i
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP
PENGEMBANGAN KARIR DAN KEMAMPUAN
BEREMPATI PADA PERAWAT
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
I Made Boy Setiawan
NIM: 049114120
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Karya ini kupersembahkan bagi alm. Ibuku tersayang , I miss u mom
bapak, istri dan anak, kakak dan
v Tentang waktu :
Waktu bagiku bukanlah uang tapi bagaikan uang
Waktu terkadang begitu murah dan terkadang begitu mahal untuk dihargai
Waktu memiliki keajaiban
Mampu mengubah luka menjadi hal yan indah untuk dikenang
Sebaliknya mampu mengubah kenangan yang indah menjadi kenangan yang
pahit untuk diingat
Waktu sehari dibatasi oleh lingkar 360 derajat
Waktu kami didunia dibatasi oleh kuasamu ya Tuhan...
Kesalahan terbesarku adalah mensia-siakanmu
Maafkan aku mengabaikanmu dengan dalil keterbatasanku
vii
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENGEMBANGAN KARIR DAN KEMAMPUAN BEREMPATI PADA PERAWAT
I Made Boy Setiawan
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap pengembangan karir dengan kemampuan berempati pada perawat. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi terhadap pengembangan karir dan kemampuan berempati pada perawat. Kemampuan berempati seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tingkat pendidikan, masa kerja, pengalaman, usia, jenis kelamin, dan kondisi psikologis individu. Subyek try out yang dilibatkan dalam penelitian ini berjumlah 57 perawat. Sedangkan untuk subyek penelitian sendiri berjumlah 41 perawat. Subyek try out maupun subyek penelitian dalam penelitian ini diperoleh dengan teknik purposive sampel dengan kriteria : berjenis kelamin perempuan, pendidikan terakhir DIII keperawatan, masa kerja minimal 1 tahun dan rentang usia 20 sampai 45 tahun. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan penyebaran skala di RSUD Wangaya. Skala yang digunakan yaitu skala persepsi terhadap pengembangan karir dan skala kemampuan berempati. Koefisien reliabilitas alpha cronbach skala persepsi terhadap pengembangan karir sebesar 0,916, sedangkan koefisien reliabilitas alpha cronbach skala kemampuan berempati adalah 0,794. Data yang diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan korelasi Product Moment Pearson yang menghasilkan koefisien korelasi antara persepsi terhadap pengembangan karir dan kemampuan berempati pada perawat sebesar 0,688 dan p sebesar 0,000 (p<0,05). Hal ini berarti hipotesis nol yang mengatakan tidak adanya hubungan antara persepsi terhadap pengembangan karir dengan kemampuan berempati pada perawat ditolak, sehingga hipotesis penelitian yang menyatakan ada hubungan positif antara persepsi terhadap pengembangan karir dengan kemampuan berempati pada perawat diterima.
viii
THE RELATION BETWEEN PERCEPTION OF CAREER DEVELOPMENT AND EMPATHY ABILLITY TO THE NURSES
I Made Boy Setiawan
ABSTRACT
This research aimed to examine carefully the relation between perception for carier developement and the empathy abillity to the nurses. The hypothesis presented in this research was that there was a positive relation between the perception for carier development and empathy ability to the nurses. Empathy abillity can be influenced by some factor, there is : education level, work time, age, sex, and phsychology condition of individu. Subjects in this research were 41 nurses with try out subjects 57 nurses. The subjects were got by using a purposive sample with criterion: female, age range between 20-45 years old with minimum work period 1 years, and last education DIII nursery. The method that was used to collect the data this research was by spreading scale in Wangaya Hospital. This research used Perception of Career Development Scale and Empathy Ability Scale. The alpha Cronbach reliability coefficient Perception of Career Development Scale was 0,916, while the alpha Cronbach reliability coefficient of Empathy Abillity Scale was 0,794. The data obtained was then processed by using Pearson Product Moment correlation technique which produced correlative coefficient between the perception of career development and the empathy abillity to the nurses is 0,688 with p 0,000 (p<0,005). It mean that null hypothesis stating that there was no relation between the perception of career development and the empathy abillity to the nurses was rejected. Therefore the research hypothesis stating that there was a positive relation between perception of career development and the empathy abillity to the nurses was accepted.
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur pada Sang Hyang Widi Wasa atas berkah dan perlindungannya. Dewa-dewi, betara-betari, pitara-pitari tur sesuunan titiang sane melinggih ring jogja lan di bali yang tetap melindungi hamba walau dalam hilap dan salah. Pada akhirnya karya tulis ini bisa terselesaikan. Perjuangan penelitian dari awal sampai dengan penyusunan laporan ini memang bukan jalan yang mudah untuk dilewati.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan dorongan, semangat, pengarahan, informasi dan bimbingan selama proses ini berlangsung.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak Dr. T. Prio Widiyanto, M.Si Terima kasih atas bimbingan dan kritikan tajamnya sebagai dosen penguji. Saya akan berusaha meningkatkan daya juang saya....
3. Ibu Kristina Dewayani S.Psi., M..Si sebagai dosen penguji dan dosen pengajar. Terima kasih atas ilmu-ilmu yang ibu berikan.
xi
5. Ibu yang selalu memberi perhatian dan kasih sayang walaupuan sudah berada dialam sana. Terima kasih telah merawatku hingga sebesar sekarang ini. Sebenarnya aku masih rindu akan kasih sayang dan belaianmu... Tapi Tuhan mungkin berkehendak lain... i Love U Mom. Maaf tidak mampu memenuhi janji untuk lulus tepat waktu.
6. Bapak yang selalu memberi kepercayaan, memberi dorongan dan dukungan materi sehingga mampu untuk menyelesaikan studi ini....thank juga buat wejangan-wejangan yang selama ini bapak berikan....
7. Anakku tersayang yang memberi warna hidup papa dengan senyum, tingkah dan segala ulahmu.... Pa2 sayang 2pa
8. Istriku tercinta yang bersabar menunggu papa hingga lulus dan terima kasih atas pengertian dan pengorbanannya selama ini...papa sayang ama mama
9. Kakakku yang selalu aku hormati dan aku banggakan terima kasih atas motivasinya selama ini. Senang bisa terlahir menjadi adikmu...Thank juga buat Ketut and keponakanku Nano...
10.Bapak Ibu dosen Fakultas Psikologi tercinta yang telah memberi ilmu dan pengetahuan yang luar biasa...
11.Drs. I Made Maja Winaya, M.Si yang membantu dan membimbing peneliti dalam melakukan penelitian dan mengurus perijinan di RSUD Wangaya.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUTUAN PUBLIKASI ... xi
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir ... 9
xiv
2. Tahapan Karir ... 10
3. Pengertian Pengembangan Karir ... 13
4. Aktifitas-Aktifitas Pengembangan Karir ... 14
5. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir ... 16
B. Kemampuan Berempati ... 17
1. Empati ... 17
2. Aspek-Aspek Empati ... 18
3. Kemampuan Berempati ... 21
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati ... 22
C. Perawat ... 25
D. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pengembangan Karir Dengan Kemampuan Berempati Pada Perawat ... 27
E. Hipotesis ... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 31
A. Jenis Penelitian ... 31
B. Identifikasi Variabel ... 31
C. Definisi Operasional ... 31
D. Subyek Penelitian ... 34
E. Metode dan Alat Penelitian ... 34
F. Pertanggungjawaban Mutu ... 38
G. Persiapan Penelitian ... 40
1. Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 40
xv
H. Analisis Data Penelitian ... 52
1. Uji Asumsi ... 52
2. Uji Hipotesis ... 53
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 55
A. Persiapan Penelitian ... 55
1. Perijinan ... 55
2. Orientasi Kancah ... 56
B. Pelaksanaan Penelitian ... 58
C. Deskripsi Subyek Penelitian ... 58
D. Data Penelitian ... 59
E. Analisis Data Penelitian ... 60
1. Uji Asumsi ... 60
2. Uji Hipotesis ... 62
F. Pembahasan ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 68
A. Kesimpulan ... 68
B. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 69
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Distribusi Aitem Skala Persepsi terhadap Pengembangan Karir .... 36
Tabel 2. Distribusi Aitem Skala Kemampuan Berempati ... 38
Tabel 3. Persebaran Butir Aitem Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir Setelah Seleksi Aitem ... 44
Tabel 4. Persebaran Butir Aitem Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir Dalam Penelitian ... 44
Tabel 5. Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir Penelitian ... 45
Tabel 6. Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir Yang Dipergunakan Dalam Penelitian ... 46
Tabel 7. Persebaran Butir Aitem Skala Kemampuan Berempati Sebelum Seleksi Aitem ... 48
Tabel 8. Persebaran Butir Aitem Skala Kemampuan Berempati Saat Penelitian 49 Tabel 9. Skala Kemampuan Berempati Penelitian ... 50
Tabel 10. Skala Kemampuan Berempati Dalam Penelitian ... 50
Tabel 11. Uji Normalitas ... 60
Tabel 12. Uji Linieritas... 61
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ... 71
• Skala Try Out Persepsi terhadap Pengembangan Karir dan Kemampuan berempati ... 72
• Data try out ... 80
• Perhitungan Seleksi Aitem dan Reliabilitas Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir dan Skala Kemampuan Berempati ... 84
• Perhitungan Reliabilitas Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir dan Skala Kemampuan Berempati Setelah Seleksi Aitem ... 86
Lampiran 2 ... 88
• Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir dan Skala Kemampuan Berempati Penelitian ... 89
• Skoring Data Penelitian ... 97
• Perhitungan Seleksi Aitem Setelah Penelitian ... 99
• Skoring Data Penelitian Setelah Seleksi Aitem ... 101
• Reliabilitas Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir dan Skala Kemampuan Berempati Penelitian ... 103
• Uji Signifikasi Perbedaan Mean Empiris dan Teoritis ... 105
• Uji Asumsi ... 106
‐ Uji Normalitas ... 106
‐ Uji Linieritas ... 106
xviii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kesehatan merupakan suatu kebutuhan manusia yang sangat penting.
