• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan kecerasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal...

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan kecerasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal..."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGANBKECERDASANBEMOSIONALBDANBKEMANDIRIANBPADAB USIABDEWASABAWAL

R.A. Andini Avriyani

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Arah hubungannya adalah semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi kemandiriannya, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional semakin rendah kemandiriannya.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian korelasional. Subjek penelitian adalah usia dewasa awal di Yogyakarta dalam rentang usia 22-25 tahun, dan dengan tingkat pendidikan yang sama, yakni S-1 atau D-3. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan skala. Skala digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosi dan variabel kemandirian.

Melalui uji kesahihan, 62 aitem skala kecerdasan emosional dinyatakan 21 aitem yang gugur dan 41 aitem yang sahih, dengan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,971. Sedangkan dari 60 aitem skala kemandirian dinyatakan 22 aitem yang gugur dan 38 aitem yang sahih dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,950.

Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linier. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi

Product Moment dari Pearson melalui program SPSS for windows versi 12.00, dengan taraf signifikansi 0,05 (1 ekor), diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,812 dengan probabilitas 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal.

(2)

THEBCORRELATIONBBETWEENBEMOTIONALBINTELLIGENCEBANDB AUTONOMYBOFBEARLYBADULTHOOD

R.A.BAndiniBAvriyani

FacultyBofBBPsychology SanataBDharmaBUniversity

Yogyakarta

This research was aimed to find the correlation between emotional intelegence and autonomy on early adulthood. The purposed hypothesis was there is a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood. The higher emotional intelligence, the higher autonomy level. On the contrary, the lower emotional intelligence, the lower autonomy level.

The research type was a correlation research. The subject of this research are early adulthood which range of age between 22-25 years old, and with the same education level, that is bachelor’s degree and academician degree. The method which is used to collect data in this research by propagated the scale. The scale measure the emotional intelligence variable and the autonomy variable.

Through validity tested, 62 items of emotional intelligence scale have been explained that were 21 items lossed and 41 items were valid with reliability coefficient was 0,971. Then for autonomy scale, from 60 items have been explained that were 22 items lossed and 38 items were valid with reliability coefficient was 0,950.

The result of data analysis declared that the data distribution is normal and had a linear correlation. The research data was analysis used Pearson’s product moment through SPSS program for windows 12.00 version, with significant standard 0,05 (one-tailed). The correlation coefficient (r) was 0,812 with probability 0,000 (p<0,05). The result means that there was a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood.

(3)

KEMANDIRIANBPADABUSIABDEWASABAWAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

R.A. Andini Avriyani

NIM : 009114102

PROGRAMBSTUDIBPSIKOLOGIBJURUSANBPSIKOLOGI

FAKULTASBPSIKOLOGI

UNIVERSITASBSANATABDHARMA

YOGYAKARTA

(4)

KEMANDIRIANBPADABUSIABDEWASABAWAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

R.A. Andini Avriyani

NIM : 009114102

PROGRAMBSTUDIBPSIKOLOGIBJURUSANBPSIKOLOGI

FAKULTASBPSIKOLOGI

UNIVERSITASBSANATABDHARMA

YOGYAKARTA

2008

(5)
(6)
(7)

Kupersembahkan karya sederhanaku ini untuk :

ALLAH SWT…atas anugerahNya, bimbinganNya, dan setiap kesempatan untuk

me mperbaiki kesalahanku

Ibu Dra. Sri Agustini tersayang yang telah sabar me mbimbingku, me mberiku

pilihan untuk masa depanku,…ure truly my wonder woman

Ema R.M. Akib Rusdi Tjekyan tercinta yang selalu dada” untukku, menjagaku

dengan baik…I miss u so much….smoga slalu bahagia disisiNya

Terima kasih atas segala kasih sayang dan cinta yang tak terbatas, doa yang

tak kenal waktu...tidak ada kata dan waktu yang cukup, untuk dapat

mengungkapkan rasa terima kasihku pada kedua orang tuaku….

Saudaraku tersayang, Didi, Deni, Iman yang selalu mengingatkanku dan

me mbantuku…luv u all

Semedi dan orang-orang terdekatnya….makasi buat dukungan, bantuan, dan

pelajaran hidup yang kita habiskan bersama…u all already be a part of my

life…and I’m greatfull to know it…luv u all…my new family

Semua Guru, dan Dosenku…terima kasih untuk semua ilmu yang berguna

bagiku….semua orang yang pernah dmengajariku” untuk menjadi lebih baik dan

dewasa

(8)

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah

menghilangkan dari padamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu? Dan

Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah

kesulitan itu ada kemudahan. Sesumgguhnya sesudah kesulitan itu ada

kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan). Kerjakanlah

dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah

hendaknya kamu berharap (Q.S.Asy Syarh; 1-8).

..And sure they tell u, you’ll never pull through, don’t hestitate, stand tall and

say...I can make it through the rain, I can stand up once again, on my own, and I

know that I’m strong enough to main, everytime I feel afraid I hold tight it to my

faith and I live one more day and I make it through the rain... (Mariah Carey).

Hadapilah kesulitan saat mereka masih mudah

diatasi (Lao Tze, Tao Te Ching).

…And there’s a hero comes along, with the strenght to cary on and u cast ure

fear aside and u know u can suvive so when you feel like hope is gone, look

inside u and be strong and you’ll find and see the truth…. That a hero lies in

you… (Mariah Carey).

(9)
(10)

Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Kecerdasan

Emosional Dan Kemandirian Pada Usia Dewasa Awal. Skripsi ini disusun untuk

memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Penulis

menyadari adanya berbagai permasalahan dan kendala yang muncul saat

melaksanakan dan menyusun penelitian ini. Proses penulisan ini dari awal sampai

akhir sangat banyak melibatkan kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

a Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

b Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si. selaku Ketua Program Studi (Kaprodi)

dan dosen penguji.

c Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen penguji.

d Ibu ML. Anantasari, S.PSi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang

telah dengan sabar memberikan arahan, bimbingan, dan juga motivasi

selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini….makasi banyak ya bu.

e Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. yang telah menjadi dosen pembimbing

akademik penulis.

f Semua dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala

bimbingan dan bantuannya selama ini.

(11)

Gandung, Mas Muji, Mas Doni, Mbak Nanik, Pak Gik, terima kasih atas

keramahan dan kesabarannya dalam memberikan informasi, fasilitas, dan

bantuannya selama kuliah.

h Teman-teman yang telah membantuku dalam pengumpulan data

penelitian, dan mengajarkanku bersahabat dengan program statistik.

i Ibu dan Ema, terimakasih untuk segalanya yang tak terucap…I love you so

much…ure the best that I ever had….

j Didi, Deni, Iman…my bodyguard….let make our dream come true…

amien…

k Mbak Endang…dan keluarga-keluargaku yang membantuku…terima

kasih banyak.

l Teman-teman Semedi…..icha dan mas yudi, rini dan mas totox, ulin dan

wicak, ete dan mas didik, sinta dan didi, tiwuk dan dion, ellen dan

“calon-nya”, vivi dan popo, poe dan ucup, ria dan mas adi….luv u all guys…

makasi buat dukungannya yang selalu ada, buat bantuannya, buat waktu

yang telah kita habiskan bersama….makasi buat smuanya (I can’t mention

it one by one…coz it too much to say)…makasi telah menambah warna

lain dalam hidupku…

m Teman-teman kos Candi Indah dan orang-orang dekatnya…dina, anton,

vira, sonny...makasi da banyak dibantuin ya...cptn lulus sana, ka yoz,

espc.mira.…makasi ya buat bantuannya, semangatnya, waktunya, dan

(12)

n Ma best pren….indah n cuit…makasi dah disemangatin n masukannya

juga…aq tau mau kmana kalo lagi suntuk jika ada kalian ;)….

