• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Partisipasi Masyarakat Melalui Komite Sekolah di SD Negeri 2 Purbosari Temanggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Program Partisipasi Masyarakat Melalui Komite Sekolah di SD Negeri 2 Purbosari Temanggung"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

9

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS )

Mulyasa, (2009:24) menyatakan, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah model pengelolaan manajemen sekolah yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pada sistem MBS, sekolah dituntut untuk secara mandiri menggali,

mengalokasikan, menentukan prioritas,

mengendalikan, dan mempertanggungjawabkan

pemberdayaan sumber- sumber, baik kepada

masyarakat maupun pemerintah.

Sedangkan Rohiat (2010:47) memberikan arti Manajemen Berbasis Sekolah sebagai model pengeloaan

yang memberikan otonomi (kewenangan dan

tanggungjawab) yang lebih besar kepada

sekolah,memberikan fleksibilitas/keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha) dan meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi sekolah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan sekolah serta tuntutan masyarakat yang ada.

(2)

10

terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi, antara lain, diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem insentif serta disensetif. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui

peningkatan partisipasi masyarakat yang

memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikan yang tinggi terhadap sekolah ( Mulyasa, 2009:25).

Penerapan MBS bisa disebut suatu pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan. MBS

bermaksud “mengembalikan” sekolah kepada

pemiliknya yaitu masyarakat, yang diharapkan akan merasa bertanggung jawab kembali sepenuhnya terhadap pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah. Dalam penyelenggaraan pendidikan, masyarakat mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam pengelolaan satuan pendidikan pada berbagai jenis dan jenjang (Surya Mohamad, 2002). Untuk penyelenggaraan pendidikan

di sekolah, konsep masyarakat itu perlu

(3)

11

melalui “perwakilan” fungsi stakeholder, dengan jalan membentuk Komite Sekolah. Komite Sekolah sedapat mungkin bisa mempresentasikan keragaman yang ada agar benar-benar dapat mewakili masyarakat. Bukti tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan diwujudkan dalam fungsi yang melekat pada Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah ( Suryadi dan Budimansyah, 2004).

Dedi Supriadi, ( 2004:18) menyatakan, pada prinsipnya MBS bertujuan untuk memberdayakan sekolah dalam menetapkan berbagai kebijakan internal sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara keseluruhan.

Sementara Mulyasa (2009:13) menyatakan bahwa tujuan utama MBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi

masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi.

Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai control, serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang kondusif. Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah.

(4)

12

sekolah tersebut demi meningkatkan mutu pendidikan (Umaedi dkk 2010:3).

Tujuan Penerapan MBS menurut Rohiat (2010:48-49) adalah meningkatkan kinerja sekolah melalui pemberian kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip tata pengelolaan sekolah yang baik, yaitu partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Kinerja sekolah meliputi peningkatan kualitas, efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan inovasi pendidikan.

Depdiknas (2001: 4) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah bertujuan untuk :

1.Meningkatkan mutu pendidikan melalui

kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia. 2.Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

3.Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.

4.Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.

(5)

13

Depdiknas (2001) menjelaskan ada tiga pilar dalam MBS, yaitu Manajemen Sekolah, Pembelajaran yang Aktif Kreatif dan Menyenangkan ( PAKEM ), serta Peran serta Masyarakat yang diwakili komite sekolah. Dijelaskan tiga pilar tersebut sebagai berikut :

1. Manajemen Sekolah

Manajemen sekolah adalah segala proses

pendayagunaan semua komponen baik

komponen manusia maupun non manusia yang dimiliki sekolah dalam rangka mencapai tujuan secara efisien.

2. PAKEM

PAKEM merupakan inovasi pembelajaran yang menekankan keaktifan siswa pada setiap kegiatan pembelajaran.PAKEM singkatan dari Pembelajaran Aktif, Kreatif,Efektif, dan

Menyenangkan.Dengan adanya inovasi

pembelajaran ini, siswa diharapkan untuk lebih aktif dan kreatif dalam setiap kegiatan pembelajaran. Suasana pembelajaran PAKEM

yang menyenangkan, akan menciptakan

kepercayaan diri dari siswa dengan tidak merasa tegang dan pembelajaran yang berlangsung tidak terasa membosankan.

(6)

14

berbagai metode pembelajaran dengan mudah diperoleh melalui pemanfaatan ICT oleh guru dan siswa. Dalam proses pembelajaran ini tentu saja siswa menjadi pusat perhatian. Untuk mencapai pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan perlu usaha serius , karena dibutuhkan guru yang aktif dan kreatif pula.

