• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kedudukan Perempuan dalam Keluarga di Masyarakat Nias T2 752016014 BAB IV"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

153

BAB IV

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KELUARGA

Perilaku Masyarakat Nias Terhadap Perempuan

Keluarga Dan Hierarki Kekusaan

Sebelum masuk dalam pembahasan tentang “bagaimana” kedudukan

perempuan dan mengapa perempuan memiliki kedudukan seperti itu, terlbih dahulu penulis mengajak pembaca memahami “keluarga” sebagai tempat pertama

pembentukan “karakter manusia” dan penerapan konstruksi sosial terhadap

gender serta hierarki kekuasaan yang terdapat dalam sebuah keluarga.

(2)

154 stuktural (Parson, Marton, Cohen dan Ihromi), artinya bahwa timbul ketidakseimbangan sistem yang bisa berakibat percerian, kekerasan, konflik dan bahkan akan menghasilkan generasi muda yang berkepribadian buruk.

Bagi masyarakat Nias, keluarga adalah segalanya, keluarga adalah lembaga pertama dalam utama. Hal ini dibutktikan dengan perjuangan setiap keluarga besar dalam membentuk sebuah keluarga batih yang baru dengan mengorbankan materi dalam jumlah yang banyak, pemikiran dan dengan setiap mengikuti tahapan dan proses ritual pernikahan.

Dalam tradisi yang dikristalkan menjadi adat, setiap pribadi akan melakukan fungsinya sesuai dengan diferensiasi peran sehingga terjadi suatu keseimbangan sebagaimana Parson maksudkan dalam teori structural fungsional keluarga. Namun tidak bisa dipungkiri juga bahwa dalam menjalani fungsi sering terjadi konflik akibat disfungsional keluarga. Konflik akan selalu berujung pada kekerasan terhadap yang lemah—kelompok yang lemah adalah anak dan perempuan sebagaimana tesis teori konflik keluarga. Beberapa faktor terjadinya suatu konflik dalam sebuah keluarga;

1. Hilangnya suatu solidaritas dalam sebuah keluarga. Artinya adalah motivasi dan kesiapan setiap anggota keluarga untuk merasa memiliki sebagai anggota sistem dan saling percaya untuk memenuhi harapan bersama yang melekat pada keanggotaan dalam peran masing-masing.

(3)

155 3. Adanya ketidaksiapan dan ketidak mampuan masing-masing anggota keluarga sebagai subsistem untuk menerima dan memehami setiap perbedaan 4. Faktor pertama sampai ketiga adalah faktor internal (dari dalam diri setiap

orang). Faktor eksternal artinya faktor dari luar berupa tradisi/budaya dan agama. Setiap pribadi dikondisikan oleh tatanan yang telah diatur dalam suatu aturan adat dan agama yang mendorong setiap pribadi dalam setiap keluarga menempatkan orang lain pada posisi kemanusiaan yang lebih rendah—dalam tataran inilah terjadi diskriminasi, penindasan pribadi-pribadi yang lemah dan tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan yang dimaksud tidak didasari oleh kepemilikan akses terhadap hal-hal yang dianggap bernilai seperti ekonomi dalam sebuah keluarga sebagaimana anggapan teori konflik keluarga, tetapi adanya legitimasi adat dan agama untuk melakukan diskriminasi dan penindasan sehingga menempatkan orang yang lemah (objek) menjadi subaltern atau subordinat.

Dalam berbagai teori Feminis, feminis Sosialis dan Marxisme yang meminjam teori Marx dan Engel, tentang perempuan yang ditindas oleh budaya patriakhi dan kapitalis maupun teori poskolonial Feminis yang melihat ketertindasan dunia ketiga dari bebrapa sudut yaitu keterjajahan dari penjajah, budaya patriakhi, agama dan budaya memahami “kekuasaan” yang digunakan

(4)

156 Meminjam konsep kekuasaan Foucalt, kekuasaan suami terhadap istri, perempuan terhadap perempuan lain adalah sikap tunduk perempuan pada pengendalian laki-laki sebagai suami dan ketergantungan pada suami sebagai

kepala rumah tangga, atau ibu mertua terhadap menantu—istri tidak bisa melakukan dan memutuskan karena perempuan hanyalah bȍli gana’a dan atau

ono alawe. Berkaitan dengan kuasa, ibu mertua atau suami sebagai subjek

diproduksi melalui wacana adat yang disakralkan dalam sebuah fondrakȍ.

Perempuan yang sebenarnya bersama dengan suami menjadi subjek berubah

menjadi objek melalui jalinan kuasa budaya patriakal, karena itu subjek yang adalah

suami dilihat sebagai individu yang superior, sedangkan objek yang adalah istri

sebaliknya berada dalam posisi yang ditaklukkan oleh subjek.

(5)

157

Bagan 1. Suami/laki-laki menjadi pimpinan tertinggi dalam sebuah keluarga

(6)

158

Bagan 2. Ibu Mertua berperan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah keluarga

Bagan ke dua mau menjelaskan bahwa setelah seorang anak laki-laki membentuk sebuah keluarga maka laki-laki tersebut keluar dari keluarga batih ayah dan ibunya, dan membentuk sebuah keluarga batih yang baru, namun hierarki kekuasaan dalam keluarga baru itu pimpinan teratas bukanlah suami, tetapi mertua—umumnya ibu mertualah yang memegang kendali dan bersikap sebagai subjek kekuasaan pertama, kemudian laki-laki atau suami menjadi objek kekuasaan ibunya dan subjek kekuasaan atas istrinya. Itulah sebabnya sebagian keluarga baru sering mengalami percekcokan akibat kekuasaan ibu laki-laki.

(7)

159 istri dan menantu dalam sebuah keluarga harus patuh, kreatif dan rajin, serta menggantungkan nasib terhadap subjek.

Kedudukan Perempuan Dalam Keluarga.

Di atas telah dijelaskan bahwa Kedudukan peremupuan adalah kekuasaan perempuan terhadap orang lain (secara perorangan atau sosial); di dalam atau di luar rumah artinya kemampuan untuk mempengaruhi dan membuat keputusan dalam berbagai aktifitas, kemampuan mempengaruhi perilaku dan keputusan anggota keluarga, dan kuasa untuk mengontrol diri sendiri. Kekuasaan ini bersumber dari beberapa bentuk, yakni; harta, status sosial dan budaya. kedudukan perempuan hanya bisa dipahami dalam suatu konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideology.

(8)

160

A. Perempuan Sebagai Anak dalam Keluarga

Menganalisa kedudukan perempuan dalam keluarga dalam sebuah masyarakat sangat lebih baik, jika analisanya dilakukan secara menyeluruh. Artinya bahwa sejarah dari perempuan dalam sebuah keluarga harus dikupas mulai dari kecil bahkan sejak dari kandungan sampai perempuan tersebut menjadi janda bahkan setelah meninggal.

Dalam berbagai teori feminis, perilaku dan kedudukan anak dalam keluarga tidak menjadi perhatian, yang dilakukan hanya menganalisi perlaku keluarga atau sosial terhadap perempuan secara umum. Namun pada tahap analisa ini, penulis akan memilah-milah bagaimana kedudukan perempuan dalam keluarga menurut tahap tahap sejarah yang dijalani oleh perempuan itu sendiri seumur hidupnya.