Di tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang saat ini
perhatian dan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan semakin besar.
Kebutuhan masyarakat akan tersedianya jaminan kesehatan dan fasilitas
kesehatan yang memadai juga menjadi hal yang sangat penting bagi
masyarakat dewasa ini.
Rumah sakit sebagai salah satu lembaga yang bergerak dibidang
pelayanan kesehatan dan bahkan dapat dikatakan sebagai tulang punggung
dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat diharapkan dapat memahami
dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan tersedianya fasilitas dan
pelayanan kesehatan yang memadai. Meskipun banyak rumah sakit yang
hadir di tengah – tengah masyarakat, namun masyarakat memiliki
pertimbangan – pertimbangan tertentu dalam memilih suatu rumah sakit.
Pertimbangan masyarakat dalam menentukan rumah sakit pada umumnya
didasarkan pada mutu pelayanan, mutu kesehatan, harga, dan fasilitas
kesehatan yang tersedia dalam rumah sakit. Menurut Hasanah (2000), dari
berbagai pertimbangan tersebut mutu pelayanan memiliki persentase terbesar
di antara aspek lainnya. Masyarakat akan lebih mempertimbangkan rumah
sakit yang memiliki mutu pelayanan kesehatan yang baik sebagai pilihan
mereka dalam memanfaatkan jasa rumah sakit.
Salah satu profesi yang disoroti oleh banyak pihak dalam pelayanan
di rumah sakit adalah perawat. Perawat memiliki peran yang penting dalam
keberhasilan pelayanan kesehatan, baik buruknya mutu pelayanan di rumah
sakit tergantung bagaimana perawat menjalankan tugasnya, sehingga
perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan perawatan yang
memuaskan dan bermutu demi kesembuhan pasien.
Perawat memiliki peran yang cukup strategis dan menentukan dalam
upaya peningkatkan pelayanan kesehatan. Keberhasilan perawat dalam
menjalankan perawatan tersebut sangat dipengaruhi oleh kualitas tenaga
perawat itu sendiri. Seorang perawat dikatakan memiliki kualitas yang baik
jika memiliki ilmu pengetahuan, sikap menaati kode etik, dan keterampilan
professional keperawatan. Keterampilan keperawatan bukan sekedar terampil
dalam melakukan prosedur perawatan tetapi juga keterampilan intelektual,
keterampilan teknikal, dan keterampilan interpersonal atau keterampilan
dalam membangun hubungan antar pribadi (Gaffar, 1999).
Pada media massa belakangan ini, ada beberapa kasus mengenai
keluhan pasien terhadap mutu rumah sakit yang berkaitan langsung dengan
kinerja perawatnya. Perawat dianggap kurang ramah bahkan ada yang
berlaku kasar terhadap pasiennya. Contoh kasus pertama datang dari RSUD
Kabupaten Serang yang kerap mendapat teguran dari ketua komisi B DPRD
setempat untuk memperbaiki pelayanannya, mengingat banyaknya keluhan
mendapatkan perlakuan kasar dari perawat rumah sakit tersebut
(http://www.radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=printarticle&arti
d=44463).
Belum lagi kasus yang datang dari Pekanbaru, dimana seorang
perawat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Achmad Pekanbaru,
melakukan tindakan tidak wajar. Perawat tersebut melempar Ahmad Fadly,
pasien diare yang baru berusia satu tahun, menggunakan bantal. Diduga,
perawat tersebut jengkel melihat Fadly yang terlalu rewel
(http://www.riaumandiri.us/berita/1576). Tindakan paling ekstrim yang
dilakukan keluarga pasien terjadi di RSUD Tabanan dimana seorang perawat
ditampar dan ditendang karena dinilai acuh tak acuh ketika dimintai
keterangan kesehatan mengenai keluarganya yang mengalami kecelakaan
(http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=2&id=
11989).
Masih banyak keluhan dari pasien maupun keluarga pasien terhadap
tenaga kesehatan berkaitan dengan kurangnya informasi yang diberikan dan
kurangnya keterbukaan terhadap masalah kesehatan pasien. Para pasien dan
keluarganya merasa tidak tahu apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan saat
menjalani perawatan, pasien pun tidak tahu secara pasti mengenai kondisi
kesehatannya dan tidak adanya kesempatan yang diberikan kepada pasien
untuk berpartisipasi dalam percakapan yang berhubungan dengan
masalah kesehatannya. Perawat cenderung lebih fokus terhadap
pasien (Ellis dkk, 2000).
Dalam konteks keperawatan, hubungan yang dibangun antara perawat
dan pasien adalah hubungan pertolongan. Empati adalah komponen penting
dalam hubungan pertolongan. Empati merupakan respon emosional, berasal
dari pemahaman terhadap keadaan emosional orang lain seolah individu yang
bersangkutan mengalami sendiri keadaan emosi serupa yang dialami oleh
orang lain tersebut (Einsenberg dan Fabes, dalam Sari, Ramdhani dan Eliza,
2008). Rasa empati juga merupakan modal dasar yang sangat dibutuhkan
dalam menjalin hubungan interpersonal dengan pasien sehingga hubungan
yang dibangun pun dapat bersifat positif. Perhatian aspek psikologis pasien
akan dapat dilakukan lebih baik apabila perawat dapat memberikan respon
emosional yang baik kepada pasien.
Perawat yang mampu menjalin hubungan baik dapat membantu
perawat dalam mengenal kebutuhan pasien dan menentukan rencana
tindakan serta kerjasama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Namun,
kurang berkembangnya kemampuan berempati perawat dapat
menyebabkan hubungan yang dibangun kurang efektif.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang
dalam melakukan empati. Faktor-faktor itu antara lain tingkat pendidikan,
masa kerja, pengalaman, usia, jenis kelamin, dan kondisi psikologis individu
(Thomas dkk,1997). Tingkat pendidikan yang baik mengarah pada baiknya
kemampuan berempati seseorang (Thomas dkk,1997). Hal ini diasumsikan
menggunakan informasi-informasi yang ada untuk melakukan penilaian yang
empatik (Thomas dkk,1997).
Masa kerja mempengaruhi kemampuan berempati perawat berkaitan
dengan lamanya relasi perawat terhadap pasien. Pengetahuan tentang partner
relasi akan menghasilkan penilaian yang lebih akurat mengenai peikiran dan
perasaan partner relasi saat interaksi (Thomas dkk, 1997). Faktor pengalaman
menjadi faktor yang mempengaruhi kemampuan berempati seseorang karena
pengalaman seseorang akan memudahkan interpretasi stimulus yang
diberikan objek empati (Walgito, 1993).
