• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang) SKRIPSI"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA PENGANGKATAN ANAK

(Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo

Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

FATKILATUL KASANAH

212-12-004

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)

NOTA PEMBIMBING

Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga Di Salatiga.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa:

Nama : Fatkilatul Kasanah NIM : 212-12-004

Judul : FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kabupaten Semarang)

Dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah.

Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Salatiga, 13 Maret 2017 Pembimbing,

(3)

NIP. 19731117 200003 2 002KEMENTERIAN

AGAMA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH

Jl. Nakula Sadewa V no.9 Telp (0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722 Website: www.iainsalatiga.ac.id E-mail : administrasi@iainsalatiga.ac.id

PENGESAHAN

Skripsi Berjudul:

FENOMENA PENGANGKATAN ANAK (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

Tahun 2017

Oleh: Fatkilatul Kasanah

NIM: 212-12-004

Telah dipertahankan di depan sidang munaqosyah skripsi Fakultas Syari’ah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Jum’at, 24 Maret 2017 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hukum Islam

Dewan Sidang Munaqosyah

Ketua Sidang : Muh. Khafidz, M.Ag. (...) Sekretaris Sidang : Evi Ariyani, M.H. (...) Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. Si. (...) Penguji II : Sukron Makmun, M. Si. (...)

(4)

Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP. 19670115 199803 2 002

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Fatkilatul Kasanah

NIM : 212-12-004

Jurusan : Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas : Syari’ah

Judul : Fenomena Pengangkatan Anak

(Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 10 Maret 2017 Yang menyatakan,

(5)

MOTTO

“ MAN JADDA WAJADA”

“Barang siapa yang bersungguh-sungguh, maka dia akan

mendapatkan apa yang di inginkannya”

Karena tidak ada hasil yang mengkhianati proses.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

Bapak dan Ibuku yang telah memberikan do’a, kasih

sayang dan dukungannya.

Suami dan putraku Zidane tercinta.

Adik-adikku tersayang (Lely dan Richa)

Untuk seluruh sahabat-sahabatku, terutama mahasiswa

Ahwal al-Syakhsiyyah non reguler 2012

Untuk teman-teman seperjuanganku, mahasiswa program

studi Ahwal al Syakhshiyyah IAIN Salatiga angkatan 2012

(6)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah membrikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Rasulullah SAW yang selalu kami harapkan syafa’atnya di yaumil qiyamah. Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan yang di miliki, sehingga bimbingan, arahan dan bantuan telah banyak diperoleh penulis dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Rahmat Hariyadi, M. Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

3. Dr. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing penulis dalam perkuliahan.

4. Evi Ariyani, S.H., M.H., selaku pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga dan ide-idenya guna membimbing penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Seluruh dosen dan staff IAIN Salatiga, terima kasih atas ilmu yang diberikan.

(7)

7. Suami dan putraku yang selalu memberikan semangat. 8. Teman-teman ahwal al-syakhsiyyah angkatan 2012.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan saatu persatu yang telah berperan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, sehingga masih banyak ditemui kekurangan dan ketidaksempurnaan.

Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan. Namun demikian sekecil apapun karya ini, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi ilmu yang berkah.

Teriring do’a dan harapan, semoga amal baik dan jasa semua pihak tersebut diatas akan mendapat balasan melimpah dari Allah SWT. Aamiin.

Wassalamu’alaikum wr. wb.

(8)

ABSTRAK

Kasanah, Fatkilatul. 2017. Fenomena Pengangkatan Anak (Studi Kasus di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang). Skripsi. Fakultas Syari’ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Evi Ariyani, S.H., M.H.

Kata Kunci: Prosedur dan Faktor Pengangkatan Anak

Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin memiliki keturunan. Akan tetapi tidak semua keinginan pasangan suami istri untuk memiliki keturunan ini menjadi kenyataan. Salah satu upaya yang dilakukan pasangan suami istri untuk mendapatkan anak yaitu dengan cara mengangkat anak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Prosedur pengangkatan anak, (2) faktor yang mempengaruhi pengangkatan anak, (3) Pandangan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Indonesia Tentang Prosedur Pengangkatan Anak.

Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) yang dilakukan di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Pelaksanaannya menggunakan metode dskriptif analisis yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu pengamatan, wawancara dan penelaahan dokumen.

(9)

DAFTAR ISI

SAMPUL

LEMBAR BERLOGO

JUDUL ... i

NOTA PEMBIMBING ...ii

PENGESAHAN KELULUSAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... .. 6

E. Telaah Pustaka ... 6

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan... 15

(10)

B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam ... 23

C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundangan. ...42

D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat ... ...52

E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Catatan Sipil ...60

BAB III PENGANGKATAN ANAK DI DUSUN DAWUNG DESA CANDIREJO KEC. PRINGAPUS KAB. SEMARANG A. Gambaran Umum ... 63

B. Profil Pasangan Suami Istri Pengangkatan Anak ... 68

C. Prosedur Pengangkatan Anak di Dusun Dawung ... 73

D. Faktor- Faktor Terjadinya Pengangkatan Anak ... 87

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG- UNDANGAN TENTANG PROSEDUR PENGANGKATAN ANAK A. Tinjauan Hukum Islam Tentang Prosedur dan Faktor Pengangkatan Anak ... 91

B. Tinjauan Perundang-undangan Tentang Prosedur dan Faktor Pengangkatan Anak ... 97

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 104

B. Saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1.

Permohonan Penunjukan Pembimbing Skripsi

2.

Permohonan Izin Penelitian

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam sebuah perkawinan, salah satu tujuannya yaitu ingin memiliki keturunan. Hal tersebut merupakan naluri manusia dan alamiah. Akan tetapi, keterbatasan manusia tentu tidak dapat melampaui kehendak Tuhan. Pembahasan mengenai perkawinan dalam hukum, baik hukum Islam maupun Undang-undang selalu dilengkapi dengan pembahasan mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap anak.

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Anak memiliki kedudukan yang istimewa dalam sebuah keluarga. Selain itu, anak merupakan potensi generasi muda penerus cita-cita bangsa dan kita wajib melindunginya.

Adanya keinginan manusia memiliki anak tetapi Tuhan tidak menghendaki merupakan sebuah kenyataan yang harus di hadapi oleh sebagian pasangan manusia. Pada umumnya, manusia tidak puas dengan apa yang dialaminya sehingga berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

(13)

Pengangkatan anak merupakan salah satu upaya perlindungan dan penyejahteraan anak baik untuk masa sekarang maupun masa depannya. Hal ini untuk menjamin hak anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang wajib di jamin, di lindungi dan di penuhi oleh orang tua, masyarakat, pemerintah dan negara.

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak diatur di dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:

...

(14)

Hal ini menunjukkan bahwa pengangkatan anak tidak boleh dijadikan anak kandung dengan alasan apapun. Orang tua angkat wajib memberitahukan tentang asal-usul si anak dan orang tua kandungnya serta pengangkatan anak tidak boleh memutus hubungan nasab antara anak yang di angkat dengan orang tua kandungnya.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tata cara pengangkatan anak telah diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan peraturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak. Peraturan pengangkatan anak khusus bagi warga negara Tionghoa (Cina) diatur dalam Staatsblaad 1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak. Pengangkatan anak dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada pasal 171 huruf H. Supaya mendapatkan kepastian hukum, pelaksanaan pengangkatan anak harus melalui Pengadilan Negeri diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 tahun 1983 jo SEMA No. 4 tahun 1989 jo SEMA No. 3 tahun 2005 tentang pengangkatan anak. Kemudian setelah berlakunya Undang-Undang No. 3 tahun 2006, membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani permohonan pengangkatan anak.

