UPAYA PENANGGULANGAN PROSTITUSI (Studi di Polresta Bandar Lampung)
Juli Ardila, Heni Siswanto, Rini Fathonah (Email: juliardila@rocketmail.com)
Abstrak
Prostitusi merupakan bentuk penyimpangan hubungan seksual, yaitu suatu perbuatan yang sifatnya anti sosial karena melanggar norma kesusilaan, norma kesopanan, norma adat dan norma agama karena prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya yang dilakukan Kepolisian dalam penanggulangan prostitusi di Kota Bandar Lampung dan apakah faktor yang menghambat pihak Kepolisian dalam upaya penanggulangan prostitusi tersebut. Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa upaya Kepolisian dalam penanggulangan prostitusi dengan langkah represif dan preventif. Langkah represif yang dilakukan dalam penanggulangan prostitusi di Kota Bandar Lampung, yaitu berupa razia Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) sebagai penanggulangan prostitusi yang ada di Kota Bandar Lampung. Dan langkah preventif yaitu dengan mengadakan sosialisasi kepada tokoh-tokoh masyarakat tentang praktik prostitusi yang ada di kota Bandar lampung melalui bimbingan, pengarahan dan ajakan. Faktor - faktor penghambat upaya Kepolisian dalam penanggulangan prostitusi adalah faktor hukum itu sendiri, bila kita lihat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang berhubungan langsung dengan PSK nya melainkan hanya Mucikari nya saja.
selain itu faktor- faktor lain berpengaruh seperti adanya oknum aparat yang ikut terlibat dalam pelacuran tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan diadakannya suatu razia, kurangnya kesadaran masyarakat yang mencari keuntungan dari prostitusi tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur dengan melindungi dan menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.
Kata Kunci : Upaya, Kepolisian, Penanggulangan Prostitusi
PROSTITUTION COMBAT (A Study in Polresta Bandar Lampung)
Juli Ardila, Heni Siswanto, Rini Fathonah (Email: juliardila@rocketmail.com)
Abstract
Prostitution is a form of sexual deviation, which is an act of anti-social because it violates the norms of obscenity, norms of decency, traditional norms and religious norms as it is also a form of society disease. The problem in this research are formulated as follows: how is the efforts of Police officers in combating prostitution in Bandar Lampung ? and what obstacles are there in fighting against prostitution? The approach used in this research are normative juridical and empirical jurisdiction. The result showed that there were two kinds of efforts done by the Police officers in combating prostitution; preventive and repressive ways.
The preventive way was carried out by conducting the Operation on Society Disease (Pekat), however not by the application of criminal law (Criminal Code) because there was no such single article regulated the business of prostitution.
There were several factors that hinder the efforts in combating the prostitution, such as: the legal factor which means no article found in the book of Criminal Code which regulates specifically on the matters of prostitution, some police personnel who involved in the prostitution disclose the information of the upcoming raid, and lack of public awareness about the danger of the business – the society wants to get profit from the business by providing safety to the prostitutes and even renting their houses and lands as brothels but they hide them from publication.
Keywords: efforts, police officers, prostitution combat
I. PENDAHULUAN
Pada era modernisasi dan Globalisasi yang sangat mewarnai kehidupan sosial masyarakat baik di Negara maju maupun di Negara berkembang, di daerah metropolitan dan di daerah pedesaan, melahirkan berbagai dampak, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.1 Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. Sedangkan menurut istilah, prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang memakai jasa seksualnya tersebut.2
Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kala telah ditemukan prostitusi atau pelacuran ini, ambil contoh kecilnya pada zaman Nabi Muhammad SAW saja prostitusi ini telah ada dan menjadi suatu permasalahan yang pada saat itu menjadi gambaran masyarakat pada zaman tersebut.
Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang tidak bisa dihapus atau dimusnahkan dari kehidupan kita.
Karena banyak faktor pendukung untuk terjadinya prostitusi mulai dari
Patologi sosial, penerbit Raja grafindo graha, jakarta 1999, hlm 110
faktor keluarga yang bisa dikatakan keluarga gagal, maksud gagal disini adalah Broken Home dimana ada banyak permasalahan yang timbul dari Broken Home tersebut mulai dari cacat mental, cacat adab prilaku, sehingga seseorang yang mengalami masalah ini merasa ingin melakukan segala sesuatu sesuai kehendak hatinya sebagai luapan emosi atau hanya sekedar ingin memuaskan dirinya, atau ada juga akibat faktor lingkungan. Disini lingkungan memegang andil sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, walaupun keluarga merupakan faktor pembentuk kepribadian yang utama tetapi tidak menutup kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan kepribadian seseorang, selain itu juga ada faktor pengaruh ekonomi dimana seorang yang berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, dan masih banyak lagi faktor- faktor yang mendukung terjadinya prostitusi atau pelacuran itu tercipta.
Walaupun demikian kecaman dari segala aspek terhadap prostitusi telah cukup untuk memberikan peringatan keras terhadap para pelaku prostitusi, namun nampaknya hal tersebut tidak ada respon sedikitpun dari para pelaku prostitusi yang ada prostitusi semakin marak dalam kehidupan kita sekarang tidak mengenal kota ataupun desa sepertinya hal tersebut bukanlah hal tabu lagi untuk di bicarakan.3
Permasalan PSK tidak hanya dilatarbelakangi oleh masyarakat pedesaan yang masih polos sehingga mudah terbujuk rayu calo prostitusi.