Sebuah filosophi Nias mengungkapkan bahwa “ndro hȍrȍ gana’a ba ndro

dȍdȍ ndraono” artinya bahwa harta hanya kesenangan mata semata, sementara

anak adalah buah hati yang sangat dirindukan kehadirannya dalam sebuah keluarga. Kehadiran seorang anak dalam sebah keluarga adalah suatu peristiwa yang sangat dinanti-nantikan, karena itu, bila seorang anak tidak kunjung dikaruniai dalam sebuah keluarga, keluarga kecil tersebut akan melakukan berbagai ritus adat yang melelahkan dan menghabiskan uang. Tetapi buat orang Nias, uang adalah sesuatu yang bisa dicari, diperjuangkan—materi yang bisa dicari dengan hasil keringat, tetapi anak adalah pemberian sang Pengada. Karena itu jika sebuah keluarga belum kunjung mendapat anak, berarti ada sesuatu yang menjadi penghalang berkat Sang Pengada itu. Untuk itu perlu ada ritus.

(9)

161 terbentuk 3 bulan, namun belum ada tanda-tanda kehamilan bagi seorang istri, maka hal itu menjadi sebuah gunjingan di masyarakat, bahwa istri si-A mandul, kemandulan bagi seorang istri adalah sebuah aib karena pertanda bahwa perempuan tersebut tidaklah sempurna. Tetapi bila seorang anak lahir, maka cinta dan suasana sebuah keluarga semakin hangat, wibawa dan harga diri sebuah keluarga di lingkungan sosial semakin meningkat.

Suasana sukacita yang hadir dalam sebuah keluarga sangat berbeda— tergantug dari jenis kelamin; bila anak yang lahir seorang anak perempuan, maka keluarga menyebutnya sebagai ana`a jatua (harta bagi keluarga), karena itu dalam proses pertumbuhanya, anak ini akan dijaga dengan ketat agar tidak ada orang yang mendatangkan aib dan atau menghilangkan “harta” tersebut.

Bagi masyarakat Nias, memiliki sepuluh anak perempuan dianggap tidak sempurna bila belum memiliki anak laki-laki walaupun hanya satu orang, karena itu suami/ayah bisa menikah kembali atau akan mengadopsi anak laki-laki sebagi pewaris. Logikanya adalah hidup sangat tidak berarti bila memilki harta yang banyak (anak perempuan identik dengan harta), tetapi tidak memiliki pewaris dan pelindung (anak laki-laki). Karena itu seorang suami harus menikah kembali atau setelah Kekristenan menjadi agama suku Nias, maka sebuah keluarga harus mengadopsi seorang anak laki-laki sebagai pewaris bagi sebuah keluarga.

(10)

162 Penulis senang meminjam istilah Mahatma Gandhi, bahwa anak perempuan semasa kecil sampai remaja, hanyalah sebagai pribadi titipan, atau dalam bahasa gender dan feminis perempuan termarginalisasi, dan subordinat, artinya bahwa adanya anggapan, sikap dan tindakan masyarakat dan atau keluarga yang menempatkan perempuan sebagai pribadi pelengkap atau lebih rendah dari pada laki-laki. Masyarakat Nias melalui tradisi menempatkan anak perempuan dalam keluarga sebagai kelas subordinat.

Sebagai pribadi titipan pribadi ini tidak memiliki hak dalam sebuah keluarga, kecuali hak mendapatkan kebutuhan dasar, namun memiliki segudang kewajiban. Ada empat alasan hak-hak anak perempuan dalam masyarakat Nias sangat di batasi sehingga terkesan bahwa perempuan sebagai anak termarginalisasi dalam sebuah keluarga;

1. Karena anak perempuan adalah “harta”, maka ada kekhuatiran bahwa di luar rumah ada banyak ancaman bagi harta tersebut, sehingga harta keluarga ini bisa hilang. Harta ini bisa hilang karena anak perempuan diculik orang, atau dilecehkan atau diperkosa. Bila hal itu terjadi maka proses adat pernikahan bagi anak perempuan tidak bisa dilakukan, dan bila proses adat tidak dilakukan maka “bȍwȍ” untuk seorang perempuan hilang.

Seorang perempuan yang dilecehkan atau diperkosa tidak dianggap sebagai anak gadis, karena itu keluarga besar akan memaksa pelaku kekerasan (perkosaan atau pelecehan) untuk memperistri perempuan tersebut tanpa “bȍwȍ”. yang dibayar hanya denda adat dan sangsi berupa kekerasan fisik.

(11)

163 yang pernah dilakukan PKPA menunujukan bahwa perempuan lebih rawan mengalami berbagai bentuk kekerasan dari orang terdekat atau orang yang tidak dikenal karena identitasnya sebagai perempuan yang diidendikan sebagi pribadi penggoda, lemah, dan tidak berdaya.

3. Seorang anak perempuan tidak didorong untuk sekolah karena perempuan kelak domisilinya hanya di dapur, sumur dan kasur.

4. Dilihat dari sisi kemampuan intelektual, sebagaimana perempuan India dalam perjuangan Spivak dalam teori feminis poskolonial, Orang Nias beranggapan bahwa anak laki-laki di dorong mengenyam pendidikan setinggi-tingginya karena laki-laki lebih pintar dari pada perempuan, lebih bijak dan berani. Namun dari sisi ilmu pengetahuan, anggapan tersebut bisa dibuktikan salah, karena itu, Heymans mengatakan bahwa “kita tidak

memiliki hak sedikitpun untuk mengfonis bahwa laki-laki lebih pintar dari perempuan” hal ini dasari dari pengalamanya mengajar bahwa ternyata

perempuan jauh lebih unggul dari pada laki-laki. Ir. Soekarna mengakui hal ini, dalam cerita pengalamanya menjadi guru di H.B.S. dan sekolah mengengah bahwa perempuan memiliki prestasi yang jauh cemerlang dibanding dengan laki-laki. Pengakuan yang sama disampaikan oleh Freunlich seorang asisten Eisntein mengaku bahwa pelajar-pelajar perempuan bisa dipacu untuk memutar otak untuk berpikir dan menyelesaikan sosal-soal yang sangat sulit1. Bila ada yang mengatakan bahwa otak laki-laki lebih besar dari otak perempuan, maka ilmu pengetahuan membuktikan bahwa bahwa otak perempuan lebih besar

1

(12)

164 dibanding dengan laki-laki. Setiap perempuan memiliki otak sebesar 23,8 gr per kilogram tubuh manusia, sementara laki-laki hanya memiliki 21,6 gr perkilogram tubuh manusia, tetapi ketajaman pikiran dan kepandaian tidak didasari pada besar kecilnya otak2, tetapi lebih pada bawaan intelektual, pelatihan atau pengasahan ketajaman berpikir. Pada umunya prestasi perempuan lebih unggul dari laki-laki karena perempuan lebih telaten dan serius melakukan apapun di banding dengan laki-laki.

Sebagai pribadi titipan, setelah anak perempuan menginjak umur dewasa akan dilamar dan dinikahi seorang pemuda, saat itu perempuan akan dipindahkan dari keluarga “orangtua yang melahirkanya” masuk dalam keluarganya yang

“sebenarnya”. Di dalam keluarga batihnya nanti perempuan memiliki hak

sebagai solaya ngai mbatȍ. Dalam pemindahan pribadi titipan ke dalam sebuah keluarga batih, orangtua meminta sebuah pengorbanan materi dari keluarga laki-laki yang melamar—sebagian kaum perempuan yang memiliki kesadaran separate knower (sebagaimana teori kesadaran epistimologis Belenky) menyebut bahwa bȍwȍ yang diminta oleh keluarga pengantin perempuan merupakan transaksional kapitalis—menjual anak perempuan, hal ini sepadan dengan filosophi anak perempuan sebagai ana`a zatua.

