• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung) SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP

WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor

Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten

Temanggung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

MUHAMMAD RAISUL UMAM

NIM 211 11 036

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI

AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(2)
(3)

i

ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP

WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor

Urusan Agama Kecamatan Kedu Kabupaten

Temanggung)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum

Oleh:

MUHAMMAD RAISUL UMAM

NIM 211 11 036

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI

AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(4)
(5)
(6)
(7)

v

MOTTO

“Berbuat baik, Bersyukur, memaafkan serta rendah hati adalah kunci kehidupan”

Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain dan sebaliknya Baik menurut orang lain belum tentu baik menurut kita.

ىمِ صَ صَ لْأِ صَ لْأِاى مِ ىطٍ لْأِ تُنُ صَ ىمِ صَ لْأِ لُّااى صَ صَ ىمِا صَ مِلْأِااىتُ مِرِّ صَ تُ

Kebijaksanaan imam/kepala negara terhadap rakyat itu harus dihubungkan

(8)

vi

PERSEMBAHAN

Dengan ketulusan hati dan segenap rasa syukur, skripsi ini saya persembahkan kepada :

Bapak (Kasnan) & Ibuku tersayang (Jazimatul Chasanah) serta adik-adik ku tersayang (Roki, Difla & Arza) yang telah mencurahkan segala daya dan upaya, demi kesuksesan putranya. Terima kasih atas cinta dan kasih sayang

yang telah diberikan selama ini, juga untuk setiap do’a dan restu yang dengan tulus diucapkan, serta materi yang selalu diberikan, Semoga selalu

diberikan kesehatan, kebahagiaan, keberkahan, dan mendapat limpahan kasih sayang Allah SWT dunia akhirat.

Khusna Maulida & Elia Widyawati, sang Motivator, Penyemangat, sekaligus sahabat terbaik yang selalu menemani ku dikala suka dan duka hingga kita

mampu berjuang bersama dalam penyusunan skripsi masing-masing, Semoga Allah Meridhoi.

Bapak Ali Sukron beserta keluarga selaku Pengasuh komplek Al Fadlil Pondok Pesantren Al I’tihad Poncol Beringin Kab. Semarang yang telah

memberikan ilmu agama dan mengarahkanku dalam kebaikan.

Bapak Mupangat, M.Ag Selaku kepala KUA Kec. Kedu yang

menginspirasikan judul skripsi ini dan Bapak Drs Badwan M.Ag yang telah sabar dalam mengarahkan, membimbing dan memberikan

masukan-masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Teman-teman AS 2011, Sahabat-sahabati PMII dan teman-teman Kampak Alumni PP. Miftahurrosyidin yang selalu menemani dan memberi semangat

agar skripsi ini cepat terselesaikan.

Sahabat-sahabati GANAS PMII Salatiga yang telah menorehkan tinta emas dalam hidup ku dan penuh keikhlasan menemaniku.

(9)

vii

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah

SWT. Atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat

diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam

semoga tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para

pengikutnya.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat

guna untuk memperoleh gelar sarjana hukum Institut Agama Islam Negeri

(IAIN) Salatiga. Adapun judul skripsi ini adalah ANALISIS PENOLAKAN

KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (STUDI KASUS DI

KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN KEDU KABUPATEN

TEMANGGUNG). Penulisan skripsi ini dapat selesai tidak lepas dari

berbagai pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil.

Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd selaku Rektor IAIN Salatiga yang

telah banyak berjasa untuk mengasuh penulis dan berkenan memberikan

persetujuan/pengesahan terhadap judul skripsi ini.

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag, Selaku Dekan Fakultas Syari’ah.

3. Bapak Sukron Makmun M.Si, Selaku Ketua Jurusan hukum Keluarga

Islam.

4. Bapak Drs. Badwan, M. Ag. Selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

5. Ibu Heni Satar N, S.H., M.Si. Selaku dosen pembimbing Akademik

6. Bapak Mupangat, M.Ag, Selaku Kepala KUA, Kecamatan Kedu,

Kabupaten Temanggung yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini.

7. Bapak/ibu Dosen dan Karyawan IAIN Salatiga yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak, Ibukku serta Saudara-saudara ku dirumah yang telah mendoakan

dan membantu baik moril maupun spiritual dalam menyelesaikan studi di

(10)

viii

9. sahabat-sahabatku yang tak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

memberikan bantuan baik berupa tenaga dan motivasi kepada penulis

hingga terselesaikannya skripsi ini.

Semoga amal mereka diterima sebagai Amal Ibadah oleh Allah SWT

serta mendapatkan balasan yang berkah dan berlimpah, Amiin.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, semua itu karena keterbatasan kemampuan serta pengetahuan

penulis. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan

oleh penulis untuk penyempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan para pembaca pada umumnya serta bermanfaat bagi dunia

pendidikan, agama, nusa dan bangsa. Amiin.

Salatiga, 15 Maret 2017

Penulis

Muhammad Raisul Umam

(11)

ix ABSTRAK

Umam, Muhammad Raisul. 2017. “ANALISIS PENOLAKAN KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor Urusan

Agama Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung)”. Skripsi Fakultas

Syari‟ah Jurusan Hukum Keluarga Islam ( Ahwal Al-Syakhsyiyyah ). Institut Agama Islam Negeri ( IAIN ) Salatiga. Pembimbing Drs. H. Badwan, M.Ag.

Kata kunci Hukum Bertato, wali

Penelitian ini bertujuan untuk bagaimana status hukum bagi seorang wali dalam pernikahan yang bertato. Karena pada dasarnya belum ada peraturan yang mengatur secara detail tentang hal tersebut, baik Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), maupun Putusan Pengadilan. Pertanyaan yang ingin di jawab dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap penolakan wali bertato sebagai wali dalam perkawinan? (2) Bagaimana prosedur yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali nikah bertato?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pengumpulan datanya penyusun menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Data yang diperoleh peneliti dari beberapa informan dari pegawai pencatat nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung.

(12)

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………....…… i

NOTA PEMBIMBING………....………. ii

HALAMAN PENGESAHAN ………...………...……….. iii

HALAMAN PERNYATAAN ……….…………....………… iv

MOTTO………. v

PERSEMBAHAN………... vi

KATA PENGANTAR……….. Vii ABSTRAK……… ix

DAFTAR ISI………. x

DAFTAR LAMPIRAN………. xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………... 1