Zaman yang semakin canggih ini dan bekal ilmu agama yang rendah serta keluarga yang rapuh ikut mendorong berkembangnya praktik prostitusi ini.
Remaja secara disadari maupun tidak dapat terkena imbas dari globalisasi yang negatif, terutama bila tumbuh kembangnya tidak diimbangi dengan perhatian dan bimbingan orang tua.
Zaman yang semakin modern seperti tersedianya koneksi internet yang mudah, murah dan gampang diakses, handphone yang berkamera yang banyak disalahgunakan untuk menyimpan dan menyebarkan foto maupun video panas membuat remaja lebih cepat matang secara seksual dan kemudian berusaha mencari penyaluran dengan jalan yang salah.
Dorongan seks yang tinggi dan belum waktunya terutama akibat rangsangan dari luar seperti yang telah dijelaskan di atas, kemudian majalah dan situs porno, film biru, terlibat pergaulan bebas, gaya pacaran yang melampaui batas, akan mendukung terhadap terburuknya jalan prostitusi apabila tidak ditangani dengan benar.
Remaja dengan rasa ingin tahunya yang tinggi mulai mencoba mencari tahu, selanjutnya perlahan ia merasa butuh akan penyaluran seks. Apabila kecanduan dan lepas kontrol, ia akan mulai masuk ke dalam dunia prostitusi seperti di Bandung ada istilah Gongli atau bagong lieur artinya babi mabuk, merupakan potret buram dari remaja yang marak
melakukan seks bebas berdasarkan kepuasan semata.4
Banyak Negara-negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia pertama sehingga dunia ini akan kiamat nantinya, “mata pencaharian”
pelacuran ini akan tetap ada, sukar, bahkan hampir-hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi, selama masih ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati nurani.
Timbulnya masalah pelacuran sebagai gejala patologis yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan diberlakukannya norma-norma perkawinan, memang harus diketahui bahwa prostitusi/pelacuran adalah kisah lama yang membayangi kehidupan manusia. Sejak jaman dahulu hingga sekarang ini, prostitusi/pelacuran seperti tidak terlepas dari kehidupan manusia.
Prostitusi diibaratkan sebagai bayangan hitam kehidupan manusia.
Prostitusi/pelacuran merupakan salah satu bentuk penyakit dan harus dihentikan penyebarannya, tanpa harus mengabaikan pencegahannya dan perbaikannya.
Modernisasi dan globalisasi dewasa ini memacu tingkat perkembangan prostitusi/pelacuran ditengah- tengah masyarakat, tidak hanya orang dewasa saja yang terlibat dalam dunia prostitusi, tetapi juga telah melibatkan semua kalangan bahkan secara ekstrim dapat dikatakan telah
menjebak dunia remaja dan anak- anak dengan tingkat penyebaran dan perkembangan yang sangat tinggi.
Semakin merebaknya kehidupan dunia prostitusi di Indonesia mungkin disebabkan oleh kurang jelasnya aturan hukum yang
mengatur tentang
prostitusi/pelacuran, khususnya tentang para Pekerja Seks Komersial (PSK) tersebut, dalam KUHP Indonesia tidak diatur dengan jelas mengenai prostitusi dan Pekerja Seks Komersial (PSK). Sementara itu kehidupan prostitusi sangat identik dengan peredaran narkoba dan penyebaran penyakit kelamin yang berbahaya bahkan tidak ada obatnya, seperti HIV/AIDS. Hal ini merupakan keadaan yang sangat
berbahaya yang dapat
menghancurkan generasi muda bangsa ini, jika hal tersebut dibiarkan tanpa adanya upaya penyelesaian yang tepat, maka dapat menjadi bom waktu yang kapan saja dapat meledak dan benar- benar menghancurkan bangsa ini, sebab generasi muda saat ini adalah tulang punggung kehidupan bangsa ini.
Memang hal ini telah menjadi perhatian dunia, termasuk Pemerintah Indonesia. Banyak usaha yang telah dilakukan Pemerintah untuk menekan prostitusi, seperti lokalisasi, penertiban para Pekerja Seks Komersial (PSK) dan lain sebagainya. Namun hal ini sepertinya tidak memberikan hasil yang maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah Indonesia mencoba mengatasi perkembangan prostitusi dengan cara membina Pekerja Seks Komersial (PSK) yang berhasil dijaring sebagai salah satu upaya penanggulangan kejahatan
tanpa pemidanaan. Seperti diketahui bahwa pembinaan merupakan elemen penting dalam menyadarkan pelaku atas perbuatannya yang salah dan merubah mental pelaku agar menjadi lebih baik dan lebih siap untuk hidup secara benar di tengah- tengah masyarakat dengan keterampilan-keterampilan yang memadai sebagai modal dalam mempertahankan kehidupannya.
Begitu juga halnya dengan prostitusi yang terjadi di Kota Bandar Lampung yang semakin lama semakin meningkat dan sangat meresahkan masyarakat perlu dapat mendapat perhatian yang serius, Muzarin Daud5 Kepala Bidang Pelayanan dan Rehab Dinsos Kota Bandar Lampung menyatakan, beberapa kejadian selama periode juni 2014, tercatat jumlah kasus pelacuran di kota Bandarlampung tersebut sebanyak 84 kasus diantaranya menimpa anak/remaja. Dan pada Tahun 2016 ini bertambah menjadi 156 kasus, peningkatan yang cukup tinggi ujarnya. Angka tersebut berdasarkan hasil wawancara di Dinas Sosial Kota Bandar Lampung. Yang menjadi pemicu awal memasuki dunia prostitusi di kota bandarlampung.
