ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP
WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten
Temanggung)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD RAISUL UMAM
NIM 211 11 036
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
i
ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP
WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten
Temanggung)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD RAISUL UMAM
NIM 211 11 036
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI
’
AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
v
MOTTO
“Berbuat baik, Bersyukur, memaafkan serta rendah hati adalah kunci kehidupan”
Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya Baik menurut orang lain belum tentu baik menurut kita.
ىمِ صَ صَ لْأِ صَ لْأِاى مِ ىطٍ لْأِ تُنُ صَ ىمِ صَ لْأِ لُّااى صَ صَ ىمِا صَ مِلْأِااىتُ مِرِّ صَ تُ
“Kebijaksanaan imam/kepala negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan
vi
PERSEMBAHAN
Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, skripsi ini saya persembahkan kepada :
Bapak (Kasnan) & Ibuku tersayang (Jazimatul Chasanah) serta adik-adik ku tersayang (Roki, Difla & Arza) yang telah mencurahkan segala daya dan upaya, demi kesuksesan putranya. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang
yang telah diberikan selama ini, juga untuk setiap do’a dan restu yang dengan tulus diucapkan, serta materi yang selalu diberikan, Semoga selalu
diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberkahan, dan mendapat limpahan kasih sayang Allah SWT dunia akhirat.
Khusna Maulida & Elia Widyawati, sang Motivator, Penyemangat, sekaligus sahabat terbaik yang selalu menemani ku dikala suka dan duka hingga kita
mampu berjuang bersama dalam penyusunan skripsi masing-masing, Semoga Allah Meridhoi.
Bapak Ali Sukron beserta keluarga selaku Pengasuh komplek Al Fadlil Pondok Pesantren Al I’tihad Poncol Beringin Kab. Semarang yang telah
memberikan ilmu agama dan mengarahkanku dalam kebaikan.
Bapak Mupangat, M.Ag Selaku kepala KUA Kec. Kedu yang
menginspirasikan judul skripsi ini dan Bapak Drs Badwan M.Ag yang telah sabar dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan
masukan-masukan dalam penyusunan skripsi ini.
Teman-teman AS 2011, Sahabat-sahabati PMII dan teman-teman Kampak Alumni PP. Miftahurrosyidin yang selalu menemani dan memberi semangat
agar skripsi ini cepat terselesaikan.
Sahabat-sahabati GANAS PMII Salatiga yang telah menorehkan tinta emas dalam hidup ku dan penuh keikhlasan menemaniku.
vii
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah
SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para
pengikutnya.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat
guna untuk memperoleh gelar sarjana hukum Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga. Adapun judul skripsi ini adalah ANALISIS PENOLAKAN
KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (STUDI KASUS DI
KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KEDU KABUPATEN
TEMANGGUNG). Penulisan skripsi ini dapat selesai tidak lepas dari
berbagai pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga yang
telah banyak berjasa untuk mengasuh penulis dan berkenan memberikan
persetujuan/pengesahan terhadap judul skripsi ini.
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah.
3. Bapak Sukron Makmun M.Si, Selaku Ketua Jurusan hukum Keluarga
Islam.
4. Bapak Drs. Badwan, M. Ag. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
5. Ibu Heni Satar N, S.H., M.Si. Selaku dosen pembimbing Akademik
6. Bapak Mupangat, M.Ag, Selaku Kepala KUA, Kecamatan Kedu,
Kabupaten Temanggung yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.
7. Bapak/ibu Dosen dan Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu
penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak, Ibukku serta Saudara-saudara ku dirumah yang telah mendoakan
dan membantu baik moril maupun spiritual dalam menyelesaikan studi di
viii
9. sahabat-sahabatku yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
memberikan bantuan baik berupa tenaga dan motivasi kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
Semoga amal mereka diterima sebagai Amal Ibadah oleh Allah SWT
serta mendapatkan balasan yang berkah dan berlimpah, Amiin.
Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan kemampuan serta pengetahuan
penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan
oleh penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca pada umumnya serta bermanfaat bagi dunia
pendidikan, agama, nusa dan bangsa. Amiin.
Salatiga, 15 Maret 2017
Penulis
Muhammad Raisul Umam
ix ABSTRAK
Umam, Muhammad Raisul. 2017. “ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor Urusan
Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung)”. Skripsi Fakultas
Syari‟ah Jurusan Hukum Keluarga Islam ( Ahwal Al-Syakhsyiyyah ). Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Salatiga. Pembimbing Drs. H. Badwan, M.Ag.
Kata kunci Hukum Bertato, wali
Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana status hukum bagi seorang wali dalam pernikahan yang bertato. Karena pada dasarnya belum ada peraturan yang mengatur secara detail tentang hal tersebut, baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), maupun Putusan Pengadilan. Pertanyaan yang ingin di jawab dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap penolakan wali bertato sebagai wali dalam perkawinan? (2) Bagaimana prosedur yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali nikah bertato?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan dari pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung.
x DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………....…… i
NOTA PEMBIMBING………....………. ii
HALAMAN PENGESAHAN ………...………...……….. iii
HALAMAN PERNYATAAN ……….…………....………… iv
MOTTO………. v
PERSEMBAHAN………... vi
KATA PENGANTAR……….. Vii ABSTRAK……… ix
DAFTAR ISI………. x
DAFTAR LAMPIRAN………. xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1
B. Rumusan Masalah………. 9
C. Tujuan Penelitian……….. 9
D. Manfaat Penelitian……… 9
E. Penegasan Istilah...………. 10
F. Metode Penelitian………. 11
G. Sistematika Penulisan……….……….. 15
BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan...………...……... 17
xi
1. Pengertian Wali………...
2. Dasar Hukum Wali……….
3. Macam Macam Wali………...
4. Pendapat Ulama Tentang perwalian dalam Perkawinan…………
5. Pengertian Wali Fasiq dalam Perkawinan ……..………...
C. TATO………
1. Pengertian Tato………...………
2. Dasar Hukum Tato………..
3. Pendapat Ulama Tentang Tato………....
4. Jenis Jenis Tato………
5. Bahan Tato………..……
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kedu………...
