• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS SEBARAN SPASIAL KERAWANAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) TAHUN DI KOTA BANDA ACEH TESIS. Oleh : ASNIATI /PSL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS SEBARAN SPASIAL KERAWANAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) TAHUN DI KOTA BANDA ACEH TESIS. Oleh : ASNIATI /PSL"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

DI KOTA BANDA ACEH

TESIS

Oleh :

ASNIATI 187004001/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh : ASNIATI 187004001/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Sri Malem Indirawati, SKM, M.Si Anggota : 1. Dr. Bejo Slamet, S.Hut., M.Si

2. Dr. Erni Jumilawaty, M.Si

3. Dr. Lita Sri Andayani, SKM., M.Kes

(5)

Judul Tesis

ANALISIS SEBARAN SPASIAL KERAWANAN PENYAKIT BERDARAH DENGUE TAHUN 2010 – 2019

DI KOTA BANDA ACEH

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 10 Februari 2021 Penulis,

Asniati

(6)

i ABSTRAK

Kota Banda Aceh merupakan salah satu daerah endemis DBD. Selama kurun waktu 10 tahun (2010 – 2019) total kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banda Aceh adalah 3.168 kasus dengan jumlah kematian 16 orang.

Dengan demikian maka perlu dilakukan pemetaan kerawanan DBD di Kota Banda Aceh, dengan tujuan untuk menganalisis sebaran spasial daerah rawan DBD di Kota Banda Aceh. Parameter yang digunakan dalam penelitian adalah curah hujan, suhu udara, kelembaban udara dan kepadatan penduduk. Parameter tersebut digunakan karena dianggap mempunyai hubungan yang erat dengan habitat perkembangan nyamuk Aedes Aegypti. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pangan Pertanian Kelautan dan Perikanan (DPPKP) dan Dinkes Kota Banda Aceh dari Tahun 2010 - 2019.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Banda Aceh termasuk dalam zona rawan penyakit DBD. kasus DBD berkorelasi dengan curah hujan sebesar 0,25.

Kasus DBD berkorelasi dengan kelembaban yaitu sebesar 0,42. Korelasi antara suhu dengan kasus DBD adalah -0,47. Sedangkan korelasi antara jumlah penduduk dengan kasus DBD adalah 0,71 Hasil analisis spasial kerawanan DBD menunjukkan bahwa kerawanan DBD tinggi terdapat di Kecamatan Jaya Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kecamatan Syiah Kuala dan Kecamatan Kuta Alam.

Adapun luas zona tingkat kerawanan DBD di Kota Banda Aceh dibagi menjadi 3 zona, zona kerawanan tinggi zona kerawanan tinggi sebesar 3.262 km atau 53,15

%, zona kerawanan sedang 2.354 km atau 38,36% dan zona kerawanan rendah 521 km atau 8,49 %.

Kata kunci: kerawanan, demam berdarah, sebaran geospasial, Kota Banda Aceh

(7)

ii ABSTRACT

Banda Aceh City is one of the dengue endemic areas. During a period of 10 years (2010 - 2019) the total cases of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) in Banda Aceh City were 3,168 cases with a total of 16 deaths. Thus, it is necessary to map the DHF vulnerability in Banda Aceh City, with the aim of analyzing the spatial distribution of DHF prone areas in the City of Banda Aceh. The parameters used in the study were rainfall, air temperature, humidity and population density. This parameter is used because it is considered to have a close relationship with the habitat for the development of the Aedes aegypti mosquito. Secondary data were obtained from the Central Statistics Agency (BPS), the Meteorology, Climatology and Geophysics Agency (BMKG), the Regional Development Planning Agency (Bappeda), the Marine and Fisheries Agricultural Food Service (DPPKP) and the Banda Aceh City Health Office from 2010 - 2019. indicates that the city of Banda Aceh is included in the DHF prone zone. DHF cases correlate with rainfall of 0,25. DHF cases have a correlation with humidity which is 0,42. The correlation between temperature and DHF cases was -0,47. Meanwhile, the correlation between population and dengue cases is 0,71. The result of spatial analysis of dengue fever shows that high dengue fever vulnerability is found in Jaya Baru District, Baiturrahman District, Syiah Kuala District and Kuta Alam District. The area of the DHF hazard zone in Banda Aceh City is divided into 3 zones, the high hazard zone is the high hazard zone of 3.262 km or 53,15%, the moderate hazard zone is 2.354 km or 38,36%

and the low vulnerability zone is 521 km or 8,49 %.

Keywords : vulnerability, dengue fever, geospatial distribution, Banda Aceh City

(8)

iii

Hidayah-Nya, sehingga penulisan tesis dengan judul “Analisis Sebaran Spasial Kerawanan Penyakit Demam Berdarah Dengue Tahun 2010 – 2019 di Kota Banda Aceh” dapat diselesaikan. Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan Magister di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

Peneliti menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Peneliti berterima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian tesis ini dan secara khusus pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Robert Sibarani, MS, selaku direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, S.Si., M.Si selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Sri Malem Indirawati, SKM., M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dalam penulisan tesis ini.

4. Dr. Bejo Slamet, S.Hut., M.Si selaku anggota Pembimbing dalam penulisan tesis ini

5. Seluruh Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang tidak mungkin untuk kami sebutkan namanya satu persatu.

(9)

iv

7. Alm. Ayahanda Syahbuddin, Ibunda Aslamiah, Suami Abdul Haris Nst, Kakanda Akhyar, Kakanda Al Husna, Adinda Masyithah, Adinda Hilmiati, Adinda Luthvia, buah hati yang tercinta ; M. Qais Abrar Nst, M. Qaid Al Adiva Nst, M. Qaid Al Aghif Nst dan Audrie Azqiara Nst yang sangat berarti dalam hidup penulis, atas pengorbanan, dukungan dan kasih sayang mereka sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi Bahasa maupun isinya, sehingga saran dan masukan sangat diharapkan untuk kesempurnaan tesis ini.

Medan, 12 Februari 2021

Penulis

(10)

v

Asniati, lahir di Panton Labu tanggal 27 Juni 1983, anak ketiga dari Alm.

Ayahanda Syahbuddin dan Ibunda Aslamiah yang saat ini bertempat tinggal di Jalan Kuta Baro No. 17 Lamteumen Timur Kecamatan Jaya Baru Kota Banda Aceh Provinsi Aceh.

Pendidikan formal penulis dimulai tahun 1990 Sekolah Madrasah Ibdidayah Negeri Panton Labu Kecamatan Tanah Jambo Aye tamat tahun 1996, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Panton Labu Aceh Utara tamat tahun 1999, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Tanah Jambo Aye Aceh Utara tamat tahun 2002, D-III Kesehatan Lingkungan Poltekkes Depkes RI Banda Aceh tamat tahun 2005, S1 Teknik Lingkungan pada Universitas Serambi Mekkah Aceh tamat tahun 2013, dan penulis mengikuti Pendidikan Program Studi S2 minat studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2018 dan tamat pada tahun 2021.

Penulis menikah tahun 2007 dan mempunyai 4 (empat) orang anak.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil dari tahun 2006 sampai saat ini sebagai staf Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh.

(11)

vi

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

... 1.3.1 Tujuan Umum …………..………. 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Manfaat Institusi ... 9

1.4.2 Manfaat Ilmiah ... 9

1.4.3 Manfaat Praktisi ... 9

1.4.4 Manfaat Bagi Masyarakat ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Demam Berdara Dengue (DBD) ... 10

2.1.1 Definisi DBD ... 10

2.1.2 Penyebab DBD ... 10

2.1.3 Epidemiologi ... 11

2.1.4 Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk Aedes aegypti ... 12

2.1.5 Ciri-ciri Nyamuk Aedes aegypti ... 13

2.1.6 Tanda dan Gejala DBD ... 13

2.1.7 Patogenesis dan Patofisologi DBD ... 14

2.2 Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue ... 15

2.2.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ... 15

2.3 Landasan Teori ... 19

2.3.1 Agent (Agen) ... 20

2.3.2 Host (Penjamu)... 20

2.3.3 Enviroment (Lingkungan) ... 20

2.4 Iklim ... 20

2.4.1 Pengaruh Iklim terhadap Kejadian DBD ... 20

2.4.2 Curah Hujan ... 21

2.4.3 Kelembaban Udara ... 24

2.4.4 Suhu ... 25

(12)

vii

2.7.1 Aplikasi – aplikasi SIG ... 30

2.7.2 Gambaran SIG sebagai sebuah sistem ... 31

2.7.3 Manfaat Penyimpanan Dan Pengolahan Data Digital dengan SIG ... 31

2.7.4 Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Data Spasial di Bidang Kesehatan ... 32

