• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

8 2.1.1 Pengertian bakteri

Kelompok mikroorganisme yang paling penting dan beraneka ragam, yang berhubungan dengan makanan dan manusia adalah bakteri. Bakteri terdapat secara luas dilingkungan alam yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan tanah. Pada kenyataannya sangat sedikit sekali lingkungan yang bersih dari bakteri. Bakteri adalah mikroorganisme bersel tunggal yang tidak terlihat oleh mata, tetapi dengan bantuan mikroskop, mikroorganisme tersebut akan nampak. Ukuran bakteri berkisar antara panjang 0,5 sampai 10µ dan lebar 0,5 sampai 2,5µ tergantung dari jenisnya (Arisman, 2012).

Faktor yang berperan dalam perkembangbiakan bakteri dalam makanan ditentukan oleh keadaan lingkungan serta temperatur yang cocok, selain ketersediaan zat gizi sebagai sumber makanan. Contohnya, satu sel bakteri yang hidup dalam lingkungan yang sesuai, dalam waktu 20-30 menit akan membelah diri sehingga dalam waktu 7 jam saja (menurut perhitungan laboratoris), jumlah bakteri tersebut akan menjadi dua juta. Faktor yang menyokong perkembangbiakan organisme tersebut adalah temperatur, waktu, kelembaban, oksigen, pH dan cahaya (Arisman, 2012).

(2)

1. Temperatur

Kemampuan jasad renik untuk bertahan pada lingkungan bersuhu rendah atau tinggi sangat beragam. Berdasarkan temperatur lingkungan tempat bakteri dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal, bakteri diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu (Arisman, 2012):

1) Psikofilik, yaitu bakteri yang senang hidup dalam suasana dingin, yaitu antara

0-250 C dengan temperatur optimum 20-250 C.

2) Mesofilik, yaitu bakteri yang hidup pada temperatur 20-450 C, dengan temperatur optimum 30-370 C.

3) Termofilik, yaitu bakteri yang hidup optimal pada temperatur 50-550 C, dengan kisaran pertumbuhan pada 45-700 C.

Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada suhu serendah 70 C, meskipun toksin baru dapat terbentuk pada suhu 100 C. pada umumnya pembentukan toksin dibawah 200 C berlangsung lambat.

2. Waktu

Waktu dan suhu merupakan parameter kritis (juga parameter yang dapat dikendalikan untuk menjamin keamanan pangan) dalam menilai laju pertumbuhan jasad renik patogen. Pada keadaan tertentu, waktu sebagai satu-satunya parameter (pada suhu kamar) dapat digunakan sebagai pengendali keamanan makanan (produk). Pada lingkungan yang sesuai, bakteri akan membelah diri setiap 20-30 menit sekali. Bahkan ada sel-sel bakteri yang mampu membelah diri dalam waktu kurang dari 7,1 menit.

(3)

3. Kelembaban

Tubuh bakteri terdiri atas 80% air, sama seperti makhluk lainnya, bakteri membutuhkan air selama hidupnya. Akan tetapi bakteri tidak dapat menggunakan air yang terikat dengan zat padat, misalnya garam dan gula. Kebutuhan jasad renik akan air dinyatakan sebagai water activity (aw) dalam makanan, yang dapat diartikan sebagai tekanan uap air murni pada temperatur yang sama. Secara sederhana aw dapat diartikan sebagai jumlah ketersediaan air didalam makanan untuk mendukung pertumbuhan mikroba. Nilai aw makanan menggambarkan derajat keterikatan dalam makanan tersebut. Nilai aw berkisar dari angka 0,00 hingga 1,00 sebagian besar makanan segar bernilai aw mendekati derajat pertumbuhan normal sebagian besar organisme (0,97-0,99).

4. Oksigen

Oksigen dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri yang bersifat aerob, sedangkan bakter anaerob tidak memerlukan oksigen. Sebagian bakteri tumbuh dan menghasilkan toksin pada kondisi anaerob, sedangkan yang lain mutlak memerlukan oksigen. Sebagian bakteri (Campylobacter) berbahaya bila tertelan hidup, sedangkan bakteri lain berbahaya jika organisme tersebut menghasilkan toksin (Clostridium

botulinum).

5. Derajat keasaman (pH)

Secara alami, kebanyakan bahan makanan (daging, ikan sayuran) bersifat agak asam, sedangkan sebagian lainnya (sebagian besar buah-buahan) cukup asam. Secara

(4)

umum bakteri patogen tidak dapat tumbuh atau tumbuh sangat lambat pada pH dibawah 4,6 meskipun dengan beberapa pengecualian.