o Anca-anca…..akhirnya sampe jg awak ke titik perjuangan yang telah

kalian lewati dulu…doakan aq cepat menyusul ke tahap

selanjutnya….thanks ya guys….friendship never ending story

p O’ox…temen seperjuangan….cayo !!!! dikit lagi kelar kok ox…thanks ya dah dibantuin kmaren, ditemenin, disupport…thanks 4 being my trully

friend…posisi kita sama sekarang ;)

q Teman-teman KKN ku, espc.tari n vica….makasi buat dukungan, masukan

selama ini…kalian membantuku melewati smuanya dengan baik.

r Vera n ike…aq pulang..tapi ga lama…thanks ya guys…buat

“peringatannya” kalo aq dah terlalu lama di jogja.

s Orang-orang yang pernah dekat denganku….terima kasih untuk

memberiku pengalaman dan dukungan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sehingga

kritik dan saran akan penulis terima dengan hati terbuka. Akhir kata, semoga

tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, Agustus 2008

Penulis

(13)
(14)

HUBUNGANBKECERDASANBEMOSIONALBDANBKEMANDIRIANBPADAB

USIABDEWASABAWAL

R.A. Andini Avriyani

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Arah hubungannya adalah semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi kemandiriannya, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional semakin rendah kemandiriannya.

Jenis penelitian ini termasuk penelitian korelasional. Subjek penelitian adalah usia dewasa awal di Yogyakarta dalam rentang usia 22-25 tahun, dan dengan tingkat pendidikan yang sama, yakni S-1 atau D-3. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan skala. Skala digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosi dan variabel kemandirian.

Melalui uji kesahihan, 62 aitem skala kecerdasan emosional dinyatakan 21 aitem yang gugur dan 41 aitem yang sahih, dengan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,971. Sedangkan dari 60 aitem skala kemandirian dinyatakan 22 aitem yang gugur dan 38 aitem yang sahih dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,950.

Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linier. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi

Product Moment dari Pearson melalui program SPSS for windows versi 12.00, dengan taraf signifikansi 0,05 (1 ekor), diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,812 dengan probabilitas 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal.

(15)

THEBCORRELATIONBBETWEENBEMOTIONALBINTELLIGENCEBANDB

AUTONOMYBOFBEARLYBADULTHOOD

R.A.BAndiniBAvriyani

FacultyBofBBPsychology

SanataBDharmaBUniversity

Yogyakarta

This research was aimed to find the correlation between emotional intelegence and autonomy on early adulthood. The purposed hypothesis was there is a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood. The higher emotional intelligence, the higher autonomy level. On the contrary, the lower emotional intelligence, the lower autonomy level.

The research type was a correlation research. The subject of this research are early adulthood which range of age between 22-25 years old, and with the same education level, that is bachelor’s degree and academician degree. The method which is used to collect data in this research by propagated the scale. The scale measure the emotional intelligence variable and the autonomy variable.

Through validity tested, 62 items of emotional intelligence scale have been explained that were 21 items lossed and 41 items were valid with reliability coefficient was 0,971. Then for autonomy scale, from 60 items have been explained that were 22 items lossed and 38 items were valid with reliability coefficient was 0,950.

The result of data analysis declared that the data distribution is normal and had a linear correlation. The research data was analysis used Pearson’s product moment through SPSS program for windows 12.00 version, with significant standard 0,05 (one-tailed). The correlation coefficient (r) was 0,812 with probability 0,000 (p<0,05). The result means that there was a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood.

(16)

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

KATA PENGANTAR ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A. Kecerdasan Emosional ... 11

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 11

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 13

(17)

B. Kemandirian ... 18

1. Pengertian Kemandirian ... 18

2. Aspek-aspek Kemandirian ... 21

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 22

C. Usia Dewasa Awal ... 28

1. Batasan Usia Dewasa Awal ... 28

2. Perkembangan Usia Dewasa Awal ... 29

D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Kemandirian Pada Usia Dewasa Awal ... 33

E. Hipotesis Penelitian... ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

1. Kecerdasan Emosional ... 37

2. Kemandirian ... 39

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ... 42

1. Skala Kecerdasan Emosional ... 44

2. Skala Kemandirian ... 45

F. Validitas Dan Reliabilitas ... 46

(18)

2. Analisis Aitem ... 47

3. Reliabilitas ... 47

G. Metode Analisis Data ... 48

H. Prosedur Penelitian ... 48

I. Uji Coba Alat Penelitian ... 49

1. Pelaksanaan Uji Coba Alat Penelitian ... 49

2. Hasil Uji Coba ... 50

a. Skala Kecerdasan emosional ... ... 50

1) Analisis Aitem ... 50

2) Reliabilitas ... 52

b. Skala Kemandirian ... 52

1) Analisis Aitem . ... 52

2) Reliabilitas ... 55

BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 56

A. Pelaksanaan Penelitian ... 56

B. Hasil Penelitian... 57

A Deskripsi Data Penelitian ... 57

B Hasil Uji Asumsi ... 61

1. Uji Normalitas ... 61

2. Uji Linearitas ... 62

C Hasil Uji Hipotesis ... 63

(19)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Keterbatasan Penelitian ... 71

C. Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 76

(20)

Tabel 1. Skor Jawaban Pada Skala Kecerdasan Emosional Dan

Skala Kemandirian ... 44

Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 45

Tabel 3. Blue Print Skala Kemandirian ... 46

Tabel 4. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba ... 50

Tabel 5. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Setelah Uji Coba ... 51

Tabel 6. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Untuk Penelitian ... 52

Tabel 7. Penyebaran Aitem Skala Kemandirian Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 8. Penyebaran Aitem Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 54

Tabel 9. Penyebarab Aitem Skala Kemandirian Untuk Penelitian...54

Tabel.10 Deskripsi Subjek Penelitian ... 58

Tabel 11. Deskripsi data penelitian... 58

Tabel 12. Kriteria kategorisasi tingkat kecerdasan emosional... 60

Tabel 13. Kriteria kategorisasi tingkat kemandirian...61

Tabel 14. UjiNormalitas Kolmomorov-Smirnov ...62

Tabel 15. Uji Linearitas ... 62

(21)

Lampiran A. Skala Penelitian (Sebelum Uji Coba)... 76

Lampiran B Tabulasi Uji coba ...77

Lampiran C. Uji Validitas dan Reliabilitas ...78

Lampiran D. Skala Penelitian (Setelah Uji Coba) ...79

Lampiran E. Tabulasi Penelitian ...80

Lampiran F. Uji Normalitas, Uji Linearitas, dan Uji Hipotesis ...81

(22)

PENDAHULUAN

A.LatarBBelakang

Kemajuan zaman yang semakin pesat membawa dampak dalam segala

aspek kehidupan masyarakat. Nilai-nilai kehidupan yang sebelumnya dianutpun

telah mengalami pergeseran. Persaingan antar individu juga semakin ketat,

sehingga individu dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas diri dan mampu

bersaing sesuai dengan tuntutan zaman.