2.8 Kerangka Teori ... 35

2.9 Kerangka Konsep ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

3.1 Jenis Penelitian ... 37

3.2 Lokasi dan Tempat Penelitian ... 37

3.2.1 Peta Administrasi Penelitian ... 37

3.2.2 Luas Wilayah Penelitian ... 38

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 40

3.4 Alur Penelitian ... 41

3.5 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 42

3.6 Metode Analisis Data ... 43

3.6.1 Analisis Tingkat Kerawanan ... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 49

4.1 Kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Banda Aceh ... 49

4.2 Curah Hujan ... 53

4.3 Kelembaban Udara ... 64

4.4 Suhu ... 69

4.5 Kepadatan Penduduk ... 73

4.6 Sebaran Daerah Rawan Penyakit DBD di Kota Banda Aceh ... 79

4.7 Perbandingan Hasil Klasifikasi ... 91

BAB V PEMBAHASAN ... 93

5.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 93

5.2 Pengaruh Curah Hujan dengan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 95

5.3 Pengaruh kelembaban udara dengan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 100

5.4 Pengaruh Suhu Udara dengan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)... 104

5.5 Pengaruh Kepadatan Penduduk dengan Peningkatan Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) ... 107

5.6 Rekomendasi Pengelolaan ... 113

5.7 Kejadian DBD menurut Kecamatan ... 115

(13)

viii

6.2 Saran ... 117 DAFTAR PUSTAKA ... 118

(14)

ix

3.1 Klassifikasi Data Curah Hujan ... 44

3.2 Klassifikasi Data Kelembaban Udara ... 45

3.3 Klassifikasi Data Suhu Udara ... 45

3.4 Klassifikasi Data Kepadatan Penduduk ... 46

3.5 Tingkat kerawanan penyakit DBD ... 47

3.6 Penentuan kelas kerawanan penyakit demam berdarah dengue ... 48

4.1 Data kasus DBD Kecamatan tahun 2010 - 2019 ... 49

4.2 Kasus DBD Bulanan Kota Banda Aceh Tahun 2010 - 2019 ... 51

4.3 Rata-rata Curah Hujan (mm/bulan) di Kecamatan Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 54

4.4 Curah Hujan (mm/bulan) di Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 56

4.5 Kasus DBD dan Curah Hujan di Kecamatan Tahun 2010 - 2019 ... 58

4.6 Kasus DBD dan Curah Hujan (mm/bulan) Tahun 2010 - 2019 ... 61

4.7 Hasil Uji Korelasi Hubungan Curah Hujan dengan Kasus DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2010-2019 ... 63

4.8 Kelembaban Udara Bulanan (%) di Kota Banda Aceh Tahun 2010–2019 ... 64

4.9 Kasus DBD dan kelembaban udara (%/bulan) selama Tahun 2010 - 2019 ... 66

4.10 Hasil Uji Korelasi Hubungan Kelembaban dengan Kasus DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2010-2019 ... 68

4.11 Suhu Udara di Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 69

4.12 Kasus DBD dan Suhu Udara Bulanan Tahun 2010 – 2019 ... 71

(15)

x

4.15 Jumlah Kasus DBD dan Kepadatan Penduduk di Setiap Kecamatan

Tahun 2010 – 2019 ... 76 4.16 Hasil Uji Korelasi Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Kasus

DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2010-2019 ... 78 4.17 Luas Zona Kerawanan DBD di Kota Banda Aceh Tahun 2010 - 2019 .... 91 4.18 Perbandingan Tingkat Kerawanan ... 92

(16)

xi

2.1 Nyamuk Aedes Aegypti ... 11

2.2 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti ... 12

2.3 Patogenesis Penyakit Demam Berdarah ... 15

2.4 Kerangka Teori Segitiga Epidemologi ... 35

2.5 Kerangka Teori Ilustrasi Subsitem GIS ... 35

2.6 Konsep Penelitian ... 36

3.1 Peta Administrasi Penelitian ... 38

3.2 Bagan Alir Proses Penelitian ... 41

4.1 Data kasus DBD Kecamatan tahun 2010 – 2019 ... 50

4.2 Kasus DBD Bulanan Kota Banda Aceh Tahun 2010 - 2019 ... 52

4.3 Rata-rata Curah Hujan di Kecamatan Kota Banda Aceh Tahun 2010-2019 ... 55

4.4 Curah Hujan Bulanan di Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 57

4.5 Kasus DBD dan Curah Hujan di Kecamatan Tahun 2010 – 2019 ... 59

4.6 Kasus DBD dan Curah Hujan Bulanan Tahun 2010 - 2019 ... 62

4.7 Kelembaban Udara Bulanan (%) di Kota Banda Aceh Tahun 2010–2019 ... 65

4.8 Kasus DBD dan kelembaban udara bulanan selama tahun 2010 - 2019.... 67

4.9 Suhu Udara di Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 70

4.10 Kasus DBD dan Suhu Udara Bulanan Tahun 2010 – 2019 ... 72

4.11 Kepadatan Penduduk di Kota Banda Aceh Tahun 2010 – 2019 ... 75

4.12 Jumlah Kasus DBD dan Kepadatan Penduduk di Setiap Kecamatan Tahun 2010 – 2019 ... 77

(17)

xii

4.15 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2012 ... 82

4.16 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2013 ... 83

4.17 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2014 ... 84

4.18 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2015 ... 85

4.19 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2016 ... 86

4.20 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2017 ... 87

4.21 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2018 ... 88

4.22 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2019 ... 89

(18)

xiii

1 Rekapitulasi Keadaan Curah Hujan Kota Banda Aceh 2010-2011 ... 124

2 Rekapitulasi Keadaan Curah Hujan Kota Banda Aceh 2012-2013 ... 125

3 Rekapitulasi Keadaan Curah Hujan Kota Banda Aceh 2014-2015 ... 126

4 Rekapitulasi Keadaan Curah Hujan Kota Banda Aceh 2016-2017 ... 127

5 Rekapitulasi Keadaan Curah Hujan Kota Banda Aceh 2018-2019 ... 128

6 Kasus DBD di Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2010 - 2019 ... 129

7 Kepadatan Penduduk Kota Banda Aceh Tahun 2010 - 2019 ... 131

8 Penelitian Sebelumnya ... 134

9 Dasar Klassifikasi Curah Hujan ... 143

10 Dasar Klassifikasi Kelembaban ... 144

11 Dasar Klassifikasi Suhu ... 145

12 Penelitian Sebelumnya Untuk Penentuan Korelasi ... 146

13 Cara Penentuan Nilai Selang Skor Kerawanan ... 152

14 Cara Menghitung Skor Akhir ... 153

15 Pivot Tabel Tahun 2010 ... 154

16 Pivot Tabel Tahun 2011 ... 155

17 Pivot Tabel Tahun 2012 ... 156

18 Pivot Tabel Tahun 2013 ... 157

19 Pivot Tabel Tahun 2014 ... 158

20 Pivot Tabel Tahun 2015 ... 159

21 Pivot Tabel Tahun 2016 ... 160

22 Pivot Tabel Tahun 2017 ... 161

(19)

xiv

25. Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2010 ... 164

26. Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2011 ... 165

27 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2012 ... 166

28 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2013 ... 167

29 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2014 ... 168

30 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2015 ... 169

31 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2016 ... 170

32 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2017 ... 171

33 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2018 ... 172

34 Peta Sebaran Rawan Penyakit DBD Tahun 2019 ... 173

35 Policy Brief ... 174

(20)

1 BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki dua musim yakni musim penghujan dan musim kemarau. Perubahan iklim secara global yang terjadi di dunia belakangan ini berpengaruh besar terhadap perubahan cuaca dan pergeseran musim yang ada di Indonesia. Tidak hanya berdampak pada perubahan cuaca dan pergeseran musim, perubahan iklim global berdampak pada intensitas perkembangan penyakit dan dampaknya bagi kesehatan manusia.

