BAB II
PIRING NAZAR SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN
Pada bab yang kedua ini akan dipaparkan teori-teori tentang Piring Nazar sebagai wadah melakukan Pendidikan Agama Kristen yang dijabarakan dalam beberapa bagian. Bagian yang pertama adalah Pendidikan Agama Kristen secara umum, berbagai pendekatan dalam Pendidikan Agama Kristen, Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga dan fondasi Pendidikan Agama Kristen. Bagian yang kedua mengenai pelaksanaan sosialisasi, pendekatan atau proses sosialisasi dan edukasi dalam keluarga serta bagian yang terakhir adalah tentang Piring Nazar.
2.1 Piring Nazar sebagai wadah PAK
Berikut akan dijelaskan mengenai konsep-konsep Pendidikan Agama Kristen. 2.1.1 Pendidikan Agama Kristen
2.1.1.1Pendidikan
Definisi Pendidikan Agama Kristen dapat dimulai dengan melihat definisi dari pendidikan, yakni :
Cremin mendefinisikan pendidikan dengan usaha sengaja, sistematis, dan terus menerus untuk menyampaikan, menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian, atau kepekan-kepekaan juga setiap akibat dari usaha itu19. Pendidikan yang difenisikan oleh Cremin mengarahakan kepada menjadikan manusia sebagai pribadi yang utuh. Sedangkan Whitehead melilat pendidikan dengan lebih sederhana yaitu suatu bimbingan bagi individu untuk memahami seni kehidupan20.
19
Groome, Pendidikan Agama Kristen, 29.
20
Kemudian pendidikan dilihat dari persepktif kebudayaan oleh Bernard Bailyn yaitu seluruh proses dimana budaya menyampaikan pesan-pesannya kepada berbagai generasi21. Sementara itu, Groome tidak memberikan defenisi tentang pendidikan tetapi ia melihat hal lain dari pendidikan yaitu hakikat dari pendidikan adalah suatu kegiatan politis yakni pendidikan akan membawa manusia untuk melihat warisan masa lampau dan dapat digunakan secara kreatif untuk melewati masa kini dan menuju pada masa depan22.
Secara sederhana dapat diungkapkan bahwa pendidikan adalah suatu tindakan atau bimbingan yang dilakukan dengan sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan pengetahuan dan juga seni kehidupan kepada generasi selanjutnya. Dalam melakukan proses pendidikan ini, pendidik juga perlu menydari bahwa orang yang didiknya akan membawa atau mewarisi warisan masa lampau dan dapat digunakan pada masa kini untuk menuju pada masa yang akan datang sehingga seorang pendidik harus tahu betul apa yang menjadi kebutuhan anak didiknya disetiap perkebangan zaman.
2.1.1.2Pendidikan Agama Kristen
Pendidikan ada berbagai jenisnya, sehingga Groome menyebut bahwa pendidikan yang bersifat baik bersifat keagamaan dan pendapat dari Groome ini dilengkapi oleh pendapat dari Nuhamara yang memberikan penjelasan tentang istilah pendidikan agamawi, khususnya agama Kristen adalah bahwa pendidikan agamawi itu dilakukan oleh persekutuan iman Kristen (orang Kristen) dari perspektif agama Kristen23.
21
Pazmino, Fondasi Pendidikan Agama Kristen, 230.
22
Groome, Pendidikan Agama Kristen, 31
23
Dalam bukunya Nuhamara juga menambahkan tentang elemen-elemen yang ada dalam Pendidikan Agama Kristen, yang berbeda dengan pendidikan lainnya:
Pertama, harus dikatakan bahwa PAK itu adalah suatu usaha pendidikan. Oleh karena itu, merupakan usaha yang sadar, sistematis, dan berkesinambunagn, apapun bentuknya. Kedua, PAK merupakan dimensi yang khusus yakni dalam dimensi religius manusia. Ketiga, PAK menunjuk kepada persekutuan iman yang melakukan tugas pendidikan agamawi, yakni persekutuan iman Kristen. Keempat, PAK sebagai usaha pendidikan bagaimanapun juga memiliki hakikat politis. Karena itu PAK juga turut berpartisipasi dalam hakikat politik pendidikan secara umum. Artinya PAK tidak hanya ada interverensi dalam kehdiupan individual seseorang di bidang kerohanian saja, tetapi juga mempengaruhi cara dan sikap mereka ketika menjalani kehidupan dalam konteks masyarakatnya.
Ada beberpa defenisi yang diberikan oleh para ahli dianataranya, Harianto mendefiniskan Pendidikan Agama Kristen dengan usaha sadar dan terencana untuk meletakkan dasar Yesus Kristus dalam pertumbuhan iman Kristen dengan cara mewujudkan suasana belalajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, yaitu pengendalian diri, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dalam masyarakat24. Namun ada penekanan lain yang disampaikan oleh Groome bahwa Pendidikan Agama Kristen adalah pencarian yang transenden namun jauh melebihi komunitas atau tradisi yang dimiliki25. Penekanan yang dberikan oleh Groome ingin menunjukkan bahwa tidak ada satu tempat khusus yang dapat dijadikan sebagai tempat melakukan Pendidikan Agama Kristen, melainkan dimana saja seseorang bisa belajar dan menemukan yang transenden.
Sehingga Pendidikan Agama Kristen juga didefinisikan dengan suatu usaha yang dilakukan untuk membawa anak didik dalam pengenalan kepada Tuhan Yesus dan
24
Harianto. Pendidikan Agama Kristen dalam Alkitab dan Dunia Masa Kini (Yogyakarta: ANDI, 2012), 52.
25
menjadikan mereka yang belajar memiliki sikap seperti Tuhan dalam kehidupan bersama dimanapun mereka berada.
2.1.1.3Tujuan Pendidikan Agama Kristen
Ketika kita akan membahas tentang tujuan, maka perlu diperhatikan bahwa kata tujuan itu sendiri memiliki arti yang beragam. Nuhamara membagi pengertian dari tujuan itu atas 3 bagian yaitu aims, goals dan objectives26. Aims adalah tujuan yang diusahakan untuk dicapai pada akhirnya. Goals adalah tujuan yang hendak dicapai dalam jangka waktu tertentu. Objectives adalah tujuan yang hendak dicapai dalam satu proses belajar-mengajar dalam satu kali tatap muka. Tujuan yang akan dicapai dari sebuah pendidikan agama Kristen adalah aims. Ada berbagai macam tujuan akhir (aims) yang dirumuskan oleh beberapa ahli yaitu;
James Smart merumuskan tujuan akhir dari pendidikan agama Kristen adalah Allah dapat bekerja dihati mereka yang diajar, untuk menjadikan mereka murid-murid yang meyakinkan baik dengan kata-kata maupun perbuatan di tengah-tengah dunia27. Sedangkan Graendorf mengatakan bahwa tujuan pendidikan agama Kristen antara lain adalah untuk membimbing individu-individu pada semua tingkat perkembangannya, dengan cara pendidikan kontemporer, menuju pengenalan serta rencana Allah dalam Kristus melalui setiap aspek kehidupan dan juga untuk memperlengkapi mereka demi pelayanan yang efektif28. Marthaler melengkapi pendapat dari Smart dan Graendorf
26
Nuhamara, Pembimbing PAK, 29.
27
Ibid., 30.
28
dengan ada 3 tujuan dari pendidikan agama Kristen yaitu pertumbuhan iman, afiliasi agamawi dan memerihara serta mewariskan suatu tradisi agamawi29.
Dari perspektif lain yaitu komisi pendidikan agama Kristen dari dewan gereja-gereja di Indonesia merumuskan tujuan pendidikan agama Kristen dengan kata-kata sebagai berikut: mengajak, membantu, menghantar seseorang untuk mengenal kasih Allah yang nyata dalam Yesus Kristus, sehingga dengan pimpinan Roh Kudus ia datang kedalam suatu persekutuan yang hidup dengan Tuhan. Semantara itu Gereja Kongregasional, Evangelikal, dan Reformed menyebutkan tujuan Pendidikan Agama Kristen adalah untuk membawa orang ke dalam persekutuan Kristen, membimbing dalam iman dan panggilan Kristen supaya menerima pengampunan dan kekuatab bagi kehidupan baru dari Allah dengan ucapan syukur dan ketaatan serta dimampukan bertumbuh secara matang sebagai pribadi Kristen dan menajdi orang yang setia melaksanakan penggilan gereja30.
Berdasarkan berbagai macam tujuan yang disampaikan dengan penekanan yang berbeda, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan akhir (aims) yang akan dicapai adalah anak didik mendapatkan bimbingan sesuai dengan tingkat perkembangannya agar Allah dan Roh Kudus dapat bekerja dalam hati mereka yang belajar sehingga mereka dapat mengalami petumbuhan iman dan medapatkan kekuatan Allah dalam hidup bersekutu serta dapat bersama-sama melaksanakan panggilan gereja.
2.1.1.4Berbagai Pendekatan dalam Pendidikan Agama Kristen
29
Ibid., 124.