B. Rumusan Masalah………. 9

C. Tujuan Penelitian……….. 9

D. Manfaat Penelitian……… 9

E. Penegasan Istilah...………. 10

F. Metode Penelitian………. 11

G. Sistematika Penulisan……….……….. 15

BAB II LANDASAN TEORI A. Perkawinan...………...……... 17

(13)

xi

1. Pengertian Wali………...

2. Dasar Hukum Wali……….

3. Macam Macam Wali………...

4. Pendapat Ulama Tentang perwalian dalam Perkawinan…………

5. Pengertian Wali Fasiq dalam Perkawinan ……..………...

C. TATO………

1. Pengertian Tato………...………

2. Dasar Hukum Tato………..

3. Pendapat Ulama Tentang Tato………....

4. Jenis Jenis Tato………

5. Bahan Tato………..……

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

A. Profil Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kedu………...

1. Kondisi Umum………

2. Tugas dan Fungsi KUA Kecamatan Kedu……….

3. Visi dan Misi KUA Kecamatan Kedu………

4. Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kedu………...……

5. Program Kerja KUA Kecamatan Kedu ………..

6. Tantangan, Kendala dan Peluang KUA Kecamatan Kedu……….

7. Kode Etik Pegawai Kementrian Agama……….

B. Temuan Penelitian ………...

1. Kasus Wali Bertato di KUA Kecamatan Kedu ………..

2. Prosedur Penolakan Wali Bertato ……….. 44

A. Analisa Tinjauan Hukum Islam Tentang Wali Bertato ...

B. Prosedur Penolakan Wali Nikah Bertato Di KUA Kecamatan Kedu... 57

(14)

xii BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………...…...……….…...…….. 64

B. Kritik dan Saran ………....….….. 64

C. Penutup ... 65

DAFTAR PUSTAKA ...

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama ………... 45

(15)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I : Daftar Riwayat Hidup

Lampiran II : Lembar Konsultasi Skripsi

Lampiran III : Daftar SKK

Lampiran IV : Surat Izin Penelitian

Lampiran V : Keterangan Telah Meneliti

Lampiran VI : Daftar Pertanyaan

Lampiran VII : Transkip Wawancara

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan sangat

sakral dalam kehidupan manusia, tidak terkecuali bagi seorang muslim.

Seorang muslim melaksanakan perkawinan merupakan sunatullah, dan mengandung suatu hikmah. Adapun salah satu hikmah yang terkandung di

dalamnya yaitu untuk kelangsungan hidup manusia di dunia melalui

perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, akan terjalin hubungan yang

terhormat dan harmonis antara laki-laki dan perempuan. pergaulan harmonis

akan menjadikan rumah tangga yang damai dan tenteram.

Perkawinan yang sah menurut Islam adalah akad yang kuat sebagai

bentuk ketaatan kepada Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Mengingat kedudukan hukum perkawinan sangat penting menurut Islam,

maka tidak salah jika Islam mengatur masalah perkawinan dengan sangat

terperinci.

Bukan hanya agama, bahkan negara juga ikut andil dalam menangani

masalah terkait perkawinan. terbukti dari diterbitkannya Undang-Undang No.

1 Tahun 1974. “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

(17)

2

orang yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis sesuai

perintah agama.

Dalam pasal 2 (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Sunarso.2012:

1). Bahwa ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Tidak sah jika perkawinan seseorang dilakukan tanpa aturan agama yang dianutnya, karena

masing-masing agama mempunyai aturan-aturan yang berbeda dan pasti

mengandung suatu maksud dan tujuan tertentu.

Pasal 2 (2) disebutkan “Bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pencatatan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 2 (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tidak mempengaruhi keabsahan perkawinan menurut hukum agama.

Pencatatan ini hanya bersifat administratif guna memperoleh akta nikah

sebagai bukti otentik telah dilakukannya suatu perkawinan. Memiliki akta

nikah berarti pernikahan tersebut secara yuridis telah diakui negara dan

memperoleh perlindungan serta kepastian hukum dari negara.

Pernikahan secara bahasa berarti kumpul atau gabung, sedangkan

menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur didalamnya mengandung

syarat dan rukun. Ke asalan nikah di dalam bahasa Arab cenderung pada arti

kawin karena nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri

(Taqiyuddin. 2005: 31). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2

(18)

3

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”

(Abdullah. 2002: 78). Allah berfirman dalam surat ar Rum ayat 21;

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644).

Jelas bahwa Allah telah menciptakan seorang istri dari jenis kita,

merasakan tentram dan tumbuh kasih sayang. Sehingga tidak akan terjadi

suatu hal yang menjadikan permusuhan, hilangnya rasa kasih dan sayang yang

mengakibatkan perpisahan.

Guna memperoleh pernikahan yang sah, dalam pelaksanaannya harus

terpenuhi rukun dan syarat pernikahan. Apabila salah satu dari keduanya tidak

terpenuhi sewaktu melangsungkan perkawinan, maka pernikahan tersebut

tidak sah menurut syara‟. Menurut Abdul Rahman (2003:48) menjelaskan

sebagai berikut: Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam,

yaitu: calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang

saksi, sighat akad nikah.

Kemudian menurut Zakaria bin Muhammad beliau berpendapat :

"

(19)

4

Dalam Kompilasi Hukum Islam, rukun nikah yang terdapat di

Indonesia ada lima, yaitu: calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang

saksi, ijab dan qabul (Abdullah. 2002: 81). Setelah semua rukun nikah

terpenuhi haruslah melihat syarat-syarat yang ada dalam akad pernikahan,

apakah telah lengkap atau belum. Apabila rukun telah dipenuhi akan tetapi

syarat belum terpenuhi, maka pernikahan belum dianggap sah.

Penelitian ini, menekankan syarat yang harus dipenuhi oleh wali dari

mempelai wanita, sebagaimana diterangkan oleh Amir Syarifuddin dalam

buku Hukum Perkawinan Islam di Indonesia sebagai berikut:

1. Telah dewasa dan berakal sehat dalam arti anak kecil atau orang gila tidak

berhak menjadi wali. Ini merupakan syarat umum bagi seseorang yang

melakukan akad. Hal ini mengambil dalil dari hadis Nabi:

ىمِنصَ صَ ىصَغتُ لْأِنُبصَنُيى َّتَّصَحىمِرِّمِبرِّ ااىمِنصَ صَ ىصَظمِقلْأِ صَنُتلْأِسصَيى َّتَّصَحىمِامِء َّ ااىمِنصَ ىطٍ صَث صَلَصَثىلْأِنصَ ىتُمصَ صَقلْأِااىصَعمِفتُر

ىصَقلْأِ مِفصَيى َّتَّصَحىمِالْأِ تُنُ لْأِجصَ لْأِاا

(

حمأىها ر

ى,

د ادى أ

ى,

ئ س اا

ى,

ىن إ

ى,

م ح

)

“Diangkatkan kalam (tidak diperhitungkan secara hukum)

seseorangyang tertidur sampai ia bangun, seseorang yang masih kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sehat.(HR.

Ahmad, Abu Dawud, An Nasai, Ibnu Majah, Hakim)”. (Jalaluddin,2006:273)

2. Laki-laki, tidak boleh seorang wanita menjadi wali.

3. Muslim.

(20)

5

Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 28:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya.

Dan hanya kepada Allah kembali(mu)” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 80).

4. Orang merdeka

Orang merdeka adalah bukan budak (hamba) tebusan; orang bebas.

(KBBI. http://kamusbahasaindonesia.org: akses 25 januari 2017). Tidak

berada dalam pengampuan atau mahjur alaih. Alasannya adalah bahwa orang yang berada di bawah pengampuan tidak dapat berbuat hukum

dengan sendirinya. Kedudukannya sebagai wali merupakan suatu

tindakan hukum.