Demam Berdarah merupakan penyakit yang telah berjangkit di Indonesia kurang lebih dalam kurun waktu 45 tahun. Pertama kali penyakit ini masuk pada tahun 1968 di Surabaya, dimana 58 orang terinfeksi dan 28 orang meninggal dunia, baru diketahui sebagai penyakit DBD pada tahun 1972. Pada tahun 1988, 1998, dan 2007 DBD menjadi momok menakutkan yang mewabah di Indonesia.

Curah hujan yang tinggi di Indonesia, banyaknya tempat penampungan air yang tersedia sebagai fasilitator pengembangan bibit nyamuk Aedes aegypti menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingginya tingkat penderita DBD. Menurut data dari World Health Organization (WHO) antara tahun 1968 hingga 2009 Asia merupakan urutan pertama dalam jumlah penderita DBD dan negara yang paling banyak terkena kasus DBD di Asia Tenggara adalah Indonesia (Kemenkes RI, 2010).

Kementerian kesehatan (Kemenkes) RI mencatat terdapat sebanyak 110.921 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia pada Januari hingga Oktober 2019 "Angka ini meningkat cukup drastis dari 2018 dengan jumlah kasus

(21)

berada pada angka 65.602 kasus," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Siti Nadia Tarmizi. Dengan peningkatan kasus DBD pada 2019 salah satunya menyebabkan beberapa kabupaten dan kota di Indonesia mengalami kejadian luar biasa (KLB).

Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan iklim, faktor perubahan iklim bisa menjadi salah satu faktor penyebab penyebaran virus dengue secara meluas. Beberapa faktor iklim mempengaruhi parasit dan vektor seperti suhu, curah hujan, kelembaban, air permukaan, dan kecepatan angin. Kehadiran hujan bisa menciptakan banyak genangan air dimana nyamuk berkembang biak, sedangkan kelembaban mempengaruhi umur nyamuk dimana kelembaban rendah akan memperpendek umur nyamuk. Tingkat kelembaban 60% adalah batas terendah untuk memungkinkan kehidupan nyamuk, penularan penyakit ini sangat dipengaruhi oleh faktor iklim (Kosnayani, 2018). Indonesia sebagai salah satu negara beriklim tropis memiliki risiko bencana wabah demam berdarah dengue yang tinggi. Risiko tersebut akan semakin besar jika kondisi fisik lingkungan pada wilayah tersebut kurang baik. Kota Banda Aceh merupakan salah satu wilayah yang termasuk dalam kawasan endemis demam berdarah dengue, sehingga memiliki risiko terjadinya wabah demam berdarah dengue.

Kepadatan penduduk yang tinggi akan lebih mudah untuk terjadi penularan penyakit DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter. Suhu dan kelembaban udara juga merupakan salah satu kondisi lingkungan yang mempengaruhi perkembangan Aedes aegypti (Kaunang, 2015). World Health Organization (WHO, 2010) menggambarkan terdapat 50 -100 juta kasus penyakit demam dengue diseluruh dunia setiap tahun, dimana 250.000 – 500.000 kasus adalah DBD angka kematian sekitar 24.000 jiwa per tahun. Sekitar 2,5 Milyar orang di Dunia beresiko terinfeksi virus dengue.

(22)

Hasil penelitian yang dilakukan oleh K, Winahju, dan Mukarromah, 2012 yang mengatakan bahwa suhu, kelembaban dan curah hujan adalah kondisi optimum untuk perkembang biakan maupun kehidupan nyamuk. Demikian pula dengan hasil penetian (Chandra, 2019) yang mengatakan curah hujan, kelembaban udara dan kepadatan penduduk mempunyai pengaruh terhadap kejadian penyakit demam berdarah di Kota Jambi. Penelitian di Sri Langka mendapatkan hasil serupa yaitu Insiden demam berdarah menunjukkan korelasi positif yang signifikan dengan curah hujan (Sirisena, 2017).

Banda Aceh adalah Pusat Kota Provinsi Aceh meliputi 9 Kecamatan dan 90 Desa dengan luas wilayah keseluruhan 61,36 km², jumlah penduduk sebesar 259.913 jiwa dengan kepadatan penduduk 42 jiwa/Ha. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan, penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) mengalami peningkatan dan penurunan selama 10 tahun terakhir (tahun 2010 – 2019). Puncak kasus tertinggi terjadi pada tahun 2010 yaitu sebanyak 759 kasus DBD. Dan peningkatan kasus terjadi kembali pada tahun 2016 – 2017 dan 2018 - 2019.

Jumlah kasus DBD di Kota Banda Aceh pada tahun 2018 sebesar 105 kasus, sedangkan pada tahun 2019 sebesar 344 kasus dengan jumlah kematian 1 orang.

Kejadian kasus demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh tahun 2019 mengalami peningkatan yang sangat besar yaitu sebanyak 3 kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini yang mengakibatkan Kota Banda Aceh masuk dalam kategori Kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah dengue.

Dari kurun waktu selama 10 tahun, mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2019 total kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banda Aceh adalah 3.168 kasus dengan jumlah kematian 16 orang. (Dinkes Kota Banda Aceh).

(23)

Kasus DBD sering terjadi berulang di daerah yang sama dikarenakan oleh persoalan lingkungan, sosial, budaya masyarakat belum waspada dan sadar untuk menghindari deman berdarah, sehingga wilayah yang sama terus berulang terjangkit jentik demam berdarah saat musim hujan tiba. Selain itu faktor musim hujan, kelembaban dan kepadatan penduduk disatu wilayah juga sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kasus DBD dari suatu daerah. (Kadinkes Kota Banda Aceh, 2019).

Penginderaan jauh merupakan ilmu atau teknik dan seni untuk mendapatkan informasi tentang objek, wilayah, atau gejala dengan cara menganalisis data-data yang diperoleh dengan suatu alat, tanpa berhubungan langsung dengan objek, wilayah atau gejala yang sedang dikaji. Sedangkan SIG sendiri merupakan kumpulan dari perangkat keras computer, perangkat lunak, data geografi, dan personil yang didesain untuk memperoleh, menyimpan, memperbaiki, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografis. Menurut Nico Nathanael (2019) SIG adalah system informasi yang mempunyai data berspasial yang diambil berdasarkan letak geografis suatu wilayah untuk proses analisis, penyimpanan dan visualisasi.

Penginderaan Jauh dan SIG sendiri mempunyai peran penting dalam bidang kesehatan diantaranya untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan teknologi sistem informasi geografis untuk merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi sistem dan manajemen informasi kesehatan, selain itu peran Penginderaan jauh dan SIG sendiri dapat mampu merancang dan merekayasa sistem informasi untuk peningkatan kinerja pelayanan kesehatan.

(24)

Penginderaan jauh sebagai salah satu ilmu yang menggunakan aspek – aspek permukaan bumi sebagai kajiannya, dapat digunakan untuk mendeteksi kejadian penyakit, salah satunya adalah demam berdarah. Metode yang digunakan untuk menganalisis kejadian yang berkaitan dengan bidang kesehatan yakni dengan cara melihat aspek – aspek lingkungan sekitar permukiman.

Data penyakit yang dimiliki oleh Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh masih dalam bentuk data angka dan tidak bisa menggambarkan pola spasial. Data spasial akan lebih memudahkan dalam memantau perkembangan kejadian DBD.

Dengan adanya data spasial maka perencanaan eliminasi DBD akan lebih terarah.

Daerah-daerah yang rawan terjadinya Penyakit demam berdarah dengue dapat dilihat dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Seperti penelitian pernah dilakukan oleh Arif Roziqin dan Fitri Hasdiyanti, 2015 yang membuat pemetaan daerah rawan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Pulau Batam, Hasbi Yasin, Ragil Saputra (2013) Pemetaan Penyakit Demam Berdarah Dengue Dengan Analisis Pola Spasial di Kabupaten Pekalongan, Aulia Ramadhani (2014) Pemetaan kerawanan penyakit demam berdarah dengue Menggunakan metode multi kriteria di Kecamatan Purwokerto Timur, Dian Syahria F (2015) pemetaan penyebaran penyakit demam berdarah dengue dengan Geographic Information System di Minahasa Selatan.

Sistem Informasi Geografis (SIG) pada saat ini memang telah banyak digunakan oleh para ahli kesehatan masyarakat atau epidemologi. Beberapa aplikasinya secara umum dalam bidang kesehatan dapat digunakan untuk menemukan penyebaran penyakit secara geografis, meneliti trend perkembangan sementara suatu penyakit, meramalkan kejadian wabah, dan memantau

(25)

perkembangan penyakit dari waktu ke waktu. Dengan adanya SIG yang dapat menginterprestasikan fenomena yang digambarkan dalam bentuk peta maka dapat memudahkan para tenaga ahli kesehatan masyarakat untuk mengatasi masalah – masalah kesehatan yang sedang terjadi dan mampu mengantisipasi lebih awal masalah kesehatan yang kemungkinan akan terjadi (BNPB 2012).