30
Daniel Nuhamara, Thomas Groome dan Harianto menjabarkan pendekatan Pendidikan Agama Kristen dengan beberapa ahli dalam buku mereka masing - masing yakni:
1. Pendekatan keluarga oleh Horace Bushnell (1802-1876)31
Bushnell mengemukakan teorinya tentang asuhan atau pendidikan Kristen sebagai reaksi terhadap gerakan kebangunan rohani ( revivalisme) yang melanda Amerika. Pandangan dari tokoh revivalist pada saat itu adalah kerusakan total manusia, maka anak-anak tidak dapat bertumbuh dalam kehidupan iman Kristen, kecuali kalau mereka mengalami peristiwa lahir baru (born again). Bushnell melihat bahwa anak-anak akan menunggu waktu yang lama untuk menjadi lahir baru sehingga ia melihat bahwa mereka memerlukan asuhan dan didikan sebagai orang Kristen sejaka awal. Asuhan tersebut dapat berjalan apabila orang tua telah terlebih dahulu memiliki iman itu bagi dirinya sendiri; lalu ajarkanlah itu kepada anak-anak dengan jalan memberi contoh kehidupan yang riil. Menurut Bushnell karena keluarga adalah sumber utama pendidikan Kristen maka orang tua harus bertanggung jawab menciptakan iklim yang benar-benar Kristen dalam keluarga tersebut.
Penekanan yang diberikan oleh Bushnell dalam melakukan pendekatan dalam Pendidikan Agama Kristen adalah dalam keluarga. Keluarga mengambil peranan yang pertama untuk mengasuh dan mendidik anak-anak, karena keluarga akan memberikan contoh kehidupan yang nyata.
2. Pendekatan sosialisasi oleh George Albert Coe (1862-1951)32
31
Nuhamara, Pembimbing PAK, 115.
32
Coe mengharapkan bahwa ketika seseorang sudah belajar tentang agama Kristen maka seseorang tidak lagi membutuhkan pertobatan dalam dirinya. Coe sependapat dengan Bushnell namun ia memiliki pemikiran bahwa keseluruhan jaringan sosial merupakan pendidik utama. Ia percaya bahwa semua pendidikan seharusmya merupakan interaksi sosial. Coe melihat bahwa interaksi sosial adalah inti dari pendidikan agama Kristen, bukan hanya sebagai proses melainkan juga sebagai isi. Isi yang utama dari pendidikan agama Kristen haruslah ditemukan dalam relasi-relasi dan interaksi-interaksi masa kini di antara orang - orang.
Coe sependapat dengan Bushnell hanya saja Coe melihat jau lebih luas, menurutnya semua jaringan sosial haruslah dilibatkan dalam Pendidikan Agama Kristen karena interaksi sosial adalah bagaian yang penting.
3. Pendekatan Iman jemaat oleh Ellis Nelson33
Ketika pendekatan sosialiasai mulai lemah, Nelson mengemukakan bahwa perlu adanya pemahaman yang lebih mendalam dari pada peranan dan kebutuhan sosialisasi dalam proses pembentukan kepribadian Kristen. Nelson melihat sosialisasi dari pertimbangan antropologi dari pada sosiologi oleh sebab itu Coe berpendapat bahwa kebudayaan yang diwariskan dan dikomuniksaikan dalam suatu proses sosialisasi akan membangun sebuah perspektif dalam hubungan dengan suatu pandangan dunia, membentuk kata hati menurut sistem nilai tertentu, menciptakan suatu identitas diri, dari hubungan sosial dengan kelompok sosial. Maka secara tidak langsung orang akan menjadi Kristen dan hidup serta menyatakan dirinya sebagai orang Kristen.
33
Nelson memiliki penekanan yang berbeda jika dibandingkan dengan Bushnell dan Coe. Ia menekankan pentingnya sosialisasi dalam komunitas iman. Komunitas Kristen menajdi agen alamiah dalam mengkomunikasikan iman Kristen.
4. Pendekatan komunitas iman jemaat John Westherhoff III34
Kondisi gereja yang ada dalam paradigma “ sekolah-pengajaran” sudah tidak cocok lagi dan harus diganti dengan “persekutuan iman-enkulturasi”. Pendidikan agama Kristen pada akhirnya dapat berperan untuk membimbing orang kepada aksi sosial dalam keterlibatan pada aktivitas politis untuk membaharui sistem ekonomi hingga keadilan dan persamaan tercapai. Westherhoff III melihat bahwa gereja memiliki peranan dalam melakukan hal ini, gereja perlu untuk mengambil peran dalam membimbing umatnya untuk berpikir secara politis, sosial, ekonomis, teologis, dan etis. Gereja dapat menyatukan antara liturgi dan belajar sehingga iman orang dewasa dapat ditransmisikan kepada anak-anak.
Westherhoff memiliki pandangan yang sama dengan Coe yaitu ia mementingkan adanya komunitsa iman dalam melakukan pendekatan Pendidikan Agama Kristen.
5. Pendekatan Sosialisasi Berard Marthaler35
Marthaler juga sependapat dengan ahli yang lainnya mengenai sosialisasi dalam pendidikan agama Kristen, namun lebih menekankan pada pengembangan ide eklesia (gereja) yakni bahwa seluruh persekutuan iman adalah yang mendidik, karena itu
34
Nuhamara, Pembimbing PAK, 122-123.
35
pendidikan agama Kristen harus dipahami dalam konteks misi seluruh gereja. Setiap insan baik secara sadar atau tidak merupakan produk dari sosialisai.
6. Pendekatan satu tubuh oleh L.O Richards36
Pendekatan yang dipakai oleh Richards adalah gereja merupakan satu tubuh, artinya bahwa ada hubungan yang organis antara para anggota satu sama lain. Selain itu ada saling melayani, tergantung, dan saling menguatkan diantara mereka. Gereja sebagai tubuh Kristus adalah suatu persekutuan iman dimana ada unit yang terkecil mulai dari keluarga Kristen dan kemudian jemaat lokal. Baik kelaurga maupun adalah jemaat lokal adalah persekutuan iman dan tubuh Kristus sehingga merupakan pendidik utama.
Berdasarkan tipe-tipe pendekatan yang dikemukakan oleh masing – masing ahli, maka salah satu pendekatan yang paling efisien dan efektif adalah dengan menggunakan pendekatana sosialisasi karena tidak dapat dihindari bahwa kepribadian seseorang dan juga proses pendidikan hanya dapat berhasil jika dilakukan dengan proses sosialisasi, selain itu, perlulah disadari bahwa agen primer dalam melakukan sosialisasi adalah kelauarga. Seklipun Nelson dan Westherhoff mengatakan bahwa komunitas iman adalah yang penting namun, perlu disadari bahwa sebelum terbentuknya komunitas iman, keluarga adalah komunitas pertama yang terbentuk dan tugas selanjutnya adalah bagaimana mengubah komunitas (keluaraga) menjadi komunitas iman kecil.
2.1.2 Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga
Sebelum ada pebahasan yang lebih tentang Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga sebagai salah satu setting pendidikan, perlulah dilihat terlebih dahulu tentang keluarga, fungsi dan peranannya.
36
1) Definisi Keluarga
Ada berbagai defenisi tentang keluarga. Menurut Budiyana Keluarga adalah dasar dari masyarakat yang dapat dianalogikan seperti atom yakni sebgai unsur yang paling kecil dalam pembentukan alam semesta37. Keluarga kemudian diartikan sebagai batu penjuru. Sedangkan J.P. Chaplin mendefenisiskan keluarga dengan38:
Family is (1) a group individuals related by marriage or blood, typically including a father, mother, and the children. (2) a group of person living in single household. (3) a group of closely general that constitues a subdivision of an order. (4) a closely related group, such as family of curve or language.
Dari kedua definisi sederhana ini dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah unsur terkecil yang memiliki latar belakang, asal usul yang sama dalam suatu masyarakat karena dari kumpulan dari keluarga-keluarga akan membentuk masyarakat.
2) Fungsi Keluarga
Dalam kehidupan bermasyarakat maupun bergereja tentunya keluarga memiliki fungsi-fungsi khusus39 diantranya yang diungkapkan oleh yakni:
a. Fungsi Reproduksi
Menjelaskan bahwa keluarga memiliki fungsi untuk meghasilkan anggota baru sebagai penerus kehidupan manusia turun temurun.
b. Fungsi Pemeliharaan dan Perlindungan
37
Hardi Budiyana. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen (Yogyakarta: ANDI, 2011), 181.
38
Kristiana Tjandrarini. Bimbingan Konseling Keluarga, (Salatiga: Widya Sari Press, 2004), 7.
39
Menjelaskan bahwa keluarga memberikan perlindunagn fisik, ekonomi dan psikis terhadap anggotanya, sehingga perlindungan yang diberikan bisa dalam bentuk perlindungan terhadap kebutuhan jasmani dan rohani.
c. Pendidikan
Menjelaskan bahwa pendidikan dalam keluaraga akan menajdi pendidikan dasar bagi perkembangan anak berikutnya. Hal yang dipelajari oleh anak bersal dari apa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya.
d. Sosialisasi
Menjelaskan bahwa keluarga merupakan kelompok primer tempat pembentukan dan inteenalisasi norma-norma. Tjandrarini menambahkan bahwa apa yang terjadi dalam lingkungan keluarga menentukan apa yang akan dilakukan oleh anggotanya dalam masyarakat.
