• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Gizi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Status Gizi"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI WILAYAH PESISIR KOTA MAKASSAR TAHUN 2013

ROSA BUDIASRI K21109279

PROGRAM STUDI ILMU GIZI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2016

(2)
(3)
(4)

iii

Ilmu Gizi Rosa Budiasri

Infeksi Kecacingan Dan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013

Indonesia masih menghadapi masalah gizi yang merupakan masalah multi dimensi, diantaranya yang memprihatinkan adalah kurang gizi. Adapun penyebab langsung permasalahan kurang gizi berkaitan dengan penyakit infeksi, salah satunya infeksi kecacingan. Anak balita dan usia sekolah dasar menjadi golongan yang paling banyak menjadi korban. Penelitian yang dilakukan di wilayah pesisir kota Makassar ini diharapkan dapat memberikan gambaran infeksi kecacingan dan status gizi anak sekolah dasar, sehingga langkah penanganan dapat terlaksana.

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional di wilayah pesisir kota Makassar pada tahun 2013.

Sampel berjumlah 150 siswa sekolah dasar kelas IV, V, dan VI. Teknik pengambilan sampel adalah non-random sampling dengan menggunakan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data primer dan data sekunder. Analisis data yang dilakukan adalah univariat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar sebanyak 59,3%. Prevalensi status gizi (IMT/U) pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar sebanyak 3,5% berstatus sangat kurus, 17,7% kurus, 75,2% normal, sedangkan status gemuk dan sangat gemuk masing-masing memiliki persentase yang sama yakni 1,8%. Adapun jenis cacing yang menginfeksi anak sekolah di wilayah pesisir kota Makassar adalah Ascaris lumbricoides dengan jumlah paling banyak, kemudian Trichuris trichiura dan cacing tambang.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa walau indikator status gizi cukup baik, tapi tingginya angka prevalensi kecacingan pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar menunjukkan kurangnya kesadaran akan perilaku hidup bersih dan sehat sehingga bisa mempengaruhi kesehatan mereka.

Dikarenakan dampak yang dapat ditimbulkan, maka disarankan untuk dilakukan pencegahan dan pengobatan untuk penyakit infeksi kecacingan.

Daftar Pustaka : 31 (1996-2013)

Kata Kunci : Infeksi Kecacingan, Anak Sekolah Dasar, Status Gizi, Pesisir, Makassar

(5)

iv

Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala puji bagi Allah, Tuhan Maha Pengasih yang telah memberikan kebahagiaan kepada penulis melalui nikmat atas kesabaran terhadap berbagai cobaan sehingga skripsi dengan judul “Infeksi Kecacingan Dengan Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013” dapat diselesaikan. Serta shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabiullah Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, dan keselamatan kepada keluarga dan para sahabat beliau hingga akhir zaman.

Melalui kesempatan ini pula, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Kedua Orangtua, Edy Sudiro dan Siti Amanah atas segala yang tak mampu penulis balas. Kesabaran dan doa mereka menghantarkan penulis pada kebaikan-kebaikan.

2. Bapak Prof. dr. Veni Hadju, M.Sc, Ph.D selaku pembimbing I dan penasehat akademik yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti pendidikan. Tak lupa bapak Prof. Dr. Saifuddin Sirajuddin, MS selaku pembimbing II; yang senantiasa membimbing, membina, meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam memberikan bimbingan kepada penulis sejak awal hingga selesainya skripsi ini.

(6)

v

yang telah memberikan saran dan kritikan demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Ida Leida Maria, SKM, MKM, MSc.PH selaku Wakil Dekan I Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin yang telah memberikan motivasi dan bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap dosen pengajar beserta seluruh staf yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan motivasi dalam akademik.

6. Seluruh kepala sekolah, guru, siswa-siswi SD Inp. Mariso 2, SDN Barombong, SDN Ujung Tanah I, SDN Tallo Tua 69, dan SD Inp. Lae-Lae 2 atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.

7. Saudara kandung penulis; mas Furqon Kokoh, adik Ahmad Prakoso, adik Dian Adilah Azizah. Serta kakak ipar Fidiah Amansyah. Kalian luar biasa.

8. Rekan satu tim penulis Nurhaema Supardi, Nurhaetil Samudar, Nurnia, dan kak Yulni atas semangat, kebersamaan, dan pertolongannya.

9. Kak Yessi, kak Ida, dan kak Fitri atas segala nasihat dan bantuannya.

10. Sahabat sekaligus saudara; Nurhaema Supardi, Fatimah Zahra Burhan, Nurul Hikmah Yanto, Fadlia Hidayah Sesaria, Faradillah Amalia Rivai.

11. Para sahabat dunia-akhirat di Bulan Sabit Merah Kota Makassar dan kelompok tarbiyah.

(7)

vi Fahrul.

13. Teman-teman angkatan AG09O Gizi 2009 dan Galeter FKM UH.

Akhir kata, penulis berharap semua bantuan yang telah diberikan diganti dengan pahala yang berlipatganda oleh Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Tak lupa penulis mohon maaf atas segala kekhilafan. Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Makassar, Agustus 2016

Penulis

(8)

vi

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RINGKASAN... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan Umum Tentang Anak Sekolah Dasar ... 7

B. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Kecacingan ... 10

C. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi ... 22

D. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Pesisir ... 31

E. Kerangka Teori ... 34

F. Kerangka Konsep ... 36

(9)

vii

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 39

C. Populasi dan Sampel ... 39

D. Instrumen Penelitian ... 41

E. Pengumpulan Data ... 42

F. Pengolahan dan Penyajian Data ... 43

G. Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Hasil Penelitian ... 45

B. Pembahasan ... 58

C. Keterbatasan Penelitian ... 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

ix

2.1 Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif ………... 37 4.1 Distribusi Sekolah Dasar Negeri/Inpres dan Swasta di

Wilayah Pesisir Kota Makassar ………... 45 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Siswa

Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun

2013 ………... 47 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada Siswa Sekolah

Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013

……... 48 4.4 Prevalensi Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Di

Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013 …………... 49 4.5 Distribusi Infeksi Kecacingan Berdasarkan Jenis Kelamin

Dan Umur Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir

Kota Makassar Tahun 2013 …... 50 4.6 Distribusi Jumlah Telur Per Gram Tinja (EPG) Tiap Jenis

Cacing ... 51 4.7 Prevalensi Jenis Cacing Pada Siswa Sekolah Dasar Di

Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013 …………... 52 4.8 Distribusi Jenis Cacing Berdasarkan Jenis Kelamin Dan

Umur Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota

Makassar Tahun 2013 ………... 53

4.9 Distribusi Intensitas Cacing Gelang Berdasarkan Jenis Kelamin Dan Umur Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah

Pesisir Kota Makassar Tahun 2013 ……... 55 4.10 Prevalensi Status Gizi (IMT/U) Pada Siswa Sekolah Dasar Di

Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013 …………... 56 4.11 Distribusi Status Gizi (IMT/U) Berdasarkan Jenis Kelamin

Dan Umur Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir

Kota Makassar Tahun 2013 ... 57

(11)

x

1 Peta Kota Makassar ... 32 2 Kerangka Teori UNICEF 1998 dalam Depkes RI 2005 .... 35 3 Kerangka Konsep Penelitian ... 36

(12)

1 A. Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia yang penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik; wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta km2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya.

Sumberdaya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik maupun pasar internasional. Kedua, komponen sosial ekonomi; sebagian besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60%) hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2% pertahun). Hal ini disebabkan secara administratif, sebagian besar daerah kabupaten dan kota terletak di wilayah pesisir.

Berdasarkan wilayah kecamatan, dari 4.028 kecamatan yang ada terdapat 1.129 kecamatan yang dari segi topografi terletak di wilayah pesisir, dan dari 62.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa-desa pesisir (1).

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dilakukan secara berkelanjutan. Upaya peningkatan kualitas SDM dimulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dengan perhatian utama pada proses tumbuh kembang anak sejak

(13)

pembuahan sampai mencapai dewasa muda. Pada masa tumbuh kembang ini, pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti perawatan dan makanan bergizi yang diberikan dengan penuh kasih sayang dapat membentuk SDM yang sehat, cerdas dan produktif (2).