(15)

yang bersangkutan. Pada umumnya kebiasaan yang dilakukan adalah adanya persetujuan kedua belah pihak antara orang tua kandung dan orang tua yang mengangkatnya kemudian disaksikan oleh perangkat desa serta diadakan acara adat berupa selamatan. Dengan demikian pengangkatan anak telah resmi secara adat. Dengan terjadinya pengangkatan anak maka terjalin hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkat. Dengan demikian hubungan dengan orang tua kandung menjadi terputus.

Berdasarkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat, banyak dijumpai warga masyarakat yang melakukan pengangkatan anak tanpa melalui prosedur hukum (persidangan di pengadilan) akan tetapi mendapatkan akta kelahiran anak dengan status sebagai anak kandung. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hal tersebut dan ingin mengetahui lebih jauh alasan mereka mengangkat anak tanpa melalui persidangan dan bagaimana prosedur pengangkatan anak tersebut dalam masyarakat.

(16)

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, masalah-masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah prosedur pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang? 2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya

pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?

3. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan Indonesia tentang prosedur pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prosedur pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pengangkatan anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

(17)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk melatih kemampuan akademis sekaligus penerapan ilmu yang telah diperoleh selama kuliah;

b. Diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang mempunyai keterkaitan dengan masalah dalam penelitian ini.

2. Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan masyarakat dapat mengetahui dengan jelas bagaimana konsep Islam dan perundang-undangan mengenai anak angkat dan memberikan kontribusi dan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam memberikan perlindungan terhadap anak-anak terutama anak-anak angkat. Menyadarkan pelaku pengangkatan anak agar melaksanakan aturan sesuai aturan hukum yang berlaku.

E. Telaah Pustaka

(18)

disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca melihat dan membandingkan perbedaan teori yang digunakan dan perbedaan kesimpulan oleh penulis dan peneliti lain dalam melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.

Penelitian ini tentu bukan penelitian pertama mengenai pengangkatan anak yang terjadi di kehidupan masyarakat. Ada beberapa penelitian terkait dengan pengangkatan anak diantaranya telah dilakukan oleh mahasiswa fakultas Syari’ah, Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah IAIN Salatiga dengan fokus dan permasalahan yang berlainan.

Dalam penelitian lain yang berjudul Keabsahan Anak Menurut Hukum Perdata dan Akibat Hukumnya, Imam Mukhlis (2005) hanya menjelaskan tentang bukti keabsahan anak dengan akta yang diperoleh dari catatan sipil. Dalam penelitian tersebut Imam Mukhlis memberikan 3 rumusan masalah berupa: 1. Bagaimana ketentuan keabsahan anak dalam hukum Islam? 2. Bagaimana ketentuan keabsahan anak dalam hukum perdata? 3. Bagaimana akibat hukum dari kedua sebab hukum tersebut?

(19)

daftar catatansipil. Ketiga, akibat hukum dari kedua sebab hukum tersebut adalah bagi anak yang tidak sah jelas terkendala dengan hukum kewarisan dan perwalian.

Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini secara khusus membahas mengenai prosedur pengangkatan anak secara adat tanpa melalui proses persidangan. Mengingat bahwa pengangkatan anak ini pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dengan tetangganya sendiri tetapi tidak memiliki hubungan darah atau pertalian nasab.

Jadi, keunikan dari penelitian ini yaitu penulis ingin menggali lebih dalam bagaimana proses untuk mendapatkan akta kelahiran si anak tersebut. Mengingat bahwa dia (si anak) bukanlah anak kandung dari orang tua angkat tetapi bisa mendapatkan status anak kandung dalam akta kelahirannya.

F. Metode Penelitian

(20)

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian kualitatif lebih menekankan analisisnya pada proses penyimpulan deduktif dan induktif serta pada analisis terhadap dinamika hubungan antarfenomena yang diamati dengan menggunakan logika ilmiah (Azwar, 1997: 5).

Penelitian ini adalah studi kasus dengan metode deskriptif-analisis, yakni sebuah metode penelitian dimana peneliti menjelaskan objek yang diteliti (orang, lembaga dan lainnya) berdasarkan kenyataan yang didapatkan dari kasus-kasus di lapangan. Dalam penelitian ini ada 4 kasus pengangangkatan anak yang diteliti oleh penulis yang terdiri dari 4 pasangan suami istri.

2. Jenis Pendekatan

Jenis pendekatan pada penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif.

3. Kehadiran Peneliti

(21)

4. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di wilayah Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Penelitian ini mengambil lokasi tersebut karena peneliti mendapatkan informasi mengenai pengangkatan anak tanpa mengikuti prosedur hukum yang berlaku, sehingga peneliti dapat memperoleh data dan gambaran yang jelas sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu Fenomena Pengangkatan Anak di Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

5. Sumber Data

Data penelitian diperoleh dengan cara sebagai berikut: a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari informan melalui pengamatan dan wawancara.

Menurut Moleong (2006:157) data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan dengan mengadakan peninjauan langsung pada objek yang diteliti. Data ini didapat dari informan atau peristiwa-peristiwa yang diamati seperti wawancara, dokumentasi dan observasi.

b. Data Sekunder

(22)

yang bersumber dari al-Qur’an, al-Hadist, perundang-undangan, buku dan literatur yang ada kaitannya dengan materi yang diteliti. Al-Qur’an menjadi landasan utama teori dalam data sekunder ini. Disamping itu, data pustaka juga digali dari Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan aturan pelaksana berupa PP No.54 tahun 2007, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, buku-buku mengenai pengangkatan anak dan artikel-artikel dari website.

6. Teknik Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Observasi

(23)

“jrambah”. Mata pencaharian mereka adalah bertani bagi si suami sedangkan si istri mengurus rumah tangga, terkadang juga ikut membantu suami bertani.

b. Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan jalan tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis berlandaskan pada tujuan penelitian. Data diperoleh dengan mewawancarai masyarakat khususnya 4 pasangan suami istri yang melakukan pengangkatan anak serta mewawancarai perangkat desa setempat yakni Kepala Dusun Dawung dan Kepala Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang.

Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara mendalam (indept interviewing) secara tertutup karena informan tidak menghendaki identitas aslinya diketahui banyak orang.

Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara antara lain:

1. Menggunakan metode diskusi antara informan dan peneliti

(24)

3. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti

4. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari informan yang belum jelas

5. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti 6. Sebelum mengakhiri wawancara, peneliti kembali

menegaskan jawaban yang diberikan oleh informan 7. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar

mendapatkan data yang dianggap peneliti dapat mendukung penelitiannya.

7. Analisis Data

Setelah data dikumpulkan dengan lengkap, tahapan selanjutnya yaitu analisis data. Pada tahap ini data akan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga diperoleh kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Pada analisis data ini menggunakan cara deduktif sebagai berikut:

a. Reduksi Data

(25)

b. Sajian Data

Sajian data adalah suatu rangkaian informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat suatu penyajian data. Peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisis ataupun tindakan lain berdasarkan pengertian tersebut.

c. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan yaitu kesimpulan yang ditarik dari semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Pada dasarnya makna data harus diuji validitasnya supaya kesimpulan yang diambil menjadi lebih kokoh.

Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut: Langkah pertama adalah pengumpulan data, setelah data terkumpul kemudian data direduksi artinya diseleksi, disederhanakan, menimbang hal-hal yang tidak relevan, kemudian diadakan penyajian data yaitu rangkaian informasi atau data sehingga memungkinkan untuk ditarik kesimpulan. 8. Prosedur Penelitian

(26)

a. Tahap Pra Lapangan

Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mulai dari penentuan lokasi penelitian, peninjauan lokasi penelitian, pengurusan proposal dan pengurusan perizinan penelitian. b. Tahap Pelaksanaan Lapangan

Tahap ini dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan data lokasi penelitian dengan cara wawancara terhadap informan dan pelaku pengangkatan anak serta observasi. c. Tahap Analisis Data

Tahap ini dilakukan dengan menganalisis data, melakukan verifikasi dan pengayaan untuk selanjutnya merumuskan kesimpulan sebagai temuan penelitian

d. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian

Tahap ini dilakukan dengan menyusun laporan, memaparkan dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan menggunakan pendekatan yuridis normatif sehingga menjadi bentuk laporan penelitian yang ilmiah.

G.Sistematika Penulisan

(27)

BAB I pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II berisi tentang pengertian anak, konsep anak angkat menurut hukum Islam, perundang-undangan dan hukum adat, syarat dan tujuan pengangkatan anak, prosedur pengangkatan anak serta akibat hukum dari pengangkatan anak.

BAB III berisi tentang pemaparan seluruh hasil penelitian yang peneliti lakukan meliputi letak geografis, gambaran penduduk, kehidupan beragama, kondisi ekonomi sosial, profil pelaku pengangkatan anak serta proses pengangkatan anak.

BAB IV berisi tentang analisis hukum Islam dan perundang-undangan terhadap prosedur pengangkatan anak dan faktor-faktor pengangkatan anak.

(28)

BAB II

LANDASAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK

A. Pengertian Anak

1. Anak Menurut Islam, Perundang-Undangan dan Hukum Adat Dalam pandangan Islam, anak adalah keturunan yang lahir dari hubungan yang sah yaitu perkawinan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami istri.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.

Sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 330 dijelaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum dewasa yaitu belum genap berusia dua puluh satu tahun dan belum pernah kawin.

Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Kesejahteraan Anak No. 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

(29)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”.

Pengertian anak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam hukum adat anak merupakan ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan orang lain yang terikat dalam sebuah ikatan keluarga.

Berdasarkan jenisnya, anak dapat dibedakan menjadi dua: a. Anak kandung, yaitu anak yang lahir dalam suatu

perkawinan sehingga timbul hubungan hukum antara orang tua dengan anak baik dalam pemeliharaan atau harta kekayaan. Anak kandung akan menjadi ahli waris dari orang tuanya yang meninggal dunia.

b. Anak bukan kandung, yaitu anak yang tidak dilahirkan dari suatu perkawinan yang telah ada (pewaris), terdiri atas: 1) Anak angkat, yaitu anak orang lain yang diangkat

(30)

pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan keluarga atau orang tua kandungnya.

2) Anak piara, yaitu anak orang lain yang dipelihara baik dengan sukarela atau perjanjian. Anak piara tidak berhak menjadi ahli waris yang memeliharanya.

3) Anak gampang, yaitu anak yang dilahirkan tanpa ayah sehingga anak tersebut berhak menjadi ahli waris dari ibunya saja.

4) Anak tiri, yaitu anak yang dibawa oleh suami atau istri kedalam suatu perkawinan yang baru. Anak tiri hanya menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya saja.

2. Pengertian Pengangkatan Anak

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia secara terminologis pengertian anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri (Poerwadarminta, 1976: 38)

Pengertian anak angkat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menyatakan “Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasar putusan pengadilan”

Pengertian anak angkat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut:

(31)

atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kelingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Menurut Hilman Hadikusumo (1983: 149) “Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga”.

Mengenai pengertian anak angkat, ada pula yang mengartikan sebagai berikut:

Pertama, penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai anak orang lain kedalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua, tabanni (mengangkat anak secara mutlak) menurut syari’at adat dan kebiasaan pada manusia, memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak sah tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anaknya.

(32)

yang menjadikan seseorang yang sebenarnya orang lain bagi suatu keluarga menjadi salah seorang anggotanya”. Hal ini dikarenakan ia bebas saja berduaan dengan kaum perempuannya, dengan anggapan bahwa mereka adalah mahramnya. Padahal secara hukum mereka adalah orang lain baginya.

Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang haknya dialihkan dari lingkungan keluarga orang tua yang bertanggungjawab mengenai pendidikan dan pelayanan segala kebutuhan kepada orang tua yang mengangkatnya.

Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian pengangkatan anak. Menurut Surojo Wignjodipuro (1973: 123) sebagaimana telah dikutip Irma Setyowati Soemitro (1990: 33) menyatakan bahwa mengangkat anak atau adopsi adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

Adopsi dapat dibedakan menjadi dua macam:

(33)

b. Adopsi tidak langsung, yaitu adopsi yang dilakukan ketika seseorang kawin atau mengawinkan kemudian ia mengangkat anak atau anak tirinya atau anak mantunya sebagai anak sendiri.

Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan mengangkat anak yang dijadikan anak sendiri atau mengangkat seseorang dalam kedudukan tertentu yang menyebabkan timbulnya hubungan yang seolah-olah didasarkan pada faktor hubungan darah. Adopsi harus dibedakan dengan pengangkatan anak dengan tujuan semata-mata untuk pemeliharaan anak saja (Soekanto, 1980: 52).

Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan:

Pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang -undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang sedemikian itu ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk dapat benar-benar menjamin kesejahteraan bagi anak (Zaini, 1999: 5).

(34)

pengangkatan anak adalah timbulnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua yang mengangkatnya yang sama hubungannya dengan orang tua anak kandung. Akibat pengangkatan tersebut timbullah hak dan kewajiban timbal balik antara anak angkat dan orang tua angkat tersebut. Orang tua angkat berhak untuk menyuruh anaknya untuk melakukan segala sesuatu yang dikehendakinya dan ia pun berkewajiban untuk memelihara anak tersebut sampai dia besar. Sebaliknya, si anak disamping berhak atas pemeliharaan yang ditanggung oleh orang tuanya, diapun berkewajiban pula untuk taat dan patuh kepada orang tua angkatnya dan memelihara orang tua tersebut hingga hari tuanya sampai mereka meninggal dunia.

Dari pengertian pengangkatan anak diatas, dapat dikatakan bahwa dalam pengangkatan anak terjadi perpindahan anak orang lain kedalam satu keluarga yang mengangkatnya beserta hak dan kewajibannya seperti halnya anak kandung sendiri yang juga berhak mendapat warisan dari orang tua kandungnya.

B. Konsep Pengangkatan Anak dalam Islam

1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Islam

(35)

a. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang pertama dan utama yang memuat kaidah-kaidah hukum yang fundamental (asasi).

Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya tidak memberikan makna apapun. Hanya sebuah ucapan yang mungkin menggeser realitas yang ada, tidak mendekatkan yang jauh dan tidak pula menjadikan orang asing sebagai keluarga dan dapat mengubah status anak. Hal ini diperjelas dengan firman Allah SWT surat Al-Ahzab ayat 4-5, yaitu:

...

...dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu menjadi anak kandungmu (sendiri) yang demikian itu hanyalah perkataan di mulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar.

