu ada dalam
rentang kehidupan manusia. Maslow mengkategorikan kebutuhan ini pada
need for love and belongingness.
Sehubungan dengan sifat unik dari individu maka masing-masing
individu pun akan memenuhi kebutuhan ini dengan cara uniknya sesuai
dengan perannya masing-masing. Salah satu peran yang muncul dalam
masyarakat, khususnya pada umat Katolik, adalah kaum rohaniwan.
Sebagaimana sifat peran yang selalu tampil berpasangan maka selain
rohaniwan juga akan ada awam.
Rohaniwan sebagaimana telah dijelaskan dalam definisinya memiliki
batasan-batasan hidup tertentu yang sesuai dengan aturan-aturan di dalam
biaranya masing-masing sesuai dengan ordo, tarekat, maupun
konggregasinya masing-masing. Salah satu ciri yang terlihat paling konkrit
dan mendasar, yang berbeda dengan awam-sehubungan dengan need for
love and belongingness, adalah status tidak menikah.
Individu pada masa perkembangan dewasa awal memiliki tugas-tugas
lain menikah, berumah-tangga, dan memiliki keturunan. Kaum awam pada
tahapan ini akan berusaha memenuhi need for love and belongingness
dengan memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut.
Keadaan tersebut berbeda dengan rohaniwan yang memiliki
batasan-batasan yang mutlak, akan tetapi batasan-batasan yang telah ada tidak membuat
mereka begitu saja kehilangan cinta. Hal ini berkaitan dengan inti pokok
mengenai manusia dimana ia diciptakan atas dasar cinta dan dalam cinta
untuk saling mencinta (Kraeng, 2000). Kraeng selanjutnya mengemukakan
bahwa manusia dapat mengarahkan seluruh kemampuannya melalui jalur
kesadarannya sendiri baik secara moral, sosial maupun spiritual menuju
puncak dari kesadaran itu sendiri, yaitu cinta. Pilihan hidup sebagai
rohaniwan membawa individu untuk lebih memfokuskan dirinya dalam
perjalanan bersama Yesus bahkan Allah sendiri dengan hidup dan bekerja
bersamaNya. Bentuk kehidupan yang demikian akan cenderung membawa
para rohaniwan pada bentuk cinta agape. Cinta agape merupakan cinta Ilahi,
cinta Allah sendiri yang senantiasa diarahkan kepada manusia, yang tidak
akan mungkin dapat dipahami dan dihayati serta diamalkan tanpa cinta
personal. Cinta personal yang dimaksudkan disini menurut Kraeng (2000)
adalah kesiapsediaan hati untuk menerima orang lain sebagaimana adanya,
yang merupakan penyerahan diri secara total, menghargai setiap
keunikannya. Makna teologis membawa rohaniwan pada kesepadanan arti
mengenal dan mencintai, dimana hal ini berarti menerima orang lain
perhatian pada nilai keseluruhan pribadi. Rohaniwan ini menjiwai Allah
sendiri sebagai pokok cinta yang menyentuh inti terdalam dari pribadi
manusia yaitu pada hatinya. Sehingga sebagai pribadi pencinta, sesuai
hakekat hidup manusia juga, mereka menjadi pribadi yang bisa memberi
semangat hidup kepada orang lain dengan cinta dan perhatiannya yang jujur
dan tulus iklhas. Karakteristik perbedaan peran di atas menunjukkan bahwa
akan ada kecenderungan rohaniwan lebih dominan pada indikator saling
percaya dan cinta yang memberi. Sedangkan pada awam lebih cenderung
dominan pada keadaan dimengerti secara mendalam, diterima dengan
sepenuh hati, cinta yang menerima, dan tidak ada rasa takut.
Elemen lain yang dapat mempengaruhi adanya perbedaan pada
kebutuhan ini adalah perbedaan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin
seperti telah dijelaskan di atas pembedaan individu berdasarkan ciri-ciri
biologis. Elemen-elemen biologis, seperti hormon, dalam tubuh laki-laki dan
perempuan turut berperanan mempengaruhi setiap perilaku yang muncul.
Salah satu contoh konkritnya adalah ketidakstabilan emosi yang sering
dialami oleh perempuan ketika masa-masa menjelang menstruasi.
Ketidakstabilan ini dipengaruhi juga oleh ketidakstabilan hormon di dalam
tubuhnya. Selain itu terdapat perbedaan sifat-sifat khas individu secara
umum antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki dikenal lebih agresif,
mandiri, tidak emosional, objektif, dll, sedangkan perempuan yang
lemah-lembut, bijaksana, religius, peka terhadap perasaan orang lain,
akan rasa aman yang besar. Perbedaan-perbedaan di atas mampu
menyiratkan bahwa kecenderungan perempuan akan lebih dominan pada
aspek keadaan diterima dengan sepenuh hati, cinta yang memberi dan
keadaan tidak ada rasa takut. Sedangkan pada laki-laki lebih dominan pada
keadaan dimengerti secara mendalam, saling percaya dan cinta yang
menerima.