Tabel 2.1 Perkiraan Nilai pH Pertumbuhan Bakteri Patogen Dalam Makanan

Bakteri Patogen Nilai pH

Minimum Optimum Maksimum

Bacillus cereus 4,9 6,0-7,0 8,8 Cl. Botulinum (tumbuh) 4,6 8,5 Cl. Botulinum (toksin) 4,6 8,5 Cl. Perfringens 5,5-5,8 7,2 8,9-9,0 Campylobacter spp 4,9 6,5-7,5 9,0 E. coli 4,4 6,0-7,0 9,0 S. aureus (tumbuh) 4,0 6,0-7,0 10,0 S. aureus (toksin) 4,5 7,0-8,0 9,6 Salmonella spp 4,2 7,0-7,5 9,5 Shigella spp 4,9 - 9,3 Vibrio parahaemolyticus 4,8 7,8-8,6 11,0 Vibrio vulvanis 5,0 7,8 10,2 Sumber : Arisman, 2012 6. Cahaya

Sebagian besar bakteri cenderung tumbuh dalam suasana gelap, meskipun faktor ini bukan suatu keharusan. Sinar ultraviolet dapat membunuh jasad renik tersebut. 2.1.2 Bakteri penyebab penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1096/Menkes/Per/VI/2011 tentang higiene sanitasi jasaboga menyatakan bahwa makanan yang dikonsumsi harus higienis, sehat dan aman yaitu bebas dari cemaran fisik, kimia dan bakteri.

Sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) No 7388:2009 mikroba yang terdapat pada daging ayam yaitu APM Escherichia coli (1 x 101 koloni/g), Salmonella

(5)

sp (negatif/25 g), Staphylococcus aureus (1 x 102 koloni/g), Bacillus cereus (1 x 102 koloni/g) (SNI, 2009).

1. Salmonella

Salmonella adalah jenis gram negatif, berbentuk batang bergerak serta

mempunyai tipe metabolisme yang besifat fakultatif anaerob. Salmonella penyebab gastroenteritis ditandai oleh gejala-gejala yang umumnya nampak 12-36 jam setelah makan bahan pangan yang tercemar. Gejala-gejala tersebut adalah berak-berak (diarrhea), sakit kepala, muntah-muntah dan demam dan dapat berakhir selama 1-7 hari. Keracunanan pangan karena Salmonella terutama berhubungan dengan daging sapi dan ayam yang baru dimasak kurang sempurna dan salah pengelolaannya sebelum dikonsumsi (Buckle, Ewards, Fleet dan Wootton, 2007).

Salmonella mungkin terdapat pada makanan dalam jumlah tinggi, tetapi tidak

selalu menimbulkan perubahan dalam hal warna, bau, maupun rasa dari makanan tersebut. Semakin tinggi jumlah Salmonella di dalam suatu makanan, semakin besar timbulnya gejala infeksi pada orang yang menelan makanan tersebut, dan semakin cepat waktu inkubasi sampai timbulnya gejala infeksi. Makanan-makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella yaitu telur dan hasil olahannya, ikan dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, serta susu dan hasil olahannya seperti es krim dan keju.

Manusia dan hewan merupakan sumber kontaminasi Salmonella secara langsung maupun tidak langsung. Bakteri ini dapat berasal dari manusia atau hewan yang terserang Salmonellosis, atau dari pembawa (carrier) bakteri tersebut. Bakteri ini

(6)

dapat dibawa oleh anjing, kucing, sapi dan ternak lainnya, tetapi yang utama yang mengontaminasi adalah yang berasal dari ternak unggas dan tikus (Supardi dan Sukamto, 1999).

2. Escherichia coli

Eschericchia coli terdapat secara normal dalam alat-alat pencernaan manusia dan

hewan. Bakteri ini adalah gram negatif, bergerak, berbentuk batang, bersifat fakultatif anaerob dan termasuk golongan Enterobacteriaceae. Organisme ini berada di dapur dan tempat-tempat persiapan bahan pangan melalui bahan baku dan selanjutnya masuk ke makanan yang telah dimasak melalui tangan, permukaan alat-alat dan peralatan lain. Masa inkubasi adalah 1-3 hari dan gejalanya menyerupai gejala-gejala keracuanan bahan pangan yang tercemar oleh Salmonella atau disentri (Buckle , Ewards, Fleet dan Wootton, 2007).

E. coli merupakan flora normal di dalam saluran pencernaan hewan dan manusia

yang mudah mencemari air. Oleh Karena itu, kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E. coli diantaranya ialah, daging ayam, daging sapi, daging babi selama penyembelihan, ikan dan makanan-makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah, serta bahan minuman seperti susu dan lainnya.

Alat-alat yang digunakan dalam industri pengolahan pangan sering terkontaminasi oleh E. coli yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci. Kontaminasi bakteri ini pada makanan atau alat-alat pengolahan merupakan suatu

(7)

tanda praktek sanitasi yang kurang baik. Diketahui bahwa E. coli merupakan bakteri yang sensitif terhadap panas, maka untuk mencegah pertumbuhan bakteri ini pada makanan disimpan pada suhu rendah.