3. Peran Serta Masyarakat (PSM)

Masyarakat adalah mitra sekolah yang dapat diandalkan. Masyarakat terkait langsung dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah, karena keberadaan sekolah ada di tengah -tengah masyarakat dan menjadi tujuan masyarakat sekitar untuk menuntut ilmu. Sekolah dan masyarakat harus selalu bersinergi untuk mewujudkan outcome sekolah yang berkualitas.Dukungan masyarakat kepada sekolah hendaknya bukan hanya bersifat material tapi juga dukungan moril seperti memberikan rasa aman kepada semua warga sekolah.

Peran serta masyarakat adalah ikut sertanya

seluruh anggota masyarakat dalam

memecahkan permasalahan - permasalahan

masyarakat tersebut.Dalam Manajemen

(7)

15

Berkaitan dengan peran serta masyarakat, Sediono dkk (2003) menyatakan , jenis peran serta masyarakat, termasuk orang tua/wali murid, dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah diklasifikasikan dari peran serta pada tingkatan yang terendah sampai tingkatan tertinggi, yaitu dari hanya sekedar menggunakan jasa pelayanan yang disediakan oleh sekolah sampai keikut-sertaannya dalam pengambilan keputusan pada berbagai jenjang. Lebih rinci, jenis peran serta masyarakat, termasuk orangtua/wali murid, dapat diklasifikasikan:

1. Peran serta pada tingkatan terendah adalah hanya menggunakan jasa pelayanan yang disediakan oleh sekolah, misalnya: masyarakat mau menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut.

2. Peran serta orangtua/wali murid dan masyarakat dengan cara memberikan kontribusi baik dana, bahan maupun tenaga, misalnya: membantu pembangunan gedung sekolah atau pengadaan fasilitas pendidikan yang lain, dengan dana, barang ataupun tenaga mereka.

3. Peran serta dalam bentuk menerima secara pasif apa yang telah diputuskan oleh pihak sekolah, atau sekolah bersama-sama dengan komite sekolah, misalnya: orangtua/wali murid menerima apa yang telah diputuskan oleh komite sekolah bersama-sama dengan sekolah mengenai besarnya iuran yang harus mereka bayar.

(8)

16

membahas mengenai masalah perbaikan

pembelajaran bersama dengan komite sekolah dan orangtua siswa.

5. Keterlibatan dalam memberikan pelayanan tertentu, misalnya: komite sekolah dan orangtua/wali murid mewakili sekolah bersama dengan Puskesmas setempat mengadakan penyuluhan kepada masyarakat mengenai masalah-masalah kesehatan dan gizi anak.

6. Keterlibatan sebagai pelaksana kegiatan yang didelegasikan oleh sekolah, misalnya: sekolah meminta bantuan kepada komite sekolah dan orangtua/wali murid tertentu untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat umum mengenai masalah-masalah pendidikan.

7. Peran serta dalam pengambilan keputusan, misalnya: orangtua/wali murid ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan mengenai rencana kegiatan atau program-program sekolah serta konsekuensi pendanaannya.

(9)

17

2.2 Komite Sekolah

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Dengan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan memberi tanggung jawab pada masyarakat akan penyelenggaraan dan keberhasilan pendidikan. Hal ini berarti dalam pengelolaan sekolah, Kepala Sekolah bekerja sama dengan masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan wadah yang dapat mewakili masyarakat untuk mengemban amanat tersebut. Wadah tersebut adalah Komite Sekolah.

Komite Sekolah dibentuk sebagai bagian dari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ). Pembentukannya berdasarkan Kepmendiknas No.044/U/ 2002 yang menyatakan bahwa, Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah. Berdasarkan pasal 1 poin 25 UUSPN

No.20/2003 dinyatakan bahwa Komite

(10)

18

Berkaitan dengan Komite Sekolah, UUSPN No. 20/2003 pasal 56 ayat (3) menyatakan bahwa Komite Sekolah/Madrasah, sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan.

Komite sekolah yang berkedudukan di setiap satuan pendidikan, merupakan badan mandiri yang tidak memiliki hubungan hierarkis dengan lembaga pemerintahan. Adapun tujuan komite sekolah yaitu: 1) mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan, 2) meningkatkan tanggung jawab dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, dan 3) menciptaan suasana dan kondisi transparansi, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (Tilaar, 2004: 84).