Faktor usia akan berdampak positif dengan kemampuan berempati
seseorang. Dengan bertambahnya usia seseorang maka pengalamannya pun
akan bertambah. Akan tetapi, bila sudah sampai proses penuaan yang
berdampak pada penurunan fungsi indera maka kemampuan berempati
seseorang pun akan menurun (Corbett dalam Ellis dkk, 2000). Jenis kelamin
menjadi faktor dalam kemampuan berempati karena menurut Hojat (2002)
wanita cenderung lebih peka dan mampu menggunakan bahasa nonverbal
lebih baik saat berinteraksi dengan orang lain.
Dalam dunia kerja perawat, faktor kondisi psikologis individu adalah
faktor dari kemampuan berempati yang paling mudah terpengaruhi. Hal ini
dikarenakan profesi perawat merupakan salah satu profesi yang rentan
mengalami stres kerja. Pernyataan ini di dukung oleh hasil penelitian yang
dilakukan oleh The National Institute for Occupational Safety and Health
sakit memiliki kecenderungan tinggi terkena gangguan mental seperti depresi
dan stres (Indrawati, 2007). Sebuah survei di Perancis mengungkapkan
bahwa 64% perawat merasa kesal terhadap lingkungan kerja mereka yang
penuh stres (Melsa.ned.id dalam Indrawati, 2007). Dengan kecenderungan
untuk mengalami depresi dan stres kerja ini maka akan berdampak negatif
terhadap kondisi psikologis individu. Depresi dan stress kerja berkaitan
dengan kemampuan relasi yang rendah dan individu akan kurang termotivasi
dalam aktifitas kognitif dalam membuat penilaian yang akurat yang
diperlukan dalam kemampuan berempati seseorang (Johnson dkk, 1983)
Untuk menciptakan kondisi psikologis individu yang positif maka
perlu diciptakan situasi kerja dengan keadaan emosional yang kondusif.
Keadaan emosional yang kondusif dalam bekerja akan tercipta apabila
muncul motivasi dan kepuasan dalam bekerja individu (Gibson,1993).
Apabila individu merasa puas dengan pekerjaan yang dimilikinya maka
individu akan bergairah dan bahagia dalam bekerja sehingga akan berusaha
bekerja dengan sebaik-baiknya (As,ad, 2001)
Kepuasan kerja dan motivasi dalam bekerja individu akan dapat
dimunculkan apabila individu memiliki sikap karir yang positif (Handoko,
2001). Sikap karir sendiri dibentuk dari bagaimana individu mempersepsi
pengembangan karirnya dalam organisasi tersebut (Gibson,1993).
Pengembangan karir adalah upaya-upaya yang diambil atas prakarsa
karyawan itu sendiri, tetapi dapat pula berupa kegiatan yang disponsori oleh
(Handoko, 2001).
Program perencanaan pengembangan karir yang ditawarkan institusi
atau organisasi tentunya akan ditanggapi berbeda oleh masing-masing
individu. Penerimaan individu mengenai pengembangan karirnya tergantung
dari bagaimana mereka mengamati dan menanggapinya, atau dengan kata
lain bagaimana mereka mempersepsikannya. Adanya perbedaan karakteristik
individu dan pengalaman hidup menyebabkan berbeda pula masing-masing
individu dalam mempersepsikan pengembangan karirnya. Artinya, apa yang
ditawarkan organisasi yang dimaksud untuk memenuhi kebutuhan karyawan
belum tentu karyawan mempersepsikannya demikian.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari berbagai ulasan sebelumnya maka dapat dirumuskan sebuah
masalah yaitu “Apakah ada hubungan antara persepsi terhadap
pengembangan karir dengan kemampuan berempati pada perawat?”.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi
terhadap perkembangan karir dan kemampuan berempati perawat.
D. MANFAAT PENELITIAN
a. Manfaat teoritis
psikologi industri, dan klinis, dalam topik pembicaraan mengenai
persepsi terhadap pengembangan karir dan kemampuan berempati,
khususnya pada bidang-bidang pekerjaan yang memerlukan kedekatan
hubungan interpersonal dalam menjalin relasi yang baik dengan
meningkatkan kemampuan berempati individu.
b. Manfaat praktis
i. Bagi rumah sakit, mampu memberi gambaran tentang persepsi
perawat terhadap pengembangan karir yang ditawarkan oleh instansi
dan gambaran mengenai kemampuan berempati pada perawat
sehingga dapat dijadikan kajian dalam usaha peningkatan mutu
pelayanan dari rumah sakit.
ii. Bagi perawat, sebagai bahan evaluasi dan refleksi agar perawat
mampu menjadi perawat yang profesional. Sebagai perawat dalam
menjalankan tugas tidak hanya terpaku pada tugas prosedural dan
mengkesampingkan faktor psikologis pasien. Perawat juga
diharapkan dapat mengetahui kesesuaian antara pengembangan karir
yang diharapkan dengan pengembangan karir yang ditawarkan pihak
BAB II
DASAR TEORI
A.PERSEPSI TERHADAP PENGEMBANGAN KARIR
1. Pengertian Karir
Karir adalah kemajuan seseorang dalam profesi atau pilihan bidang
pekerjaan tertentu (Martindas, 1997). Karir merupakan aktivitas yang
berhubungan dengan kerja, akan tetapi kehidupan seseorang diluar kerja
mempunyai peran yang besar dalam menentukan karir seseorang (Setyowati,
2003).
Karir merupakan proses perjalanan hidup seseorang pada lingkungan
kerja dan merupakan sikap dan perilaku yag menjadi hasil dari pengalaman
kerja yang dapat dinilai secara objektif (kinerjanya) dan subjektif (persepsi
individu) (Hall dalam Sinambela, 1999). Menurut Sinambela (1999) karir
merupakan serangkaian sikap dan perilaku kerja yang dipersepsikan secara
individual yang mencerminkan hasil interaksi antara kepentingan individu
(karakteristik individunya) dengan organisasi atau lingkungan kerja dalam
mencapai tujuan hidup.
Karir adalah semua pekerjaan atau jabatan yang dipegang selama
kehidupan kerja seseorang. Istilah karir digunakan untuk menunjukkan
individu pada masing-masing peran dan status mereka (Handoko, 2001).
Lebih lanjut, Handoko (2001) mengemukakan bahwa pada
umumnya, istilah ini digunakan dalam tiga pengertian, yaitu:
a. Karir sebagai promosi atau pemindahan (transfer) lateral ke jabatan- jabatan yang lebih menuntut tanggung jawab atau ke lokasi-lokasi yang
lebih baik di dalam atau menyilang terhadap hierarki hubungan kerja
selama kehidupan kerja seseorang.
b. Karir sebagai rangkaian petunjuk pelaksanaan pekerjaan yang
membentuk suatu pola kemajuan yang sistematik dan jelas.
c. Karir sebagai sejumlah pekerjaan seseorang, atau serangkaian posisi
yang dipegangnya selama kehidupan kerja. Dalam konteks ini, semua
orang dengan sejarah kerja mereka disebut mempunyai karir.
Gibson dkk. (1993) memandang karir sebagai urutan pengalaman dan
kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan, serta menimbulkan sikap dan
perilaku tertentu pada diri seseorang. Istilah karir tercermin dari gagasan
yang bergerak ke atas pada lini kerja pilihan seseorang. Bergerak ke atas
berarti berhak atas pendapatan yang lebih besar, memikul tanggung jawab yang
lebih besar, serta mendapatkan status, prestise, dan kekuasaan yang lebih besar.
Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa karir adalah suatu
rangkaian posisi, pekerjaan atau jabatan yang dipegang individu selama
kehidupan kerjanya yang meliputi baik dinamika gerakan ke atas, menyamping
maupun tugas-tugas khusus dalam struktur formal kerja organisasi.
2. Tahapan Karir
Menurut Greenhaus (Ginting, 2003) ada empat tahapan karir yang
1. Tahap Eksplorasi (15-24 tahun)
Pada tahapan ini, individu berusaha untuk mengidentifikasi jenis
pekerjaan. Mereka mempertimbangkan ketertarikan, nilai, dengan
pilihan pekerjaan, serta mencari informasi mengenai pekerjaan karir,
jabatan dari rekan kerja, teman, dan anggota keluarga. Setelah
menemukan jenis pekerjaan atau jabatan yang dirasa Menarik, maka
individu akan berusaha memenuhi persyaratan pendidikan atau
pelatihan yang diperlukan dalam menduduki jabatan tersebut.