3. Staphylococcus aureus

Sel-sel Staphylococcus aureus adalah gram positif yang berbentuk bola yang umumnya tersusun berkelompok seperti buah anggur. Bakteri ini tidak bergerak, fakultatif anaerob dan dapat tumbuh pada produk-produk yang megandung NaCl sampai 16%. Secara ekologis Staphyilococcus aureus erat sekali hubungannya dengan manusia dan hewan lainnya – terutama pada bagian kulit, hidung dan tenggorokan. Dengan demikian makanan kebanyakan tercemar melalui pengelolaan oleh manusia. Secara keseluruhan, organisme ini tidak kuat bersaing dengan lainnya dan akibatnya bakteri ini tidak mempunyai peran yang berarti pada bahan-bahan pangan yang tidak dimasak. Akan tetapi, dalam bahan pangan yang telah dimasak atau diasin, dimana organisme-organisme yang ada telah rusak oleh pemanasan atau pertumbuhanya terhambat oleh konsentrasi garam, sel-sel Staphylococcus aureus kebanyakan berhubungan dengan produk bahan pangan yang telah dimasak terutama yang dikelola oleh manusia. Gejala-gejala dari keracunan bahan pangan yang tercemar oleh Staphylococcus aureus adalah yang bersifat intoksikasi. Pertumbuhan organisme ini dalam bahan pangan menghasilkan racun enterotoksin, dimana apabila termakan dapat mengakibatkan serangan mendadak yaitu kekejangan pada perut dan muntah-muntah yang hebat. Diare dapat juga terjadi. Penyembuhannya cukup cepat dan umumnya sehari.

(8)

4. Bacillus cereus

Bakteri ini adalah gram positif berbentuk batang, bergerak, dapat membentuk spora, bersifat fakultatif anaerob dan tersebar secara luas dalam tanah dan air. Sampai akhir-akhir ini tersebut tidak digolongkan sebagai patogenik, akan tetapi sejumlah keracunan karena bahan pangan yang berhubungan dengan daging saus berempah dan nasi goreng ditemukan tercemar oleh sel-sel Bacillus cereus. Survei tentang kejadian yang sehubungan dengan organisme ini dalam bahan pangan menunjukkan suatu frekuensi yang tinggi pada bahan pangan kering seperti serealia, rempah rempah dan susu bubuk (tepung susu). Susu yang sudah di pasteurisasi dapat juga mengandung

Bacillus cereus. Kemampuan membentuk spora memungkinkan mikroorganisme ini

tetap hidup pada operasi pengolahan dengan pemanasan. Gejala-gejala dari keracunan bahan pangan yang tercemar oleh bakteri ini termasuk diare, sakit perut dan kadang-kadang muntah-muntah, tetapi belum jelas apakah ini merupakan suatu bentuk keracuanan bahan pangan yang bersifat intoksikasi atau infeksi (Buckle Ewards, Fleet dan Wootton, 2007).

2.1.3 Karakteristik Staphylococcus aureus

Morfologi Staphylococcus aureus yaitu berbentuk bulat atau lonjong (0,8 sampai 0,9 µ), jenis yang tidak bergerak, tidak bersimpai, tidak berspora dan gram positif. Tersusun dalam kelompok (seperti buah anggur). Pembentukan kelompok ini terjadi karena pembelahan sel terjadi dalam tiga bidang dan sel-sel anaknya cenderung untuk tetap berada di dekat sel induknya. Sifat-sifat biakan dari Staphylococcus aureus yaitu bersifat aerob dan tumbuh baik pada perbenihan sederhana pada temperatur

(9)

optimum 370C dan pH 7,4. Merupakan salah satu kuman yang cukup kebal diantara organisme-organisme tak berspora. Tahan dipanaskan pada 600C dalam 30 menit. Tahan terhadap 1% fenol selama 15 menit (Gupte, 1990).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, dalam

uji mikroskop terlihat dalam bentuk berpasangan, rantai pendek, atau berkelompok seperti buah anggur. Beberapa strain mampu menghasilkan toksin tahan panas dalam jumlah banyak, yang menjadi penyebab penyakit pada manusia. Bakteri

Staphylococcus aureus ini nonmotil dan asporogenus. Bentuk kapsul dapat ditemukan

pada kultur bakteri muda tetapi umumnya tidak terdapat pada saat fase stasioner sel (Monday dan Bennet, 2003).

Gambar 2.1 Bakteri Staphylococcus aureus Dalam Uji Mikroskop (Todar dalam

Rawendra, 2008)

Spesies Staphylococcus tumbuh secara aerob atau anaerob fakultatif dan melakukan metabolisme secara fermentasi serta respiratori. Bakteri ini bersifat katalase positif dan dapat menggunakan berbagai jenis karbohidrat. Seperti

(10)

kebanyakan bakteri Gram positif lainnya, Staphylococcus membutuhkan komponen organik tertentu untuk kebutuhan nutrisinya. Asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen, dan thiamin serta asam nikotinat digunakan sebagai sumber vitamin B, dan ketika tumbuh secara anaerob, bakteri ini membutuhkan urasil. Walaupun

Staphylococcus merupakan bakteri mesofil (Zay, 2000).

Staphylococcus aureus memiliki dinding sel yang tersusun atas tiga komponen utama yaitu peptidoglikan, asam teikoat dan protein-A. Beberapa galur membentuk kapsul sehingga bertanggung jawab atas tingkat virulensi bakteri ini. Pada media padat seperti Brain-Heart Infusion Agar, S. aureus membentuk permukaan yang halus, bulat, utuh, cembung, dan koloni yang berkilauan dengan warna bervariasi dari krem hingga oranye sebagai hasil dari pigmentasi karotenoid pada membran sel. Koloni yang berwarna putih dan sedikit kekuningan akan menjadi lebih gelap setelah inkubasi selama beberapa hari pada suhu 30°C atau pada suhu ruang (Ash, 2000).