Agus Haryanto ( 2008 : 81 ) mengatakan bahwa tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:

1.Mewadahi dan menyalurkan aspirasi serta

prakarsa masyarakat dalam melahirkan

kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan,

(11)

19

3.Menciptakan suasana dan kondisi transparan,

akuntabel, dan demokratis dalam

penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah sebagai wadah dan tempat penyaluran aspirasi masyarakat guna meningkatkan tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan pendidikan.

Adapun fungsi Komite Sekolah, sebagai berikut:

1.Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen

masyarakat terhadap penyelenggaraan

pendidikan yang bermutu,

2.Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/ dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu,

3.Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.

Secara kontekstual, peran Komite Sekolah sebagai berikut :

1.Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan,

(12)

20

dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan,

3.Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, 4.Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan

masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).

Depdiknas ( 2001: 17 ) menguraikan tujuh peran Komite Sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni:

1.Membantu meningkatkan kelancaran

penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar di sekolah baik sarana, prasarana maupun teknis pendidikan,

2.Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan

berbangsa dan bernegara, pendidikan

pendahuluan bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni dan budaya,

3.Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu,

4.Melakukan penilaian sekolah untuk

(13)

21

manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa, dan karyawan,

5.Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah,

6.Melakukan pembahasan tentang usulan

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS),

7.Meminta sekolah agar mengadakan pertemuan untuk kepentingan tertentu.

Sementara itu Agus Haryono ( 2008 : 81 ), menjelaskan bahwa peran komite sekolah tidak dapat berdiri sendiri, melainkan peran yang saling terkait antara peran satu dengan peran lainnya. Peran tersebut adalah :

1. Pemberi pertimbangan ( advisoryagency )

Komite sekolah merupakan badan yang memberi pertimbangan kepada sekolah atau yayasan. Idealnya, sekolah dan yayasan pendidikan harus meminta pertimbangan kepada Komite Sekolah dalam merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan sekolah, termasuk juga dalam merumuskan visi, misi, dan tujuan sekolah. Ada visi, misi, dan tujuan sekolah yang bersifat given, tetapi ada yang harus dirumuskan bersama Komite Sekolah, seperti program unggulan apa saja yang ingin diterapkan oleh sekolah.

2. Pemberi dukungan ( supporting agency )

(14)

22

Sekolah seharusnya bukan pada aspek dana saja melainkan aspek lainnya, terutama berupa gagasan dalam rangka penyelenggaraan mutu pendidikan.

3. Melakukan pengawasan ( controlling agency )

Merupakan badan yang melaksanakan

pengawasan social kepada sekolah. Pengawasan ini tidak sebagai pengawas intruksional sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga

maupun badan pengawasan fungsional.

Pengawasan sosial yang dilakukan lebih memiliki implikasi soaial, dan lebih dilaksanakan secara preventif, seperti ketika sekolah menyusun RAPBS, atau ketika sekolah menyusun laporan pertanggungjawaban pada masyarakat.

4. Mediator

Komite sekolah memiliki peran sebagai mediator antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Keberadaan Komite Sekolah di lembaga pendidikan swasta akan menjadi tali pengikat ukhuwah antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Dengan demikian diharapkan akan menjadi kunci keberhasilan upaya peningkatan pendidikan.

(15)

23

1.Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:

a. kebijaka dan program pendidikan, b. RAPBS,

c. kriteria tenaga kependidikan, d. kriteria fasilitas pendidikan, dan

e. hal-hal yang terkait dengan pendidikan, 2.Menolong orang tua dan masyarakat untuk

berpartisipasi dalam pendidikan,

3.Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan,

4.Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen

masyarakat terhadap penyelenggaraan

pendidikan yang bermutu,

5.Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan,

6.Melakukan kerjasama dengan masyarakat.

Sementara itu Hasballah (2010:93) komite sekolah juga berfungsi dalam hal sebagai berikut:

1. mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen

masyarakat terhadap penyelenggaraan

pendidikan yang bermutu;

2. melakukan upaya kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu; 3. menampung dan menganalasis aspirasi, ide,

(16)

24

4. memberikan masukan, pertimbangan, dan

rekomendasi kepada satuan pendidikan

mengenai:

a. kebijakan dan program pendidikan;

b. Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah (RAPBS);

c. Kriteria kinerja satuan pendidikan;

d. Kriteria tenaga pendidik dan kependidikan; e. Kriteria fasilitas dan sarana pendidikan; f. Hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan;

5. mendorong orang tua dan masyarakat

berpartisipasi dalam pendidikan guna

mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan;

6. menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;

7. melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.

(17)

25

yang dikeluarkan oleh Depdiknas dan Kepmendiknas Nomor: 044/U/2002.