Diantaranya dikarenakan, pemerkosaan yang dialami oleh keluarga dekatnya, pergaulan bebas yang berujung pada hubungan intim dengan pacar, faktor ekonomi juga yang menjadi faktor yang memotifasi memasuki dunia prostitusi dan juga traffiking yang dilakukan keluarga atau orang dewasa. Namun demikian, faktor utama ialah kemiskinan.
Rendahnya akses mereka terhadap
5 Hasil wawancara dengan Muzarin Daud, Kepala Bidang Pelayanan dan Rehab Dinsos Kota Bandar Lampung, Senin 1 Mei 2016
pendidikan dan kurangnya ketersediaan fasilitas yang menunjang bakat mereka. Selanjutnya, pada prilaku sosial yang hedonis dan konsumtif sebagai arus balik modernisme yang telah mendorong mereka ingin memperoleh kehidupan yang layak secara instan.
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimanakah upaya
kepolisian dalam
penanggulangan prostitusi di Kota Bandar Lampung?
2. Apakah Faktor- faktor yang
menghambat Pihak
Kepolisian dalam upaya penanggulangan prostitusi di Kota Bandar Lampung?
Metode sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian agar dapat bermanfaat dan berhasil guna untuk dapat memecahkan masalah yang akan dibahas berdasarkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Metode adalah cara kerja untuk memahami objek yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian dalam sebuah penyelesaian masalah.6
Dalam penelitian ini penulis melakukan dua hal pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan Yuridis Normatif Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan penulis dalam usaha mencari kebenaran dengan melihat asas-asas yang terdapat dalam berbagai peraturan undang-undang terutama yang
6Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta,UI-Press, 1986,hlm.5.
berhubungan dengan Pasal 285 KUHP.Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang- Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2. Pendekatan Yuridis Empiris Pendekatan yuridis empiris yaitu menelaah hukum sebagai pola perilaku yang ditunjukkan pada penerapan peraturan hukum Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi-informasi di lapangan yang ditujukan kepada penerapan visum et reepertum pada tahap penyidikan. Penggunaan kedua macam pendekatan tersebut dilakukan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian guna penulisan skripsi ini.
II. PEMBAHASAN
A. Upaya Kepolisian dalam Penanggulangan Prostitusi di Kota Bandar Lampung
Eksistensi Kepolisian adalah lakon yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh POLRI didasarkan atas asas Legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh27.
27 Skripsi Johan Andreas S. Peranan kepolisian dalam pemberantasan minuman keras
Kasus prostitusi di Bandar Lampung, perdagangan orang terutama perempuan sering dijadikan sebagai sarana memperkaya diri sendiri.
Biasanya, perdagangan perempuan lebih kearah prakter- praktek prostitusi dan tuna susila yang dilakukan oleh mucikari. Pengertian mucikari menurut ketentuan Pasal 1 peraturan Daerah Kota Bandar Lampung Nomor 15 Tahun 2002 tentang Larangan Perbuatan Prostitusi dan Tuna Susila dalam Wilayah Kota Bandar Lampung, adalah orang laki- laki atau perempuan dengan memelihara pelacur wanita.
Hukum yang mengatur tentang prostitusi atau pelacuran khususnya di Indonesia memang secara jelas tidak ada tetapi disini dapat dilihat pengertian mucikari secara yuridis yaitu seorang lelaki atau perempuan yang melakukan perbuatan menyediakan fasilitas dan menjadikan dirinya perantara cabul sebagai kebiasaan atau mata pencaharian, juga mengambil untung dari bisnis prostitusi. Perbuatan yang dilakukan oleh mucikari tersebut adalah perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Pidana.
Adapun pasal yang dapat dikenakan kepada seorang mucikari adalah Pasal 296 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana, pada Pasal 296 KUHP berhubungan dengan orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul. Ia sering menjadi perantara untuk makelar cabul.
Mucikari adalah sebagai orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukanya sebagai mata
(miras) di wilayah hukum Polsek Medan kota. Fakultas Hukum USU. 2006
pencaharian tetap. Sehingga memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum.
Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga berkaitan erat dengan masalah praktik prostitusi karena dalam hal tersebut timbul suatu praktek jual beli orang sebagai objek yang diperdagangkan sebagai pemuas nafsu para lelaki hidung belang.
Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan ahir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat28.
Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan ahir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan pereturan perundang- undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.
G.P Hoefnagles yang dikutip oleh Barda Nawawi29. Penanggulangan kejahatan ditetapkan dengan cara :
1. Penerapan hukum pidana Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung, hlm 2
29 Ibid hlm :48
2. Pencegahan tanpa pidana 3. Mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa.
Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya- upaya lain diluar hukum pidana ( non- penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Di samping ini, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali dengan berbagai potensi yang ada didalam masyarakat itu sendiri.
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanaan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum ,perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas dan wewenang Kepolisian dalam hal menanggulangi praktik prostitusi maknanya tertuang dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan30.
Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No.
