• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPUBLIK INDONESIA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

REPUBLIK INDONESIA

UPAYA PENCEGAHAN DAN

PENANGGULANGAN KORUPSI

PADA

PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN TIM PENGKAJIAN SPKN

(2)

SAMBUTAN MENTERI

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

Pada era demokrasi dan transparansi dewasa ini, aparatur negara tetap menjadi tumpuan harapan untuk menjadi salah satu dinamisator ke arah pemulihan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan setelah krisis multi dimensi yang melanda bangsa dan negara sejak tahun 1997.

Dalam pada itu, berbagai penilaian yang mengindikasikan merajalelanya KKN di negeri kita, termasuk pada lingkup birokrasi pemerintahan merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh seluruh aparatur negara. Apabila kita tidak dapat membersihkan diri kita sendiri secara sungguh-sungguh akan mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap aparatur negara semakin rendah, yang pada gilirannya kepercayaan rakyat kepada pemerintah akan sirna. Upaya yang terencana dan transparan dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat untuk menjadikan pemerintahan yang bersih (clean government)

menuju ke arah kepemerintahan yang baik (good governance) tidak bisa ditunda lagi.

Sehubungan hal tersebut saya menghargai hasil karya BPKP yang merespons surat Men.PAN Nomor: 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Pebruari 2002 tentang Intensifikasi dan Percepatan Pemberantasan KKN dengan menerbitkan 5 (lima) Buku Pedoman Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi yaitu di bidang Pengelolaan APBN/APBD, BUMN/BUMD, Perbankan, Kepegawaian, Sumber Daya Alam dan Pelayanan Masyarakat.

Saya berharap agar seluruh aparat baik yang bertugas di Instansi Pemerintah Pusat/Daerah, BUMN/BUMD maupun Perbankan dapat menggunakan Buku Pedoman ini dan mengembangkannya sesuai kondisi lingkungan tugas masing-masing sehingga dapat mencegah dan menanggulangi kasus-kasus KKN secara efektif dan efisien.

Hendaknya selalu diingat bahwa masyarakat sesungguhnya sangat menghendaki munculnya jiwa kepeloporan dan sifat keteladanan aparatur negara sebagai panutan mereka dengan tindakan nyata mencegah dan memberantas KKN. Dimulai langkah yang terpuji serta kesadaran tinggi dalam menjalankan tugas umum pemerintahan dan pembangunan, kiranya tingkat kepercayaan masyarakat yang saat ini mengalami degradasi dapat diperbaiki dan ditingkatkan sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat dapat sukses.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa meridloi upaya kita bersama.

Jakarta, 31 Juli 2002 MENTERI

PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA

(3)

REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN (BPKP)

KATA PENGANTAR KEPALA BPKP

Korupsi sudah dianggap sebagai penyakit moral, bahkan ada kecenderungan semakin berkembang dengan penyebab multifaktor. Oleh karena itu penanganannya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan sistematis, dengan menerapkan strategi yang komprehensif - secara preventif, detektif, represif, simultan dan berkelanjutan dengan melibatkan semua unsur terkait, baik unsur-unsur Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maupun masyarakat luas.

Dalam rangka memenuhi RENSTRA BPKP Tahun 2000-2004, serta sebagai hasil koordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara mengenai intensifikasi dan percepatan pemberantasan KKN, BPKP telah menerbitkan Buku “Upaya Pencegahan dan

Penanggulangan Korupsi Pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat”.

Meskipun Buku ini telah disusun dengan upaya yang maksimal, namun dengan segala keterbatasan dan kendala yang dihadapi Tim Penyusun, disadari bahwa di dalamnya masih terdapat banyak kelemahan dan kekurangan baik dari materi yang disajikan maupun cara penyajiannya, sehingga memerlukan penyempurnaan secara terus-menerus. Untuk itu masukan yang positif dan konstruktif dari para pembaca dan pemakai buku ini sangat diharapkan.

Buku ini diharapkan dapat menjadi petunjuk praktis bagi Instansi Pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah serta BUMN/BUMD untuk menanggulangi kasus-kasus korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat, bukan saja bagi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah(APIP)/Satuan Pengawas Intern (SPI) masing-masing, tetapi juga bagi para pimpinan instansi/BUMN/BUMD yang bersangkutan. Hal ini disebabkan pemberantasan korupsi bukan semata-mata tanggung jawab APIP/SPI, karena sifat tugasnya lebih pada penanggulangan korupsi secara detektif dan represif. Penanggulangan korupsi yang lebih efektif dan efisien adalah secara preventif yang merupakan tanggung jawab manajemen. Langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan korupsi yang disajikan dalam buku ini merupakan upaya minimal, yang perlu dilaksanakan secara maksimal dan dikembangkan oleh setiap institusi tersebut di atas secara terus menerus sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi. Keberhasilan buku ini sangat tergantung pada upaya pihak-pihak yang kompeten untuk menjalankannya dengan tindakan yang nyata, konsisten disertai dengan komitmen yang kuat untuk mencegah dan menanggulangi korupsi secara berkesinambungan.

Kepada semua pihak yang telah mencurahkan segenap tenaga, pikirannya dan membantu baik secara moril maupun materiil dalam penyusunan buku ini, termasuk APIP/SPI yang telah menyampaikan masukan-masukan kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.

(4)

Akhirnya, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa membimbing kita dalam melaksanakan tugas-tugas Pemerintahan dan Pembangunan, serta upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

Jakarta, 31 Juli 2002 KEPALA

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMBUTAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA 2

KATA PENGANTAR KEPALA BPKP 3

DAFTAR ISI 5

Bab I UMUM

A. Dasar Pemikiran 6

B. Pengertian Umum 8

C. Tujuan dan Sasaran 9

D. Ruang Lingkup 10

E. Sistim Pengendalian Manajemen 10 F. Metode Penyajian 11

Bab II UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN KEPEGAWAIAN

1. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah

1) Bidang Hukum dan Peradilan 13 2) Bidang Keimigrasian 18 3) Bidang Keuangan 21 4) Bidang Ketenagakerjaan 23 5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana 25 6) Bidang Pendidikan 28 7) Bidang Pertanian/Pangan 34 8) Bidang Pertanahan 34 9) Bidang Pekerjaan Umum 37 10) Bidang Perhubungan 39 11) Bidang Kependudukan 45 12) Bidang Permukiman 46 2. Pelayanan oleh BUMN/BUMD

1) Bidang Kelistrikan 48 2) Bidang Transportasi 49

Bab III UPAYA PENANGGULANGAN SECARA REPRESIF

A. Penyelesaian oleh Unit Kerja Terkait 51 B. Penyelesaian melalui Penyerahan Kasus ke Instansi Penyidik 51

Lampiran : Daftar Kasus/Penyimpangan

(6)

BAB I U M U M

A. Dasar Pemikiran

Korupsi telah sejak lama terjadi di Indonesia. Praktik-praktik seperti penyalah- gunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dianggap sebagai hal yang lazim terjadi di negara ini. Ironisnya, walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah dilakukan lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi tersebut tetap berlangsung, bahkan ada kecenderungan modus operandinya lebih canggih dan terorganisir, sehingga makin mempersulit penanggulangannya.

Pada buku Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional (SPKN) yang diterbitkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada tahun 1999, telah diidentifikasikan bahwa faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu, yaitu faktor-faktor internal yang mendorong seseorang

melakukan korupsi seperti adanya sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup yang wajar, kebutuhan hidup yang mendesak, gaya hidup konsumtif, malas atau tidak mau bekerja keras, serta tidak diamalkannya ajaran-ajaran agama secara benar ;

2. Aspek organisasi, yaitu kurang adanya keteladanan dari pimpinan, kultur organisasi

yang tidak benar, sistem akuntabilitas yang tidak memadai, kelemahan sistem pengendalian manajemen, manajemen cenderung menutupi perbuatan korupsi yang terjadi dalam organisasi ;

3. Aspek masyarakat, yaitu berkaitan dengan lingkungan masyarakat di mana

individu dan organisasi tersebut berada, seperti nilai-nilai yang berlaku yang kondusif untuk terjadinya korupsi, kurangnya kesadaran bahwa yang paling dirugikan dari terjadinya praktik korupsi adalah masyarakat dan mereka sendiri terlibat dalam praktik korupsi, serta pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil bila masyarakat ikut berperan aktif. Selain itu adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.