(36)

saudara-saudaramu dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa bagimu terhadap apa yang khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Halal Haram dalam Islam (2000:319) Sistem adopsi yang dihapuskan Islam yaitu adopsi yang menjadikan seseorang menjadi anak secara hukum, padahal diketahui bahwa sesungguhnya ia bukanlah anak sendiri namun dinisbatkan pada keturunan dan keluarganya. Bahkan dikukuhkan oleh hukum yang mengatur tentang anak, dengan menetapkan berbagai dampaknya, seperti dibolehkannya bercampur baur, haram dinikahi juga hak-hak pewarisan.

b. Al-Hadist

(37)

Dalam sebuah hadist yang terdapat dalam bukunya Yusuf Qardhawi yang berjudul Halal Haram dalam Islam (2000: 321) bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ﮫﯿﺑا ﺮﯿﻏ ﻰﻟا ﻰﻋّدا ﻦﻣ

ﷲ ﺔﻨﻌﻟ ﮫﯾﺎﻌﻓ ﮫﯿﻟاﻮﻣ ﺮﯿﻏ ﻰّﻟﻮﺗ وا

.ﻦﯿﻌﻤﺟا سﺎّﻨﻟاو ﺔﻜﺋﻼﻤﻟاو

“Barang siapa mengaku sebagai ayah selain ayahnya, atau menisbatkan diri kepada selain walinya, ia mendapat laknat Allah, malaikat dan seluruh umat manusia” (HR. Bukhori Muslim)

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:

.ﮫﯿﺑا ﺮﯿﻏ ﮫّﻧا ﻢﻠﻌﯾ ﻮھو ﮫﯿﺑا ﺮﯿﻏ ﻰﻟا ﻰﻋّدا ﻦﻣ

“Barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain bapaknya, padahal ia tahu kalau ia bukan bapaknya, maka surga diharamkan baginya” (HR. Bukhori Muslim)

(38)

sebagai anaknya dalam hal pemeliharaan, kasih sayang ataupun pendidikanya. Dia diasuh, diberi makan, pakaian, dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri. Namun demikian, pengangkatannya tidak menisbatkan kepada dirinya dan tidak pula mengukuhkan hukum anak tersebut sebagaimana anaknya sendiri.

Ini merupakan suatu cara yang terpuji dalam pandangan Islam, barang siapa yang melakukannya maka surga menjadi balasannya. Seperti yang disabdakan Rasulullah SAW dalam hadistnya:

ﺎﻧا

رﺎﺷاو ) اﺬﻜھ ﺔّﻨﺠﻟا ﻰﻓ ﻢﯿﺘﯿﻟا ﻞﻓﺎﻛو

جّﺮﻓو ﻰﻄﺳﻮﻟاو ﺔﺑﺎﺒﺴﻟا

(ﺎﺌﯿﺷ ﺎﻤﮭﻨﯿﺑ

“Aku dan penyantun anak yatim di surga seperti ini” beliau memberi isyarat dengan jari tengah dan telunjuknya sambil menggerak-gerakkannya ( HR. Bukhori, Abu Daud dan Turmudzi).

(39)

maksimal sepertiga dari peninggalannya untuk anak yang disantuninya.

c. Ijma’

Ijma’ adalah persetujuan atau kesesuaian pendapat para ahli mengenai suatu masalah pada suatu tempat di suatu masa.

Pendapat Majelis Ulama Indonesia yang dituangkan dalam Surat Nomor U-335/MUI/VI/tanggal 18 Sya’ban 1402 H/ 10 Juni 1982 yang ditandatangani oleh ketua umum K.H. M. Syukeri Ghazali didalam bukunya Muderis Zaini yang berjudul Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum (1999: 57) adalah sebagai berikut:

1.) Pengangkatan anak yang tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja menurut hukum Islam

2.) Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat (adopsi) oleh Ayah atau Ibu yang beragama Islam supaya keIslamannya ada jaminan terpelihara. 3.) Pengangkatan anak angkat tidak akan mengakibatkan hak

(40)

hendaknya dilakukan pada waktu masih hidup sebagai hibah biasa.

4.) Adapun pengangkatan anak yang dilarang adalah pengangkatan anak oleh orang-orang yang berbeda agama dan pengangkatan anak Indonesia yang dilakukan oleh warga negara asing karena biasanya berlatar belakang sama seperti diatas (beda agama).

d. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-sunnah dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan as-sunnah karena persamaan penyebab dan alasannya.

Penerapan hukum Islam mengenai masalah adopsi salah satunya dapat dilihat dari rumusan team Pengkajian Bidang Hukum Islam pada Pembinaaan Hukum Nasional dalam seminar evaluasi pengkajian hukum 1980/1981 di Jakarta yang mengusulkan pokok-pokok pikiran sebagai bahan menyusun RUU tentang anak angkat yang dipandang dari sudut hukum Islam sebagai berikut:

(41)

2.) Ketentuan mengenai pengangkatan anak perlu diatur dengan Undang-Undang yang memadai.

3.) Istilah yang dipergunakan hendaknya disatukan dalam perkataan pengangkatan anak dengan berusaha meniadakan istilah-istilah lain.

4.) Pengangkatan anak tidak menjadikan putusnya hubungan darah antara anak angkat dengan orang tuanya dan keluaraga orang tua anak yang bersangkutan.

5.) Hubungan mengangkat dianjurkan dalam hubungan hibah dan wasiat.

6.) Dalam melanjutkan kenyataan yang terdapat di masyarakat hukum adat kita, mengenai pengangkatan anak hendaknya diusahakan agar tidak berlawanan dengan hukum agama.

7.) Hendaknya diberikan pembatas yang lebih ketat dalam pengangkatan anak yang dilakukan oleh warga asing. 8.) Pengangkatan anak oleh orang yang berlaianan agama

tidak dibenarkan (Muderis Zaini, 1999: 58).

(42)

pemeliharaan, pemberian bantuan yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat, atau bisa saja sebaliknya menjadi haram atau dilarang yaitu pengangkatan anak dengan memberi status yang sama dengan anak kandung sendiri dan memutus hubungan kekeluargaan dengan keluarga kandung anak angkat (Zaini, 1999: 58).

2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Islam

Menurut hukum Islam, pengangkatan anak dapat dibenarkan apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua biologisnya dan keluarganya

b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya. Demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.

c. Anak angkat tidak diperbolehkan menggunakan nama orang tua angkatnya secara langsung, kecuali sekedar sebagai pengenal atau alamat.

(43)

Dari ketentuan tersebut bahwa prinsip mengangkat anak dalam Islam hanyalah bersifat pengasuhan atau pemeliharaan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Ini merupakan motivasi yang dapat dibenarkan dan salah satu jalan yang positif serta manusiawi terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-tahun belum dikaruniai anak.

Selain itu juga bertujuan untuk menambah jumlah keluarga dengan maksud agar si anak angkat mendapat pendidikan yang baik untuk mempererat hubungan keluarga. Disisi lain juga merupakan suatu kewajiban bagi orang yang mampu terhadap anak yang tidak memiliki orang tua, sebagai misi kemanusiaan dan pengamalan ajaran agama.

3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak dalam Islam

Sebelum Islam datang, pemungutan anak telah banyak dijumpai dikalangan bangsa Arab. Pemungutan anak ini diartikan sebagai pengangkatan anak orang lain dengan status sebagai anak kandung.