Kemandirian merupakan salah satu ciri kualitas hidup manusia yang

memiliki peran penting bagi kesuksesan hidup seseorang (Nawawi, 1998). Sifat

dan sikap yang mengiringi individu yang mandiri antara lain adalah tekun, rajin,

senang bekerja, sanggup bekerja keras, berdisiplin, gigih, mampu bersaing dan

mampu pula bekerja sama, jujur, mempunyai cita-cita dan tahu apa yang harus

dilakukannya untuk mewujudkannya, tidak mudah putus asa, dan lain-lain.

Individu yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan

membuat keputusan penting bagi hidupnya, serta bertanggung jawab. Tanggung

jawab yang dimaksud adalah tanggung jawab atas kehidupan pribadi, menjadi diri

sendiri, dan menentukan arah sendiri (Stein dan Book, 2004).

Endang Rukmana (24 tahun), sebagai contoh pribadi yang mandiri, yang

awalnya hidup mandiri karena keterpaksaan ekonomi. Endang, terpaksa menjadi

penulis untuk meringankan beban ibunya memenuhi kebutuhan keluarga mereka

(23)

sepeninggal ayahnya, sampai akhirnya ia menikmati dirinya yang bekerja sebagai

seorang penulis (KOMPAS, Minggu; 10 februari 2008). Endang mampu

mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi, juga karena andilnya bekerja

serabutan, mulai dari mengangkat galon air mineral, menjual nasi bungkus di

kampus, ikut berbagai lomba penulisan, dan menjadi penulis novel. Endang

memahami kemampuan keluarganya, dan ia mampu bekerja sendiri mencari uang

dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri demi mewujudkan impiannya

untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin dan menjadi orang yang berhasil.

Menurut Tilaar (dalam Ali, 2006) tantangan kompleksitas kehidupan yang

sangat kompetitif memberikan dua alternatif, yaitu pasrah kepada nasib atau

mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mengembangkan kemandirian adalah salah

satu usaha untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi situasi kehidupan yang

semakin kompleks.

Olly Dwi Purnamasari (24 tahun) memutuskan untuk berhenti mencari

pekerjaan dan berusaha membuka peluang kerja bagi dirinya sendiri, bahkan bagi

orang lain juga (KOMPAS, Rabu; 20 februari 2008). Langkah awal yang

dilakukannya adalah mengembangkan donat berbahan baku ketela bersama

temannya, dan dikemas secara unik, sehingga mampu menarik minat konsumen

bahkan membangkitkan kembali usaha kecil donat kentang yang telah cukup lama

hilang dari pasaran. Usaha awalnya tersebut berhasil membawa 20 orang

pengangguran untuk bekerja bersamanya, dan sekarang ia sedang

(24)

bukan hanya penyaluran hobi saja. Olly berani mengambil langkah dalam

hidupnya secara bertanggung jawab, sehingga tidak membiarkan dirinya terbawa

arus sebagai lulusan sarjana perguruan tinggi pengangguran, yang pada umumnya

hanya menunggu panggilan kerja datang.

Badan Pusat Statistik (KOMPAS, Rabu; 6 februari 2008) mengemukakan

bahwa tingkat sarjana pengangguran meningkat drastis dari 183.629 orang pada

tahun 2006, menjadi 409.890 orang pada tahun 2007. Menurut catatan BPS DIY

sendiri, tahun 2006 pengangguran berjumlah 117.024 orang, tahun 2008 ini

bertambah sekitar 27% menjadi 148.696 orang dan 21.000 diantaranya adalah S-1

(Kedaulatan Rakyat, Rabu; 9 Juli 2008). Salah satu hal yang menyebabkan

fenomena di atas adalah terbatasnya lapangan pekerjaan (Kedaulatan Rakyat,

Selasa 8 Juli 2008; hal.11). Kesenjangan antara lapangan pekerjaan yang tersedia

dan pertambahan angkatan kerja cukup besar. Namun di sisi lain, Direktur

Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yakni Fasli Jalal

menyatakan bahwa hal tersebut juga disebabkan kompetensi lulusan yang masih

rendah atau tidak sesuai kebutuhan dunia kerja (dalam KOMPAS, Rabu 6 Februari

2008). Hendaknya lulusan perguruan tinggi yang mandiri paham akan

kemampuan dirinya dan mampu melihat peluang yang baik bagi dirinya, sehingga

tahu dimana dan bagaimana dirinya harus bekerja.

Mendapatkan pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan usia

dewasa awal, guna menjadi mandiri, terutama mandiri secara ekonomi. Santrock

(25)

pribadi yang mandiri dan menjadi terlibat secara sosial. Lebih lanjut dikatakan

bahwa salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan status kedewasaan adalah

kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, yang meliputi

keputusan tentang karir, nilai-nilai, keluarga, hubungan, serta gaya hidup.

Levinson (Monks et all, 1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa awal mencakup tiga periode, yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28

tahun) dimana individu menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai orang

dewasa serta berusaha membentuk struktur kehidupan yang stabil dalam dunia

kerja dan hubungan sosial. Usia 28-33 tahun merupakan pemantapan dari masa

sebelumnya, begitu juga dengan usia 33-40 yang merupakan fase pemantapan,

dimana individu memantapkan diri dalam karir, kehidupan keluarga dan

tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40 tahun merupakan puncak masa

dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada usia 45 tahun.

Transisi dari masa ketergantungan dengan orang tua pada awalnya ke masa

yang hampir sepenuhnya mandiri, tidaklah mudah dan berlangsung secara

bertahap. Dewasa awal yang tidak mampu mandiri, yang terus-menerus

tergantung pada orang tua atau orang lain, akan sulit sekali untuk meraih sukses

dalam hidupnya. Hal ini salah satunya yang menjadi penyebab meningkatnya

angka kemiskinan dan menurunnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia,

sehingga secara tidak langsung menambah beban bangsa dan negara (Nawawi,

1998).

(26)

kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru, sehingga sebagai individu yang

dewasa diharapkan dapat menyesuaikan diri secara mandiri (Hurlock, 1980).

Individu yang mandiri, memasuki masa dewasa awal akan mampu menyesuaikan

diri terhadap tanggung jawab barunya, serta mempunyai tujuan hidup yang jelas,

serta mampu mewujudkannya demi masa depan yang sukses, walaupun akan

menghadapi kesulitan dalam mewujudkannya. Individu dewasa awal yang tidak

mandiri, memasuki masa dewasa awal akan merasakan kesulitan, sehingga

mereka mencoba memperpanjang ketergantungan dengan mempertahankan status

mahasiswa dan tidak bekerja, padahal teman seusia mereka telah berusaha

mengakhiri ketergantungan pada orang tua. Hal tersebut banyak terjadi di

lingkungan sosial peneliti.