2 Tahun 2002 disebutkan31 :
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
30 Sutarto. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta.
2002. Hlm. 26
31Abdulssalam, H. R. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung, Jakarta. 2009. hlm. 88
Pasal 13 dan Pasal 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum
3. Mencegah dan
menanggulangi timbulnya penyakit masyarakat
4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa
5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dan lingkup kewenangan administratif Kepolisian
6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan Kepolisian dalam rangka pencegahan
7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian
1. Mengambil sidik jari dan identitas lainya serta memotret seseorang
2. Mencari keterangan dan barang bukti
3. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional 4. Mengeluarkan surat dan/atau
surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat
5. Memberikan bantuan pengamanan dalam siding dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat
6. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu
Memperhatikan perincian tugas dan wewenang kepolisian seperti telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas kepolisian dibidang penegakan hukum, yaitu :
1. Penegakan hukum dibidang peradilan
2. Penegakan hukum dengan sarana non penal
Tugas penegakan hukum dibidang peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas kepolisian, sebagai tugas kepolisian justru terletak diluar penegakan hukum pidana (non-penal). Tugas Kepolisian di bidang peradilan pidana hanya terbatas dibidang penyelidikan dan penyidikan, tugas lainya tidak secara langsung berkaitan dengan hukum pidana walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidananya32. Misalnya, tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit- penyakit masyarakat, memelihara keselamatan, perlindungan dan penolongan kepada masyarakat dan penanggulangan praktek prostitusi, mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas.
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan cara
32 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung. 2001. Hlm. 22
mengadakan kegiatan operasi rutin dan operasi khusus33, yaitu :
1. Upaya Represif
Upaya penegakan hukum yang dilakukan untuk memberantas kejahatan setelah kejahatan tersebut terjadi.
2. Upaya Preventif
Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan untuk mencegah sebelum terjadinya kejahatan dengan mempersempit kesempatan.
3. Upaya Pre-Emptif
Upaya yang dilakukan untuk menghilangkan penyebab kejahatan. Upaya ini
dilakukan untuk
menghilangkan faktor penyebab yang terjadi pendorong terjadinya kejahatan tersebut.
4. Operasi Khusus
Operasi khusus adalah operasi yang akan diterapkan khusus untuk menghadapi masa rawan yang diprediksi dalam kalender baru kerawanan kantibnas berdasarkan pencatatan data tahun-tahun silam.
Dasar hukum penanggulangan praktek prostitusi tanpa pemidanaan adapun yang dijadikan dasar hukum
33 Susanto, F. Anton. 2004. Kepolisian dalam upaya Penegakan Hukum
diindonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm.
110
upaya penanggulangan kejahatan prostitusi tanpa pemidanaan adalah :
1. Mengingat selama ini para sarjana menganggap bahwa prostitusi tidak diatur dengan tegas di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP), maka sesuai dengan Pasal 1 ayat (1) yaitu, asas Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lage Poenalli bahwa tidak satu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketetntuan pidana dalam Undang- Undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Oleh karena itu, maka kejahatan prostitusi tidak dapat dipidana
2. Upaya – upaya penanggulangan kejahatan dengan tanpa pemidanaan merupakan salah satu bentuk dari politik hukum pidana yang diambil guna mencegah terjadinya kejahatan dengan mengadakan tindakan – tindaka preventif untuk menanggulangi praktek prostitusi, salah satu dengan menggunakan rehabilitasi PSK tersebut di panti sosial.
Dasar hukum upaya rehabilitasi tersebut adalah :
1. Undang- Undang Dasar tahun 1945 Pasal 27 ayat (2), yaitu tiap- tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaa, dan Pasal 34 tentang fakir miskin dan
anak- anak terlantar dipelihara oleh Negara
2. Undang- Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1974, tentang Ketentuan- ketentuan pokok Kesejahteraan Sosial 3. Undang- Undang Republik
Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
4. Undang- Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
5. Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2002 tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual, Komersial seksual, Perempuan dan Anak
6. Keputusan Mentri Sosial No.
20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi sosial penyandang tuna susila 7. Keputusan Mentri Sosial No.
22/HUK/1995 tentang struktur organisasi dan tata kerja panti.
Pemberantasan praktik prostitusi, Polisi adalah sebagai penegak hukum yang umumnya diharapkan oleh masyarakat sebagai fungsi Polisi adalah untuk menegakkan hukum pidana khususnya dalam masalah prostitusi.
Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra34 menyatakan langkah- langkah yang dilakukan dalam penanggulangan praktek- praktek prostitusi di Bandar Lampung yaitu dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan
34 Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta Bandar Lampung. Kamis 28 April 2016.
pelacuran tersebut, yaitu dengan mengadakan penyuluhan mengenai penanggulangan prostitusi.
Penyuluhan diberikan kepada tokoh- tokoh masyarakat, pemuda karang taruna, ibu-ibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang menjadi lokasi pelacuran.
Selanjutnya tindakan yang tergolong sebagai langkah refresif yaitu melakukan tindakan terhadap penanggulangan pelacuran yang ada di kota Bandar Lampung tidak dengan hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas, bahwa tidak ada Pasal- Pasal yang berhubungan langsung dengan PSK, melainkan hanya pada mucikarinya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana.
Depati Riki Yoswandi35 menambahkan langkah- langkah refresif lainnya terhadap penanggulangan prostitusi yang dilakukan oleh Tim Penertiban meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
1. Mengidentifikasikan lokasi pelacuran dan personal pelacurnya sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada waktu identifikasi ini kalau dipandang perlu, petugas- petugas kadang- kadang melakukan penyamaran, dengan mendatangi lokasi-
35 Hasil wawancara dengan Depati Riki Yoswandi, Anggota Unit Pembinaan Ketertiban Masyarakat
(Unitbintibmas) Polresta Bandar Lampung. Jum’at 29 April 2016
lokasi pelacuran untuk mengetahui secara jelas.