(44)

Haritsah dalam status budak hadiah dari Khadijah Binti Khuwailid. Dihadapan kaum Quraisy Nabi Muhammad berkata, “Saksikanlah olehmu bahwa Zayd kuangkat menjadi anak angkatku, ia mewarisiku dan aku mewarisinya”.

Beberapa waktu kemudian, setelah diutus menjadi rasul turunlah wahyu al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang menjelaskan hal tersebut. Ayat ini menerangkan kasus Zayd dan menjelaskan bahwa:

a. Pengangkatan anak dalam tradisi zaman jahiliyyah yang memberi status kepada anak angkat sama dengan anak kandung tidak dibenarkan dalam Islam.

b. Hubungan antara anak angkat, orang tua angkat dan keluarga anak yang diangkat tetap seperti sebelum pengangkatan yang tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan.

(45)

Peradilan Agama, semakin jelas bahwa pengangkatan anak bagi yang beragama Islam ditujukan ke Pengadilan Agama, sedangkan yang non muslim ke Pengadilan Negeri.

Adapun akibat hukum pengangkatan anak dalam Islam yaitu:

a. Kewarisan

Ada tiga faktor yang menyebabkan seseorang saling mewarisi dalam Islam yaitu karena hubungan kekerabatan atau keturunan hasil perkawinan, karena hubungan perwalian antara hamba sahaya dengan wali yang memerdekakannya dan karena saling tolong menolong antara seseorang dengan orang yang diwarisinya semasa hidupnya. Sedangkan anak angkat tidak termasuk dalam tiga kategori tersebut, dengan demikian tidak mengurangi hak anak kandung dalam hal pewarisan

Hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

(46)

wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya baik dalam hubungan antara mereka dengan merka, atau mereka dengan pihak ketiga.

Sehubungan dengan itu, Prof. Muhammad Amin Summa (2005: 108) merumuskan sebagai berikut: “Hukum waris adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masing-masing ahli waris, dan mengatur kapan waktu pembagian harta kekayaan pewaris itu dilaksanakan”. Definisi ini terutama diilhami oleh isi kandungan surat An-nisa’.

Dalam Islam pengangkatan anak tidak mengakibatkan pada pewarisan terhadap anak angkat tersebut, sebab anak angkat tidak berubah statusnya menjadi anak kandung. Dia tetap mewaris kepada orang tua kandungnya..

(47)

(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3dari harta wasiat anak angkatnya.

(2) terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Berdasarkan pasal ini harta warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai aturan warisan biasa yaitu dibagi-bagikan kepada orang yang mempunyai pertalian darah (kerabat) yang menjadi ahli warisnya. Berdasarkan aturan ini orang tua angkat atau anak angkat tidak akan memperoleh harta kewarisan karena dia bukan ahli waris. Menurut KHI, orang tua angkat tersebut dianggap telah meninggalkan wasiat (wasiat wajibah) maksimal sebanyak sepertiga harta untuk anak angkatnya, atau sebaliknya. Dengan demikian sebelum pembagian warisan kepada para pihak yang berhak, wasiat ini harus ditunaikan terlebih dahulu.

(48)

Al-Qur’an secara tegas menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah berkembang di adat masyarakat arab waktu itu dengan hubungan karena pertalian darah. Karena secara tegas al-Qur’an telah menolaknya, maka pembahasan di dalam fiqh cenderung terabaikan. Pengangkatan anak dianggap sebagai perbuatan yang tidak sah secara hukum dan karena itu anak angkat tetap sebagai orang asing yang tidak mempunyai hubungan hukum dengan orang tua angkatnya.

(49)

b. Kemahraman

Mahram adalah orang yang tidak halal untuk dinikahi dan tidak membatalkan wudlu jika bersentuhan kulit. Sedangkan anak angkat bukanlah mahram, sehingga wajib bagi orang tua angkatnya maupun anak kandungnya menutup aurat di depan anak angkat tersebut.

Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 23:

(50)

sudah kamu ceraikan) maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara kecuali yang telah terjadi di masa lampau, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.

Tentang siapa saja yang menjadi mahram, para Ulama’ membagi menjadi dua klasifikasi yaitu mahram yang bersifat abadi dan mahram yang bersifat sementara (bisa menjadi tidak mahram terkait tindakan-tindakan syari’ah yang terjadi). Mahram yang bersifat abadi ini berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi tiga:

Mahram karena nasab:

1). Ibu kandung dan seterusnya keatas 2). Anak wanita dan seterusnya kebawah 3). Saudara kandung wanita

4). Bibi dari ayah 5). Bibi dari ibu 6). Bibi dari ibu

7). Anak wanita dari saudara laki-laki 8). Anak wanita dari saudara wanita

Mahram karena mushaharah atau sebab pernikahan: 1). Ibu dari istri (mertua)

(51)

Mahram karena persusuan: 1). Ibu yang menyusui

2). Saudara wanita sepersusuan

Kemahraman yang bersifat sementara contohnya adalah suadara ipar atau saudara wanita dari istri dan bibi dari istri, tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Namun jika hubungan suami-istri sudah selesai baik karena meninggal atau bercerai, maka ipar atau bibi yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi.

Karena anak angkat tidak bisa menjadi mahram, diperbolehkan bagi ayah angkatnya menikahi mantan istri anak angkatnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt surat Al- Ahzab ayat 37 yang mengisahkan Rasulullah menikahi Zainab binti Jahsy yang tidak lain adalah mantan istri Zayd bin Haritsah (anak angkat Rasulullah).

(52)

dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[1219] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

Pengertian perwalian dalam terminologi para fuqaha (pakar hukum Islam) seperti yang diformulasikan Wahbah Al-Zuhayli (1989: 186) ialah “Kekuasaan/ otoritas (yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat) atas seizin orang lain”.

Dalam literatur fiqih Islam, perwalian disebut dengan al-walayah yang berarti mengurus atau mengurusi sesuatu. Sedangkan al-wali yaitu orang yang mempunyai kekuasaan (summa, 2005: 134).

Orang yang mengurusi/ menguasai sesuatu (akad/transaksi), disebut wali. Seperti penggalan ayat dalam surat Al-Baqarah ayat 282: Falyumlil waliyyuhu bil ‘adl

(53)

dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang yang mengurus perkara orang lain.

Atas dasar pengertian semantik kata wali di atas, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan anaknya adalah ayah. Alasannya karena ayah adalah orang yang paling dekat dan siap menolong bahkan yang selama ini mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak ada ayahnya, barulah hak perwaliannya digantikan oleh keluarga dekat lainnya dari pihak ayah sebagaimana dibahas tuntas dalam buku-buku fiqih.

(54)

C. Konsep Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan

1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Perundang-Undangan Pengangkatan anak merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap anak, oleh karena itu dalam pengangkatan anak maka anak angkat harus mendapat kepastian hukum agar terjamin hak-haknya. Anak angkat bisa mendapatkan kepastian hukum setelah adanya penetapan dari putusan pengadilan.

Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, pengangkatan anak diatur dalam pasal 12 yang selengkapnya berbunyi:

a. Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kesejahteraan anak b. Kepentingan kesejateraaan anak yang termaksud dalam

ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah c. Pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak

yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(55)

dan ayat (5) disisipkan satu ayat yakni ayat (4a), sehingga pasal 39 selengkapnya berbunyi berikut:

1.) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.

2a. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicatatkan dalam akta kelahiran, dengan tidak menghilangkan identitas awal anak.