Ciri-ciri lain yang menonjol dalam usia dewasa awal adalah melonjaknya

persoalan hidup di bandingkan masa sebelumnya, dan juga terdapatnya

ketegangan emosi (Mappiare, 1983). Hal tersebut disebabkan karena

bertambahnya tanggung jawab serta harapan-harapan sosial, namun di sisi lain,

dewasa awal belum mampu untuk menyesuaikan diri terhadap tanggung jawab

dan harapan sosial yang baru itu, dikarenakan antara lain ; kurangnya persiapan

untuk menghadapi masalah yang perlu diatasi sebagai orang dewasa, mencoba

menguasai dua atau lebih keterampilan sekaligus yang biasanya menyebabkan

keduanya kurang berhasil, dan terakhir karena tidak lagi memperoleh bantuan dari

lingkungan sekitar karena dianggap sudah dewasa. Tanggung jawab yang

(27)

Individu dewasa awal dituntut untuk mulai sepenuhnya mandiri,

bertanggung jawab atas dirinya sendiri, pilihan hidupnya, dan masa depannya.

Namun berdasarkan pengamatan peneliti terhadap lingkungan sosial di sekitar

peneliti, masih banyak dewasa awal yang belum lepas ketergantungannya baik

pada orang tua, ataupun teman. Ketergantungan ini tidak hanya menyangkut

ekonomi, namun juga dalam membuat keputusan dan pilihan hidupnya. Salah satu

contoh dalam lingkungan sosial peneliti, seorang wanita, di usia 25 tahun ia belum

jelas menentukan pilihan karirnya, belum menyelesaikan studinya, dan belum

menentukan kapan akan mengakhiri masa lajangnya. Ia masih belum mampu

untuk membuat keputusan sendiri mengenai hidupnya, dan hanya memasrahkan

saja kepada orang tuanya, akan kerja dimana ia nanti, dan dengan siapa ia

menikah. Hal ini membuat tugas perkembangannya terhambat. Dewasa awal yang

mampu membangun pribadi yang mandiri, akan mampu menentukan keputusan

dalam hidupnya, dan bertanggung jawab atas keputusannya.

Berdasarkan fenomena di atas, menegaskan bahwa kemandirian

mempunyai peran yang cukup besar bagi kesuksesan hidup seseorang. Pribadi

yang mandiri akan mampu menentukan apa yang terbaik baginya, memahami

kemampuan dan kelemahannya, sehingga bisa melihat peluang yang baik bagi

dirinya, lalu bekerja keras untuk mewujudkannya dengan tidak tergantung pada

orang lain.

Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bebas, tidak

(28)

usaha mengejar prestasi, tekun, merencanakan dan mewujudkan harapan atau

keinginannya, kreatif, penuh inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya,

mampu menghadapi masalah, mampu mempengaruhi lingkungan atas usahanya

sendiri, memiliki rasa percaya diri, memahami kemampuan dan menerima

kekurangannya (Masrun dkk, 1986).

Individu yang mandiri adalah yang berani mengambil keputusan dilandasi

oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya (Ali, 2006). Beberapa

definisi yang diungkapkan mengenai kemandirian melibatkan proses kognisi

seperti, kesanggupan untuk memutuskan sesuatu, kreatif, original, tendensi untuk

mencapai dan mengatasi suatu hal, proses kognisi ini sangat tergantung dengan

keadaan emosi atau suasana hati seseorang Misalnya saja kecemasan, memiliki

pengaruh negatif yang berakibat menurunkan kapasitas kognitif. Perasaan cemas

atau khawatir yang berlebihan terhadap pengerjaan suatu tugas juga dapat

memperburuk kinerja seseorang (Suharnan, 2005). Kemampuan seseorang

menangani emosi atau suasana hatinya dengan baik sehingga dapat dikelola secara

efektif merupakan bagian dari kecerdasan emosi.

Salovey dan Mayer mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merupakan

himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau

perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah milah

semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan

tindakan. Goleman (1999) mengatakan bahwa tanpa kecerdasan emosi, orang

(29)

potensi yang maksimum.

Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, akan mampu

mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, mampu mengelola emosinya

sehingga mampu untuk menunda kepuasan atau kenikmatan sebelum tercapainya

suatu tujuan, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan berusaha bangkit,

memiliki rasa percaya diri, sadar akan kemampuan diri, mampu menggerakkan

hasrat menuju sasaran, cermat membaca situasi sosial, serta memiliki

keterampilan untuk bekerja sama (Hariwijaya, 2005).

Dari uraian di atas secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan

kecerdasan emosional yang tinggi, individu dewasa awal dapat menjadi mandiri

dan diharapkan mampu memenuhi tanggung jawab dan harapan-harapan sosial

baru. dan tercapainya tujuan hidup yang lebih baik serta meraih kesuksesan. Hal

ini juga didukung penelitian sebelumnya oleh Suyatini (2004) yang

mendeskripsikan tingkat kecerdasan intrapersonal, kemandirian dan prestasi

belajar pada siswa kelas III SMP susteran Purwokerto tahun ajaran 2003/2004,

dimana kecerdasan intrapersonal dan kemandirian secara simultan berkorelasi

dengan prestasi belajar pada siswa. Lebih lanjut dijelaskan dalam pembahasan

mengenai kajian teoritisnya, bahwa orang yang berkecerdasan intrapersonal tinggi

mampu untuk memahami diri, merencanakan dan memecahkan masalah

kehidupannya, dan meraih sasaran yang dimiliki. Karakteristik-karakteristik

tersebut merupakan ciri yang dimiliki oleh orang yang mandiri. Penelitian lain

(30)

panti asuhan yatim Islam ditinjau dari konsep diri dan kompetensi interpersonal,

dimana terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompetensi interpersonal

dan kemandirian. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah ada

hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kemandirian, apakah

individu dewasa awal yang mandiri memiliki tingkat kecerdasan emosi yang

tinggi pula.

B.RumusanBMasalah

Berdasarkan pembahasan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah apakah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan

kemandirian pada usia dewasa awal?

C.TujuanBPenelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang positif antara

kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal.

D.ManfaatBBpenelitian

1.Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan teori

di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan pada usia dewasa

(31)

2.Secara Praktis

Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan pemahaman dan

informasi bagi usia dewasa awal tentang kecerdasan emosi dan hubungannya

(32)

TINJAUANBPUSTAKA

A KecerdasanBEmosionalB

1. PengertianBkecerdasanBemosional

Goleman mengungkapkan, bahwa kecerdasan intelektual itu sesungguhnya

pembawaan sejak lahir (Hariwijaya, 2005). Kecerdasan emosional tidak demikian.

Sedangkan kecerdasan emosional merupakan jembatan antar yang kita ketahui

dan lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, akan semakin

terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar.

Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan

kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan

kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam

berhubungan dengan orang lain (Goleman, 1999). Pengendalian emosi oleh diri

sendiri tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, ini

juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk yang tidak

menyenangkan. Goleman (Zainun Mu’tadin, 2002) mengatakan bahwa koordinasi

suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai

menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati,

orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan akan lebih mudah

menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut

Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih

(33)

yang dimiliki individu dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi

kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan

jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan

emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

Sementara Howes dan Herald (Zainun Mu’tadin, 2002) mengatakan pada

intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang

menjadi pintar menggunakan emosi.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Salovey dan Mayer (Hariwijaya,

2005 ; Stein dan Book, 2004) yang mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai

kemampuan memantau, mengenali emosi, dan mengendalikan emosi sendiri dan

orang lain, serta menggunakan emosi-emosi itu untuk memandu pikiran dan

tindakan, sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Reuven Bar-On (Stein dan Book, 2004) mendefinisikan kecerdasan emosi

sebagai serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang

mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan

tekanan lingkungan.