Dalam posisinya sebagai “ana’a zatua”, rupanya tidak hanya terletak pada

bȍwȍ” yang diterima oleh orang tua saat pernikahan anaknya, tetapi yang

menjadikan perempuan sebagai “ana’a zatua” adalah peranya dalam mendorong dan menyokong perekonomian keluarga melalui tenaganya. Seorang anak

2

(13)

165 perempuan tidak didorong untuk sekolah, supaya mengapdikan diri dan tenaganya untuk membangun perekonomian keluarga.

Kalau Engels menyebut bahwa perempuan-perempuan menjadi kepala pembantu atau bahkan budak dalam keluarga, namun bila dilihat dalam konteks Engels bahwa yang dimaksud dengan kepala pembantu atau budak dalam keluarga adalah para perempuan-perempuan dewasa atau para istri yang memiliki segudang pekerjaan namun tidak mendapat bayaran. Dalam konteks budaya Nias, anak perempuan bukanlah kepala pembantu melainkan budak-budak kecil. Perempuan-perempuan kecil dalam sebuah keluarga yang diwajibkan bekerja di sawah, mengurus ternak (mengambil makanan babi dan memberi makan babi-babi), berkebun. Bersama dengan ibu dan ayahnya bekerja membangun ekonomi keluarga—bila perekonomian semakin mapan, maka ayahnya akan melakukan owasa (pesta adat) dan strata sosial keluarga tersebut akan meningkat. Namun di

saat perempuan menikah, orang tua bersama keluarga besar mengambil Bȍwȍ (mahar) sesuai dengan strata sosial ayahnya; semua harta dan jabatan (strata sosial) orang tua yang telah dibangun bersama tidak diwariskan kepada anak perempuan, karena ada anggapan bahwa perempuan akan mendapatkan segalanya di rumah keluargangya yang “sebenarnya.”

B. Perempuan Sebagai Istri

1. Istri sebagai Pribadi yang kedua dalam Kelurga

(14)

166 keluarga—hal ini terjadi atas konstruksi sosial melalui tradisi yang telah ditetapkan melalui fondrakȍ. Baik sebagai anak atau sebagai orang tua, laki-laki adalah pribadi yang diutamakah, sementara perempuan sebagai kelas dua atau pelengkap hidup laki-laki—namanya pelengkap bisa ada bisa tidak dalam kehidupan keluarga. Kedudukan perempuan sebagai subordinat dalam keluarga dalam berbagai bentuk sebagaimana tradisi memposisikan perempuan Nias pada kedudukan tersebut;

* Perempuan Dalam Pertemuan Penentuan Adat.

Dalam Nias tradisional, fondrakȍ atau famatȍ Harimao tempat pertama sekali posisi perempuan dalam keluarga, lingkungan sosial, ditentukan. Spivak mengkritik keterlibatan Inggris sebagai Negara Kolonial yang membuat undang-undang pelarangan praktek sati di India tanpa melibatkan perempuan pribumi, sehingga melahirkan sati-sati yang baru dan lebih menyiksa perempuan India. Karena itu menurut Spivak, dalam proses konstruksi atau bahkan rekonstruuksi sebuah kebenaran harus melibatkan perempuan untuk menentukan nasibnya.

(15)

167 bersama suaminya dalam sebuah pertemuan adat terlebih pada sebuah “sidang” fondrakȍ.

* Perempuan dalam Penerimaan Lamaran

Proses pembentukan keluarga di dahului dengan pelamaran, ironisnya keluarga yang akan dibentuk dan dijalani oleh sepasang laki-laki dan perempuan dikendalikan dan dirancang oleh para orang tua. Perempuan yang dilamar tidak berhak menerima atau menolak sebuah lamaran dari sebuah keluarga, bahkan setelah lamaran diterima, seorang perempuan dilarang untuk membangun komunikasi dengan calon suaminya—hal itu dianggap tabu.

(16)

168 * Perempuan Dalam Penentuan Bȍwȍ

Dalam penentuan besar kecilnya bȍwȍ sebuah pernikahan ditentukan keluarga besar yang disebut iwa atau talifusȍ, bersama ayah dan kepala adat. Besar kecil suatu bȍwȍ pernikahan sangat dipengaruhi oleh strata sosial kepala keluarga (ayah) sebagaimana telah ditentukan dalam fondrakȍ. Dalam penentuan besaran bȍwȍ ini, perempuan sebagai ibu atau sebagai calon pengantin tidak dilibatkan.

Seorang ibu tidak memiliki hak untuk bernegosiasi dengan bȍwȍ anaknya karena mungkin adanya sebuah belas kasihan, atau sebagai calon pengantin tidak berhak mengetahui atau bernegosiasi (supaya bisa dikurangi) besaran bȍwȍ yang diminta oleh ayahnya karena hal itu dianggap tabu dalam

tradisi Nias.

* Peranan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga

Perempuan baik sebagai istri atau janda atau anak dalam keluarga dianggap sebagai pribadi pelengkap laki-laki. Sebagai istri harus menghargai, mendengar, melakukan segala bentuk keputusan suami—tanpa suatu bantahan. Sebagai janda, perempuan dilarang mengambil keputusan dalam sebuah pertemuan keluarga besar dengan alasan;

(17)

169 2. Ira alawe ha ni’ȍli tȍla hȍgȍ (perempuan hanyalah pribali yang dibeli), artinya bahwa seorang perempuan dalam sebuah keluarga dianggap memiliki nilai yang sama dengan harta—saat pernikahan bȍwȍ dianggap sebagai transaksi ekonomi untuk membayar harga perempuan, sehingga setelah menikah, perempuan menjadi milik pribadi suami sebagaimana bahasa Engel. Sebagai milik pribadi, pribadi ini hanyalah benda karena itu tidak berhak membuat sebuah keputusan.

Perempuan yang telah menikah (berstatus istri dan ibu) masih tetap berstatus sebagai anak di rumah ayah kandungnya dan saudari dari saudara-saudaranya. Statusnya sebagai anak di sebuat sebagai ono alawe. Kedudukan ono alawe di rumah ayahnya tidak lebih dari seorang tamu bila berkunjung, namun bila ada acara yang diadakan keluarga besar ayahnya yang disebut sitenga bȍ`ȍ dan uwu, maka ono alawe diwajibkan mendukung dari segi dana berupa bȍwȍ, dan dukungan tenaga, karena perempuan hanyalah pekerja. Di sisi lain Ono alawe (perempuan beserta suaminya) tidak memiliki hak bersuara dalam setiap pertemuan keluarga, karena dia hanyalah perempuan (ono alawe)—domisili ono alawe hanyalah di dapur, bukan diruang para lelaki. Domisili kekuasaan ono alawe adalah di keluarga besar suaminya, di mana di sana tidak berstatus sebagai ono alawe, tetapi sebagai pemilik dan penguasa dalam sebuah keluarganya.

(18)

170 perempuan tidak pernah berkeluarga, maka lambat laun namanya akan hilang dalam sejarah keluarga.

Walaupun dalam bahasa adat bahwa seorang perempuan tidak memiliki hak dalam rumah orang tuanya, karena segala sesuatunya di dapatkan di rumah suaminya, dimana perempuan tersebut menjadi solaya ngai mbatȍ, termasuk kekuasaan dalam keluarga, tetapi kenyataannya bahwa tidaklah demikian. Adat masyarakat Nias telah menentukan bahwa seorang perempuan yang menjadi istri harus patuh, terhadap kepala keluarga yakni suaminya, dan kepada mertuanya. Beberapa nama perempuan yang menunjukan perempuan sebagai pribadi subordinat dalam keluarga setelah menjadi istri dan atau sesampainya dirumah suaminya;

2. Istri sebagai pribadi subordinat pada namanya sebagai bȍli gana’a

Setelah pernikahan dan sesampainya dirumah suami, maka mertua menyebut perempuan yang telah menjadi istri anaknya adalah bȍli gana`a (pribadi belian) karena keluarga besar suami telah memberi bȍwȍ (mahar), selanjutnya tubuh istri menjadi milik pribadi suami, tetapi tenaganya (pekerjaanya) milik keluarga (mertua dan ipar) dan suami.