5. Berpikiran baik. Orang yang terganggu pikirannya karena ketuaannya

tidak boleh menjadi wali, karena dikhawatirkan tidak akan mendatangkan

maslahat dalam perkawinan tersebut.

6. Adil, dalam arti tidak pernah terlibat dengan dosa besar dan tidak sering

(21)

6

Keharusan wali itu adil berdasarkan kepada sabda Nabi Saw:

ىصَا صَ مِا صَ

dapatnya di ambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik,

atau badan hukum” (Abdullah. 2002: 109).

7. Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umroh. Hal ini

berdasarkan kepada hadits Nabi dari Usman menurut riwayat Muslim

yang mengatakan:

“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikahkan seseorang dan tidak boleh pula dinikahkan oleh seseorang.(Muslim, t.t: 560)”.

Orang fasik tidak mempunyai legalitas atau wilayah untuk menikahkan

karena terpaksa atau tidak. Apakah fasiknya disebabkan minum khamr atau

yang lainnya, menampakkan kefasikannya atau menyembunyikannya. Karena

fasik itu sedikit memberi dampak pada syahadah, akibatnya berimbas pada larangan tidak boleh menikahkan, seperti: budak, maka yang boleh

menikahkan wali yang jauh.

Dewasa ini kehidupan masyarakat semakin beragam, pengaruh media

sosial juga pergaulan bebas membuat perubahan pada pola pikir dan gaya

hidup seseorang, sesuatu yang dianggap buruk pun bisa menjadi tren gaya

hidup bagi sebagian orang dan salah satunya adalah bertato. Ibnu Hajar

(22)

7

dimaksud dengan tato (wasym) menurut ahli bahasa adalah menusuk-nusuk anggota tubuh dengan jarum hingga berdarah, kemudian mengisi lubang di

kulit tubuh tersebut dengan pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi

kehijauan.

Berdasarkan definisi di atas, jelaslah bahwa tato yang dimaksud

bukanlah menggambar anggota tubuh dengan zat pewarna alami misalnya

dengan inai, henna atau sejenisnya, akan tetapi tato adalah menggambar atau

mengukir anggota tubuh dengan cara melukainya dengan jarum, kemudian

memasukkan zat pewarna tersebut ke bawah kulit yang sudah dilukai dengan

jarum. Tato semacam ini bersifat permanen. Tato dalam arti seperti telah

disebutkan di atas haram hukumnya Dalilnya adalah hadits sahih riwayat

Bukhari berikut :

ىصَملْأِ مِااصَ لْأِنُ مِاىلْأِنصَ ىمِرلْأِ تُ لْأِ صَ ىلْأِنصَ ىتُا صَ لْأِفتُ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىمِ تُ لْأِبصَ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىطٍ مِ صَقتُ ىتُنلْأِ ىتُ َّ صَتُ ى مِ صَثَّ صَح

ىلْأِنصَ

ىصَ صَقىتُ لْأِ صَ ىتُ ىصَيمِضصَرىمِدلْأِ تُعلْأِسصَ ىتُنلْأِ مِاىلْأِنصَ ىجٌ صَ مِقلْأِ مِ

ى مِت صَ مِ َّ ااصَ ى مِت صَمِشِلْأِ صَنُتلْأِستُ لْأِااصَ ى مِت صَمِشِاصَ لْأِااىتُ ىصَنصَعصَا

ىمِ ىصَقلْأِ صَ ى مِتاصَرِّمِ صَ تُ لْأِااىمِنلْأِستُ لْأِ مِاى مِت صَجرِّمِ صَفصَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ رِّمِ صَ صَنُتتُ لْأِااصَ

ىتُ لْأِ تُ صَرىتُ صَ صَعصَاىلْأِنصَ ىتُنصَعلْأِاصَأىصَ ى مِلِ صَ ى

ىمِ ى مِب صَتمِ ى مِ ىصَ تُاصَ ىصَمَّ صَ صَ ىمِ لْأِ صَ صَ ىتُ ى َّ صَ ىمِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu Mas’ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita

yang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak melaknat orang

yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah

(Bukhari. 1991: 5487).

Saat ini banyak kasus-kasus hukum keluarga yang terjadi di

(23)

8

sebagai seorang wali, untuk menjadi seorang wali terdapat beberapa syarat

sah wali seperti yang sudah peneliti jelaskan di atas. Kemudian bagaiman

setatus seorang wali ketika bertato, padahal bertato jelas sudah dilarang

menurut hukum Islam yang mana telah dijelaskan dalam hadits Nabi di atas

dan di perkuat oleh pendapat Ibnu Hajar Al-'asqalani dalam bukunya Fathul

Bari, menjelaskan bahwaorang yang bertato hukumnya haram. Oleh karena

itu tato tersebut wajib dihilangkan meskipun harus melukai kulit, kecuali jika

dikhawatirkan akan mengakibatkan rusak, cacat atau hilangnya fungsi

anggota tubuh yang ditato tersebut. Dalam kondisi demikian, maka tatonya

boleh tidak dihilangkan, dan cukuplah taubat untuk menghapus dosanya

(Hajar. t.t: 567).

Dari uraian di atas sudah jelas belum ada peraturan yang mengatur

tentang masalah wali yang bertato baik Undang-undang Perkawinan,

Kompilasi Hukum Islam, Maupun hukum syariat, sebab kasus ini akan

menyangkut tentang syarat sah wali. Maka dari itu penulis akan menganalisis

maslah tersebut dengan mengangkat judul skripsi “ANALISIS PENOLAKAN

KUA KEDU TERHADAP WALI NIKAH BERTATO (Studi Kasus di Kantor

(24)

9 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang peneliti paparkan di atas,

maka peneliti dapat mengambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendapat KUA Kedu terhadap penolakan wali bertato sebagai

wali dalam perkawinan?

2. Bagaimana prosedur yang dilakukan KUA Kedu dalam penolakan wali

nikah bertato?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah di rumuskan di atas, maka

penelitian ini bertujuan sebagai berikut

1. Untuk mengetahui bagaimana konsekwensi hukum bagi seseorang wali

yang bertato dalam hukum Islam.

2. Untuk mengetahui boleh atau tidaknya bagi seorang yang bertato untuk

menjadi wali nikah bagi anaknya.

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis

Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dibidang hukum Islam,

khususnya fiqih munakahat dan dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak yang akan melakukan penelitian lanjutan serta dapat

menambah bahan pustaka bagi Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.

2. Secara Praktis

(25)

10

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk

memberikan pendidikan Hukum Islam bagi lembaga dan mahasiswa

IAIN Salatiga.

c. Bagi peneliti, untuk memotivasi diri dan menjadikan bekal hidup

dalam bermasyarakat, beribadah kepada Allah SWT dan berharap

menjadi hamba yang beruntung di dunia dan di akhirat.