Anak sekolah merupakan sasaran strategi dalam perbaikan gizi masyarakat. Perihal ini menjadi penting karena pertama, anak sekolah merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan dengan baik kualitasnya. Kedua, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik dan mental yang sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di masa datang. Ketiga, guna mendukung keadaan tersebut di atas, anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status gizi yang lebih baik. Keempat, anak sekolah dapat dijadikan perantara dalam penyuluhan gizi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya (3).

Menurut data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013, status gizi umur 5-12 tahun (TB/U) di Indonesia yaitu, sangat pendek sebesar 12,3%, pendek sebesar 18,4% dan normal sebesar 69,3%. Di Sulawesi Selatan, prevalensi sangat pendek sebesar 10,8%, pendek sebesar 23,2% dan normal sebesar 66%. Sedangkan prevalensi (IMT/U) di Indonesia, yaitu prevalensi sangat kurus sebesar 4,0%, kurus sebesar 7,2%, gemuk sebesar 10,8%, sangat gemuk ssebesar 8,8% dan normal sebesar 69,2%. Di Sulawesi Selatan, prevalensi sangat kurus sebesar 3,7%, kurus sebesar 9,5%, gemuk sebesar 6,5%, obesitas 4,2%, dan normal sebesar 76,1% (4).

(14)

Untuk alasan yang belum dimengerti dengan baik, dibandingkan dengan kelompok usia lain, anak-anak prasekolah dan anak usia sekolah (termasuk remaja) cenderung untuk pelabuhan terbesar jumlah cacing usus dan schistosomes dan akibatnya mengalami pertumbuhan stunting dan berkurang kebugaran fisik serta gangguan memori dan kognitif (5).

Kejadian penyakit kecacingan masih sangat tinggi terutama di daerah tropis dan subtropis. Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia juga masih cukup tinggi dan tersebar luas di pedesaan dan perkotaan. Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur (40-60%), namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia Sekolah Dasar (SD) (60-80%).

Diperkirakan Indonesia mengalami kerugian 33 Milyar Rupiah per tahun akibat penyakit cacingan (6).

Hasil pemeriksaan tinja pada anak Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah yang dilakukan oleh Sub Dit Diare, Kecacingan dan Infeksi Saluran Pencernaan Lain pada tahun 2002-2009 di 398 SD/MI yang tersebar di 33 provinsi menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi cacingan adalah 31,8%.

Berdasarkan data survei kecacingan Yayasan Kusuma Buana (YKB) tahun 2006-2007, rata-rata angka prevalensi cacingan di Jakarta Timur adalah 2,5%

dan Jakarta Utara sebesar 7,8%. Di provinsi Sulawesi Selatan rata-rata angka prevalensi cacingan, berdasarkan hasil survei cacingan tahun 2009-2010, sebesar 27,28% (7).

Sehubungan dengan tingginya angka prevalensi infeksi cacingan, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi, yaitu pada daerah iklim tropik,

(15)

yang merupakan tempat ideal bagi perkembangan telur cacing, perilaku yang kurang sehat seperti buang air besar di sembarang tempat, bermain tanpa menggunakan alas kaki, sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, mencuci tangan, kebersihan kuku, pendidikan dan perilaku individu, sanitasi makanan dan sanitasi sumber air (8).

Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorpsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif infeksi kecacingan dapat menimbulkan kekurangan gizi berupa kalori dan protein, serta kehilangan darah yang berakibat menurunnya daya tahan tubuh dan menimbulkan gangguan tumbuh kembang anak. Khusus anak usia sekolah, keadaan ini akan berakibat buruk pada kemampuannya dalam mengikuti pelajaran di sekolah (8).

Penyakit infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah (soil trasmitted helminthiasis) masih merupakan masalah dunia terutama di negara berkembang. Prevalensi pada anak balita dan murid sekolah dasar tinggi.

World Health Organization memperkirakan hampir 1 milyar penduduk dunia menderita infeksi parasit cacing (9).

Penelitian ini merupakan salah satu penelitian di bawah payung penelitian yang dilakukan oleh Agus Bintara Birawida dengan judul “Model Dinamis Dan Analisis Resiko Sebaran Logam Berat Terhadap Kesehatan Masyarakat Pesisir Kota Makassar”.

(16)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut; “Bagaimana gambaran infeksi kecacingan dan status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013?”

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran infeksi kecacingan dan status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran infeksi kecacingan pada siswa kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013.

b. Mengetahui jenis cacing yang menginfeksi siswa kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013.

c. Mengetahui intensitas infeksi kecacingan pada siswa kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013.

d. Mengetahui status gizi (IMT/U) siswa kelas IV, V, dan VI sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar tahun 2013.

(17)

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan ilmu gizi terkait infeksi kecacingan dan status gizi pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir dan sebagai literatur dalam penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Sebagai bahan pertimbangan untuk meningkatkan status gizi anak sekolah dasar, khususnya di wilayah pesisir.

b. Sebagai bahan pertimbangan bagi Dinas Kesehatan Kota Makassar dalam menanggulangi infeksi cacing pada anak.

c. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai hubungan infeksi kecacingan dengan status gizi anak, sehingga dapat melakukan upaya pencegahan.

d. Sebagai tambahan pengalaman dan wawasan bagi peneliti tentang infeksi kecacingan dan status gizi anak sekolah dasar di wilayah pesisir.

(18)

7 A. Tinjauan Umum Anak Sekolah Dasar

Masa anak-anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas seorang manusia dewasa nantinya. Saat ini terdapat perbedaan dalam penentuan usia anak, menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang termasuk usia anak adalah sebelum usia 18 tahun dan yang belum menikah. American Academic of Pediatric tahun 1998 memberikan rekomendasi yang lain tentang batasan usia anak tersebut berdasarkan pertumbuhan fisik dan psikososial, perkembangan anak dan karakteristik kesehatannya. Usia anak sekolah dibagi dalam usia prasekolah, usia sekolah, remaja awal, awal usia dewasa hingga mencapai tahap proses perkembangan sudah lengkap. Anak-anak pada usia sekolah merupakan periode yang sangat menentukan kualitas manusia pada masa dewasa (10).

Anak usia sekolah (6-12 tahun) merupakan sasaran pembinaan kesehatan yang sangat strategis untuk mempersiapkan generasi penerus yang sehat, mandiri, produktif, berkualitas, tangguh dan mampu bersaing secara global.

Namun, anak usia sekolah merupakan kelompok yang rawan karena sedang mengalami masa pertumbuhan fisik yang sangat cepat dan tidak seimbang dengan perkembangan mental dan sosial. Hal ini akan berpengaruh pada perilaku, sehingga pendidikan formal di sekolah dan pendidikan informal di

(19)

keluarga atau lingkungannya akan berperan paling dominan membentuk perilaku anak (11).

Pertumbuhan dan perkembangan siswa dari masa anak-anak hingga dewasa melalui berbagai proses dan tahapan. Masing-masing tahap merupakan masa peka siswa terhadap kebutuhan tertentu Masa peka ini dengan istilah “sensitive periods”. Tugas seorang pendidik adalah mengenali masa peka yang ada pada diri siswa yang kemudian memberikan pelayanan dan perlakuan yang tepat (12).

Masa usia sekolah dasar sering pula disebut sebagai masa intelektual atau masa keserasian sekolah. Pada masa ini secara relatif anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan sesudahnya. Masa ini diperinci menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (kelas 1, 2, dan 3), dan masa kelas tinggi sekolah dasar (kelas 4, 5, dan 6) (13).

Masa kelas tinggi sekolah dasar memiliki sifat khas antara lain adalah seperti yang disebutkan di bawah ini (13):

a. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

b. Amat realistis, ingin tahu, ingin belajar.

c. Menjelang masa akhir ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor.

(20)

d. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang- orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya, setelah kira-kira umur 11 tahun pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha menyelesaikannya sendiri.

e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah.

f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.