Sebagai bȍli gana’a, istri dianggap sebagai pribadi kedua—pelengkap suami, menjadi pembantu bahkan budak dalam keluarga suaminya. Seorang istri akan dipaksa untuk bekerja keras untuk membayar utang yang telah dipinjam untuk membayar bȍwȍ, selanjutnya kalau utang telah lunas maka yang dipikirkan

(19)

171 seseorang atas orang lain (terutama suami terhadap perempuan istri), laki-laki atau suami melakukan pekerjaan di luar rumah di luar rumah untuk mencari nafkah berupa materi, sementara perempuan sebagai istri melakukan pekerjaan domestik, di mana pekerjaan ini tidak mengahasilkan uang (materi), karena itu istri tidak memiliki kekuasaan dalam keluarga. Namun konteks dan budaya Nias laki-laki memiliki kekuasaan terhadap istri bukan karena laki-laki bekerja diluar rumah untuk mencari nafkah dan menghasilkan materi. Istri bersama dengan suami bekerja bersama di luar rumah, beternak untuk mendapatkan materi (uang) dan istri justru memiliki kekuasaan mengelola keuangan keluarga, karena posisinya sebagai solaya ngai mbatȍ (bendahara keluarga), tetapi segala sesuatu materi yang diperoleh, selain untuk kebutuhan setiap hari, tetapi juga untuk tujuan peningkatan strata sosial melalui upacara adat—bila strata sosial dilakukan maka “nama” seorang suami akan tersiar diberbagai belahan desa, dan akan selalu

dihargai. Bagi masyarakat Nias, nama, integritas, wibawa, kemuliaan adalah hal yang utama, karena itu, hal inilah yang menjadi tujuan hidup.

(20)

172 Sebagai pribadi kedua dalam sebuah keluarga, istri dianggap sebagai harta milik pribadi suami. Sebagai harta milik yang memiliki hak khusus sebagai solaya ngai mbatȍ memiliki kelelaluasaan mengelola ekonomi keluarga dengn

baik; sebagai pegelola, perempuan tidak hanya duduk diam di rumah, menunggu apa yang di hasilkan oleh suami, tetapi bersama dengan suami bekerja keras meningkatkan perekonomian keluarga atau jumlah harta keluarga yang semuanya itu digunakan selain untuk kebutuhan setiap hari tetapi juga untuk menaikan strata suami dalam adat.

Jadi apa yang menjadi tesis feminisme sosialis dan Marxis bahwa perempuan dalam keluarga terekploitasi karena budaya patriakhi dan kapitalis, tidak seutuhnya cocok untuk perempuan Nias. Kalau perempuan Nias tereksploitasi karena budaya patraikhi, ada benarnya, tetapi bukan karena budaya kapitalis (yang memiliki akses ekonomi itulah yang berkuasa), melainkan siapa yang mengeluarkan uang lebih untuk “nama dan wibawa” keluarga itulah yang

berkuasa. Di sinilah letaknya perempuan sebagai pribadi yang disubordinat.

3. Istri sebagai pribadi subordinat pada namanya sebagai bene`ȍ

Selain sebagai bȍli gana’a ȍ, sesampainya pengantin perempuan di rumah suaminya, maka keluarga besar dan masyarakat menyebutnya sebagai bene’ȍ. Bene`ȍ berasal dari kata bene artinya bunga, bila ditambahkan kata kerja

(21)

173 bunga atau buah dan daun sebagai penyejuk dan membawa rasa aman bagi angoota keluarga (pada tahap inilah perempuan melakukan peran ekspresif sebagaimana teori fungsional structural)

Bagi masyarakat Nias, daun yang rimbun tidak bermafaat bila sebatang pohon tidak menghasilkan buah. Buah dari seorang perepuan adalah anak-anak laki-laki yang dilahirkan sebagai pewaris bagi suami yang disebut sebagai fangali mbȍrȍ jisi ba fangali mbu’u kawongo dan anak-anak perempuan sebagai ana’a zatua dan famakhai jitenga bȍ’ȍ. Perempuan dianggap sebagai pribadi

yang sempurna bila melahirkan anak laki-laki dan perempuan. Namun bila hanya melahirkan anak perempuan atau tidak memiliki anak sama sekali, maka hal itu dianggap sebagai aib dalam sebuah keluarga tersebut, karena itu keluarga harus mencari solusi, suami menikah kembali dan atau mengadopsi anak sebagai pewaris.

Istri sebagai bene`ȍ dianggap hanya sebagai “ mesin pencetak anak”, seakan-akan perempuanlah yang mengatur jenis kelamin anaknya yang akan lahir, atau seakan-akan hormone seorang perempuan yang bermasalah. Masyarakat Nias dengan budaya patriakhinya tidak pernah mengenal kesalahan berada pada pihak laki-laki. Laki-laki selalu sempurna. Tanpa melahirkan, perempuan bukanlah sebagai “manusia” sempuarna, karena itu tidak disebut

sebagai seorang ibu, dan kurang layak dihargai sebagai seorang istri.

(22)

174 warisan) maka ancamanya adalah suami akan menikah kembali; istri akan dimadu atau diceraikan dengan menggunakan harta yang mereka kumpulkan. Dalam posisi ini perempuan sebagai istri tidak hanya berada pada posisi yang disubordinat, tetapi juga dimarjinalkan, bahkan menurut bahasa pokolonial Feminis, perempuan sebagai istri ditindas atau dijajah bukan oleh Negara, tetapi oleh budaya yang memberi keleluasaan bagi suami dalam keluarga untuk melakukan penjajahan kepada istrinya.

C. Istri Sebagai Kuda Beban Yang Tidak Berhenti Bekerja

Van Kol seorang pemimpin belanda yang sngat senang dengan budaya jepang menyebut perempuan Jepang sebagai satu “Werkdier” artinya satu kuda

beban yang tidak bisa berhenti bekerja”. Werkdier disandangkan bagi

perempuan jepang mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang sangat besar dalam sebuah keuarga, sementara hak-haknya tidak sama dengan laki-laki/suaminya3.

Istilah yang sama “Kuda Beban yang tidak berhenti bekerja” atau dalam

bahasa Feminis “beban ganda” bisa disandangkan kepada perempuan sebagai

istri di masyarakat Nias. Perempuan sebagai istri memiliki kedudukan penting dalam sebuah keluarga yaitu sebagai solaya ngai mbatȍ. Namun kedudukanya sebagai solaya ngai mbatȍ secara penuh akan dilakukan saat pisah rumah dengan rumah induk (rumah orangtua suami) atau saat orang tua melakukan fa`asambua terhadap anaknya yang telah berkeluarga. Fa`asambua ini artinya pemisahan semua; pemisahan pendapatan, dapur (semua biaya hidup) sebuah

3

(23)

175 keluarga batih terhadap keluarga batih orang tuanya—menjadi keluarga batih yang mandiri.