E. Penegasan Istilah

Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda

dengan maksud peneliti, maka peneliti akan menjelaskan istilah di dalam

judul ini. Istilah yang perlu peneliti jelaskan adalah:

1. Hukum Islam

Hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,

hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan

manusia dan alam sekitar berdasarkan Al Quran dan hadis

2. Wali

Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah

(yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)

(http://kbbi.web.id/wali. akses tgl:26 januari jam 12.00 Wib). 3. Tato

Tato adalah pengindonesiaan dari kata tattoo yang artinya adalah desain, goresan, gambar, atau lambang yang mana kulit seseoranglah

(26)

11 F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Untuk membantu memudahkan peneliti dalam melakukan

penelitian, peneliti akan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan

menggunakannya sebagai acuan dalam penulisan proposal skripsi.

Pendekatan Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan

penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan

prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kualifikasi

pengukuran (Ghani,1997:11). Sedang menurut Taylor, penelitian

kualitatif adalah sebuah prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati (Moleong, 2002:3). Dari pengertian tersebut, sudah

tentu sesuai dengan judul yang telah ada ini, peneliti akan berada pada

latar yang alamiah sehingga metode yang akan digunakan adalah dengan

melakukan wawancara, observasi, catatan lapangan dan pemanfaatan

dokumen.

Penelitian kualitatif merupakan sebuah penelitian yang

menghasilkan data tertulis. Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis

adalah diskripsi. Penelitian diskripsi menurut Suryabrata adalah penelitian

yang bermaksud untuk membuat pencandraan uraian, paparan mengenai

(27)

12 2. Kehadiran Peneliti

Seperti yang telah diterangkan di atas bahwasannya peneliti akan

melaksankan observasi dan wawancara langsung pada obyek kajian

sehingga sudah tentu peneliti barada pada lapangan bersama nara sumber

yang ada. Penelitian akan dilaksanakan di Kantor Urusan Agama

Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung. (sbbnya apa kok di tmg?)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kantor Urusan Agama Kecamatan

Kedu Kabupaten Temanggung.

4. Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah semua data yang diperoleh dari

informan yang dianggap penting dan juga dihasilkan dari dokumentasi

yang menunjang. Data yang peneliti gali berasal dari unsur-unsur yang

terkait dengan judul yang diteliti.

5. Prosedur Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling penting

dalam sebuah penelitian, karena tujuan dari peneliti adalah untuk

mendapatkan data. Dalam pelaksanaan penelitian ini, data akan diperoleh

dengan menggunakan teknik pengumpulan data:

a. Observasi Langsung

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan secara sistematis

terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Menurut Nawawi,

(28)

13

sistematis terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian

(Nawawi,1990:100).

b. Wawancara

Wawancara dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan wawancara

(interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong,

2011:186 ).

c. Dokumen

Dokumen terdiri dari kata-kata dan gambar yang telah direkam

tanpa campur tangan pihak peneliti. Dokumen tersebut tersedia dalam

bentuk tulisan, catatan, suara dan gambar (Daymon, 2008:3). Metode

ini digunakan untuk memperluas pengamatan dan pengumpulan data.

Data yang diambil berasal dari catatan hasil wawancara, foto-foto

dokumentasi.

6. Analisis Data

Menurut Muhadjir, analisis data merupakan upaya untuk mencapai

dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, dan

lainnya untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang

diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi orang lain

(Muhadjir,1994:104). Penulis akan menunjukkan laporan penelitian yang

berisi kutipan-kutipan data dan memberikan gambaran penyajian laporan.

Data yang penulis sajikan seperti naskah wawancara, catatan lapangan,

(29)

14 7. Keabsahan Data

Untuk keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam

kriteria kreadibilitas. Hal ini dimaksud untuk membuktikan bahwa apa

yang berhasil dikumpulkan sesuai dengan kenyataan yang ada dalam

penelitian. Metode yang digunakan dalam pengecekan keabsahan data:

a. Triangulasi Sumber

Trianggulasi Sumber yaitu membandingkan dan mengecek

balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui

waktu dan alat yang berbeda. Dalam metode ini penulis mengecek

informan satu dengan yang lain yang diwawancara dan dari sini dapat

diukur benar tidaknya kenyataan yang ada.

b. Triangulasi Metode

Triangulasi Metode Yaitu pengecekan derajat kepercayaan

penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data dan

sumber data dengan metode yang sama (Moleong,2002:178). Dalam

metode ini penulis melakukan kroscek antara wawancara dengan hasil

observasi yang dilakukan.

8. Tahap-tahap Penelitian

Menurut Moloeng, bahwa tahap-tahap penelitian yang digunakan

oleh peneliti sebagai berikut:

a. Tahap Pra Lapangan

1)Mengajukan judul penelitian.

(30)

15

3)Konsultasi penelitian kepada pembimbing.

b. Tahap Pekerjaan Lapangan

1)Persiapan diri untuk memasuki lapangan.

2)Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus

penelitian.

3)Pencatatan data yang telah dikumpulkan.

c. Tahap Analisis Data

1)Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian.

2)pengecekan keabsahan data. (Moloeng, 2002:84-105).

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman pembaca pada penelitian ini,

peneliti menyusun sebuah sistematika penulisan. Sistematika penulisan ini ada

lima bab, yang masing-masing membahas masalah yang berbeda. hal itu

merupakan satu kesatuan yang menyambung. Adapun rincian dari kelima bab

tersebut adalah sebagai berikut:

Bab Satu, bab ini berisi pendahuluan yang bertujuan untuk

memberikan gambaran objek kajian secara umum. Pada bab ini akan memuat

pembahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, penegasan istilah, metotode dan sistematika

penulisan.

Bab dua, bab ini membahas perkawinan syarat dan rukunnya yang

(31)

16

Bab tiga, bab ini mendeskripsikan, pertama: tentang data penelitian

yang mencakup seting penelitian yang telah dinarasikan oleh penulis agar

mudah dipahami oleh pembaca. Seting penelitian tersebut berisi tentang letak

geografis, demografis Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan Kedu,

sumber data yang diperoleh serta landasan hukum, birokrasi, TUPOKSI, tata

cara nikah, pelaksanaan nikah, dan sikap KUA terkait wali yang bertato.

Bab empat, analisis berisi tentang landasan hukum dan sikap Kantor

Urusan Agama (KUA) terhadap wali yang bertato.

Bab lima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil

pembahasan secara keseluruhan dan disertai dengan saran-saran, kemudian

(32)

17

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Pernikahan atau perkawinan menurut bahasa berarti kumpul atau

gabung, sedangkan menurut istilah adalah akad yang sudah masyhur

didalamnya mengandung syarat dan rukun. Dan menurut Azzuhri : Ke

asalan nikah di dalam kalam Arab cenderung pada arti kawin karena

nikah pada dasarnya untuk menghalalkan hubungan suami istri”

(Taqiyuddin.2005:36). Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2

menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan

ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya

merupakan ibadah (Zainudin, 2006:7). Kemudian Pengertian perkawinan

menurut ketentuan pasal 1 undang-undang Perkawinan No 1 tahun 1974

adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami istri (Anshary, 1993:74).

