BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Untuk menyimpulkan tulisan ini, penulis menguraikanya dalam beberapa bentuk catatan refleksi;
1. Keluarga
Seiring dengan perubahan zaman, pendidikan semakin merata, maka para orang tua mulai menyadari akan kesamaan hak bagi anak-anak, perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Anak perempuan tidak lagi diperlakukan sebagi pribadi titipan, tetapi sebagai anak yang memiliki hak yang sama dengan saudaranya laki-laki dalam mengenyam pendidikan, sehingga perempuan juga berhak bermimpi dan meraih mimpinya tersebut. dengan pendidikan perempuan bisa menjadi pemimpin di luar rumah, tetapi dirumah sendiri tidak bisa. Posisinya tetap sebagai ono alawe. Dalam banyak hal kedudukan perempuan tidak mengalami pergeseran
Dinamika keluarga seperti ini menuntut peran aktif gereja untuk merancang-bangun model pelayanan keluarga yang lebih kreatif— sudah saatnya gereja menjadikan keluarga focus utama, saat keluarga kokoh dan kuat maka gerejapun akan kuat. kokohnya keluarga tidak berarti bahwa keluarga terhindar dari konflik. Spray menjelaskan bahwa keluarga yang kokoh bukanlah keluarga tanpa konflik, tetapi keluarga yang mampu menerima perbedaan-perbedaan walaupun dalam berbagai gesekan-gesekan, tetapi gesekan tersebut membawa harmony dan kekokohan sebuah keluarga, bagaimana membuat gesekan tersebut menjadi suatu harmoni yang indah yang membawa perkembangan dan kekokohan? Di titik inilah peran gereja menjadikan setiap inividu menjadi pribadi mampu menerima perbedaan, mampu bekerja sama dalam keluarga melalui program-program.
Kesan yang terjadi selama ini adalah adanya pembiaran yang dilakukan oleh gereja untuk perkembangan (secara holistic) sebuah keluarga, karena itu bisa dikatakan bahwa gereja “absen” dalam pelayanan pembinaan keluarga. Karena itu
teori sosiologi keuarga, gereja terbantu membangun program pelayanan dalam penguatan keluarga. Misalnya teori perkembangan Keluarga yang dikembangkan oleh Duvall—mengaanalisis tugas-tugas yang harus dilakukan oleh sebuah keluarga pada tahap-tahap tertentu.
b. Pendidikan dan subordinasi terhadap perempuan
Sebelum pendidikan diperkenalkan dimasyarakat Nias, keluarga merupakan basis pendidikan. Prose pendidika secara umum telah dimulai saat anak telah famoto (laki-laki) dan famofo ifȍ (bagi anak perempuan sampai saat
famamaha wamasa Nias gari (laki-laki) dan fanari, folohe balatu (bagi anak
perempuan). Pendidikan yang dilakukan dalam keluarga memiliki pola yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Namun setelah pendidikan “formal” diperkenalkan dan dianggap sebagai kebutuhan manusia, maka fungsi
keluarga dalam hal pembinaan mulai mengalami pergeseran.
Saat pendidikan formal mulai dikenal oleh masyarakat Nias, subordinasi terhadap perempuan semakin terasa, laki-laki dianggap lebih layak untuk mengenyam pendidikan formal, sementara perempuan tidak didorong untuk bersekolah karena adannya kekuatiran akan hilangnya harato zatua, rentanya perempuan terhadap kekerasan dan adanya anggapan umum bahwa setinggi-tingginya pendidikan perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur dan menjadi solaya ngai mbatȍ, bukan untuk memimpin
Berbicara mengenai gender berarti juga berbicara mengenai keluarga dan lingkungan sosial. Identitas setiap pribadi (laki-laki dan perempuan) dibentuk oleh dua bahkan tiga lembaga yakni keluarga dan lingkungan sosial atau bahkan agama. Beberapa pembahasan berkaitan dengan gender;
a. Marginalisasi; merupakan suatu proses sikap, perilaku, kayakinan dan tafsiran terhadap kitab kagamaan, tradisi dan kebiasaan masyarakat, atau bahkan asumsi pengetahuan serta kebijakan Negara yang berdampak pada penyisihan atau peminggiran bagi perempuan atau laki-laki yang mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi
b. Subordinasi; adalah sikap, anggapan atau tindakan masyarakat yang menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah (tidak penting) dan sekedar sebagai pelengkap kepentingan kaum laki-laki—laki-laki sebagai pribadi yang diutamakan.
c. Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok tertentu dengan sikap atau penilaian negatif. Berbagai sikap ketidak adilan dalam keluarga atau kelompok sosial berkembang karena adanya sebuah stereotipe yang dilabelkan pada jenis kelamin.
d. Beban ganda; adanya anggapan bahwa pekerjaan rumah, mengasuh anak bahkan karena keterbatasan ekonomi, perempuan bekerja bersama suami untuk mencukupi kebutuhan hidup. Hal ini sering dianggap sebagai sebuah pengabdian dan pengorbanan yang mulia.
e. Kekerasan; bentuk kekerasan akibat bias gender sering disebut dengan istilah gender-related violence. Korban kekerasan bukan hanya perempuan tetapi bisa
penyerangan seksual, pemukulan, pelecehan seksual) atau nonverbal di tempat terbuka atau di ruangan tertutup atau privat.
Masyarakat Indonesia yang kental dengan adat masih kental dengan lima isu gender tersebut, dan mayoritas korban ketidak adilan gender adalah perempuan (baik sebagai anak maupun sebagi istri dan ibu). Para perempuan umumnya tidak mempermasalahkan kondisi ketidak adilan tersebut. perilaku penerimaan ini bisa dianalisa melalui teori kesadaran diri dari Belengky dkk, yakni silence atau blind obedience, received knowledge, subjective knowledge, procedural knowledge,
constructed knowledge dalam bahasa sederhana adalah, keterbatasan pengetahuan
karena latarbelakang pendidikan, kedua adanya pilihan hidup artinya bahwa adanya penerimaan karena kesadaran bahwa memang bengitu adanya atau kecenderungan untuk menjaga martabat dan identitas keluarga.
Masyarakat masyarakat menempatkan perempuan pada kedudukan yang ganda (saling bertentangan), dan hal ini adalah sebuah keunikan budaya Nias, yang belum tersentuh oleh teori dan penelitian feminis. Sebagai manifestasi Inada Silewe Hai Nazarata, perempuan memiliki kepribadian yang mulia; memancarkan cinta tanpa syarat dan tanpa berpihak, melalui tutur kata, perilakunya dan afo perempuan selalu menciptakan perdamaian, dan memiliki kemampuan mengelola perekonomian keluarga dengan baik sehingga menciptakan sebuah keluarga yang sejahtera.
barasi, namun walaupun seorang perempuan berasal dari strata sosial tinggi,
namun berperilaku layaknya Ria, maka perempuan terssebut tidak akan mendapat pemuliaan dari berbagai pihak.
Walaupun secara filosophi ada beberapa nama perempuan yang mulia namun mengalami pergeseran makna yang mendorong sebuah perilaku yang merendahkan kedudukan perempuan tersebut dalam keluarga. pergeseran makna dari kedudukan perempuan dalam keluarga seperti makna ni’owalu, beligana’a. Akibatnya perempuan menjadi kelas subordinat dirumahnya sendiri dan menjadi kuda beban yang tidak berhenti bekerja yang kepadanya sering menjadi objek kekerasan dari pemilik kekuasaan dalam keluarga (ibu mertua dan suami sebagaimana teori feminis sossialis dan Marxis serta Feminis Poskolonial). Selain karena pergeseran makna, kedudukan perempuan sebagai anak dalam keluarga diperlakukan sebagi pribadi titipan, dan setelah menikah dianggap sebagai mesin pencetak anak. hal ini terjadi akibat keterbatasan ekonomi sehingga sebagian besar terlilit utang, pernikahan dini, pendidikan yang rendah atau bahkan tidak berpendidikan sama sekali, sehingga mempengaruhi kemampuan setiap pribadi dalam memilah dan mengelola setiap permasalahan bahkan pergumulan keluarga.