Kesalahan dapat pula terjadi, namun melalui tahap ini individu
dapat memperoleh pengetahuan dan mengembangkan self-image
terhadap arah dan tujuan karir. Setelah melalui penilaian-penilain awal,
individu akan menentukan pekerjaan yang menggunakan
keterampilannya dan memperoleh kebutuhan pribadinya. Hubungan
dengan rekan kerja lain masih berstatus magang. Biasanya pada tahap
ini usia pengalaman kerja di bawah 2 tahun.
2. Tahapan Pemantapan (25-44 tahun)
Dengan bekal pendidikan, keterampilan, dan pelatihan yang
dimilikinya seseorang memulai memasuki dunia pekerjaan yang
sebenarnya. Individu mengembangkan perasaan mengenai masa
depannya dalam perusahaan. Pada tahap ini juga, individu berusaha
dengan tekun memantapkan diri melalui seluk-beluk pengalaman
selama menjalankan karir tertentu dan membuktikan diri mampu
individu merupakan rekan sejawat. Tahap ini biasanya dengan
pengalaman kerja 2-10 tahun.
3. Tahapan Pemeliharaan/pembinaan (45-64 tahun)
Pada tahap ini individu telah menjadi bagian yang penting
dalam organisasi. Diharapkan dapat menjadi contoh dan penasehat yang
lebih muda. Pada tahap ini juga dikatakan sebagai masa krisis
(midcareer), yang dapat disebabkan oleh kejadian-kejadian di luar
lingkungan kerja seperti perubahan dari keluarga, perubahan akan
kewajiban dan tanggung jawab, dan lain-lain.
Pada masa krisis ini, ada individu yang akan kembali ke tahap
eksplorasi dan membuat perubahan paling besar dalam kehidupannya.
Namun demikian yang kembali ke tahap eksplorasi ataupun yang
mencapai kemajuan yang lancar tahun-tahun kemudian sebagai masa
kemunduran. Pada tahap ini juga, karyawan memiliki pengalaman kerja
dan pengetahuan kerja yang tinggi sehingga karyawan tersebut dapat
menjadi penasehat (mentor) bagi karyawan baru. Pengalaman kerja
karyawan pada tahapan ini diatas 10 tahun.
4. Tahapan Kemunduran atau Akhir (>65 tahun)
Pada tahapan ini, individu berusaha menjaga keseimbangan
antara aktivitas pekerjaan dengan diluar pekerjaan. Tahapan ini disebut
3. Pengertian Pengembangan Karir
Handoko (2001) mengemukakan bahwa perencanaan karir adalah
suatu proses dimana seseorang memilih sasaran karir dan jalur ke sasaran
tersebut. Untuk mendorong perencanaan karir tersebut, departemen personalia
dapat menempuh tiga cara, yaitu menyelenggarakan pendidikan tentang
perencanaan karir, penyebarluasan informasi tentang berbagai kemungkinan
pengembangan karir dalam organisasi, dan konseling karir.
Selanjutnya, implementasi rencana-rencana karir tersebut
memerlukan pengembangan karir. Perlunya pengembangan karir karena
betapa pun baiknya suatu rencana karir yang telah dibuat seorang karyawan
disertai tujuan karir yang wajar dan realistik, rencana tersebut tidak akan
menjadi kenyataan tanpa adanya pengembangan karir yang sistematik dan
programmatik (Siagian, 2001). Pengembangan karir merupakan
upaya-upaya yang diambil atas prakarsa karyawan itu sendiri, tetapi dapat pula
berupa kegiatan yang disponsori oleh organisasi, atau gabungan dari
keduanya (Handoko, 2001).
Lebih lanjut, Simmamora (2004) mengemukakan bahwa
pengembangan karir merupakan pendekatan formal yang diambil
organisasi untuk memastikan bahwa orang-orang dengan kualifikasi dan
pengalaman yang tepat tersedia pada saat dibutuhkan. Untuk mengarahkan
pengembangan karir agar menguntungkan organisasi dan karyawan,
departemen personalia perlu mengusahakan dukungan manajemen dan
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
pengembangan karir merupakan proses perubahan suatu keadaan atau
kondisi tertentu ke arah yang positif melalui serangkaian posisi, pekerjaan
atau jabatan, mencakup struktur aktivitas formal yang ditawarkan
organisasi kepada karyawan dengan tujuan untuk meningkatkan
kesadaran, pengetahuan dan kemampuan kerja yang efektif serta
menunjang peningkatan karir karyawan. Hal ini diikuti dengan
meningkatnya tanggung jawab, status, kekuasaan dan ganjaran. Adapun
dinamika perkembangannya bisa dalam bentuk gerakan ke atas, menyilang
menyamping, maupun tugas-tugas khusus ke dalam stuktur kerja
organisasi.
4. Aktivitas-aktivitas dalam Pengembangan Karir
Menurut Handoko (2001) aktivitas-aktivitas dalam pengembangan
karir meliputi:
a. Pendidikan karir, yaitu pengalihan pengetahuan dari organisasi kepada
karyawannya tentang berbagai teknik perencanaan karir. Bentuk
pengalihan ini dapat beraneka ragam, seperti pemberian ceramah,
lokakarya dan seminar.
b. Informasi tentang pengembangan karir, yaitu pemberian informasi tentang
berbagai kemungkinan pengembangan karir dalam organisasi,
syarat yang harus dipenuhi untuk mengisi lowongan yang ada dan
informasi tentang berbagai alternatif jalur karir yang ada dalam
organisasi.
c. Konseling karir, yaitu pemberian bimbingan untuk membantu
karyawan menetapkan sasaran karir dan menentukan jalur karir yang tepat.
Pembimbing bisa membantu karyawan menyingkap minat mereka
dengan melakukan dan menginterpretasikan tes-tes bakat dan ketrampilan
agar karyawan yang bersangkutan dapat mengetahui kekuatan dan
kelemahannya.
d. Dukungan manajemen, yaitu pemberian dukungan dari atasan kepada
bawahannya. Bentuk dukungan ini dapat berupa pemberian pujian
maupun pemberian pendidikan karir langsung dari atasan puncak
kepada bawahan.
e. Umpan balik, yaitu pemberian umpan balik dari atasan kepada
bawahannya mengenai hasil yang telah dicapai. Umpan balik dapat
dilakukan dengan cara memberitahukan kepada karyawan secara
periodik mengenai prestasi kerjanya untuk kemudian dilakukan
evaluasi.
Aktivitas-aktivitas dalam pengembangan karir yang telah
dikemukakan tersebut, untuk selanjutnya akan digunakan dalam penelitian
5. Persepsi terhadap Pengembangan Karir
Persepsi merupakan bagian yang paling penting bagi seseorang
dalam mengambil keputusan. Persepsi seseorang terhadap suatu objek
akan menentukan kegiatan yang akan dilakukan terhadap objek yang
bersangkutan. Melalui persepsi, individu akan memberikan tanggapan
terhadap suatu objek yang diamatinya sehingga akan membentuk sikap
maupun perilaku tertentu (Gibson,1993).
Chaplin (1999) memandang persepsi sebagai proses mengetahui
atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indra. Proses
perseptual ini dimulai dengan perhatian, yaitu merupakan proses
pengamatan selektif. Didalamnya mencakup pemahaman dan mengenali
atau mengetahui objek-objek serta kejadian-kejadian. Persepsi secara
umum bergantung pada faktor-faktor perangsang, cara belajar, keadaan
jiwa atau suasana hati, dan faktor-faktor motivasional (Sears dkk,1999).
Maka, arti suatu objek atau satu kejadian objektif ditentukan baik oleh
kondisi perangsang maupun faktor-faktor organisme. Dengan alasan
sedemikian, persepsi mengenai dunia oleh pribadi-pribadi yang berbeda
juga akan berbeda karena setiap individu (Sears dkk,1999).
Persepsi adalah penelitian bagaimana kita mengintegrasi sensasi ke
dalam percepts objek, dan bagaimana kita selanjutnya menggunakan
percepts itu untuk mengenali dunia (percepts adalah hasil dari proses perseptual) (Atkinson dkk,1990). Gibson dkk. (1993) menyatakan bahwa
mampu mempengaruhi sikap dan perilaku.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa persepsi
terhadap pengembangan karir adalah proses pengorganisasian dan
penginterpretasian yang melibatkan aspek kognitif dan afektif individu
terhadap aktivitas-aktivitas yang ditawarkan oleh organisasi dalam rangka
menuju proses perubahan keadaan atau kondisi ke arah yang positif
melalui serangkaian posisi, pekerjaan atau jabatan.