Dari beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

pernikahan ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang

laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua

belah pihak dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syara’.

Pernikahan harus didasari dengan asas suka sama suka antar kedua belah

(33)

18

diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara

yang diridhloi Allah SWT.

2. Dasar Hukum Perkawinan

a. Dalam menentukan suatu pendapat atau hujjah para ulama tidak lepas dasar hukum qhat‟i Al Quran dan Al-hadits. Dalam pembahasan ini penulis paparkan ayat-ayat Al Quran dan Hadits Nabi yang menjadi dasar hukum perkawinan, diantarannya:

1)Firman Allah SWT dalam Al Quran surat Ar-Rum Ayat 21 di menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”,(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 644). 2)Surat An Nahl ayat 72

(34)

19 sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma´ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 291).

4)Kemudian Hadits Nabi Saw yang diriwatkan oleh Imam Bukhori:

ى

menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu” (Bukhori, t.t: 117).

Barangsiapa kawin (beristri) maka dia telah melindungi (menguasai) separo agamanya, karena itu hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separonya lagi

(Al Hakim, Aththahawi, 2008: 225)

Dari firman Allah SWT dan Hadits Nabi Saw di atas dapat kita

(35)

20

perkawinan, menjadikan istri dari jenis kita sendiri supaya kita tenram

dan menjadikan darinya anak-anak dan cucu-cucu, juga memberikan rizqi

dan menyempurnakan separuh dari keimanan.

b. Menurut Kompilasi Hukum Islam

“Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa : Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan

untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” (Abdul.2002:78).

c. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 2:

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing

-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan, perundang-undangan yang berlaku.”

3. Rukun dan syarat perkawinan

Para ulama’ dan cendekiawan banyak yang menerangkan definisi

tentang rukun dan syarat menurut Abdul Rahman (2003:47), menjelaskan

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian

pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu dan takbiratul ihram

untuk shalat. Atau adanya calon pengantin laki-laki atau perempuan

dalam perkawinan. Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan

sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk

shalat. Atau menurut Islam, calon pengantin laki-laki atau perempuan itu

(36)

21 a. Rukun

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas

5 hal yang harus dipenuhi. Adapun kelima hal tersebut adalah

1)Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan.

2)Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

3)Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau

wakilnya yang akan menikahkannya.

4)Adanya dua orang saksi.

5)Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau

wakilnya dari pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin

laki-laki (Departemen Agama, 1992:18).

b. Syarat

Syarat-syarat perkawinan seperti yang diisyaratkan oleh para

Ulama’ ada 9. Syarat-syarat tersebut adalah:

1)Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

2)Pria sudah berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun.

3)Izin orang tua/ pengadilan jika belum berumur 21 tahun.

4)Tidak masih terikat dalam suatu perkawinan.

5)Tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami atau istri yang sama

yang akan dinikahi.

6)Bagi janda sudah lewat masa tunggu.

7)Sudah memberitahu kepada pegawai pencatat perkawinan 10 hari

(37)

22

8)Tidak ada yang mengajukan pencegahan.

9)Tidak ada larangan perkawinan (Anshary, 1993:76-80).

4. Hukum Perkawinan

Hukum perkawinan seperti yang disebutkan oleh paraulama ada 5.

Adapun pembagian ke 5 hukum perkawinan tersebut adaah sebagai

berikut:

a. Wajib, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan

kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada

perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan

perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib. Dengan maksud untuk

menjaga diri dari perbuatan maksiat.

b. Sunah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan

kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak

kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum

melakukan perkawinan bagi orang tersebut menjadi sunah.

c. Haram, yaitu bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan

kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan

kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan

perkawinan akan terlantarkan dirinya dan istrinya.

d. Makruh, yaitu bagi orang yang mempunyai kemampuan dan kemauan

untuk meaksanakan perkawinan dan cukup untuk bisa menahan diri

sehingga tidak memungkinkan dirinya terjerumus berbuat zina

(38)

23

e. Mubah, yaitu bagi Orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk

melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak

dikhawatirkan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak

akan menelantarkan istri (Tihami, 2009: 12).

5. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi

petunjuk agma dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,

sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban

anggotan keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan

batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinyanya

sehingga timbullah kebahagiannya, yakni kasih sayang antar anggota

keluarga (Darajat, 1995:48).

Sedangkan menurut Imam Ghazali, yang menjadi tujuan

pernikahan adaah sebagai berikut:

a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya.

c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

dan kewajiban juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta

(39)

24

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang

tentram atas dasar cinta dan kasih sayang (Gazali,2003:50).

B. Wali Nikah

1. Pengertian Wali

Dalam bahasa sehari-hari sering terdengar kata-kata wali, misalkan

wali murid, wali kota, wali nikah, dan sebagainya. Wali dapat diartikan

sebagai orang yang mengurusi, wali murid berarti orang yang mengurusi

murid, wali kota berarti orang yang mengurusi kota, wali nikah berarti

orang yang mengurusi nikah dari pihak mempelai wanita, termasuk

memperhatikan apakah mempelai laki-laki benar-benar cocok atau belum,

misal sesuai nasab atau kafa‟ah. Sedangkan Wali menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti “orang yang menurut hukum agama, adat

diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya selama anak itu

belum dewasa, pengasuh pengantin perempuan pada ketika nikah, yaitu

yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki” (Suharso,

Retnoningsih, 2005: 634).

Dalam keterangan lain menjelaskan perwalian dalam perkawinan

adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar‟i atas segolongan manusia, yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan

tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri

(Mughniyah, 2001: 345). Kemudian Syarifuddin (2009: 69),

menerangkan pengertian wali sebagai berikut:

“seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak

(40)

25

dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian wali nikah

yaitu: orang yang bertanggung jawab dari pihak mempelai wanita untuk

melaksanakan ijab dalam akad pernikahan. Oleh karena itu wali harus ada

dan berada ditempat dimana suatu akad pernikahan dilaksanakan.

Sehingga pernikahan tersebut akan menjadikan sah dan sempurna.

2. Dasar Hukum Wali

a. Dasar hukum yang menjelaskan tentang wali yaitu Firman Allah

SWT Dalam Al Quran surat al Baqarah ayat 232:



“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,

sedang kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).

b. Kemudian dasar hukum kewajiban seorang wali untuk menikahkan

yaitu Firman Allah SWT Dalam Al Quran Surat An-nur ayat 32:

(41)

26

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”

(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 549 ).

Dan dalam sebuah hadits Riwayat Ibnu Majah dijelaskan juga:

ى صَ صَقىمِ مِ صَأىلْأِنصَ ى صَ تُ ى مِبِصَأىمِنلْأِ ىصَةصَدلْأِ تُنُ ى مِبِصَأىلْأِنصَ صَ

ى:

ى صَ ىم ى ى ى ىمَِّللَّصَاىتُ تُ صَرىصَ صَق

ىى طٍرِّمِ صَ مِ ى َّ مِإىصَا صَ مِا

)

ىن اىها ر

(

“Dari Abu Burdah Ibnu Abu Musa, dari ayahnya Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan wali” ( Ibnu Majah, t.t: 605/1 ).