3.) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat.

4.) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

4a. Dalam hal anak tidak diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (4).

(56)

2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Perundang-undangan.

Dalam ketentuan PP No. 54 Tahun 2007 pasal 12 tentang pelaksanaan pengangkatan anak disebutkan bahwa syarat anak yang akan diangkat, meliputi:

a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan

c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak dan

d. memerlukan perlindungan khusus

Berkaitan usia si anak angkat, ada beberapa pembagian meliputi:

a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakn prioritas utama

b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak, dan

c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

Sedangkan calon orang tua angkat dalam ketentuan PP No. 54 tahun 2007 pasal 13 harus memenuhi syarat-syarat:

(57)

b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun

c. beragama sama dengan agama calon si anak angkat

d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan

e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun f. tidak merupakan pasangan sejenis

g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak

h. keadaan mampu ekonomi dan sosial

i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak

j. dalam akta kelahiran tercantum nama orang tua kandung bukan nama calon orang tua angkat.

k. Surat penyerahan anak dari ibu kandung atau wali kepada calon orang tua angkat.

l. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan yang terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak

(58)

n. membuat pernyataan tertulis bermaterai bahwa COTA akan memberitahukan asal usul anak kandungnya dan orang tua kandungnya melihat kesiapan anak.

o. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat atau surat keterangan COTA mengenai kronologis anak hingga berada dalam asuhannya.

p. Surat pernyataan dan jaminan COTA bermaterai bahwa seluruh dokumen yang diajukan adalah sah dan sesuai fakta yang sebenarnya.

q. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan sejak izin pengasuhan diberikan, dan

r. memperoleh izin menteri dan/ atau kepala instansi sosial propinsi.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak berdasarkan adat kebiasaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(59)

tanggung jawab orang tua kandung beralih kepada orang tua yang mengangkatnya. Sedangkan dalam putusan Pengadilan Agama, tidak semua tanggung jawab orang tua kandung beralih kepada orang tua yang mengangkatnya.

Dengan demikian, pengangkatan anak di Indonesia dapat diakasanakan menurut adat dan kebiasaan dan perundang-undangan yang berlaku, semuanya berkekuatan hukum sama dan dilakukan demi kepentingan yang terbaik bagi anak angkat.

3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut Perundang-Undangan

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pasal 20 ayat:

(1) Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan

(2) pengadilan menyampaikan salinan penetapan pengangkatan anak ke instansi terkait.

Tata Cara Pengangkatan Anak

(60)

dahulu mengajukan permohonan atau pengesahan di pengadilan yang berwenang dimana anak itu berada.

Adapun syarat formilnya yaitu:

a. Bentuk permohonan bisa secara tertulis atau lisan kemudian diajukan ke panitera.

b. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya

c. Permohonan ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal anak yang akan diangkat.

Adapun mengenai isi permohonan yang dapat diajukan adalah:

a. Motivasi mengangkat anak, semata-mata berkaitan dengan masa depan anak tersebut.

b. Penggambaran kemungkinan kehidupan anak tersebut di masa yang akan datang.

Karena putusan yang dimintakan ke pengadilan bersifat tunggal, maka ada beberapa hal yang dilarang dalam permohonan yaitu:

(61)

b. Pernyataan bahwa anak tersebut juga akan menjadi ahli warisnya.

Setelah permohonan disetujui Pengadilan dan mendapatkan Keputusan Pengadilan mengenai pengangkatan anak, langkah selanjutnya yaitu membawa salinan tersebut ke kantor Catatan Sipil untuk menambahkan dalam akta kelahirannya. Dalam akta tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan didalam tambahan disebutkan nama orang tua angkatnya.

Jadi berdasarkan Peraturan Pemerintah tersebut diatas, dalam menjamin kepastian hukum anak angkat maka prosedur pengangkatan anak yang baik dan benar haruslah diajukan ke pengadilan yang berwenang untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan. Setelah mendapatkan putusan penetapan dari pengadilan maka status anak menjadi jelas dan sah serta berkekuatan hukum pasti.

(62)

perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran yaitu antara orang tua kandung dengan anak tersebut.

Dalam pasal 852 KUHPerdata, anak angkat tidak menjadi pewaris sebagaimana bunyi pasal tersebut:

Anak-anak atau keturunan-keturunan sekalipun dilahirkan dari berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan orang tua mereka atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis ke atas tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri, mereka mewarisi pancang demi pancangjika merka semua atau sebagian mereka mewarisi sebagai pengganti.

Dalam pengangkatan anak dengan akibat dalam hukum kewarisan, anak angkat ikut menjadi ahli waris karena sudah dianggap sebagai anak. Bahkan ia juga menjadi hajib (penghalang), sehingga kerabat yang asli justru tidak mendapat jatah warisan karena terhalang olehnya. Padahal jika tidak ada dia, tentu mereka mendapat bagian.

Ketentuan mengenai perwalian juga diatur dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50 menyatakan:

(63)

2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Dalam BW (Burgerlijk Wetboek), perwalian diatur dalam pasal 331 sampai dengan pasal 344. Pada setiap perwalian hanya boleh ada satu orang wali saja (pasal 331 BW).

D. Konsep Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

1. Pengertian Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada hubungan darah antara seseorang dengan yang lain. Keturunan merupakan unsur yang hakiki serta mutlak bagi suatu klan, suku ataupun kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, yang menghendaki supaya ada generasi penerusnya. Oleh karena itu, apabila ada suatu klan, suku ataupun kerabat yang khawatir akan mengahadapi kepunahan klan, suku atau kerabat pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk menghindari kepunahannya.

Secara garis besar di Indonesia pengangkatan anak atau adopsi menurut hukum adat dapat digolongkan dalam dua macam adopsi:

a. Adopsi umum, maksudnya mengangkat anak dengan cara:

(64)

2) Terang saja, pelaksanaan pengangkatan anak disaksikan oleh Kepala Desa

3) Tunai saja, pelaksanaan pengangkatan anak dengan pembayaran benda-benda magis sebagai gantinya

4) Tidak terang dan tidak tunai, pelaksanaan pengangkatan anak tanpakesaksian dan pembayaran. b. Adopsi khusus yang antara lain mencakup:

1) Mengangkat orang lain (luar) menjadi warga suatu clan

2) Mengangkat anak tiri menjadi anak kandung

3) Pengangkatan derajat anak (Soerjono Soekanto, 1980: 52).

Dari berbagai macam adopsi yang dikenal di Indonesia, mempunyai akibat hukum yang berbeda karena setiap daerah mempunyai kebiasaan yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Demikian pula akibatnya dalam bidang waris, anak angkat di Indonesia tidak selamanya mempunyai hak untuk mewarisi seluruh kekayaan orang tua angkatnya.

(65)

adalah anak-anak saudaranya yang perempuan dan sekandung, maka tidak terjadi pengangkatan anak. Sedangkan di daerah yang mengikuti garis keibuan atau kebapakan (parental) pada umumnya ditujukan pada keponakannya sendiri meskipun ada juga yang mengangkat anak bukan dari keponakan atau famili.

Adapun alasan pengangkatan anak ditujukan pada keponakannya sendiri yaitu:

a. Untuk memperkuat tali kekeluargaan dengan orang tua angkat.

b. Untuk menolong anak yang diangkat atau berdasakan atas dasar belas kasihan

c. Untuk mendapatkan anak laki-laki yang dapat membantu pekerjaan dirumah sehari-hari.

d. Sebagai pancingan untuk mempunyai anak (Muderis Zaini, 1999: 65).

