BAB VI
INTERAKSI DAN ADAPTASI SERTA FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA
6.1 Keberhasilan Interaksi dan Adaptasi
6.1.1 Adaptasi Bahasa dan Perubahan Perilaku
Proses komunikasi berbagai unsur kebudayaan seperti sistem bahasa,
terjadi dalam waktu yang relatif singkat seperti yang diungkapkan oleh
beberapa informan dalam kutipan wawancara berikut.
Usaha memahami bahasa Jawa sebagai simbol komunikasi juga berdampak pada relasi antar sesama pelajar, dimana para pelajar asal Papua merasa diterima oleh teman-teman dan mulai merasa nyaman dengan lingkungan sekolah. Kesadaran para pelajar Papua dalam usaha memahami bahasa Jawa yang digunakan dalam interaksi sosial di lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal dapat dikatakan sebagai bentuk usaha penerimaan budaya baru.
Kalau untuk bahasa saya sudah mengerti, tetapi untuk mau menggunakan
bahasa jawa yang agak susah. Sekarang su mulai pake dong pung bahasa
biar satu dua kata begitu, sekarang ada juga teman-teman yang su mulai
panggil saya “mace” dikelas ataukadang panggil “ko”1.
Penyesuaian unsur-unsur budaya seperti bahasa merupakan hal utama
yang harus dilakukan oleh pelajar asal Papua yang berada di Salatiga yang
seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi.
Ritzer (2014) mengatakan bahwa bahasa yang didalamya terdapat kata-kata
adalah simbol-simbol yang digunakan untuk melambangkan benda-benda lain,
atau dengan kata lain bahasa menjadikan berbagai tindakan dan berbagai
objek lainnya menjadi bermakna. Bahasa sebagai simbol juga memiliki
sejumlah fungsi spesifik yang bermanfaat dalam proses adaptasi
seseoranng.Pertama, bahasa memampukan manusia untuk berurusan dengan
dunia material dan sosial dengan memungkinkan manusia untuk menamai,
mengkategorikan, dan secara khusus mengingat jauh lebih efisien. Kedua,
bahasa meningkatkan kemampuan manusia untuk memahami lingkungan.
Ketiga, bahasa meningkatkan kemampuan berpikir. Keempat, bahasa
membantu kemampuan manusia dalam memecahkan berbagai masalah
(Charon, 1998). Keempat fungsi spesifik dari bahasa tersebut menunjakan
bagaimana bahasa sangat berpengaruh dalam aktifitas interaksi dan adaptasi
sosial manusia. Ketidakmampuan pelajar asal Papua menggunakan bahasa
Jawa dalam berkomunikasi tentunya akan mempersulit proses pemaknaan
terhadap berbagai tindakan dan objek lainnya yang berada dilingkungan
sekitar, baik di lingkungna sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal.
Bahasa merupakan masalah utama yang dihadapi para pelajar asal
Papua dalam proses adaptasi, akan tetapi dengan melibatkan kemampu an
berpikir guna menyesuaikan berbagai informasi terkait nilai-nilai sosial dan
berbagai unsur budaya, para pelajar mulai belajar memahami dan
menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi dengan lingkungan sosial
yang lebih luas.
Sebagaimana diungkapan oleh Fishman (1972) bahwa bahasa
merupakan awal untuk memahami dan mendalami kebudayaan suatu
masyarakat. Pemahaman akan bahasa juga dapat secara langsung berhubungan
dengan pola hidup, sistem nilai, dan adat budaya yang ada di tengah
masyarakat.
6.1.2 Penerimaan Budaya Baru
Penerimaan terhadap budaya baru dapat dikatakan sebagai bentuk
keberhasilan adaptasi sosial seseorang maupun kelompok dengan latar
belakang budaya berbeda mau menjadikan berbagai unsur kebudayaan lain
sebagai bagian dari kehidupan sosialnya. Dalam sudut pandang yang lebih
luas, penerimaan budaya dapat digambarkan dengan golongan minoritas yang
diri dengan kebudayaan mayoritas sehingga unsur kebudayaan yang baru
tersebut lambat laun dapat diterima dan diolah kedalam budaya sendiri tanpa
menghilangkan budaya asal.
Dalam proses penerimaan kebudayaan Jawa sebagai bagian dari kehidupan sosial, pelajar asal papua secara perlahan-lahan mengkomunikasikan berbagai unsur-unsur kebudayaan yang ada sehingga mampu melakukan adaptasi dengan lingkungan sosial. Hal ini dapat dilihat dari bagimana para pelajar asal Papua mulai menjalin hubunngan yang intens dengan teman-teman dari Salatiga, seperti pergi berakhir pekan ke rumah teman atau jalan bersama teman-teman yang berasal dari Salatiga.