Anak sekolah merupakan sasaran strategi dalam perbaikan gizi masyarakat. Perihal ini menjadi penting karena pertama, anak sekolah merupakan generasi penerus tumpuan bangsa sehingga perlu dipersiapkan dengan baik kualitasnya. Kedua, anak sekolah sedang mengalami pertumbuhan secara fisik dan mental yang sangat diperlukan guna menunjang kehidupannya di masa datang. Ketiga, guna mendukung keadaan tersebut diatas, anak sekolah memerlukan kondisi tubuh yang optimal dan bugar, sehingga memerlukan status gizi yang lebih baik. Keempat, anak sekolah dapat dijadikan perantara dalam penyuluhan gizi pada keluarga dan masyarakat sekitarnya (3).

(21)

B. Tinjauan Umum Tentang Infeksi Kecacingan

Beberapa jenis Nematoda yang lazim menginfeksi saluran intestinal, yaitu (14):

1. Infeksi Trichuris trichiura

Trikuriasis, adalah infeksi dengan Trichuris trichiura (atau cacing pecut), adalah infeksi yang lazim di Amerika Serikat, terutama di bagian selatan timur negara. Diduga bahwa di Amerika Serikat ada 2,2 juta individu terinfeksi dengan trichuris. Di seluruh dunia, insiden infeksi bahkan lebih besar di daerah tropik dan subtropik dimana tempat penuh sesak dan sanitasi jelek.

a. Daur Hidup

Daur hidup Trichuris trichiura sederhana, dan tidak diperlukan hospes perantara. Infeksi dimulai dengan penelanan telur berembrio yang ada dalam tanah yang telah terkontaminasi tinja manusia. Telur keras dan dapat tetap hidup pada tanah lembab selama bertahun-tahun. Dalam usus kecil, larva jantan dan betina keluar, melawati usus besar dan sekum. Cacing jantan dan betina dewasa berkembang di usus besar. Cacing dewasa mempunyai penampakan khas dengan bagian anterior seperti cambuk tipis dan bagian belakang gemuk, “pegangan cambuk”. Dewasa berukuran 30- 50 mm panjang. Bagian anterior cacing yang langsing menembus mukosa usus besar melekatkan parasit sedang posterior badan menonjol ke dalam lumen usus mempermudah kopulasi dan

(22)

oviposisi. Pasca cacing dewasa matang, yang betina mampu mengeluarkan 1000 telur per hari. Telur yang tidak bersegmen, keluar bersama tinja, memerlukan sekitar 2 minggu untuk berembrio pada tanah yang basah. Cacing dewasa, dapat hidup selama setahun dalam saluran usus.

b. Manifestasi Klinik Trikuriasis

Seperti semua infeksi nematoda gejala-gejala berbanding langsung dengan luasnya infeksi (beban cacing), dengan umur dan kesehatan umum hospes. Kebanyakan infeksi trikuris ringan sampai sedang. Pada individu ini gejala-gejala infeksi tidak lazim. Dengan infeksi yang banyak pada anak-anak, dapat menderita keluhan nyeri abdomen, diare berdarah atau mukoid, dan kehilangan berat badan.

Apendistis akibat obstruksi apendiks dan prolaps rektum jarang terjadi.

c. Diagnosis

Diagnosis infeksi Trichuris trichiura dibuat dengan menemukan telur bentuk oval khas dengan tutup lendir jelas pada setiap ujung. Infeksi dapat dikuantitasi dengan menghitung jumlah telur yang ditemukan pada pulasan tinja langsung. Pada infeksi ringan telur yang ada kurang dari 10. Pada infeksi berat telur yang ada 50 atau lebih dalam pulasan tinja.

(23)

2. Infeksi Enterobius vermicularis

Enterobiosis, adalah infeksi dengan cacing kremi Enterobius vermicularis, merupakan infeksi cacing paling sering di Amerika Serikat.

Diperkirakan 42 juta individu, terutama anak-anak terinfeksi dengan cacing kremi. Infeksi cenderung menyebar dalam kelompok keluarga, terutama jika beberapa anak hidup dalam rumah yang sama atau tidur dalam kasur yang sama. Penularan infeksi Enterobius melalui jalan tinja- oral. Penularan ini mungkin langsung, dari tangan yang tidak dicuci dari satu anak ke mulut anak yang lain, atau tidak langsung mlalui seprei, linen, dan pakaian malam yang terkontaminasi tinja.

a. Daur Hidup

Daur hidup Enterobius vermicularis amat serupa dengan daur Trichuris trichiura karena langsung, tidak memerlukan hospes perantara.

Infeksi dimulai dengan penelanan telur berembrio, yang lewat usus kecil, melepaskan larva yang terbungkus. Larva turun ke dalam saluran usus ke sekum dan kolon, tempat caing dewasa berkembang pada sekitar satu bulan. Jantan dewasa amat kecil, berukuran 2-5 mm panjang, tetapi dewasa betina jauh, lebih besar, 8- 13 mm panjang dengan ujung posterior berujung tajam (jarum).

Betina yang telah dibuahi, malam-malam pergi ke perianal dan kulit perineum dan meletakkan telurnya pada tempat ini. Setiap cacing kremi betina mampu meletakkan 11.000 telurnya yang dikelilingi

(24)

oleh dinding tebal dan memipih pada satu sisi. Telur yang berembrio, yang tumbuh dalam 6 jam diambil oleh tangan anak-anak atau mengkontaminasi pakaian tidur, atau linen dan dapat memulai infeksi baru.

b. Manifestasi Klinik Enterobiasis

Kebanyakan infeksi cacing kremi tidak bergejala. Bila gejala- gejala dilaporkan paling sering mengeluh gatal di daerah perianal dan tidur tidak nyenyak akibat telur yang diletakkan. Vaginitis wanita muda atau bahkan salfingitis jarang dilaporkan. Komplikasi infeksi cacing kremi lain yang jarang adalah apendisitis.

c. Diagnosis

Karena telur yang diletakkan ke dalam tinja, metode konfirmasi yang paling lazim infeki enterobius adalan penemuan telur khas dari kulit perianal. Metode yang paling sering dipakai adalah usapan ”tape Scotch”. Sepotong tape adesif transparan yang didukung dengan tong spatel ditekan sekeliling kulit perianal pada pagi-pagi sekali. Tape transparan kemudian dipindah ke slide gelas dan diperiksa di bawah mikroskop. Satu usapan tape Scotch mengambil telur paling sedikit 50% dari mereka yag terinfeksi, dan tiga usapan hari-hari berikutnya mengambil telur 90% nya. Pada keluarga dengan banyak anak, semua anggota keluarga diperiksa dengan cara ini.

(25)

3. Infeksi Ascaris lumbricoides

Infeksi dengan Ascaris lumbricoides adalah infeksi cacing yang paling sering di dunia, dengan lebih dari satu milyar manusia terinfeksi.

Infeksi paling sering di daerah tropis atau subtropis, di tempat dengan sanitasi jelek dan penghuni yang berjejal-jejal, tetapi tidak jarang di daerah beriklim sedang. Di Amerika Serikat diperkirakan 4 juta orang terinfeksi askaris, kebanyakan disebelah timur-selatan dan negara bagian Teluk. Anak-anak menanggung akibat utama infeksi parasit ini, dengan gejala-gejala terkait migrasi parasit melalui paru dan penyakit usus.

Ascaris adalah cacing gilik usus terbesar, dengan cacing betina berukuran 20-35 m panjang dann jantan dewasa 15-30 cm. Rata-rata jangka hidup cacing dewasa sekitar 6 bulan.

a. Daur Hidup

Infeksi dimulai dengan penelanan telur berembrio yang ada di tanah. Larva muncul di usus halus dan menembus dinding usus masuk ke dalam sirkulasi porta. Mereka dibawa melalui aliran darah ke paru, cacing bertambah besar dan berganti kulit dua kali.

Selanjutnya, larva masuk ke dalam cabang-cabang bronkus dan berjalan keatas ke trakhea, kemudian masuk ke esofagus. Larva yang tertelan mencapai usus halus, kemuadian mereka berkembang menjadi cacing dewasa. Dari penelanan telur berembrio sampai terjadinya betina gravid memerlukan waktu sekitar 8-12 minggu.

Setiap betina mampu mengeluarkan 200.000 telur setiap hari. Telur

(26)

yang dibuahi memerlukan waktu 2-3 minggu untuk berkembang ditanah sebelum mereka matang dan infektif.

b. Manifestasi Klinik Ascariasis

Pada infeksi berat, infiltrat paru dihubungkan dengan eosinofilia perifer yang dapat terjadi bila larva bermigrasi melalui paru. Pneumonia yang sembuh sendiri ini bersama dengan batuk, dispnea, demam dan infiltrat paru yang tersebar pada sinar-x dada.