1. Kondisi Umum………
2. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Kedu……….
3. Visi dan Misi KUA Kecamatan Kedu………
4. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kedu………...……
5. Program Kerja KUA Kecamatan Kedu ………..
6. Tantangan, Kendala dan Peluang KUA Kecamatan Kedu……….
7. Kode Etik Pegawai Kementrian Agama……….
B. Temuan Penelitian ………...
1. Kasus Wali Bertato di KUA Kecamatan Kedu ………..
2. Prosedur Penolakan Wali Bertato ……….. 44
A. Analisa Tinjauan Hukum Islam Tentang Wali Bertato ...
B. Prosedur Penolakan Wali Nikah Bertato Di KUA Kecamatan Kedu... 57
xii BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………...…...……….…...…….. 64
B. Kritik dan Saran ………....….….. 64
C. Penutup ... 65
DAFTAR PUSTAKA ...
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ………... 45
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Daftar Riwayat Hidup
Lampiran II : Lembar Konsultasi Skripsi
Lampiran III : Daftar SKK
Lampiran IV : Surat Izin Penelitian
Lampiran V : Keterangan Telah Meneliti
Lampiran VI : Daftar Pertanyaan
Lampiran VII : Transkip Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan sangat
sakral dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali bagi seorang muslim.
Seorang muslim melaksanakan perkawinan merupakan sunatullah, dan mengandung suatu hikmah. Adapun salah satu hikmah yang terkandung di
dalamnya yaitu untuk kelangsungan hidup manusia di dunia melalui
perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang
terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. pergaulan harmonis
akan menjadikan rumah tangga yang damai dan tenteram.
Perkawinan yang sah menurut Islam adalah akad yang kuat sebagai
bentuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Mengingat kedudukan hukum perkawinan sangat penting menurut Islam,
maka tidak salah jika Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat
terperinci.
Bukan hanya agama, bahkan negara juga ikut andil dalam menangani
masalah terkait perkawinan. terbukti dari diterbitkannya Undang-Undang No.
1 Tahun 1974. “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
2
orang yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis sesuai
perintah agama.
Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Sunarso.2012:
1). Bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak sah jika perkawinan seseorang dilakukan tanpa aturan agama yang dianutnya, karena
masing-masing agama mempunyai aturan-aturan yang berbeda dan pasti
mengandung suatu maksud dan tujuan tertentu.
Pasal 2 (2) disebutkan “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan menurut hukum agama.
Pencatatan ini hanya bersifat administratif guna memperoleh akta nikah
sebagai bukti otentik telah dilakukannya suatu perkawinan. Memiliki akta
nikah berarti pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan
memperoleh perlindungan serta kepastian hukum dari negara.
Pernikahan secara bahasa berarti kumpul atau gabung, sedangkan
menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur didalamnya mengandung
syarat dan rukun. Ke asalan nikah di dalam bahasa Arab cenderung pada arti
kawin karena nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri
(Taqiyuddin. 2005: 31). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2
3
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
(Abdullah. 2002: 78). Allah berfirman dalam surat ar Rum ayat 21;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644).
Jelas bahwa Allah telah menciptakan seorang istri dari jenis kita,
merasakan tentram dan tumbuh kasih sayang. Sehingga tidak akan terjadi
suatu hal yang menjadikan permusuhan, hilangnya rasa kasih dan sayang yang
mengakibatkan perpisahan.
Guna memperoleh pernikahan yang sah, dalam pelaksanaannya harus
terpenuhi rukun dan syarat pernikahan. Apabila salah satu dari keduanya tidak
terpenuhi sewaktu melangsungkan perkawinan, maka pernikahan tersebut
tidak sah menurut syara‟. Menurut Abdul Rahman (2003:48) menjelaskan
sebagai berikut: Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,
yaitu: calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang
saksi, sighat akad nikah.
Kemudian menurut Zakaria bin Muhammad beliau berpendapat :
"
4
Dalam Kompilasi Hukum Islam, rukun nikah yang terdapat di
Indonesia ada lima, yaitu: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang
saksi, ijab dan qabul (Abdullah. 2002: 81). Setelah semua rukun nikah
terpenuhi haruslah melihat syarat-syarat yang ada dalam akad pernikahan,
apakah telah lengkap atau belum. Apabila rukun telah dipenuhi akan tetapi
syarat belum terpenuhi, maka pernikahan belum dianggap sah.
Penelitian ini, menekankan syarat yang harus dipenuhi oleh wali dari
mempelai wanita, sebagaimana diterangkan oleh Amir Syarifuddin dalam
buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia sebagai berikut:
1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak
berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang
melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis Nabi:
ىمِنصَ صَ ىصَغتُ لْأِنُبصَنُيى َّتَّصَحىمِرِّمِبرِّ ااىمِنصَ صَ ىصَظمِقلْأِ صَنُتلْأِسصَيى َّتَّصَحىمِامِء َّ ااىمِنصَ ىطٍ صَث صَلَصَثىلْأِنصَ ىتُمصَ صَقلْأِااىصَعمِفتُر
ىصَقلْأِ مِفصَيى َّتَّصَحىمِالْأِ تُنُ لْأِجصَ لْأِاا
(
حمأىها ر
ى,
د ادى أ
ى,
ئ س اا
ى,
ىن إ
ى,
م ح
)
“Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum)
seseorangyang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sehat.(HR.