2. Apabila lokasi dan pelacurnya maupun germonya telah dapat diidentifikasikan, maka kemudian dilakukan razia siang maupun malam hari.
3. Mereka yang terjaring diseleksi secara ketat dengan menanyakan KTP atau identitas diri, pekerjaan dan asal-usulnya. Selanjutnya para pelacur dikumpulkan pada rumah penampungan (rumah pembinaan mental) yang letaknya di Kantor Dinas Ketentraman dan Ketertiban.
4. Para pelacur yang telah terkumpul kemudian dibuatkan biodatanya, difoto dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Selain itu mereka juga membuat pernyataan bersedia direhabilitasi atau dibina selama pandang perlu.
5. Kemudian mereka di adili oleh pengadilan, termasuk para mucikarinya.
Depati Riki Yoswandi36 menambahkan, Kepolisian merupakan lembaga yang aktif dalam menanggulangi masalah prostitusi yang ada di wilayah hukum Kota Bandar Lampung. Kebijakan Kepolisian untuk menanggulangi prostitusi tersebut sebagai berikut :
Hasil wawancara dengan Depati Riki Yoswandi, AnggotaUnit Pembinaan Ketertiban
Masyarakat (Unitbintibmas) Polresta Bandar Lampung. Jum’at 29 April 2016
1. Digiatkan operasi cipta kamtibmas dengan sandi
“operasi pekat” atau penyakit masyarakat termasuk di dalamnya
miras,judi,pelacuran dan premanisme.
2. Khusus prostitusi, pihak pihak kepolisian sering mengadakan razia kepolisian ke tempat- tempat yang disinyalir sebagai tempat praktek prostitusi, seperti Hotel,Salon, Tempat Karaoke, Panti Pijat dsb.
3. Melakukan penyuluhan dengan dinas sosial
4. Menindak para pelaku penyedia jasa layanan PSK (Mucikari) dan tempat- tempat penyedia sarana prasarana prostitusi.
Weli Dwi Saputra37 menyatakan upaya yang dilakukan pihak kepolisian di dalam menanggulangi praktek prostitusi yang ada di Bandar Lampung ini dengan mengadakan
“Operasi Pekat atau Operasi Penyakit Masyarakat” dengan kerjasama kepolisian dan ijin pemerintah setempat, operasi yang baru saja dilakukan adalah pada tanggal 27 Juli 2014 dengan mengandalkan kekuatan 15 personil dari kepolisian Resort Kota Bandar Lampung kegiatan operasi Pekat III Krakatau Tahun 2014 dengan sarana kegiatan prostitusi pada lokalisasi Pantai Harapan, Kp. Rawa Laut, Kel.
Panjang Selatan, Kec. Panjang, Lapangan Korpri, daerah saburai, jalan-jalan daerah Antasari kemudian
37 Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta
BandarLampung. Kamis 28 April 2016.
daerah teluk salon Arnes. Hasil dari razia yang dicapai setidaknya kurang lebih 16 PSK terjaring dalam razia tersebut, masing- masing yang terjerat dalam operasi pekat merupakan penduduk dari Kp. Rawa Laut yang selanjutnya dibawa ke markas Polresta Bandar Lampung untuk diperiksa dan diberikan pengarahan.
Upaya ini merupakan razia untuk memberikan peringatan dan arahan kepada para PSK yang berhasil dirazia dan diberi peringatan dengan ancaman akan diusir dari Kota Bandar Lampung apabila masih terlibat dalam praktek- praktek prostitusi sangat berpengaruh terhadap perkembangan para pelacur yang berkeliaran bebas ditengah- tengah masyarakat, sehingga mereka takut berkeliaran bebas dan hal ini tentunya agar tidak terpengaruh terhadap pergaulan anak- anak muda.
Operasi ini ditujukan untuk menertibkan , mengamankan dan melakukan pembersihan pelacuran yang ada dijalan- jalan wilayah Kota Bandar Lampung. Setelah dilakukan penertiban tersebut, Para Pekerja Seks Komersial yang terjaring operasi ini diamankan oleh polisi.
Kemudian dengan bantuan sat pol PP dan Dinas Sosial, para pekerja seks komersial tersebut dikirim ke Dinas Sosial, agar nantinya para PSK yang terjaring tersebut untuk diberikan pembinaan, pelatihan dan keterampilan.
Khususnya mengenai praktek
prostitusi strategi
penanggulangannya dilakukan dari diri individu sendiri,keluarga,RT dan RW,sekolah, lembaga keagamaan,
organisasi kemasyarakatan. Tujuan utamanya tentulah untuk menghindari kemungkinan peningkatan jumlah PSK.
Kebijaksanaan yang tepat adalah tidak mengandalkan pada pemidanaan saja.
Weli Dwi Saputra38 menambahkan PSK tidak akan mungkin dapat dihukum namun hanya dapat dirazia kemudian dibina dan dibimbing, yang dapat dipidana hanyalah orang
yang mempermudah
dilaksanakannya praktek prostitusi, misalnya menyediakan tempat dan sebagainya (germo). Masalah kejahatan, khususnya pada tingkat tingginya kejahatan prostitusi harus dipecahkan sebagai bagian dari permasalahan saja yang timbul karena akibat samping perkembangan zaman dan pembangunan nasional.