Pada pemaparan yang berulang-ulang terhadap ascaris reaksi alergi dapat menyebabkan bronkospasme (asma) dan urtikaria kulit.

Gejala-gejala infeksi usus halus secara langsung tergantung pada jumlah cacing, dengan infeksi ringan tidak bergejala. Pada infeksi berat dengan jumlah beberapa ratus sampai seribu cacing, dapat menderita nyeri abdomen, diare, anoreksia dan malnutrisi.

Malnutrisi yang disebabkan oleh terganggunya absorpsi karbohidrat dan lemak di usus kecil. Pada infeksi berat gejala-gejala dapat akibat dari massa cacing yang bergerombol kusut dapat menimbulkan obstruksi usus. Cacing askaris dapat juga bermigrasi kedalam saluran empedu atau saluran pankreas menimbulkan kolesistitis dan pankreatitis obstruktif, atau kedalam apendiks berakibat apendisitis.

c. Diagnosis

Penemuan telur oval khas yang ditutup dengan kulit albuminoid dalam tinja adalah metode yang paling sering mengkonfirmasi infeksi askaris. Kadang-kadang cacing dewasa

(27)

dapat keluar melalui hidung, dengan muntahan atau berjalan bersama tinja. Pada keluarga dengan beberapa anak, semua anggota keluarga harus diperiksa tinjanya untuk adanya telur ascaris.

4. Infeksi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

Infeksi cacing tambang Necator americanus dan Acyloctoma duodenale bermula dari waktu prasejarah. Parasit ini lazim di daerah tropika dan subtropika, ditempat yang penduduknya penuh sesak dan sanitasi jelek. Ancylostoma duodenale (cacing tambang Dunia Lama) paling sering ditemukan di Eropa Selatan, Afrika pantai utara, India utara, dan Cina.

Necator americanus (cacing tambang Dunia Baru) ada di Amerika Serikat, kebanyakan pada bagian selatan timur negara, tetapi lebih sering ditemukan di Amerika Tengah dan Amerika Selatan, Karibia, Afrika, dan Asia. Bersama infeksi mengenai setengah milyar orang diseluruh dunia.

Cacing tambang berasal dari namanya gigi (Ancylostoma) atau plat pemotong (Necator) pada kapsul bukal anterior, yang memungkinkan cacing tambang melekat pada mukosa usus dan meyebabkan banyak kehilangan darah yang dialami oleh individu yang terinfeksi berat.

a. Daur Hidup

Daur hidup Necator Americanus telah diuraikan sebagai jenis penembus-kulit. Infeksi didapat karena berjalan tanpa sepatu atau

(28)

sandal di tanah yang berisi larva cacing tambang filariform. Kulit dittembus oleh larva, sering menimbulkan erupsi papuler dan pruritis kulit yang berat (“gatal tanah”). Larva filariform kemuudian masuk sirkulasi vena dan dibawa ke anyaman kapiler paru. Di paru N.

americanus tidak menimbulkan reaksi yang kuat seperti terjadi pada infeksi askaris atau strongyloides. Larva kemudian masuk ke dalam cabang-cabang bronkus, naik ke atas ke trakea dan kemmudian ke dalam esofagus dan ditelan. Pada usus kecil larva filariform berganti kulit (berganti kulit yang ketiga) dan mengembangkan kapsul basial sementara untuk perlekatan pada mukosa. Disini larva tumbuh dan berkembang menjadi cacing jantan dan betina dewasa. Sesudah sekitar masa 5 minggu dari permulaan infeksi, cacing tambang betina mulai mengeluarkan telur. Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja ke dalam tanah basa hangat, mula-mula berkembang menjadi larva rabditiform yang hidup bebas dan makan bakteri serta puing-puing organik. Pada sekitar satu minggu larva abdoid berkembang menjadi larva filariform tidak makan, mampu menembbus hospes manusia baru.

Daur hidup Ancylostoma duodenale hampir identik dengan daur hidup Necator americanus dengan pengecualian bahwa infeksi dapat juga dimulai dengan menelan larva filariform yang stadium perkembangannya dalam paru tidak diperlukan.

(29)

b. Manifestasi Klinik Infeksi Cacing Tambang

Seperti kebanyakan infeksi parasit usus gejala-gejala sangat tergantung pada banyaknya cacing. Di Amerika Serikat kebanyakan infeksi Necator americanus ringan dan infeksi biasanya tidak bergejala. Pada infeksi berat gejala-gejala utama adalah akibat dari anemia dan hipoalbumineamia. Kehilangan darah terjadi akibat penelanan darah oleh parasit, tetapi jauh lebih besar yang masuk ke dalam lumen dan perdarahan lecet yang disebabkan oleh pelekatan plat pemotong atau gigi cacing tambang. Diduga bahwa 0,03 mL darah hilang perhari untuk setiap cacing N. americanus dewasa dan 0,15 mL untuk setiap cacing A. duodenale dewasa. Pada infeksi berat, lebih dari seribu cacing dewasa dapat berada dalam usus halus.

Anemia dan hipoalbuminemia yang terjadi pada individu dapat diperberat karena diet kurang protein dan besi. Kadang-kadang infiltrat paru sementara terjadi selama stadium migrasi paru bersama eosinafilia.

Manusia dapat juga mengembangkan erupsi kulit jika mereka datang berkontak dengan larva cacing tambang anjing dan kucing.

Ancylostoma braziliense atau A. caninum. Larva ini menembus kulit dan migrasi melalui jaringan subkutan, membentuk cerobong yang menjalar dari tempat ke tempat bersama rasa gatal yang kuat. Infeksi cacing tambang ini dan erupsi kulit disebut larva migrans kutan.

Larva tidak dapat menyempurnakan daur hidup sebagaimana cacing

(30)

tambang manusia melakukannya dan akhirnya tetap terjebak dalam kulit sampai mereka mati, yang dapat memerlukan waktu beberapa minggu.

c. Diagnosis

Diagnosis infeksi cacing tambang berdasar pada peragaan telur khas dalam tinja. jumlah telur dapat dihitung, dan jumlah telur lebih banyak dari 2000 per gram tinja pada anak-anak dipandang berarti secara klinik.

5. Infeksi Strongyloides stercoralis

Infeksi Strongyloides stercoralis paling lazim ditemukan diiklim panas, tetapi ada juga di daerah beriklim sedang. Infeksi Strongyloides agak paralel dengan infeksi cacing tambang. Infeksi di Amerika Serikat dilaporkan paling sering dari bagian selatan timur negara. Disamping itu anak-anak merupakan sasaran infeksi yang paling sering, S. stercoralis dapat menimbulkan infeksi berat (hiperinfeksi) pada hospes kerusakan imun.

a. Daur Hidup

Daur hidup Strogyloides stercoralis amat serupa dengan daur hidup cacing tambang. Infeksi biasanya dimulai bila larva filariform infektif menembus kulit dan membuat jalannya ke paru melalui aliran darah. Dari paru larva naik ke cabang-cabang trakeobronkus dan masuk ke esofagus, dan kemudian masuk ke usus halus bagian atas. Di duodenum dan jejunum bagian atas larva tumbuh menjadi

(31)

cacing dewasa, betina berukuran panjang sekitar 2,5 mm. Betina yang gravid meletakkan telurnya, biasanya menetas dalam epitel mukosa, menghasilkan larva rhabdoid. Larva rhabdoid strogyloides dapat ada dalam tanah sebagai bentuk hidup bebas atau berkembang menjadi larva filariform infektif tidak makan.

Karena alasan yang kurang dimengerti pada beberapa individu, biasanya mereka yang ada kerusakan imun, perubahan larva rhoibdoid ke larva filariform dapat terjadi dalam usus kecil.