Dari semua fungsi yang ada, tidak dapat dikatakan bahwa dalam keluarga memiliki fungsi yang lebih penting sedangkan yang lain tidak begitu penting. Sebuah keluarga yang sehat haruslah menjalankan semua fungsinya, jika ada satu saja fungsi yang tidak berjalan maka keluarga tersebut dapat dikatakan sebagai keluarga yang kurang sehat atau keluarga tersebut memiliki masalah. Fungsi keluarga yang telah dijabarkan di atas akan sangat membantu dalam melaksanakan proses Pendidikan Agama Kristen dalam keluarga bagi anak-anak.
Dalam kehidupan berkeluarga orang tua memiliki peranan yang penting dalam membangun kepribadian anak, oleh sebab itu orang tua memiliki beberapa peranan40 diantaranya:
a. Pengajar/ pembimbing
Orang tua membantu anak mengembangkan keahlian baru dan meningkatkan kemampuan yang telah dimiliki.
b. Pemimpin / penuntun
Orang tua memiliki tugas untuk membimbing anak dalam memasuki ranah kehidupan yang baru yang mungkin saja penuh dengan resiko.
c. Pendamping / teman
Peran ini akan berkembang sejalan dengan perkembangan anak. Peran ini dapat dimulai dengan melakukan aktivitas bersama-sama.
d. Konselor / sahabat karib e. Pelindung / pembela
f. Pemberi nafkah/ pendukung
g. Menjadi teladan bagi anak/ pemberi suri teladan
Orang tua harus memberikan contoh tindakan-tindakan yang baik, salah satunya adalah kasih sayang kepada anak-anak. Kasih sayang dapat ditunjukkan secara fisik maupun lewat kata-kata. Thompson mengatakan bahwa anak-anak belajar dari mengamati perilaku bukan lewat perkataan atau nasihat41.
40
Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga, 31-36.
41
Tentunya dalam kehidupan berkeluarga orang tua memiliki peranan yang cukup besar. Ayah dan ibu harus bisa berperan layaknya seorang teman bagi anak-anak hingga menjadi seorang pendidik. Dalam menjalankan peranya sebagai seorang pendidik, orang tua harus tahu bahwa salah satu hal penting yang perlu dilakukan dalam pedidikan kepada anak-anak adalah dengan memberikan Pendidikan Agama Kristen. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa salah satu tempat atau setting Pendidikan Agama Kristen adalah Pendidikan Agama Kristen yang dilakukan dalam keluarga, sehingga fungsi dan peran keluarga atau orang tua harus benar-benar diperhatikan dan dilakukan.
4) Setting Pendidikan Agam Kristen
Setting PAK yang dimaksudkan adalah “dimana” Pendidikan Agama Kristen dapat dilakukan. Nuhamara menegaskan bahwa dimanapun setting PAK, PAK sebagai usaha pendidikan menaruh perhatian pada masalah pembentukan identitas pribadi yang Kristen. John Dewey mengatakan bahwa pendidikan adalah partisipasi individu dalam kesadaran sosial42. Mengapa setting PAK perlu diperhatikan? karena lingkungan sosial memiliki pengaruh yang besar dalam pembentukan pribadi seorang. Penekanan mengenai kesadaran sosial juga dilakukan oleh Thompson yang mengemukakan pendapat yang sama yaitu dengan siapa kita secara akrab tinggal, berjuang, bermain, tampaknya memberikan dampak yang paling mempengaruhi walaupun tidak disadari kita menemukan jati diri kita43.
Ada berbagi macam setting PAK dan salah satu diantaranya adalah dalam keluarga. Budiyana menegaskan tentang tujuan keluarga berdasarkan ajaran Kristen yakni a) Hubungan dan persekutaun yang berpusat pada Allah, b) watak yang serupa dengan watak Allah, c)
42
Nuhamara, Pembimbing PAK, 51.
43
pelayanan dan kegiatan kegiatan yang dikukuhkan oleh Allah sendiri, d) pengembangbiakan baik jasmani maupun rohani, e) penguasaan rohani dan alami44.
Apabila berbicara tentang PAK dalam keluarga serta melihat tujuannya maka Nuhamara menyatakan bahwa pembicaraan tentang keluarga akan dikaitkan dengan peranan orang tua dalam mengasuh anak-anak45. Sejalan dengan ini Thompson menyatakan bahwa keluarga melebihi konteks kehidupan apa pun, merupakan tempat dasar pembentukan paling luas terutama bagi anak-anak46. Nuhamara menambahkan bahwa ketika orang tua mengajarkan kepada anak tentang iman Kristen maka mereka (orang tua) juga mengalami pertumbuhan iman dalam dimensi tindakan47. Landasan teologis mengenai hak dan kewajiban orang tua tercatat dalam Ulangan 6 : 1-7 dan Amsal 1 : 8.
Ulangan 6 : 1-7 6:1. "Inilah perintah, yakni ketetapan dan peraturan, yang aku ajarkan kepadamu atas perintah TUHAN, Allahmu, untuk dilakukan di negeri, ke mana kamu pergi untuk mendudukinya, 6:2 supaya seumur hidupmu engkau dan anak cucumu takut akan TUHAN, Allahmu, dan berpegang pada segala ketetapan dan perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu, dan supaya lanjut umurmu. 6:3 Maka dengarlah, hai orang Israel! Lakukanlah itu dengan setia, supaya baik keadaanmu, dan supaya kamu menjadi sangat banyak, seperti yang dijanjikan TUHAN, Allah nenek moyangmu, kepadamu di suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya. 6:4. Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! 6:5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. 6:6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, 6:7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun.
Crains menyatakan bahwa dalam perikop ini ada tuntutan supaya Israel mengabdi kepada Tuhan dengan kesetiaan yang total serta adanya pengakuan bahwa hanya ada satu
44
Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 185.
45
Nuhamara, Pembimbing PAK, 57.
46
Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, 12.
47
Tuhan. Hal-hal inilah yang perlu diperhatikan oleh semua umat Israel dan haruslah ini menjadi bagian penting dalam pembelajaran kepada anak-anak dalam keluarga48.
Dalam perikop ini ada seruan untuk menjalankan apa yang menjadi tugas dan tanggungjawab dari orang tua, yaitu memberikan ajaran kepada anak-anak hingga kepada generasi penerus dari anak-anak tersebut. Hal penting yang ditekankan dalam perikop ini adalah pengakuan akan pengabdian kepada Allah haruslah juga menjadi bagian dalam pendidikan yang diberikan orang tua kepada anak-anak di dalam rumah.
Amsal 1:8 Hai anakku, dengarkanlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.
Sinulingga menyatakan bahwa Amsal 1:8-19 adalah perikop yang bercerita tentang peringatan guru hikmat kepada anak didiknya yang masih muda. Dari semua perikop ayat yang ke 8 mengandung didikan yang paling sederhana. Dalam ayat ini mau disampaikan bahwa otoritas untuk menyampaikan didikan hikmat sudah diberikan kepada orang tua. Ciri utama dari ayat ini adalah perintah kepada anak untuk mendengarkan, menerima dan tidak melupakan. Ada 3 kata yang perlu diperhatikan dalam ayat ini yaitu kata „didikan‟, „ajaran‟,
dan „janganlah menyia-nyiakan‟. Kata didikan memberikan makna bahwa apa yang dididik
oleh ayah adalah hal yang tegas untuk mendisiplinkan atau mengkoreksi anaknya dalam sikap dan tingkah laku yang tidak benar. Kata ajaran mengandung makna yang lebih lembut yaitu berupa dorongan yang sangat bermanfaat. Ajaran juga dapat diartikan dengan undang-undang atau aturan yang penuh dengan kasih sayang. Sedangkan kata janganlah kau menyia-nyiakan
48
adalah bentuk kata negatif yang artinya janganlah engkau dengan sengaja meninggalkan atau menyia-nyiakan. Dalam hal ini, jangan meninggalkan sesuatu yang bermanfaat49.
Dalam ayat ini ingin dikatakan bahwa ketika orang tua baik itu ayah ataupun ibu memberikan didikan dan ajaran kepada anak-anak tentang hal-hal yang baik dalam hal ini yang dimaksud adalah Pendidikan Agama Kristen, maka anak-anak haruslah memperhatikan ajaran tersebut karena apa yang diajarkan oleh orang tua adalah sesuatu yang bermanfaat.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik ajaran agama Kristen, keluarga kemudian disebut sebagai jemaat atau gereja mini. Thompson menyebutkan bahwa keluarga dapat disebut juga dengan istilah jemaat mini dengan alasan bahwa keluarga memiliki tugas dalam pembentukan rohani. Tugas gereja sebagai pembentuk kerohanian jemaatnya diharapkan juga dapat dilakukan dalam keluarga yang merupakan bagian kecil dari jemaat suatu gereja, oleh sebab itu gereja disebut dengan gereja mini50.