Ahmad, Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, Hakim)”. (Jalaluddin,2006:273)
2. Laki-laki, tidak boleh seorang wanita menjadi wali.
3. Muslim.
5
Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28:
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.
Dan hanya kepada Allah kembali(mu)” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 80).
4. Orang merdeka
Orang merdeka adalah bukan budak (hamba) tebusan; orang bebas.
(KBBI. http://kamusbahasaindonesia.org: akses 25 januari 2017). Tidak
berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya adalah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum
dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu
tindakan hukum.
5. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya
tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan
maslahat dalam perkawinan tersebut.
6. Adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering
6
Keharusan wali itu adil berdasarkan kepada sabda Nabi Saw:
ىصَا صَ مِا صَ
dapatnya di ambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik,atau badan hukum” (Abdullah. 2002: 109).
7. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini
berdasarkan kepada hadits Nabi dari Usman menurut riwayat Muslim
yang mengatakan:
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.(Muslim, t.t: 560)”.
Orang fasik tidak mempunyai legalitas atau wilayah untuk menikahkan
karena terpaksa atau tidak. Apakah fasiknya disebabkan minum khamr atau
yang lainnya, menampakkan kefasikannya atau menyembunyikannya. Karena
fasik itu sedikit memberi dampak pada syahadah, akibatnya berimbas pada larangan tidak boleh menikahkan, seperti: budak, maka yang boleh
menikahkan wali yang jauh.
Dewasa ini kehidupan masyarakat semakin beragam, pengaruh media
sosial juga pergaulan bebas membuat perubahan pada pola pikir dan gaya
hidup seseorang, sesuatu yang dianggap buruk pun bisa menjadi tren gaya
hidup bagi sebagian orang dan salah satunya adalah bertato. Ibnu Hajar
7
dimaksud dengan tato (wasym) menurut ahli bahasa adalah menusuk-nusuk anggota tubuh dengan jarum hingga berdarah, kemudian mengisi lubang di
kulit tubuh tersebut dengan pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi
kehijauan.
Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa tato yang dimaksud
bukanlah menggambar anggota tubuh dengan zat pewarna alami misalnya
dengan inai, henna atau sejenisnya, akan tetapi tato adalah menggambar atau
mengukir anggota tubuh dengan cara melukainya dengan jarum, kemudian
memasukkan zat pewarna tersebut ke bawah kulit yang sudah dilukai dengan
jarum. Tato semacam ini bersifat permanen. Tato dalam arti seperti telah
disebutkan di atas haram hukumnya Dalilnya adalah hadits sahih riwayat
Bukhari berikut :
ىصَملْأِ مِااصَ لْأِنُ مِاىلْأِنصَ ىمِرلْأِ تُ لْأِ صَ ىلْأِنصَ ىتُا صَ لْأِفتُ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىمِ تُ لْأِبصَ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىطٍ مِ صَقتُ ىتُنلْأِ ىتُ َّ صَتُ ى مِ صَثَّ صَح
ىلْأِنصَ
ىصَ صَقىتُ لْأِ صَ ىتُ ىصَيمِضصَرىمِدلْأِ تُعلْأِسصَ ىتُنلْأِ مِاىلْأِنصَ ىجٌ صَ مِقلْأِ مِ
ى مِت صَ مِ َّ ااصَ ى مِت صَمِشِلْأِ صَنُتلْأِستُ لْأِااصَ ى مِت صَمِشِاصَ لْأِااىتُ ىصَنصَعصَا
ىمِ ىصَقلْأِ صَ ى مِتاصَرِّمِ صَ تُ لْأِااىمِنلْأِستُ لْأِ مِاى مِت صَجرِّمِ صَفصَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ رِّمِ صَ صَنُتتُ لْأِااصَ
ىتُ لْأِ تُ صَرىتُ صَ صَعصَاىلْأِنصَ ىتُنصَعلْأِاصَأىصَ ى مِلِ صَ ى
ىمِ ى مِب صَتمِ ى مِ ىصَ تُاصَ ىصَمَّ صَ صَ ىمِ لْأِ صَ صَ ىتُ ى َّ صَ ىمِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu Mas’ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanitayang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak melaknat orang
yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah
(Bukhari. 1991: 5487).
Saat ini banyak kasus-kasus hukum keluarga yang terjadi di
8
sebagai seorang wali, untuk menjadi seorang wali terdapat beberapa syarat
sah wali seperti yang sudah peneliti jelaskan di atas. Kemudian bagaiman
setatus seorang wali ketika bertato, padahal bertato jelas sudah dilarang
menurut hukum Islam yang mana telah dijelaskan dalam hadits Nabi di atas
dan di perkuat oleh pendapat Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul
Bari, menjelaskan bahwaorang yang bertato hukumnya haram. Oleh karena
itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika
dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi
anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya
boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya
(Hajar. t.t: 567).
Dari uraian di atas sudah jelas belum ada peraturan yang mengatur
tentang masalah wali yang bertato baik Undang-undang Perkawinan,
Kompilasi Hukum Islam, Maupun hukum syariat, sebab kasus ini akan
menyangkut tentang syarat sah wali. Maka dari itu penulis akan menganalisis
maslah tersebut dengan mengangkat judul skripsi “ANALISIS PENOLAKAN
KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor
9 B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas,
maka peneliti dapat mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap penolakan wali bertato sebagai
wali dalam perkawinan?