Beberapa penjelasan mengenai perbedaan rohaniwan dan awam, baik
dari sudut pandang perbedaan peran maupun jenis kelamin lebih lanjut akan
dijadikan bahan penelitian oleh peneliti untuk mengetahui apakah
perbedaan-perbedaan tersebut (peran dan jenis kelamin) akan mempengaruhi
perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and belongingness
INDIVIDU
Masa dewasa awal
Latar belakang yang berbeda
Hidup komunitas dengan budaya yang berbeda Tuntutan sosial (norma)
Pendidikan
PERAN
ROHANIWAN KAUM AWAM
JENIS KELAMIN
Imam,Bruder/Frater Suster Laki-laki Perempuan (laki-laki) (perempuan)
? ? ? ?
Aspek-aspek Need for Love And Belongingness :
keadaan dimengerti secara mendalam diterima dengan sepenuh hati
D. HIPOTESIS
Berdasarkan penjabaran di atas maka hipotesis bagi penelitian ini yaitu :
1. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and
belongingness pada rohaniwan dan awam
2. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and
belongingness pada laki-laki dan perempuan
3. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and
belongingness pada rohaniwan laki-laki dan rohaniwan
perempuan.
4. Ada perbedaan kecenderungan aspek dominan need for love and
belongingness pada awam laki-laki dan awam perempuan.
Pada hipotesis penelitian ini perbedaan akan dilihat berdasarkan skor
dominan pada aspek-aspek yang akan dijabarkan berdasarkan data-data hasil
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian
untuk melihat perbedaan dengan cara membandingkan kecenderungan aspek
dominan need for love and belongingness (sebagai variabel tergantung) ditinjau
dari perbedaan peran dan jenis kelamin (sebagai variabel bebas).
B. Variabel Penelitian
Variabel penelitian adalah segala sesuatu yang akan menjadi obyek
pengamatan penelitian, juga bisa dikatakan sebagai faktor-faktor yang berperan
dalam peristiwa atau gejala yang akan diteliti. Menurut fungsinya dalam
penelitian, orang sering membedakan antara variabel tergantung dengan variabel
bebas. Variabel tergantung adalah variabel yang menjadi pusat persoalan,
sedangkan variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain atau
variabel tergantung.
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : a. peran
b. jenis kelamin
C. Definisi Operasional
1. Peran dan jenis kelamin
a. Peran
Peran adalah harapan bersama yang menyangkut fungsi-fungsi di
tengah masyarakat. Rohaniwan merupakan individu yang memiliki peran
sebagai pemuka agama-guru iman dalam agama Katolik dimana
kehidupan mereka terikat pada kaul kemurnian, ketaatan dan kemiskinan
serta kaul-kaul lain sesuai dengan tarekatnya masing-masing, yaitu para
suster, bruder dan imam. Peran ini dipilih secara otonom oleh individu itu
sendiri demi pengabdian dan jiwa kerasulannya yang besar kepada
Kristus, mereka juga menjalani pendidikan khusus. Sedangkan awam
merupakan peran bagi masyarakat pada umumnya yang tidak menyandang
status rohaniwan, siapapun dan apapun profesinya. Pada penelitian ini
dikhususkan pada awam yang beragama Katolik, dengan harapan bahwa
mereka akan memiliki pandangan atau minimal ajaran agama yang sama
mengenai cinta dengan para rohaniwan.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin adalah pembedaan kategori laki-laki dan perempuan
yang merupakan salah satu kategori dasar dalam kehidupan sosial.
hubungannya dengan sifat-sifat kepribadian umum yang muncul secara
khas pada masing-masing jenis kelamin.