Lebih jauh lagi pembahasan tentang Gereja mini atau jemaat mini, Thompson memakai istilah Domestic Church. Paus Paulus VI melihat tradisi kuno yang dihormati51 yaitu:
Altar pertama yang dipuja oleh orang-orang primitif adalah tungku perapian yang menyala di tengah-tengah rumah tangga. Altar berikutnya adalah meja makan keluarga dimana makanan dirayakan dan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah keluarga diperingati. Pendeta pria dan pendeta wanita pada upacara pertama ini adalah bapak dan ibu di keluarga tersebut.
Hays memberikan pendapatnya tentang kelaurga sebagai gereja mini bahwa setiap rumah memiliki suatu tempat sentral yang kudus untuk berdoa dan mengenang
49
Risnawati Sinulingga. Kitab Amsal 1-9 (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2010), 96-101.
50
Thompson, Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, 16.
51
peristiwa rohani dalam kehidupan sehari-hari52. Kemudian Thompson menambahkan bahwa gereja secara konsisten harus mampu mempertahankan pendidikan agama dalam keluarga, dimana anak-anak mempunyai kemampuan untuk meniru orang tua mereka dan ikut serta dalam peribadatan keluarga53.
Agar dapat menerapkan fungsi keluarga sebagai gereja mini, maka Budiyana menambahkan tentang sikap-sikap yang harus dimiliki54 yaitu:
(a) kejujuran, adanya suatu kesedidaan untuk saling membuka diri, (b) persahabatan, suatu kesediaan agar dapat meluangkan waktu agar dapat bisa bersekutu, (c) penundukan diri, suatu kesediaan untuk saling memberi respon yang semestinya dalam hubungan dan wewenang yang dikukuhkan Allah, (d) loyalitas, kesediaan menggunakan kekurangan masing-masing sebagai kesempatan untuk saling memberi dukunagn, (e) kepercayaan dan respek, kersediaan untuk melepaskan satu dan yang lain dari tuduhan-tuduhan, (f) kemantapan dan sambutan,kesediaan untuk menerima seperti apa adanya.
Selain sebagai gereja mini, Thompson menambahkan bahwa keluarga perlu dipersiapkan untuk menjadi tempat menyambut kehadiran Allah. Kehidupan bersama dalam keluarga sebaiknya menjadi tempat penyambutan kehadiran Allah, oleh sebab itu setiap keluarga perlu dipersiapkan. Keluarga perlu memiliki sebuah meja kecil yang berfungsi seperti altar. Di atasnya diletakkan sebuah Alkitab dan sebatang lilin dan mungkin sebuah patung Tuhan Yesus atau salib buatan sendiri55. Untuk mengajarkan anak-anak dalam keluarga maka tentunya orang tua harus memberikan contoh terlebih dahulu. Dalam memberikan pengajaran kepada anak-anak maka, anak perlu melihat apa yang sedang diajarkan oleh kedua orang tuanya, dalam hal ini adalah orang tua harus bisa memberikan alat peraga yang terletak di atas meja tadi, misalnya dengan menggunakan sekeping uang logam
Budiyana. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 197.
55
(jika sedang membaca Lukas 15:8-10), mutiara tiruan atau kelereng sebagai pengganti mutiara yang mahal (jika sedang membaca Matius 13:45-46). Ketika anak-anak melihat hal-hal tersebut mereka bisa dengan mudah mengingat setiap pengajaran yang diberikan. Suatu ritual keluarga bisa dilakukan dengan sederhana, seperti yang dilakukan di kalangan Yahudi kuno, di mana minuman dan makanan diedarkan kepada semua anggota keluarga dan setiap orang mengucap syukur atasnya. Aktivitas berdoa dan penyalaan lilin bisa mengubah doa atau pembacaan Alkitab menjadi suatu ritual56. Ibadah keluarga dapat dijadikan suatu ungkapan penting untuk menyambut kehadiran Allah di tengah-tengah kehidupan rumah tangga. Hal yang penting dalam ibadah rumah tangga adalah dilakukan secara teratur bukan tentang lama atau tidaknya ibadah tersebut. Doa atau ibadah yang dilakukan secara teratur akan membantu orang untuk mengingat kehadiran Tuhan dalam keluarga. Ide-ide untuk melakukan doa pagi dan malam terlihat memberatkan, namun ada cara-cara sederhana untuk melakukannya, terlebih lagi ketika anak-anak sudah beranjak remaja57.
Dalam melakukan pendidikan dalam keluarga, ada kendala yang dihadapi oleh orang dan salah satunya menurut Thompson adalah orang tua merasa tidak memiliki pemahaman yang baik tentang pendidikan tersebut58. Namun dalam tulisannya Nuhamara memberikan hal-hal praktis yang dapat dilakukan agar orang tua mampu menciptakan atau menghadirkan gereja mini tersebut dalam keluarga59 yakni;
Pertama, orang tua perlu menciptakan suatu iklim yang disebut “home” bagi anak -anaknya dimana ada suasana kehangatan dan kasih serta penerimaan terhadap anak-anaknya sebgaimana adanya. Hal ini akan membantu anak untuk percaya
56
Ibid., 69-70.
57
Thompson. Keluarga Sebagai Pusat Pembentukan, 70-71.
58
Ibid., 17.
59
(mempercayai) lingkungannya yang pada giliran akan lebih memudahkannya untuk mempercayai bahwa Tuhan itu Mahakasih.
Kedua, dari hari kehari orang tua perlu menjadi model yang dapat dicontoh dalam tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai Kristen, baik dalam perlakuan terhdap sesama anggota keluarga maupun terhadap orang-orang lain yang dapat dialami dan diamati oleh sang anak.
Ketiga, orang tua mengusahakan kesempatan-kesempatan dimana kepercayaan dan nilai-nilai Kristen diekspresikan, misalnya secra bersama-sama melakukan ibdah keluarga dengan membaca Alkitab, berdoa, dan bernyanyi memuji Tuhan. semua hal yang dilakukan belum tentu dapat diterima apabila ketika anak-anak belum memahami semua hal yang dilakukan, namun dengan proses sosialisasi maka anak akan mampu untuk menangkap.
Selain cara-cara yang sudah diungkapkan di atas, ada cara lain yang bisa digunakan untuk membantu keluarga dalam membangun relasi dengan Tuhan yakni dengan mengadakan komunikasi yang baik dengan Tuhan, mensyukuri dan menikmati semua kebaikan Tuhan serta berserah total pada kehendakNya. Hal-hal teknis yang dapat dilakukan adalah dengan doa bersama keluarga, saling mendoakan, ibadah bersama, dan ruang doa60. Dalam sebuah keluarga, alangkah baiknya jika memiliki sebuah ruang doa atau minimal membuat tempat khusus untuk berdoa secara khusyuk. Ruang doa ini kemudian dapat menjadi simbol kehadiran Allah dalam keluarga61.
Menjadikan keluarga disebut sebagai gereja mini ataupuan mempersiapkan keluarga untuk menyambut kehadiran Allah adalah ketika orang tua mampu menjalankan tugas pembentukan rohani kepada anak-anaknya. Ada banya cara yang bisa dilakukan yaitu dengan membuat sebuah mimbar keluarga yang berada dalam rumah. Namun untuk mendapatkan itu semua tentu saja tidak mudah, ada banyak kendala yang dihadapi tetapi dalam tulisannya Nuhamara sudah mencoba memberikan jalan keluarnya.
60
Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo” Keuskupan Agung Semarang. Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. (Jogjakarta:Kanisius, 2006), 37-38.
61
2.1.3 Fondasi Pendidikan Agama Kristen
Dalam melalukan Pendidikan Agama Kristen perlulah diperhatikan beberapa fondasi yang dikemukakan oleh Pazmino yaitu fondasi alkitabiah, fondasi teologis, fondasi filosofis, fondasi historis, fondasi sosiologis, fondasi psikologis dan fondasi kurikulum. Fondasi Pendidikan Agama Kristen yang secara khusus akan dijabarkan adalah mengnai Fondasi Sosiologis yang dikemukakan oleh Pazmino. Mengapa fondasi sosiologis perlu? Berger dan Luckmann melihat bahwa semuanya berawal dari realita. Sedangkan sosiologi akan menganalisis proses-proses yang olehnya realita dikonstruksi secara sosial. Tugas ini pada akhirnya menjadi penting untuk dipertimbangkan oleh pendidikan Kristen karena pendidikan pada dasarnya menekankan pada proses dan menghasilkan dan mendistribusikan pengetahuan. Berger dan Luckmann menambahkan bahwa seorang pendidik Kristen berusaha berbagi dengan peserta didiknya bukan hanya apa yang telah menjadi nyata bagi mereka, tetapi juga apa yang ditetapkan sebagai realitas oleh komunitas Kristen selama berabad-abad62.
Pazmino menyatakan bahwa untuk mengerti proses pendidikan Kristen, seseorang harus merujuk kepada budaya dan masyarakat. Fakta bahwa manusia hidup berdampingan dengan kebudayaan tidak dapat dihindari. Tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas untuk menciptakan budaya dan membentuk masyarakat. Tanpa budaya, kekristenan adalah sesuatu yang abstrak yang tidak berhubungan dengan kehidupan manusia63.