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah Kota Banda Aceh masih tinggi yaitu 3168 kasus selama 10 tahun terakhir. Angka insiden DBD yang masih tinggi dikarenakan adanya interaksi antara host, agent dan environment.

Usia, Jenis kelamin, tingkat pengetahuan dan prilaku dikategorikan sebagai host, virus dengue sebagai agent dan environment berasal dari kondisi iklim seperti curah hujan, kelembaban, suhu dan kepadatan penduduk yang dapat menyebabkan serta memicu penyebaran DBD.

Suhu optimum untuk nyamuk berada pada rentang 25ºC-27ºC. Selain itu pada rentang suhu 20ºC-30ºC merupakan suhu ideal untuk kelangsungan hidup nyamuk pada semua tahapan siklusnya (Fitriana, 2018).

Selama ini Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh hanya menyajikan data DBD dalam betuk angka, untuk mengetahui sebaran daerah penyakit deman berdarah di Kota Banda Aceh, kita bisa membuat dan menyajikannya dalam bentuk peta. Peta dapat menggambarkan daerah-daerah mana saja yang rawan penyakit demam berdarah dengue sehingga dapat dilakukan pencegahan dan meminimalisir kasus penyakit deman berdarah dengan melihat faktor lingkungan yang dapat menyebabkan penularan penyakit demam berdarah dengue seperti perubahan iklim, curah hujan, kelembaban udara dan kepadatan penduduk yang berpengaruh langsung terhadap habitat perkembangan nyamuk Aedes Aegypti.

(26)

Pengendalian penyakit demam berdarah di Kota Banda Aceh masih terkendala karena sampai saat ini belum tersedia peta sebaran DBD. Pemetaan tingkat kerentanan serangan demam berdarah terhadap demam berdarah merupakan salah satu bentuk yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan strategis dalam mengantisipasi meningkatnya kasus demam berdarah di daerah endemik. Peta tersebut menunjukkan kerentanan tingkat kecacatan terhadap kejadian DBD berdasarkan kasus DBD setiap tahunnya. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model dan peta wilayah rawan demam berdarah dengue serta bermanfaat bagi Dinas Kesehatan dan Masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yakni:

1. Bagaimanakah gambaran tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh kaitannya dengan curah hujan selama sepuluh tahun terakhir ( tahun 2010 – 2019)

2. Bagaimanakah gambaran tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh kaitannya dengan Kepadatan penduduk selama sepuluh tahun terakhir ( tahun 2010 – 2019).

3. Bagaimanakah gambaran tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh kaitannya dengan kelembaban udara selama sepuluh tahun terakhir ( tahun 2010 – 2019).

(27)

4. Bagaimanakah gambaran tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh kaitannya dengan suhu udara selama sepuluh tahun terakhir ( tahun 2010 – 2019).

5. Bagaimanakah gambaran tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh selama sepuluh tahun terakhir ( tahun 2010 – 2019).

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue yang berhubungan dengan curah hujan, suhu, kelembaban dan kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh tahun 2010 - 2019.

1.3.2 Tujuan khusus

1 Menganalisis dan memetakan pengaruh curah hujan, kelembaban udara, suhu dan kepadatan penduduk terhadap kasus DBD.

2 Menganalisis tingkat kerawanan penyakit demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh

3 Rekomendasi pengelolaan Lingkungan

(28)

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi para penentu kebijakan dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh dalam rangka penentuan arah kebijakan program Pemberantasan dan penanggulangan demam berdarah dengue di Kota Banda Aceh.

1.4.2 Manfaat Ilmiah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan sebagai bahan pembelajaran bagi peneliti selanjutnya.

1.4.3 Manfaat Praktisi

Diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti tentang sebaran daerah demam berdarah dengue dengan menggunakan Sistem Informasi Geofisika (SIG).

1.4.4 Manfaat bagi masyarakat

Agar masyarakat dapat memperoleh informasi tentang sebaran daerah demam berdarah dengue dan dapat menambah kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat agar terus aktif dalam program pemberantasan penyakit tersebut.

(29)

10 TUNJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdara Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi DBD

Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus berbahaya karena dapat menyebabkan penderita meninggal dalam waktu yanrtg sangat singkat. Gejala klinis DBD berupa demam tinggi yang berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari. Tanda dan gejala perdarahan yang biasanya didahului dengan terlihatnya tanda khas berupa bintik-bintik merah (petechia) pada badan penderita bahkan penderita dapat mengalami syok dan meninggal (Sutanto, 2018)

2.1.2 Penyebab DBD

Penyebab dari DBD yaitu virus dengue termasuk genus Flafivirus dan family Flaviviridae serta memiliki RNA berantai tunggal. Virus dengue terdiri atas 4 serotipe yaitu virus dengue 1 (DEN-1), virus dengue 2 (DEN- 2), virus dengue 3 (DEN-3), dan virus dengue 4 (DEN -4), yang diklasifikasikan oleh Albert Sabin pada tahun 1944. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia (Soedarto, 2012)

(30)

2.1.3 Epidemiologi

Virus dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus (betina). Kedua jenis nyamuk ini mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang terbatas. Meskipun merupakan vektor yang sangat baik untuk virus dengue, biasanya Aedes albopictus merupakan vektor epidemi yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti (Zulkoni, 2011).

Aedes aegypti tersebar luas di seluruh indonesia. Walaupun spesies ini ditemukan di kota-kota perlabuhan yang penduduknya padat, nyamuk ini juga ditemukan di pedesaan. Penyebaran Aedes aegypti dari pelabuhan ke desa disebabkan oleh larva Aedes aegypti yang terbawa melalui transportasi. Tempat perindukan utama Aedes aegypti adalah tempat-tempat berisi air bersih yang berdekatan letaknya dengan rumah penduduk, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perindukan tersebut berupa tempat perindukan buatan manusia; seperti tempayan/gentong tempat penyimpanan air minum, bak mandi, pot bunga, kaleng, botol, drum, ban mobil yang terdapat di halaman rumah atau di kebun yang berisi air hujan, juga berupa tempat perindukan alamiah; seperti

Gambar 2.1 Nyamuk Aedes aegypti (Kemenkes, 2013)

(31)

kelopak daun tanaman (keladi & pisang), tempurung kelapa, tonggak bambu dan lubang pohon yang berisi air hujan. Ditempat perindukan Aedes aegypti seringkali ditemukan larva Aedes albopictus yang hidup bersama-sama. Aedes aegypti tersebar luas di dunia yang terletak di daerah sesuai dengan garis geografi antara 400 Lintang Utara dan 400 Lintang Selatan, dan hanya hidup pada suhu antara 280-370 Celcius (Sutanto, 2018).

2.1.4 Siklus Hidup dan Perilaku Nyamuk Aedes aegypti

Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dari telur yang menetas menjadi larva setelah 2 hari, selanjutnya kulit larva mengelupas menjadi pupa dan selanjutnya berkembang menjadi dewasa. Dari telur menjadi nyamuk dewasa dibutuhkan waktu sekitar 8 hari. Pada tempat perindukan Aedes aegypti sering ditemukan Aedes albopictus. Maka dapat disimpulkan bahwa masa inkubasi nyamuk berlangsung sekitar 6 hari (Zulkoni, 2011).

Gambar. 2.2 Ssiklus hidup n yamuk Aedes aegypti (Kemenkes, 2013)

(32)

Daur hidup nyamuk Aedes aegypti diawali dengan nyamuk betina meletakkan kulitnya di dinding tempat perindukannya 1-2 cm diatas permukaan air. Seekor nyamuk betina dapat meletakkan ratarata 100 butir telur setiap kali bertelur. Setelah kira-kira 2 hari telur menetas menjadi larva lalu mengadakan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali, tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi dewasa memerlukan waktu kira-kira 9 hari (Sutanto, 2015).

2.1.5 Ciri-ciri Nyamuk Aedes aegypti

Nyamuk Aedes aegypti telah lama diketahui sebagai vektor utama dalam penyebaran penyakit DBD, adapun ciri-cirinya adalah sebagai berikut:

1. Badan kecil berwarna hitam dengan bintik-bintik putih.

2. Jarak terbang nyamuk sekitar 100 meter.

3. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan.