Jika masih bergabung dalam keluarga batih orang tua, maka yang menjadi solaya ngai mbatȍ adalah perempuan sebagai ibu mertua (ibu dari suami). Selain

sebagai solaya ngai mbatȍ, ibu juga sebagai subjek kekuasaan dalam keluarga batih anaknya, sementara istri (menantu) sebagai objek dan sebagai pekerja yang hanya memiliki hak untuk makan, tetapi memiliki sebagai segudang pekerjaan. Untuk memahami dengan sederhana, penulis akan menguraikan pekerjaan ganda yang dilakukan oleh perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ kemudian perempuan sebagai istri yang belum berkedudukan sebagai solaya ngai mbatȍ

1. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Solaya Ngai Mbatȍ

(24)

176 bersama dengan anak-anak mengurus ternak, memasak dan mempersiapkan bekal di ladang atau di sawah.

Sebagai ibu, perempuan bertanggung jawab untuk melatih anak-anaknya bekerja serta mensosialisasikn nilai-nilai (karakter) yang harus dimiliki oleh seorang perempuan sebagai solaya ngai mbatȍ yang baik, perempuan sebagai agen perdamaian, dan ibu yang memiliki nama Barasi dalam keluarga dan dalam lingkungan sosial bagi anak-anak perempuanya. Jika seorang solaya ngai mbatȍ gagal mensosialisasikan nilai-nilai tersebut terhadap anak

perempuanya, maka kelak di saat anak gadisnya diperistri orang dan ternyata tidak mampu menjadi Barasi, agen perdamaian, dan solaya ngai mbatȍ maka anaknya akan menjadi objek kekerasan dan namanya selalu dibawa-bawa dengan ungkapan “lȍ nifotu ninau ndraugȍ mege (ibumu tidak pernah

mengajari kamu dulu semasa gadis), ungkapan ini memiliki makna bahwa jika seorang perempuan memiliki karakter yang baik, terampil, kreatif, maka sudah pasti anaknya akan mengikuti jejak ibunya. Karena dari ibulah pendidikan seumur hidup dijalani oleh seorang anak.

(25)

177 Perempuan Nias menjadikan keluarga, suami sebagai prioritas hidup, kesetiaan adalah nomor satu. Hal inilah yang menjadi khas perempuan dunia ketiga dan menjadi bagian perjuangan femisnis poskolonial, namun selalu ditolak oleh kaum feminis liberal dan atau kaum feminis sosialis dan marxisme karena menurut mereka, perempuan di dalam keluarga mengalami penjajahan, menjadi kepala pembantu rumah tangga.

2. Pekerjaan Ganda perempuan sebagai Menantu

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa seorang perempuan yang nikah akan disebut sebagai bȍli gana`a dalam keluarga suaminya. Sebagai beligana’a perempuan layaknya disebut sebagai pekerja atau bahkna budak

sebagaimana dalam bahasa Zeretsky yang mengatakan bahwa perempuan hanyalah sebagai budak yang tidak mempunyai kekuasaan apa-apa dalam institusi keluarga, karena kekuasaan berada pada suami yang dijadikan sebagai kepala keluarga.

(26)

178 Bila solawa ngai mbatȍ berhalangan, maka bȍli gana`a bersama dengan suaminya bekerja dengan mandiri.

Setelah memiliki anak, maka tanggung jawab semakin bertambah, harus mampu menyisihkan waktu mengurus anak (menyusui, memberi makan, memandikan dan mengkloning untuk tidur), hal ini dilakukan siang dan malam, saat sehat atau tidak sehat, ditambah lagi pelayanan terhadap suami. Pada tahap ini posisi perempuan sebagai subaltern sebagaimana bahasa Spivak. Perempuan Nias tidak bisa melepaskan diri dari situasi ini karena menurut tradisi bahwa memang seperti inilah kodratnya perempuan.

3. Pekerjaan Ganda Perempuan Pada Namanya Sebagai Ni’owalu

Salah satu panggilan bagi perempuan dalam sbuah keluarga adalah ni’owalu, dari kata ni’ofalu, dari kata dasar falu, artinya carmin, gambaran.

Perempuan sebagai seorang istri harus cermin bagi suami dalam hal perencanaan masa depan keluarga dan pengambilan keputusan dalam masyarakat dan keluarga. Sebagai seorang suami tidak akan pernah memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepada istrinya yang adalah cermin bagi dirinya. Hal inilah yang menjadi filosophi kedudukan perempuan sebagai Barasi dalam sebuah keluarga.

(27)

179 walaupun istri sakit, sibuk mengurus anak, pekerjaan di dalam dan di luar rumah menumpuk, tetapi tugas utama yakni tempat tidur harus diprioritaskan, karena perempuan adalah ni’owalu.

Kekerasan Terhadap Perempuan

1. Kekerasan Terhadap Beligana’a Atau Ni’owalu

Menurut Spivak, perempuan India adalah sebagai subaltern, karena pengalaman hidupnya yang tertindas, yang dimarginalkan, mengalami beban ganda serta adanya tuntutan sati. Pengalaman perempuan Nias sebagai dunia ketiga mengalami pengalaman yang sama—sebagai subaltern walaupun belum sampai praktek sati—Nias tidak melakukan budaya yang demikian.

Beligana`a atau ni’owalu sebagai subaltern mengalami pengalaman berbagai bentuk kekerasan dala keluarga; kekerasan seksual, kekerasan psikis, kekerasan fisik. Kekerasan yang terjadi dalam keluarga sangat memiliki hubungan erat dengan hierarki kekuasaan dalam keluarga—pelaku kekerasan adalah subjek dan yang menjadi korban kekerasan adalah objek.

Beligana`a atau ni’owalu mengalami kekerasan dari dua arah (dari ibu mertua/solaya ngai mbatȍ dan suami). Kekerasan yang dilakukan oleh solaya ngai mbatȍ pada umumnya hanya dalam bentuk psikis, walaupun

(28)

180 menindaklanjuti amarah atau propaganda tersebut dengan kekerasan fisik terhadap istrinya.

Seorang anak lebih patuh dan percaya kepada ibunya daripada istrinya, hal ini di dasari pada sebuah ungkapan “tola musȍndra ma mu’alui ndronga, hiza na talifusȍ ba satua tebai mu’alui” (istri bisa didapat, tetapi

saudara dan orang tua tidak) artinya seorang suami/anak harus mematuhi dan percaya dan patuh terhadap perintah ibunya, karena seorang ibu tidak akan bisa digantikan, sementara seorang istri yang adalah beligana’a dan ni’owalu menjadi milik suami bisa diganti dengan perempuan yang lain.

Suami/anak bisa dinikahkan kembali dengan perempuan lain asalkan ada uang.

Bila dipahami secara psikologis, beberapa alasan yang perlu di dalami berhubungan dengan kekerasan yang dilakukan solaya ngai mbatȍ terhadap beligana`a atau ni’owalu;

a. Ada sebuah kecemburuan solaya ngai mbatȍ terhadap ni’owalu. Kecemburuan yang dimaksud tidak terarah pada sesksual, melainkan pada “cinta”. Sejak kecil, sampai sebelum menikah curahan kasih

(29)

181 tersebut murai berkurang, tempat bercerita bercerita anak beralih dari ibu ke ni’owalu, yang mengontrol segala kebutuhan anak; pakaian, makanan adalah ni’owalu, yang ditemani kemana-mana adalah niowalu

b. Sebelum menikah, segala pendapatan dan keuangan anak laki-laki dikelola oleh ibu (solaya ngai mbatȍ), tetapi setelah menikah fungsi

ibu diambil alih oleh ni’owalu sebagai istri dari anak laki-laki.