Selanjutnya Cooper dan Sawaf (Mu’tadin, 2002) mengatakan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara

selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan

pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk

belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta

(34)

kehidupan sehari-hari.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi

adalah kemampuan atau kecakapan non-kognitif seseorang yang meliputi

pengendalian suasana hati atau perasaannya dan orang lain baik emosi yang

negatif ataupun positif, seperti halnya memotivasi dirinya dan sanggup

menghadapi kegagalan, menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, sehingga

membantu individu dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan menyikapi

masalah hidup.

2. Aspek2aspekBkecerdasanBemosional

Dari sekian banyak pakar yang mengajukan teori, peneliti mengacu pada

teori Daniel Goleman, karena dirasa cukup jelas, singkat dan padat makna

mengenai aspek-aspek kecerdasan emosi, sehingga dapat digunakan untuk

mengukur kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Namun tidak menutup

kemungkinan adanya tambahan pemaknaan dari pakar-pakar lainnya dalam setiap

aspek yang dikemukakan oleh Goleman.

Daniel Goleman (1999) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi terdiri

dari lima komponen atau aspek-aspek, antara lain :

a. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.

Individu dengan kesadaran diri yang baik akan mampu mengenali emosi mana

(35)

perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan, perbuat dan katakan,

mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja, serta

mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan

sasaran-sasaran mereka.

b. Mengelola emosi

Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap

dengan tepat. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila ; mampu menghibur

diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan, atau

ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya

orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus

bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif

yang merugikan dirinya sendiri.

c. Memotivasi diri

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal

sebagai berikut :

1) Cara mengendalikan dorongan hati agar tidak menghambat pemikiran

2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang

3) Kekuatan berpikir positif

4) Optimisme, dan

5) Keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa

yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek.

(36)

seseorang.

d. Mengenali emosi orang lain

Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran

diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa

ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak

mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak

akan mampu menghormati perasaan orang lain. Mengenali emosi orang lain

berarti memahami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang lain

serta secara aktif menunjukkan minat terhadap kepentingan-kepentingan

mereka (Goleman, 1999). Individu yang mampu berempati dengan baik, akan

memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik,

menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain, serta

membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang

lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan

sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.

Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam

pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya

keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali

dianggap angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan. Individu yang

(37)

berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan

lancar, mampu memimpin dan mengorganisir orang lain, serta pintar

menangani perselisihan yang muncul dalam setiap interaksi.

3. Faktor2faktorByangBmempengaruhiBkecerdasanBemosi

Kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan intelektual. Seperti yang

telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa kecerdasan intelektual

merupakan pembawaan sejak lahir, dan cenderung tetap atau sulit untuk diubah

(Goleman, 1999). Tidak demikian halnya dengan kecerdasan emosi, kecerdasan

emosi bisa terus dilatih menjadi semakin baik seiring bertambahnya umur. Hal-hal

yang mempengaruhi kecerdasan emosi secara garis besar terbagi dua, yakni :

a. Faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Faktor yang bersumber dari dalam individu, seperti susunan saraf pusat atau

otak. Susunan saraf yang terdapat di otak mempengaruhi kualitas atau

kecakapan emosi seseorang, misalnya seperti keadaan amigdala, lobus

prefrontal, neokorteks, dan sistem limbik. Sinyal-sinyal dari organ

pengindra (seperti mata, telinga, dan organ pengindra lainnya) dikirimkan ke

talamus, kemudian ke wilayah-wilayah neokorteks yang memproses

pengindraan, di sana sinyal-sinyal tadi disusun menjadi benda-benda yang

kita pahami. Sinyal-sinyal itu dipilah-pilah menurut maknanya sehingga

otak mengenali masing-masing objek dan arti kehadirannya. Informasi

(38)

prefrontal, tempat tindakan perencanaan dan pengorganisasian menuju

sasaran, termasuk sasaran emosional. Apabila dalam proses itu dibutuhkan

respon emosional, lobus-lobus prefrontal akan memerintahkannya, bekerja

sama dengan amigdala dan sirkuit-sirkuit lainnya dalam otak emosional.

Sambungan antara amigdala (dan struktur-struktur limbik yang berkaitan)

dan neokorteks merupakan proses yang melibatkan nalar dan perasaan.

Hubungan antarsirkuit ini menjelaskan mengapa emosi demikian penting

bagi nalar yang afektif, baik dalam membuat keputusan-keputusan yang

bijaksana maupun sekadar dalam memungkinkan kita berpikir dengan

jernih. Interaksi yang baik atau tidak terhambatnya sirkuit antara amigdala

dengan lobus-lobus prefrontal dan sistem limbik dengan neokorteks, maka

kecakapan atau kecerdasan emosional individu akan bertambah pula.

b. Faktor yang berasal dari luar diri individu.

Faktor dari luar individu diantaranya adalah pengalaman, proses belajar,

perlakuan orang sekitar, serta hal lain yang dapat mempengaruhi individu

untuk mengubah sikap, baik dari lingkungan langsung, maupun media lain

seperti buku dan lain sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, seperti faktor

pengalaman, misalnya reaksi individu terhadap suatu peristiwa di masa lalu

yang memiliki muatan emosi (seperti peristiwa traumatis) akan muncul

kembali di masa sekarang, jika individu dihadapkan pada hal yang dapat

mengingatkannya kembali pada peristiwa di masa lalu, walaupun

(39)

turut berpengaruh terhadap kualitas kecerdasan emosi adalah perlakuan

orang sekitar terhadap individu yang bersangkutan, seperti keluarga sebagai

lingkungan terdekat, perlakuan orang-orang di lingkungan tempat individu

mengenyam pendidikan, dan perlakuan dari lingkungan masyarakat sekitar.

Individu yang mendapat perlakuan baik dari lingkungannya, akan semakin

baik pula perkembangan kecerdasan emosinya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosi terbagi menjadi dua, yakni ; berasal dari dalam

dan dari luar individu. Faktor yang berasal dari dalam diri individu meliputi

susunan syaraf pusat, sedangkan faktor yang berasal dari luar diri individu atau

lingkungan, yakni ; pengalaman pribadi, perlakuan orang-orang sekitar terhadap

dirinya, proses belajar individu semasa hidupnya, dan hal lain yang dapat

mempengaruhi individu untuk mengubah sikapnya, baik lingkungan langsung

maupun tidak, seperti media cetak, dan lain sebagainya.

B Kemandirian

1. PengertianBkemandirian

Kemandirian berasal dari kata mandiri, yang dalam bahasa Jawa berarti

berdiri sendiri. Kemandirian dalam arti psikologis (Hasan Basri, 2004) merupakan

kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dalam hidupnya, bertindak

tanpa tergantung dengan bantuan orang lain, dan memahami segala dampak yang

(40)

Kartini dan Dali (http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp) mengatakan

bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri

sendiri. Individu yang mandiri dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat

berkembang dengan lebih mantap.

Kemandirian menurut Masrun dkk (1986) tercermin dalam tindakan yang

dilakukan atas kehendak sendiri, adanya usaha untuk mengejar prestasi, tekun,

merencanakan dan mewujudkan harapan atau keinginannya, kreatif, penuh

inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya, mampu mempengaruhi lingkungan

atas usaha sendiri, memiliki rasa percaya diri, memahami kemampuan dan

menerima kekurangannya.