4. menghisap darah pada pagi hari sekitar pukul 09.00-10.00 dan sore hari pukul 16.00-17.00.

5. Nyamuk betina menghisap darah unuk pematangan sel telur, sedangkan nyamuk jantan memakan sari-sari tumbuhan.

6. Hidup di genangan air bersih bukan di got atau comberan.

7. Di dalam rumah dapat hidup di bak mandi, tempayan, vas bunga, dan tempat air minum burung.

8. Di luar rumah dapat hidup di tampungan air yang ada di dalam drum, dan ban bekas. (Soedarto, 2012)

2.1.6 Tanda dan Gejala DBD

Tanda dan gejala DBD menurut Zulkoni (2011), yaitu:

a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari (380C-400C)

(33)

b. Manifestasi pendarahan (hidung, gusi, mimisan, kulit lengan) c. Hepatomegali (pembesaran hati)

d. Syok, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, tekanan sistolik sampai kurang dari 80/menit

e. Trombositopeni, pada hari ke 3-7 ditemukan trombosit dibawah 100.000/mm3

f. Gejala klinik lain: lemah, mual, muntah, sakit perut, diare, kejang dan sakit kepala.

2.1.7 Patogenesis dan Patofisologi DBD

Sukandar dkk (2017) telah membagi secara singkat tentang patogenesis demam berdarah dalam 3 fase sebagai berikut:

a. Fase febris (demam)

Pada fase ini, pasien mengalami demam tinggi secara tibatiba selama 2-7 hari, muka merah (facial flushing), nyeri/linu (generalized body ache), nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (arthalgia), sakit kepala, eritema pada kulit, anoreksia, mual dan muntah.

b. Fase kritis Pasien dalam tahap ini mempunyai resiko tertinggi terhadap tanda dan gejala akibat kebocoran plasma yang biasanya berlangsung selama 24-48 jam, beberapa indikator penurunan suhu ( menjadi 37,50 – 380C atau kurang), peningkatan hematokrit (> 20% dari baseline), trombositopenia (<100.000/mm3), hipokalsemia, hipoalbuminemia, efusi pleura tampak pada sinar x, dan asites. Monitoring yang dilakukan untuk pasien dengan kebocoran plasma mencakup seluruh parameter

(34)

hemodinamik yang berkaitan dengan kompensasi syok. Syok dapat terjadi pada pasien yang kehilangan banyak cairan dan dikategorikan sebagai SSD (Syndrome Syok Dengue).

c. Fase reabsorbsi (pemulihan)

Tahap ini dimulai jika pasien dapat bertahan dari fase kritis. Pada fase ini kebocoran plasma berhenti dan cairan dari ruang intravaskular diserap kembali, tanda vital kembali normal, hematokrit normal dan pasein membaik.

Gambar 2.3 Patogenesis penyakit demam berdarah (Sudjana, 2010)

2.2 Pencegahan dan Pengendalian Demam Berdarah Dengue 2.2.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

Tindakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan cara pengendalian vektor sebagai salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD. Menurut Kemenkes (2011) PSN DBD dilakukan dengan cara “3M-Plus”, 3M yang dimaksud yaitu;

(

(35)

1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi atau wc sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembangbiak ditempat itu (M1). Hasil penelitian Anwar 2017 bahwa frekuensi pengurasan tempat penampungan air (TPA) mempunyai hubungan terhadap kejadian DBD. Hal ini disebabkan karena secara umum nyamuk meletakkan telurnya pada dinding TPA, oleh karena itu pada waktu pengurasan atau pembersihan TPA dianjurkan menggosok atau menyikat dinding-dinding TPA

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan lain-lain (M2). Melakukan penutupan pada tempat penampungan air sangat penting untuk menekan jumlah nyamuk yang hinggap pada kontainer atau TPA, dimana kontainer tersebut menjadi media berkembangbiaknya nyamuk Aedes agypti (Kusumawati, 2017).

3. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan (M3) agar lingkungan tetap bersih dan terhindar dari tempat perkembangbiakan nyamuk terutama nyamuk Aedes agypti (Ardillah, 2015).

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

a. Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau membuang air pada tempat-tempat lainnya seperti tempat penampungan air pada dispender, kulkas, dan TPA sejenisnya seminggu sekali. Selain itu, keberadaan pot tanaman hias di rumah khususnya tanaman hias yang menggunakan media air umumnya terdapat genangan air. Genangan air ini bisa dijadikan sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Upaya PSN dengan

(36)

memperhatikan kebersihan pot tanaman hias hendaknya terus dilakukan oleh masyarakat, sehingga dapat mengurangi kemungkinan pot tanaman hias menjadi sarang nyamuk (Adi, 2017).

b. Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak ancar atau rusak agar nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak di tempat tersebut (Kemenkes, 2011).

c. Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, tempurung kelapa, pelepah pisang dengan tanah sehingga nyamuk Aedes aegypti tidak dapat berkembang biak (Kemenkes, 2011).

d. Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau di daerah yang sulit air. Pemberantasan larva dilakukan dengan larvasida yang dikenal dengan istilah abatisasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah temefos. Formulasi temefos yang digunakan ialah granules (sandgranules). Dosis digunakan 1 ppm atau 10 gram (+ 1 sendok makan rata) untuk tiap 100 liter air. Abatisasi dengan temefos tersebut mempunyai efek residu 3 bulan (Tamza, 2013).

e. Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air.

Misalnya memelihara ikan ikan kepala timah, ikan guppy, ikan gabus.

Ikan-ikan tersebut merupakan pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk (Prasetyani, 2015).

f. Memasang kawat kasa pada ventilasi rumah merupakan salah satu pengendalian penyakit DBD secara mekanik. Pemakaian kawat kasa pada setiap lubang ventilasi yang ada di dalam rumah bertujuan agar nyamuk

(37)

tidak masuk ke dalam rumah dan menggigit manusia (host/Pejamu) (Adi, 2017).

g. Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar. Kebiasaan mengantung pakaian memiliki peluang bisa terkena penyakit DBD. Pakaian yang tergantung di balik lemari atau di balik pintu sebaiknya dilipat dan disimpan dalam lemari karena nyamuk Aedes aegypti senang hinggap dan beristirahat di tempat-tempat gelap dan kain tergantung (Adi, 2017).

h. Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai. Ventilasi rumah adalah lubang tempat udara keluar masuk secara bebas. Ventilasi biasanya dimanfaatkan oleh nyamuk untuk keluar maupun masuk ke dalam rumah. Pada umumnya jentik dari nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam kontainer yang gelap dan menarik nyamuk betina untuk meletakkan telurnya. Di dalam kontainer yang berintensitas cahaya rendah atau gelap rata-rata berisi larva lebih banyak dari kontainer yang intensitas cahayanya besar atau terang (intensitas pencahayaan alam kurang dari 50 lux) (Adi, 2017).

i. Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk. Obat anti nyamuk atau lotion merupakan penolak serangga atau perlindungan diri yang umum digunakan masyarakat terhadap nyamuk. Dapat disimpulkan bahwa orang yang menggunakan obat anti nyamuk atau lotion tidak memiliki peluang untuk terkena penyakit DBD, sebaliknya orang yang tidak pernah menggunakan obat anti nyamuk atau lotion akan berpeluang untuk terkena penyakit DBD (Astuti, et al., 2016).

(38)

Upaya dalam pengendalian demam berdarah dengue (DBD) pada masyarakat dapat dilakukan dengan gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur). Upaya pencegahan dan pengendalian ini merupakan salah satu bentuk tindakan untuk memutus rantai penularannya dengan cara memberantas jentik nyamuk penularannya. Kurangnya perhatian masyarakat tentang perilaku menguras, menutup, dan mengubur ini sehingga dari tahun ke tahun meningkatkan angka kejadian demam berdarah semakin tinggi (Wulandari, 2016).

Perilaku 3M ini berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegipty. Kegiatan abatasi masih di laksanakan oleh sebagian kecil masyarakat.

Keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti berhubungan dengan terjadinya penyakit DBD. Dengan demikian upaya mencegah terjadinya DBD yaitu dengan memberantas keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti (Anggraini, 2016).