Rasa kecemburuan ini muncul dari ketidaksiapan seorang ibu melepaskan perhatian dan cinta kasih anaknya serta fungsinya untuk mengelola keuangan dan pendapatan anaknya. Ketidaksiapan ini melahirkan sebuah konflik yang berujung pada kekerasan terhadap ni’owalu.

2. Kekerasan Terhadap Solaya ngai Mbatȍ

Baik sebagai ni’owalu atau solaya ngai mbatȍ, perempuan Nias tidak bisa menghindar dari kekerasasan suami sebagai subjek kekuasaan. Walaupun memiliki kedudukan strategis dalam sebuah keluarga yakni sebagai solaya ngai mbatȍ, tetapi sebagai milik pribadi suami, istri pada suatu watku

bisa diperlakukan tidak manusiawi oleh suaminya karena ketidak dewasaan berpikir sehingga mempengaruhi komunikasi dalam sebuah keluarga yang kurang harmonis (Baca: kekerasan dalam keluarga).

(30)

182 mendapat hukuman adalah perempuan, karena perempuan adalah istri. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam keluarga; 1. Pernikahan dini. Dua tahun setelah seorang anak laki-laki di boto (sunat)

akan dinikahkan. Seorang anak laki-laki disunat pada umur empat belas atau lima belas tahun. Jika anak tidak dinikahkan pada umur 17 tahun, maka hal itu dianggap sebagai aib. Seorang anak perempuan bisa dinikahkan setelah mendapat menstruasi pertama. Seorang anak perempuan anak perempuan yang belum nikah pada umur 18 tahun dianggap sudah tua, dan kemungkinan tidak ada orang yang akan melamarnya lagi. Umur pernikahan normal Nias masa dulu, laki-laki 15-18 tahun, sedangkan perempuan berumur 13-16 tahun. Hal ini mash terjadi di desa-desa dan daerah terpencil.

(31)

183 2. Bȍwȍ yang tinggi. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam pembentukan sebuah keluarga baru membutuhkan pengorbanan yang sangat besar. Hal ini sesuatu yang lumrah dalam budaya Nias. Karena itu, bila anak laki-laki akan dinikahkan, maka walaupun orangtuanya tidak memiliki harta, pernikahan tetap akan terjadi, karena keluarga tersebut akan meminjam uang dan atau babi dari kerabat dengan model berbunga dan atau tanpa berbunga

Setelah pernikahan seorang perempuan akan disebut beligana’a. sebagai beli ganaa’a harus bekerja keras untuk membayar utang-utang dari bȍwȍ yang dibayarkan kepada orang tua perempuan. Sulitnya perekonomian membuat utang tidak kunjung terbayar selama bertahun-tahun, bahkan di atas sepuluh bertahun-tahun, akibatnya bila perjanjian peminjaman dengan menggunakan bunga, maka utang akan semakin bertambah banyak. Seseorang yang teleh membentuk keluarga lebih lima tahun, namun masih terlilit utang pernikahan tidak akan mendapat strata sosial yang lebih tinggi serta selalu mendapat penghinaan dari lingkungan sekitar, terlebih dari kerabat yang memiliki piutang. Untuk itu ada suatu tekanan berat dari keluarga agar keluarga batih yang baru tersebut bekerja keras, dengan sebuah motto “la`a jitebai I’a asu, laduhȍ hȍrȍra wangi’ila

sisȍkhi” artinya bekerja keras, makan apa adanya dan selalu

mengendalikan diri untuk hal-hal yang tidak penting demi pembayaran utang.

(32)

184 masih berlarut dalam lilitan utang. Ketidakmampuan seorang suami dan ibu mertua dalam mengelola sebuah masalah—tekanan utang akan dilampiaskan menjadi bentuk kekerasan psikis dan fisik terhadap istri/bȍli gana’a.

3. Pendidikan. Faktor yang sangat utama terjadinya kekerasan dalam keluarga adalah pendidikan yang rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Pada umumnya semakin rendahnya pendidikan sesorang, semakin rendah juga kemampuan untuk memilah-milah, mengelolah sebuah persoalan (dalam sebuah keluarga). Rendahnya kemampuan mengelolah sebuah masalah dalam keluarga akan mendorong tingkat kekerasan semakin tinggi.

Dengan tidak bersekolah tentu mengkondisikan anaknya untuk dinikahkan pada usia yang dini. Sehingga orientasi dalam pembentukan sebuah keluarga baru bukan kebahagiaan yang didasari oleh cinta yang dibangun atas kesadaran diri, tetapi kebahagiaan yang didasari oleh perasaan dan emosional.

(33)

185 Janda Sebagai Yang Kedua Tanpa Yang Pertama

Perempuan sebagai janda memilki fungsi ganda dalam sebuah keluarga yakni fungsi ayah bagi anak-anak; sebagai kepala keluarga dan fungsi ibu sebagai solaya ngai mbatȍ. Sebagai janda tidak akan pernah mengalami berbagai bentuk kekerasan—terlebih jika ibu mertua telah meninggal, selain itu janda akan leluasa mengelolah, menggunakan, perekonomian keluarga tanpa kendali suami. Itulah sebabnya sebagian besar janda tidak pernah mau menikah lagi sepeninggal suaminya. Namun perempuan sebagai janda akan akan kehilangan hak mengelola warisan mendiang suaminya jika tidak memilki anak laki atau tidak memiliki anak sama sekali. Bagi yang memiliki anak laki-laki, maka seorang janda memiliki hak sebagai pengelola warisan demi anak-anaknya sampai akhir hayatnya.

Sebagai seorang janda tidak terlepas dari identitasnya sebagai bȍli gana’a dan ono alawe di keluarganya. Artinya bahwa sebagaia sorang beligana’a, janda adalah seorang belian dan harta milik mendiang suaminya. Sebagai “hak milik” kedudukanya tidak lebih dari “harta”, di mana sebagai harta tidak

memilki hak untuk berbicara dan mengambil keputusan dalam sebuah petemuan keluarga besar. Sebagai ono alawe, janda hanyalah seorang tamu bila berkunjung ke rumah ayahnya dan sebagai pekerja yang ditntut kecekatanya.

Perempuan Sebagai Manifestasi Dewi Yang Selalu Dimuliakan

(34)

186 ingin membebaskan perempuan dari kondisi seperti itu—penindasan terjadi karena dikondisikan oleh sebuah budaya atau tradisi. Spivak dalam teori feminis poskolonial melihat perempuan India sebagai subaltern. Hal ini terjadi karena budaya India yang dikuatkan oleh perintah agama, terutama dalam praktek sati untuk melakukan seperti itu. Namun dalam konteks kedudukan perempuan Nias dalam keluarga di satu sisi berada pada kedudukan budak dan subaltern (tanpa sati), namun di sisi lain berada pada kedudukan yang paling tinggi, pribadi yang

selalu dimuliakan karena pribadinya sebagai manifestasi Inada Silewe Hai Nazarata (nama seorang dewi).

Beberapa tindakan yang menempatkan perempuan sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata dalam masyarakat Nias;

1. Ibu Sebagai Penentu Hari Yang Baik Bagi Anak

Sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, seorang ibu diberi penghargaan dalam menentukan masa depan Anaknya. Dalam tradisi Nias untuk menentukan hari pernikahan ada tiga keputusan. keputusan pertama yakni hari pernikahan yang disepekati oleh para penetua adat. Keputusan kedua adalah hari pernikahan yang disepakati oleh keluarga besar. Keputusan pertama dan kedua tidak harus ditepati (dengan berbagai pertimbangan atau halangan), namun keputusan katiga adalah keputusan seorang ibu kandung calon pengantin pererempuan.