Williams melihat hubungan antara pendidikan dan budaya yakni dalam kenyataannya laju pendidikan jauh lebih lambat dari perkembangan budaya dan perubahan sosial sehingga
62
Pazmino, Fondasi Pendidikan Kristen, 229.
63
seorang pendidik harus berusaha untuk membuat pengajaran mereka tetap update dan relevan dengan konteks budaya mereka supaya bisa terus memberi dampak bagi peserta didik yang hidup dalam budaya tersebut64. Namun Williams menambahkan bahwa manusia harus kritis dalam melihat perubahan sosial dan budaya yang terjadi disekitar mereka sehingga tetap mencerminkan kehendak Allah didalamnya. Ada banyak budaya dan masing-masing budaya bisa diwujudkan dalam iman Kristen dengan cara yang memuliakan Tuhan. namun, budaya dimana seseorang dilahirkan memberi mereka jendela untuk melihat dunia dan budaya ini juga mampu untuk menjadi tembok yang mengisolasi dan memisahkan manusia65.
Dengan demikian, maka para pendidik agama perlu untuk memperhatikan dan memberi tekanan kepada bagaiman kebudayaan yang ada disekitar anak didik dapat mempengaruhi pola pikir dan membentuk kepribadiannya. Kegunaan memperhatikan fondasi sosiologis bagi seorang pendidik yakni ia bisa memakai kebudayaan setempat sebagai alat atau sarana untuk memberikan Pendidikan Agama Kristen. Perlu adanya sebuah pengakuan bahwa kebudayaan yang dimiliki oleh orang di Indonesia telah ada jauh sebelum agama Kristen menjadi salah satu agama yang sah di Indonesia, sehingga ketika seorang pendidik agama mampu untuk memanfaatkan kebudayaan maka pendidikan agama yang dilakukan jauh lebih mudah.
2.2 Sosialisasi
Ihromi mengatakan bahwa seseorang membutuhkan sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana individu
64
Ibid., 231.
65
berada66. Oleh karena itu, Vander Zande memberikan definisi sosialisasi yakni proses interaksi sosial melalui mana kita mengenal cara-cara berpikir, berperasaan dan berperilaku sehingga dapat berperan secara efektif dalam masyarakat67. David Goslin menambahkan definisi sosialisasi dengan proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar dapat berpartisipasi sebagai anggota dalam kelompok masyarakat68. Dua definisi sosialisasi ini menunjukkan bahwa sosialisasi dilakukan oleh seseorang dengan tujuan agar orang tersebut pada akhirnya dapat berbaur dan berguna dalam masyarakat.
Selanjutnya, Groome berpendapat bahwa sosialisasi memiliki makna yang berbeda apabila dilihat dari berbagai sudut pandang. Para psikolog memahami istilah sosialisasi sebagai kesadaran jiwa individu yang muncul akibat interaksi sosial69. Para sosiolog melihatnya sebagai fenomena dari perspektif struktur-struktur sosial kontemporer dan menanyakan cara orang-orang memahami diri mereka yang dengannya mereka melakukan tugas mereka dalam masyarakat. Para Antropolog lebih memilih istilah enkulturasi dari pada sosialisasi yaitu menyelidiki proses perspektif transmisi kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya dengan mempergunakan sistem simbol yang dipertahankan bersama.
Groome menambahkan bahwa melihat masalah pokok dari sosialisasi adalah identitas diri yang berarti kesadaran yang stabil dan terus menerus yang kita miliki dari citra diri, pandangan hidup dan sistem nilai. Dua hal lain yang masih berkaitan dengan ini adalah kebudayaan dan masyarakat70.
66
Ihromi. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), 30.
67
Ibid., 31.
68
Ibid., 30.
69
Groome, Pendidikan Agama Kristen, 160.
70
Sosialisasi adalah berhubungan dengan diri dan juga proses menurunkan sesuatu kepada generasi selanjutnya. Sosialisai selalu erat kaitannya antara diri, lingkungan sosial yang dalam hal ini adalah masyarakat dan juga kebudayaan yang ada dalam lingkungan atau masyarakat tersebut. Groome juga menambahkan dalam tulisan yang dikutib oleh Nike Atmaja bahwa sosialisasi mampu untuk membentuk identitas manusia Kristen, namun perlu juga diperhatikan hubungan antara persekutuan dan konteks sosialnya dalam sebuah hubungan dialektika kritis, dimana setiap hal yang dihasilkan dari proses sosialisasi perlu untuk diperhatikan kembali. Tanpa adanya hubungan yang dilektis maka tidak ada pendorong kearah kedewasaan iman yang mampu memberikan jawaban atas tugas panggilan Allah71. Kesadaran kritis perlu untuk diperhatikan dengan mempertimbangkan beberapa hal: (1) Transformasi perlu dilakukan persekutuan Kristen merupakan kelompok kecil di tengah-tengah masyarakat yang pluralis dalam agama dan ideologi. Anggota-anggota persekutuan Kristen juga menjadi anggota dari macam-macam kelompok (etnis, daerah, partai politik, profesi, hobi). Macam-macam kelompok ini akan mengakibatkan perbedaan-perbedaan pandangan hidup dan nilai-nilai yang boleh jadi bertentangan dengan identitas Kristen72. (2) Pendidikan yang bersifat kritis-dialektis diperlukan bagi pembaharuan gereja. Sosialisasi yang terjadi dalam kelompok, lebih menekankan pada penyesuaian terhadap norma-norma kelompok serta lebih kepada menciptkan „status quo‟ dari pada mendorong kepada perubahan73. (3) Sosialisasi saja tidak cukup untuk membawa orang pada kedewasaan iman. Apabila yang dipakai hganyalah kekuatan dari sosialisasi maka akan menghasilkan orang Kristen yang mengikuti arus dan bangga dengan apa yang dicapai Amerika
71
Atmadja Hadinoto. Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1990). 191.
72
Ibid., 191-192
73
sebagai „the chosen people’74
. Proses sosialisasi yang dilakukan harusah dibarengi dengan proses edukasi agar tidak menciptakan generasi yang hanya meniru orang dewasa75.
2.2.1 Proses Sosialisasi
Ada beberapa jenis proses sosialisasi menurut para ahli diantaranya adalah: St. Vebrianto menjelaskan tentang proses sosiaslisasi76 sebagai berikut:
1. Proses sosialisasi adalah proses belajar yaitu suatu proses akomidasi dengan mana individu menahan, mengubah implus-implus dalam dirinya dan mengambil alih cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya.
2. Dalam proses sosialisasi individu memperlajari kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola nilai dan tingkah laku dalam masyarakat dimana individu hidup.
3. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam masyarakat dimana individu hidup. Kesimpulan yang dapat diambil dari proses ini adalah proses sosialisasi adalah cara atau jalan bagi individu untuk belajar mengubah dirinya dengan belajar tentang cara hidup ataupun kebudayaan yang dipelajari lewat masyarakat.
Sementara itu, Groome menjelaskan tentang proses sosialisasi77, yakni: 1. Eksternalisasi
Manusia tidak dapat hidup hanya dengan dirinya sendiri, oleh sebab itu manusia memiliki kebutuhan batiniah untuk keluar dari diri dan masuk dalam relasi. Ketika
74
Idem. 75
Ibid., 193.
76
Tjandrarini, Bimbingan Konseling Keluarga, 21-22.
77
melakukan eksternalisasi itu apa yang menjadi keinginan dan kemampuan kita masuk dalam kolektivitas. Dari eksternalisasi bersama, kebudayaan-kebudayaan akan muncul.
2. Objektifikasi
Struktur sosial dan kebudayan yang merupakan hasil dari eksternalisasi yang akan menciptakan batasan-batasan tertentu ketika manusia bertingkah laku. Semuanya akan diatur dalam peraturan-peraturan yang masuk akal dan dari kedua hal ini akan memunculkan ideologi. Ideologi ini akan membuat makna keluar dari dunia sebagaimana adanya dan oleh karena itu melegitimasi dan membuat lingkungan sosial atau budaya masuk akal. Cara orang memaknai ideologi kelompok mereka adalah dengan memakai simbol-simbol, dimana bahasa adalah yang paling utama.
3. Internalisasi
Internalsisai adalah proses menjadikan pandangan dunia, sistem nilai dan pola bertindak dari lingkungan sosial budaya menjadi milik sendiri. Proses sosialisasi ini membentuk identitas diri oleh lingkungan dan juga pembentukan identitas Kristen dalam suatu lingkungan sosial yang Kristen.
Ihromi melihat ada 2 tahapan dalam proses sosialisasi78 yaitu:
1. Sosialisasi Primer, adalah sosialisai pertama yang dijalani individu semasa kecil, melalui mana ia menjadi anggota masyarakat; dalam tahap ini proses sosialisasi primer dilakukan oleh keluarga.
2. Sosialisasi Sekunder, adalah proses berikutnya yang memperkenalkan individu yang telah disosialisasi kedalam sektor baru dari dunia objektif masyarakatnya. Agen sosialisasi sekunder adalah lembaga pendidikan, peer group, lembaga pekerjaan dan lingkungan yang lebih luas dari keluarga.