B. KEMAMPUAN BEREMPATI
1. Empati
Istilah empati pertama kali digunakan oleh para ahli untuk
menyatakan kemampuan seseorang memahami pengalaman subyektif
orang lain. Kalisch (Ellis dkk, 2000) menyatakan bahwa empati adalah
kemampuan untuk merasakan dunia orang lain seolah-olah dunianya
sendiri, tetapi tanpa kehilangan untuk melihat perbedaan antara diri sendiri
dengan dunia individu lain.
Menurut Johnson dkk (1983) empati merupakan kecenderungan
untuk memahami kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang
empatik digambarkan sebagai orang yang toleran, mampu mengendalikan
diri, ramah, mempunyai pengaruh serta humanis. Empati merupakan
pemahaman pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan rang lain dengan cara
tanpa sungguh-sungguh merasakan apa yang dialami oleh orang yang
bersangkutan (Chaplin, 1999).
Batson dan Coke (Sari, Ramdhani dan Eliza, 2008) mengemukakan
bahwa empati merupakan keadaan emosional yang dimiliki seseorang
yang sesuai dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Kemampuan
merasakan perasaan ini membuat seseorang yang empatik seolah
mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain (Einsenberg dan
Fabes, dalam Sari, Ramdhani dan Eliza, 2008).
Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa empati
adalah suatu keadaan emosional di mana seseorang berusaha untuk
mengenali kondisi perasaan dan pikiran orang lain sehingga merasa seolah
mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain tersebut.
2. Aspek-Aspek Empati
Davis (1980) membedakan respon empati kedalam dua aspek
yaitu aspek kognitif dan aspek afektif. Kedua aspek empati tersebut
dijabarkan kedalam empat aspek yaitu aspek perspective taking dan aspek
fantasy (termasuk dalam kategori aspek kognitif), aspek emphatic concern
serta aspek personal distress (termasuk dalam kategori aspek afektif). Davis (1980) mendefinisikan aspek-aspek tersebut sebagai berikut:
b. Fantasy adalah kemampuan seseorang untuk mengubah diri secara imajinatif dan mengelami perasaan dan tindakan karakter khayal dalam
buku, sandiwara atau film yang dibaca atau ditontonnya.
c. Emphatic concern yaitu perasaan simpati yang berorientasi pada orang lain dan perhatian terhadap kemalangan orang lain.
d. Personal distress merupakan orientasi seseorang terhadap dirinya sendiri dan meliputi perasaan cemas dan gelisah pada situasi
interpersonal.
Hogan (Johnson dkk, 1983) mengungkapkan bahwa seorang yang empatik
memiliki beberapa hal sebagai berikut:
a. Kemampuan untuk memainkan imajinasinya, pandai berpura-pura dan
memiliki humor. Seorang yang empatik mampu mengilustrasikan
peristiwa, pemikiran maupun perasaan yang kemungkinan timbul pada
diri orang lain.
b. Menyadari kesan yang ditunjukkan oleh orang yang satu ke orang
yang lainnya. Seorang yang empatik akan cepat tanggap dengan
sinyal-sinyal emosi yang nampak dari orang lain baik berupa verbal
maupun non verbal.
c. Memiliki kemampuan untuk mengevaluasi tujuan atau maksud
seseorang. Seorang yang empatik mampu menganalisis tujuan atau
maksud seseorang yang akan tampak dari cara berbicara, bersikap,
d. Memahami motivasi dan sikap dirinya. Seorang yang empatik tidak
hanya memerlukan kemampuan untuk memahami orang lain, seorang
yang empatik ini juga memerlukan kemampuan untuk memahami
dirinya sendiri dahulu.
e. Memiliki perspektif sosial. Seorang yang empatik akan mencoba
memahami suatu peristiwa dengan menggunakan sudut pandang
secara umum.
Menurut Goleman (1998), empati memiliki beberapa aspek, antara lain :
a. Understanding others di mana seorang yang empatik dapat dengan cepat menangkap perasaan dan pikiran orang lain.
b. Service orientation di mana seorang yang empatik mampu memberikan pelayanan yang memang diperlukan oleh orang lain.
c. Developing others di mana seorang yang empatik selalu memberikan masukan-masukan yang positif guna membangun orang lain.
d. Leveraging diversity di mana seorang yang empatik mampu mengambil manfaat dari perbedaan yang ada, bukan menciptakan konflik dari
perbedaan tersebut.
e. Political awareness di mana seorang yang empatik mampu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam berhubungan
dengan orang lain.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan aspek yang telah
awareness. Aspek tersebut dipilih karena dapat digunakan untuk melihat kemampuan berempati pada perawat.
3. Kemampuan Berempati
Kemampuan berempati merupakan kemampuan untuk mengenali
mood dan emosi pada orang lain dan memahami bagaimana hal tersebut
dapat bereaksi terhadap emosi dan prilaku kita (Yulk, 2007). Hal senada
juga dikemukakan oleh Goleman (1998), menurutnya seseorang yang
memiliki empati akan memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan
mampu merasakan berbagai macam tanda-tanda emosi orang lain yang
tampak secara non verbal.
Empati ini berkaitan dengan ketrampilan sosial yang kuat yang
diperlukan untuk membangun dan mengembangkan hubungan antarpribadi
yang bersifat koorperatif. Salah satu syarat utama dalam memiliki sikap
empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti
terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti orang lain. Hal tersebut
dapat membangun keterbukaan dan kepercayaan yang kita perlukan dalam
membangun kerja sama atau sinergi dengan orang lain. Rasa empati akan
membuat kita dapat menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang
akan memudahkan orang menerima pesan kita. Empati bisa juga berarti
kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima
masukan ataupun balikan apapun dengan sikap yang positif.
Berdasarkan teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa
seseorang berusaha untuk mengenali mood dan emosi orang lain sehingga
merasa seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang lain
tersebut maka akan tercipta keadaan emosional yang sesuai dengan apa
yang dirasakan oleh orang lain guna memahami kondisi atau keadaan
pikiran orang lain tersebut sehingga dapat mengembangkan hubungan
antarpribadi yang bersifat koorperatif.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kemampuan Berempati
Beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan berempati yaitu:
a. Tingkat pendidikan
Orang yang lebih terdidik kemampuan empatinya lebih baik
(Thomas dkk.,1997) karena orang yang lebih terdidik lebih lihai,
cermat, dan mampu menditeksi dan menggunakan secara tepat
informasi-informasi yang ada untuk melakukan penilaian yang
empatik. Orang yang terdidik juga lebih termotivasi untuk
berkonsentrasi pada pemecahan masalah dan lebih suka pada hal-hal
yang sifatnya lebih kognitif untuk memahami partnernya (Thomas
dkk.,1997).
b. Masa Kerja
Masa kerja berkaitan dengan lamanya relasi perawat terhadap
pasien. Semakin lama relasi seseorang, semakin banyak pengetahuan
tentang kepribadian dan sikap-sikap dari partner relasi. Pengetahuan
tentang partner relasi akan menghasilkan penilaian yang lebih akurat
(Thomas dkk,1997). Dalam kontek keperawatan, semakin lama masa
kerja perawat, semakin banyak pengetahuan perawat tentang
kepribadian, sikap, sifat dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pasien.
Pengetahuan ini akan sangat membantu dalam melakukan penilaian
yang akurat mengenai keadaan pasien. Penilaian yang akurat ini
merupakan salah satu kemampuan empati.
Sejalan dengan bertambahnya masa kerja, perawat juga
menjadi merasa semakin tahu keadaan pasien sehingga ia tidak terlalu
memperhatikan keadaan aktual dari pasien. Perasaan tahu ini
menjadikan perawat cenderung tidak memperhatikan keadaan pasien.
Perawat tidak bisa menditeksi dan menggunakan tanda-tanda verbal
dan nonverbal yang muncul dari pasien.
Jadi selain memberi sumbangan yang positif terhadap
kemampuan empati, masa kerja juga memberikan sumbangan negatif
terhadap kemampuan empati . Individu yang baru saja memulai relasi
akan cenderung memperhatikan partner relasinya secara cermat,
sungguh-sungguh dan menyeluruh. Semakin lama relasi dibangun ada
kecenderungan bahwa individu merasa bahwa dirinya tahu apa yang
dipikirkan, apa yang dirasakan, apa yang dialami oleh partner
relasinya. Sebagai akibatnya individu kurang memperhatikan partner
relasinya sehingga ia tidak akan mampu untuk menditeksi dan
menggunakan secara tepat tanda-tanda verbal dan nonverbal yang
c. Keadaan Psikologis Individu
Kepuasan relasi dan depresi mempengaruhi kemampuan
empati. Depresi berkaitan dengan kemampuan relasi yang rendah.