3. Macam-Macam Wali

Dalam pernikahan wali harus ada dan ikut serta dalam pernikahan,

yang paling berhak menjadi wali adalah ayah dari mempelai wanita,

namun jika ayah tidak ada atau tidak memenuhi syarat maka bisa diganti

dengan yang lain asal masih satu nasab atau jika tidak ada maka bisa

diganti wali hakim. Syarifuddin ( 2009: 75 ) membagi macam-macam

wali sebagai berikut:

a. Wali Nasab, yaitu Wali Nikah karena pertalian nasab atau pertalian

darah dengan calon mempelai perempuan.

b. Wali Mu'tiq, yaitu Wali Nikah karena, memerdekakan, artinya seorang ditunjuk menjadi wali nikahnya seseorang perempuan, karena

orang tersebut pernah memerdekakannya. Untuk jenis kedua ini di

(42)

27

c. Wali Hakim, yaitu Wali Nikah yang dilakukan oleh Penguasa, bagi

seorang perempuan yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada,

baik karena telah meninggal dunia, menolak menjadi wali nikah atau

sebab-sebab lain. Di Negara Republik Indonesia, Kepala Negara

adalah Presiden yang telah memberi kuasa kepada pembantunya yaitu

Menteri Agama yang juga telah memberi kuasa kepada para Pegawai

Pencatat Nikah untuk bertindak sebagai Wali Hakim. Yang dimaksud

dengan Wali Hakim adalah hakim pengadilan (dalam hal ini

Pengadilan Agama), yang dimungkinkan dapat bertindak sebagai wali

hakim, apabila memang mendapat kuasa dari Menteri Agama. Hakim

dapat bertindak sebagai wali dari mempelai wanita dalam pernikahan

bilamana :

1)Wali nasab memang tidak ada.

2)Wali nasab berpergian jauh atau tidak di tempat, tetapi tidak

memberi kuasa kepada wali yang lebih dekat tidak ada di tempat.

3)Wali nasab kehilangan hak perwaliannya.

4)Wali nasab sedang berihram haji atau umrah.

5)Wali nasab menolak bertindak sebagai wali.

6)Wali nasab menjadi mempelai laki-laki dari perempuan di bawah

perwaliannya. Hal ini dapat terjadi jika yang dikawin adalah

seorang perempuan dengan saudara laki-laki sepupunya, kandung

(43)

28

Dalam bukunya yang berjudul Hukum Islam Penormaan Prinsip

Syari‟ah Dalam Hukum Indonesia Shomad ( 2010: 279 ) As Syafi’i

menjelaskan urutan wali adalah sebagai berikut:

a. Ayah.

b. Kakek.

c. Saudara laki-laki sekandung.

d. Saudara laki-laki seayah.

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung.

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah.

g. Paman sekandung (Saudara laki-laki dari ayah yang seibu-seayah).

h. Paman seayah.

i. Anak laki-laki dari paman sekandung.

j. Anak laki-laki dari paman seayah.

k. Hakim.

Hak menjadi wali nikah terhadap perempuan adalah sedemikian

berurutan, sehingga jika masih terdapat wali nikah yang lebih dekat maka

tidak dibenarkan wali nikah yang lebih jauh itu menikahkannya, jika

masih terdapat wali nasab maka wali hakim tidak berhak menjadi wali

nikah Diterangkan dalam KHI pasal 22.

(44)

29

tinggalnya atau ghaib atau adlal atau enggan” (Abdullah, 2002:

84).

Seperti dalam waris wali nikah harus diurutkan berdasarkan nasab.

Dalam urutan wali nasab, wali nikah yang lebih dekat disebut wali aqrab, sedang yang lebih jauh disebut wali ab'ad, misalnya ayah dan kakek, ayah disebut Wali aqrab sedang kakek disebut Wali ab'ad, ayah dengan paman, ayah disebut wali aqrab dan paman disebut wali ab‟ad. Demikian pula antara kakek dan ayah kakek, antara ayah kakek dan saudara

laki-laki sekandung, antara saudara laki-laki-laki-laki sekandung dan saudara laki-laki-laki-laki

seayah dan seterusnya asalkan masih dalam satu nasab (Syarifuddin,

2009: 92).

4. Pendapat Ulama’ Tentang Perwalian Dalam Perkawinan a. Madzhab Hanafiy

Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa wanita yang telah

baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri calon mempelai pria

dan boleh melakukan akad dengan sendiri. Menurut madzhab

Hanafiyah maksud kata nikah disandarkan kepada mereka dalam kata

"an yankihna", adalah berarti sah pernikahan mereka tanpa wali ( Helmi, 1994: 332).

Dalil-dalil yang memperkuat pendapat ini antara lain : firman

Allah SWT Surat Al-Baqarah ayat 232

(45)

30

“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan

di antara mereka dengan cara yang makruf” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).

Kemudian surat Al-Baqarah ayat 234

meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari.

Kemudian apabila telah habis „iddahnya, maka tiada dosa

bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56). Wanita adalah pelaku utama pernikahan, dan pernikahannya

itu sah berdasarkan ayat-ayat di atas tanpa ada ijin dari wali.

صَهتُنُ تُ تُ ى صَهتُنُالْأِذمِإصَ ى،تُ صَ لْأِأصَتلْأِستُ ىتُ لْأِ مِبلْأِااصَ ى، صَهرِّمِ مِاصَ ىلْأِنمِ ى صَهمِسلْأِفصَنُ مِ ىلُّقصَحصَأىتُبرِّمِ َّثاا

“Ats-tsayyibu (janda) lebih berhak kepada dirinya sendiri dibandingkan walinya. Adapun seorang gadis dimintai ijin,

dan ijinnya itu adalah dengan diamnya” (Diriwayatkan oleh Muslim no. 1421).

صَاتُراصَ لْأِنُقمِإى صَهتُنُتلْأِ صَ صَفى،تُ صَ لْأِأصَتلْأِستُ ىتُ صَ مِتصَ لْأِااصَ ى،جٌ لْأِ صَأى مِبرِّمِ َّثااىصَعصَ ىرِّمِمِ صَ لْأِ مِاىصَسلْأِ صَاى

“Tidak ada hak/kuasa bagi seorang wali terhadap seorang

(46)

31

Kedua hadits di atas menjelaskan bahwa Islam memberikan

hak secara penuh kepada seorang janda untuk menikah dengan

seorang laki-laki yang ia inginkan tanpa ada intervensi dari wali.

Adapun bagi gadis (bukan janda), ia perlu dimintai persetujuannya.

Disebutkan dalam hadits lain bahwa seorang wanita berhak menolak

jika ia dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak ia

suka. Artinya, ijin dari wali bukanlah menjadi satu keharusan atau

syarat sah bagi pernikahan tersebut, karena yang menjadi keharusan

adalah keridlaan/kerelaan dari si wanita. (Al Jauza,

http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-tanpa-wali-ini-dalilnya, akses 05 Maret 2017 ).

b. Madzhab Jumhur Ulama (Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah).