Dalam menjalankan kinerjanya tersebut, komite sekolah harus membuat program kerja sesuai dengan fungsi dan perannya. Selain itu, program yang disusun harus disesuaikan dengan kebutuhan sekolah dan pada akhirnya pelaksanaan program kerja komite sekolah tersebut harus dipertanggungjawabkankepada sekolah dan masyarakat.

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan dari kinerja komite tersebut, maka perlu diadakan evaluasi program dari komite sekolah.

(18)

26

2.3 Evaluasi

2.3.1 Pengertian Evaluasi Program

Evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu“evaluation” kemudian kata tersebut diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “evaluasi” yang berarti penilaian. Arikunto dan Jabar (2008) mengemukakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam sebuah keputusan. Melakukan evaluasi program adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mengetahui seberapa tinggi tingkat keberhasilan dari kegiatan yang direncanakan (Arikunto, 2009: 3).

Menurut Tyler (1950) yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2009: 5), evaluasi program adalah proses untuk mengetahui apakah tujuan pendidikan telah terealisasikan. Selanjutnya menurut Cronbach (1963) dan Stufflebeam (1971) yang dikutip oleh Arikunto dan Jabar (2009:5), evaluasi program adalah upaya menyediakan informasi untuk disampaikan kepada pengambil keputusan.

(19)

27

Adapun menurut Wirawan (2012: 17), Program adalah kegiatan atau aktivitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang terbatas. Kebijakan bersifat umum dan untuk merealisasikan kebijakan disusun berbagai jenis program. Semua program tersebut perlu dievaluasi untuk menentukan apakah layanan atau intervensinya telah mencapai tujuan yang ditetapkan. Evaluasi

program adalah metode sistematik untuk

mengumpulkan, menganalisis, dan memakai informasi untuk menjawab pertanyaan dasar mengenai program.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa evaluasi program merupakan proses pengumpulan data atau informasi yang ilmiah yang hasilnya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif kebijakan.

2.3.2 Fungsi dan Tujuan Evaluasi Program

Michael Scriven dalam Arikunto, (2007: 222-223) mengemukakan bahwa secara garis besar fungsi penelitian evaluasi dapat dibedakan menjadi dua yakni:

(20)

28

pemborosan yang mungkin akan terjadi, dapat dicegah.

b. Evaluasi sumatif dilangsungkan jika program kegiatan sudah betul-betul selesai dilaksanakan.

Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk

menentukan sejauh mana sesuatu program mempunyai nilai kemanfaatan, terutama jika dibandingkan dengan pelaksanaan program-program yang lain. Penilaian sumatif bermanfaat datanya bagi para pendidik yang akan mengadopsi program yang dievaluasi berkenaan dengan hasil, program atau prosedur.

Sedangkan menurut Tayipnapis (2008: 4): Evaluasi dapat mempunyai dua kegunaan, yaitu fungsi formatif dan fungsi sumatif. Fungsi formatif, evaluasi digunakan untuk perbaikan dan pengembangan kegiatan yang sedang berjalan (program, orang, produk, dsb). Fungsi sumatif, evaluasi digunakan untuk pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau

lanjutan.Jadi evaluasi hendaknya membantu

pengembangan, implementasi, kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari pihak yang terlibat.

(21)

29

Menurut Arikunto (2009: 18), evaluasi program

dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

pencapaian tujuan program dengan langkah

mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, dan ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen yang belum terlaksana dan apa sebabnya.

Dilihat dari tujuannya, yaitu ingin mengetahui kondisi sesuatu, maka evaluasi program dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk penelitian evaluatif. Oleh karena itu, dalam evaluasi program, pelaksana berfikir dan menentukan langkah bagaimana melaksanakan penelitian.

Adapun Wirawan (2012:22) menguraikan evaluasi dilaksanakan untuk mencapai berbagai tujuan

sesuai dengan objek evaluasinya. Tujuan

(22)

30

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian evaluasi mempunyai dua fungsi yaitu 1) Fungsi formatif, untuk pengumpulan data pada kegiatan yang sedang berjalan dan digunakan untuk perbaikan, pengembangan, dan modifikasi program. 2) Fungsi sumatif yang dilaksanakan setelah program selesasi dilaksanakan. Digunakan untuk pertanggungjawaban program dan penentuan sejauh mana kemanfaatan program. Penelitian evaluasi bertujuan untuk mengevaluasi komponen-komponen program dan program secara menyeluruh.