Orang yang merasa depresi mungkin tingkat kemampuan empatinya
rendah, karena tertekan ia kurang motivasi dalam melakukan aktifitas
kognitif dalam membuat penilaian yang akurat. Orang yang bahagia
terhadap relasinya akan termotivasi untuk memperhatikan orang lain
sehingga kemampuan empatinya tinggi (Johnson dkk, 1983).
d. Pengalaman
Pengalaman ternyata juga merupakan faktor penting yang
mendukung kemampuan empati. Banyak ahli yang menyatakan bahwa
pengalaman sangat berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk
berempati. Secara sederhana, bila dikatakan bahwa empati adalah
memahami keadaan orang lain, dapat juga dikatakan bahwa
pengalaman seseorang akan memudahkan interpretasi stimulus yang
diberikan oleh objek empati (Walgito, 1993).
e. Jenis Kelamin
Wanita cenderung lebih mampu untuk merasakan serta
mengungkapkan emosinya dari pada laki-laki (Hojat dkk, 2002).Hal
ini ditunjukkan dalam penelitian Hojat dkk (2002) dimana kemampuan
berempati pada wanita cenderung lebih tinggi dari laki-laki. Wanita
lebih mampu membaca tanda-tanda non verbal seperti ekspresi wajah,
banyak tersenyum, memandang lebih langsung pada orang lain.
Wanita lebih mampu berempati pada orang lain (Corbett dalam Ellis
dkk. 2000).
f. Usia
Usia berkaitan dengan pengalaman individu. Semakin
bertambah umur, individu semakin kaya pengalaman. Semakin kaya
pengalaman individu semakin mampu untuk berempati. Orang yang
lebih tua dipandang lebih berkompeten. Semakin tua orang semakin
sadar akan dirinya, semakin mampu mempersepsikan keadaan orang
lain karena semakin banyaknya pengalaman, dan semakin mampu
mengendalikan ungkapan perasaannya (Corbett dalam Ellis dkk.
2000). Pengalaman akan sangat membantu dalam mempersepsikan
keadaan orang lain.
Usia juga berkaitan dengan proses penuaan. Semakin tua
seseorang kemampuannya secara fisiologis semakin menurun.
Kemampuan dalam menggunakan fungsi indera pun akan melemah.
Menurunnya kemampuan ini berdampak penurunan ketepatan
penilaian mengenai keadaan pasien yang menjadi salah satu faktor
kemampuan empati.
C. PERAWAT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perawat berasal dari kata
memelihara atau mengurus. Menurut Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, perawat adalah orang yang menyeselesaikan pendidikan dasar ,
memenuhi syarat, dan kepadanya diberi wewenang oleh pemerintah untuk
memberikan pelayanan perawatan yang bermutu dan penuh tanggung
jawab. Jadi untuk dapat menjadi seorang perawat harus menjalani
pendidikan dasar perawat, yaitu program pendidikan terencana yang
memberikan landasan yang luas dan mendasar untuk melaksanakan tugas
keperawatan yang efektif.
Menurut Gunarsa (1995), perawat adalah seseorang yang telah
dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan
menyembuhkan orang sakit, usaha rehabilitasi, dan pencegahan penyakit
yang dilaksanakan secara mandiri atau dibawah pengawasan supervisi,
dokter atau suster kepala. Seorang perawat mendedikasikan dirinya pada
pekerjaannya didasari oleh beberapa hal, antara lain: minat terhadap orang
lain, derajat sensitivitas, menghargai hubungan dan memiliki sikap
terhadap mereka yang berkedudukan tinggi. Gunarsa (1995),
mengungkapkan bahwa seorang perawat dalam hubungannya dengan
pekerjaan dan lingkungan sosialnya perlu mendalami beberapa sifat yang
harus dimilikinya, yaitu antara lain: sehat, penampilan Menarik, jujur,
sportif, rendah hati, empati, dapat dipercaya, pandai bergaul, pandai
menimbang perasaan, dan memiliki sikap sopan santun.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perawat adalah
wewenang oleh pemerintah untuk memberikan pelayanan perawatan
yang bermutu dan bertanggung jawab serta merawat orang sakit maupun
terhadap orang sehat dengan penuh kasih sayang yang dilaksanakan secara
mandiri atau dibawah pengawasan dokter sehingga orang tersebut dapat
mempertahankan kesehatannya.
D. HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PENGEMBANGAN
KARIR DENGAN KEMAMPUAN BEREMPATI PADA PERAWAT
Karir merupakan bagian dari perjalanan dan tujuan hidup
seseorang. Dalam bekerja setiap orang tentu mendambakan sebuah
kemajuan. Salah satu bentuk kemajuan yang ingin dicapai adalah
keberhasilan dalam meniti karir. Untuk itu, seorang individu perlu
menetapkan tujuan karir yang ingin dicapai, membuat perencanaan karir
yang matang, kemudian melaksanakan perencanaan karir tersebut.
Untuk mencapai tujuan karirnya, seorang karyawan membutuhkan
pengembangan karir. Pengembangan karir merupakan segala bentuk
aktivitas dalam organisasi yang dilaksanakan dalam rangka
mempersiapkan individu untuk memperoleh kemajuan-kemajuan personal
dalam pelaksanaan rencana karirnya sehingga tujuan karirnya dapat
tercapai. Oleh karena itu, pengembangan karir merupakan suatu usaha
untuk memuaskan kebutuhan karir individu.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan karirnya, maka individu akan
pengembangan karirnya atau dengan kata lain individu akan melakukan
persepsi terhadap pengembangan karirnya. Bila individu merasa
pengembangan karirnya dalam organisasi dapat memenuhi kebutuhan
karirnya untuk mencapai tujuan karirnya, maka individu tersebut akan
membentuk persepsi yang positif terhadap pengembangan karirnya.
Sebaliknya, jika individu merasa pengembangan karirnya tidak dapat
memenuhi kebutuhan karirnya sehingga tidak dapat mencapai tujuan
karirnya, maka individu tersebut akan membentuk persepsi yang negatif
terhadap pengembangan karirnya.
Melalui persepsi, individu akan memberikan tanggapan terhadap
suatu objek yang diamatinya sehingga akan membentuk sikap maupun
perilaku tertentu (Gibson, 1993). Hal ini berarti persepsi individu terhadap
pengembangan karir akan membentuk sikap karir individu. Menurut Sears
dkk (1999) sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan
orientasi yang bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif,
afektif, dan prilaku. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang
dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu-fakta, pengetahuan, dan
keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari seluruh perasaan
atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian. Komponen
prilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderunagan
untuk bertindak terhadap objek.
Sikap yang melibatkan komponen afektif dapat dikatakan sebagai
pembentukan sikap mempertimbangkan perasaan dan emosi individu.
Sikap karir yang merupakan cerminan kondisi psikologis kondisi individu
dalam dunia kerja dapat dilihat dimana sikap karir dapat mempengaruhi
motivasi dan kepuasan individu dalam bekerja (Gibson, 1990). Sikap karir
yang positif mencerminkan keadaan psikologis individu yang positif.
Begitu juga sebaliknya, sikap karir yang negatif mencerminkan keadaan
psikologis individu yang negatif.
Menurut Johnson dkk (1983) kondisi psikologis individu
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemampuan berempati.
Kondisi psikologis yang baik akan memudahkan seseorang dalam hal ini
perawat untuk mewujudkan kemampuan berempatinya. Seseorang yang
berada dalam kondisi psikologis yang kurang baik seperti mengalami stres
atau depresi akan menghalangi kemampuan seseorang dalam berempati.
Skema
Hubungan antara persepsi terhadap pengembangan karir dan kemampuan berempati pada perawat.
Kemampuan berempati Persepsi terhadap pengembangan karir
E. HIPOTESIS
Dari uraian-uraian tersebut maka diambil hipotesis dalam
penelitian ini yaitu ada hubungan positif antara persepsi terhadap
pengembangan karir dan kemampuan berempati pada perawat. Hipotesis
ini mempunyai arti semakin positif persepsi terhadap pengembangan karir
perawat maka semakin baik kemampuan berempatinya. Sebaliknya,
semakin negatif persepsi terhadap pengembangan karirnya maka semakin
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk
melihat hubungan yang terjadi antara dua variabel berdasarkan koefisien
korelasi. Dalam penelitian ini untuk hubungan antara persepsi terhadap
pengembangan karir dan kemampuan berempati pada perawat.