4. Aspek peraturan undangan, yaitu terbitnya peraturan

perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, judicial review yang kurang efektif, penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Prasyarat keberhasilan dalam pencegahan dan penanggulangan korupsi adalah adanya

komitmen dari seluruh komponen bangsa, meliputi komitmen seluruh rakyat secara

kongkrit, Lembaga Tertinggi Negara, serta Lembaga Tinggi Negara. Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya sebagai berikut:

1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

2. Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

(7)

3. Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2001.

4. Undang-undang No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

5. Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan Sekretariat Jenderal Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara.

Di samping itu Pemerintah dan DPR sedang memproses penyelesaian Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan hanya dengan komitmen semata karena pencegahan dan penanggulangan korupsi bukan suatu pekerjaan yang mudah. Komitmen tersebut harus diaktualisasikan dalam bentuk strategi yang komprehensif untuk meminimalkan keempat aspek penyebab korupsi yang telah dikemukakan sebelumnya. Strategi tersebut mencakup aspek preventif, detektif dan represif, yang dilaksanakan secara intensif dan terus menerus.

BPKP dalam buku SPKN yang telah disebut di muka, telah menyusun strategi preventif, detektif dan represif yang perlu dilakukan, sebagai berikut :

1. Strategi Preventif

Strategi preventif diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi dengan cara menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi. Strategi preventif dapat dilakukan dengan:

1) Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat ;

2) Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan di bawahnya ; 3) Membangun kode etik di sektor publik ;

4) Membangun kode etik di sektor Parpol, Organisasi Profesi dan Asosiasi Bisnis; 5) Meneliti sebab-sebab perbuatan korupsi secara berkelanjutan ;

6) Penyempurnaan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan kesejahteraan Pegawai Negeri ;

7) Pengharusan pembuatan perencanaan stratejik dan laporan akuntabilitas kinerja bagi instansi pemerintah;

8) Peningkatan kualitas penerapan sistem pengendalian manajemen; 9) Penyempurnaan manajemen Barang Kekayaan Milik Negara (BKMN) ; 10) Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat ;

11) Kampanye untuk menciptakan nilai (value) anti korupsi secara nasional;

2. Strategi Detektif

Strategi detektif diarahkan untuk mengidentifikasi terjadinya perbuatan korupsi. Strategi detektif dapat dilakukan dengan :

1) Perbaikan sistem dan tindak lanjut atas pengaduan dari masyarakat ; 2) Pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu ; 3) Pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan dan fungsi publik;

(8)

4) Partisipasi Indonesia pada gerakan anti korupsi dan anti pencucian uang di masyarakat internasional ;

5) Dimulainya penggunaan nomor kependudukan nasional ;

6) Peningkatan kemampuan APFP/SPI dalam mendeteksi tindak pidana korupsi.

3. Strategi Represif

Strategi represif diarahkan untuk menangani atau memproses perbuatan korupsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Strategi represif dapat dilakukan dengan :

1) Pembentukan Badan/Komisi Anti Korupsi ;

2) Penyidikan, penuntutan, peradilan, dan penghukuman koruptor besar (Catch

some big fishes);

3) Penentuan jenis-jenis atau kelompok-kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas ;

4) Pemberlakuan konsep pembuktian terbalik ;

5) Meneliti dan mengevaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara terus menerus ;

6) Pemberlakuan sistem pemantauan proses penanganan tindak pidana korupsi secara terpadu ;

7) Publikasi kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya ;

8) Pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, PPNS dan penuntut umum.

Pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana tersebut di atas akan memakan waktu yang lama, karena melibatkan semua komponen bangsa, baik legislatif, eksekutif maupun judikatif. Sambil terus berupaya mewujudkan strategi di atas, perlu dibuat upaya-upaya nyata yang bersifat segera. Upaya yang dapat segera dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dipadukan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Salah satu usaha yang dilakukan dalam rangka peningkatan pengawasan internal dan fungsional tersebut, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ditugaskan menyusun petunjuk teknis operasional pemberantasan KKN sesuai surat Menteri PAN Nomor : 37a/M.PAN/2/2002 tanggal 8 Februari 2002. Petunjuk teknis ini diharapkan dapat digunakan sebagai petunjuk praktis bagi Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP)/Satuan Pengawasan Internal (SPI) BUMN/D dalam upaya mencegah dan menanggulangi korupsi di lingkungan kerja masing-masing.

B. Pengertian Umum

Dalam buku ini yang dimaksud dengan:

1. Upaya preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalkan penyebab dan peluang korupsi ;

2. Upaya detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dengan biaya murah, sehingga dapat segera ditindaklanjuti ;

(9)

3. Upaya represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Instansi Pemerintah adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Kejaksaan Agung, POLRI, Bank Indonesia, Sekretariat Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara, Pemerintah Daerah Propinsi/ Kabupaten/Kota, dan Instansi Pemerintah lainnya ;

5. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah adalah badan usaha yang modalnya seluruhnya atau sebagian dimiliki oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah ;

6. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul, karena :

1) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah ;

2) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

C. Tujuan dan Sasaran

Buku ini berisi panduan upaya-upaya praktis yang dapat dilakukan untuk mencegah, mendeteksi dan menindaklanjuti secara represif perbuatan korupsi di bidang pengelolaan pelayanan masyarakat.

Sasarannya adalah :

1. Terciptanya pelayanan kepada masyarakat oleh Instansi Pemerintah dan BUMN/BUMD secara cepat, tepat, murah dan memuaskan ;

2. Menurunnya penyimpangan pelayanan masyarakat oleh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD, sehingga meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah dan BUMN/BUMD;

3. Menurunnya jumlah kerugian keuangan negara/masyarakat sebagai akibat penyimpangan di bidang pelayanan masyarakat ;

4. Meningkatnya penyelesaian tindak lanjut kasus-kasus pelayanan masyarakat yang berindikasi korupsi ;

5. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam menginformasikan kasus penyimpangan pelayanan masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ;

6. Menurunnya jumlah aparatur pemerintah dan BUMN/BUMD yang terlibat/melakukan perbuatan korupsi di bidang pelayanan masyarakat ;

7. Meningkatnya efektifitas sistem pengendalian manajemen dalam pelayanan kepada masyarakat di lingkungan instansi pemerintah dan BUMN/BUMD ;

D. Ruang Lingkup

Upaya pencegahan dan penanggulangan korupsi ini berlaku bagi seluruh instansi pemerintah dan BUMN/BUMD yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Buku ini tidak memuat semua jenis kasus penyimpangan pada semua jenis pelayanan masyarakat secara rinci dan spesifik, mengingat begitu luasnya pelayanan yang diberikan

(10)

instansi pemerintah/BUMN/BUMD kepada masyarakat. Namun demikian karena hampir semua jenis pelayanan memiliki ciri yang relatif sama, maka cara pencegahan dan penanggulangan kasus penyimpangan yang terjadi pada jenis pelayanan yang satu, dapat pula digunakan untuk jenis pelayanan masyarakat yang lain.

E. Sistem Pengendalian Manajemen dalam Pengelolaan Pelayanan Masyarakat

Keberhasilan pelayanan masyarakat ditentukan oleh kompetensi aparatur yang memberikan pelayanan, moral dan kemauannya dalam memberikan pelayanan, serta didukung sistem pengendalian manajemen pelayanan yang prima, perangkat teknologi yang tepat dan prasarana & sarana yang memadai, sehingga dapat menghasilkan produk pelayanan yang profesional dan bersih dari korupsi.