2.3 Landasan Teori

Teori segitiga epidemiologi menjelaskan bahwa timbulnya penyakit disebabkan oleh adanya pengaruh faktor Pejamu (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment) yang digambarkan sebagai segitiga. Pada prinsipnya kejadian penyakit yang digambarkan sebagai segitiga epidemologi menggambarkan hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu : Pejamu, agen dan lingkungan.

Untuk memprediksikan pola penyakit, model ini menekan perlunya analisis dan pemahaman masing-masing komponen. Perubahan pada satu komponen akan mengubah ketiga komponen lainnya, dengan akibat menaikkan

(39)

atau menurunkan kejadian penyakit. Komponen untuk terjadinya penyakit DBD yaitu :

2.3.1 Agent (Agen)

Agent penyebab penyakit DBD adalah virus Dengue yang termasuk Arthropoda Borne Virus (Arbopirosis). Anggota dari genus Falvivirus, family Flaviviridae yang ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti dan juga nyamuk Aedes Albopictus yang merupakan vector infeksi DBD.

2.3.2 Host (Pejamu)

Pejamu adalah keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor risiko untuk terjadinya penyakit. Dipengaruhi juga oleh : pengetahuan, sikap, kesempatan, kemauan dan kemampuan.

2.3.3 Environment (Lingkungan)

Lingkungan adalah kondisi atau faktor pengaruh yang bukan bagian dari agen maupun pejamu, tetapi mampu mengintraksikan agen dan pejamu.

Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi curah hujan, suhu, kelembaban udara dan kepadatan penduduk.

2.4 Iklim

2.4.1 Pengaruh Iklim terhadap Kejadian DBD

Iklim dan variabelnya yaitu kelembaban, suhu udara dan curah hujan merupakan bagian penting dalam penularan penyakit berbasis vector. Penyakit menular terutama yang sensitive terhadap iklim akan sangat berpengaruh ketika perubahan iklim terjadi. Perubahan iklim akan membuat suhu meningkat, curah

(40)

hujan meningkat, dan begitu juga kelembaban. Iklim juga memengaruhi pola penyakit infeksi dalam hal virus, bakteri atau parasite dan vektornya.

Suhu berpengaruh terhadap kematangan dan replika organisme termasuk vektor. Pada suhu yang panas yakni diantara 28-320C merupakan suhu yang nyamuk Aedes sukai. Peningkatan suhu mempercepat masa inkubasi sehinga memperluas penularan, seperti vektor DBD berkembangnya mulai dari telur, larva, dan pupa sangat tergantung pada suhu sekitar, namun pada suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C perkembangan nyamuk akan terhenti (Ruliansyah, 2013)

Pengaruh lain variabel iklim antara lain adanya pengaruh curah hujan terhadap penyakit yang bersumber reservoir seperti Demam Berdarah Dengue (DBD), adanya curah hujan akan meningkatkan tempat berkembang biak nyamuk.

Curah hujan dengan intensitas yang tinggi akan menghilangkan tempat perindukan nyamuk. Curah hujan 140mm/minggu dapat menghambat perindukan nyamuk karena pada curah hujan yang tinggi akan menyebabkan hilangnya tempat perindukan vektor karena terbawa aliran air, curah hujan >2000 mm per tahun menjadikan populasi Aedes di perkotaan, dan pedesaan lebih stabil.

Begitu juga dengan kelembaban udara, kelembaban yang tinggi yaitu diatas 80% akan membuat nyamuk aktif dan lebih sering melakukan gigitan (Sulistyawati, 2019).

2.4.2 Curah Hujan

Curah hujan diindikasi memegang peranan penting dalam penularan penyakit DBD. Curah hujan dapat berhubungan dengan kasus DBD dengan dua cara yaitu meningkatkan suhu dan kelembaban udara serta menambah tempat

(41)

perkembangbiakan atau breeding place nyamuk Aedes aegypti. Semakin banyak breeding place maka nyamuk Aedes aegypti akan menempatkan telurnya. Curah hujan yang tinggi dalam waktu yang lama dapat menyebabkan banjir sehingga menghilangkan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti yang biasanya hidup di air bersih. Hal ini mengakibatkan jumlah perindukan nyamuk akan berkurang sehingga populasi nyamuk akan berkurang.

Curah hujan akan meningkatkan tempat berkembang biak nyamuk. Curah hujan dengan intensitas yang tinggi akan menghilangkan tempat perindukan nyamuk. Curah hujan 140mm/minggu dapat menghambat perindukan nyamuk karena pada curah hujan yang tinggi akan menyebabkan hilangnya tempat perindukan vektor karena terbawa aliran air, curah hujan >2000 mm per tahun menjadikan populasi Aedes di perkotaan, dan pedesaan lebih stabil. (Aisyah, 2017)

Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, salah satu faktor penyebab DBD adalah musim hujan. Musim hujan adalah salah satu faktor penyebab mewabahnya demam berdarah (DBD) di Indonesia. Musim hujan di Indonesia berlangsung cukup lama, antara bulan Oktober sampai bulan Februari. Selama musim hujan umumnya kasus demam berdarah meningkat karena banyaknya genangan air. Genangan air hujan atau bahkan sisa arus banjir adalah sarana paling ideal bagi nyamuk Aedes untuk bertelur. Nyamuk akan lebih mudah dan cepat berkembang biak di lingkungan yang lembab. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Kabupaten Banyumas tahun 2010-2015 yang mana curah hujan tertinggi 729 mm terjadi dibulan Oktober dan kasus DBD juga

(42)

menurun hanya 24 kasus, yang mana pada curah hujan 155 mm jumlah kasus DBD 104 kasus.

Begitu pula selama musim pancaroba (peralihan musim dari kemarau ke hujan, atau sebaliknya). Di musim pancaroba, kadang suhu lingkungan juga akan terasa lebih lembap. Ini membuat masa inkubasi virus dalam tubuh nyamuk berlangsung lebih cepat. Artinya nyamuk akan punya lebih banyak peluang untuk menginfeksi banyak orang sekaligus dalam waktu singkat.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Iriani (2012) kasus DBD tertinggi 495 kasus terjadi pada curah hujan 503 mm/bulan dan kasus DBD terendah 19 kasus dengan curah hujan 37 mm/bln. Secara umum, iklim adalah faktor kunci yang mengendalikan di mana spesies nyamuk dapat hidup. Nyamuk akan mencari habitat yang cocok saat perubahan iklim agar nyamuk tetap terus bisa berkembang biak.

Populasi nyamuk juga dapat bertambah jika musim kemarau tiba karena tempat penyimpanan air yang dipergunakan oleh masyarakat bisa menjadi breeding place nyamuk (Ibarra, et al., 2013). Tempat perindukan dan populasi nyamuk juga akan bertambah jika curah hujannya kecil namun dalam waktu yang lama (Dini, et al., 2010).

Menurut Ibara, et al. (2013), hubungan iklim dengan kasus DBD dapat terjadi pada variabel curah hujan atau suhu bahkan tidak ada hubungan antara kedua variabel tersebut. Variasi ini biasa disebabkan oleh faktor lain seperti praktik penyimpanan air, pengetahuan dan risiko persepsi masyarakat, dan kondisi perumahan.

(43)

Hujan merupakan salah satu bentuk presipitasi uap air yang berasal dari awan yang terdapat di atmosfer. Hujan berdasarkan intensitasnya, yaitu :

1. Sangat lemah (kurang dari 0,02 mm/menit) 2. Lemah (0,02-0,05 mm/menit)

3. Sedang (0,05-0,25mm/menit) 4. Deras (0,25-1,00 mm/menit)

5. Sangat deras (lebih dari 1,00 mm/menit). Badan Pusat Statistik (2017)

2.4.3 Kelembaban Udara

Kelembaban memengaruhi keberadaan nyamuk karena berhubungan dengan sistem pernafasan nyamuk. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang pada dinding tubuh nyamuk yang disebut spiracle.

Spiracle nyamuk berada dalam kondisi terbuka tanpa ada mekanisme untuk mengatur sehingga sensitif terhadap kelembaban di lingkungan. Apabila kelembaban di lingkungan rendah maka penguapan air dari dalam tubuh nyamuk akan membuat nyamuk kekurangan cairan tubuh (Dinata, 2015).