Dengan demikian larva filariform infeksius yang dihasilkan mampu masuk sirkulasi hospes dalam usus besar dan rektum atau melalui periana atau kulit perineum. Autoinfeksi ini (hiperinfeksi) menyebabkan infeksi terus menerus dan jumlah cacing penginfeksi yang banyak dalam hospes.

b. Manifestasi Klinik Strogyloidiasis

Pada tempat penetrasi kulit mungkin terjadi reaksi radang gatal lokal, tetapi ini terjadi kurang sering dan kurang bergejala daripada dengan infeksi cacing tambang. Bila larva menembus kulit perianal, mereka mungkin menimbulkan jejak yang terus menerus bersama dengan urtikaria. Erupsi menjalar ini disebut larva currens.

Selama migrasi larva melalui paru, bercak-bercak infiltrat bersama dengan eosinofilia darah perifer dapat menimbulkan pneumonia Löeffler.

(32)

Bila infeksi usus berat, lazim mengeluh nyeri abdomen kehilangan berat badan, dan diare. Nyeri abdomen dapat epigastrik, sifatnya perih membakar, serupa dengan nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit ulkus lambung.

Penderita dengan kerusakan imun yang disebabkan oleh keganasan hematologis, terapi kortikosteroid, malnutrisi atau AIDS cenderung menimbulkan hiperinfeksi. Pada individu ini larva filariform infektif berkembang dari larva rhabdoid ketika yang kedua ini turun saluran usus. Larva filariform menembus sistem vaskuler dalam kolon dan rektum atau melalui kulit perianal atau kulit perineum. Tidak jarang sesudah masuk sirkulasi hospes, larva ini mengikuti perjalanan yang mneyimpang dan menetap dalam berbagai organ, menimbulkan penyakit radang lokal. Paru sering terlibat pada proses ini, tetapi sering organ dapat terkena. Mungkin juga ada ulserasi lokal usus, dengan terjadi sepsis bakteri.

c. Diagnosis

Diagnosis infeksi strongyloides berdasar pada penemuan larva dalam tinja, dalam sekresi bronkus atau cairan duodenum. Banyak tinja pertama harus diperiksa pasca konsentrasi; jika tetap negatif, aspirat duodenum yang diperoleh dengan intubasi atau bahan yang diperoleh dari “uji tali” (lihat diagnosis giardiasis di atas) harus diperiksa kemungkinan adanya larva.

(33)

C. Tinjauan Umum Tentang Status Gizi

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (15). Sedangkan pengertian status gizi menurut Abas Basuni (16) adalah keadaan keseimbangan antara asupan zat gizi dan kebutuhan zat gizi oleh tubuh untuk berbagai keperluan proses biologi. Menurut Gibson dalam Almatsier dkk (17), penilaian status gizi adalah upaya menginterpretasikan semua informasi yang diperoleh melalui penilaian antropometri, konsumsi makanan, biokimia, dan klinik. Informasi ini digunakan untuk menetapkan status kesehatan perorangan atau kelompok penduduk yang dipengaruhi oleh konsumsi dan utilisasi zat-zat gizi.

Penilaian status gizi dibagi menjadi dua yaitu penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak langsung. Penilaian status gizi secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu:

antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (15).

Dalam skripsi ini yang akan diuraikan adalah penilaian antropometri, penilaian status gizi secara langsung.

Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran dari tubuh (15).

(34)

Penilaian status gizi yang dilakukan secara langsung yaitu dengan menggunakan ukuran – ukuran tubuh manusia atau dikenal istilah antropometri. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi dan kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.

Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia antara lain : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada , lingkar pinggul, dan tebal lemak bawah kulit (15).

Seorang ahli gizi harus mampu melakukan pengukuran antropometri dengan baik dan benar. Baik artinya dengan teliti, apakah pembacaan pada skala yang dipakai telah dibaca dan ditulis dengan baik. Benar artinya dilakukan dengan alat yang tepat dan dengan kaidah pengukuran yang dianjurkan. Hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan standar yang berlaku untuk kemudian diambil kesimpulan, apakah status gizi seseorang berada pada kategori gizi-buruk, gizi-kurang, gizi-normal atau gizi-lebih.

Banyak standar digunakan berdasarkan umur dan gender, namun standar yang digunakan hendaknya sesuai dengan tujuannya. Pada tahun 2005, WHO telah memperkenalkan standar antropometri baru, yang dikenal sebagai sstandar WHO 2005. Standar ini didasarkan pada kombinasi antara penilitian longitudinal dan cross sectional pada anak-anak balita di seluruh dunia (17).

Keunggulan antropometri gizi sebagai berikut yaitu (15):

a. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar.

(35)

b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih dalam waktu singkat dapat melakukan pengukuran antropometri.

c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat didaerah setempat. Memang ada alat antropometri yang mahal dan harus diimpor dari luar negeri, tetapi penggunaan alat itu hanya tertentu saja seperti “Skin Fold Caliper” untuk mengukur tebal lemak bawah kulit.

d. Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibakukan.

e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi dimasa lampau.

f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan gizi buruk, karena sudah ada ambang batas yang jelas.

g. Metode antropometri dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.

h. Metode antropometri gizi dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.

Sedangkan kelemahan dari metode penentuan status gizi secara antropometri, yaitu (15):

a. Tidak sensitif

Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu singkat.

Disamping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti zink dan Fe.

b. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik, dan penurunan penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.

(36)

c. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi, akurasi, dan validasi pengukuran antropometri gizi.

d. Kesalahan ini terjadi karena:

1) Pengukuran

2) Pengurangan hasil pengukuran baik fisik maupun komposisi jaringan 3) Analisis dan asumsi yang keliru

e. Sumber kesalahan, biasanya berhubungan dengan:

1) Latihan petugas yang tidak cukup 2) Kesalahan alat atau alat tidak ditera 3) Kesulitan pengukuran

Berikut ini indeks antropometri : a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Kelebihan (15):

1) Lebih mudah dan lebih cepat dimengerti oleh masyarakat umum 2) Baik untuk mengukur status gizi akut dan kronis

3) Berat badan dapat berfluktuasi

4) Sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil 5) Dapat mendeteksi kegemukan (overweight)

Kekurangan (15):

1) Dapat mengakibatkan interpretasi status gizi yang keliru bila terdapat odema maupun asites

2) Di daerah pedesan yang masih terpencil dan tradisional, umur sulit ditaksiir secara tepat karena pencatatan umur yang belum baik

(37)

3) Memerlukan data umur akurat terutama untuk kelompok anak usia di bawah 5 tahun (balita)

4) Sering terjadi kesalahan dalam pengukuran, seperti pengaruh pakaian atau gerakan anak pada saat penimbangan

5) Secara operasional sering mengalami hambatan karena masalah sosial budaya setempat

b. Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U) Kelebihan (15):

1) Baik untuk penilaian status gizi masa lampau

2) Ukuran panjang dapat dibuat sendiri , murah, dan mudah dibawa Kekurangan (15):

1) Tinggi badan tidak cepat naik, bahkan tidak mungkin turun

2) Pengukuran relatif sulit dilakukan karena anak harus berdiri tegak, sehingga diperlukan dua orang untuk melakukannya

3) Ketepatan umur sulit didapat

c. Lingkar Lengan Atas Menurut Umur (LILA/U) Kelebihan (15):

1) Indikator yang baik untuk menilai KEP berat

2) Alat ukur murah, sangat ringan, dan dapat dibuat sendiri

3) Alat dapat diberi kode warna untuk menentukan tingkat keadaan gizi sehingga dapat digunakan oleh yang tidak dapat membaca dan menulis

(38)

Kekurangan (15):

1) Hanya dapat mengidentifikasi anak yang KEP berat 2) Sulit menentukan ambang batas

3) Sulit digunakan untuk melihat pertumbuhan anak terutama anak usia 2 sampai 5 tahun yang perubahannya tidak nampak nyata

d. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB) Kelebihan (15):

1) Tidak memerlukan data umur

2) Dapat membedakan proporsi badan (gemuk, normal, dan kurus) Kekurangan (15):

1) Tidak dapat memberi gambaran apakah anak tersebut pendek, cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan, karena faktor umur tidak dipertimbangkan

2) Dalam praktek sering mengalami kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang atau tinggi badan anak pada kelompok balita 3) Membutuhkan dua macam alat ukur

4) Pengukuran relatif lebih lama

5) Membutuhkan dua orang untuk melakukannya

6) Sering terjadi kesalahan dalam membaca angka hasil pengukuran terutama bila dilakukan oleh kelompok non professional

e. Body Mass Index (BMI) / Indeks Massa Tubuh (IMT)

BMI merupakan indikator yang baik untuk kadar lemak tubuh, dan diketahui bahwa memiliki BMI yang terlalu rendah atau terlalu tinggi

(39)

dikaitkan dengan peningkatan risiko kesehatan yang buruk selama masa kanak-kanak serta di kemudian hari. BMI relatif cepat dan mudah untuk menghitung dan sebagai hasilnya, digunakan untuk survei populasi dan oleh para profesional kesehatan ketika menilai pasien. Oleh karena itu, BMI adalah ukuran yang paling sering digunakan untuk menilai apakah orang dewasa atau anak-anak mengalami obesitas, kelebihan berat badan, kekurangan berat badan, atau normal (18).