Pengangkatan anak menurut adat dapat dilihat sebagai berikut:

(66)

mengangkatnya dan terputus hak warisnya dengan kerabat yang lama, seperti di Bali.

Di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada hubungan waris dengan orang tua kandung dan keluarganya. Orang tua angkat dan keluarganya tidak berhak menjadi orang tua angkat, tetapi si anak bisa diberi hibah dan wasiat. Praktek hukum keluarga atau hukum waris semacam ini di Sulawesi Selatan adalah akibat pengaruh Islam yang cukup kuat di daerah ini.

(67)

2. Syarat dan Tujuan Pengangkatan Anak dalam Hukum Adat

Secara garis besar dari berbagai macam cara pengangkatan anak yang dikenal di Indonesia dapat disimpulkan sebagai alasannya antara lain:

1) Karena tidak mempunyai anak,

2) Karena belas kasihan kepada anak karena orang tuanya tidak mampu membiayai anaknya,

3) Karena yatim piatu

4) Telah mempunyai anak kandung sendiri tetapi semuanya laki-laki atau semuanya perempuan,

5) Sebagai ‘pancingan’ karena belum mempunyai anak, 6) Untuk mempererat hubungan kekeluargaan,

7) Untuk suatu jaminan hari tua,

8) Karena unsur kepercayaan tertentu (Soemitro, 1990:36) Adapun tujuan dari pengangkatan anak itu sendiri yaitu ingin mempunyai keturunan yang dapat merawat di hari tuanya serta dapat meneruskan perjuangan atau usaha di keluarga tersebut.

3. Prosedur dan Akibat Hukum Pengangkatan Anak

(68)

pihak antara orang tua kandung dengan orang tua yang akan mengangkatnya. Dengan terjadinya pengangkatan anak maka terjalin hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti halnya orang tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian hubungan dengan orang tua kandung menjadi terputus, seperti halnya di Semarang dan Magelang. Akan tetapi tidak semua hubungan antara orang tua kandung dengan anaknya terputus, seperti di Banyumas bahwa hubungan antara anak dengan orang tua kandungnya masih ada. Tetapi orang tua tidak boleh ikut campur dalam hal perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak.

Di Jawa dan Sulawesi adopsi jarang dilakukan dengan sepengetahuan kepala desa. Mereka mengangkat anak dari kalangan keponakan atau tetangga. Lazimnya adopsi tanpa disertai pembayaran uang atau pemberian barang kepada orang tua si anak.

Mengenai pewarisan di Jawa Tengah seorang anak angkat itu “ngangsu sumur loro” yang artinya dia mendapat warisan dari kedua orang tuanya, baik orang tua kandung atau orang tua angkat (Bastian Tafal, 1983:72-74).

(69)

a. Dengan Orang Tua Kandung

Anak yang sudah diadopsi orang lain mengakibatkan hubungan dengan orang tua kandungnya menjadi putus. Hal ini berlaku sejak terpenuhinya prosedur atau tatacara pengangkatan anak secara terang dan tunai. Kedudukan orang tua kandung telah digantikan oleh orang tua angkat. Hal ini seperti terdapat di daerah Nias, Gayo, Lampung dan Kalimantan (Teer Haar, 1974: 182).

Sedangkan di daearah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatra Timur perbuatan pengangkatan anak hanyalah memasukkan anak itu kedalam kehidupan rumah tangga, tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga anak itu dengan orang tua kandung. Namun hubungan dalam arti kehidupan sehari-hari sudah ikut orang tua angkatnya dan orang tua kandung tidak boleh ikut campur dalam urusan perawatan, pemeliharaan dan pendidikan si anak.

b. Dengan Orang Tua Angkat

(70)

memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat sehingga selanjutnya menjadi anak kandung.

Dalam buku Hukum Kekerabatan Adat, Hilman Hadikusuma (1987: 114) menyatakan “Selain pengurusan dan perwalian anak dimaksud bagi keluarga yang mempunyai anak, apalagi yang tidak mempunyai anak dapat melakukan adopsi yaitu pengangkatan anak berdasar adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. Adopsi dimaksud tidak memutus hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya berdasar hukum yang berlaku bagi anak yang bersangkutan”.

Selanjutnya mengenai hak mewaris anak angkat, menurut keputusan Mahkamah Agung tidak semua harta peninggalan bisa diwariskan kepada anak angkat. Hanya sebatas harta gono-gini orang tua angkat, sedangkan terhadap harta asal anak angkat tidak berhak mewaris.

Beberapa yurisprudensi berikut ini akan menunjukkan kedudukan anak angkat sebagai ahli waris:

Putusan Mahkamah Agung RI Tanggal 18 Maret 1959 Nomor 37 K/Sip/1959:

(71)

Melalui putusan Mahkamah Agung itu, satu azas pewarisan adat tetap dipertahankan yakni bahwa harta asal (harta pusaka) harus tetap dimiliki oleh kerabat karena hubungan darah atau nasab.

Dalam pengangkatan anak terdapat banyak sistem tergantung pada adat setempat, namun perlu diingat bahwa pengangkatan anak secara adat belum mempunyai kekuatan hukum sepanjang belum disahkan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

E. Pendaftaran Akta Kelahiran di Kantor Catatan Sipil

Akta merupakan surat yang diperbuat sedemikian rupa oleh atau di hadapan pegawai yang berwenang untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup sebagai hubungan hukum tentang segala hal yang disebut didalam surat itu sebagai pemberitahuan hubungan langsung dengan perihal pada akta itu.

(72)

Seluruh peristiwa yang terjadi dalam keluarga yang mempunyai aspek hukum harus didaftarkan dan dibukukan sehingga baik yang bersangkutan sendiri atau orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti yang autentik tentang peristiwa tersebut sehingga kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.

Apabila dilihat dari segi hukum administrasi negara, bahwa pengeluaran akta-akta oleh catatan sipil adalah suatu perbuatan administrasi negara dari suatu lembaga yang berwenang melakukan perbuatan administrasi negara yang berupa ketetapan yang berbentuk akta catatan sipil dari peristiwa-peristiwa yang dilaporkan pada lembaga tersebut yang pada prinsipnya memenuhi sifat-sifat konkrit, individual, formal dan final (Victor dan Cormentyna, 1996: 13).

Di Indonesia sendiri yang berhak mengeluarkan akta kelahiran seseorang adalah Lembaga Kependudukan dan Catatan Sipil. Hal ini dapat kita lihat bahwa salah satu fungsi Kantor Catatan Sipil adalah menyelenggarakan Pencatatan dan Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran ini terdapat dalam pasal 5 ayat (2) Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1983.

(73)

yang autentik yang menerangkan tentang suatu hal agar mempunyai dasar hukum yang pasti dan kuat.

Di dalam pasal 1888 BW menyatakan:

“Kekuatan pembuktian tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta aslinya itu ada, maka salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya, sekadar salinan ikhtisar-ikhtisar itu sesuai aslinya yang mana dapat diperintahkan untuk menunjukkannya”.

Ketentuan pencatatan kelahiran:

1. Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya peristiwa kelahiran selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. 2. Pencatatan kelahiran yang melebihi jangka waktu 60 hari

sampai satu tahun sejak tanggal kelahiran harus mendapat persetujuan Kepala Dinas.