2. Bagaimana prosedur yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali
nikah bertato?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian yang telah di rumuskan di atas, maka
penelitian ini bertujuan sebagai berikut
1. Untuk mengetahui bagaimana konsekwensi hukum bagi seseorang wali
yang bertato dalam hukum Islam.
2. Untuk mengetahui boleh atau tidaknya bagi seorang yang bertato untuk
menjadi wali nikah bagi anaknya.
D. Manfaat Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum Islam,
khususnya fiqih munakahat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lanjutan serta dapat
menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.
2. Secara Praktis
10
b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk
memberikan pendidikan Hukum Islam bagi lembaga dan mahasiswa
IAIN Salatiga.
c. Bagi peneliti, untuk memotivasi diri dan menjadikan bekal hidup
dalam bermasyarakat, beribadah kepada Allah SWT dan berharap
menjadi hamba yang beruntung di dunia dan di akhirat.
E. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud peneliti, maka peneliti akan menjelaskan istilah di dalam
judul ini. Istilah yang perlu peneliti jelaskan adalah:
1. Hukum Islam
Hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan
manusia dan alam sekitar berdasarkan Al Quran dan hadis
2. Wali
Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah
(yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
(http://kbbi.web.id/wali. akses tgl:26 januari jam 12.00 Wib). 3. Tato
Tato adalah pengindonesiaan dari kata tattoo yang artinya adalah desain, goresan, gambar, atau lambang yang mana kulit seseoranglah
11 F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan
penelitian, peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan
menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi.
Pendekatan Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi
pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor, penelitian
kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Dari pengertian tersebut, sudah
tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada
latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan
melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan
dokumen.
Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang
menghasilkan data tertulis. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis
adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut Suryabrata adalah penelitian
yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan mengenai
12 2. Kehadiran Peneliti
Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan
melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian
sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber
yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. (sbbnya apa kok di tmg?)
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan
Kedu Kabupaten Temanggung.
4. Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari
informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi
yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang
terkait dengan judul yang diteliti.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting
dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk
mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh
dengan menggunakan teknik pengumpulan data:
a. Observasi Langsung
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut Nawawi,
13
sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian
(Nawawi,1990:100).
b. Wawancara
Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan wawancara
(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,
2011:186 ).
c. Dokumen
Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam
tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam
bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Daymon, 2008:3). Metode
ini digunakan untuk memperluas pengamatan dan pengumpulan data.
Data yang diambil berasal dari catatan hasil wawancara, foto-foto
dokumentasi.
6. Analisis Data
Menurut Muhadjir, analisis data merupakan upaya untuk mencapai
dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan
lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang
diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain
(Muhadjir,1994:104). Penulis akan menunjukkan laporan penelitian yang
berisi kutipan-kutipan data dan memberikan gambaran penyajian laporan.
Data yang penulis sajikan seperti naskah wawancara, catatan lapangan,
14 7. Keabsahan Data
Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam
kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa
yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam
penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data:
a. Triangulasi Sumber
Trianggulasi Sumber yaitu membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek
informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini dapat
diukur benar tidaknya kenyataan yang ada.
b. Triangulasi Metode
Triangulasi Metode Yaitu pengecekan derajat kepercayaan
penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan
sumber data dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam
metode ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil
observasi yang dilakukan.
8. Tahap-tahap Penelitian
Menurut Moloeng, bahwa tahap-tahap penelitian yang digunakan
oleh peneliti sebagai berikut:
a. Tahap Pra Lapangan
1)Mengajukan judul penelitian.
15
3)Konsultasi penelitian kepada pembimbing.
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
1)Persiapan diri untuk memasuki lapangan.
2)Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus
penelitian.
3)Pencatatan data yang telah dikumpulkan.
c. Tahap Analisis Data
1)Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian.
2)pengecekan keabsahan data. (Moloeng, 2002:84-105).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini,
peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini ada
lima bab, yang masing-masing membahas masalah yang berbeda. hal itu
merupakan satu kesatuan yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab
tersebut adalah sebagai berikut:
Bab Satu, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk
memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan memuat
pembahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metotode dan sistematika
penulisan.
Bab dua, bab ini membahas perkawinan syarat dan rukunnya yang
16
Bab tiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data penelitian
yang mencakup seting penelitian yang telah dinarasikan oleh penulis agar
mudah dipahami oleh pembaca. Seting penelitian tersebut berisi tentang letak
geografis, demografis Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu,
sumber data yang diperoleh serta landasan hukum, birokrasi, TUPOKSI, tata
cara nikah, pelaksanaan nikah, dan sikap KUA terkait wali yang bertato.
Bab empat, analisis berisi tentang landasan hukum dan sikap Kantor
Urusan Agama (KUA) terhadap wali yang bertato.
Bab lima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil
pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran, kemudian
17
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pernikahan atau perkawinan menurut bahasa berarti kumpul atau
gabung, sedangkan menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur
didalamnya mengandung syarat dan rukun. Dan menurut Azzuhri : Ke
asalan nikah di dalam kalam Arab cenderung pada arti kawin karena
nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri”
(Taqiyuddin.2005:36). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2
menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan
ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya
merupakan ibadah (Zainudin, 2006:7). Kemudian Pengertian perkawinan
menurut ketentuan pasal 1 undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri (Anshary, 1993:74).
Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pernikahan ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang
laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.
Pernikahan harus didasari dengan asas suka sama suka antar kedua belah
18
diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara
yang diridhloi Allah SWT.
2. Dasar Hukum Perkawinan
a. Dalam menentukan suatu pendapat atau hujjah para ulama tidak lepas dasar hukum qhat‟i Al Quran dan Al-hadits. Dalam pembahasan ini penulis paparkan ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi yang menjadi dasar hukum perkawinan, diantarannya:
1)Firman Allah SWT dalam Al Quran surat Ar-Rum Ayat 21 di menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”,(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644). 2)Surat An Nahl ayat 72
19 sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 291).
4)Kemudian Hadits Nabi Saw yang diriwatkan oleh Imam Bukhori:
ى
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu” (Bukhori, t.t: 117).
Barangsiapa kawin (beristri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi
(Al Hakim, Aththahawi, 2008: 225)
Dari firman Allah SWT dan Hadits Nabi Saw di atas dapat kita
20
perkawinan, menjadikan istri dari jenis kita sendiri supaya kita tenram
dan menjadikan darinya anak-anak dan cucu-cucu, juga memberikan rizqi
dan menyempurnakan separuh dari keimanan.
b. Menurut Kompilasi Hukum Islam
“Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan
untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” (Abdul.2002:78).
c. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 2:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing
-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku.”
3. Rukun dan syarat perkawinan
Para ulama’ dan cendekiawan banyak yang menerangkan definisi
tentang rukun dan syarat menurut Abdul Rahman (2003:47), menjelaskan
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya
suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram
untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan
dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan
sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk
shalat. Atau menurut Islam, calon pengantin laki-laki atau perempuan itu
21 a. Rukun
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas
5 hal yang harus dipenuhi. Adapun kelima hal tersebut adalah
1)Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.
2)Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
3)Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
4)Adanya dua orang saksi.
5)Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau
wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin
laki-laki (Departemen Agama, 1992:18).
b. Syarat
Syarat-syarat perkawinan seperti yang diisyaratkan oleh para
Ulama’ ada 9. Syarat-syarat tersebut adalah:
1)Adanya persetujuan kedua calon mempelai.
2)Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.
3)Izin orang tua/ pengadilan jika belum berumur 21 tahun.
4)Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan.
5)Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama
yang akan dinikahi.
6)Bagi janda sudah lewat masa tunggu.
7)Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari
22
8)Tidak ada yang mengajukan pencegahan.
9)Tidak ada larangan perkawinan (Anshary, 1993:76-80).
4. Hukum Perkawinan
Hukum perkawinan seperti yang disebutkan oleh paraulama ada 5.
Adapun pembagian ke 5 hukum perkawinan tersebut adaah sebagai
berikut:
a. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada
perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Dengan maksud untuk
menjaga diri dari perbuatan maksiat.
b. Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan
kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak
kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum
melakukan perkawinan bagi orang tersebut menjadi sunah.
c. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan
kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan
perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya.
d. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan
untuk meaksanakan perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina
23
e. Mubah, yaitu bagi Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak
dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak
akan menelantarkan istri (Tihami, 2009: 12).
5. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agma dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggotan keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan
batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinyanya
sehingga timbullah kebahagiannya, yakni kasih sayang antar anggota
keluarga (Darajat, 1995:48).
Sedangkan menurut Imam Ghazali, yang menjadi tujuan
pernikahan adaah sebagai berikut:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
dan kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
24
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang (Gazali,2003:50).
B. Wali Nikah
1. Pengertian Wali
Dalam bahasa sehari-hari sering terdengar kata-kata wali, misalkan
wali murid, wali kota, wali nikah, dan sebagainya. Wali dapat diartikan
sebagai orang yang mengurusi, wali murid berarti orang yang mengurusi
murid, wali kota berarti orang yang mengurusi kota, wali nikah berarti
orang yang mengurusi nikah dari pihak mempelai wanita, termasuk
memperhatikan apakah mempelai laki-laki benar-benar cocok atau belum,
misal sesuai nasab atau kafa‟ah. Sedangkan Wali menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti “orang yang menurut hukum agama, adat
diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu
belum dewasa, pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah, yaitu
yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki” (Suharso,
Retnoningsih, 2005: 634).
Dalam keterangan lain menjelaskan perwalian dalam perkawinan
adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan
tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri
(Mughniyah, 2001: 345). Kemudian Syarifuddin (2009: 69),
menerangkan pengertian wali sebagai berikut:
“seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak
25
dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian wali nikah
yaitu: orang yang bertanggung jawab dari pihak mempelai wanita untuk
melaksanakan ijab dalam akad pernikahan. Oleh karena itu wali harus ada
dan berada ditempat dimana suatu akad pernikahan dilaksanakan.
Sehingga pernikahan tersebut akan menjadikan sah dan sempurna.
2. Dasar Hukum Wali
a. Dasar hukum yang menjelaskan tentang wali yaitu Firman Allah
SWT Dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 232:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).
b. Kemudian dasar hukum kewajiban seorang wali untuk menikahkan
yaitu Firman Allah SWT Dalam Al Quran Surat An-nur ayat 32:
26
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 549 ).
Dan dalam sebuah hadits Riwayat Ibnu Majah dijelaskan juga:
ى صَ صَقىمِ مِ صَأىلْأِنصَ ى صَ تُ ى مِبِصَأىمِنلْأِ ىصَةصَدلْأِ تُنُ ى مِبِصَأىلْأِنصَ صَ
ى:
ى صَ ىم ى ى ى ىمَِّللَّصَاىتُ تُ صَرىصَ صَق
ىى طٍرِّمِ صَ مِ ى َّ مِإىصَا صَ مِا
)
ىن اىها ر
(
“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali” ( Ibnu Majah, t.t: 605/1 ).