Rumus perhitungan IMT adalah : IMT = ( ) ( )

( )

Berdasarkan baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U.

Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore ini status gizi anak dikategorikan sebagai berikut (4):

Klasifikasi indikator TB/U:

Sangat pendek : Zscore < -3,0,

Pendek : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore ≥ -2,0

Klasifikasi indikator IMT/U:

Sangat kurus : Zscore < -3,0

Kurus : Zscore ≥ -3,0 s/d < -2,0 Normal : Zscore ≥ -2,0 s/d ≤ 1,0 Gemuk : Zscore > 1,0 s/d ≤ 2,0 Obesitas : Zscore > 2,0

(40)

Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi:

1. Faktor Langsung a. Konsumsi Makanan

Faktor makanan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh langsung terhadap keadaan gizi seseorang karena konsumsi makan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh, baik kualitas maupun kuantitas dapat menimbulkan masalah gizi (19).

b. Infeksi

Timbulnya KEP tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi juga karena penyakit. Anak mendapatkan makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita KEP. Sebaliknya anak yang makannya tidak cukup baik, daya tahan tubuh dapat melemah. Dalam keadaan demikian mudah diserang infeksi, kurang nafsu makan, dan akhirnya mudah terserang KEP (20).

2. Faktor tidak langsung a. Tingkat Pendapatan

Pendapatan keluarga merupakan penghasilan dalam jumlah uang yang akan dibelanjakan oleh keluarga dalam bentuk makanan.

Kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar terhadap konsumen pangan. Golongan miskin

(41)

menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, dimana untuk keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya (20).

b. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi ibu merupakan proses untuk merubah sikap dan perilaku masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang sehat jasmani dan rohani. Pengetahuan ibu yang ada kaitannya dengan kesehatan dan gizi erat hubungannya dengan pendidikan ibu.

Semakin tinggi pendidikan akan semakin tinggi pula pengetahuan akan kesehatan dan gizi keluarganya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas zat gizi yang dikonsumsi oleh anggota keluarga (20).

c. Sanitasi Lingkungan

Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit antara lain diare, kecacingan dan infeksi saluran pencernaan. Apabila anak menderita infeksi saluran pencernaan, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu yang menyebabkan terjadinya kekurangan zat gizi. Seseorang kekurangan zat gizi akan mudah terserang penyakit, dan pertumbuhan akan terganggu (15).

(42)

D. Tinjauan Umum Tentang Wilayah Pesisir

Sering ada kerancuan terutama antara istilah pantai yang disamaartikan dengan pesisir. Padahal keduanya memiliki pengertian berbeda. Wilayah pantai dimulai dari titik terendah air laut pada saat surut hingga arah ke daratan sampai batas paling jauh gelombang atau ombak menjangkau daratan.

Sementara pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas daripada pantai.

Wilayahnya mencakup wilayah daratan yang masih mendapat pengaruh laut (pasang-surut, suara deburan ombak, rembesan air laut di daratan) dan wilayah laut sejauh masih mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan sedimentasi dari darat) (21).

Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:

KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota (22).

Secara ekologis wilayah pesisir adalah suatu kawasan yang merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan. Wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Wilayah pesisir ke arah daratan, baik yang kering maupun terendam air masih

(43)

dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin (23).

Kota Makassar terletak antara 119º24'17'38” Bujur Timur dan 5º8'6'19”

Lintang Selatan yang berbatasan sebelah utara dengan Kabupaten Maros, sebelah timur Kabupaten Maros, sebelah selatan Kabupaten Gowa dan sebelah barat adalah Selat Makassar. Luas Wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi yang meliputi 14 kecamatan (24). Dari 14 kecamatan tersebut terdapat delapan kecamatan dengan 25 kelurahan yang terletak di pesisir pantai kota Makassar, yaitu kecamatan Biringkanaya, Tallo, Ujung Tanah, Wajo, Mariso, Tamalate, Makassar, dan Ujung Pandang.

Gambar 1. Peta Kota Makassar

(44)

Pesisir pantai Kota Makassar mempunyai potensi sumberdaya hayati, sumberdaya manusia dan jasa lingkungan yang cukup besar. Dengan panjang garis pantai sekitar 30 km, jumlah penduduk di kawasan pesisir dan pulau kecil 147.292 jiwa, potensi tersebut antara lain berupa (1) :

(1) Kawasan pertambakan (2) Desa nelayan

(3) Sarana transportasi laut dan sungai (4) Kawasan Industri Makassar (KIMA) (5) Kawasan Indusrtri transportasi laut (6) Situs budaya di Tallo

(7) Kawasan Pulau Lakkang

(8) Kawasan pelayaran rakyat di Paotere (9) Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Paotere (10) Pangkalan angkatan laut

(11) Kawasan Pelabuhan Soekarno Hatta

(12) Kawasan Pantai Losari, Tanjung Bunga, dan Barombong

Masyarakat di pesisir pantai secara umum merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, dan tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah, yaitu semata-mata bergantung pada hasil tangkapan dan bersifat musiman, serta faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan, sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga (22).

Wilayah pesisir merupakan kawasan yang mempunyai karakteristik, problem yang unik dan kompleks. Lingkungan permukiman nelayan di

(45)

kawasan pesisir pada umumnya merupakan kawasan kumuh dengan tingkat pelayanan akan pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar lingkungan yang sangat terbatas, khususnya keterbatasan untuk memperoleh pelayanan sarana air bersih, drainase dan sanitasi, serta prasarana dan sarana untuk mendukung kesehataan (23).

E. Kerangka Teori

Masalah gizi merupakan masalah multi dimensi yang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti faktor ekonomi, pendidikan, sosial budaya, pertanian dan kesehatan. UNICEF (1998) mengembangkan suatu bagan penyebab kurang gizi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Krisis ekonomi, politik, dan sosial merupakan akar masalah nasional dari kejadian kurang gizi.

Penyebab langsung permasalahan kurang gizi adalah terjadinya ketidakseimbangan antara asupan makanan yang berkaitan dengan penyakit infeksi. Apabila seseorang kekurangan asupan makanan maka akan menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah sehingga memudahkan orang tersebut untuk terkena penyakit infeksi. Terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh iklim tropis, sanitasi lingkungan buruk, sehingga menyebabkan seseorang menjadi kurang gizi (25).

(46)

Dampak

Penyebab Langsung

Penyebab Tidak Langsung

Pokok Masalah di Masyarakat

Akar Masalah (nasional)

Gambar 2. Kerangka Teori (disesuaikan dari bagan UNICEF1998) Kurang Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumber

Daya Masyarakat

Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan, dan Kemiskinan Krisis Ekonomi, Politik, dan Sosial

Gizi Kurang

Makanan Penyakit

Tidak Seimbang Infeksi

Tidak Cukup Persediaan

Pangan

Pola Asuh Anak Tidak

Memadai

Sanitasi dan Air Bersih / Yankes Dasar Tidak Memadai

(47)

F. Kerangka Konsep

Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian Keterangan :

: Variabel Dependen : Variabel yang diteliti : Variabel Independen : Variabel tidak diteliti Penyakit Infeksi (Kecacingan)

1. Jenis cacing 2. Intensitas infeksi

(jumlah telur cacing) Pola Konsumsi

1. Zat pelancar absorbsi Fe (Protein, Vit.C) 2. Zat penghambat

absorbsi Fe (Tanin, Fitat, Kalsium)

Asupan Zat Gizi 1. Energi

2. Protein 3. KH 4. Lemak 5. Vitamin A 6. Vitamin C 7. Vitamin B12 8. Asam Folat 9. Fe

Status Gizi

(48)

G. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif

Tabel 2.1 Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif No Variabel Definisi

Operasional Alat Dan

Cara Ukur Kriteria

Objektif Skala 1. Variabel

independen Infeksi Cacing : Parasit

manusia dan hewan yangsifatnya merugikan dimana manusia merupakan hospes beberapa nematode ususyang diantara sejumlah spesiesnya ditularkan melalui tanah.