Dilihat dari kondisi (aktifitas air), Staphylococcus merupakan bakteri unik, karena dapat tumbuh pada tingkat yang lebih rendah daripada bakteri nonhalofilik lainnya. Tercatat bakteri ini dapat tumbuh pada dibawah 0,83 dibawah kondisi ideal. Kondisi ini merupakan kondisi yang sangat rendah bagi pertumbuhan banyak bakteri pesaing lainnya. Kebanyakan strain Staphylococcus sangat toleran terhadap keberadaan garam dan gula. Kisaran pertumbuhan bagi bakteri ini 0,83 sampai lebih 0,99 dan tumbuh baik pada lebih dari 0,99. S. aureus dapat tumbuh pada nilai rendah tergantung pada kondisi pertumbuhan lainnya yang ideal.

(11)

Walaupun Staphylococcus aureus tumbuh baik pada media yan tidak mengandung NaCl, tetapi bakteri tersebut masih dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 7-10% dan beberapa strain dapat tumbuh pada konsentrasi 20%. Konsentrasi maksimm NaCl ini tergantung pada parameter-parameter lainnya, seperti suhu, pH, dan potensial oksidasi reduksi. S. aureus mampu menghasilkan enzim ekstraseluler, toksin dan komponen kimia lainnya dalam jumlah besar.

2.2 Tinjauan Umum Tentang Pangan

Menurut UU No. 7 tahun 1996, yang dimaksud pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman (Badan POM RI, 2008).

Pangan merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting bagi kehidupan setiap insan baik secara fisiologis, psikologi, sosial, maupun antropologis. Pangan selalu terkait dengan upaya manusia untuk mempertahankan hidupnya. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia sejak orde baru sangat memperhatikan peranan strategi pangan dalam pembangunan nasionalnya. Sebagai hasil dari upaya yang terus menerus pada tahun 1984, Indonesia telah mencapai swasembada beras dan malah pada saat ini upaya tersebut ditingkatkan untuk mencapai swasembada pangan. Untuk mendukung upaya ini, disamping usaha-usaha yang terus meningkatkan produksi komoditas ertanian secara ekstensif, di kembangkan program diversifikasi untuk mendapatkan

(12)

suatu pola konsumsi pangan yang beragam dengan mutu gizi yang seimbang (Hariyadi, 2001).

Meskipun keberhasilan dalam pembangunan industri pangan sudah dapat dikatakan memberikan sumbangan positif bagi perkembangan ekonomi nasional, namun dalam upaya lebih meningkatkan peranannya, masih banyak permasalahan yang dihadapi. Hal ini merupakan tantangan dalam pengembangan industri pangan dimasa depan. Diantaranya yang penting adalah masalah penyediaan bahan baku dan bahan pembantu, keamanan pangan, standar mutu, kemasan, peralatan proses, alih teknologi, sumber daya manusia, sistem transportasi, ssstem distribusi dan pemasaran, serta peraturan pemerintah dan sistem kelembagaan (Hariyadi, 2001).

Kecukupan pangan manusia dapat didefinisikan secara sederhana sebagai kebutuhan harian yang paling sedikit memenuhi kebutuhan gizi, yaitu sumber kalori atau energi yang dapat berasar dari semua bahan pangan, tetapi biasanya sebagian besar diperoleh dari karbohidrat dan lemak. Bahan pangan berlimpah dan banyak pilihan, manusia akan makan pertama untuk kelezatan, dan baru yang kedua untuk keperluan gizi (Buckle, Ewards, Fleet dan Wootton, 2007).

Pangan tercemar adalah pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia. Pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan. Pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau

(13)

berasal dari bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia, pangan yang sudah kedaluwarsa (Badan POM RI, 2005).

2.2.1 Keamanan pangan

Menurut Undang-undang RI No.7 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologi, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Keamanan pangan merupakan masalah yang kompleks sebagai hasil interaksi antara toksisitas mikrobiologi, toksisitas kimiawi, dan status gizi yang kesemuanya saling berkaitan. Pangan yang tidak aman dapat mempengaruhi kesehatan manusia yang pada akhirnya akan menimbulkan masalah terhadap status gizi (Winarno, 1993).

Empat masalah utama keamanan pangan di Indonesia saat ini adalah:

1. pencemaran pangan oleh mikroba karena rendahnya praktik-praktik sanitasi dan higiene.

2. pencemaran pangan oleh bahan kimia berbahaya seperti residu pestisida, residu obat hewan, logam berat, mikotoksin dan sebagainya.

3. penggunaan salah (misuse) bahan berbahaya yang dilarang digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, rhodamin B, metanil yellow.

4. penggunaan melebihi batas maksimum yang diijinkan (abuse) dari bahan tambahan pangan yang sudah diatur penggunaannya oleh badan POM.

(14)

2.2.2 Pengertian makanan

Menurut WHO yang dimaksud dengan makanan adalah semua substansi yang diperlukan tubuh, kecuali air, dan obat-obatan dan substansi-substansi yang diperlukan untuk pengobatan (Chandra, 2007).

Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses didalam tubuh, perkembangbiakan dan menghasilkan energy untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupannya (Efendi, 2012).

1. Fungsi makanan

Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia. Menurut Notoatmodjo 2003 (dalam Mulia, 2005) ada empat fungsi pokok makanan bagi kehidupan manusia, yakni:

1) Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak

2) Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari

3) Mengatur metabolism dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh yang lain

4) Berperan didalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit

Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan. Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang dibutuhkan

(15)

dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan.

2. Sanitasi makanan

Makanan merupakan bahan yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Untuk mendapatkan makanan yang terjamin baik dari segi kualitas maupun kuantitas diperlukan adanya tindakan, diantaranya adalah sanitasi makanan. Adapun pengertian dari sanitasi makanan adalah suatu usaha yang menitikberatkan kegiatan dan tindakan, yang perlu untuk membebaskan makanan dari segala bahayanya yang dapat mengganggu dari sebelum proses produksi, selama dalam pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, penyajian, sampai pada saat dimana makanan dikemas oleh masyarakat (Depkes RI, 1994).

Makanan yang kita makan bukan saja harus memenuhi gizi dan mempunyai bentuk yang menarik, akan tetapi juga sangat aman dalam arti tidak mengandung mikroorganisme dan bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan penyakit serta aman untuk dikonsumsi. Makanan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri atau bahan kimia yang berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia.

Sanitasi makanan yang buruk dapat disebabkan 3 faktor yakni : (Mulia, 2005) 1) Faktor fisik, terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung pengamanan

makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik, temperatur ruangan yang panas dan lembab, dan sebagainya

(16)

2) Faktor kimia, karena adanya zat-zat kimia yang digunakan untuk mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-obat penyemprot hama, penggunaan wadah bekas obat-obat pertanian untuk kemasan makanan dan lain-lain

3) Faktor mikrobiologi, karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

3. Penyehatan makanan

Penyehatan makanan adalah upaya mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapan yang dapat atau mungkin menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya (Depkes RI, 2003).

Usaha-usaha penyehatan makanan meliputi kegiatan-kegiatan: 1) Keamanan makanan dan minuman yang disediakan

2) Higiene perorangan dan praktek-praktek penanganan makanan oleh karyawan yang bersangkutan

3) Keamanan dalam penyediaan air

4) Pengelolaan pembuangan air limbah dan kotoran

5) Perlindungan makanan terhadap kontaminasi selama dalam proses pengolahan, penyajian dan penyimpanan

6) Pencucian, kebersihan dan penyimpanan alat-alat/perlengkapan

Menurut Departemen Kesehatan yang mendefinisikan penyehatan makanan sebagai suatu pencegahan yang menitik beratkan kegiatan dan tindakan yang perlu untuk membebskan makanan dari segala bahaya-bahaya yang dapat mengganggu/merusak kesehatan, mulai dari sebelum makan itu diproduksi, selama

(17)

dalam proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, sampai pada saat dimana makanan tersebut siap untuk dikonsumsi oleh masyarakat/konsumen.

4. Keberadaan mikroba pada makanan

Komposisi umum bahan makanan baik yang berasal dari hewan maupun yang berasal dari tumbuh-tumbuhan terdiri atas protein, Karbohidrat dan lemak.

Tabel 2.2 Komposisi Umum Pada Bahan Makanan

Jenis Bahan Makanan Kandungan Organik (%)

Protein Karbohidrat Lemak

Buah-buahan 8-Feb 85-97 0-3 Sayuran 15-30 50-85 0-5 Ikan 70-96 0 5-30 Telur 51 3 46 Daging 33-50 0 50-65 Susu 30 40 40

Sumber: Sukamto, Supardi, 1999

Bahan makanan dengan kondisi demikian merupakan medium pertumbuhan mikroba, suatu makhluk kecil yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Dalam pertumbuhannya, jasad renik ini bergantung kepada jenisnya, dapat membusukkan protein, memfermentasikan karbohidrat dan menjadikan lemak dan minyak berbau tengik. Penguraian protein, karbohidrat, dan lemak melalui proses enzimatik dengan bantuan oksigen (proses anaerobik), menghasilkan senyawa-senyawa tertentu.

Populasi mikroorganisme, dalam setiap makanan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tersedianya nutrient, air, suhu, pH, oksigen, potensial oksidasi reduksi

(18)

dan adanya zat penghambat. Bila jasad renik ini populasinya meningkat, dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain:

1) Dapat menentukan taraf mutu bahan makanan 2) Mengakibatkan kerusakan pangan

3) Beberapa diantaranya dapat digunakan untuk membuat produk-produk pangan khusus

4) Merupakan sarana penularan beberapa penyakit perut menular 5) Keracunan makanan, yang tidak jarang menimbulkan kematian