3. Macam-Macam Wali
Dalam pernikahan wali harus ada dan ikut serta dalam pernikahan,
yang paling berhak menjadi wali adalah ayah dari mempelai wanita,
namun jika ayah tidak ada atau tidak memenuhi syarat maka bisa diganti
dengan yang lain asal masih satu nasab atau jika tidak ada maka bisa
diganti wali hakim. Syarifuddin ( 2009: 75 ) membagi macam-macam
wali sebagai berikut:
a. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian nasab atau pertalian
darah dengan calon mempelai perempuan.
b. Wali Mu'tiq, yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seseorang perempuan, karena
orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di
27
c. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh Penguasa, bagi
seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada,
baik karena telah meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau
sebab-sebab lain. Di Negara Republik Indonesia, Kepala Negara
adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada pembantunya yaitu
Menteri Agama yang juga telah memberi kuasa kepada para Pegawai
Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai Wali Hakim. Yang dimaksud
dengan Wali Hakim adalah hakim pengadilan (dalam hal ini
Pengadilan Agama), yang dimungkinkan dapat bertindak sebagai wali
hakim, apabila memang mendapat kuasa dari Menteri Agama. Hakim
dapat bertindak sebagai wali dari mempelai wanita dalam pernikahan
bilamana :
1)Wali nasab memang tidak ada.
2)Wali nasab berpergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak
memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat tidak ada di tempat.
3)Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.
4)Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.
5)Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.
6)Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah
perwaliannya. Hal ini dapat terjadi jika yang dikawin adalah
seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung
28
Dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Penormaan Prinsip
Syari‟ah Dalam Hukum Indonesia Shomad ( 2010: 279 ) As Syafi’i
menjelaskan urutan wali adalah sebagai berikut:
a. Ayah.
b. Kakek.
c. Saudara laki-laki sekandung.
d. Saudara laki-laki seayah.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.
g. Paman sekandung (Saudara laki-laki dari ayah yang seibu-seayah).
h. Paman seayah.
i. Anak laki-laki dari paman sekandung.
j. Anak laki-laki dari paman seayah.
k. Hakim.
Hak menjadi wali nikah terhadap perempuan adalah sedemikian
berurutan, sehingga jika masih terdapat wali nikah yang lebih dekat maka
tidak dibenarkan wali nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika
masih terdapat wali nasab maka wali hakim tidak berhak menjadi wali
nikah Diterangkan dalam KHI pasal 22.
29
tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan” (Abdullah, 2002:
84).
Seperti dalam waris wali nikah harus diurutkan berdasarkan nasab.
Dalam urutan wali nasab, wali nikah yang lebih dekat disebut wali aqrab, sedang yang lebih jauh disebut wali ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali aqrab sedang kakek disebut Wali ab'ad, ayah dengan paman, ayah disebut wali aqrab dan paman disebut wali ab‟ad. Demikian pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara
laki-laki sekandung, antara saudara laki-laki-laki-laki sekandung dan saudara laki-laki-laki-laki
seayah dan seterusnya asalkan masih dalam satu nasab (Syarifuddin,
2009: 92).
4. Pendapat Ulama’ Tentang Perwalian Dalam Perkawinan a. Madzhab Hanafiy
Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa wanita yang telah
baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria
dan boleh melakukan akad dengan sendiri. Menurut madzhab
Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata
"an yankihna", adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali ( Helmi, 1994: 332).
Dalil-dalil yang memperkuat pendapat ini antara lain : firman
Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 232
30
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan
di antara mereka dengan cara yang makruf” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).
Kemudian surat Al-Baqarah ayat 234
meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis „iddahnya, maka tiada dosa
bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56). Wanita adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya
itu sah berdasarkan ayat-ayat di atas tanpa ada ijin dari wali.
صَهتُنُ تُ تُ ى صَهتُنُالْأِذمِإصَ ى،تُ صَ لْأِأصَتلْأِستُ ىتُ لْأِ مِبلْأِااصَ ى، صَهرِّمِ مِاصَ ىلْأِنمِ ى صَهمِسلْأِفصَنُ مِ ىلُّقصَحصَأىتُبرِّمِ َّثاا
“Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin,dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421).
صَاتُراصَ لْأِنُقمِإى صَهتُنُتلْأِ صَ صَفى،تُ صَ لْأِأصَتلْأِستُ ىتُ صَ مِتصَ لْأِااصَ ى،جٌ لْأِ صَأى مِبرِّمِ َّثااىصَعصَ ىرِّمِمِ صَ لْأِ مِاىصَسلْأِ صَاى
“Tidak ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang31
Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan
hak secara penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan
seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa ada intervensi dari wali.
Adapun bagi gadis (bukan janda), ia perlu dimintai persetujuannya.
Disebutkan dalam hadits lain bahwa seorang wanita berhak menolak
jika ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak ia
suka. Artinya, ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau
syarat sah bagi pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan
adalah keridlaan/kerelaan dari si wanita. (Al Jauza,
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-tanpa-wali-ini-dalilnya, akses 05 Maret 2017 ).
b. Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).
Madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, serta mayoritas
fuqaha telah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad
pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka
pernikahan tersebut menjadi batal atau tidak sah. Jadi, seorang
perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad
pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi
bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada
hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah:
32
Dalam Hadits lain Riwayat Thabrani sebagai berikut:
ىطٍ لْأِ صَ ى صَ مِا صَ صَ ىرِّطٍمِ صَ مِ ىَّ مِإىصَا صَ مِاىصَ
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksiyang adil” (Jalaluddin, 2006: 586).
Selain itu, berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim dalam
surat Al-Baqarah ayat ke 232. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu
sampai masa „iddahnya, maka jangan kamu (para wali)
halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Telah
menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini
turun berkenaan dengan dirinya. Ia yang berkedudukan sebagai wali
telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang
akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah
sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu
surat Al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi
33
saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak” ( Qutaibah,
http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-tanpa-wali-ini-dalilnya.html, akses 05 Maret 2017 ).
Dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama’ berpendapat tidak
sah apabila dalam pernikah tanpa adanya seorang wali. Dengan
demikian maka tidaksah apabila seorang mempelai wanita
menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan dan didampingi oleh
seorang wali dan harus diwakilkan kepada wali abad atau wali hakim
ketika wali nasab tidak dapat menjadi wali secara langsung baik
dikarenakan udzur maupun fasik.
5. Pengertian Wali Fasik Dalam Perkawinan
Secara bahasa fasik berarti keluar dari jalan yang haq serta kesalihan (Munawir, 1997: 1055), sedangkan secara istilah menurut
Jalaluddin ( t.t: 262 ).
"
ىطٍةصَ لْأِنُ مِبصَ ى مِب صَ مِ لْأِر مِ ىتُقَّقصَ صَتصَنُيىتُقلْأِسمِفلْأِاصَا
ى,
ىطٍةصَ لْأِنُ مِ صَ ى صَ صَ ىمِراصَ لْأِ مِإىلْأِ صَأ
"
“Fasik adalah seorang yang dengan jelas melakukan dosa-dosa besar atau sering memenuhi dosa-dosa kecil”.
Orang fasik diartikan sebagai orang yang melakukan dosa besar
atau sering berbuat dosa kecil. Kemudian dalam Tafsir Al-Qur’an surat
Al-Maidah ayat 81 (Nawawi, 2007: 239 ) menjelaskan:
"
ىلْأِممِمِا صَتمِ صَ ىلْأِممِهمِرِّ مِبصَاصَ ىمِا مِ ىمِا صَلْأِ مِلْأِااصَ ىمِنلْأِيمِرِّ ااىمِنصَ ىصَالْأِ تُ مِر صَ ىلْأِ صَاىصَالْأِ تُقمِ صَف
ى"
34
Sedangkan dalam tafsir surat Yunus ayat 33:
"
ىمِا صَلََّ ااىمِرِّ صَحىمِنصَ ىالْأِ تُ صَ صَ ىلْأِ صَأىالْأِ تُقمِسصَف
"
ى
“Fasik berarti orang yang keluar dari batas kebaikan”.
Orang dikatakan fasik karena ia telah keluar dari batas-batas
kebaikan menurut ukuran syara’. Untuk memberikan batasan atau kriteria
yang pasti tentang kefasikan orang lain tidak mudah, bahkan sulit sekali.
Namun dalam kehidupan sehari-hari fasik sering dihubungkan dengan
tingkah laku atau akhlak seseorang, biasanya orang dinilai fasik jika
sudah melanggar norma-norma dalam masyarakat, misalkan sering
mabuk-mabukan, berjudi, mencuri dan sebagainya. Dalam pembahasan
ini orang yang bertingkah laku demikian tidak sah menikahkan putrinya,
maka hak untuk menikahkan berpindah kepada urutan wali yang telah
diterangkan dalam pembahasan di atas.
Kata fasik muncul di dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks,
terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan
kedurhakaan, seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 7:
35
kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 846).
Terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan,
seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 197
barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 48).
Fasik dibagi menjadi dua yaitu fasik besar dan fasik kecil.
a. Fasik besar
Fasik besar yaitu kufur sebagaimana firman Allah dalam surat
As-Sajdah ayat 18-20.
36
jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan. (19) Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya” (QS. As-Sajdah: 18 – 20).
Fasik dalam ayat ini maknanya adalak kekafiran, karena Allah
kontraskan dengan iman dan diberi ancaman dengan siksa abadi di
neraka.
b. Fasik kecil
Sedangkan fasik kecil, adalah perbuatan kefasikan yang tidak
sampai pada derajat kekafiran. Fasik berbeda dengan kafir, fasik lebih
umum dari kafir. Tafsir surat Al-Hujurot ayat 7 ( Nawawi, 2007: 353 )
menjelaskan:
"
ىمِا صَ مِلْأِا مِ ىتُبلْأِيمِذلْأِ َّتااىصَ تُاىتُ لْأِفتُ لْأِا صَف
ى,
ىمِا صَسمِرِّ ااىتُبلْأِذصَ ىصَ تُاىتُ لْأِ تُستُفلْأِااصَ
"
ى
“Orang kafir adalah orang yang tidak percaya terhadap surga, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak percaya adanya surga tetapi hanya dengan lisan”.
Fasik mungkin saja terjadi karena dosa kecil dan atau dosa
besar, sedangkan kafir tidak mungkin terjadi apabila hanya
disebabkan oleh dosa-dosa kecil (Baits,
https://konsultasiSyari’ah.com/11768-siapakah-orang-fasik.html.
akses 31 april 2017).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap kafir pasti fasik,
tetapi belum tentu setiap fasik digolongkan kafir. Fasik menurut bahasa
37
berdosa besar ). Sedangakan menurut istilah orang yang percaya kepada
Allah Swt, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan
perbuatan dosa.