Manusia

merupakan hospes defenitif beberapa nematoda usus (cacing perut).

Diantara cacing perut terdapat sejumlah spesies yang ditularkan melalui tanah, diantaranya yang terpenting adalah cacing gelas (Ascaris lumbricoides), cacing cacing cambuk (Trichuris trichiura), cacing tambang

(Ancylostoma duodenale).

Intensitas infeksi cacing yaitu jumlah telur per gram tinja (Egg Per

Mikroskop Pemeriksaan Feces

Positif = ada telur cacing Negatif = Tidak ada telur cacing Jenis cacing:

Ascaris lumbricoides (cacing gelang) Trichuris trichiura (cacing cambuk) Ancylostoma duodenale (cacing tambang) Klasifikasi intensitas infeksi : a. Ringan

C. gelang : 1 – 4.999 Cacing cambuk : 1 – 999 Cacing tambang : 1 – 1.999 b. Sedang

C. gelang : 5.000 – 49.999 Cacing cambuk : 1.000 –

Ordinal

(49)

2. Variabel dependen

Gram/EPG) tiap jenis cacing.

Status gizi : keadaan sehat individu- individu atau kelompok yang ditentukan oleh derajat

kebutuhan fisik akanenergi dan zat-zat lainyang diperoleh dari pangan dan

makanan yang dampak fisiknya diukur secara antropometri.

Antropometri Menggunakan Indeks IMT/U Co-software WHOantroplus

9.999 Cacing tambang : 2.000 – 3.9999 c. Berat

C. gelang :

≥ 50.000 Cacing cambuk :

≥ 10.000 Cacing tambang :

≥ 4.000

Indikator IMT/U : a. Sangat

Kurus :

< -3 SD b. Kurus :

≥ -3 s/d

< -2 SD c. Normal :

≥ -2 s/d

≤ 1 SD d. Gemuk :

> 1 s/d

≤ 2 SD

e. Sangat Gemuk :

> 2 SD (WHO, 2007)

Ordinal

(50)

39 A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan rancangan cross sectional, yaitu suatu penelitian yang mempelajari hubungan antara faktor risiko (independen) dengan faktor efek (dependen), di mana melakukan observasi atau pengukuran variabel sekali dan sekaligus pada waktu yang sama.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung di SD Inpres Tallo Tua 69, SDN Ujung Tanah I, SDN Barombong, SD Inpres Mariso II, dan SD Inpres Lae-Lae II dari bulan Maret sampai April 2013 (peta lokasi penelitian terlampir pada lampiran 1).

Sekolah-sekolah tersebut mewakili lima dari delapan kecamatan di wilayah pesisir kota Makassar yang dipilih dengan pertimbangan jarak, kondisi daerah, aksesibilitas, dan mata pencarian masyarakatnya yang didominasi nelayan.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas IV, V, dan VI di SD Inpres Tallo Tua 69, SDN Ujung Tanah I, SDN Barombong, SD Inpres Mariso II, dan SD Inpres Lae-Lae II yang berjumlah 1039 siswa pada tahun ajaran 2012/2013. Alasan dipilihnya siswa kelas IV, V, dan VI

(51)

sebagai subyek penelitian, karena mereka diduga sudah bisa mandiri dan sudah dapat mengikuti instruksi-instruksi dengan baik.

2. Sampel

Penentuan jumlah sampel didasarkan atas rumus jumlah sampel minimal dari Kementerian Kesehatan (26), yaitu:

N0 = NS = N0 ∶ 1 +

=( . ) ( . ) ( ) = 96.04 ∶ 1 + .

= . . . = 96.04 ∶ (1 + 0.09)

= .. = 96.04 ∶ 1.09

N0 = 96.04 NS = 87.91 = 88

Keterangan:

Z = Batas kepercayaan = 1,96

P = Prevalensi kecacingan di Makassar = 50%

Q = 1 – P

D = Tingkat kesalahan = 0, 1 N0 = Jumlah sampel

NS = Jumlah sampel dengan faktor koreksi Jumlah sasaran = jumlah siswa = 1039 siswa

Dari perhitungan di atas didapatkan jumlah sampel minimal adalah 88 siswa.

(52)

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas IV, V, dan VI. Total siswa yang dicakup dalam penelitian ini adalah 150 siswa.

Dengan kriteria siswa sekolah dasar sebagai berikut:

a. Siswa sekolah dasar kelas IV, V, dan VI.

b. Pekerjaan utama orangtua responden adalah nelayan.

c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

d. Berada di lokasi penelitian saat penelitian berlangsung.

Teknik pengambilan sampel adalah non-random sampling dengan menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu yang telah dibuat oleh peneliti, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (27).

D. Instrumen Penelitian 1. Pemeriksaan Cacing

Alat dan bahan yang diperlukan adalah : a. Mikroskop

b. Gelas Obyek

c. Sarung tangan karet d. Lidi

e. Counter (alat penghitung) f. Feses

g. Lugol atau NaCl 0,9%

(53)

2. Pengukuran Antropometri Alat yang diperlukan adalah : a. Timbangan digital

b. Microtoice

c. Co-software WHO antroplus

E. Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi:

1. Data karakteristik siswa sekolah dasar (nama, jenis kelamin, tempat tanggal lahir, umur) dikumpulkan secara langsung melalui teknik wawancara.

2. Pengambilan feses dilakukan dengan memberikan pot feses, kantong plastik hitam, dan stik kepada siswa kemudian petugas lapangan menunjukkan cara pengambilannya, yaitu dengan menggunakan stik, kemudian dimasukkan ke dalam pot, menutup pot, lalu dimasukkan ke dalam plastik hitam untuk dibawa ke sekolah. Pot feses diberi label atau identitas responden yang sesuai dengan kuesioner. Feses yang terkumpul dibawa ke Universitas Hasanuddin untuk diperiksa di Laboratorium Parasitologi Unhas, sehingga dapat diketahui telur cacing secara mikroskopis (cara pemeriksaan tinja terlampir).

3. Data status gizi menggunakan indeks IMT/U diperoleh dengan melakukan pengukuran antropometri yaitu berat badan dan tinggi badan.

(54)

Hasil dari pengukuran tersebut dibandingkan dengan umur koresponden lalu diolah menggunakan co-software WHO antroplus (cara pengukuran dan pengolahan terlampir).

Sedangkan data sekunder meliputi data jumlah siswa kelas IV, V, VI sekolah dasar, keadaan dan gambaran umum wilayah serta lokasi penelitian, dan data terkait lainnya.

F. Pengolahan dan penyajian data 1. Pengolahan Data

Adapun langkah-langkah proses pengolahan data dalam penelitian ini adalah :

a. Editing

Memeriksa kembali data-data yang telah dikumpulkan, apakah ada kesalahan atau tidak.

b. Coding

Pemberian nomor-nomor kode atau bobot pada jawaban yang bersifat kategori untuk menyederhanakan data yang diperoleh.

c. Tabulating

Data dikelompokkan sesuai dengan sifat yang dimiliki dan dipindahkan ke dalam suatu tabel.

d. Entry Data

Pemasukan data ke program.

(55)

e. Cleaning

Membersihkan data dan melihat variabel yang digunakan, apakah datanya sudah benar atau belum.

2. Penyajian Data

Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan narasi untuk menerangkan hasil penelitian dari rekapan data.

G. Analisis data

Setelah data diolah, lalu dilakukan analisis univariat untuk mengetahui distribusi frekuensi dari variabel independen (data infeksi kecacingan) dengan variabel dependen (status gizi). Data disajikan dalam bentuk tabel dan diinterpretasikan.