Sedangkan Richards menyebutkan bahwa dalam perjanjian lama proses sosialisasi terjadi dalam pewarisan tradisi religius Yahudi. Anak-anak tidak saja berpartisipasi dalam kehidupan ritual umat, tetapi juga mempunyai kesempatan meniru orang dewasa79.
Proses sosialisasi membantu manusia untuk menemukan kelompoknya dan membantunya mendapatkan identitasnya. Dalam proses sosialisasi ini sudah terlihat bahwa keluarga yang merupakan agen primer dalam suatu masyarakat juga menjadi tempat anak-anak atau individu mendapatkan sosialisasi primer.
Dalam melaksanakan proses sosialisasi, Hanum menawarkan 3 metode80 yang bisa digunakan yakni:
1. Metode ganjaran dan hukuman; metode ini sama seperti memerikan hadiah kepada mereka yang melakukan apa yang diperintahkan dan menghukum mereka yang tidak mengikuti apa yang diperintahkan.
78
Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, 32.
79
Nuhamara. Pembimbing PAK,125.
80
2. Metode Didactic Teaching; metode ini kebanyakan dilakukan disekolah yakni diguanakan untuk mentransfer ilmu pengetahuan. Pembelajaran tentang keterampilan juga dapat menggunakan metode ini dan juga tentang afeksi ( kecerdasan emosionald an spiritual).
3. Metode Pemberian Contoh atau Keteladanan; biasanya ini diberikan dari orang dewasa kepada anak-anak (yang belum dewasa). Dimulai pada masa anak-anak ketika proses imitasi hingga proses identifikasi. Anak dapat memilah mana yang perlu untuk ditiru dan mana yang tidak perlu untuk ditiru.
Masing-masing metode yang ditawarkan oleh Hanum, memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Berkaitan dengan tulisan ini, maka metode yang cocok untuk digunakan adalah metode yang ke-3 yakni memberikan contoh dan teladan kepada anak-anak.
2.2.2 Sosialisasi dan Edukasi dalam Keluarga
Hadinoto mendefinisikan sosialisasi sebagai proses pendidikan yang berlaku wajar dan dengan sendirinya, dimana orang tua meneruskan kebiasaan, nilai-nilai kepada anak-anaknya81. Sehingga ia menambahkan bahwa keluarga sebagai kelompok sosial terkecil, mempunyai tugas menyiapkan anggotanya untuk dapat berhubungan secara sosial dengan dunia luarnya. Pengalaman yang didapatkan pada masa kanak-kanak akan membantu anak tumbuh sebagai orang dewasa yang dapat berperan dalam masyarakat. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa apabila berbicara mengenai pendidikan dalam keluarga maka tidak terlepas dari pendidikan kepada anak. Sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Hadinoto, maka Nuhamara menegaskan kembali bahwa sosialisasi yang dilakukan pada masa kanak-kanak jauh lebih kuat pengaruhnya dan disebut sebagai sosialisai primer. Sosialisasi yang
81
dialami oleh anak- anak ini didapatkan lewat interaksinya dengan lingkungan sosial budaya82. Hadinoto lebih fokus melihat bahwa ada 2 nilai yang dapat diturunkan dari orang tua kepada anak-anak yakni tata-krama dan kerukunan83.
Para ahli mengatakan bahwa proses sosialisasi terjadi melalui observasi dan imitasi terhadap tingkah laku model sosial (orang terdekat yaitu orang tua). Seseorang dapat melakukan imitasi apabila ia memiliki kesempatan untuk mengamati orang tua, dimana orang tua menyatakan tingkah laku maupun sistem kepercayaan dan sistem nilai yang melandasi tingkah laku tersebut. Nuhamara menambahkan bahwa agar sosialisasi menjadi efektif, orang tua harus menjadi panutan yang efektif bagi internalisasi sistem kepercayaan, nilai dan pola tingkah laku kristiani84.
Bentuk sosialisasi seperti apa yang dapat dilakukan dalam keluarga? Hadinoto menyebutkan diantaranya adalah mengajak anak tiap hari minggu ke gereja, mengajar anak menutup mata pada saat berdoa, dan melipat tangan untuk berdoa85. Keluarga bukan saja menjalankan tugas sosialisasi tetapi juga tugas mendidik. Hadinoto menambahkan bahwa tugas mendidik dianggap sebagai tugas rutin yang hanya mengulang-ulang, mempertahankan dan meneruskan ajaran gereja86. Padahal dalam pendidikan bukan cuma usaha menanamkan, meneruskan dan mempertahakan ajaran saja yang dikerjakan, namun juga usaha mengubah, kalau perlu mengkoreksi yang salah dan membaharui manusia sehingga pada akhirnya tiba pada kemandirian secara pribadi. Firet mengatakan bahwa dalam pendidikan agama Kristen,
82
Nuhamara. Pembimbing PAK, 61.
83
Hadinoto, Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, 10.
84
Nuhamara, Pembimbing PAK, 62.
85
Hadinoto, Dialog dan Edukasi Keluarga Kristen dalam Masyarakat Indonesia, 185.
86
perubahan melalui pendidikan dalam diri manusia adalah moment agogis dalam tindakan pastoral yang bertujuan membawa manusia kepada fungsi iman yang mandiri87.
Untuk menghadirkan pendidikan yang baik, orang tua haruslah langsung turun tangan dalam mengajarkan kepada anak-anak. Seorang anak yang baru pertama kali belajar tentang sesuatu tentunlah harus memiliki perjumpaan langsung dengan guru yang utama yaitu orang tua.
2.2.3 Pengasuhan
Brooks melihat orang tua sebagai individu yang melakukan pengasuhan, perlindungan, dan pembimbing dari bayi hingga dewasa. Dalam melakukan pengasuhan sebenarnya orang tua sedang melakukan investasi dalam diri anak-anaknya seperti yang dikutip oleh Brooks dari tulisan Dante dan Lynch tentang Transactional Model of Community Violence and Child Maltreatment: Consequence for Child Development. Pengasuhan yang diberikan oleh orang tua dapat dilakukan dalam 2 bentuk yakni secara langsung dan tidak langsung. Pengasuhan langsung dapat dilakukan dengan memberikan perhatian dalam interaksi secara langsung dengan anak yakni lewat makan bersama, bermain bersama dan kegiatan lainnya yang dilakukan secara bersama-sama. Pengasuhan yang tidak langsung adalah ketika orang tua memastikan bahwa anaknya masuk dalam sekolah yang tepat atau sekolah yang baik, orang tua memastikan bahwa lingkungan bermain dan teman bermain dari anaknya adalah lingkungan yang baik. Brooks menambahkan bahwa pengasuhan tidak dapat terjadi apabila hanya dilakukan satu arah88. Pengasuhan haruslah dilakukan secara dua arah bahwa ada interaksi antara orang tua dan anak-anak.
87
Ibid., 184.
88
Wright menjabarkan hal-hal yang penting dan perlu diperhatikan dalam membimbing atau mengasuh anak-anak. Dalam bukunya ia menyebutkan hal tersebut sebagai mitos-mitos89.
1. Keterlibatan penuh orang tua
Orang tua kadang menjadi sangat bersemangat untuk selalu terlibat dalam semua kegiatan yang diliki oleh anak-anak. Orang tua berpikir bahwa ia harus juga turut serta dalam apa yang dilakukan oleh anak-anak. Ketika orang tua terlalu terlibat aktif dalam semua kegiatan anak-anak akan menjadikan orang tua kelelahan dan melewatkan waktu-waktu berkualitas dengan anak-anak dan bahkan kehilangan waktu dalam mendidik anak.
2. Tanggung jawab penuh orang tua
Banyak orang berpikir bahwa semua yang dialami oleh seorang anak maka sepenuhnya adalah tanggung jawab dari orang tua. Ketika anak-anak berbuat salah maka orang tua yang harus bertanggung jawab sepenuhnya. Setiap anak-anak memiliki kebebasan yang sama dalam memilih untuk melakukan apa. Tugas dari orang tua dalam hal ini adalah mengasihi mereka, mengasuh mereka dan menyediakan lingkungan yang positif serta yang membantu perkembangan mereka.
3. Suka cita penuh orang tua
Menjadi orang tua tidak selalu menyenagkan. Ada hal-hal yang membuat peran sebagai orang tua tidak selalu menyenangkan, yakni : ketika hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka harga diri orang tua terancam, ketika anak mengganggu jadwal mereka maka, mereka akan merasa tidak nyaman, orang tua kadang merasa cemas dengan segala keputusan yang harus diambil, berbicara kepada anak-anak
89
tidak sama seperti berbicara kepada orang dewasa sehingga orang tua harus membahasakannya dengan baik serta menjadi orang trua artinya harus membatai semua kegiatan-kegiatan.
Berdasarkan pendapat dari Brooks bahwa pengasuhan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak akan menjadi warisan atau investasi yang bersifat abadi karena anak akan terus membawa hasil dari pengasuhan yang diterimanya kepada generasi selanjutnya bahkan dapat dikatakan bahwa pengasuhan merupakan warisan yang tidak akan pernah habis dari generasi ke generasi. Dengan demikian maka pentinglah bagi keluarga-keluarga untuk melakukan pengasuhan bagi anakanaknya. Ada juga halhal yang perlu diperhatikan yang -anak dalam keluarga.