Penanggulangan korupsi oleh karenanya harus dimulai dari internal organisasi, melalui upaya-upaya preventif, yaitu dengan menciptakan sistem pengendalian manajemen pelayanan masyarakat yang memadai, meliputi :

1. Penataan kembali organisasi dengan memperjelas visi, misi, strategi, kebijakan, indikator keberhasilan, tujuan, sasaran dan aktivitas-aktivitas kerja yang harus dilakukan dalam rangka pemenuhan akuntabilitas publik;

2. Penyederhanaan dan penyempurnaan kebijakan;

3. Penataan berbagai macam aspek sumber daya manusia (termasuk reward & punishment) agar memenuhi tuntutan kebutuhan dan beban kerja ;

4. Penyempurnaan sistem dan prosedur pelayanan ; 5. Perbaikan metode dan prasarana & sarana kerja ;

6. Penataan sistem pencatatan, pelaporan dan evaluasi agar dapat dimanfaatkan sebagai alat pengendalian dan pertanggungjawaban ;

7. Peningkatan efektivitas pengawasan internal untuk menjaga agar kualitas pelayanan selalu prima.

Dalam menyusun sistem pengendalian manajemen di bidang pelayanan masyarakat, perlu diperhatikan :

1. Sendi-sendi Pelayanan Prima sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) Nomor 18/1993 sebagai berikut :

a. Kesederhanaan, dalam arti prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan ;

b. Kejelasan dan kepastian, yaitu mengenai : (1) Prosedur/tata cara pelayanan umum ;

(2) Persyaratan pelayanan umum, baik teknis maupun administratif ;

(3) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan umum ;

(4) Rincian biaya/tarif pelayanan umum dan tata cara pembayarannya; (5) Jadwal waktu penyelesaian pelayanan umum ;

(6) Hak dan kewajiban dari pemberi maupun penerima pelayanan umum berdasarkan bukti-bukti penerimaan permohonan/ kelengkapannya, sebagai alat untuk memastikan mulai dari proses pelayanan hingga ke penyelesaiannya ;

(11)

(7) Pejabat yang menerima keluhan masyarakat apabila terdapat sesuatu yang tidak jelas atau tidak puas atas pelayanan yang diberikan.

c. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum.

d. Keterbukaan, dalam arti prosedur/tatacara, persyaratan, satuan kerja penanggungjawab pemberi pelayanan umum, waktu penyelesaian dan rincian biaya/tarif dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan umum wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

e. Efisien, dalam arti :

(1) Persyaratan pelayanan umum dibatasi hanya pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan umum yang diberikan;

(2) Mencegah adanya pengulangan kelengkapan persyaratan pada konteks yang sama, dalam hal proses pelayanannya, kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.

f. Ekonomis, dalam arti pengenaan biaya pelayanan umum harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan :

(1) Nilai barang dan atau jasa pelayanan umum/tidak menuntut biaya yang tinggi di luar kewajaran ;

(2) Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar secara umum; (3) Ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

g. Keadilan yang merata, dalam arti cakupan/jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil.

h. Ketepatan waktu, dalam arti pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

2. Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat Sesuai dengan Aspirasi Reformasi, sebagaimana disampaikan Menko Wasbangpan melalui surat edaran No. 56/MK.WASPAN/6 /1998 tanggal 1 Juni 1998, sebagai berikut:

a. Dalam waktu secepat-cepatnya mengambil langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat pada masing-masing unit kerja/kantor pelayanan termasuk BUMN/BUMD ;

b. Langkah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat tersebut diupayakan dengan:

(1) Memberikan pelayanan secara tertib, cepat dan langsung kepada masyarakat bagi pelayanan yang memerlukan penyelesaian sesaat;

(2) Khusus pelayanan yang memerlukan waktu, agar dilandasi kebijaksanaan yang transparan dan diketahui masyarakat luas, yaitu:

(a) Menerbitkan pedoman pelayanan yang antara lain memuat persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk buku panduan/ pengumuman atau melalui media informasi lainnya ;

(12)

(b) Menempatkan petugas yang bertanggungjawab melakukan pengecekan kelengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian mengenai diterimanya atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga ;

(c) Menyelesaikan permohonan pelayanan sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan dan apabila batas waktu penyelesaian yang ditetapkan terlampaui, maka permohonan tersebut berarti (dianggap) disetujui ;

(d) Melarang dan atau menghapus biaya tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar, di luar biaya jasa pelayanan yang telah ditetapkan ;

(e) Sedapat mungkin menerapkan pola pelayanan secara terpadu (satu atap satu pintu) bagi unit-unit kerja/kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan ;

(f) Melakukan penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan pelanggan/masyarakat atas pelayanan yang diberikan, antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelanggan/masyarakat dan hasilnya perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti ;

(g) Menata sistem dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat; 3) Membuka kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat baik langsung

maupun melalui media massa untuk menyampaikan saran dan atau pengaduan mengenai pelayanan masyarakat.

3. Perlunya keteladanan pimpinan serta pengembangan dan penerapan nilai-nilai budaya kerja, sehingga aparat mau dan mampu memberikan pelayanan dengan cepat, tepat, murah dan berkualitas kepada masyarakat. F. Metode Penyajian

Penyajian buku ini diawali dengan terlebih dahulu menguraikan kasus penyimpangan, kemudian diikuti dengan cara-cara penanggulangan yang perlu dilakukan, yang meliputi upaya preventif untuk mencegah terjadinya kasus tersebut dan upaya detektif untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kasus dimaksud. Upaya penindakan secara represif, disajikan secara umum untuk semua kasus penyimpangan secara keseluruhan di Bab III.

(13)

BAB II

UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA

PENGELOLAAN PELAYANAN MASYARAKAT

Penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat pada umumnya berupa pungutan liar (pungli), dan suap serta mahalnya biaya pelayanan akibat adanya korupsi, sehingga kualitas pelayanan menjadi tidak memuaskan. Kasus-kasus penyimpangan yang disajikan pada bab ini hanya mencakup beberapa kasus berdasarkan temuan hasil pemeriksaan yang dilaporkan oleh APFP termasuk SPI. Dengan demikian, kasus-kasus yang disajikan belum mencakup seluruh kasus penyimpangan yang terjadi pada pelayanan masyarakat.

Upaya pencegahan (preventif) terhadap penyimpangan/korupsi dalam pengelolaan pelayanan masyarakat meliputi penyusunan dan peningkatan kualitas sistem pengendalian dan penerapannya, yang diarahkan sebagai langkah untuk mencegah terjadinya penyimpangan. Upaya-upaya preventif yang disajikan dalam buku ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya merupakan pengendalian minimum yang perlu dilaksanakan secara maksimum. Oleh karena itu, pimpinan instansi/direksi perlu mengembangkan sendiri upaya-upaya lain yang dianggap perlu, sesuai dengan kompleksitas, titik rawan penyimpangan yang dihadapi, dan kesesuaiannya dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku pada masing-masing instansi/ organisasi. Sistem pengendalian manajemen ini perlu terus menerus ditingkatkan keandalannya berdasarkan umpan balik (feed back) dari hasil upaya detektif dan represif. Upaya detektif merupakan rangkaian kegiatan yang ditujukan untuk mengidentifikasi terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan pelayanan masyarakat. Upaya detektif ini dimaksudkan untuk memperoleh alat bukti yang relevan, cukup dan kompeten untuk mendukung simpulan hasil pemeriksaan sebagai dasar pengambilan tindak lanjut (upaya represif), dengan tetap berpegang pada asas praduga tak bersalah (presumption of

innosence).

Upaya detektif dalam petunjuk teknis ini hanya mencakup upaya minimal yang dianggap penting untuk mendeteksi penyimpangan yang terjadi sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut sesuai kondisi yang dihadapi di lapangan, yang secara rinci dituangkan dalam program pemeriksaan (audit program).

Kasus penyimpangan yang terjadi serta upaya-upaya preventif dan detektif dalam pengelolaan pelayanan masyarakat dapat disajikan sebagai berikut:

A. Pelayanan oleh Instansi Pemerintah 1. Bidang Hukum & Peradilan

1) Tindakan penyuapan oleh oknum pengacara kepada oknum aparat penegak hukum dan peradilan agar proses dan atau keputusan hukum yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan hukum bagi klien yang sedang dibela.