Madzhab Malikiyah, Syafi'iyah, Hambaliyah, serta mayoritas

fuqaha telah sepakat pentingnya keberadaan wali dalam akad

pernikahan. Setiap pernikahan tanpa menghadirkan wali maka

pernikahan tersebut menjadi batal atau tidak sah. Jadi, seorang

perempuan tidak mempunyai hak untuk melangsungkan akad

pernikahan dengan sendirinya secara langsung dalam kondisi

bagaimanapun. Hal ini para ulama mendasarkan pendapatnya pada

hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah:

(47)

32

Dalam Hadits lain Riwayat Thabrani sebagai berikut:

ىطٍ لْأِ صَ ى صَ مِا صَ صَ ىرِّطٍمِ صَ مِ ىَّ مِإىصَا صَ مِاىصَ

“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi

yang adil” (Jalaluddin, 2006: 586).

Selain itu, berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim dalam

surat Al-Baqarah ayat ke 232. Allah Ta’ala berfirman:



Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu

sampai masa „iddahnya, maka jangan kamu (para wali)

halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 56).

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Telah

menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini

turun berkenaan dengan dirinya. Ia yang berkedudukan sebagai wali

telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang

akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah

sama-sama ridha. Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu

surat Al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi

(48)

33

saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak” ( Qutaibah,

http://www.jurnalmuslim.com/2016/08/bolehkan-janda-menikah-sendiri-tanpa-wali-ini-dalilnya.html, akses 05 Maret 2017 ).

Dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama’ berpendapat tidak

sah apabila dalam pernikah tanpa adanya seorang wali. Dengan

demikian maka tidaksah apabila seorang mempelai wanita

menikahkan dirinya sendiri tanpa persetujuan dan didampingi oleh

seorang wali dan harus diwakilkan kepada wali abad atau wali hakim

ketika wali nasab tidak dapat menjadi wali secara langsung baik

dikarenakan udzur maupun fasik.

5. Pengertian Wali Fasik Dalam Perkawinan

Secara bahasa fasik berarti keluar dari jalan yang haq serta kesalihan (Munawir, 1997: 1055), sedangkan secara istilah menurut

Jalaluddin ( t.t: 262 ).

"

ىطٍةصَ لْأِنُ مِبصَ ى مِب صَ مِ لْأِر مِ ىتُقَّقصَ صَتصَنُيىتُقلْأِسمِفلْأِاصَا

ى,

ىطٍةصَ لْأِنُ مِ صَ ى صَ صَ ىمِراصَ لْأِ مِإىلْأِ صَأ

"

“Fasik adalah seorang yang dengan jelas melakukan dosa-dosa besar atau sering memenuhi dosa-dosa kecil”.

Orang fasik diartikan sebagai orang yang melakukan dosa besar

atau sering berbuat dosa kecil. Kemudian dalam Tafsir Al-Qur’an surat

Al-Maidah ayat 81 (Nawawi, 2007: 239 ) menjelaskan:

"

ىلْأِممِمِا صَتمِ صَ ىلْأِممِهمِرِّ مِبصَاصَ ىمِا مِ ىمِا صَلْأِ مِلْأِااصَ ىمِنلْأِيمِرِّ ااىمِنصَ ىصَالْأِ تُ مِر صَ ىلْأِ صَاىصَالْأِ تُقمِ صَف

ى"

(49)

34

Sedangkan dalam tafsir surat Yunus ayat 33:

"

ىمِا صَلََّ ااىمِرِّ صَحىمِنصَ ىالْأِ تُ صَ صَ ىلْأِ صَأىالْأِ تُقمِسصَف

"

ى

“Fasik berarti orang yang keluar dari batas kebaikan”.

Orang dikatakan fasik karena ia telah keluar dari batas-batas

kebaikan menurut ukuran syara’. Untuk memberikan batasan atau kriteria

yang pasti tentang kefasikan orang lain tidak mudah, bahkan sulit sekali.

Namun dalam kehidupan sehari-hari fasik sering dihubungkan dengan

tingkah laku atau akhlak seseorang, biasanya orang dinilai fasik jika

sudah melanggar norma-norma dalam masyarakat, misalkan sering

mabuk-mabukan, berjudi, mencuri dan sebagainya. Dalam pembahasan

ini orang yang bertingkah laku demikian tidak sah menikahkan putrinya,

maka hak untuk menikahkan berpindah kepada urutan wali yang telah

diterangkan dalam pembahasan di atas.

Kata fasik muncul di dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks,

terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan

kedurhakaan, seperti dalam surat Al-Hujurat ayat 7:

(50)

35

kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 846).

Terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan,

seperti yang dijelaskan dalam al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 197

barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 48).

Fasik dibagi menjadi dua yaitu fasik besar dan fasik kecil.

a. Fasik besar

Fasik besar yaitu kufur sebagaimana firman Allah dalam surat

As-Sajdah ayat 18-20.

(51)

36

jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan. (19) Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya” (QS. As-Sajdah: 18 – 20).

Fasik dalam ayat ini maknanya adalak kekafiran, karena Allah

kontraskan dengan iman dan diberi ancaman dengan siksa abadi di

neraka.

b. Fasik kecil

Sedangkan fasik kecil, adalah perbuatan kefasikan yang tidak

sampai pada derajat kekafiran. Fasik berbeda dengan kafir, fasik lebih

umum dari kafir. Tafsir surat Al-Hujurot ayat 7 ( Nawawi, 2007: 353 )

menjelaskan:

"

ىمِا صَ مِلْأِا مِ ىتُبلْأِيمِذلْأِ َّتااىصَ تُاىتُ لْأِفتُ لْأِا صَف

ى,

ىمِا صَسمِرِّ ااىتُبلْأِذصَ ىصَ تُاىتُ لْأِ تُستُفلْأِااصَ

"

ى

Orang kafir adalah orang yang tidak percaya terhadap surga, sedangkan orang fasik adalah orang yang tidak percaya adanya surga tetapi hanya dengan lisan”.

Fasik mungkin saja terjadi karena dosa kecil dan atau dosa

besar, sedangkan kafir tidak mungkin terjadi apabila hanya

disebabkan oleh dosa-dosa kecil (Baits,

https://konsultasiSyari’ah.com/11768-siapakah-orang-fasik.html.

akses 31 april 2017).

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap kafir pasti fasik,

tetapi belum tentu setiap fasik digolongkan kafir. Fasik menurut bahasa

(52)

37

berdosa besar ). Sedangakan menurut istilah orang yang percaya kepada

Allah Swt, tetapi tidak mengamalkan perintah-Nya, bahkan melakukan

perbuatan dosa.

Bagi orang yang fasik, dia tidak diperbolehkan menjadi wali

dalam pernikahan selama belum bertaubat dengan sungguh-sungguh.

Maka, jika dia belum bertaubat maka hak perwalian orang tersebut dapat

dicabut. Dijelaskan dalam KHI pasal 109

“Pengadilan Agama dapat mencabut hak seseorang atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah

perwaliannya” ( Abdullah, 2002: 109 ).