Nawawi (1998) mengemukakan bahwa kemandirian disebut juga

individualitas, bukan individualistis atau individualisme atau egoisme. lebih lanjut

dikemukakannya bahwa kemandirian adalah kemampuan mengakomodasikan

sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan di dalam sikap dan perilaku yang tepat

berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Individu

yang mandiri adalah individu yang memiliki sifat dan sikap rajin, senang bekerja,

sanggup bekerja keras, tekun, gigih, berdisiplin, berani merebut kesempatan, jujur,

mampu bersaing sekaligus bekerja sama, dapat dipercaya dan mempercayai orang

lain, mempunyai cita-cita dan memahami cara mewujudkannya, terbuka pada

kritik dan saran, tidak mudah putus asa, dan tidak tergantung pada orang lain.

Penjelasan tersebut didukung oleh pernyataan Stein dan Book (2004) yang

(41)

bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan

diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada

orang lain. Menjadi mandiri, berarti individu bertanggung jawab atas dirinya, apa

yang dilakukannya, dan tidak tergantung dengan orang lain (Zainun Mu’tadin,

2002). Kemandirian dalam konteks individu memiliki aspek yang lebih luas dari

sekedar aspek fisik.

Reber (http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp) mengemukakan

bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara

relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian

merupakan kemampuan individu untuk bebas, tidak tergantung dengan orang lain

dalam bertindak dan menentukan keputusan dalam hidupnya, serta mampu

bertanggung jawab dalam setiap tindakan dan keputusan yang telah dibuatnya.

Selain itu, individu juga mempunyai keinginan atau cita-cita yang ingin diraih,

mengerti cara mewujudkannya, berusaha untuk mewujudkannya dengan

mempertimbangkan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, tekun,

kreatif, memiliki inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya, mampu

mempengaruhi lingkungan dan bekerja sama dengan lingkungan sekitar, serta

memiliki rasa percaya diri, menerima diri apa adanya dan berusaha memperbaiki

(42)

2. Aspek2aspekBkemandirian

Aspek-aspek kemandirian pada penelitian ini mengacu pada aspek

kemandirian yang disusun oleh Masrun (1986), berdasarkan dari makna

kemandirian itu sendiri, antara lain :

a. Bebas

Ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendaknya sendiri, bukan

karena orang lain, serta tidak tergantung kepada orang lain.

b. Progresif dan ulet

Ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan,

merencanakan serta mewujudkan harapan-harapannya dengan tidak mudah

menyerah pada rintangan atau halangan yang menghambat terwujudnya

keinginannya itu.

c. Inisiatif

Meliputi kemampuan untuk berfikir dan bertindak secara original, kreatif, dan

penuh inisiatif.

d. Pengendalian dari dalam (Internal Locus of Control)

Meliputi adanya perasaan mampu untuk mengatasi masalah yang dihadapi,

mampu untuk mengendalikan tindakan, menyadari bahwa peristiwa-peristiwa

yang terjadi menyangkut dirinya adalah akibat perilaku atau sifat-sifat yang

melekat pada dirinya sendiri, mampu untuk mempengaruhi lingkungannya,

(43)

e. Kemantapan diri (Self-Esteem, Self-Confidence)

Rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima diri apa adanya,

memahami kelemahan dan kelebihan diri, serta memperoleh kepuasan dari

usahanya.

Masing-masing aspek di atas mempunyai kedudukan yang sama

pentingnya, saling menunjang, dan bersifat tidak saling tergantung. Apabila salah

satu aspek ada yang menonjol, bukan berarti aspek yang lain akan ada yang lebih

rendah, melainkan hanya akan mempengaruhi manifestasi perilaku mandiri.

Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar aspek-aspek kemandirian meliputi ;

bebas, progresif dan ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam, serta kemantapan diri.

Kelima aspek tersebut akan digunakan sebagai acuan pembuatan instrumen

penelitian.

3. Faktor2faktorByangBmempengaruhiBkemandirian

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian secara garis besar terbagi

menjadi dua (Basri, 2004), yakni :

a. Faktor endogen (faktor yang berasal dari dalam diri individu).

Semua faktor yang bersumber dari dalam diri individu sendiri, seperti sifat

dasar dari orang tua atau generasi sebelumnya yang terlihat dari bakat, potensi

intelektual, dan potensi pertumbuhan tubuh atau keadaan fisiknya. Taraf

kesehatan fisik mempengaruhi kualitas kemandirian seseorang. Mengacu pada

(44)

dan berusaha sebisa mungkin untuk mewujudkannya dengan mengandalkan

dirinya sendiri, sehingga bila tidak ditunjang dengan keadaan fisik yang

prima, maka hal tersebut bisa terhambat. Segala sesuatu yang dibawa anak

sejak lahir juga menentukan kualitas kemandirian seseorang, karena hal

tersebut merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak

selanjutnya.

b. Faktor eksogen (faktor yang berasal dari luar individu).

Semua pengaruh yang berasal dari luar diri individu, seperti halnya

lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggal, lingkungan sosial

ekonomi, serta pola pendidikan. Kebiasaan atau pola hidup yang berlaku di

keluarga dan masyarakat, akan membentuk pribadi yang bersangkutan.

Apabila pola yang diterapkan cenderung menempatkan individu di posisi yang

selalu nyaman, semua yang diinginkan ada tanpa harus berusaha dengan giat,

dimanjakan, jelas sekali nantinya akan sulit untuk tidak tergantung dengan

orang lain, individu akan sulit untuk menjadi mandiri, mewujudkan

keinginannya tanpa bantuan orang lain. Sama halnya dengan lingkungan

sosial ekonomi dan pendidikan. Keadaan ekonomi yang pas-pasan, ditunjang

dengan penanaman taraf kesadaran yang baik, terutama mengenai nilai luhur

kehidupan dan keinginan serta usaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik,

akan meningkatkan kualitas kemandirian seseorang. Pola pendidikan yang

baik, seringkali ditegakkan dengan pola reward dan punishment, dengan

(45)

memiliki taraf kesadaran dan pengalaman nilai kehidupan yang lebih baik.

Lingkungan keluarga yang normatif juga memungkinkan individu untuk

melakukan pilihan terhadap sesuatu secara baik.

Pendapat lain yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang

mempengaruhi kemandirian adalah Mohamad Ali (2006), yang mengatakan

bahwa selain merupakan potensi yang dimiliki sejak lahir, kemandirian juga

dipengaruhi oleh berbagai stimulasi dari lingkungan. Faktor-faktor tersebut antara

lain:

a Pola asuh orang tua.

Bagaimana anak diasuh dan diperlakukan oleh orang tua, akan mempengaruhi

kualitas kemandiriannya. Orang tua yang sering melarang anaknya melakukan

sesuatu tanpa ada alasan yang jelas dan yang rasional, dapat menghambat

perkembangan kemandirian anak. Anak bisa saja nantinya akan menjadi takut

untuk mencoba hal baru, memiliki rasa cemas yang berlebihan, sehingga tidak

berani mengambil resiko dalam hidupnya walaupun mungkin hal tersebut baik

untuk dirinya demi terwujud tujuan hidupnya.

b. Gen atau keturunan orang tua.

Orang tua yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi akan menurun ke

anaknya juga. Namun, faktor ini masih menjadi perdebatan, karena ada pula

yang berpendapat bahwa kemandirian bukanlah diturunkan dari orang tua

melainkan terbentuk dari bagaimana cara orang tua mendidik anaknya.