Sekarang sudah nyaman dengan situasi di Salatiga karena sudah terbiasa. Kalau untuk makanan salatiga saya suda sangat suka, karena sudah terbiasa. Kemarin waktu pulang ke papua saya sempat sakit karena mencicipi makanan papua2.
Kutipan wawancara dengan narasumber di atas menunjukan bahwa
para pelajar asal Papua sudah merasa nyawan dan mulai terbiasa dengan
berbagai unsur budaya di Salatiga termasuk makanan. Koentjaraningrat (2009)
mengungkapkan bahwa generasi muda merupakan generasi yang belum
memiliki unsur-unsur atau norma-norma budaya tradisional yang kuat
sehingga lebih muda menerima unsur-unsur kebudayaan baru. Keberhasilan
penerimaan budaya baru sebagai bagian dari interaksi dan adaptasi pelajar
Papua di Salatiga tidak hanya dipandang sebagai proses yang harus dilakukan
untuk dapat bertahan hidup di masyarakat tetapi juga dapat dilihat sebagai
proses yang lebih dinamis yang memungkinkan individu untuk
mengembangkan kemampuan berpikir. Keterlibatan kemampuan berpikir
dalam proses adaptasi sangat diperlukan oleh individu guna membentuk dan
menyesuaikan berbagai informasi terkait nilai-nilai sosial dan berbagai unsur
kebudayaan dilingkungan yang baru untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Keberhasilan pelajar asal Papua dalam menerima budaya baru juga
dapat disebut sebagai bentruk intrgrasi budaya. Bochner (Dayakisni, 2015)
mengatakan bahwa integrasi budaya dapat terjadi karena dua faktor yaitu,
kesediaan dalam memelihara hubungan dengan kelompok lain dan
kemampuan mempertahankan identitas dan karakteristik budaya yang
dimiliki. Veeger menyebutkan bahwa integrasi sosial dapat terjadi dan
dipersatukan karena adanya ikatan persaudaraan dan simpati sebagaimana
yang di alami pada masa awal interaksi pelajar asal Papua baik dilingkungan
sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal.
6.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Interaksi dan Adaptasi
Proses interaksi dan adaptasi sosial pelajar Papua yang berada di kota
Salatiga dapat terjadi karena berbagai faktor. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Soekanto (2007) faktor interaksi sosial dapat terjadi adanya dorongan
untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan
sosial lingkungan yang baru, faktor sugesti yang berlangsung apabila
seseorang memberi suatu pandangan atau sikap yang berasal dari dirinya,
faktor identifikasi yang merupakan keinginan-keinginan dalam diri sesorang
untuk menjadi sama dengan orang lain, dan faktor simpati yang merupakan
suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Dari keempat
faktor interaksi dan adaptasi yang dikemukakan oleh Soekanto tersebut,
terdapat dua faktor utama atau faktor dominan yang menjadi motivasi
interaksi dan adaptasi pelajar asal Papua di Salatiga
Faktor imitasi atau faktor kepatuhan terhadap kaidah-kaidah dan
nilai-nilai sosial dapat menjadi penggerak utama interaksi dan adaptasi dikarenakan
para pelajar asal Papua memiliki latar belakang budaya serta perilaku sosial
yang berbeda dengan masyarakat kota Salatiga yang memiliki latar belakang
budaya Jawa. Faktor imitasi mengharuskan para pelajar asal Papua untuk bisa
mempelajari berbagai kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial budaya Jawa seperti
bahasa, sistem kekerabatan dan makanan. Nilai-nilai dan kaidah sosial dapat
terdiri dari konsepsi yang hidup dalam alam fikiran warga masyarakat yang
mereka anggap mulia serta menjadi rujukan dalam bertindak (Koentjaningrat,
menjadi acuan cara berperilaku atau bertindak ketika berada di lingkungan
dengan latar belakang budaya berdeda. Faktor imitasi sebagai faktor yang
mempengaruhi adaptasi siswa asal Papua dapat dilihati dari bagaimana
mereka, para siswa asal Papua secara perlahan-lahan mempelajari bahasa dan
makanan
Sekarang su mulai pake dong pung bahasa biar satu dua kata begitu, sekarang ada juga teman-teman yang su mulai panggil saya “mace”
dikelas atau kadang panggil “ko”3.