Upaya-upaya preventif :

a. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan penegakan hukum perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

b. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para hamba hukum secara terus menerus ;

(14)

c. Kepada para hamba hukum diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ; d. Proses hukum harus dilakukan secara obyektif. Harus diyakini bahwa

dalam proses hukum tidak ada hubungan istimewa antara pihak yang terindikasi bersalah, jaksa, hakim, pembela dan lain-lain pihak, yang pada dasarnya masing-masing harus independen ;

e. Pembenahan oleh lembaga persatuan Advokat (misalnya : Ikadin, Serikat Pengacara Indonesia), Hakim, Jaksa, Polisi dll., menyangkut pengawasan atas pelaksanaan kode etik profesi, dan penerapan sanksi-sanksi yang tegas sesuai kode etik profesi yang bersangkutan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh para anggotanya ;

f. Dilakukan kampanye anti suap, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis, seperti kantor pengacara, polisi, kejaksaan dan ruang-ruang sidang pengadilan ;

g. Kekayaan para hamba hukum selaku penyelenggara negara dipantau secara terus-menerus oleh instansi yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku, dan segera dilakukan penelitian jika ditemukan ketidakwajaran mutasinya ;

h. Menerapkan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada penyuap (yang menyampaikan uang suap dan yang menyuruh melakukan penyuapan) dan penerima suap ;

i. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai perlindungan kepada para saksi pelapor kasus suap ;

j. Metode kerja masing-masing instansi penegak hukum secara terus menerus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh sistem peradilan yang semakin sehat dan transparan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian atas kasus-kasus hukum yang dimenangkan oleh pihak yang terindikasi bersalah ;

b. Mendapatkan informasi mengenai nama pengacara yang membela, polisi / jaksa penyidik / penuntut yang menangani, hakim yang mengadili, ketua panitera yang mengatur dan mencatat proses persidangan, saksi-saksi yang dihadirkan dan meneliti reputasinya masing-masing ;

c. Mendapatkan keterangan dari saksi-saksi yang dihadirkan, mengenai kemungkinan adanya suap dalam proses hukum tersebut;

d. Mempelajari proses hukum yang dilakukan, dan meneliti apakah ada kejanggalan, misalnya pada alat-alat bukti yang diajukan ;

e. Menilai kewajaran peningkatan kekayaan yang dimiliki para penegak hukum di atas dan meneliti adanya peningkatan yang signifikan dan tidak sebanding dengan tingkat penghasilannya yang sah ;

f. Meneliti interaksi pihak yang terindikasi bersalah dan pengacaranya dengan jaksa/polisi penyidik, jaksa penuntut, hakim dan Panitera dan saksi-saksi dan mengamati apakah ada hubungan istimewa di antara mereka yang dapat melemahkan proses hukum.

2) Masyarakat yang meminta perlindungan hukum / keamanan, dimintai sejumlah dana oleh oknum aparat secara tidak sah (pungli), dengan alasan instansinya

(15)

tidak memiliki dana operasional yang cukup untuk memberikan pelayanan yang diminta.

Upaya-upaya preventif :

a. Instansi yang berwenang memberikan perlindungan hukum/ keamanan harus secara transparan menyampaikan jenis-jenis pelayanan yang dapat diberikan kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku disertai dengan prosedur dan syarat-syaratnya secara menyeluruh yang ditempelkan pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan atau disosialisasikan lewat berbagai media massa yang ada ;

b. Diberlakukan sanksi yang tegas sesuai aturan perundang-undangan, kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah (pungli) serta memberikan pelayanan secara diskriminatif ;

c. Dibuat kampanye anti pungli, misalnya melalui penempatan peringatan ancaman hukuman baik menurut UU yang berlaku maupun secara moral keagamaan di tempat-tempat yang strategis di lingkungan kantor pemberi pelayanan ;

d. Kepada aparat pemberi pelayanan diberikan sarana dan prasarana kerja yang diperlukan dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlindungan hukum/keamanan perlu mensyaratkan ketaqwaan-nya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat pemberi pelayanan hukum/keamanan secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Dapatkan informasi mengenai tingkat kepuasan masyarakat yang dilayani dan lakukan evaluasi mengenai kualitas pelayanan perlindungan hukum/keamanan yang telah diberikan kepada masyarakat yang bersangkutan ;

b. Teliti penyebab dari ketidakpuasan masyarakat yang dilayani ;

c. Jika penyebab ketidakpuasan adalah adanya diskriminasi dan pungli, identifikasikan siapa oknum pelakunya dan lakukan penelitian apakah yang bersangkutan telah melaksanakan pelayanan sesuai ketentuan yang berlaku ;

d. Teliti penyebab oknum tersebut melakukan pungli;

3) Anggota masyarakat yang kehilangan kendaraan bermotor (dicuri, dirampok dsb) dan telah berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak yang berwajib, ketika hendak mengambil kendaraan miliknya dari kantor pihak yang berwajib dikenakan biaya oleh oknum pihak yang berwajib secara tidak sah. Di samping itu dalam banyak kasus barang yang ditemukan kembali sudah dalam keadaan tidak lengkap.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasikan ketentuan yang berlaku mengenai prosedur pelayanan pencarian barang hilang karena kejahatan (pencurian, perampokan) oleh aparat yang berwajib disertai seluruh persyaratannya secara jelas ;

(16)

b. Dibuat ketentuan yang jelas mengenai cara-cara pengembalian barang yang berhasil ditemukan kembali oleh aparat yang berwajib kepada pemiliknya dan disosialisasikan kepada masyarakat lengkap dengan semua persyaratannya yang sah ;

c. Secara berkala barang-barang hasil kejahatan yang berhasil disita oleh aparat yang berwajib, diumumkan kepada masyarakat luas melalui media massa untuk dicocokkan dengan bukti-bukti kepemilikan yang selanjutnya proses hukum dan pengembaliannya perlu dilakukan dengan segera, sehingga terhindar dari kerusakan-kerusakan/kehilangan bagian-bagian kendaraan akibat terlalu lamanya disimpan di lokasi kantor aparat yang berwajib ;

d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi);

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan dana operasional yang memadai serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang berwajib secara terus menerus ;

h. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat korban pencurian kendaraan yang melaporkan kasusnya kepada aparat yang berwajib ;

b. Teliti dari laporan yang masuk, berapa yang diproses dan berapa yang berhasil ditemukan kembali ;

c. Jika jumlah yang diproses rendah, teliti sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan yang memberatkan pelapor, sehingga bagi pelapor yang tidak mau membayar, laporannya tidak diproses ;

d. Lakukan pengamatan atas barang-barang bukti (kendaraan yang berhasil ditemukan/dirampas kembali oleh pihak berwajib) apakah sudah lama berada di tempat penampungan yang disediakan, dan apakah masih dalam keadaan lengkap. Teliti sebab-sebabnya;

e. Lakukan juga pengecekan apakah atas barang-barang bukti yang ada telah dilakukan pemberitahuan kepada para pemiliknya atau diumumkan di media massa. Teliti pula kemungkinan adanya kesengajaan untuk tidak memberi-tahukan kepada pemilik yang sah, supaya barang bukti tersebut dapat digunakan secara pribadi oleh oknum aparat ;

f. Lakukan konfirmasi secara uji petik kepada para pemilik yang telah mengambil kembali kendaraannya, apakah dikenakan biaya-biaya saat mengambil kendaraannya tersebut ;

g. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(17)

4) Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang melakukan pengurusan Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) dimintai biaya yang memberatkan oleh oknum pihak yang berwajib.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat prosedur pelayanan SKKB yang sederhana, efisien, dan efektif dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang memerlukan ;

b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian SKKB disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada aparat yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen ;

d. Kepada aparat yang memberikan pelayanan diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para aparat yang bertugas memberi pelayanan secara terus menerus ;

g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ; Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan masyarakat pemohon SKKB ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan ;

c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan SKKB memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 5) Proses persidangan kasus pengurusan surat fatwa waris dilaksanakan dengan

jadual yang tidak pasti, mengambang dan tidak jelas nama pejabat (Hakim, Panitera) yang ditugasi untuk menangani masalah fatwa waris tersebut. Untuk satu urusan harus dilakukan berulang-ulang dan tidak transparan, sehingga membuka peluang penyelesaian secara kolusif.