Kedudukan yang ganda (bertentangan) tidak membuat perempuan “merasa”
kesadaran diri akan kesetaraan). Seseorang yang memiliki constructed knowledge disebabkan karena pengaruh pendidikan dan latarbelakang keluarga.
Sehingga walaupun diperlakukan “bȍligana’a atau bene’ȍ atau kuda kerja yang tidak berhenti bekerja, perempuan akan melakukan semampunya. Permasalahanya adalah setelah para istri menjadi solaya ngai mbatȍ, dan memiliki menantu (menjadi subjek kekuasaan), sebagian besar perempuan “balas dendam”.
D. Kesetaraan yang Memerdekakan
Dalam sejarah perjuangan “keadilan gender” selalu bertujuan untuk memperoleh kesetaraan, namun makna kesetaraan yang diperjuangkan masih dalam tahap abu-abu. Memahami teori epistimologi kesadaran diri dari Belengky dkk., ada banyak pejuang gender yang telah mencapai pada tingkat subjective knowledge, procedural knowledge yang pada titik-titik tertentu justru meninggalkan atau bahkan menanggalkan kodratnya sebagai perempuan dan “berperilaku” seperti laki-laki, atau munkin sebaliknya melakukan ketidak adilan gender terhadap laki-laki.
Perjuangan kesetaraan gender lebih pada pemerdekaan baik laki-laki maupun perempuan sehingga masing-masing memperoleh haknya sebagai manusia yakni; hak untuk hidup (life), kebebasan untuk berekspresi (liberty) dan hak untuk berbahagia (happynes).
dilakukan atas legitimasi ayat-ayat tersebut diatas. “Merendahkan perempuan bagian dari iman”
Namun bila memahami dengan benar apa yang menjadi dasar pemkiran Paulus menulis teks tersebut, kemungkinan maknanya akan berbeda, apalagi jika setiap perilaku “kesetaraan ini” berpedoman pada perilaku Kristus yang selalu memperlakukan manusia sama, hal ini bisa dilihat pada tindakan Yesus yang membela seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah (Yoh.8:3-11), bagaimana Yesus memperlakuan orang-orang terpinggirkan.
B. Saran
1. Pemerintah dan gereja perlu bekerja sama menggali dan mensosialisasikan filosophi dari setiap istilah adat yang telah mengalami pergeseran makna yang menjurus pada pergeseran perilaku dari masyarakat Nias. Contoh; makna bȍwȍ, ni’owalu, bȍligana’a, dll.
2. Penggembalaan pra nikah yang dilakukan selama ini oleh gereja terkesan “hanya” sebagai formalitas atau seremonial belaka (dikatakan seremonial
karena penggembalaan yang dilakukan hanya satu kali). Menurut penulis, menciptakan keluarga yang harmonis perlu dilakukan penggembalaan pra Nikah selama beberapa kali pertemuan dan pasca Nikah—membantu keluarga baru menghadapi berbagai kerikil tajam dalam keluarga, dengan materi kehidupan keluarga menurut Kekristenan yang dipadu dengan berbagai teori sosiologi keluarga dan budaya Nias.
mempersiapkan mereka menjalani hidup bersama dengan menantu dan atau keluarga yang baru.
4. Perlu adanya reformasi liturgy pernikahan, selama ini dalam liturgy yang berjanji adalah hanya pasangan suami istri. Perubahan yang diharapkan adalah orangtua dari kedua belah pihak juga harus berjanji “bukan sehidup semati”