Erna Dewi39 selaku Dosen Unila Fakultas Hukum menyatakan, hukum yang mengatur tentang prostitusi atau pelacuran khususnya di Indonesia memang secara jelas tidak ada tetapi disini dapat dilihat Pasal 296 KUHP pengertian mucikari secara yuridis yaitu seorang lelaki atau perempuan yang melakukan perbuatan penyediaan fasilitas dan menjadikan dirinya perantara cabul sebagai kebiasaan atau mata pencaharian, juga mengambil untung dari bisnis prostitusi.
38 Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta BandarLampung. Kamis 28 April 2016.
39 Hasil wawancara dengan Erna Dewi.
Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum
Universitas Lampung. Rabu 27 April 2016
Erna Dewi juga menambahkan selain itu yang mengatur mengenai praktek prostitusi adalah Pasal 506 yaitu barang siapa yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikanya sebagai mata pencaharian, diancam dengan kurungan paling lama 1 tahun, selain itu mengenai prostitusi yang berhubungan dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat diproses apabila adanya suatu laporan serta apabila dalam hal praktik prostitusi adanya unsur pemaksaan dengan kekerasan serta apabila yang diperjual belikan adalah anak dibawah umur .
Perbuatan yang dilakukan mucikari tersebut adalah perbuatan yang melanggar ketentuan yang diatur yaitu kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Adapun Pasal yang dapat dikenakan kepada seseorang mucikari adalah Pasal 296 kitab Undang- Undang Hukum Pidana, pada pasal 296 KUHP berhubungan dengan orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul. Dia sering menjadi perantara untuk makelar cabul. Mucikari orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukannya sebagai mata pencaharian tetap, sehingga memenuhi unsure-unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum.
Pengaturan mengenai sanksi pidana dan memenuhi unsure dalam penentuan yang dimaksud dalam prostitusi dari penyedia pendukung prostitusi (mucikari) dapat pula
dituntut dan sesuai
pertanggungjawabannya sesuai Pasal 296 KUHP yang berhubungan
dengan orang yang menyediakan tempat untuk berbuat cabul dan sering menjadi perantara untuk makelar cabul. Mucikari adalah sebagai orang yang memudahkan perbuatan cabul dan melakukanya sebagai mata pencaharian tetap.
Sehingga memenuhi unsure- unsur yang disebutkan dalam Pasal 296 KUHP dan dapat dihukum dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan, selanjutnya Pasal 506 KUHP juga mengatur mengenai mucikari dengan hukuman kurungan kurungan paling lama 1 tahun.
Suatu pristiwa agar dapat dikatakan sebagai suatu pristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Harus ada perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang.
2. Perbuatan harus sesuai dengan sebagaimana yang dirumuskan dalam undang- undang pelakunya harus telah melakukan suatu kesalahan
dan harus
memepertanggungjawabkan perbuatanya.
3. Harus ada kesalahan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Jadi perbuatan itu memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum.
4. Harus ada ancaman hukumnya. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang dilanggar itu dicantumkan sanksinya.
Kaitanya dengan praktek prostitusi Weli Dwi Saputra40 menyatakan prostitusi dapat dikatan suatu bentuk kejahatan apabila dilihat dari efek yang timbul dengan adanya kegiatan prostitusi, atau secara lebih lanjut berkaitan langsung oleh prostitusi itu apabila pelaku prostitusi adalah anak- anak atau belum dewasa maka konsumen dapat dijerat Pasal KUHP yaitu Pasal 287 yang berisi:
“Barang siapa yang bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 (lime belas) tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya di kawini, diancam dengan penjara paling lama 9 (Sembilan) tahun”.
Riki Yoswandi41 menambahkan penuntutan menilik pada Pasal 287 ayat (2) KUHP : “penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, jika umur wanita belum sampai 12 (dua belas) tahun.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di atas maka dapat penulis analisis bahwa upaya Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam menanggulangi praktek prostitusi dengan langkah preventif dan represif. Penulis juga setuju dengan
40 Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta BandarLampung. Kamis 28 April 2016.
41 Hasil wawancara dengan Depati Riki Yoswandi, AnggotaUnit Pembinaan Ketertiban Masyarakat
(Unitbintibmas) Polresta Bandar Lampung. Jum’at 29 April 2016.
responden diatas dengan melakukan langkah preventif yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran di wilayah hukum Kota Bandar Lampung, yaitu dengan mengadakan penyuluhan-penyuluhan mengenai dampak pelacuran, selanjutnya tindakan represif yaitu berupa razia operasi penyakit masyarakat (Pekat) sebagai penanggulangan Prostitusi yang ada di wilayah Hukum Kota Bandar Lampung tidak dengan hukum pidana (KUHP).
B. Faktor – Faktor Penghambat Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Prostitusi di Kota Bandar Lampung
Usaha dalam menanggulangi praktek prostitusi dengan semacam (razia) masih menghadapi berbagai masalah yang cukup berat, baik yang terletak pada faktor- faktor sosial, ekonomi dan budaya maupun faktor sikap masyarakat yang masih mendukung keberadaan pelacuran42.
Penangkapan dan penghukuman belum tentu dapat menangkal karena mungkin akan diterima, sebaliknya
sebagai dukungan
mengidentifikasikan diri sebagai pelacur. Sekali lagi untuk keperluan ini, diperlukan tenaga- tenaga kepolisisan yang khusus terdidik dan dapat bekerja pula sebagai pekerja- pekerja sosial di bidang penanggulangan praktek prostitusi.