(56)

45 A. Hasil

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kota Makassar terdiri dari 14 kecamatan dan 143 kelurahan yang tersebar di daerah seluas 175,77 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak lebih dari 1,4 juta jiwa. Dari 14 kecamatan tersebut terdapat delapan kecamatan dan 25 kelurahan yang terletak di pesisir pantai kota Makassar, yaitu kecamatan Biringkanaya, Tallo, Ujung Tanah, Wajo, Mariso, Tamalate, Makassar dan Ujung Pandang.

Tabel 4.1

Distribusi Sekolah Dasar Negeri/Inpres dan Swasta di Wilayah Pesisir Kota Makassar

Nama Kecamatan Jumlah Sekolah

Negeri/Inpres Swasta Biringkanaya

Tallo

Ujung Tanah WajoMariso Tamalate Makassar Ujungpandang

3639 1910 3640 3016

75 25 106 148

Jumlah 226 57

Sumber : Data Sekunder, 2013

Dari tabel 4.1 diketahui bahwa 226 Sekolah Dasar negeri/inpres dan 57 Sekolah Dasar swasta terletak di wilayah pesisir kota Makassar.

(57)

Sekolah Dasar Inpres Mariso 2 berlokasi di jalan Nuri Lama, kecamatan Mariso, dengan jumlah siswa 352 orang dan jumlah ruangan belajar 11, dikepalai seorang kepala sekolah, dengan tenaga pengajar 13 orang dibantu 2 tenaga administrasi/bujang.

SDN Ujung Tanah berlokasi di jalan Sabutung, kecamatan Ujung Tanah, dengan jumlah siswa 401 orang dan jumlah ruangan belajar 8, dikepalai seorang kepala sekolah dengan tenaga pengajar 14 orang dan dibantu 1 orang tenaga administrasi/bujang.

SD Tallo Tua 69 berlokasi di jalan Sultan Abdullah 2, kecamatan Tallo, dengan jumlah siswa 516 orang dan jumlah ruangan belajar 6.

Dikepalai seorang kepala sekolah dengan 14 tenaga pengajar.

SDN Barombong terletak di jalan poros Barombong-Sungguminasa, kecamatan Tamalate, dengan jumlah siswa 486 orang dan jumlah ruangan 12. Dikepalai seorang kepala sekolah dengan 14 tenaga pengajar dan dibantu 1 orang tenaga administrasi/bujang.

SD inpres Lae-Lae 2 berlokasi di jalan Salodong, kecamatan Biringkanaya, dengan jumlah siswa 213 orang dan jumlah ruangan belajar 6. Dikepalai seorang kepala sekolah dengan 11 tenaga pengajar.

(58)

2. Karakteristik Responden

a. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 4.2

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar

Tahun 2013

Jenis Kelamin

Nama Sekolah

Total SD. Inp.

Mariso II

BarombongSDN

UjungSDN Tanah I

TalloSD Tua 69

SD. Inp.

Lae-Lae

n % N % n % n % n II% n %

Laki-laki 9 47,4 11 47,8 9 40,9 15 60 8 33,3 52 46

Perempuan 10 52,6 12 52,2 13 59,1 10 40 16 66,7 61 54

Total 19 23 22 25 24 113 100

Sumber : Data Primer, 2013

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa total responden adalah 113 siswa. Adapun frekuensi siswa yang berjenis kelamin laki- laki adalah 52 siswa (46%); 9 siswa dari SD. Inp. Mariso II, 11 siswa dari SDN Barombong, 9 siswa dari SDN Ujung Tanah I, 15 siswa dari SD Tallo Tua 69, dan 8 siswa dari SD. Inp. Lae-Lae II.

Sedangkan frekuensi siswa yang berjenis kelamin perempuan adalah 61 siswa (54%); dari 10 siswa dari SD. Inp. Mariso II, 12 siswa dari SDN Barombong, 13 siswa dari SDN Ujung Tanah I, 10 siswa dari SD Tallo Tua 69, dan 16 siswa dari SD. Inp. Lae-Lae II.

(59)

b. Distribusi Responden Berdasarkan Umur Tabel 4.3

Distribusi Responden Berdasarkan Umur Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013

(tahun)Umur

Nama Sekolah

Total SD. Inp.

Mariso II SDN Barombong

UjungSDN Tanah I

TalloSD Tua 69

SD. Inp.

Lae-Lae

n % n % n % n % n II% n %

10 8 42, 1 8 34,8 11 50 0 0 11 45,8 38 33,6

11 7 36,8 7 30,4 4 18,2 8 32 5 20,8 31 27,4

12 4 21,1 8 34,8 7 31,8 17 68 8 33,3 44 38,9

Total 19 23 22 25 24 113 100

Sumber : Data Primer, 2013

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa frekuensi siswa yang berumur 10 tahun yaitu 38 siswa (33,6%); terdiri 8 siswa dari SD.

Inp. Mariso II, 8 siswa dari SDN Barombong, 11 siswa dari SDN Ujung Tanah I, dan 11 siswa dari SD. Inp. Lae-Lae II.

Kemudian frekuensi siswa yang berumur 11 tahun yaitu 31 siswa (27,4%); 7 siswa dari SD. Inp. Mariso II, 7 siswa dari SDN Barombong, 4 siswa dari SDN Ujung Tanah I, 8 siswa dari SD Tallo Tua 69, dan 5 siswa dari SD. Inp. Lae-Lae II.

Sedangkan frekuensi siswa yang berumur 12 tahun yaitu 44 siswa (38,9%); 4 siswa dari SD. Inp. Mariso II, 8 siswa dari SDN Barombong, 7 siswa dari SDN Ujung Tanah I, 17 siswa dari SD Tallo Tua 69, dan 8 siswa dari SD. Inp. Lae-Lae II.

(60)

3. Kejadian Penyakit Cacingan a. Prevalensi Infeksi Kecacingan

Tabel 4.4

Prevalensi Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar Tahun 2013

Infeksi Kecacingan

Nama Sekolah

Total SD. Inp.

Mariso II

BarombongSDN

UjungSDN Tanah I

TalloSD Tua69

SD. Inp.

Lae-Lae II

n % n % n % n % n % n %

Positif 13 68,4 20 87 13 59,1 12 48 9 37,5 67 59,3

Negatif 6 31,6 3 13 9 40,9 13 52 15 62,5 46 40,7

Total 19 23 22 25 24 113 100

Sumber : Data Primer, 2013

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa 67 siswa (59,3%) positif infeksi kecacingan; terdapat 13 siswa di SD. Inp. Mariso II, 20 siswa di SDN Barombong, 13 siswa di SDN Ujung Tanah I, 12 siswa di SD Tallo Tua 69, dan 9 siswa di SD. Inp. Lae-Lae II.

Adapun 46 siswa (40,7%) lainnya negatif infeksi kecacingan;

terdapat 6 siswa di SD. Inp. Mariso II, 3 siswa di SDN Barombong, 9 siswa di SDN Ujung Tanah I, 13 siswa di SD Tallo Tua 69, dan 15 siswa di SD. Inp. Lae-Lae II.

Referensi

Dokumen terkait

Aset keuangan tersedia untuk dijual merupakan aset yang ditetapkan sebagai tersedia untuk dijual atau tidak diklasifikasikan dalam kategori instrumen keuangan yang lain,

[r]

penurunan yaitu ikur koto, bungus, belimbing, ulak karang, lubuk kilangan, lapai

Lingkungan keluarga yang merupakan pendidikan pertama dan utama bagi seorang anak juga memiliki peranan sangat penting dalam menumbuhkan nilai-nilai Pancasila pada anak..

Dalam hal ini akan digunakan metode fuzzy Mamdani dalam memprediksi jumlah pendapatan berdasarkan jumlah omset, harga emas dan kurs pada Pegadaian Syariah Cabang

Walaupun usahawan bumiputera mempunyai keupayaan tinggi dalam aspek pengurusan, jika ditinjau dengan lebih mendalam lagi kajian ini mendapati usahawan Bumiputera mempunyai

Kedua, ketentuan larangan terhadap praktik perdagangan orang dalam di Pasar Modal Indonesia pengaturannya mempersempit makna perdagangan orang dalam yang hanya menentukan orang

Pada penelitian ini, data yang digunakan untuk prediksi adalah data saham dari indeks LQ-45, dan beberapa perusahaan yang termasuk dalam LQ-45.. LQ-45 merupakan