Menurut Arikunto dan Jabar (2009: 7),terdapat perbedaan yang mencolok antara penelitian dan evaluasi program adalahsebagai berikut:

a. Dalam kegiatan penelitian, peneliti ingin mengetahui gambaran tentang sesuatu kemudian hasilnya dideskripsikan, sedangkan dalam evaluasi program pelaksanan ingin mengetahui seberapa tinggi mutu atau kondisi sesuatu sebagai hasil pelaksanaan program, setelah datayang terkumpul dibandingkan dengan kriteria atau standar tertentu.

(23)

31

Menurut Sukardi (2014:7) agar evaluasi program tetap memiliki kebermaknaan dalam fungsinya, perlu memeliki prinsip penting, yaitu sebagai berikut :

1. Jujur merupakan prinsip pertama di mana para pihak yang terlibat perlu memberikan data, keterangan atau informasi sesuai dengan kenyataan dan dukungan dengan bukti fisik yang mendukung.

2. Objektif, yaitu para pihak yang terlibat perlu mendasarkan penilaian atas dasar informasi dan kriteria yang ada daan tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar informasi dan kriteria yang ada.

3. Tanggung jawab, yaitu para pihak yang terlibat memberikan data dan informasi yang benar dan nyata serta bisa diberikan alasannya secara rasional.

4. Transparansi, yaitu hasil evaluasi dapat dikomunikasikan untuk memperoleh hasil yang lebih baik bisa dipertanggunggugatkan.

(24)

32

2.3.3 Model Evaluasi CIPP

Terdapat beberapa model evaluasi sebagai strategi atau pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program,di antaranya adalah: (1) Model Evaluasi UCLA (2). Model evaluasi Brinkerhoff, (3) Fixed vs Emergant evaluation design, (4) Formatif vs Summative evaluation, (5) Desain eksperimental dan Quasi eksperimental vs Natural inquiry, (6) Model Evaluasi Stake, (7) Model Evaluasi CIPP.

Adapun penelitian ini menggunakan Model Evaluasi CIPP.

Model evaluasi CIPP adalah model evaluasi yang tujuannya untuk mengambil keputusan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan suatu program (Fuddin, 2007). Model CIPP merupakan singkatan (akronim) dari contect evaluation, input evaluation, process evaluation, dan product evaluation yang dikembangkan oleh Daniel Stufflebeam dan kawan-kawannya pada tahun 1968 di Ohio State University dan berorientasi pada pengambilan keputusan.

1.Context evaluation to serve planning decision.

(25)

33

sudah diidentifikasi (Edison, 2009). Mbulu (1994/1995: 62-63) evaluasi konteks meliputi:

a) analisis masalah/kebutuhan yang

berhubungan dengan lingkungan. Suatu kebutuhan dirumuskan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi yang ada sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut telah diidentifikasikan, maka langkah selanjutnya adalah:

b) menggambarkan secara jelas dan terperinci tujuan program yang akan memperkecil kesenjangan antara kondisi yang ada sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Dengan singkat dapat dikemukakan bahwa evaluasi konteks adalah evaluasi terhadap kebutuhan-kebutuhan, tujuan pemenuhan kebutuhan serta karakteristik individu yang melaksanakan evaluasi.

2.Input evaluation, structuring decision.

(26)

34

Singkatnya masukan (input) merupakan model yang digunakan untuk menentukan bagaimana cara agar penggunaan sumber daya yang ada bisa mencapai tujuan serta secara esensial memberikan informasi tentang apakah perlu mencari bantuan dari pihak lain atau tidak. Aspek input juga membantu menentukan prosedur dan desain untuk mengimplementasikan program.

3.Process evaluation, to serve implementing decision.

Evaluasi proses untuk membantu

(27)

35

untuk menilai apakah sebuah proyek relatif sukses/gagal (Edison, 2009).

4.Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk menolong keputusan selanjutnya. Apa hasil yang telah dicapai? Apa yang dilakukan setelah program berjalan? (Tayibnapis, 2008: 14). Edison (2009) evaluasi

produk mengakomodasi informasi untuk

meyakinkan dalam kondisi apa tujuan dapat dicapai dan juga untuk menentukan jika strategi yang berkaitan dengan prosedur dan metode yang diterapkan guna mencapai tujuan sebaiknya berhenti, modifikasi atau dilanjutkan dalam bentuk yang seperti sekarang. Evaluasi produk meliputi penentuan dan penilaian dampak umum dan khusus suatu program, mengukur dampak yang terantisipasi, mengidentifikasi dampak yang tak terantisipasi, memperkirakan kebaikan program serta mengukur efektifitas program. Fungsi dari evaluasi model CIPP adalah sebagai berikut:

1. Membantu penanggung jawab program tersebut

(pembuat kebijakan) dalam mengambil

keputusan apakah meneruskan, modifikasi, atau menghentikan program.