2.2.4 Mendidik Anak lewat upacara-upacara
Schaefer menerangkan peran dari sebuah upacara dan adat istiadat. Ada berbagai macam upacara diantaranya adalah upacara keklaurgaan yang dilakukan dengan sengaja dan teratur sesuai dengan aturan yang sudah direncanakan atau diadatkan. Upacara-upacara tersebut akan membangkitkan perasaan kebersamaan, kegembiraan dan kesatuan. Keluarga menggambarkan suatu cara yang tersendiri dari suatu keluarga untuk berkumpul dan membuat kehidupan mereka berbeda dari keluarga lainnya. Upacara tersebut akan mempererat hubungan dalam kelompok tersebut dan dalam hal ini adalah keluarga. Selain itu dapat digunakan untuk memberitahukan dan semua harapan akan tingkah laku yang lebih matang dari anak. Serta penggunaan upacara-upacara sebagai suatu teknik untuk mendorong anak-anak memperoleh atau melakukan tingkah laku yang dikehendaki90.
90
Cara yang ditawarkan oleh Scaefer ini dapat dilakukan di Indonesia dengan melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang dapat dijadikan sebagai pilihan untuk melakukan pendidikan.
2.3 Piring Nazar sebagai Kebudayaan
Vriezen mengartikan nazar dengan sesuatu yang dibuat untuk menguatkan permintaan atau untuk membujuk Yahwe memberikan apa yang diminta. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini menuliskan bahwa nazar adalah kehendak melaksanakan suatu tindakan atau menjauhkan diri dari suatu tindakan untuk memperoleh belas kasihan Allah atau dalam hal menyatakan kegairahan atau penyerahan diri kepada Allah. Bernazar memiliki ikatan yang sama dengan sumpah91.
2.3.1 Sejarah munculnya tradisi “Piring Nazar”
“Piring Nazar” sering juga sisebut dengan sebutan Piring Misteer oleh beberapa orang
Maluku92. Tradisi “Piring Nazar” tidak muncul begitu saja di tengah-tengah kehidupan masyarakat Maluku. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan AL, ia menceritakan tentang kisah yang pernah didengarnya dari kedua orang tua tentang asal mula munculnya tradisi “Piring Nazar” dalam kehidupan bersama masyarakat kota Ambon. Tradisi “Piring
Nazar” pada awalnya bukanlah berasal dari sebuah tradisi Kristen, tetapi tradisi “Piring
Nazar” ini dimulai dari agama Tete-Nene Moyang. Pada zaman dahulu, ada seorang yang
bernama Tete Tanus. Tete Tanus adalah seorang yang memiliki kekuatan atau dalam kesehariannya disebut dengan orang pintar. Tete Tanus memiliki kekuatan untuk
91
Vriezen. Agama Israel Kuno (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2009), 91.
92
menyembuhkan. Pada saat itu, sebagai tanda menjadi pengikut dari Tete Tanus, maka para pengikutnya yang dalam hal ini adalah orang Ambon itu sendiri membuat apa yang disebut dengan “Piring Nazar”, namun pada saat itu “Piring Nazar” yang mereka miliki hanyalah
sebuah piring biasa yang ditutup dengan kain. Alkitab pada saat itu belum digunakan karena pada saat itu kekristenan belum masuk di Maluku. Di setiap rumah pasti memiliki “Piring
Nazar”, selain sebagai tanda dari komunitas pengikut Tete Tanus, mereka juga menggunakan
“Piring Nazar” untuk berdoa kepada Tete-Nene moyang agar Tete Tanus agar selalu diberikan
kekuatan untuk bisa menyembuhkan orang (masyarakat Ambon) yang sakit. Hingga agama Kristen masuk ke Ambon dan mengubah tradisi “Piring Nazar” yang sebelumnya digunakan
untuk berdoa kepada Tete-Nene moyang untuk Tete Tanus, manjadi doa yang dipanjatkan untuk Tuhan. Alkitabpun pada akhirnya diletakkan bersama-sama dengan “Piring Nazar”.
Data lain yang dapat ditemukan terkait dengan asal usul tradisi “Piring Nazar”93
adalah:
Behoundens lokale verschillen concentreerde deze religie zich op een opperwezen (op Midden-en West-Ceram in die tijd aangeduid met namen als Opo Tata Pattoa, Oepolaniet (Heer des Hemels) en Opoe Ama (Heer de Vader), de schepper van hemel en aarde die het goed beloonde en kwade strafte, hetzij in het huidige hetzij in het toekomstige leven. Zjin wil kon gekend worden door een mawe (ordalium). Daarnaast kende ze nitu, de goede en kwade, aan het opperwezen ondergeschikte geesten, soms van gestorven voorouders, soms onbekende, die men op allerlei wijzen gunstig trachtte te stemmen. Nitu werden geacht vrij rond te bewegen of op bepaalde plaatsen of in bepaalde voorwerpen of gebouwen te verblijven, zoals in de baileo (dorpshuizen, waarin ook gesnelde koppen werden opgehangen). Men brandde voor hen wierook, stak kleine offervlaggetjes van rood en wit linnen of katoen in de grond, en bracht nazar (offers) aan de gestrovenen. Hiertoe plaatste men borden, kommetjes of schaaltjes (piring) met munten, haarlokken, stukjes stof, veren, ringen, stenen, papiertjes met koran-teksten, een betelnoot, een maisvrucht, een afgesneden oor, neus of vinger, een stukje van een mensenhart of een sigaret onder bomen als de waringin, tussen takken, op of aan de voet van grote stenen of rotsblokken (batu pemali), in boomholten, bij rivieren of op bergpassen en op andere plaatsen die met een geest in verband stonden. Bepaalde nazar werden ook als jimat (amulet) in de lendendoek geknoopt ter bescherming tegen kogels,
93
vijandelike speren en de klewang der koppensnellers, andere werden gebruikt om vijanden te vervloeken of te doden. De handle in veel van deze nazar was in handen van islamitische handelaren, die ze van Makasar en Java aanvoerden.
Data sejarah diatas dapat diterjemahkan sebagai berikut; sebelum agama Kristen masuk ke Maluku, ada beberapa daerah di Maluku melakukan penyembahan kepada Upu seperti Tata Pottoa94. Salah satu hal yang dilakukan untuk melakukan penyembahan kepada Upu adalah dengan membakar dupa, meletakkan bendera kecil berwarna merah dan putih dari kain linen dan membawa nazar (persembahan) kepada orang yang sudah mati. Semuanya itu ditempatkan pada sebuah piring, mangkuk atau cangkir dengan sebuah koin (uang logam), rambut, cincin, atau rokok di bawah sebuah pohon besar (pohon beringin) atau pada cabang-cabangnya, pada batu pemali ataupun di sungai. Dari dalam nazar tersebuta ada yang mengmbilnya sebagi jimat yang diikatkan di celana agar menjadi kebal dan ada yang menggunkan nazar itu untuk membunuh dan mengutuk musuh. Tradisi “Piring Nazar”
kemudian berbah bentuknya menjadi tradisi Kristen pada abad ke 19.
2.3.2 Piring Nazar di Maluku
94
Soplainit menjelaskan tentang nazar dalam tulisannya yang dipahami oleh jemaat-jemaat Gereja Protestan Maluku (GPM) sebagai „uang pergumulan‟. Beberapa kebiasaan yang
berkaitan dengan pemahaman95 itu adalah:
Pertama, dalam setiap rumah pada kamar utama selalu ada „meja sumbayang‟ dan di
atasnya diletakkan piring nazar. „Meja sumbayang‟ adalah tempat khusus untuk berdoa atau
tempat pergumulan keluarga. Piring nazar menjadi simbol kehadiran Tuhan dalam pergumulan tersebut.
Kedua, orang yang berdoa memegang “Piring Nazar” terlebih dahulu sesudah diletakkan uang sumbayang96. Sebelum kekristenan masuk di Maluku, saat itu orang-orang Maluku sudah memegang kepercayaan agama suku kepada dewa atau tete nene moyang. Sebelum agama Kristen masuk meja sumbayang digunakan untuk mempersembahakan sesuatu kepada leluhur, karena mereka percaya bahwa para leluhur melindungi mereka. Setelah kekristenan amsuk di Maluku, maka makna dari piring nazar mengalami pergeseran dari persembahan kepada leluhur menjadi syukur kepada Allah yang telah melindungi.
Ketiga, ada keluarga yang menjadikan uang sumbayang sebagai „alas pergumulan‟
satu tahun. Uang tersebut diletakkan saat „doa tahun baru‟ dan akan diantar kegereja pada ‘malam konci taong’. „Uang pergumulan‟ dahulu berbentuk uang koin logam dibungkus
dengan kertas dan diletakkan dalam piring nazar. Ada larangan khusus yang diberikan oleh orang tua kepada anak yaitu : ingatang, seng bole ambel uang sumbayang.