(46)

yang mandiri pula, apalagi cara didik yang diterapkan orang tua tidak

mendukung perkembangan kemandirian seseorang.

c. Sistem pendidikan.

Meliputi cara didik atau proses didik yang diperoleh individu dimanapun ia

mengenyam pendidikan. Apabila prosesnya lebih banyak menekankan

punishment daripada reward, dapat menghambat perkembangan kemandirian

seseorang, karena dengan pola seperti itu dapat membuat individu yang

bersangkutan selalu merasa salah dalam setiap perilakunya.

d. Sistem kehidupan di masyarakat.

Lingkungan dimana individu merasa dihargai akan potensinya yang berwujud

diselenggarakannya berbagai kegiatan yang mendukung atau tidak terlalu

hirarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian.

Masrun dkk (1986) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

kemandirian terdiri dari :

a. Umur

Perkembangan kemandirian meningkat seiring dengan perkembanagn umur.

Katkosky dkk (dalam Masrun, 1986) mengemukakan bahwa internal locus of control terbentuk pada masa kanak-kanak dan meningkat sedikit demi sedikit

ketika memasuki usia remaja. Hal ini mungkin disebabkan karena anak-anak

yang lebih muda tunduk kepada pengawasan orang tuanya, akan tetapi

pengawasan ini berangsur-angsur berkurang sejalan bertambahnya umur.

(47)

mengendalikan tindakannya sendiri, membuat keputusan sendiri dalam

hidupnya, serta mempengaruhi lingkungannya. Lebih lanjut Sutton (dalam

Masrun dkk, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur serta

melalui proses belajar akan membuat seseorang semakin tidak tergantung dan

mampu secara mandiri menentukan hidupnya sendiri.

b. Jenis Kelamin

Anak laki-laki biasanya lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri

dan menanggung resiko, serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif

dan originalitasnya daripada anak perempuan. Sesuai dengan perannya pria

diharapkan menjadi kuat, mandiri, agresif, dan mampu memanipulasi

lingkungannya, berprestasi, dan mampu membuat keputusan. Dalam

kehidupan sosial mereka diharapkan mampu berkompetisi, tegas, dan

dominan. Wanita diharapkan lebih bergantung, sensitif, dan keibuan.

Perbedaan sifat-sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita ini, antara lain

disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan pada pria dan wanita.

Lebih lanjut dikemukakan Conger (dalam Masrun dkk, 1986) bahwa pria lebih

mandiri daripada wanita.

c. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan terbagi lagi menjadi dua, yakni :

1) Lingkungan permanen, meliputi pendidikan dan pekerjaan. Pendidikan

yang dimaksud, tidak harus di sekolah atau lembaga pendidikan formal

(48)

kesempatan untuk mengembangkan diri melalui keikutsertaan di dalam

berbagai kegiatan. Pendidikan adalah usaha manusia dengan penuh

tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Sebagai manusia

yang belum dewasa, anak didik belum dapat mandiri secara pribadi dia

masih heteronom, masih membutuhkan pendapat orang lain yang lebih

dewasa sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya. Berdasarkan

penelitian longitudinal (Masrun, 1986) diperoleh hasil bahwa setelah

melalui proses belajar di Perguruan Tinggi selama empat tahun, subjek

penelitian menunjukkan peningkatan kemandirian dan perkembangan

kesadaran diri. Pekerjaan juga mempengaruhi kemandirian seseorang.

Bekerja bukan semata-mata sebagai mata pencaharian tetapi juga sebagai

pengisi waktu dan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan menuntut

pemanfaatan waktu yang khusus dan tertentu yang relatif lama, maka

interaksi yang terjadi dalam pekerjaan akan ikut mempengaruhi diri

seseorang. Implikasi psikologis yang dimaksud adalah bahwa status

pekerjaan dan pendapatan berkaitan erat dengan harga diri.

3) Lingkungan tidak permanen

Meliputi peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seseorang yang

mengakibatkan terganggunya untuk sementara waktu integritas

kepribadian seseorang, seperti kematian orang yang dicintai, bencana

alam, dan lain-lain (Robinson dan Shaver dalam Masrun dkk, 1986).

(49)

faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kemandirian seseorang adalah

faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu. Faktor dari

dalam diri individu, yakni ; pertumbuhan tubuh atau keadaan fisik, bakat,

umur, serta potensi intelektual. Faktor dari luar diri individu meliputi ; pola

asuh orang tua, perlakuan yang diterima berdasarkan jenis kelamin

tertentu, sistem pendidikan, pekerjaan, peristiwa penting dalam hidup,

serta sistem kehidupan di masyarakat sekitar.

C UsiaBDewasaBAwal

1. BatasanBusiaBdewasaBawal

B BHurlock (1980) mengemukakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada

umur 18 – 40 tahun, saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai

berkurangnya kemampuan reproduktif.

Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun, karena pada usia itu

seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai

tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Monks et all, 2004). Hal ini

didukung pendapat Mappiare (1983) yang mengemukakan bahwa usia dewasa

awal dimulai dalam usia 21/22 tahun. Sedangkan, Levinson (dalam Monks et all,

1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa awal mencakup tiga periode,

yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28 tahun) dimana individu menyadari

peran dan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa serta berusaha membentuk

(50)

tahun merupakan pemantapan dari masa sebelumnya, begitu juga dengan usia

33-40 yang merupakan fase pemantapan, dimana individu memantapkan diri

dalam karir, kehidupan keluarga dan tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40

tahun merupakan puncak masa dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada

usia 45 tahun. Pada penelitian ini batasan usia dewasa awal mengacu pada teori

Levinson.

2. PerkembanganBusiaBdewasaBawal

Dewasa awal merupakan individu yang telah menyelesaikan

pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama

dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Masa dewasa awal merupakan

periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan

sosial baru, dan sebagai orang dewasa mereka diharapkan dapat menyesuaikan

diri secara mandiri. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa

muda dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan

kemandirian dalam membuat keputusan. Pembuatan keputusan yang dimaksud

adalah secara luas, yakni meliputi tentang karir, nila-nilai, keluarga, hubungan,

dan gaya hidup (Santrock, 2002).

Dewasa awal yang memiliki sikap bergantung, akan sangat sukar

mengambil keputusan sendiri ; apakah akan menikah atau tidak; akan bekerja

dimana, dan sebagainya (Mappiare, 1983). Individu dewasa awal yang mandiri,

(51)

Sedangkan individu yang tidak mandiri, semua keputusan yang harus dibuatnya

tidak akan jadi-jadi, karena ketidakmampuan mengambil keputusan dengan

mempertimbangkan segala konsekuensinya. Hal tersebut akan menghambat

individu yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya.

Havighurst (dalam Monks ea all, 2004) mengemukakan bahwa perjalanan hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi.

Konsep diri dan harga diri akan turun bila seseorang tidak dapat melaksanakan

tugas perkembangan dengan baik. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tugas

perkembangan dewasa awal adalah mulai bekerja yang menandai kemampuannya

untuk mandiri secara ekonomi, menerima tanggung jawab sebagai warga negara,

memilih jodoh, belajar hidup berkeluarga, dan menemukan kelompok sosialnya.

Individu dewasa awal, sebagai orang yang dewasa diharapkan dapat

menyesuaikan diri secara mandiri terhadap harapan sosial barunya (Hurlock,

1980).