Kelompok mikroba seperti bakteri, jamur dan ragi (yang masih termasuk jamur) merupakan penyebab terjadinya kerugian pada bahan makanan. Karenanya terhadap bahan makanan, sejak bahan baku, selama proses, selama pengolahan dan penyimpanan, selalu diusahakan untuk tidak dikenai dan ditumbuhi mikroba tersebut. Bakteri patogen dapat memproduksi racun atau toksin yang menyebabkan suatu penyakit pada manusia, seperti eksotoksin yang terdiri dari protein yang dibuat oleh bakteri yang mempunyai efek terhadap saluran pencernaan dan dapat menyebabkan diare, yang disebabkan oleh Staphylococcus, Salmonella, Escherichia coli, Vivriae. 5. Makanan sebagai media penularan penyakit

Diketahui bahwa makanan berperan didalam peningkatan serajat kesehatan manusia atau masyarakat. Akan tetapi tidak semua makanan tersebut menguntungkan bagi tubuh, melainkan dapat pula membahayakan terhadap manusia. Hal ini disebabkan karena makanan juga dapat berperan sebagai media penularan penyakit. Penularan tersebut apat berasal dari hewan dan manusia. Penularan dapat terjadi

(19)

secara langsung maupun tidak langsung dan penjamah makanan dapat memegang peranan yang penting dalam proses penularannya (Depkes RI, 2004).

Kejadian penyakit karena makanan sering terjadi karena faktor pengolahan yang tidak baik, dan dapat pula disebabkan oleh makanan itu sendiri yang merupakan penyebab penyakit. Penyakit yang disebabkan melalui makanan biasanya merupakan penularan yang tidak langsung dan disebabkan karena adanya pengotoran/pencemaran makanan (Food Contamination).

Akibat dari pengotoran dan pencemaran makanan dapat menimbulkan penyakit akibat makanan (Food Borne Diseases). (Anwar, 1990) menjelaskan bahwa Food

Borne Diseases dalam 6 kategori, yaitu:

1) Food Infection

Adalah penyakit yang disebabkan oleh makanan, karena didalam makanan terdapat patogen. Misalnya adalah bakteri Shigella sp yang dapat menyebabkan penyakit Basilary Dysentri, bakteri Coryne menyebabkan Haemolitic Infection,

Mycrobaterium tuberculosa menyebabkan penyakit TBC, Salmonella typosa

menyebabkan penyakit paratypus dan typus. 2) Parasitic Infection

Yaitu penyakit yang disebabkan oleh karena didalam makanan terdapat parasit dan bakteri patogen. Contohnya adalah : Entamoeba hystolitica menyebabkan Amoeba

dysentri, Taenia menyebabkan Taenasis (beef), dan taenia solium menyebabkan Taenasis (pork)

(20)

3) Food intoxication

Yaitu penyakit yang disebabkan oleh makanan, karena didalam makanan terdapat toksin (racun) yang berasal dari bakteri, contohnya antara lain : Clostridium

botulium penyebab Botulism, enteri toxin mengakibatkan Clostridium Welchii Poisoning

4) Physical

Yaitu penyakit yang disebabkan oleh karena adanya pengaruh dari kegiatan sekitarnya dan benda-benda asing. Contohnya adalah: ionizing Radiation yang menyebabkan Radiation Poisoning

5) Chemicals

Adalah penyakit keracunan yang disebabkan karena adannya zat kima beracun pada makanan. Contohnya Antonomy mengakibatkan Lead Poisoning.

6) Poisoning of plant and Anomals

Adalah penyakit yang disebabkan adanya racun atau zat yang berasal dari makanan itu sendiri, baik makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan maupun yang berasal dari hewan.

2.3 Keberadaan Staphylococcus aureus dalam Bahan Pangan

Keberadaan Staphylococcus aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa Staphylococcus aureus (outbreak) umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang melibatkan pekerja yang terkontaminasi. Staphylococcus aureus terdapat luas di alam

(21)

dan pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan resiko keracunan pangan akibat Staphylococcus aureus (Rawendra, 2008).

Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat

Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami

kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat Staphylococcus aureus yang merupakan kompetitor lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus pada penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin (Ash, 2000). Staphylococcus aureus dalam pangan dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7,2°C atau 45°F), dan adanya kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja (Rawendra 2008).

Apabila Staphylococcus aureus terkontaminasi kedalam bahan pangan yang mengandung nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah Staphylococcus

(22)

menyediakan nutrisi yang menunjang pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam, kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya. Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin, threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan Staphylococcus

aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam pangan. Pertumbuhan Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sifat dan komposisi substrat, suhu, waktu, pH, adanya garam NaCl, nitrit, antibiotik, dan sebagainya (Supardi dan Sukamto, 1999). Garam-garam NaCl, sodium nitrit dan sodium nitrat turut berpengaruh karena Staphylococcus aureus masih dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 15% Semakin tinggi konsentrasi NaCl, kecepatan pertumbuhan Staphylococcus aureus akan semakin menurun (Jay, 2000).

Substrat yang baik untuk pertumbuhan sel dan produksi enterotoksin adalah substrat yang mengandung protein atau asam-asam amino, garam anorganik, dan vitamin. Valin merupakan asam amino essensial yang dibutukan untuk pertumbuhan

Staphylococcus aureus, sedangkan arginin dan sistein dibutuhkan untuk pertumbuhan

(23)

2.4 Tinjauan Umum Tentang Daging Ayam 2.4.1 Karakteristik daging ayam

Daging ayam adalah produk dari peternakan unggas yang sangat penting untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Permintaan konsumen terhadap daging ayam dan juga produk olahan semakin tinggi karena harganya yang terjangkau, kandungan lemak yang rendah, serta tidak membutuhkan waktu yang panjang untuk pengolahannya (Putra, 2011). Menurut BSN (2009) dalam SNI 3924:2009, daging ayam adalah otot skeletal dari karkas ayam yang aman, layak, dan lazim dikonsumsi manusia.