95 Julentri Soplainit. “Nazar Gereja Enam Bulan: Tinjauan Antropologis
-Teologis Terhadap Pelaksanaan Nazar Gereja Enam Bulan di Jemaat GPM PNIEL Pulau Lease” (Skripsi., Universitas Kristen Satya Wacana, 2010), 23-25.
96
Keempat, sebagai orang percaya pada nilai mistis dari piring nazar. Berdasarkan pengalaman yang dikemukakan Julentri Soplainit bahwa ada orang yang menuliskan nama saudaranya dalam kertas di piring nazar agar Tuhan memberikan hukuman (sakit atau mati) kepada saudaranya itu. Saudara yang namanya ditulis itu menjadi takut dengan hal tersebut. Hal ini mau menunjukkan bahwa mereka percaya dengan kekuatan dari piring nazar.
2.3.3 Ciri-Ciri Kekristenan di Maluku
Masyarakat Maluku yang masih kental dengan sentuhan kebudayaan tentunya memiliki ciri-ciri khusus dalam mengembangkan kekristenannya. Ada beberapa ciri yang bisa ditemukan dalam tulisan Cooley yakni ciri sosiologi dan ciri teologi97.
2.3.3.1 Ciri Sosiologi
Ciri-ciri sosiologi yang terdapat dalam Gereja Protestan Maluku adalah sebagai berikut:
1. Kekristenan Maluku sangat menonjolkan sifat tradisonalnya. Agama dan ibadah merupakan hal yang dijunjung tinggi. Ambon sangat erat kaitannya dengan kekristenan oleh sebab itu, orang sering mengatakan bahwa menjadi orang Ambon sama saja dengan menjadi orang Kristen. Ada kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh seorang Kristen yaitu berdoa sebelum dan sesudah makan, mengikuti ibadah di gereja, mengikuti perjamuan kudus 2 kali pada 1 tahun yaitu pada saat Jumat Agung dan juga di bulan Oktober yang diperingati sebagai hari perjamuan kudus sedunia. Alkitab dianggap adalah sarana kekristenan yang paling tinggi. Perubahan dalam pola Kekristen atau tata liturgi oleh seorang pendeta akan mendapat tantangan keras dari kalangan orang-orang tua.
97
2. Gereja Protestan Maluku merupakan sebuah gereja suku. Hal yang menyebabkan ini terjadi adalah dikarenakan masih adanya ornamen-ornamen atau gaya-gaya suku dalam kekristenan. Ciri kebudyaan kelompok suku tersebut ikut memberikan ciri-ciri pada kekristenan dan kehidupan grejawi mereka. Kenyataan semacam ini kemudian menimbulkan pemahaman bahwa kekritenan telah menyesuaikan diri dengan sifat-sifat dominan dari adat dan pola-pola budaya lain dari mayarakat Ambon.
3. Gereja Protestan Maluku bercirikan semangat organisasi yang sangat sentralistis– birokratis. Organisasi dalam gereja disusun sesuai dengan atau menurut hirarki pemerintahan. Tenaga gereja adalah pegawai-pegawai pemerintahan dan bersikap sesuai dengan pola yang berlaku di pemerintahan.
4. Agama oleh para pengikutnya dipandang sebagai pemberi status yang khusus dalam masyarakat. Ada pangkat yang bisa didapatkan dalam gereja yakni “serani” ketika
seseorang sudah masuk dalam gereja dan sudah menerima sakaramen baptis ia akan menerima seragam yang baru, apa yang ada dalam seragam yang lama bukanlah yang penting yang paling penting adalah kini ia datang dalam penampilan yang baru.
2.3.3.2 Ciri Teologis
1. Sangat spiritualistis. Terlihat perbedan yang jauh antar dunia yang fana dengan dunia yang rohani. Agama berurusan dengan hal-hal yang bersifat kejiwaan, kerohanian, dan dunia spiritual bukanlah soal duniawi.
2. Bersifat keakanan. Maksud dari keakanan ini adalah agama akan membawa manusia menuju ke surga. Hal ini kemudian menunjukkan sikap yang pasif kepada dunia.
3. Bersifat perorangan. Sikap ini juga dapat terjadi sebagai akibat dari ciri yang kedua bahwa fokus dari kekristenan adalah surga sehingga orang lebih memperhatikan diri mereka sendiri dan bukan komunitas.
4. Adanya ketidaksinambungan antara agama dan etika. Dalam kenyataan bermasyarakat di Maluku, masih ada pemabukkan, kemesuman dan percekcokan yang sering terjadi dalam persekutuan Kristen.
2.3.4 Pandangan orang Maluku tentang Adat Istiadat
Adat dalam kebudayaan Maluku dilihat sebagai aturan, kebiasaaan dan hukum yang menuntun dan menguasai kelakuan serta hubungan-hubungan dalam suatu masyarakat. Dalam kebudayaan Indonesia adat adalah sesuatu yang di hormati dan dinilai paling tinggi oleh masyarakat oleh sebab itu adat punya pengaruh yang besar juga dalam kehidupan bergereja.
diharuskan sebagai suatu kewajiban bagi semua pihak, sedangkan dalam pelaksanaannya terserah terutama pribadi atau kelompok yang bersangkutan.
Adat pada akhirnya dilihat sebagai sebuah hukum atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa adat adalah hukum itu sendiri. Sebagai sebuah hukum tentunya adat juga memiliki sanksi-sanksi. Sanksi yang terdapat dalam adat bisa berupa sanksi sosial maupun sanksi secara gaib. Hal semacam ini menjadikan adat bersifat wajib, demi kesejahteraan dan keamanaan pribadi yang bersangkutan dalam masyarakat. Orang Maluku percaya bahwa adat sudah diturunkan dari para leluhur yang merupakan pendiri desa dana adat sebagai suatu pola kehidupan yang harus tetap dipertahankan hingga keturunan-keturunan selanjutnya98.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa dalam kehidupan bergereja, agama masih dipengaruhi oleh adat, maka hal ini juga dapat mendukung kesimpulan bahwa “Piring Nazar” (merupakan bagian dari tradisi masayarakat Maluku) dapat diubah dan
kemudian masuk dalam tradisi Kristen karena pemahaman tentang pengaruh adat yang besar dalam kehidupan bergereja.
2.3.5 Ciri Masyarakat Maluku
Henderika Marlyn Latuny, disebutkan bahwa masyarakat Maluku digolongkan dalam beberapa bagian99 yaitu:
1. Masyarakat Maluku yang adatis
98
Cooley, Mimbar dan Takhta, 106-109.
99
Adalah hasil dari bentukan adat dan budaya yang menyeluruh. Dapat juga disebut dengan kata lain bahwa masyarakat Maluku selalu berhubungan dengan adat sejak ia lahir sampai ia meninggal. Ketika lahir orang Maluku sudah diajarkan untuk menggunakan bahasa daerah dan diikutkan dalam upacara-upacara adat sampai ia meninggal.
2. Masyarakat Maluku yang agamawi
Masyarakat Maluku memegang 2 kepercayaan yakni kepercayaan tradisional (kepercayaan
Tete-Nene moyang100) dan juga menganut kepercayaan yang sah di Indonesia. Ada 2 agama yang dianut secara mayoritas yakni agama Islam dan Kristen.
3. Masyarakat Maluku yang suka kebersamaan dan jujur
Kebersamaan dan sikap jujur yang dimiliki dari masyarakat Maluku tercermin sikap ada adanya. Apa yang mereka miliki akan diberikan dengan ikhlas sehingga mereka menyebutnya dengan kalo ada na kasi (jika ada di berikan).
4. Masyarakat Maluku yang cinta persatuan dan kesatuan
Setiap -benar dihayati dengan baik dan dilakukan dalam kehidupan bersama dengan orang lain.
5. Masyarakat Maluku yang terbuka dan mau bermusyawarah
Setiap ada persoalan dalam sebuah komunitas atau kelompok, maka orang Maluku suka untuk meneyelesaikannya bersama-sama dan tentunya akan menguntungkan semua orang bukan keuntungan satu orang saja. Biasanya penyelesaian masalah dilakukan di Baileo101.
100
Tete - Nene moyang adalah sebutan yang diberikan pada nenek moyang. Dalam bagian ini penulis ingin menjelaskan bahwa kepercayaan tete nene moyang adalah kepercayaan yang sudah ada jauh sebelum para zending masuk ke Pulau Maluku dan melakukan peneybaran agama Kristen.
101
Masayarakat Maluku adalah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi atau dengan kata lain adalah jenis masyarakat yang sangat menghormati adat dan agama. Hal ini terlihat dari ciri-ciri yang dipaparkan di atas. Agama dan adat memiliki kaitan didalamnya yakni kehidupan agama masyarakat Maluku yang berawal dari agama tete-nene moyang dan kemudian agama tete-nene moyang tersebut berubah menjadi adat atau kebiasaan-kebiasaan yang kemudian di teruskan oleh masyarakat Maluku. Sikap-sikap yang dibangun seperti persatuan dan kesatuan, sikap tolong menolong dan bermusyawarah adalah sikap-sikap yang juga diajarkan dalam kehidupan beragama. Sehingga secara sederhana dapat diungkapkan bahwa kehidupan masyarakat Maluku tidak terlepas dari aturan-aturan agama dan adat.