(35)

187 1. Seorang ibu mengetahui dengan benar siklus kesehatan (menstruasi) anaknya, karena disaat anaknya mengalami menstruasi, maka pernikahan tidak bisa dilangsungkan4.

2. Seorang ibu mengetahui apakah anak perempuanya sudah menstruasi atau belum, jika belum maka pernikahan belum bisa dilangsungkan.

Sebagai manifestasi Silewe Hai Nazarata, seorang Ibu memiliki pengetahuan yang benar tentang kondisi kesehatan reproduksi anak-anaknya. Pegetahuan ini dianggap tidak dimiliki oleh laki-laki atau ayah.

2. Perempuan sebagai manifestasi dewi bisa diamati dalam perilaku masyarakat, anggota keluarga terhadap seorang perempuan yang dianggap sebagai ibu. Sebagai seorang ibu, dari tubuhnya laki-laki dilahirkan, dari daging dan tulangnyanya laki-laki diciptakan dan dibesarkan. Dalam keseharian seorang ibu “Barasi” dianggap sebagai sumber kehidupan, memancarkan kasih tanpa

pamrih dan tidak berpihak, sumber kedamaian dan keharmonisan keluarga serta sosial—melalui tangan seorang perempuan akan menciptakan keharmonisan keluarga dan sosial yang harmonis melalui afo.

3. Karena perempuan adalah pribadi yang dimuliakan, maka tidak gampang bagi sebuah keluarga untuk memindahkan seorang perempuan (gadis) dari statusnya sebagai anak dari rumah orang tuanya menjadi seorang “istri” bagi seorang

laki-laki yang belum dikenal. Karena itu seorang laki-laki (melalui keluarga besarnya) harus melakukan berbagai ritus (pernikahan) dan berkorban berupa

4 Bdk. Marfuah Panji Astuti Yang Tidak Boleh Selagi Menstruasi dalam,

http://nasional.kompas.com/read/2008/11/10/16392823/yang.tidak.boleh.selagi.menstru

(36)

188 materi yang sangat banyak. Hal ini bukan untuk memperkaya keluarga perempuan tetapi sebagai bȍwȍ dalam artian pemberian dan budi, tanpa paksa namun sesuai dengan ketentuan adat ( sesuai strata sosial) untuk kemuliaan seorang perempuan. Sebagala bȍwȍ yang diberikan semata-mata sebatas “kebutuhan” selama proses ritual pernikahan dilangsungkan. Orang tua

perempua akan memuliakan anaknya melalui pengorbanan “materi” dengan memberi perhiasan-perhiasan barupa emas.

Namun filosphi “memuliakan perempuan” ini mengalami pergeseran

makna, dimana bȍwȍ tidak diangga sebagai pengorbanan untuk memindahkan seorang yang dimuliakan, tetapi sebagi beban, sehingga setibanya seorang pengantin perempuan dirumah suaminya akan diberi nama sebagai bȍligana’a, dan menjadi milik pribadi suaminya (baca: perepuan sebagai beligana’a). filosophi beliganaa`a sebenarnya sebagai kebanggaan bagi perempuan yang pernah dimuliakan melalui kursi pengantin dan baju kebesaran, perempuan yang disebut sebagai beligana`a adalah perempuan sebagai istri yang dimuliakan. Tidak semua perempuan menjadi beligana’a—walaupun telah menjadi istri. Istri yang tidak layak disebut sebagai beliganaa’a adalah perempuan yang hamil diluar nikah, dan istri sebagi budak karena baginya tidak pernah dibayar bȍwȍ, tidak pernah mendengar “fotu” (bimbingan konseling pra nikah vesi budaya Nias), tidak pernah disandingkan dalam kursi kebesaran pernikahan dan tidak pernah menggunakan pakaian kebesaran seorang permaisuri

(37)

189 Nazarata, perempuan dianggap memiliki jiwa dan pemikiran yang murni, serta kepribadian yang anggun, karena itu perempuan menjadi cermin bagi suami dan anak-anak. seorang suami tidak akan mengambil sebuah keputusan tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepada istri. Seorang anak akan selalu meneladani segala perilaku ibunya yang berfungsi sebagai pribadi yang mensosialisasikan nilai-nilai luhur.

5. Ekspresi pengagungan seorang perempuan terjadi saat seorang perempuan menjadi pengantin—diberi pakaian kebesaran dan saat acara selesai pengantin perempuan tidak diperbolehkan berjalan, melainkan digotong dalam sebuah kursi kebesaran perempuan sebagi permaisuri dan dewi.

6. Sebagai Solaya Ngai Mbatȍ. Seorang ibu, perempuan dianggap mampu mengelola perekonomian keluarga dengan baik. Seorang laki-laki tidak berhak memegang kas keluarga.

Sebagai pribadi yang dimuliakan, maka maysarakat membuat berbagai aturan yang sangat keras dalam bentuk adat untuk melindungi perempuan—bagi yang melanggarnya akan dihukum. Beberapa contoh peraturan perlindungan terhadap perempuan di lingkungan sosial;

1. Seseorang yang melakukan kia hȍrȍ (main mata) atau mȍkȍ ikhu (kode hidung), ko`e duru (mencolek tangan saat bersalaman) akan lakhau (dihukum) denda berupa 1 ekor babi 5 alisi (50 kilo gram) dan emas 5 fanulo—hal ini ini berupa perlindungan perempuan terhadap pelecehan seksual

(38)

190 3. Seorang yang menyampaikan kata kata kotor terhadap perempuan akan

dihukum seperti di atas

4. Khusus di Nias Selatan, bila di suatu tempat terjadi pertikaian antara laki-laki, kemudian tanpa sengaja seorang Inada yomo (perempuan Barasi) melewati tempat tersebut, maka orang-orang yang sedang bertikai haris menghentikan pertikaianya karenaInada yomo mau lewat, jika tidak beberapa jam kemudian tua-tua adat mengadakan pertemuan untuk menghukum pelaku pertikaian

5. Bagi laki-laki pelaku perkosaan akan dipenggal atau ditenggelamkan 6. Dll.

Perlakuan ganda ini demikan adanya dalam sebuah tradisi yang belum bisa dianalisa dalam berbagai teori feminis, karena tradisi ini unik dan tidak memilki padanan diberbagai suku yang ada di dunia. Sebuah literatur menjelaskan bagaimana kedudukan perempuan dalam tradisi Jepang kuno. Soekarno menulis bahwa ratusan tahun yang lalu, Jepang menganut sistem matriakal, perempuan menjadi pemimpin masyarakat, pemuka ilmu pengetahuan, pembuat hukum, menjadi raja-putri di atas singgasana Negara, sehingga perempuan disebut semenya masyarakat, dan jepang disebut negeri wanita atau negerei raja-raja wanita. Orang-orang dari luar Jepang melihat perempuan-perempuan bagaikan dewi kebaikan, putri-putri kehalusan, karena itu, dalam setiap pertemuan atau dalam rumah, seorang prmpuan tidak akan duduk di kursi sebelum dipersilahkan duduk oleh suaminya yang telah duduk terlebih dahulu disebuah kursi5.