2. Need for love and belongingness
Need for Love and Belongingness adalah kebutuhan individu untuk
mengasihi dan menerima orang lain serta dikasihi dan diterima keberadaannya
oleh orang lain atau lingkungan hidupnya. Perbedaan kecenderungan
dominasi pada aspek-aspek yang ada akan diukur menggunakan skala need
for Love and Belongingness dengan dasar teori Maslow, yaitu :
a. keadaan dimengerti secara mendalam
b. diterima dengan sepenuh hati
c. saling percaya
d. cinta yang memberi
e. cinta yang menerima
f. tidak ada rasa takut
Pengukuran skala ini didasarkan pada besarnya harapan yang
mencerminkan kebutuhan mereka. Apabila semakin besar harapan mereka
pada salah satu item maka mereka akan memiliki kecenderungan lebih untuk
memilih jawaban sangat setuju pada favorabel dan sangat tidak setuju pada
unfavorabel. Semakin dominan skor statistik yang diperoleh pada salah satu
aspek maka akan semakin dominan pula kecenderungan subjek pada aspek
D. Subjek Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan mengunakan
metode teknik sampling purposif (purposive sampling). Karakteristik subjek
antara lain :
1. Usia 26-39 tahun, individu berada pada tahap perkembangan dewasa
awal (Santrock, 1999) yang kemudian disesuaikan dengan usia minimal
rohaniwan ditinjau dari masa pendidikannya.
2. Beragama katolik, subjek penelitian akan memiliki ajaran yang sama
mengenai cinta dan kasih sayang.
3. Tidak/ belum menikah. Peran rohaniwan membawa konsekwensi
keadaan tidak menikah, mka pada subjek awam diambil subjek yang
memiliki kriteria belum menikah. Asumsinya status tidak/belum
menikah (yang kurang lebih hampir sama) akan mensejajarkan
keberadaan rohaniwan dan awam, sehingga kebutuhan,
harapan-harapan, maupun pengalaman dalam berelasi dalam kaitannya dengan
needfor love and belongingness akan kurang lebih sama.
4. Kedua jenis kelamin terwakili (laki-laki dan perempuan), baik pada
rohaniwan maupun awam. Rohaniwan laki-laki (28 subjek), rohaniwan
perempuan (28 subjek), awam laki-laki (28 subjek), dan awam
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode skala Need for
Love and Belongingness.
1. Skala Need for Love and Belongingness
Skala need for love and belongingness disusun dengan mengacu pada
aspek-aspek need for love and belongingness menurut Maslow. Aspek-aspek tersebut
adalah dimengerti secara mendalam, diterima dengan sepenuh hati, saling
percaya, cinta yang memberi, cinta yang menerima, dan keadaan tidak ada rasa
takut.
Skala need for love and belongingness akan memakai model penskalaan
Likert atau metode rating yang dijumlahkan (method of summated ratings) yaitu
metode penskalaan yang berorientasi pada respon (Goble dalam Azwar, 1999).
Setiap skala diberikan kategori empat jawaban. Masing-masing item akan diberi
penilaian 4, 3, 2, 1 untuk SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju),
STS (Sangat Tidak Setuju) untuk jawaban subjek pada item yang bersifat
favorabel. Sebaliknya, untuk pernyataan yang bersifat unfavorabel akan
digunakan penilaian 1, 2, 3, 4 untuk SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak
Setuju), STS (Sangat Tidak Setuju).
Skala ini berbentuk pernyataan yang dilengkapi dengan alternatif jawaban
dengan menggunakan model skala Likert yang telah dimodifikasi yaitu
meniadakan jawaban yang di tengah. Dasar pertimbangan yang dipergunakan
a.Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat
memutuskan atau memberi jawaban. Bias juga diartikan netral, setuju tidak,
tidak setuju juga tidak atau bahkan ragu-ragu
b.Tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderungan
menjawab ke tengah (central tendency effect)
c.Tersedianya jawaban yang di tengah akan menghilangkan banyak data
penelitian sehingga mengurangi informasi yang dapat dijaring dari responden.
(Hadi, 2000).
Guna mengungkapkan aspek-aspek tentang need for love and belongingness
maka dibuat pernyataan-pernyataan yang mengidentifikasikan aspek-aspek need
for love and belongingness. Pernyataan-pernyataan tersebut berbentuk
item-item yang bersifat favorabel dan unfavorabel. Item yang bersifat favorabel
adalah item yang mendukung atau menunjukkan ciri-ciri atribut yang akan
diukur. Sedangkan item yang bersifat unfavorabel adalah item yang tidak
mendukung atau tidak menunjukkan ciri-ciri atribut yang akan diukur.
Berdasarkan aspek-aspek need for love and belongingness tersebut, dibuat
60 item dengan spesifikasi 30 item bersifat favorabel dan 30 item bersifat
Tabel 1.
Penyebaran Item Need for Love and Belongingness
No. Aspek-aspek Indikator Favorabel item Unfavorabel item ∑
%
1 Keadaan dimengerti
secara mendalam
keadaan dimana seseorang merasa dipahami sebagai individu dengan sepenuhnya
dengan segala karakter-karakter uniknya.