Peraturan perundang- undangan pidana yang dapat menunjang peraturan- peraturan hukum pidana yang telah ada perlu difikirkan, tujuannya bukan semata-mata
42
Op.cit, skripsi Johan Andreas S,Penangg ulangan Prostitusi Online. Hal.35
penghukuman, tetapi juga usaha- usaha rehabilitasi bagi pelaku praktek prostitusi (PSK) dan menjadi tempat rekrutmen anggota- anggota kelompok kejahatan terorganisasi43. Masyarakat urban adalah dimana kebanyakan penyebaran kejahatan praktek- praktek prostitusi ini bergerak, khususnya ditempat- tempat umum seperti mall, pusat- pusat pembelanjaan, tempat- tempat hiburan malam dan lain sebagainya, maka sering sukar bagi polisi untuk memastikan bahwa telah terjadi transaksi yang dilakukan oleh pelacur dengan pria- pria hidung belang yang membutuhkan relasi seks. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk melaporkan kegiatan para PSK.
Weli Dwi Saputra44 menyatakan salah satu faktor penghambat ketika dilakukan suatu razia atau penertiban dilapangan khususnya wilayah seputaran Bandar Lampung yang rawan, yang sering digunakan untuk transaksi PSK tersebut bahwa oknum yang terlibat dalam razia tersebut orang-orangnya sangat rapi, susah untuk ditemukan yang mana PSK dan yang mana yang bukan. Kondisi seperti ini akan sulit untuk dibuktikan, karena adanya teknologi yang sangat pesat seperti sekarang
43
Robert Baldwin and Richard Kinsey, Po lice powers politics (Kewenangan polisi dan
politik), Penerbit Cipta Manunggal. Jaka rta, 2002
44 Hasil wawancara dengan Weli Dwi Saputra, Penyidik Unit PPA Satreskrim Polresta
BandarLampung. Kamis 28 April 2016.
ini dengan adanya penggunaan smartphone yang super canggih yaitu Android atau Ipone. Dengan adanya kongkalikong antara mucikari dengan beberapa oknum aparat yang terlibat sangat merugikan pihak kepolisian yang mengadakan razia pada waktu tertentu, karena pelacur sudah tidak ada ditempat.
Peran serta masyarakat terutama masyarakat yang berada disekitar lokasi pelacuran tersebut juga sangat diperlukan di dalam pemberantasan prostitusi di wilayah Kota Bandar
Lampung. Namun pada
kenyataannya ada anggota masyarakat yang mencari keuntungan dari pelacuran tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur.
Perlindungan yang diberikan adalah melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran. Adapula masyarakat dengan sengaja menyewakan rumah baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.
Depati Riki Yoswandi45 juga menyatakan pihak- pihak khususnya yang menanggulangi pelacuran tersebut, seperti petugas razia dari kepolisian di lapangan menghadapi kendala- kendala, diantaranya :
1. Bahwa pada saat akan dilakukan razia ke lokasi, dari pihak pelaku pelacuran sudah mengetahui, artinya pihaknya
sering mengalami
kecolongan, dimana
45 Hasil wawancara dengan Depati Riki Yoswandi, AnggotaUnit Pembinaan Ketertiban
Masyarakat (Unitbintibmas) Polresta Bandar Lampung. Jum’at 29 April 2016
informasi tentang kalangan aparat telah diketahui sebelumnya oleh para pelakunya, sehingga mereka kabur duluan sebelum aparat datang;
2. Terbatasnya personil yang ada. Hal ini mengingat daerah Kota Bandar Lampung wilayahnya cukup luas tentunya tidak mungkin bisa menuntaskan masalah pelacuran sekaligus karena banyak tuna- tuna yang harus ditanggulangi, seperti para gelandangan atau pengemis, atau para waria yang menggangu ketertiban umum.
Sehingga
3. Pada saat ada saat informasi terhadap keberadaan pelacur, dari kepolisian tidak selalu bisa langsung turun lapangan;
4. Adanya anggota masyarakat yang masih menyewakan tempat atau rumah tanpa tahu peruntukkannyadan hanya mementingkan dari sisi ekonomi;
5. Adanya sekelompok yang mendukung keberadaan para pelacur tersebut;
6. Adanya pihak- pihak yang menghalang-halangi
penertiban yang dilakukan oleh aparat yang berwenang, karena merasa dirugikan;
7. Adanya orang- orang yang dipekerjakan oleh para pelacur maupun mucikari, yang ditugaskan untuk berjaga-jaga disekitar lokasi yang siap menginformasikan kepada para pelacur atau mucikari jika ada sweeping yang dilakukan oleh para aparat berwenang;
8. Kurangnya dana untuk memulangkan para pelacur ke daerah asalnya, yang terbukti dan tertangkap melakukan operasinya. Dimana para pelacur sebagian besar dari luar daerah Bandar Lampung.
Ena Dewi46 menyatakan hambatan hambatan atau faktor penghambat utama dalam menanggulangi masalah pelacuran bila kita lihat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada satu pasalpun yang mengatur secara khusus tentang PSK nya, sehingga secara kriminologis sangat sulit untuk mengatakan bahwa pelacuran itu sebagai suatu kejahatan, sebab tidak menimbulkan korban malahan menguntungkan bagi mereka si PSK maupun pria Hidung Belangnya.