5

(39)

191 Hal itu adalah masa lalu budaya Jepang yang matriakal, hal yang hampir sama terjadi diberbagai suku bangsa di dunia, di mana para perempuan menjadi penguasa di rumah. Setelah terjadi pergeseran, di mana sebuah suku bangsa menganut sistem patriakal maka laki-laki penjadi penguasa dan perempuan menjadi pelayan bagi laki-laki. Hal ini terjadi sekarang di Jepang. O’Conroy seorang penulis yang pernah tinggal di Jepang selama beberapa tahun melihat bahwa peremuan hanya sebagai “benda-zaliman suaminya” dan seorang pengurus

rumah tangga yang tidak dibayar, serta menjadi alat untuk melahirkan anak. menurut Van Koi bahwa kalau dulu perempuan Jepang tidak pernah menekuk lutut di depan seorang laki-laki, tetapi sekarang harus memandang suaminya itu sebagai yang dipertuan yang mana perempuan wajib menjadi pelayan dengan segala kehormatan dan dengan segala pengagungan yang bisa diberikan kepada suaminya. Sekarang seorang istri tidak boleh berjalan di depan suaminya tetapi mengikuti dari belakang. Tata bahasa yang digunakan saat berbicara dengan suami berbeda dengan masyarakat secara umum atau terhadap anak-anaknya. Perempuan dianggap sebagai kuda beban yang tidak berhenti bekerja.6

Berbeda dengan perempuan Nias, perilaku terhadap perempuan dari dulu sampai sekarang sama (walaupun mengalami pergeseran karena perubahan zaman, hal itu tidak berubah secara signifikan). Di satu sisi perempuan dianggap sebagai kuda beban yang tidak pernah berhenti, mesin pencetak anak, pribadi kedua dan pribadi titipan di saat kecil, di sisi lain perempuan sebagai ibu yang harus dimuliakan dalam kehidupan sehari-hari, perempuan diangga sebagai Inada

6

(40)

192 Silewe Hai Nazarata yang menciptakan sebuah keharmonisan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.

Namun satu hal yang perlu digaris bawahi di sini adalah kedudukan perempuan sebagai ibu dan jelmaan dewi hanya bagi perempuan yang mampu menempatkan diri sebagai perempuan Barasi—nama seorang istri Balugu atau Tuhenȍri. Seorang yang mencapai strata sosial yang paling tinggi dalam

masyarakat Nias. Artinya mampu menempatkan diri sebagai perempua Barasi adalah, perempuan yang memililki pola piker dan perilaku seperti seorang Barasi, bukan karena stratanya, melainkan karena kepribadianya. Sekalipun seorang perempuan sebagai istri Balugu tetapi kalau berperilaku seperti Ria, maka dia dianggap bukanlah perempuan Barasi, begitu sebaliknya.

Kedudukan Yang Ganda; Mengapa Demikian?

Pertanyaanya adalah mengapa kedudukan perempuan dalam keluarga di masyarakat Nias terkesan ganda dan saling bertentangan, sehingga sangat sulit untuk dipahami. Namun harus diakui bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dijawab dari pertanyaan mengapa, jawaban yang selalu terdengar “mungkin

karena begitulah adanya”. Namun beberapa hal bisa diurakanberkaitan dengan “mengapa kedudukan perempuan seperti terurai di atas”. Ada 3 argumen untuk

menjawab pertayaan tersebut;

1. Ketentutan Hukum

(41)

193 ditetapkan lewat Fondrakȍ atau famatȍ harimao yang berjalan dalam garis budaya patriakhi. Segala sesuatu yang telah diputuskan tidak boleh di langgar. Bagi yang melanggar akan mendapat ganjaran yang berat.

Setelah kekristenan masuk di Nias, maka terjadi suatu pergeseran kepercayaan, Kekristenan menjadi agama suku Nias. Kemudian, segala hal yang berhubungan dengan berhala dibuang dan dihapus dari kehidupan masyarakat. Dalam banyak hal, masyarakat mengalami perubahan.

Satu hal yang tidak berubah dalam masyarakat adalah perilaku terhadap perempuan dalam keluarga. Kalau dulunya kedudukan perempuan dalam keluarga semasa kecil hanyalah sebagai pribadi titipan, setelah seorang perempuan menjadi istri maka kedudukanya sebagai beligana’a dan bene’ȍ. Dalam bahasa feminis sosialis dan marxisme menyebut hal ini sebagai kepala pembantu atau bahkan budak, sementara feminism poskolonial menyebutnya sebagai subaltern, atau sebagai kuda beban yang tidak berhenti bekerja. Sebagai anak dan bene’ȍ sering mengalami kekerasan psikis dan fisik

Setelah ajaran Kekristenan mengakar dalam kehidupan masyarakat, kedudukan perempuan yang “direndahkan”—sebagai pribadi kelas dua tidak

terangkat menjadi setara dengan laki-laki, tetapi justru melalui ajaran agama, perempuan semakin dituntut untuk patuh pada tradisi patriakhi. Masyarakat, terutama para laki-laki dan bahkan para perempuan senang mengutip ayat-ayat Alkitab untuk melegitimasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan. Ayat-ayat alkitab yang menjadi ayat “emas” masyarakat adalah Efesus 5:22 “Hai isteri,

(42)

194 Kalimat “tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan” adalah merupakan

kalimat kunci yang memiliki kekuatan ajaib dalam menundukan seorang perempuan di bawah telapak kaki laki-laki/suaminya. Dengan logika sederhana masyarakat memahami bahwa setiap orang yang mengaku beriman dan percaya pada Yesus Kristus dan Alkitab sebagai firman Tuhan maka harus taat dan melakukan apa yang telah diperintahkan; Taat kepada suami seperti ketaatan kepada Tuhan. Ayat ini bukan hanya digunakan oleh suami/laki-laki, tetapi juga oleh perempuan (ibu mertua) untuk menundukan menantunya pada kepemimpinan anaknya (laki-laki).

Singkatnya adalah kedudukan perempuan yang direndahkan adalah akibat budaya patriakhi yang dilegitimasi oleh tradisi yang disakralkan melalui fondarakȍ atau famatȍ harimao dan kesalahan dalam menafsirkan ayat-ayat

alkitab untuk melegitimasi kekuasaan laki-laki dan ibu mertua terhadap perempuan.

2. Keterbatasan ekonomi (pergulatan dalam kemiskinan), Pendidikan yang rendah atau karena tidak berpendidikan sama sekali mempengaruhi pola pikir sehingga sebagian filosophi budaya (seperti bȍwȍ, bene’ȍ, ni’ofalu) mengalami pergeseran magna. Pereseran tersebut telah menjadi perilaku yang mengkristal dan menjadi budaya.

(43)

Referensi

Dokumen terkait

Pronoyudo Areng-areng Dadaprejo Junrejo Batu M 0341-531400 Bahasa Inggris 48 MUHAMMAD MASALAKIN - MTs Persiapan Negeri batu Jl. Pronoyudo Areng-areng Dadaprejo Junrejo Batu

a. berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan industri; b. memberikan nilai tambah pada komoditas unggulan wilayah; c. tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan

Formulasi pengelepasan terkendali I didapatkan dengan mencampurkan larutan shellak 2,5% dengan 10 mL karbofuran 5% (dari bahan aktif karbofuran dengan kemurnian 95%) lalu

Dengan adanya sistem kotak sampah otomatis tersebut agar menjadi efektif serta efisien, karena ketika manusia membuang sampah maka akan secara otomatis tutup

harddisk virtual.. Pilih ti Pilih tipe file pe file yang yang akan di akan diguna gunakan kan kita tidak perlu untuk menggunakan ini kita tidak perlu untuk

Membaca peta (dan menafsir peta) bagi geografi merupakan kegiatan yang sangat urgen dalam upaya menyadap, mengekstrakmengakui sisi data geospasial. Melihat hal

Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.3 Paparan berulang oleh alergen

Jika Tuan Puan memilih untuk fokus pada satu produk seperti ahli team saya, saya sarankan fokus pada post testimoni dan gambar promosi dan gambar yang boleh orang repost... HAK