(28)

36

Daniel Stufflebeam dalam Wirawan (2012:94) mengembangkan 10 chek list sebagai panduan bagi evaluator, klien dan pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan Model Evaluasi CIPP. Fungsi dari ceck list untuk membantu para evaluator mengevaluasi program yang secara relatif mempunyai tujuan jangka panjang. Pertama, check list agar evaluator dapat menyelesaikan laporan evaluasi tepat waktu, jadi membantu kelompok evaluator untuk merencanakan,

melaksanakan, menginstitusionalisasikan,

melaksanakan layanan yang efektif kepada para penerima manfaat yang ditargetkan. Di samping itu, check list membantu untuk menelaah dan menilai sejarah program dan menyediakan alaporan evaluasi sumatif dan nilai serta manfaatnya secara signifikan.

Wirawan (2012:95) mengembangkan aktivitas evaluator dalam tiap tahap yaitu sebagai berikut :

1. Evaluasi konteks mengakses kebutuhan-kebutuhan, aset, dan problem-problem dalam lingkungan yang terdefinisi. Aktivitas evaluator pada tahap ini yaitu ; a) mengumpulkan dan mengakses kebutuhan informasi, latar belakang benefisiari yang dituju, dari sumber-sumber, b) mewawancarai para

pemimpin program untuk menelaah dan

(29)

37

kebutuhan benefisiari dan asset-aset potensial yang bermanfaat, e) ikut sertakan seseorang spesialis pengumpulan data, untuk memonitor dan merekam data mengenai lingkungan program, f) meminta staf program secara tetap informasi yang mereka kumpulkan, g) jika dianggap perlu mempersiapkan dan

menyampaikan kepada klien dan pemangku

kepentingan yang disepakati, suatu draf laporan mengemukakan kebutuhan-kebutuhan program yang berhubungan, asset-aset, dan problem-problem, bersama-sama dengan asesmen tujuan dan prioritas program, h) secara periodik atau bila perlu, mendiskusikan temuan-temuan evaluasi konteks sebagai balikan kepada klien, i) memfinalkan laporan-laporan evaluasi konteks dan alat-alat bantu visual dan menyediakannya kepada klien dan para pemangku kepentingan yang disepakati.

2. Evaluasi input atau masukan menjaring, menganalisis dan menilai mengenai strategi, rencana kerja dan anggaran berbagai pendekatan. Yang dilakukan evaluator adalah : a) mengidentifikasi dan meneliti program lain yang ada yang dapat dipergunakan sebagai model untuk program yang direncanakan, b) menilai strategi program yang diusulkan mengenai keresponden terhadap kebutuhan dan fasibilitasnya, c) menilai anggaran program untuk

menentukan kecukupannya dalam membiayai

pekerjaan yang dibutuhkan, d) menilai strategi program dengan penelitian dan literature yang berhubungan, e)

menilai manfaat strategi program dengan

(30)

38

dipergunakan dalam program yang serupa, f) menilai rencana kerja program dan menyusun skedul untuk kecukupan, feasbilitas, dan viabilitas, g) menyusun suatu draf laporan evaluasi masukan dan mengirimkan kepada klien dan pemangku kepentingan lainnya yang disepakati, h) mendiskusikan temuan-temuan evaluasi masukan dalam suatu lokakarya balikan, i)

memfinalkan laporan evaluasi masukan dan

menyampaikan kepada klien dan pemangku

kepentingan.

3. Evaluasi proses memonitor,

(31)

39

pemangku kepentingan yang disetujui, g)

mendiskusikan temuan evaluasi pengaruh (impack evaluation)dalam lokakarya balikan, h) memfinalisasi laporan evaluasi proses dan bantuan visual yang berkaitan dan disepakati para pemangku kepentingan.

Wirawan (2012: 92) menggambarkan bagan evaluasi CIPP sebagai berkut :

Gambar 2.1 Bagan Evaluasi CIPP

Sumber: Wirawan ( 2012:92)

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Model evaluasi untuk mengambil keputusan dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan suatu program dengan menggunakan evaluasi konteks, evaluasi masukan, evaluasi proses, dan evaluasi produk. Adapun penelitian ini,

menggunakan model CIPP karena dengan

(32)

40

menggunakan model ini akan diketahui keberhasilan program komite baik secara konteks, input, proses, serta produk. Selain itu Model CIPP juga mempunyai keunggulan dan kelemahan, keunggulannya yaitu :

1. Merupakan sistem kerja yang dinamis

2. Memiliki pendekatan yang bersifat holistik dalam proses evaluasinya yang bertujuan memberikan gambaran yang detail dan luas terhadap suatu proyek, mulai dari konteks hingga saat proses implementasinya.