(74)

BAB III

PENGANGKATAN ANAK DI DUSUN DAWUNG DESA CANDIREJO KECAMATAN PRINGAPUS KABUPATEN

SEMARANG

A. Gambaran Umum Dusun Dawung Desa Candirejo

1. Tinjauan Geografis

Dusun Dawung merupakan salah satu dusun yang berada dalam wilayah Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang. Jarak tempuh antara Dusun Dawung ke pusat pemerintahan desa kurang lebih 16 Km. Sedangkan dengan pemerintahan kecamatan kurang lebih 9 Km dan jarak dari pusat pemerintahan kota administratif kurang lebih 20 km. Untuk mengetahui secara jelas mengenai dusun Dawung, maka berikut penulis sampaikan tentang keadaan Dusun Dawung:

Dusun Dawung masuk peta wilayah selatan Desa Candirejo, yang letak dusunnya di sebelah timur Dusun Getas Kombang Desa Jatirunggo atau berbatasan langsung dengan tanah milik PT Perhutani. Dusun Dawung memiliki kondisi tanah labil dengan sifat tanah dimana ketika kemarau maka tanah ini akan mudah pecah-pecah tetapi jika hujan sebentar saja tanah ini menjadi tidak padat atau mudah gembur.

(75)

jalan yang menjadi akses pertumbuhan ekonomi, pendidikan dan juga akses ke desa atau kecamatan mengalami rusak parah. Rencananya pemerintah Kabupaten Semarang pada tahun 2017 ini akan memberikan dana bantuan guna membangun jalan yang telah rusak parah selama sepuluh tahun terakhir ini.

Adapun batas-batas wilayah Dusun Dawung adalah sebagai berikut:

1.) Sebelah Utara : tanah perhutani

2.) Sebelah Selatan : desa sugih waras kecamatan bringin 3.) Sebelah Timur : desa sambirejo kecamatan bringin 4.) Sebelah Barat : tanah perhutani

2. Tinjauan Demografis

Wilayah Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang terdiri dari 4 RT, 1 RW dan 215 KK. Desa Candirejo terdiri dari 7 Dusun dan 8 RW. Penduduk Desa Candirejo menurut data monografi Februari 2017 berjumlah 4.782 jiwa. Terdiri dari laki-laki 2.432 jiwa dan perempuan 2350 jiwa.

Untuk mengetahui jumlah penduduk berdasarkan agama, dapat dilihat tabel dibawah ini:

No Agama Jiwa

1. 2.

Islam Kristen

(76)

3. 4. 5.

Katholik Hindu Budha

12 - 18

Jumlah 4.782

Sumber: Monografi Desa Candirejo Februari 2017

Berdasarkan tabel diatas, bahwa mayoritas masyarakat di Desa Candirejo adalah beragama Islam. Terlebih masyarakat Dusun Dawung yang berada di RW VII semuanya beragama Islam.

Masyarakat merupakan suatu perkumpulan manusia yang terdiri dari banyak keluarga, yang mana setiap keluarga mempunyai penghasilan sendiri-sendiri berdasarkan mata pencaharian mereka. Adapun mata pencaharian yang ada di Desa Candirejo itu bermacam-macam, dan untuk mengetahui penyebaran penduduk berdasar mata pencaharian mereka dapat dilihat pada tabel berikut:

(77)

1. Ibu tumah tangga Pelajar/ mahasiswa Buruh harian lepas

(78)

Jumlah 2445 2375 4820 Sumber: Monografi Desa Candirejo Februari 2017

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa mata pencaharian masyarakat di Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang sebagian besar adalah sebagai petani dan karyawan swasta.

Desa Candirejo sendiri terdiri dari tujuh dusun: 1) Dusun Dawung,

2) Dusun Krajan, 3) Dusun Sapen,

4) Dusun Kedung Glatik, 5) Dusun Watu Gajah, 6) Dusun Banger, dan 7) Dusun Borangan.

(79)

B. Profil Pasangan Suami Istri Pengangkatan Anak di Dusun

Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten

Semarang

Pengangkatan anak merupakan masuknya anak orang lain kedalam keluarga yang mengangkatnya. Dibawah ini merupakan profil pasangan suami istri pengangkatan anak.

1. Profil Ibu SW dan Bapak FR

Ibu SW merupakan warga asli Dusun Dawung Desa Candirejo Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, saat ini beliau berusia 32 tahun. Pendidikan formal Ibu SW hanya sebatas sampai kelas 5 Sekolah Dasar saja. Selain itu, pendidikan non formal Ibu SW adalah mengikuti TPA (taman pendidikan al-Qur’an) yang di selenggarakan di masjid sekitar rumahnya. Pada usia 20 tahun, Ibu SW pernah menikah dengan seorang laki-laki yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Namun pernikahan itu hanya bertahan beberapa hari saja. Setelah itu suami dari Ibu SW pergi dan sampai sekarang tidak pernah kembali lagi. Akhirnya status Ibu SW menjadi tidak jelas, apakah dia bersuami atau tidak.

(80)

sebelumnya. Kemudian akhirnya melalui inisiatif dari Bapak RH (kakak kandung suaminya), Ibu SW diminta membakar akta nikahnya untuk menghilangkan bukti bahwa sebenarnya dia telah menikah meskipun hanya bertahan beberapa hari saja. Kemudian Ibu SW mendaftarkan pernikahannya yang kedua di KUA dengan status sebagai gadis. Calon suaminya Bapak FR yang ternyata juga tetangganya sendiri juga mengetahui hal tersebut.

Bapak FR adalah suami dari Ibu SW sekarang. Usianya lebih muda 2 tahun dari Ibu SW, yaitu 30 tahun. Pendidikan formalnya sebatas tamat Sekolah Dasar saja. Pekerjaannya sekarang serabutan. Terkadang menjadi kuli bangunan, buruh tani di desanya atau hanya sebatas menjual pupuk kimia kepada tetangganya.

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan di atas, peneliti ingin mengetahui apa yang melatarbelakangi praktik poligami satu atap di Desa Sonorejo Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri,

Faktor pendukung pendidikan Islam pada anak TPA di desa Dawung yaitu usaha yang serius dari pihak ustadz dan pengurus dalam pendidikan dan pembinaan anak- anak, dukungan dari

Sementara dari data penelitian terbukti dalam proses perencanaan pembangunan dalam Program Dana Desa peran serta masyarakat yang seharusnya sangat dibutuhkan agar

Analisis penulis terhadap penulis terhadap pendapat Wahbah Az-Zuhaili atas pelaksanaan mudharabah dengan modal berbentuk barang yang terjadi di Desa Kudu Kecamatan

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pihak yang terlibat dalam pendidikan akhlak anak adalah orang tua, keluarga, guru atau ustadz, dan masyarakat.. Strategi

Masih banyak anak-anak yang tidak memperoleh haknya dari orangtua mereka seperti;hak mendapatkan perawatan dengan penuh kasih sayang,hak memperoleh pendidikan yang

Judul : PENGARUH ISTRI BEKERJA DI LUAR NEGERI DALAM MEWUJUDKAN KELUARGA SAKINAH (Study Kasus TKW di Dusun Ringin, Desa Payaman, Kecamatan Solokuro, Kabupaten

5 Begitu juga didalam istilah adat yang masih sampai sekarang dipegang teguh oleh masyarakat Dusun Tundan yaitu adanya tradisi larangan menikahi seseorang dari dusun atau desa yang