Perkembangan pada usia dewasa awal dapat dilihat dalam berbagai aspek

(Santrock, 2002), antara lain :

a) Kondisi fisik

Kondisi fisik pada usia dewasa awal tidak hanya mencapai puncaknya saja,

tetapi juga mulai menurun selama periode ini. Perhatian pada kesehatan

meningkat di antara orang dewasa awal. Kondisi fisik menggapai

puncaknya antara usia 18-30 tahun, terutama usia 19-26 tahun. Menuju

(52)

tampak. Kondisi fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kemandirian seseorang (Basri, 2004). Individu dewasa awal yang mandiri

berusaha sebisa mungkin untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya

dengan mengandalkan dirinya sendiri, sehingga bila tidak ditunjang

dengan kondisi fisik yang prima, maka hal tersebut bisa terhambat.

b) Kognitif

Integrasi baru dari pikiran terjadi pada masa dewasa awal. Pemikiran pada

usia dewasa awal akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis

yang memerlukan strategi penyesuaian diri yang sedikit mengandalkan

analisis logis dalam memecahkan masalah (Labouvie-Vief dalam Santrock,

2002). Perry (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa pola pikir usia

dewasa awal menuju pada pola pikir yang beragam, dan semakin relatif.

Lebih lanjut dijelaskannya bahwa memasuki usia dewasa awal, mereka

mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang ada,

percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi serta setiap

pendapat yang ada sebaik pendapat orang lainnya. Sehingga menjadikan

orang dewasa memahami bahwa kebenaran adalah relatif.

Pandangan lain yang mengemukakan tentang perubahan kognitif pada usia

dewasa awal adalah Schaie, yang mengajukan urutan fase-fase kognitif,

terdiri dari :

1) Fase mencapai prestasi (achievinm stame)

(53)

situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan

jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.

2) Fase tanggung jawab (the responsibility stame)

Fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan

pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Perluasan

kemampun kognitif yang sama diperlukan saat karir individu

meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain muncul dalam

pekerjaan dan komunitas.

3) Fase eksekutif (the executive stame)

Fase dimana individu bertanggung jawab pada sistem kemasyarakatan

dan organisasi sosial (pemerintahan atau perusahaan, misalnya). Selain

itu individu juga mulai membangun pemahaman tentang bagaimana

organisasi sosial bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang

terlibat di dalamnya. Fase ini terjadi di masa dewasa tengah.

4) Fase reintegratif (the reintemrative stame)

Fase dimana individu memilih untuk memfokuskan tenaga pada tugas

dan kegiatan yang bermakna bagi mereka. Fase ini terjadi pada akhir

masa dewasa.

c) Sosio-emosional

Memasuki masa dewasa awal, individu mengalami ketegangan emosional

yang nampak dalam bentuk keresahan (Hurlock, 1980). Keresahan yang

(54)

dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya dalam upaya penyelesaiannya.

Salah satunya adalah penyesuaian terhadap kehidupan sosial yang baru,

dimana individu menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab

baru, dan komitmen baru yang menjadi landasan dikemudian hari. Dengan

berakhirnya pendidikan formal dan memasuki ke dalam pola kehidupan

orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, keterlibatan

dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang sebagai

akibatnya akan mengalami keterpencilan sosial atau krisis keterasingan.

Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat

kuat untuk maju dalam karir. Dengan demikian keramah-tamahan masa

remaja diganti persaingan pada masa dewasa. Banyk waktu dicurahkan

untuk pekerjaan, sehingga hanya terdapat sedikit waktu untuk sosialisasi

yang diperlukan untuk membina hubungan yang akrab. Akibatnya

menimbulkan sikap emosentris dan menambah keterasingan. Lama tidaknya perasaan keterasingan ini tergantung dari kemampuan individu

untuk membina hubungan sosial yang baru, guna menggantikan hubungan

sosial yang berukurang sebelumnya.

D HubunganBAntaraBKecerdasanBEmosionalBdanBKemandirianBPadaB

UsiaBdewasaBAwal

Dalam rentang kehidupan seseorang, pasti mengalami perubahan dalam

(55)

fungsi dalam diri individu secara bertahap untuk memasuki masa perkembangan

selanjutnya, dan juga perubahan tanggung jawab serta tugas perkembangan,

memasuki tahapan usia yang baru, seperti halnya memasuki usia dewasa awal.

Memasuki usia dewasa awal, individu dituntut untuk mampu

menyesuaikan diri secara mandiri terhadap pola-pola kehidupan baru (Hurlock,

1980). Hal tesebut yang membuat periode ini menjadi periode yang sulit dalam

rentang kehidupan seseorang, karena semakin besar tuntutan terhadap diri

sehingga secara otomatis menyebabkan melonjaknya persoalan hidup (Mappiare,

1983).

Levinson (Monks et all, 1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa awal mencakup tiga periode, yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28

tahun) dimana individu menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai orang

dewasa serta berusaha membentuk struktur kehidupan yang stabil dalam dunia

kerja dan hubungan sosial. Usia 28-33 tahun merupakan pemantapan dari masa

sebelumnya, begitu juga dengan usia 33-40 yang merupakan fase pemantapan,

dimana individu memantapkan diri dalam karir, kehidupan keluarga dan

tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40 tahun merupakan puncak masa

dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada usia 45 tahun.

Individu dewasa awal yang memiliki kualitas kemandirian diharapkan

dapat memahami kemampuan dan kekurangan dirinya, serta melihat peluang yang

baik demi mewujudkan cita-citanya dengan mempertimbangkan segala kelebihan

(56)

bertanggung jawab terhadap masa depannya. Sehingga ia mampu mempersiapkan

diri sebaik-baiknya dalam persaingan yang semakin tinggi di dunia ke

Gambar

Tabel 1Skor jawaban pada skala Kecerdasan Emosional dan skala Kemandirian
Blue PrintTabel 2 Skala Kecerdasan Emosional
Blue PrintTabel 3 Skala Kemandirian
Tabel 4Penyebaran aitem skala Kecerdasan Emosional sebelum uji coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kabupaten/kota dengan jumlah tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit terbanyak adalah Palu (989 orang), kemudian Tolitoli (238 orang), sedangkan yang terendah adalah Bangkep

Informasi ini berisi data keuangan dan transaksi–transaksi yang dilakukan oleh perusahaan termasuk didalamnya mengenai penjualan tunai, maka untuk mendapatkan informasi yang memenuhi

Penanganan pakan dan limbah ternak oleh perusahaan yang dibentuk dan dikelola oleh tenaga professional akan meningkatkan kapasitas peternak dalam memelihara sapi

Menurut Gupta and Jha (2006), astaxanthin merupakan pigmen alami yang dikenal sebagai karotenoid yang memiliki warna merah yang secara alami terdapat pada tanaman dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek penambahan CMC-Na sebagai binder dan gliserin sebagai humektan serta interaksi keduanya terhadap sifat fisis pasta gigi

1. H.Syamsuhadi Irssyad, SH., MH, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kep, selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kep,

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) manakah yang memberikan prestasi belajar lebih baik antara model pembelajaran CPS, TAPPS atau STAD dengan pendekatan

Untuk mengetahui dan menganalisis implementasi program Lima R dan budaya organisasi secara simultan mempunyai pengaruh terhadap kinerja karyawan PT X di Sidoarjo