3. Dapat melakukan perbaikan selama program berjalan maupun dapat memberikan informasi final.

4. Memiliki potensi untuk bergerak pada evaluasi formatif dan sumatif

5. Lebih komperenhensif dari model lainnya Sedangkan kelemahannya adalah :

1. Tidak terlalu mementingkan bagaimana proses seharusnya dari pada kenyataan yang sedang berlangsung.

2. Kurang adanya modifikasi juga berdampak pada tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.

3. Cenderung fokus pada rational management

daripada mengakui realita yang ada

4. Terkesan top down dengan sifat manajerial dalam pendekatannya

(33)

41

2.4. Kajian Empiris

(34)

42

dengan adanya dukungan materiil maupun non materiil dalam berbagai program peningkatan mutu sekolah.

Berbeda dengan Tina Rahmawati, M.Pd., penelitian yang dilakukan oleh Armansyahdengan judul

Peranan dan Pemberdayaan Komite Sekolah dalam Penyelenggaraan Pendidikan SMA Negeri di Kota Binjai,

menunjukkan bahwa, dalam pelaksanaan perannya hanya sebagai pemberi pertimbangan dan pengawasan yang lebih utama, sedang peran lainnya sebagai

pendukung dan mediator belum sepenuhnya

terlaksana. Adapun dalam dukungan dana belum berhasil sepenuhnya, karena baru mendapatkan dukungan dana dari wali murid melalui iuran komite, sedang dana dari masyarakat sekitar seperti dari dunia usaha maupun masyarakat yang peduli akan pendidikan belum berhasil.

Penelitian yang serupa juga dilakukan oleh Zulkifli Matondang dengan Judul Pemberdayaan Komite Sekolah dalam Meningkatkan KualitasManajemen Sekolah di Kota Tebing Tinggi.

(35)

43

peran dan fungsinya dalam mendukung program sekolah, dan masih sedikit yang memiliki AD/ART.

Penelitian serupa juga dilaksanakan di Nigeria dalam jurnal pendidikan yang diterbitkan oleh Canadian Pusat Sains dan Pendidikan dengan judulA Conceptual Model for School-Based Management Operation and Quality Assurance in Nigerian Secondary Schools oleh Adeolu Joshua Ayeni1 & Williams Olusola Ibukun. Model konseptual untuk operasi manajemen berbasis sekolah dan jaminan kualitas sekolah menengah di Nigeria, dikatakan bahwa:

Effective school-based management committee is the engine room for school and community partnership and vital for school effectiveness and students’ success, while the challenges that teachers and principals faced in the tasks of instructional performance and supervision require strong political will to stimulate desired commitment and goal-oriented partnership between the school and other stakeholders for optimal resource inputs, organization, utilization and management of learning facilities to maximize the quality of teaching and improve the standard of students’ learning outcome in Nigerian secondary schools.

(36)

44

Selain di Nigeria, di Zimbabwe juga dilakukan penelitian serupa oleh Joyce Nyandoro, John Mapfumo, Richard Makonidengan judul Effectiveness of School Development Committees in Financial Management in Chimanimani West Circuit Primary Schools in Zimbabwe

Dalam penelitian tersebut dikatakan :

Three issues have emerged from the research. The first school building Committee some in Chimanimani West circuits operated without statutory instrument 1992 87. The second failure to comply with statutory instrument 1992 87 of those who have received because of a lack of understanding about its content by most school Development Committee. The third failure by the community to build effective school development Committees that can raise funds from a variety of sources.

The Ministry of education, arts, sports and culture through team supervisors ensure that the school building Committee understand policy Circulars of the Department through some training prior to implementation of the policy, by making a policy developed a guidebook for school building Committee. The handbook should include issues such as how to source, use and conserve resources for schools and how to build effective school Development Committee.

(37)

45

the various States of the Committee on the development of the school.

Tiga masalah telah muncul dari penelitian. Pertama beberapa Komite pembangunan sekolah di Chimanimani West sirkuit dioperasikan tanpa 87 instrumen perundang-undangan 1992. Kedua kegagalan untuk mematuhi 87 instrumen perundang-undangan 1992 mereka yang telah mendapat karena kurangnya pemahaman tentang isinya oleh kebanyakan Komite pengembangan sekolah. Ketiga kegagalan oleh masyarakat untuk membangun efektif Komite pengembangan sekolah yang dapat mengumpulkan dana dari berbagai sumber.