Tingkat kelembaban 60 % merupakan batas paling rendah untuk Memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban kurang dari 60 %, umur

nyamuk akan semakin pendek. Kelembaban udara yang tinggi berkisar 85% akan memperpanjang umur nyamuk. Umur nyamuk yang semakin panjang akan mengakibatkan frekuensi gigitan nyamuk juga meningkat dan dapat mengakibatkan penularan penyakit DBD semakin tinggi (Kurniawati, 2014).

(44)

Pada BMKG, pengukuran kelembaban udara biasa menggunakan alat psikrometer.

2.4.4. Suhu

Uji Chi Square antara variabel suhu dengan kasus DBD menunjukkan bahwa adanya hubungan dinatara kedua variable tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan suhu akan diikuti dengan peningkatan kasus DBD di wilayah kerja Puskesmas Putat Jaya (Fitriana, 2018).

Suhu adalah parameter lingkungan yang penting dalam meningkatkan perkembangbiakan vektor, siklus gonotropik nyamuk, tingkat gigitan, memperpendek periode inkubasi pathogen dan memperpanjang umur nyamuk dewasa. Selain itu, suhu yang lebih tinggi juga meningkatkan tingkat perkembangan larva. Pada nyamuk dewasa, suhu yang lebih tinggi dapat meningkatkan tingkat gigitan nyamuk (biting rate) dan mengurangi waktu yang dibutuhkan virus untuk bereplikasi dalam tubuh nyamuk, yang dikenal sebagai masa inkubasi ekstrinsik virus dengue. Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh nyamuk yang lebih cepat diimbangi dengan tingkat gigitan nyamuk menjadi lebih sering akan mengakibatkan risiko penularan DBD semakin meningkat pula (Gama, et al., 2013).

Suhu optimum untuk nyamuk berada pada rentang 25ºC-27ºC. Selain itu pada rentang suhu 20ºC-30ºC merupakan suhu ideal untuk kelangsungan hidup nyamuk pada semua tahapan siklusnya. Masa inkubasi ekstrinsik virus dalam tubuh nyamuk berkurang dari 9 hari pada suhu 26ºC dan 28 ºC menjadi 5 hari pada suhu 30ºC. Siklus resproduksi nyamuk betina juga dipegaruhi oleh suhu lingkungan yang mana pada suhu kurang dari 20ºC fertilisasi nyamuk betina

(45)

berkurang. Aktivitas menggigit nyamuk betina juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Aktivitas menggigit nyamuk betina yang tinggi akan meningkatkan penyebaran penyakit DBD ( Fitriana, 2018).

2.5 Perubahan Iklim

Perubahan iklim adalah suatu keadaan dimana iklim berubah secara drastis dalam jangka waktu yang lama dan dalam luasan yang besar. Perubahan tersebut dapat diukur secara statistic baik variasi maupun rata-ratanya. Perubahan iklim ini dapat diakibatkan oleh kondisi alami maupun karena aktivitas manusia (Sulistyawati,2015).

Faktor peragam iklim yang mungkin berubah cukup cepat adalah kerapatan dan penyebaran vegetasi. Peniadaan atau pengurangan vegetasi secara drastic misalnya penggundulan hutan, dapat mengubah iklim setempat/local dan juga global. Perubahan iklim local terutama berkaitan dengan neraca air atau siklus hidrologi. Dampak global dari pengurangan vegetasi adalah berkaitan dengan peran vegetasi dalam memanfaatkan CO2 dari atmosfer.

Menurut Kurniawan (2012), rata-rata suhu tahunan Indonesia diketahui telah mengalami peningkatan sejak tahun 1990. Hasil observasi yang telah dilakukan, peningkatan suhu rata-rata tahunan Indonesia mencapai 0,30C. dampak perubahan iklim yang terjadi diperkirakan juga mempengaruhi cara hujan yang terjadi di Indonesia. Dampak tersebut dapat mempengaruhi sebesar 2-3%

peningkatan curah hujan di Indonesia.

(46)

2.5.1 Dampak Perubahan Iklim

Dampak dari kejadian iklim ekstrim diperkirakan akan semakin parah apabila kerusakan lingkungan. Di bidang kesehatan, bidang penyakit menular dan non menular memerlukan perhatian karena perubahan iklim akan memberikan dampak meningkatnya kasus penyakit terutama penyakit yang sensitive terhadap iklim (Sulistyawati, 2019).

2.6 Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk adalah ukuran terhadap jumlah penduduk yang dibagi berdasarkan luas lahan, karena jumlah penduduk mengubah ukuran dari pertambahan penduduk atau pengurangan penduduk dari awal sampai pada interval populasi, atau dapat disederhanakan menjadi perbandingan antara banyaknya penduduk dan luas wilayahnya.

Klasifikasi kepadatan penduduk terbagi menjadi 4 jenis : a. <400 jiwa/km2 dalam kategori kepadatan rendah

b. 400-600 jiwa/km2 dalam kategori kepadatan sedang c. 600-1000 jiwa/km2 dalam kategori kepadatan tinggi

d. >1000 jiwa/km2 dalam kategori kepadatan sangat tinggi (Badan Pusat Statistik, 2018)

Kepadatan penduduk kasar merupakan ukuran persebaran penduduk yang umum dilakukan, karena selain data dan cara perhitungannya sederhana, ukuran ini sudah distandarisasi dengan luas wilayah. (Badan Pusat Statistik, 2012)

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, antara lain pertumbuhan penduduk yang tinggi, urbanisasi

(47)

yang tidak terencana dan tidak terkendali, tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis dan peningkatan sarana transportasi. Manusia adalah pembawa utama virus dengue. Negara-negara yang terserang dengue umumnya mempunyai kenaikan jumlah penduduk yang pesat. Dengan demikian manusia pembawa virus akan semakin banyak. Perbaikan transportasi akan disertai perpindahan orang dan barang yang cepat dari daerah dengue ke daerah nondengue atau sebaliknya. Kepadatan penduduk ini akan memudahkan transmisi virus dengue karena sifat multiple bitting dari virus (Prasetyowati, 2015)

Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak rumah yang sangat berdekatan membuat penyebaran penyakit DBD lebih intensif di wilayah perkotaan daripada wilayah pedesaan karena jarak rumah yang berdekatan memudahkan nyamuk menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya (Maria, 2013).

Kepadatan hunian juga berkontribusi terhadap penyebaran penyakit DBD.

Rumah yang jumlah penghuninya lebih banyak berpeluang lebih besar untuk tertular virus dengue dibandingkan yang penghuninya sedikit (Hakim 2010).

Berdasarkan penelitian Hakim 2010, dari analisa multivariat diketahui bahwa keberadaan jentik/pupa nyamuk Ae. Aegypti, dominasinya lebih tinggi hubungannya dengan frekuensi menggigit disamping jumlah manusia per rumah.

Kepadatan penduduk pada suatu wilayah dapat mempengaruhi kesehatan penduduk di dalamnya. Kepadatan penduduk yang tinggi dan jarak rumah yang sangat berdekatan dapat meningkatan penyebaran penyakit DBD, bahkan lebih berisiko pada wilayah perkotaan daripada wilayah pedesaan karena jarak rumah

(48)

yang berdekatan yang memudahkan nyamuk menyebarkan virus dengue dari satu orang ke orang lain yang ada disekitarnya (Prasetyowati, 2019).

Menurut hasil penelitian Emilia Chandra 2015 mengatakan kepadatan penduduk berpengaruh terhadap kejadian DBD, semakin tinggi kepadatan penduduk maka semakin tinggi kejadian DBD.

Berdame (2013), penduduk bersifat dinamis dalam arti kualitas dan kuantitas, yakni:

a. jumlah penduduk berkaitan dengan fertilitas, mortalitas dan migrasi/mobilitas

b. komposisi penduduk c. ledakan penduduk d. angka harapan hidup

Faktor yang menyebabkan kepadatan penduduk ialah :

1. Faktor kelahiran, faktor ini merupakan yan paling berpengaruh terhadap laju pertumbuhan penduduk.

2. Faktor iklim, dengan iklim yang nyaman dan letak tempat yang strategis membuat penduduk beramai-ramai untuk menetap ditempat tersebut.

3. Faktor ekonomi, adanya lapangan pekerjaan di suatu wilayah menyebabkan penduduk untuk berpindah ke wilayah tersebut untuk bekerja.

4. Faktor social, tempat yang aman, dan nyaman menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ledakan jumlah penduduk di suatu wilayah.