Upaya-upaya preventif :

a. Diadakan ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan pelayanan pengurusan fatwa waris ;

b. Pejabat yang ditugaskan untuk melayani (sidang) pengurusan fatwa waris harus ditunjuk secara tegas, sehingga pemohon pelayanan mendapat kepastian mengenai siapa petugas yang memberikan pelayanan kepadanya ;

(18)

d. Tarif pelayanan yang sah dan prosedur pembayarannya diinformasikan kepada masyarakat pemohon pelayanan melalui berbagai media yang ada, termasuk pada papan-papan pengumuman yang tersedia di tempat-tempat pelayanan ;

e. Memberi peluang yang lebih luas kepada masyarakat untuk mempertanyakan hal-hal yang tidak disetujuinya ;

f. Membuka kotak pengaduan, dan memproses semua pengaduan yang masuk untuk meningkatkan pelayanan dan atau mengusutnya lebih lanjut sesuai dengan sifat pengaduan yang diterima ;

Upaya-upaya detektif :

a. Menguji apakah pelayanan pengurusan surat fatwa waris telah dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku ;

b. Melakukan pengujian secara uji petik atas permohonan pelayanan yang prosesnya memakan waktu lama dan mempelajari apakah penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ;

c. Meneliti apakah pejabat yang menangani pelayanan telah ditunjuk dengan surat penugasan dari pejabat yang berwenang ;

d. Meneliti apakah pelaksanaan sidang dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk ; e. Menguji apakah pelayanan diberikan menurut urutan permohonan. Jika

tidak, diteliti faktor penyebabnya ;

f. Menguji penerimaan biaya-biaya pelayanan, apakah telah disetor dan dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan ;

g. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon pelayanan tentang biaya-biaya pelayanan yang telah dibayarnya ;

h. Meneliti pengaduan-pengaduan masyarakat yang diterima, dan memeriksa lebih lanjut dengan kenyataannya menurut fakta/bukti-bukti yang ada ;

2. Bidang Keimigrasian

1) Proses pengurusan paspor dan dokumen-dokumen keimigrasi-an berbelit-belit dan diskriminatif, sehingga masyarakat cen-derung menggunakan jasa calo dengan konsekuensi menge-luarkan biaya yang lebih besar dari ketentuan yang seharusnya. Terindikasi adanya kolusi antara oknum petugas dengan calo yang merugikan masyarakat pemohon.

Upaya-upaya preventif:

a. Pemasangan papan pemberitahuan tentang persyaratan permohon-an, tarif biaya pelayanan, prosedur pelayanan dan jangka waktu penyelesaian, disertai dengan contoh-contoh formulir dan cara pengisiannya sesuai ketentuan yang berlaku ;

b. Dilakukan penyederhanaan cara pelayanan dengan memotong jalur birokrasi yang berlebihan, sehingga masyarakat tidak harus berhadapan dengan banyak petugas ;

c. Pemberian tanda-tanda/petunjuk yang jelas pada loket pelayanan, loket informasi, loket pembayaran, ruang sidik jari, ruang foto, ruang wawancara dan lain-lain ;

d. Menyediakan petugas yang memberikan informasi secara langsung kepada pemohon tentang hal-hal yang berhubungan dengan pelayanan keimigrasian ;

(19)

e. Pelayanan diberikan kepada semua pemohon yang telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sesuai urutan penerimaan permohonan ;

f. Percepatan permohonan hanya dimungkinkan bila ada alasan yang dapat dipertanggungjawabkan ;

g. Dibuat ketentuan mengenai sanksi yang tegas terhadap petugas yang diketahui bekerjasama dengan calo ;

h. Pemasangan kotak pengaduan untuk menampung keluhan dan saran para pemohon ;

Upaya-upaya detektif:

a. Amati apakah persyaratan dan prosedur permohonan paspor dll di kantor pelayanan telah diinformasikan secara jelas di tempat-tempat yang mudah dilihat ;

b. Lakukan pengujian secara uji petik atas berkas-berkas permohonan apakah telah diproses oleh petugas yang berwenang sesuai urutan permohonan. Jika tidak teliti sebab-sebabnya ;

c. Teliti apakah permohonan yang diproses telah dilengkapi dengan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan ;

d. Jika pemrosesan tidak didasarkan pada urutan permohonan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, teliti kemungkinan adanya kerjasama yang tidak sehat antara oknum petugas dengan para calo, dengan cara menemui orang yang proses pelayanannya didahulukan, untuk memastikan apakah pengurusan dilakukan sendiri atau melalui calo ;

e. Mintakan daftar biro jasa yang mendapat ijin dari Kanwil Kehakiman setempat kemudian lakukan pengecekan apakah calo tersebut di atas tercantum dalam daftar dimaksud;

f. Teliti kemungkinan calo tersebut adalah oknum petugas itu sendiri.

2) Tahap kegiatan pelayanan tertentu dalam pengurusan doku-men keimigrasian, seperti paspor dan sebagainya (misalnya pemotretan), dilakukan melalui kerja sama antara instansi imigrasi dengan pihak swasta. Ada indikasi korupsi antara oknum pejabat instansi yang berwenang dengan pihak swasta dalam menetapkan biaya kontrak kerjasama sehingga biaya pelayanan menjadi lebih mahal.

Upaya-upaya preventif:

a. Pungutan kepada masyarakat atas biaya pelayanan harus mengacu kepada ketentuan yang berlaku ;

b. Meninjau kembali kontrak-kontrak kerja sama yang bernuansa korupsi dan mengakibatkan mahalnya biaya pelayanan ;

c. Jika menurut pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan kerja sama dengan pihak swasta sebenarnya tidak membuat biaya pelayanan menjadi mahal dan bahkan lebih meningkatkan kualitas pelayanan, maka hal tersebut perlu disosialisasikan secara transpa-ran kepada masyarakat ; d. Rincian biaya pelayanan diinformasikan kepada masyarakat ;

e. Penyetoran biaya-biaya pelayanan dilakukan pada loket-loket resmi dan penerimaannya dipertanggungjawabkan oleh petugas loket sesuai ketentuan yang berlaku.

(20)

Upaya-upaya detektif:

a. Dapatkan data kontrak-kontrak kerja sama antara instansi pemerintah yang memberikan pelayanan keimigrasian dengan pihak swasta ;

b. Pelajari apakah kerjasama tersebut tidak mahal dan memang diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fasilitas-fasilitas pemerintah yang digunakan pihak swasta dan tidak diperhitungkan dalam kontrak kerja sama ;

c. Jika kontrak kerja sama tersebut mahal dan tidak meningkatkan kualitas pelayanan, lakukan pengamatan apakah ada hubungan istimewa antara pihak swasta dengan pimpinan instansi – dan teliti adanya indikasi korupsi dalam menetapkan harga kontrak .

(3) Terhadap WNI (wajib pajak) yang melakukan perjalanan ke luar negeri, petugas imigrasi hanya memeriksa paspor dan visa tanpa memperhatikan dokumen fiskalnya. Ada indikasi oknum petugas berkolusi dengan calo supaya wajib pajak membayar fiskal dengan tarif lebih murah dari tarif resmi kepada calo tanpa menerima bukti pembayaran fiskal. Selanjutnya calo mengantarkan wajib pajak melewati petugas yang telah berkolusi dengannya.