24, 42, 45, 49, 55
20, 21, 44, 54,
58 10 16,67 2 Diterima dengan sepenuh hati
keadaan ketika seseorang mampu merasa diakui dan dihargai nilai-nilai individualnya tanpa keterikatan emosional
dari pihak lain
12, 27, 28, 34, 57
11, 16, 30, 31, 53
10 16,67
3
Saling percaya
keadaan dimana kedua belah pihak yang berinteraksi memiliki keyakinan dan pengertian
yang kuat atas harapan dan pertimbangan nilai
satu sama lain.
9, 25, 29, 35, 51
4, 8, 46, 50, 52
10 16,67
4
Cinta yang Memberi
keadaan dimana manusia sebagai individu yang memiliki cinta atau penuh
dengan kasih sayang mampu mewujudnyatakannya dalam interaksi dengan siapapun melalui berbagai
bentuk sikap dan perilaku
2, 13, 17, 18, 48
3, 14, 23, 26, 39
10 16,67
5
Cinta yang Menerima
keadaan dimana manusia sebagai individu yang
membutuhkan cinta mendapatkan cinta atau kasih sayang yang penuh dalam berbagai bentuk oleh
siapa pun di lingkungan hidupnya.
1, 6, 10, 15, 59
5, 22, 36, 47, 56
10 16,67
6
Tidak ada rasa takut
Keadaan dimana individu dapat merasa senang, tenang dan aman ketika melakukan setiap perilaku
dan dimanapun ia berada
7, 19, 33, 41, 60
32, 37, 38, 40, 43
10 16,67
2. Kelayakan Skala Need for Love and Belongingness
Alat ukur yang digunakan sebagai instrument penelitian harus
memiliki syarat-syarat tertentu agar dapat digunakan untuk mengungkap
fakta yang sebenarnya. Dua syarat di antaranya adalah alat ukur tersebut
harus valid dan reliabel. Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid
nantinya akan memberikan kesimpulan yang keliru dan menggambarkan
yang jauh berbeda dari keadaan sebenarnya (Azwar, 1997).
a. Analisis Item
Pengukuran validitas dilakukan dengan analisis butir menggunakan
teknik uji reliabilitas dan sekaligus uji validitas menggunakan
corrected item-total correlation. Teknik ini bertujuan untuk menguji
apakah tiap item atau butir pernyataan benar-benar mampu
mengungkapkan yang akan diukur atau konsistensi internal tiap item
alat ukur dalam mengukur semua faktor. Penghitungan ini dilakukan
dengan menggunakan komputer seri statistik program SPSS 13.00
Sebagai kriteria pemilihan item berdasar pada korelasi item total
biasanya digunakan batasan rix ≥ 0,30 (Azwar, 1999). Item yang
memiliki koefisien korelasi minimal 0,30 diinterpretasikan sebagai
item yang memiliki daya diskriminasi tinggi dan dianggap
memuaskan, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi kurang
dari 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya
b. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh
mana ketepatan dan kecermatan suatu instrument pengukur (tes) dalam
melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 1997). Suatu tes dapat dikatakan
mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan
fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat
sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Sebuah alat ukur
dikatakan valid bila mampu mengukur apa yang diinginkan (Arikunto,
2002).
Pengujian validitas menggunakan content validity dan face validity.
Content validity adalah validitas yang mempertanyakan bagaimana
kesesuaian antara instrumen dengan tujuan dan deskripsi bahan yang
diajarkan atau diskripsi masalah yang akan diteliti (mencakup
keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur). Penelaahan harus
dilakukan oleh orang yang berkompeten di bidang bersangkutan
dengan analisis rasional, atau dikenal dengan istilah penilaian oleh
ahlinya (expert judgement/professional judgement) (Azwar, 1997).
Face validity telah terpenuhi apabila penampilan tes telah meyakinkan
dan memberikan kesan mampu mengungkap atribut yang hendak
diukur. Skala psikologi ini diperiksa oleh Dosen Pembimbing
c. Reliabilitas
Reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya (Azwar, 1997). Teknik yang digunakan untuk mengetahui
reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan teknik statistika,
yaitu menggunakan rumus Alpha Cronbach.
α = ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡
−
∑
SD Y X SD k k 2 2 1 1Keterangan :
k = Jumlah aitem yang valid
∑SD²X = Jumlah varians butir
SD²Y = Varians total
Uji reliabilitas skala dalam pengukuran ini memakai teknik
formula Alpha dari program SPSS versi 13.00.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Membuat item-item skala Need for Love and Belongingness untuk diuji
cobakan pada kelompok uji coba yang memiliki karakteristik yang sama
dengan kelompok subjek sesungguhnya.
2. Melakukan uji coba.
3. Melakukan uji validit