Daging ayam merupakan bahan makanan yang mengandung gizi tinggi, memiliki rasa dan aroma yang enak, tekstur yang lunak, serta harga yang relative murah. Berdasarkan alasan tersebut, daging ayam lebih banyak diminati oleh masyarakat jika dibandingkan dengan daging sapi. Struktur daging ayam sama halnya seperti daging hewan lainnya, sangat kompleks dan sangat luas. Lemak pada daging ayam banyak ditemukan di bawah kulit. Kandungan asam lemak tidak jenuhnya juga lebih besar daripada daging hewan lainnya. Komposisi daging ayam memiliki protein yang sangat tinggi khususnya bagian dada yaitu 23.3%, kandungan air 74.4%, lemak 1.2%, dan abu sebesar 1.1%. Nilai pH juga berpengaruh pada kualitas daging ayam, yaitu terhadap warna, keempukan, dan daya ikat air. Nilai pH daging ayam setelah 24 jam (pasca mati) adalah 5.5-5.9 (Lukman dan Purnawarman, 2009)

2.4.2 Cemaran mikroorganisme pada daging

Penyebaran mikroorganisme yang tumbuh pada bahan pangan asal hewan dan hasil olahannya pada umumya terdiri dari bakteri, jamur/kapang, virus dan terdapat

(24)

juga binatang satu sel. Daging memiliki karakter yang sama seperti bahan makanan manusia yang lainnya, disukai oleh mikroorganisme dan dapat dicemari oleh mikroorganisme tersebut. Invasi mikroorganisme tersebut dalam daging (infeksi) menyebabkan produk tersebut tidak menarik akibat terjadi beberapa perubahan (pembusukan). Mikroorganisme yang dapat menyebabkan daging busuk dapat diperoleh melalui infeksi hewan hidup (penyakit endogenous) atau dengan kontaminasi daging pasca mati (penyakit eksogenous) (Semesta 2011).

Daging merupakan produk peternakan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi, sehingga daging menjadi media yang baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme. Mikroorganisme yang berkembang adalah mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan maupun mikroorganisme yang menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia yang mengkonsumsi daging tersebut. Mikroorganisme dapat terbawa sejak ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring konsumen (Semesta, 2011).

Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging, dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna, ataupun daya simpannya. Pertumbuhan mikroorganisme dalam daging juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga daging tersebut tidak layak dikonsumsi. Daging memiliki potensi bahaya yaitu biologi, fisik, dan kimia. Dari ketiga potensi bahaya tersebut, yang berhubungan erat dengan daya simpan daging karena menyebabkan pembusukan dan bahaya pangan adalah adanya cemaran mikroba (Semesta, 2011).

(25)

Kehadiran bakteri pada kasus food-borne infection atau food poisoning kemungkinan berasal dari hewan atau manusia yang mencemari bahan makanan yang dapat tumbuh dan berkembang dengan cepat. Hal ini menyebabkan bahan makanan merupakan sumber potensial untuk tercemar bakteri dan menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Bahan makanan, baik dalam bentuk padat ataupun cair, sangat mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme.

Daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme. Kerusakan daging ditandai oleh adanya perubahan bau dan timbulnya lendir yang biasanya terjadi jika jumlah mikroorganisme menjadi jutaan atau ratusan sel per 1 cm2 luas permukaan daging. Dosis dari bakteri untuk mampu menginfeksi atau memproduksi toksin berbeda-beda, tergantung resistensi dari tiap-tiap hewan atau manusia yang memakan bahan makanan tersebut (Semesta 2011).

Kerusakan daging oleh mikroorganisme terutama disebabkan oleh pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dengan tanda-tanda sebagai berikut (Usmiati, 2010) : 1. Pembentukan lendir.

2. Perubahan warna.

3. Perubahan bau menjadi busuk karena terjadi pemecahan protein dan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti ammonia, H2S, mercaptan, dan senyawa lain-lain.

4. Perubahan rasa menjadi asam dan pahit karena pertumbuhan bakteri pembentuk asam dan senyawa pahit.

(26)

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme pada daging disebabkan oleh:

1. Faktor intrinsik termasuk nilai nutrisi daging, keadaan air, pH, potensi oksidasi-reduksi, dan ada tidaknya substansi penghalang atau penghambat.

2. Faktor ekstrinsik, misalnya temperatur, kelembaban relatif, keberadaan oksigen, dan keadaan fisik daging.

2.5 Efek Staphylococcus aureus Pada Manusia

Pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada pangan dan olahannya dapat mengancam kesehatan masyarakat karena beberapa galur Staphylococcus aureus memproduksi enterotoksin yang dapat menyebabkan kasus keracunan pangan (food

poisoning). Pangan yang tercemar atau mengandung Staphylococcus aureus

enterotoksigenik sangat berbahaya bagi kesehatan konsumen karena tidak adanya mikroorganisme pesaing lainnya yang biasanya dapat menghambat pertumbuhan

Staphylococcus aureus dan pembentukan toksin dari Staphylococcus aureus.