Upaya-upaya preventif:

a. Sistem pengendalian manajemen penerimaan fiskal luar negeri dan pengawasan keimigrasian perlu disinkronkan dengan melibatkan unsur-unsur/ instansi terkait ;

b. Pemeriksaan atas bukti pembayaran fiskal luar negeri dilakukan secara berlapis dan sistem check dan recheck atas penerimaan fiskal luar negeri tersebut dievaluasi dan disempurnakan ;

c. Perlu dibuat ketentuan mengenai pengenaan sanksi/denda yang tegas/berat kepada petugas/wajib pajak yang tidak menjalankan tugasnya/membayar fiskal sesuai ketentuan yang berlaku dan bahkan bekerja sama dengan calo ;

d. Rotasi petugas diatur sedemikian rupa untuk mencegah peluang terjadinya kolusi antara petugas dan para calo ;

e. Dilakukan pengawasan yang ketat dan penertiban secara terus-menerus kepada para calo/orang-orang yang tidak berkepentingan di tempat-tempat pelayanan fiskal/ embarkasi (bandara/pelabuhan);

Upaya-upaya detektif:

a. Lakukan penelitian apakah setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri telah membayar fiskal luar negeri sesuai ketentuan yang berlaku ; b. Jika ada yang tidak membayar fiskal dimaksud, teliti apakah menurut

ketentuan yang bersangkutan memang dibebaskan dari pembayaran fiskal LN ;

c. Lakukan pengamatan terhadap efektivitas pengendalian intern dalam pembayaran fiskal LN dan pastikan petugas yang berwenang telah melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen imigrasi termasuk bukti pembayaran fiskal LN atas setiap wajib pajak yang akan berangkat ke luar negeri ;

d. Teliti kemungkinan adanya jalur masuk ke ruang tunggu bandara/ pelabuhan yang tidak resmi sehingga terbebas dari pemeriksaan imigrasi/fiskal dan amati kemungkinan digunakannya untuk menyelundupkan wajib pajak ;

(21)

e. Lakukan pengamatan terhadap non penumpang yang senantiasa lalu-lalang melewati petugas imigrasi untuk memastikan kegiatan yang sedang dilaksanakannya ;

f. Lakukan penelitian apakah jumlah bukti pembayaran fiskal telah sesuai dengan jumlah penumpang/wajib pajak yang berangkat ke luar negeri ; g. Teliti sebab-sebab terjadinya selisih, jika ada.

(4) Orang asing yang bekerja di Indonesia (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang berada di Indonesia melebihi masa tinggal yang telah diberikan ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan TKA tersebut mau memberi sejumlah uang kepada oknum dimaksud.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya yang diperlukan serta lamanya izin tinggal yang diberikan ;

b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan pengecekan terhadap TKA tersebut apakah mematuhi izin tinggal yang diberikan;

c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ; d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada

pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai/petugas secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-benar bekerja sesuai izin dan batas waktu yang diberikan ;

b. Jika terdapat TKA yang berkerja dan tinggal tidak sesuai dengan izin yang diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ; c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan

izin tinggal memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

3) Bidang Keuangan

(1) Proses restitusi pajak dipersulit sehingga wajib pajak terpaksa memberikan sebagian dari jumlah restitusi pajaknya kepada oknum petugas/pejabat pelayanan pajak agar proses restitusi tersebut berjalan cepat dan lancar. Dalam beberapa kasus terdapat keadaan yang sebaliknya, di mana wajib

(22)

pajak yang tidak memenuhi syarat restitusi berusaha menyuap petugas agar restitusi dapat diproses walaupun ada persyaratan yang tidak dipenuhi.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasi peraturan, khususnya agar wajib pajak mengetahui dan memahami dengan mudah mengenai prosedur dan persyaratan restitusi pajak yang berlaku ;

b. Adanya peraturan internal yang jelas tentang hubungan wajib pajak yang mengajukan restitusi dengan aparat pelayanan pajak ;

c. Kebijakan rotasi pegawai yang baik di instansi yang memberikan pelayanan perpajakan ;

d. Peningkatan pengawasan dari atasan atau dari aparat pengawasan internal atas kinerja petugas pelayanan ;

e. Pemberian sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar kepada petugas pelayanan pajak ;

f. Pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan ; g. Membuka kotak pengaduan.

Upaya-upaya deteksi :

a. Mengamati hubungan antara petugas pelayanan pajak dengan wajib pajak untuk melihat adanya hubungan tidak wajar dikaitkan dengan permohonan restitusi pajak ;

b. Pelajari kebijakan rotasi yang ada dan teliti apakah ada pegawai atau pejabat pelayanan pajak yang sudah lama melaksanakan pelayanan restitusi pajak tertentu dan khusus menangani wajib pajak-wajib pajak tertentu. Teliti mengapa kepada yang bersangkutan tidak dikenakan rotasi ;

c. Meneliti berkas wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi untuk memastikan bahwa prosedur dan persyaratan restitusi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;

d. Inspeksi mendadak dari atasan langsung atau dari aparat pengawasan internal;

e. Mengamati pola hidup petugas pelayanan pajak untuk menilai kewajarannya dibandingkan dengan tingkat penghasilannya yang sah. (2) Pengajuan SPP untuk penerbitan SPM atas realisasi anggaran Rutin maupun

Pembangunan ke Kas Negara, dipersulit/ diperlambat jika tidak memberikan sejumlah dana tertentu kepada oknum petugas yang memberikan pelayanan. Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat standar pelayanan yang transparan dan dipaparkan dalam papan pengumuman dan terlihat jelas oleh setiap peminta pelayanan;

b. Persyaratan pengajuan SPP diinformasikan secara jelas kepada para pimpinan instansi, Bendaharawan Proyek/Rutin dan pihak-pihak lain yang membutuhkan pelayanan pencairan dana ;

c. Petugas pelayanan di Kas Negara diberi sarana dan prasarana kerja serta penghasilan yang wajar ;

(23)

d. Dibuat larangan kepada petugas pelayanan untuk meminta dana kepada peminta pelayanan penerbitan SPM/pencairan dana, dan dibuat aturan sanksi yang tegas secara tertulis kepada pelanggarnya;

e. Larangan tersebut pada butir d disosialisasikan kepada para pimpinan instansi, bendaharawan dan semua pihak yang membutuhkan pelayanan (misalnya rekanan) ;

f. Dibuat sistem rotasi pegawai yang dapat menutup peluang kolusi antara pihak pelayan dan pihak yang dilayani ;

g. Dilakukan pembinaan moral keagamaan secara berkesinambungan. Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian apakah standar pelayanan yang berlaku diketahui secara luas oleh para pemohon pelayanan ;

b. Melakukan uji petik atas berkas permohonan pelayanan apakah telah diproses sesuai dengan standar pelayanan yang berlaku. Jika tidak, teliti penyebabnya ;

c. Jika terdapat berkas permohonan yang prosesnya lama, perlu diteliti adanya kemungkinan petugas meminta kelengkapan berkas yang sebenarnya tidak diperlukan, dan atau menganggap tidak sah berkas yang sebenarnya sudah sesuai ketentuan, sehingga timbul kondisi tawar-menawar dengan pemohon pelayanan ;

d. Jika terdapat permohonan yang prosesnya sangat cepat, diteliti apakah persyaratannya telah dipenuhi dengan benar, untuk memastikan bahwa cepatnya pelayanan karena memang kualitas pelayanannya yang baik, bukan karena adanya uang pelicin ;

e. Mengamati apakah aturan rotasi pegawai telah dilaksanakan dengan baik , jika tidak, teliti penyebabnya ;

4) Bidang Ketenagakerjaan

(1) Kepada TKI yang meminta surat keterangan bebas fiskal, dipungut sejumlah biaya tertentu oleh oknum pegawai yang memberikan pelayanan surat keterangan tersebut.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat prosedur pelayanan pemberian surat keterangan bebas fiskal yang sederhana, efisien dan efektif, dengan persyaratan-persyaratan yang ringan bagi masyarakat yang memerlukan ;

b. Sosialisasikan ketentuan prosedur pemberian surat keterangan bebas fiskal disertai seluruh persyaratannya secara jelas dan transparan kepada masyarakat luas. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada petugas yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

d. Kepada petugas diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

(24)

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para petugas secara terus menerus ;

g. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

h. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

i. Adanya rotasi pegawai yang bertugas memberikan pelayanan untuk mencegah terjadinya kolusi.