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 2 variabel, yaitu:
1. Variabel bebas/ Independen : persepsi terhadap pengembangan karir
2. Variabel tergantung / dependen : kemampuan berempati
C. Definisi Operasional
1. Persepsi Terhadap Pengembangan Karir
Persepsi terhadap pengembangan karir adalah proses
pengorganisasian dan penginterpretasian yang melibatkan aspek kognitif
dan afektif perawat terhadap aktivitas-aktivitas yang ditawarkan oleh
organisasi dalam rangka menuju proses perubahan keadaan atau kondisi ke
arah yang positif melalui serangkaian posisi, pekerjaan atau jabatan.
Aktifitas pengembangan karir yang dimaksud meliputi (1) pendidikan
karir, (2) informasi tentang pengembangan karir, (3) konseling karir, (4)
dukungan manajemen, (5) umpan balik.
Kelima komponen aktifitas pengembangan karir tersebut diatas
dikemukakan oleh Handoko (2001) didefinisikan sebagai berikut : (1)
pendidikan karir yaitu pengalihan pengetahuan dari organisasi kepada
karyawannya tentang berbagai teknik perencanaan karir. (2) Informasi tentang
pengembangan karir, yaitu pemberian informasi tentang berbagai
kemungkinan pengembangan karir dalam organisasi. (3) Konseling karir,
yaitu pemberian bimbingan untuk membantu karyawan menetapkan sasaran
karir dan menentukan jalur karir yang tepat. (4) Dukungan manajemen, yaitu
pemberian dukungan dari atasan kepada bawahannya. (5) Umpan balik,
yaitu pemberian umpan balik dari atasan kepada bawahannya mengenai
hasil yang telah dicapai.
Hal ini diungkap melalui item-item yang menunjukkan persepsi
perawat terhadap aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi pengembangan
karirnya. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin positif
persepsi perawat terhadap pengembangan karirnya. Sebaliknya semakin
rendah skor yang diperoleh maka semakin negatif persepsi perawat
terhadap pengembangan karirnya.
2. Kemampuan Berempati
Kemampuan berempati adalah salah satu ketrampilan sosial di
mana perawat berusaha untuk mengenali mood dan emosi orang lain
sehingga merasa seolah mengalami sendiri peristiwa yang dialami orang
apa yang dirasakan oleh orang lain guna memahami kondisi atau keadaan
pikiran orang lain tersebut sehingga dapat mengembangkan hubungan
antarpribadi yang bersifat koorperatif. Kemampuan berempati diukur
melalui skor skala kemampuan berempati dengan aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Goleman (1998 ) yaitu understanding others, service orientation, developing others, leveraging diversity dan political awareness.
Menurut Goleman (1998), understanding others di artikan sebagai seorang yang dapat dengan cepat menangkap perasaan dan pikiran orang
lain, service orientation di mana seorang yang empatik mampu memberikan pelayanan yang memang diperlukan oleh orang lain,
developing others di mana seorang yang empatik selalu memberikan masukan-masukan yang positif guna membangun orang lain, leveraging diversity di mana seorang yang empatik mampu mengambil manfaat dari perbedaan yang ada, bukan menciptakan konflik dari perbedaan tersebut
dan political awareness di mana seorang yang empatik mampu memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam
berhubungan dengan orang lain.
Tingkat kemampuan berempati individu dikatakan baik apabila skor
yang diperoleh berdasarkan skala yang diberikan menunjukkan jumlah
yang tinggi. Sebaliknya, seorang dikatakan memiliki tingkat kemampuan
berempati yang rendah apabila skor yang diperoleh berdasarkan skala yang
D. Subjek Penelitian
Pengambilan data untuk penelitian ini menggunakan teknik purposive
sample yaitu pemilihan subjek atas adanya tujuan tertentu untuk memperoleh
sampel yang representatif dengan populasi (Azwar., 1999). Subjek dalam
penelitian ini adalah perawat Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya di Kota
Madya Denpasar Propinsi Bali pada bagian rawat inap, jenis kelamin
perempuan / wanita, latar belakang pendidikan DIII keperawatan, dan masa
kerja minimal 1 tahun di rumah sakit tersebut. Usia subjek dalam penelitian
ini dibatasi dari usia 20 tahun sampai dengan usia 45 tahun. Asumsinya
adalah:
1. Jenis kelamin mempengaruhi kemampuan berempati. Kemampuan
berempati pada wanita lebih baik dibandingkan dengan laki-laki.
2. Tingkat pendidikan mempengaruhi kemampuan berempati individu.
3. Individu yang telah bekerja selama satu tahun atau lebih mengerti
dengan jelas kondisi tempat ia bekerja.
4. Usia seseorang mempengaruhi kemampuan berempati seseorang. Selain
itu rentang usia yang diambil berdasarkan usia tahapan karir. Pada
rentang umur ini individu biasanya berada pada tahapan Eksplorasi dan
tahapan Pemantapan.
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
mengukur validitas dan reliabilitas aitem. Aitem-aitem yang sahih akan
digunakan dan diujikan pada subyek penelitian. Data tersebut kemudian
digunakan untuk penelitian.
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data terdiri dari 2 macam, yaitu :
1. Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir
Jenis skala yang akan digunakan dalam pengumpulan data persepsi
terhadap pengembangan karir ini terdiri dari lima komponen aktifitas
yang membangun pengembangan karir yang dikemukakan oleh Handoko
(2001). Indikator-indikator yang digunakan yaitu : (1) pendidikan karir
yaitu persepsi perawat mengenai pemberian ceramah, lokakarya, seminar
yang diberikan institusi, (2) Informasi tentang pengembangan karir dengan
indikator yaitu informasi tentang berbagai kemungkinan pengembangan karir,
informasi lowongan pekerjaan, jalur-jalur alternatif dalam organisasi, (3)
Konseling karir yaitu persepsi perawat akan pemberian bimbingan dalam
menetapkan sasaran karir dan menentukan jalur karir yang tepat yang
ditawarkan institusi, (4) Dukungan manajemen yaitu persepsi perawat atas
dukungan yang diberikan dari atasan kepada bawahan, (5) Umpan balik
yaitu persepsi perawat atas evaluasi dan umpan balik dari institusi dalam
bekerja. Berdasarkan indikator-indikator dalam aktivitas-aktivitas
pengembangan karir tersebut maka disusunlah skala persepsi terhadap
pengembangan karir dengan item-item penyataan sebanyak 40 butir item.
Masing-masing aspek terdiri dari 8 butir peranyataan, baik yang bersifat
Butir-butir pernyataan dalam skala persepsi terhadap pengembangan
karir ini disusun berdasarkan modifikasi dari Skala Likert, dengan
menggunakan empat alternatif jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju
(S), Tidak Setuju (TS), Sangat Tidak Setuju (STS). Penggunaan
modifikasi dari Skala Likert ini dimaksudkan untuk menghindari
kecenderungan subyek dalam menjawab ragu-ragu atau netral. Pemberian
skor tergantung dari favorable tidaknya suatu butir yang bergerak dari 1
sampai 4.
Untuk kelompok favorable, skor yang diberikan adalah: Sangat
Setuju (SS) mendapat skor 4, Setuju (S) mendapat skor 3, Tidak Setuju
(TS) mendapat skor 2, Sangat Tidak Setuju (STS) mendapat skor 1.
Sedangkan untuk kelompok yang unfavorable, skor yang diberikan
adalah: Sangat Setuju (SS) mendapat skor 1, Setuju (S) mendapat skor 2,
Tidak Setuju (TS) mendapat skor 3, Sangat Tidak Setuju (STS) mendapat
skor 4.