Erna Dewi menambahkan lagi, bahwa solusi untuk mengatasi hambatan- hambatan yang timbul dalam penanggulangan prostitusi khususnya di daerah Kota Bandar Lampung adalah dengan menyempurnakan atau memperbaiki peraturan perundang- undangan hukum pidana atau KUHP yang baru, karena tidak sesuai lagi dengan perubahan jaman, sehingga masalah prostitusi yang kita hadapi ini tidak menentu, tidak hanya di dunia nyata saja melainkan di dunia maya (internet) pun bertambah banyak.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden di atas maka dapat penulis analisis bahwa faktor- faktor penghambat upaya Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam menanggulangi praktek- praktek
46 Hasil wawancara dengan Erna Dewi.
Akademisi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Rabu 27 April 2016
Prostitusi banyak diakibatkan sebagai berikut :
1. Faktor Hukum (Undang- Undang)
Faktor hukum berkaitan dengan undang- undang KUHP tersebut tidak diatur secara langsung mengenai pemidanaan terhadap prostitusi sebagai bentuk kejahatan sehingga kepolisian Resort Kota Bandar Lampung tidak dapat menjalankan kewenangannya secara luas terhadap praktek- praktek prostitusi.
2. Faktor penegak hukum
Penegak hukum yakni pihak- pihak yang membantu maupun menerapkan hukum dalam hal ini diindikasi sebaliknya diam- diam ikut terlibat dalam kegiatan prostitusi tersebut dengan cara memberikan bocoran bahwa akan diadakan operasi atau razia terhadap kegiatan prostitusi.
3. Faktor masyarakat
Masyarakat yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, tetapi dalam kasus yang terjadi di wilayah hukum Kota Bandar Lampung masyarakat tersebut kurang memiliki kesadaran dan sedikit yang mau untuk diajak andil.
4. Faktor kebudayaan
Kebudayaan masyarakat kini sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan manusia didalam pergaulan hidup, masyarakat Bandar Lampung yang sudah melakukan
kebiasaan secara
berkelanjutan dengan kegiatan prostitusi hal tersebut dapat dilihat maraknya kegiatan prostitusi di seputaran jalan Antasari cukup diterima oleh masyarakat setempat ,apalagi tempat lokalisasi yang terkenal di Lampung yakni di daerah Panjang dengan nama yang tenar yakni Pemandangan (PMD)
Penanggulangan masalah prostitusi menurut analisa penulis bukan suatu masalah yang mudah sebab hal ini menyangkut banyak faktor didalamnya, seperti faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sosial, budaya dan ekonomi. Sehingga tidak setiap orang menginginkan agar prostitusi ini dituntaskan, karena tetap ada yang menginginkan keberadaan pelacuran, yang kiranya memungkinkan dapat memetik keuntungan dari mereka terutama masalah kepastian hukum atau
kekuatan hukum untuk
menanggulanginya perlu dibenahi lagi, dengan demikian penanggulangan prostitusi akan dapat berjalan dengan efektif.
III. SIMPULAN
Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Upaya Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam menanggulangi praktek prostitusi dengan langkah preventif dan represif.
Langkan preventif yang
dilakukan dalam
penanggulangan pelacuran di wilayah hukum Kota Bandar Lampung, yaitu dengan mengadakan penyuluhan- penyuluhan mengenai penanggulangan prostitusi.
Penyuluhan diberikan kepada tokoh- tokoh masyarakat, pemuda anggota karang taruna, ibu-ibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang menjadi lokasi tempat- tempat praktek prostitusi. Selanjutnya tindakan represif yaitu berupa razia Operasi Penyakit Masyarakat (Pekat) sebagai penanggulangan prostitusi yang ada di derah Kota Bandar Lampung tidak dengan hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan diatas, bahwa tidak ada pasal- pasal yang berhubungan langsung dengan PSK, melainkan hanya Mucikarinya dan perdagangan perempuan yang dapat diancam pidana.
2. Faktor penghambat upaya Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung dalam menanggulangi praktek- praktek prostitusi, faktor penghambat utama dalam menanggulangi masalah prostitusi ini bila kita lihat dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) karena tidak ada pasal yang mengatur secara khusus untuk PSK nya
melainkan hanya
mucikarinya saja. Selain itu
faktor- faktor lain sangat berpengaruh seperti adanya oknum aparat yang ikut serta dalam prostitusi tersebut dengan memberikan informasi bahwa akan diadakanya suatu razia, kurangnya kesadaran masyarakat yang mencari keuntungan dari praktek prostitusi tersebut seperti dengan cara memberikan perlindungan terhadap pelacur dengan melindungi atau menyembunyikan bahwa di wilayahnya tidak ada pelacuran bahkan masyarakat dengan sengaja menyewakan baik rumah maupun tanahnya sebagai tempat pelacuran.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. 1998.
Beberapa Aspek
Kebijaksanaan Penegakan dan
Aditya Bakti Pengembangan Hukum Pidana, Citra, Bandung.
Departemen Pendidikan Nasional.
2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Pustaka. Jakarta.
Emka, Moammar. 2002. Jakarta Undercover, Sek ‘n the City.
Galang Printika, Yogyakarta.
Kartono, Kartini. 1999. Patologi Sosial. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kunarto, Drs. Jend. Pol (Pur). 2001.
Prilaku Oragnisasi Polisi.
Cipta Manunggal.
Jakarta.
Kusumah, W. Mulyana. 1981. Aneka Permasalahan dalam Ruang Lingkup
Kriminologi. Alumni, Bandung.
Muladi dan Arief, Barda Nawawi.
1992. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
No.Hp : 085266691501