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan para TKI pemohon Surat Keterangan Bebas Fiskal ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan ;

c. Melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap prosedur yang dijalankan dalam pemberangkatan TKI ;

d. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada para TKI dan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) tentang adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

e. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan dalam pengurusan Surat Keterangan Bebas Fiskal memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(2) Orang asing (Tenaga Kerja Asing/TKA) yang bekerja di Indonesia tanpa izin, ditakut-takuti akan diberi sanksi tertentu oleh oknum petugas dengan tujuan supaya TKA tersebut memberi sejumlah uang.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat pencatatan yang akurat dan up-to-date tentang TKA yang bekerja di dalam wilayah kerja instansi yang mengawasi TKA tersebut, meliputi jumlahnya, negara asal, keahlian, tempat bekerja dan identitas lainnya yang diperlukan serta lamanya izin bekerja/tinggal yang diberikan ;

b. Menugaskan pegawai, dilengkapi dengan surat tugas, untuk melakukan pengecekan terhadap TKA tersebut apakah memiliki izin bekerja dan mematuhi izin bekerja yang diberikan;

c. Pegawai yang ditugaskan harus membuat laporan hasil pengecekannya ; d. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada

pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah kepada TKA yang melakukan pelanggaran izin bekerja/tinggal, dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

e. Kepada aparat yang berwajib diberikan sarana, prasarana kerja dan penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

f. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

(25)

g. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai/petugas secara terus menerus ;

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pemeriksaan secara uji petik, apakah TKA terseleksi benar-benar bekerja sesuai izin yang diberikan ;

b. Jika terdapat TKA yang berkerja tidak sesuai dengan izin yang diberikan, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar yang dilakukan oleh pegawai yang ditugaskan untuk mengecek secara rutin ;

c. Teliti apakah biaya-biaya yang dikenakan kepada TKA dalam pengurusan izin bekerja memang telah diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Uang titipan para TKI untuk pengurusan visa, airport tax, asuransi dan biaya hidup di luar negeri disalahgunakan oleh oknum petugas di instansi yang mengurus ketenagakerjaan.

Upaya-upaya preventif :

a. Buat aturan yang jelas dan transparan mengenai biaya-biaya untuk TKI. Sejauh mungkin dihindari adanya hubungan keuangan antara calon TKI dengan petugas. Titipan uang semacam itu hendaknya dilakukan melalui jasa perbankan oleh, atau atas nama masing-masing TKI.

b. Dibuat sanksi yang tegas terhadap petugas yang melakukan pelanggaran dengan cara berlaku sebagai mediator (calo) ;

c. Adanya lembaga/institusi yang dapat menampung dan memproses setiap laporan penyimpangan yang disampaikan TKI.

Upaya-upaya detektif :

a. Mendapatkan aturan mengenai persyaratan keuangan yang harus dipenuhi TKI yang akan bekerja ke Luar Negeri dan mempelajari apakah ada kebijakan uang titipan tersebut ;

b. Mendapatkan data macam-macam uang yang dititipkan TKI kepada instansi yang memberikan layanan ketenagakerjaan dan tempat penitipannya ;

c. Memeriksa kesesuaian jumlah uang titipan menurut catatan instansi pelayan dengan data menurut bukti-bukti titipan dan uang yang ada; d. Jika terdapat uang yang dititipkan kepada Bank, perlu diperiksa

pendapatannya (bunga, jasa giro) apakah telah dipertanggung-jawabkan dengan benar ;

5) Bidang Kesehatan dan Keluarga Berencana

(1) Pelayanan obat-obatan (vaksin, vitamin, alat kontrasepsi) kepada masyarakat yang seharusnya cuma-cuma dilakukan dengan memungut jasa pelayanan sejumlah kurang-lebih sama dengan harga jual obat-obatan tersebut, tetapi hasil pungutan tidak disetor ke kas negara.

Upaya-upaya preventif :

a. Dilakukan sosialisasi secara luas kepada seluruh lapisan masyarakat mengenai adanya pelayanan obat-obatan secara cuma-cuma, lengkap dengan informasi mengenai di mana dapat diperoleh dan persyaratannya ;

(26)

b. Pengadaan obat-obatan yang dibiayai dari anggaran negara harus jelas aturan penggunaannya. Jika atas penggunaan obat-obatan tersebut dipungut biaya, maka penerimaan biaya tersebut harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan anggaran yang berlaku ; c. Jika obat-obatan diberikan secara cuma-cuma,maka perlu ada

pencantuman label “Cuma-cuma,tidak diperjual belikan” pada kemasan obat-obatan tersebut;

d. Pemungutan biaya pelayanan kesehatan harus jelas rinciannya ;

e. Dilakukan administrasi persediaan yang tertib terhadap pemasukan dan pengeluaran obat-obatan yang telah disediakan pemerintah.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan pengamatan atas distribusi obat-obatan cuma-cuma, apakah telah sesuai dengan rencana pengadaannya dan diberi label “Cuma-cuma, tidak diperjual-belikan” ;

b. Melakukan penelitian apakah obat-obatan cuma-cuma tersebut diterima oleh instansi pelayanan kesehatan yang memang membutuhkan sesuai dengan program pelayanan kesehatan yang sudah direncanakan ;

c. Meneliti apakah adanya obat-obatan cuma-cuma tersebut telah disosialisasikan kepada masyarakat secara memadai ;

d. Meneliti mutasi obat-obatan cuma-cuma, apakah sejalan dengan realisasi program pelayanan kesehatan yang telah direncanakan sebelumnya ; e. Pengamatan langsung pelayanan vaksinasi, pemasangan alat kontrasepsi

dan pelayanan kesehatan lainnya di pusat-pusat kesehatan, klinik dan di rumah sakit serta pengamatan langsung di apotik atau di tempat-tempat penjualan lainnya yang memberikan pelayanan kesehatan dengan obat-obatan secara cuma-cuma, apakah obat-obat-obatan benar-benar telah diberikan secara cuma-cuma;

f. Melakukan pengamatan secara uji petik ke praktek Bidan/Dokter yang memberikan pelayanan kesehatan/KB mengenai jenis obat/alat kontrasepsi yang digunakan, serta meneliti dari mana memperoleh obat/alat kontrasepsi tersebut ;

g. Melakukan pengamatan di pasaran, untuk memastikan bahwa obat-obatan cuma-cuma tersebut tidak diperjual-belikan. Jika ternyata diperjual-belikan perlu diusut asal-usulnya ;

(2) Oknum dokter-dokter di RSU lebih mengutamakan pelayanan kesehatan di luar RSU, yang lebih memberikan keuntungan finansial secara pribadi.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat aturan yang tegas mengenai kewajiban dan disiplin para dokter RSU dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di RSU beserta sanksi pelanggarannya ;

b. Dibuat evaluasi mengenai kualitas pelayanan RSU akibat tidak disiplinnya para dokter, dan hasilnya diinformasikan kepada pimpinan RSU dan para dokter terkait ;

c. Setiap pelanggaran yang dilakukan dokter, diinformasikan kepada lembaga yang mengawasi pelaksanaan kode etik dokter ;

(27)

d. Diberikan penghargaan kepada para dokter yang disiplin dan kinerjanya baik ;

e. Dibekukan sementara izin praktek dokter yang lalai terhadap tugas dan kewajibannya di RSU.

Upaya-upaya detektif :

a. Melakukan penelitian terhadap daftar absensi dokter dihubungkan dengan kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan,visite dokter kepada pasien rawat inap dan kegiatan dokter lainnya di RSU ;

b. Atas pelanggaran disiplin yang dilakukan dokter, diteliti apakah penyebabnya dapat dipertanggungjawabkan ;

c. Dilakukan penelitian apakah ketidakdisiplinan dokter dilakukan dengan sengaja untuk meraih tujuan-tujuan pribadi ;

d. Menggali informasi dari pasien yang dikirim/dirujuk ke RSU dari tempat praktek dokter.

(3) Pelayanan pengobatan Puskesmas tidak memuaskan karena adanya pungutan yang tidak sesuai ketentuan, rendahnya kehadiran tenaga medis di Puskesmas, kurangnya kunjungan ke rumah penduduk yang membutuhkan, ketidaksesuaian program Puskesmas dengan kebutuhan masyarakat, dan penyalahgunaan sarana Puskesmas.