(49)

2.7 GIS (Geografic Information System)

Sistem adalah sekelompok komponen dan elemen yang digabungkan menjadi satu untuk mencapai tujuan tertentu. Informasi adalah jenis acara yang mempengaruhi suatu negara dari sistem dinamis. Para konsep memiliki banyak arti lain dalam konteks yang berbeda. Informasi bisa di katakan sebagai pengetahuan yang didapatkan dari pembelajaran, pengalaman, atau instruksi.

Geografi adalah ilmu yang mempelajari tentang lokasi serta persamaan, dan perbedaan (variasi) keruangan atas fenomena fisik, dan manusia di atas permukaan bumi. Kata geografi berasal dari Bahasa Yunani yaitu gêo ("Bumi"), dan graphein ("tulisan", atau "menjelaskan")

Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini.

2.7.1 Aplikasi-Aplikasi SIG

Aplikasi di bidang, Sumberdaya alam, perencanaan, demografi, lingkungan, pertanahan, parawisata, ekonomi – bisnis – marketing - perpajakan, biologi, telekomunikasi, biologi, hidrografi/kelautan, pendidikan, transportasi/

perhubungan, kesehatan, militer.

(50)

2.7.2 Gambaran SIG sebagai sebuah sistem yang meliputi:

1. Input : mengumpulkan dan menyimpan data 2. Proses: manipulasi, meng-update, menganalisa.

3. Output: menampilkan atau menyajikan data hasil pemrosesan.

2.7.3 Manfaat Penyimpanan Dan Pengolahan Data Digital Dengan SIG SIG yang berbasis komputer, dalam arti data-data yang tersimpan didalamnya memiliki format digital, memiliki berbagai kelebihan yaitu:

1. Variasi tampilan data

Data digital memiliki variasi tampilan yang hampir tidak terbatas. Bentuk, warna, ukuran dari garis, simbol, dan teks yang tersaji dalam peta bisa dibuat bervariasi sesuai dengan apapun keinginan pembuat. Disamping itu tema peta dapat diubah dengan sangat cepat dan direproduksi dalam jumlah berapapun dalam waktu singkat.

2. Keanekaragaman dan kombinasi

Data digital spasial memungkinkan dikombinasikan atau diintegrasikan data lain baik spasial maupun non spasial, sehingga dapat menghasilkan keluaran yang sangat beranekaragam. Misalnya peta kualitas lahan, dikombinasikan dengan peta persil tanah, dapat digunakan untuk menaksir harga lahan, selain itu juga peta kualitas lahan juga dapat dikombinasikan dengan tabel persyaratan tumbuh tanaman, dapat menghasilkan peta tingkat kesesuaian lahan untuk jenis tanaman tertentu.

3. Efisiensi

Satu set data digital dapat diakses secara bersama-sama oleh beberapa orang sekaligus untuk dianalisis yang berbeda.

(51)

4. Pembaharuan

Data digital relatif lebih mudah diperbaharui, dengan fasilitas editing yang ada. Tidak seperti peta manual yang harus digambar ulang secara keseluruhan, pada

peta digital data terbaru tinggal ditambahkan saja pada posisi-posisi yang akan diperbaharui. Dengan demikian peta digital dapat dijaga untuk selalu baru. (Pengantar Kartografi dan Sistem Informasi Geografis, 2019).

2.7.4 Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Data Spasial di Bidang Kesehatan

Sebelum berbicara lebih lanjut tentang sistem informasi geografis bidang kesehatan, ada baiknya kita singgung sekilas tentang perangkat utama GIS ini, yaitu GPS. Proyek GPS dikembangkan pada tahun 1973 untuk mengatasi keterbatasan sistem navigasi sebelumnya. Sistem navigasi ini menggunakan 24 satelit MEO (medium earth orbit atau middle earth orbit) yang mengelilingi bumi dan penerima-penerima di bumi. Satelit mengorbit pada ketinggian sekitar 12.000 mil di atas bumi, dan mampu mengelilingi bumi dua kali dalam 24 jam. Satelit GPS secara terus-menerus mengirimkan sinyal radio digital yang mengandung data lokasi satelit dan waktu pada penerima yang berhubungan. Satelit GPS dilengkapi dengan jam atom dengan ketepatan satu per satu juta detik.

Berdasarkan informasi ini, stasiun penerima mengetahui berapa lama waktu yang digunakan untuk mengirim sinyal sampai ke penerima di bumi.

Penggunaan teknologi ini memungkinkan kita untuk melihat informasi secara keseluruhan dengan cara pandang baru, melalui basis pemetaan, dan menemukan hubungan yang selama ini sama sekali tidak terungkap. Dalam

(52)

bidang kesehatan, aplikasi GIS, misalnya dapat digunakan untuk menentukan masalah kesehatan berdasarkan aspek lokasi berdasarkan data-data kependudukan.

Aplikasi SIG umumnya difungsikan sebagai tools untuk mendukung pengambilan keputusan. Kemampuannya untuk menyimpan (storing), mengambil (retrieving), analisa (analyzing), modelling dan mapping.

Ciri dari aplikasi SIG yang baik adalah bila aplikasi tersebut dapat menjawab minimal satu pertanyaan dibawah ini :

1. Lokasi, dapat menjawab yang terkait dengan lokasi atau wilayah dan gejala tertentu

2. Kondisi, dapat menjawab kondisi dari lokasi tertentu 3. Tren, dapat menjawab tren dari suatu keadaan tertentu

4. Pola, dapat menjawab gejala atau kecenderungan yang terjadi dari data yang tersedia.

Dalam bidang kesehatan, aplikasinya GIS secara umum antara lain : 1. Menentukan persebaran secara geografis dan jenis-jenis penyakit

2. Untuk kegiatan stratifikasi faktor-faktor risiko penyakit dan masalah kesehatan

3. Untuk estimasi terjadinya wabah 4. Untuk kepetingan pemantauan penyakit

5. Dapat meningkatkan kepedulian masyarakat tentang pengelolaan lingkungan, peralatan, persediaan dan sumber daya manusia

6. Memantau kebutuhan kesehatan secara terpusat

(53)

7. Untuk mengetahui peralatan-peralatan dan persediaan dalam pelayanan kesehatan

8. Sementara pendapat lain menyatakan, epidemiologi spatial adalah deskriptif dan analisis tentang variasi geografis dengan penyakit, dalam hubungannya dengan demografi, lingkungan, kebiasaan (behavioral), sosio ekonomi, genetika, faktor risiko infeksi. Keuntungan dalam sistem informasi geografis, metodologi statistik, dan ketersediaan resolusi tinggi geografi yang berhubungan dengan kesehatan, dan data kualitas lingkungan yang belum dibuat sebelumnya, membuka kesempatan baru untuk melakukan penelitian lingkungan dan faktor-faktor lainnya dalam menjelaskan variasi geografis lokal dalam kaitannya dengan penyakit.

Gambar

Gambar 2.5 Kerangka Teori Segitiga Epidemologi      Sumber : Epidemilogi suatu Pengantar, Timmrek (2005)
Gambar 2.7 Konsep Penelitian Kondisi Iklim : -  Curah hujan  -  Kelembaban udara  -  Suhu  Kondisi Demografi :  Kepadatan penduduk  Kasus DBD di Kota Banda Aceh
Gambar 3.1 Peta administrasi penelitian
Diagram alur penelitian adalah sebagai berikut :
+7

Referensi

Dokumen terkait

udara dengan kasus DBD di kota Sukabumi di tahun 2010-2015, tetapi tidak ada hubungan yang signifi ­ kan antara faktor iklim (curah hujan, dan kelembaban) dengan tingkat kejadian

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan

Skripsi yang berjudul Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2005-2007 berisi tentang gambaran kasus dan faktor risiko

Penelitian ini tergolong penelitian Deskriptif dengan menggunakan pendekatan keruangan (spatial analysis), yaitu menghasilkan pola spasial serta sebaran dari penyakit

Gampong Ateuk Pahlawan merupakan daerah dengan kasus DBD tinggi berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh periode tahun 2011-2016.. Penelitian ini bertujuan

Demam Berdarah Dengue semakin menyebar seiring dengan perubahan iklim seperti tingginya curah hujan di bulan-bulan tertentu sepanjang tahun, suhu udara optimum, kelembaban

Penelitian ini merupakan studi ekologi atau studi korelasi populasi tentang hubungan unsur iklim (suhu udara rata-rata, kelembaban nisbi, indeks curah hujan, kecepatan

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa faktor perubahan iklim suhu, curah hujan, kelembaban tidak