Bagi orang yang fasik, dia tidak diperbolehkan menjadi wali
dalam pernikahan selama belum bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Maka, jika dia belum bertaubat maka hak perwalian orang tersebut dapat
dicabut. Dijelaskan dalam KHI pasal 109
“Pengadilan Agama dapat mencabut hak seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah
perwaliannya” ( Abdullah, 2002: 109 ).
C. TATO
1. Pengertian Tato
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman kehidupan
manusia semakin beragam. Manusia selalu mempunyai dan menunjukkan
ide, kreatif, hingga rasa sosial, bahkan mengatur bagian tubuh alaminya
dengan berbagai cara seperti halnya bertato. Tatto adalah suatu kegiatan
menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum
atau benda dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias
dengan pikmen berwarna-warni (Olong,2006: 83).
Ibnu Hajar Al-'asqalani ( t.t. jilid 5: 567) dalam bukunya Fathul
Bari, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tato (wasym) menurut
38
berdarah, kemudian mengisi lubang di kulit tubuh tersebut dengan
pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi kehijauan.
Tato adalah membuat sebuah gambar atau lambang pada bagian
tubuh seseorang menggunakan jarum atau alat sejenisnya dengan cara
menusuk-nusukkan kebagian tubuh yang akan digambarnya hingga
berdarah kemudian memasukkan zat pewarna kedalamnya berulang-ulang
sampai menghasilkan sebuah gambar pemanen.
2. Dasar Hukum Tato
Di antara yang diharamkan kepada umat manusia salah satunya
ialah mentato, sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh
Bukhori:
ىصَملْأِ مِااصَ لْأِنُ مِاىلْأِنصَ ىمِرلْأِ تُ لْأِ صَ ىلْأِنصَ ىتُا صَ لْأِفتُ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىمِ تُ لْأِبصَ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىطٍ مِ صَقتُ ىتُنلْأِ ىتُ َّ صَتُ ى مِ صَثَّ صَح
ىلْأِنصَ
ىصَ صَقىتُ لْأِ صَ ىتُ ىصَيمِضصَرىمِدلْأِ تُعلْأِسصَ ىتُنلْأِ مِاىلْأِنصَ ىجٌ صَ مِقلْأِ مِ
ى مِت صَمِشِلْأِ صَنُتلْأِستُ لْأِااصَ ى مِت صَمِشِاصَ لْأِااىتُ ىصَنصَعصَا
ىمِ ىصَقلْأِ صَ ى مِتاصَرِّمِ صَ تُ لْأِااىمِنلْأِستُ لْأِ مِاى مِت صَجرِّمِ صَفصَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ رِّمِ صَ صَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ مِ َّ ااصَ
ىتُنصَعلْأِاصَأىصَ ى مِلِ صَ ى
ىمِ ى مِب صَتمِ ى مِ ىصَ تُاصَ ىصَمَّ صَ صَ ىمِ لْأِ صَ صَ ىتُ ى َّ صَ ىمِ ىتُ لْأِ تُ صَرىتُ صَ صَعصَاىلْأِنصَ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah
mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu Mas‟ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah (Bukhari. 1991: 5487).
Hadis di atas sangat kuat kedudukannya karena diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang adil dan diketahui bahwa hadis yang membahas
39 membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”
(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 160).
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melarang kita ber
lebih-lebihan dalam berhias hingga merubah ciptaanNya, perbuatan yang
seperti itu adalah perintah syaitan dan menjadikannya sebagai pelindung
selainNya adalah sesuatu yang merugikan. Karena sebaik-baik pencipta
hanyalah Allah SWT dan Ia menciptakan manusia sesuai kehendakNya
juga mengandung hikmah didalamnya.
3. Pendapat Ulama’ Tentang Tato
Menurut Syeich Sulaiman (t.t, IV/55) pengarang kitab bujairomi ia menjelaskan Tato ialah tanda pada tubuh yang dihasilkan dengan cara
menusukkan jarum pada tubuh hingga mengeluarkan darah kemudian
40
tersebut. Hukum menghilangkan tatto bila dilakukan saat seseorang sudah
mukallaf (dewasa dan berakal), tidak dipaksa, tahu keharamannya, tanpa
kepentingan, bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya, bila tidak
maka tidak wajib. Maka bila dilakukan saat ia masih kecil, dipaksa, tidak
tahu keharamannya, karena ada keperluan, khawatir timbul bahaya yang
hingga diperbolehkan baginya tayamum maka tidak wajib
menghilangkannya dan sahlah shalat serta menjadikannya imam.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang yang
menjalaninya setelah ia mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan
bahaya saat menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan
menjalani tayammum maka terhalanglah hilangnya hadas dari anggata
tubuh yang ditatto karena kenajisannya, bila tidak dalam ketentuan diatas
(mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan bahaya saat
menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan menjalani
tayammum) maka dianggap udzur keberadaannya. Keberadaan tatto yang
tidak dianggap udzur bila bertemu dengan air sedikit atau barang cair
lainnya atau sesuatu yang basah dapat menjadikan kenajisannya.
Menurut Syeikh Isma'il Zain, orang yang mentato tubuhnya sah
wudlu dan mandinya namun dia berdosa dengan perbuatan itu, dia wajib
bertaubat, dan wajib menghilangkannya jika memang tidak
mendatangkan bahaya, karena itu termasuk wasym, yang membuatnya tidak boleh, akan tetapi wudhu dan mandi keduanya sah karena darurat,