Upaya-upaya preventif :

a. Sosialisasikan mengenai obat dan pelayanan yang atasnya tidak dipungut pembayaran kepada masyarakat;

b. Menciptakan sistem insentif dan hukuman di mana pembayaran tunjangan tenaga medis dikaitkan dengan kehadiran;

c. Pemerintah setempat, mewakili masyarakat membuat laporan teratur kepada Dinas/Kantor Kesehatan mengenai aktivitas Puskesmas, termasuk mengenai kehadiran dan kunjungan tenaga medis ke masyarakat;

d. Sosialisasi bahwa kunjungan dokter dan tenaga medis lainnya kepada masyarakat adalah bagian dari fungsi pelayanan Puskesmas, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat setempat;

e. Menciptakan fungsi kendali masyarakat (social control) mengenai sarana Puskesmas yang ada, yakni adanya pengetahuan masyarakat mengenai sarana Puskesmas.

Upaya-upaya detektif :

a. Dilakukan inspeksi secara mendadak kepada Puskesmas untuk mengetahui mutu pelayanan yang diberikan ;

b. Meneliti adanya pembayaran kepada Puskesmas yang tidak sesuai dengan ketentuan dengan melakukan konfirmasi langsung kepada para pasien; c. Mengecek daftar hadir yang dilaporkan Puskesmas dengan kehadiran

tenaga medis di Puskesmas ;

d. Meneliti dan menganalisis laporan Puskesmas kepada unit pemerintah daerah terkait berkenaan dengan kunjungan dokter dan tenaga medis kepada penduduk setempat, apakah telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jika perlu lakukan konfirmasi kepada pihak yang dikunjungi ;

(28)

e. Membandingkan program pelayanan Puskesmas yang disetujui/dianggarkan dengan mutasi obat-obatan, sarana yang digunakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat ;

f. Meneliti tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Puskesmas.

6) Bidang Pendidikan

(1) Penilaian program studi dalam rangka akreditasi kepada Perguruan Tinggi (PT) dilakukan oleh oknum asesor dari instansi yang berwenang memberikan akreditasi tidak obyektif, melainkan dengan cara tawar-menawar sejumlah uang.

Upaya-upaya preventif :

a. Adanya aturan yang jelas dan transparan mengenai prosedur, persyaratan dan biaya-biaya dalam rangka akreditasi program studi di Perguruan Tinggi ;

b. Petugas yang melakukan penilaian harus kompeten, bermoral baik dan punya komitmen tinggi di bidang pendidikan ;

c. Para petugas penilai dilengkapi dengan sarana & prasarana kerja serta penghasilan yang memadai ;

d. Standar dan kriteria penilaian harus jelas ;

e. Laporan hasil penilaian beserta kertas kerjanya diriviu oleh pimpinan instansi yang berwenang secara berjenjang ;

f. Dibuat sanksi yang tegas, kepada petugas penilai yang tidak melaksanakan tugas sesuai standar yang ditetapkan dan bahkan melakukan pungutan-pungutan secara tidak sah ;

Upaya-upaya detektif :

a. Meneliti program-program studi yang diakreditasi dan mengidenti-fikasi para petugasnya ;

b. Meneliti laporan hasil penilaian program studi yang diakreditasi dan meneliti kertas-kerja serta bukti-bukti yang mendukung penilaian. Evaluasi, apakah penilai telah bekerja sesuai standar dan kesimpulan yang diambil telah mencerminkan kesesuaian antara kriteria yang ada dengan data/bukti-bukti yang diperoleh ;

c. Melakukan konfirmasi data ke Perguruan Tinggi yang diakreditasi;

d. Jika terdapat perbedaan data, dilakukan penelitian mengenai sebab-sebabnya untuk melihat adanya kemungkinan manipulasi data dalam rangka mencapai tingkat akreditasi tertentu ;

(2) Pungutan biaya legalisasi ijazah dan berkas-berkas siswa yang pindah sekolah oleh oknum instansi pendidikan yang berwenang.

Upaya-upaya preventif :

a. Dibuat ketentuan yang jelas dan transparan mengenai prosedur dan persyaratan legalisasi ijazah, yang diinformasikan secara luas kepada masyarakat. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

b. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan

(29)

yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

c. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

d. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

e. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

f. Metode kerja instansi pemberi pelayanan secara terus menerus harus dievaluasi dan diperbaiki, agar diperoleh prosedur pelayanan yang semakin sehat dan transparan ;

g. Buka kotak pengaduan di tempat-tempat pelayanan ;

Upaya-upaya detektif :

a. Teliti tingkat kepuasan para pemohon legalisasi ijazah ;

b. Jika tingkat kepuasannya rendah, dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sebab-sebabnya. Perhatikan kemungkinan adanya pungutan-pungutan yang memberatkan yang tidak sah ;

c. Melakukan konfirmasi secara uji petik kepada pemohon legalisasi ijazah tentang adanya pungutan-pungutan yang tidak sah ;

d. Teliti apakah biaya-biaya yang dipungut dalam pengurusan legalisasi ijazah memang diatur secara resmi dan disetor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

(3) Bea siswa untuk mahasiswa tidak diterima penuh, tetapi dipotong sejumlah tertentu dengan alasan untuk biaya administrasi, padahal dana digunakan untuk keperluan taktis dan pribadi.

Upaya-upaya preventif :

a. Anggaran bea siswa untuk mahasiswa harus disertai dengan anggaran untuk biaya administrasinya ;

b. Prosedur dan persyaratan pencairan serta besarnya bea siswa harus diinformasikan secara jelas dan transparan kepada para penerimanya. Informasi mengenai hal ini hendaknya ada secara tertulis di tempat-tempat pelayanan ;

c. Dibuat aturan mengenai sanksi yang tegas yang akan dikenakan kepada pegawai yang melakukan pungutan secara tidak sah di luar ketentuan yang berlaku (untuk kepentingan pribadi), dan ketentuan ini harus dilaksanakan dengan konsekuen;

d. Kepada pegawai diberikan sarana, prasarana kerja serta penghasilan sesuai dengan kebutuhan hidup yang wajar ;

e. Seleksi pejabat/pegawai yang berhubungan dengan pelayanan perlu mensyaratkan ketaqwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dibuktikan dengan perilakunya dalam menjalankan agamanya ;

f. Pendidikan moral keagamaan harus diberikan kepada para pegawai secara terus menerus ;

Referensi

Dokumen terkait

3.7Menganalisis hubungan antara struktur jaringan penyusun organ pada sistem pencernaan dalam kaitannya dengan nutrisi, bioproses dan gangguan fungsi yang dapat terjadi pada

Selain itu zat gizi makro, zat gizi lain yang terdapat di dalam susu berperan untuk pertumbuhan anak adalah mineral (besi, seng, kalsium, iodium dan fosfor) dan vitamin ( vitamin

Berdasarkan analisis uji t yang dilakukan maka dapat ketahui beberapa hal untuk mengambil kesimpulan apakah ada pengaruh latihan circuit bodyweight terhadap kebugaran jasmani,

Susu merupakan minuman yang bergizi tinggi karena mengandung protein yang bernilai biologi tinggi, sangat tepat untuk pertumbuhan dan daya tahan tubuh anak sekolah.. Pada masa

Selain itu terdapat ruang terbuka yang terdapat di dalam bangunan hunian dengan jarak yang dekat sehingga antar penghuni dapat berinteraksi selain itu juga dan dapat

Peran dari pemerintah yakni dibutuhkan peran pemerintah dalam bidang pembuatan tempat - tempat usaha agar pelanggan dengan mudah mengenali tempat penjual dangke

Meskipun terjadi perkembangan yang cukup pesat di pinggir kota, sekitar jalan utama kota serta beberapa desa di sekitar jalan lingkar utara akan tetapi hal tersebut tidak

Semakin tua usia, jenis bakteri plak gigi pada jaringan periodontal sehat akan berubah dengan semakin banyaknya gram negatif seperti Fusobacterium