Enterotoksin yang diproduksi Staphylococcus aureus lebih tahan terhadap panas dibandingkan sel bakterinya.

Keracunan pangan akibat Staphylococus aureus disebabkan oleh tertelannya

Staphylococcus enterotoksin (SE) bersama makanan yang terkontaminasi. Bila

tertelan, SE akan masuk ke saluran pencernaan dan mencapai usus halus. Selanjutnya toksin tersebut akan merusak dinding usus halus dan menimbulkan sekresi jaringan usus dengan cepat. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan pangan akibat S. aureus biasanya muncul dalam waktu tiga jam setelah konsumsi makanan yang mengandung

(27)

enterotoksin atau paling cepat satu jam dan paling lama enam jam. Masa inkubasi tidak hanya bergantung pada jumlah toksin yang tertelan namun juga kerentanan individu (Rawendra, 2008).

Gangguan kesehatan yang dapat ditimbulkan adalah perasaan letih, mual, muntah-muntah, kram perut, diare, kejang-kejang hingga pingsan, bahkan inflamasi usus. Dalam beberapa kasus, darah dan lendir tampak pada feses dan muntahan. Namun pada kasus yang ringan, penderita mengalami mual dan muntah tanpa disertai diare atau kram perut atau diare tanpa muntah-muntah. Pada kasus yang parah, penderita mengalami sakit kepala berlebih dengan terus mengeluarkan keringat sehingga merasakan demam dan tekanan darah menjadi rendah. Pemulihan biasanya terjadi antara satu hingga tiga hari dan umunya tidak ada perawatan yang diberikan. Walaupun sebagian menganggap keracunan pangan akibat Staphylococcus tidak tergolong fatal, beberapa kasus keracunan yang sangat fatal dilaporkan terjadi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia (Winarno, 2004).

Jumlah sel yang diperlukan oleh bakteri Staphylococcus aureus untuk dapat menghasilkan racun enterotoksin yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 10

6

CFU/g. Populasi Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin yang cukup serius adalah 5 x 10

6

CFU/g dimana toksin yang dihasilkan tersebut bersifat tahan panas sehingga apabila pertumbuhannya berlangsung sebelum terjadinya proses pengolahan menggunakan suhu panas, maka bisa saja tidak

(28)

ditemukan sel hidup Staphylococcus aureus melainkan toksinnya yang bersifat racun (Buckle, Edwards, Fleet, dan Wootton, 2007).

2.6 Kerangka Berpikir 2.6.1 Kerangka teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori Pangan

Sanitasi Makanan Makanan Keberadaan Mikroba Pada

Makanan

Bakteri penyebab penyakit yg ditularkan melalui makanan Bakteri

Salmonella E. Coli S. aureus Bacillus

Daging Ayam Mentah Daging Ayam Olahan Ayam Goreng Tepung sosis Nugget

(29)

2.6.2 Kerangka konsep

Keterangan :

: Variabel yang Di Teliti

: Variabel yang Tidak Di Teliti

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Salmonella

Staphylococcus aureus Bacillus Cereus

Escherichia Coli

Cemaran Mikroba pada Daging Ayam Goreng

Gambar

Gambar  2.1  Bakteri  Staphylococcus  aureus  Dalam  Uji  Mikroskop  (Todar  dalam  Rawendra, 2008)
Gambar 2.2 Kerangka Teori Pangan
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Salmonella

Referensi

Dokumen terkait

Jadi dapat disimpulkan bahwa umur instalasi pada penggunaan KWH prabayar akan mempengaruhi nilai perhitungan daya yang cenderung lebih besar daripada daya

Melalui penampilan tokoh Hanum, Fatima, dan Marion sebagai seorang wanita muslimah yang berada di tengah negara yang masih menganggap Islam sebagai agama

Pada praktikum yang dilakukan dengan sampel lada butir, diubah menjadi lada bubuk.setelah proses pengolahan tersebut lada disimpan dalam plastik dengan tidak terkena sinar

pemrosesan, pengelolaan dan penyajian data dan informasi geospasial di bidang kartografi K7 Mampu memahami konsep teoritis perencanaan dan penyelenggaraan, pengumpulan,.

Sintesis yang tidak efektif, pada pasien gagal ginjal akut terjadi karena berkurangnya jumlah sel yang ada di dalam ginjal dan penurunan aliran darah portal ke ginjal yang

kebutuhan konsumen, keyakinan konsumen bahwa brand tersebut sesuai dari pada brand lain yang baru muncul dan keyakinan konsumen bahwa brand tersebut dapat

Tabel 4.4 Data Hasil Pengujian Pakaian Dengan Variasi Beban II (Saluran Udara Masuk Melalui Pipa Bagian Atas)

Untuk menguji kinerja aplikasi iRadar, dilakukan perbandingan hasil tampilan aplikasi iRadar dengan tampilan MOC Client dalam hal kemampuan menampilkan data pada