Faktor imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk
melaksanakan proses penyesuaian diri. Dari kutipan wawancara di atas dapat
dilihat bahwa faktor imitasi terjadi tidak hanya pada siswa Papua kepada
siswa yang berasal dari Jawa tetapi juga sebaliknya. Adanya peran faktor
imitasi dalam interkasi dan adaptasi dapat memciptakan kebiasaan kepada
individu sehingga dalam prosesnya mulai menjadi terbiasa dengan budaya
baru.
Faktor sugesti berperan penting dalam proses interaksi dan adapatasi
pelajar Papua di Salatiga. Faktor sugesti beralangsung apabila seseorang
memberi suatu pandangan atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang
kemudian diterima oleh pihak lain (Soekanto, 2007). Faktor sugesti dapat
terjadi karena keadaan pikiran indvidu mengalami disaosasi, dalam keadaan
kelelahan, atau kareana rangsangan emosional. Fase culture shock pada
tahapan adaptasi merupakan fase dimana faktor sugesti berperan penting
dalam memicu interaksi sosial. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pada
fase culture shock para pelajar asal Papua mulai menyadari adanya kesulitan
dalam berkomunikasi dengan teman-teman yang memiliki latar belakang
budaya berbeda sehingga para pelajar cenderung akan menerima suatu
pandangan atau ucapan apabila ucapan itu didukung oleh mayoritas atau
sebagai besar golongan. Faktor sugset menjadi pendorong bagi para pelajar
Papua untuk mulai meniru bagaimana gaya berbicara teman-teman dari Jawa.
Faktor interaksi dan adaptasi yang menjadi pendorong interaksi dan
adaptasi pelajar asal Papua adalah faktor identifikasi. Faktor identifikasi
lebih menekankan kesetaraan dalam interaksi adaptasi sosial. Pada fase
culture shock para pelajar menyadari adanya berbagai perbedaan yang dimiliki
antra pelajar sebagai individu dengan lingkungan sosial baik perbedaan
budaya maupun perbedaan bentuk fisik, perbedaan tersebut menghasilkan
berbagai prasangka-prangka negatif seperti merasa minder dan malu dalam
diri para pelajar. Faktor identifikasi dalam interaksi dan adaptasi menjadikan
individu mau belajar serta menerima budaya baru yang ada di lingkungan
sosial untuk menjadi setara atau sama dengan mempelajari berbagai
unsur-unsur kebudayan baru seperti sistem kekerabatan dan bahasa.
Pertama mereka melihat, mereka bertanya mengapa ada anak papua disini? Tetapi mereka merasa lebih tertarik jadi nya mereka sering bertanya dan berdiskusi. Contohnya: dari mana asalnya? Keadaan disana bagaimana? Jadinya mereka lebih senang berbicara dengan kami4
.
Kutipan wawancara yang dikemukaan oleh narasumber di atas, jelas
terlihat bahwa faktor identifikasi terjadi dalam proses adaptasi. Faktor
identifikasi dapat terjadi karena manusia secara terus menerus melengkapi
sistem norma dalam masyarakat. Selain dari pada itu, proses interaksi dan
adaptasi yang dipengaruhi oleh faktor identifikasi dapat menghasilkan ikatan
interkasi yang mendalam dalam upaya untuk menjadi sama dengan yang
lainnya, hal ini juga dapat dilihat dari bagaimana siswa Papua dan siswa Jawa
secara bersama-sama mulai mempelajari satu dengan yang lainnya.
Faktor simpati pada interkasi merupakan faktor yang menjadikan
perasaan sebagai peran penting untuk memahami atau untuk bekerja sama.
Pada fase honey moon dalam tahapan adaptasi sosial, faktor simpati
merupakan faktor utama dalam proses interaksi dan adaptasi. Hal ini dapat
dilihat dari proses honeymoon yang dimulai dengan rasa terkesima, antusias,
dan senang dari seseorang yang berasal tempat asal ke tempat baru yang
4 Hasil Wawancara dengan
memiliki latar belakang budaya berbeda. Pada tahap awal interaksi dan
adaptasi pelajar Papua baik dilingkungan sekolah maupun di lingkungan
tempat tinggal, faktor simpati merupakan pemicu utama interaksi sosial yang
dilandasi pada rasa tertarik pada orang lain baik karena salah satu ciri tertentu
maupun secara keseluruhan cara bertingkah laku yang menarik (Mahmudah,