C. TATO

1. Pengertian Tato

Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman kehidupan

manusia semakin beragam. Manusia selalu mempunyai dan menunjukkan

ide, kreatif, hingga rasa sosial, bahkan mengatur bagian tubuh alaminya

dengan berbagai cara seperti halnya bertato. Tatto adalah suatu kegiatan

menggambar pada kulit tubuh dengan menggunakan alat sejenis jarum

atau benda dipertajam yang terbuat dari flora. Gambar tersebut dihias

dengan pikmen berwarna-warni (Olong,2006: 83).

Ibnu Hajar Al-'asqalani ( t.t. jilid 5: 567) dalam bukunya Fathul

Bari, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tato (wasym) menurut

(53)

38

berdarah, kemudian mengisi lubang di kulit tubuh tersebut dengan

pewarna (tinta) atau sejenisnya hingga menjadi kehijauan.

Tato adalah membuat sebuah gambar atau lambang pada bagian

tubuh seseorang menggunakan jarum atau alat sejenisnya dengan cara

menusuk-nusukkan kebagian tubuh yang akan digambarnya hingga

berdarah kemudian memasukkan zat pewarna kedalamnya berulang-ulang

sampai menghasilkan sebuah gambar pemanen.

2. Dasar Hukum Tato

Di antara yang diharamkan kepada umat manusia salah satunya

ialah mentato, sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh

Bukhori:

ىصَملْأِ مِااصَ لْأِنُ مِاىلْأِنصَ ىمِرلْأِ تُ لْأِ صَ ىلْأِنصَ ىتُا صَ لْأِفتُ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىمِ تُ لْأِبصَ ى صَاصَ صَنُبلْأِ صَأىطٍ مِ صَقتُ ىتُنلْأِ ىتُ َّ صَتُ ى مِ صَثَّ صَح

ىلْأِنصَ

ىصَ صَقىتُ لْأِ صَ ىتُ ىصَيمِضصَرىمِدلْأِ تُعلْأِسصَ ىتُنلْأِ مِاىلْأِنصَ ىجٌ صَ مِقلْأِ مِ

ى مِت صَمِشِلْأِ صَنُتلْأِستُ لْأِااصَ ى مِت صَمِشِاصَ لْأِااىتُ ىصَنصَعصَا

ىمِ ىصَقلْأِ صَ ى مِتاصَرِّمِ صَ تُ لْأِااىمِنلْأِستُ لْأِ مِاى مِت صَجرِّمِ صَفصَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ رِّمِ صَ صَنُتتُ لْأِااصَ ى مِت صَ مِ َّ ااصَ

ىتُنصَعلْأِاصَأىصَ ى مِلِ صَ ى

ىمِ ى مِب صَتمِ ى مِ ىصَ تُاصَ ىصَمَّ صَ صَ ىمِ لْأِ صَ صَ ىتُ ى َّ صَ ىمِ ىتُ لْأِ تُ صَرىتُ صَ صَعصَاىلْأِنصَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muqatil, telah

mengabarkan kepada kami “Abdullah, mengabarkan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Ibrahim, dari “lqimah, dari Ibnu Mas‟ud r.a beliau berkata: “Allah melaknat wanita-wanita yang mentato dan minta ditato, yang mencukur alis dan minta dicukur alisnya, serta yang meregangkan giginya untuk mempercantik diri, wanita-wanita yang merubah ciptaanNya”. Bagaimana aku tidak melaknat orang yang dilaknat Rasulullah? Sedang hal itu ada dalam kitabullah (Bukhari. 1991: 5487).

Hadis di atas sangat kuat kedudukannya karena diriwayatkan oleh

banyak periwayat yang adil dan diketahui bahwa hadis yang membahas

(54)

39 membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”

(Yayasan Penyelenggara Penterjemah, 1993: 160).

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT melarang kita ber

lebih-lebihan dalam berhias hingga merubah ciptaanNya, perbuatan yang

seperti itu adalah perintah syaitan dan menjadikannya sebagai pelindung

selainNya adalah sesuatu yang merugikan. Karena sebaik-baik pencipta

hanyalah Allah SWT dan Ia menciptakan manusia sesuai kehendakNya

juga mengandung hikmah didalamnya.

3. Pendapat Ulama’ Tentang Tato

Menurut Syeich Sulaiman (t.t, IV/55) pengarang kitab bujairomi ia menjelaskan Tato ialah tanda pada tubuh yang dihasilkan dengan cara

menusukkan jarum pada tubuh hingga mengeluarkan darah kemudian

(55)

40

tersebut. Hukum menghilangkan tatto bila dilakukan saat seseorang sudah

mukallaf (dewasa dan berakal), tidak dipaksa, tahu keharamannya, tanpa

kepentingan, bisa dihilangkan maka wajib menghilangkannya, bila tidak

maka tidak wajib. Maka bila dilakukan saat ia masih kecil, dipaksa, tidak

tahu keharamannya, karena ada keperluan, khawatir timbul bahaya yang

hingga diperbolehkan baginya tayamum maka tidak wajib

menghilangkannya dan sahlah shalat serta menjadikannya imam.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa orang yang

menjalaninya setelah ia mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan

bahaya saat menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan

menjalani tayammum maka terhalanglah hilangnya hadas dari anggata

tubuh yang ditatto karena kenajisannya, bila tidak dalam ketentuan diatas

(mukallaf atas dasar kerelaan, tidak menimbulkan bahaya saat

menghilangkannya dengan bahaya yang memperkenankan menjalani

tayammum) maka dianggap udzur keberadaannya. Keberadaan tatto yang

tidak dianggap udzur bila bertemu dengan air sedikit atau barang cair

lainnya atau sesuatu yang basah dapat menjadikan kenajisannya.

Menurut Syeikh Isma'il Zain, orang yang mentato tubuhnya sah

wudlu dan mandinya namun dia berdosa dengan perbuatan itu, dia wajib

bertaubat, dan wajib menghilangkannya jika memang tidak

mendatangkan bahaya, karena itu termasuk wasym, yang membuatnya tidak boleh, akan tetapi wudhu dan mandi keduanya sah karena darurat,

Gambar

Tabel 3.1 Data Jumlah Penduduk Kecamatan Kedu
Gambar 3.2 Struktur Organisasi KUA Kecamatan Kedu

Referensi

Dokumen terkait

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda,. tanda syaddah atau tanda tasydid, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut

wanita hamil diluar nikah adalah laki-laki yang menghamilinya, KUA Kecamatan. Karangtengah Kabupaten Demak mengunakan cara yang mudah, yaitu

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana para wali baptis dapat menyadari dan menjalankan tugasnya dalam mendampingi anak baptisnya terutama remaja yang saat ini sedang

Kata Kunci : Perjanjian Pra Nikah, Hukum Islam, Hukum Perkawinan Indonesia Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan, yang

Dalam menghadapi suatu masalah yang berhubungan dengan proses belajar mengajar, apakah guru anda bersifat terbuka. Ya, selalu bersifat terbuka