Departemen Pendidikan, seni, Olahraga dan Kebudayaan melalui tim pengawas memastikan bahwa Komite pembangunan sekolah memahami kebijakan Surat Edaran dari Departemen melalui

beberapa pelatihan sebelum pelaksanaan

kebijakan, dengan membuat kebijakan

mengembangkan sebuah buku pedoman untuk Komite pembangunan sekolah. Buku pegangan

harus mencakup masalah-masalah seperti

bagaimana sumber, menggunakan dan

melestarikan sumber daya untuk sekolah-sekolah dan bagaimana membangun efektif Komite pengembangan sekolah.

Komite pengembangan sekolah harus bekerja sebagai cluster dan menjadi organisasi belajar, berbagi ide-ide pada tingkat yang sama dari kesulitan dan strategise pengembangan organisasi-organisasi Non-pemerintah yang seperti SNV, Program lebih sekolah di Zimbabwe dan orang lain yang bekerjasama dengan Departemen Pendidikan, seni, olahraga dan budaya ekonomi menggunakan usaha mereka, waktu dan dana oleh mencakup semua orang tua/wali termasuk para setiap kali mereka mengatur mereka lokakarya/seminar untuk memastikan mereka semua akrab dengan peran mereka sebagai orang tua dan juga sebagai Komite pengembangan sekolah masa depan.

Peneliti cukup pasti bahwa ini mungkin membantu

pemerintah untuk meningkatkan efektivitas

(38)

46

Dari penelitian di atas dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilakukan adalah penelitian tentang kinerja atau peran komite sekolah dalam pelaksanaan MBS dapat membantu efektifitas sekolah dalam mencapai keberhasilan siswa. Sedangkan penelitian tentang evaluasi program komite sekolah masih belum dilaksanakan. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk melakukan penelitian tentang evaluasi program partisipasi masyarakat melalui komite sekolah dengan tujuan apakah program-program yang telah disusun komite sekolah khususnya di SD Negeri 2 Purbosari sejauh mana telah dilaksanakan.

2.5. Kerangka Berfikir

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.

(39)

47

Masyarakat yang diwakili komite sekolah. Dalam kinerjanya komite sekolah dituntut membuat program kerja sesuai denga peran dan fungsinya dengan memperhatikan kebutuhan sekolah.

Untuk mengetahui sejauh mana program partisipasi masyarakat lewat Komite Sekolah di SD Negeri 2 Purbosari telah terlaksana, maka perlu dilakukan evaluasi. Dalam penelitian ini evaluasi program menggunakan Model Evaluasi CIPP.

Adapun Kerangka Pikir penelitian ini dapat dilihat pada diagram di bawah ini:

Gambar 2.2 KERANGKA PIKIR

Partisipasi Masyarakat Melalui

Komite Sekolah

Program Komite Sekolah

Diper baiki Dilan

jutkan Diha pus

MBS

Evaluasi

CIPP Pendidikan

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Evaluasi CIPP
Gambar 2.2 KERANGKA PIKIR

Referensi

Dokumen terkait

vertigo adalah setiap gerakan atau rasa gerakan tubuh penderita atau objek-.. objek disekitar penderita yang bersangkutan dengan gangguan

Kesehatan sangat di pengruhi oleh lingkungan bersih jika lingkungan kotor akan timbulkan penyakit yg melebar. Nama :Elvana Amelia NO,Absen:4

Dalam bagian yang membicarakan pemikiran Marx tentang India, berseberangan dengan gosip yang beredar dari tafsir atas kutipan Manifesto Komunis 1848 bahwa Marx seorang

Dengan demikian pemberian seduhan kopi dapat meningkatkan kadar VEGF, yang selanjutnya dapat meningkatkan jumlah osteoklas dan resorpsi tulang serta meningkatkan jumlah

4. Saudara sekalian tahu bahwa, karena sebab² jang sekarang tidak perlu saja terangkan, produksi kapitalis bergerak melalui cyclus periodik tertentu. Ia bergerak melalui keadaan

Ada pula protozoa yang tidak bersifat parasit yang hidup di dalam usus Ada pula protozoa yang tidak bersifat parasit yang hidup di dalam usus termit atau di dalam.. termit atau

Prodi PGMI Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam mempertahankan komitmenya untuk memajukan kualitas lulusanya selalu berusaha memperbaruai dan mengupdate berbagai

2) menjadikan Wakatobi menjadi daerah tujuan wisata bahari dengan fasilitas yang tidak merusak terumbu karang 3) melestarikan terumbu karang dengan melarang siapapun menjamah