Tabel 1:
Distribusi Aitem Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir
No Aktifitas dalam pengembangan karir
Aitem Jumlah
(bobot) Favorabel Unfavorabel
1. Pendidikan karir 1,11,21,31 6,16,26,36 8 (20%)
2. Informasi tentang
pengembangan karir 2,12,22,32 7,17,27,37 8 (20%)
3. Konseling karir 3,13,23,33 8,18,28,38 8 (20%)
4. Dukungan manajemen 4,14,24,34 9,19,29,39 8 (20%)
5. Umpan balik 5,15,25,35 10,20,30,40 8 (20%)
2. Skala Kemampuan Berempati
Pengumpulan data kemampuan berempati ini menggunakan jenis
skala Likert yang pembuatannya berdasarkan lima aspek yang telah
dikemukakan oleh Goleman (1998). Adapun indikator-indikator yang
dipergunakan dalam pembuatan skala kemampuan ini yaitu : (1)
understanding others dengan indikator mampu tidaknya individu menangkap perasaan dan pikiran orang lain, (2) service orientation di mana individu mampu atau tidak memberikan pelayanan yang memang
diperlukan oleh orang lain, (3) developing others dengan indikator kemampuan individu dalam memberi masukan pada orang lain, (4)
leveraging diversity yaitu kemampuan menengahi konflik, tidak menciptakan konflik, (5) political awareness yaitu kemampuan memahami aturan main yang tertulis atau yang tidak tertulis dalam
berhubungan dengan orang lain.
Secara keseluruhan, skala persepsi mengenai kemampuan berempati
ini terbagi menjadi 5 aspek yang terbagi dalam 30 aitem. Jumlah aspek
favorabel dan unfavorabel dibuat seimbang dengan menggunakan
alternatif jawaban Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Setuju
(S), dan Sangat Setuju (SS). Kemudian, masing-masing nilai bergerak
dari 1 sampai 4 untuk aitem-aitem yang favorabel, dan nilai 4 sampai 1
untuk aitem yang unfavorabel. Peneliti akan melihat tinggi rendahnya
kemampuan berempati individu berdasarkan skor total jawaban subjek
Tabel 2.
Distribusi Aitem Skala Kemampuan Berempati
No Aspek Aitem Jumlah
(bobot) Favorabel Unfavorabel
1. understanding others 1,11,21 6,16,26 6 (20%) 2. service orientation 2,12,22 7,17,27 6 (20%) 3. developing others 3,13,23 8,18,28 6 (20%) 4. leveraging diversity 4,14,24 9,19,29 6 (20%) 5. political awareness 5,15,25 10,20,30 6 (20%)
Total jumlah 15 15 30
(100%)
F. Pertanggungjawaban Mutu
1. Validitas
Validitas mengacu pada “truthfulness” yaitu, sejauh mana ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu alat tes
atau instrumen pengukuran dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi
apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil
ukuran yang tepat dan akurat sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut. Alat ukur menghasilkan data yang tidak relevan
dengan tujuan pengukurannya dapat dikatakan memiliki validitas yang
rendah.
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi
yang ditentukan lewat pengujian isi tes dengan analisa rasional atau
penelitian (Azwar, 2005). Proffesional judgement dalam penelitian ini adalah dosen pembimbing. Validitas isi dipilih dengan alasan kepraktisan
dan lebih membantu peneliti untuk memilih aitem-aitem yang relevan
sehingga pengukuran yang dilakukan sesuai dengan tujuan (Azwar,
2004).
2. Seleksi Aitem
Setelah melakukan uji validitas menggunakan validitas isi maka
langkah selanjutnya adalah melakukan seleksi aitem. Seleksi aitem
dilakukan dengan tujuan melihat kemampuan aitem untuk membedakan
antara aitem yang memiliki skor tinggi dengan skor rendah. Seleksi aitem
dilakukan berdasarkan daya diskriminasinya, yaitu sejauh mana aitem
mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang
memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2006).
Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan dengan
mengkorelasikan antara skor aitem dengan skor aitem total akan
menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) atau indeks daya beda
aitem (indeks diskriminasi item) dengan taraf signifikasi 0,05. Pengujian
ini menggunakan program SPSS 12.
Sebagai dasar pemilihan aitem berdasar korelasi aitem total biasanya
menggunakan batasan rix > 0,3 tetapi juga bisa diturunkan menjadi > 0,25
sehingga jumlah aitem lolos yang diinginkan dapat tercapai (Azwar,
3. Reliabilitas
Penghitungan reliabilitas menggunakan bantuan program SPSS
12.00 for windows. Reliabilitas sebenarnya mengacu pada keterpercayaan
hasil ukur. Keterpercayaan di sini adalah seberapa besar kita dapat
mempercayai hasil tes yang didapatkan, atau seberapa besar tingkat
kesalahan yang muncul ketika seseorang mengerjakan suatu tes (Azwar,
1999). Penghitungan reliabilitas dengan menggunakan teknik pendekatan
konsistensi internal koefisien reliabilitas alpha cronbach yang diperoleh
lewat penyajian satu bentuk skala yang dikenakan sekali saja pada
sekelompok responden / single-trial administration (Azwar, 1999).
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas rxx yang angkanya
berkisar dari 0,00 – 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitasnya, berarti
semakin tinggi pula tingkat kepercayaan hasil pengukuran alat tersebut
bagi kelompok subjek yang diteliti.
G. Persiapan Penelitian
1. Uji Coba Alat Ukur Penelitian
Peneliti terlebih dulu melakukan uji coba terhadap alat ukur
penelitian yang dibuat sebelum mengadakan penelitian yang
sesungguhnya. Uji coba alat ukur ini bertujuan untuk melihat besar
reliabilitas alat ukur penelitian dan aitem-aitem yang benar-benar dapat
membedakan sikap dan kemampuan subjek penelitian terhadap variabel
dengan membandingkan skala yang dibuat peneliti dengan alat ukur lain
yang mengukur hal yang sama tetapi dengan menggunakan validitas isi
dengan bantuan dosen pembimbing.
Alat ukur yang diujicobakan terdiri dari dua skala. Skala pertama
adalah Skala Persepsi terhadap Pengembangan Karir yang dikodekan
dengan nama Skala I. Skala ini terdiri dari 40 aitem, 20 aitem berbentuk
favorable dan 20 lainnya berbentuk unfavorable. Skala kedua adalah Skala Kemampuan Berempati yang dikodekan dengan nama Skala II. Skala ini
terdiri dari 30 aitem soal, 15 aitem berbentuk favorable dan 15 aitem lainnya berbentuk unfavorable. Kedua skala ini dirangkai menjadi satu buah buku yang kemudian disebarkan kepada subjek penelitian. Sehingga
setiap subjek akan mendapatkan dua buah skala.
Uji coba alat ukur penelitian ini diadakan mulai tanggal 28 Januari
2010 sampai dengan 1 Februari 2010. Peneliti sebelumnya jauh-jauh hari
sudah mempersiapkan buku skala penelitian, sehingga ketika surat ijin
penelitian keluar peneliti langsung menyebarkan angket penelitian
tersebut. Dalam penyebaran angket penelitian, peneliti meminta bantuan
relasi peneliti yang bekerja sebagai salah satu bidan di RSUD Wangaya.
Angket penelitian yang disebarkan peneliti sebanyak 80 eksemplar.
Angken Penelitian itu di sebarkan ke 5 ruangan rawat inap di RSUD
Wangaya yaitu : Ruang Angsa, Ruang Belibis, Ruang Dara, Ruang
Kaswari, dan Ruang Cendrawasih. Dari 80 eksemplar Angket penelitian
eksempar. Angket penelitian yang berhasil dikumpulkan di kroscek
kembali dan yang memenuhi syarat untuk dapat di teliti pada penelitian ini
sebanyak 57 eksemplar. Banyaknya angket yang gugur dan tidak
dimasukkan dalam penelitian ini karena adanya angket yang kosong dan
tidak terisi dengan lengkap serta ketidak sesuaian dengan kriteria subyek
penelitian.
2. Hasil Uji Coba Alat Ukur
Berikut ini akan disajikan hasil uji coba alat penelitian yaitu Skala
Persepsi Terhadap Pengembangan Karir dan Kemampuan Berempati.
a. Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir
Seleksi Aitem Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir
Skala Persepsi Terhadap Pengembangan Karir yang dibagikan
kepada 57 responden sebagai uji coba alat ukur terdiri dari 40 aitem.
Aktifitas dalam pengembangan karir yaitu Pendidikan Karir terdiri dari
8 aitem, Informasi Tentang Pengembangan Karir terdiri dari 8 aitem,
Konseling Karir 8 aitem, Dukungan Manajemen 8 aitem dan Umpan
Balik 8 aitem.
Setelah data diperoleh kemudian dilakukan seleksi aitem dengan
menggunakan bantuan program SPSS 12 for Windows dengan mengukur korelasi antara aitem dengan skor total (rix) yang bertujuan
untuk memperlihatkan kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala