• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU Dosen: Amirullah M. Pd Mata Kuliah: Islam dan Disiplin Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU Dosen: Amirullah M. Pd Mata Kuliah: Islam dan Disiplin Ilmu"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU Dosen:

Amirullah M. Pd Mata Kuliah:

Islam dan Disiplin Ilmu

Nur Isal (1901075042) Andi Rivaldi (1901075027) Muhamad Nur Khabib (1901075033)

Ardiansyah (1901075015)

Muhammad Umar Al-Fath (1701075052)

FAKULTAS KEGURUAN ILMU DAN PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA 2022

(2)

PENDAHULUAN

Islam telah lahir sejak 1400 tahun silam. Sepanjang sejarah itu, selain menyiarkan ajaran agama, para pemimpin Islam juga turut menyebarkan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi pada setiap wilayah masyarakat yang didatanginya. Sejak zaman Nabi Muhammad, Islam telah menyebar luas hingga ke luar wilayah jazirah Arab. Dan pada masa-masa puncak kejayaan kekuasaan para khalifah agung, Islam merambah masuk (sebagian menjadi penguasa) di Afrika, Asia Pasifik, dan Eropa bahkan juga ke Amerika. Islam yang begitu cepat menyebar hampir ke seluruh dunia membawa Pandangan baru dan nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat. Islam datang dengan membawa pesan-pesan untuk sebuah kemajuan peradaban yang bernilai dan bertuju pada kebahagiaan yang haq bagi seluruh umat manusia. Peradaban yang dibangun di atas pondasi ilmu yang kuat. Kedudukan ilmu pengetahuan dalam Islam, adalah pegetahuan sebagai kebudayaan. Islam yang sangat memperhatikan bahkan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.

Kedatangan Islam sendiri dengan diutusNya Nabi Muhammad telah membawa manusia untuk berfikir, beranjak dari sebuah kemunduran dan keterbelakangan mereka menuju kemajuan peradaban yang ideal. Kemajuan peradaban tersebut tidak terlepas dari ajaran Islam kepada umatnya agar selalu menggunakan instrumen ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menuju kemajuan peradaban. Kemajuan peradaban umat Islam dalam ilmu pengetahuan dapat dilihat pada era dinasti Abbasiyah maupun pada abad pertengahan, ketika umat Islam tidak hanya tampil sebagai komunitas ritual namun juga sebagai komunitas intelektual. Secara historis umat Islam mengalami kemajuan dengan majunya ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang disiplin ilmu saat itu. Sebagai ilustrasi, dapat disebutkan di sini beberapa cendekiawan yang telah memberikan kontribusi kreatif, misalnya observasi astronomikal dari Mahani (855-866), risalah atromosforik dan spherical astrolobe serta tabel-tabel astronomikal karya Naziri dan observasi astronomikal karya Qurra Al Bittani, seorang astronom besar pada tahun 880 telah berhasil menyusun buku katalog bintang-bintang yang didasarkan pada observasinya.

A. Paradigma dalam integrasi ilmu

Menurut Murad W. Hofman, pemisahan agama dan sains terjadi pada Abad Pertengahan, ketika umat Islam tidak peduli (baca: menyerah) sains dan teknologi. Pada saat itu yang berpengaruh dalam masyarakat Islam adalah ulama tarekat dan ulama fiqih. Keduanya sama-sama menanamkan konsep taklid dan membatasi studi agama pada bidang-bidang yang masih dikenal sebagai ilmu agama, seperti tafsir, doktrin, dan tauhid. Ilmu memiliki metode norma dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan diri Menjauh dari kehidupan duniawi dan bersujud kepada Allah. Pada saat yang sama, para sarjana tidak tertarik untuk mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif, dan bahkan ada yang melarang studi filsafat, meskipun sains dan teknologi dapat berkembang pesat dari filsafat. Ini berubah pada akhir abad ke-19 ketika gagasan kebangkitan diterima dan didukung oleh beberapa orang.

Mereka mengkritisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang lepas dari ajaran agama, sebagaimana dikemukakan Muhammad Naqub Attas dan Ismail Razi Farooqi, dengan tujuan agar ilmu pengetahuan membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam pandangan para ilmuwan dan cendekiawan Muslim ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan

(3)

teknologi perlu kembali ke kerangka dan perspektif ajaran Islam. Oleh karena itu, al-Faruqi menyerukan perlunya mengislamkan ilmu pengetahuan. Dan, sejak saat itu, gerakan Islamisasi ilmiah telah diluncurkan untuk mengeksplorasi dan memperkenalkan studi Islam terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Saat ini, dunia pendidikan tinggi Islam sebagian besar masih mengikuti platform ilmiah klasik yang didominasi oleh Syariah. Pada masa modern ini muncul kesenjangan antara perkembangan tradisi dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak sangat kuat terhadap peradaban manusia. Keretakan ini menempatkan dunia pendidikan tinggi Islam dalam tiga situasi buruk. Salah satunya adalah dikotomi yang sudah berlangsung lama antara pengetahuan agama dan keilmuan umum. Kedua, keterasingan studi agama yang diajarkan dari realitas modern. Dan ketiga, jarak kemajuan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama (Aminuddin, 2010).

Setelah penurunan umat Islam sekitar abad 13-20 M, Barat mengambil kesempatan untuk mengembangkan apa yang dipelajarinya dari Islam, yang mengarah ke Renaisans. Ilmu pengetahuan (sains) biasa berkembang pesat di Barat, sedangkan ilmu keislaman semakin menurun, dan akhirnya muncul dikotomi antara kedua bidang keilmuan tersebut. Galileo (L.1564 M), yang dianggap sebagai pahlawan sekularisasi ilmu pengetahuan, dijatuhi hukuman mati pada tahun 1633 M karena menerbitkan yang bertentangan dengan pendapat Gereja. Galileo memperkuat pandangan Copernicus bahwa matahari adalah pusat alam semesta melalui pengamatan dan eksperimen berdasarkan fakta empiris. Dan gereja percaya bahwa bumi adalah pusat alam semesta berdasarkan pesan alkitabiah (geosentrisme).

Peristiwa sejarah ini memunculkan pemisahan ilmu dan ajaran agama. Kredibilitas gereja sebagai sumber informasi ilmiah menurun, sehingga lebih lanjut mempromosikan metode ilmiah ke ilmu sekuler. Sekularisasi ontologi ilmu membuang segala sesuatu yang berbau religi dan mistis karena dianggap tidak relevan dengan ilmu pengetahuan. Realitas alam dan sosial didemitologikan dan disanitasi, yaitu de-sucikan (tidak ada yang sakral di alam) dari sesuatu yang spiritual dan spiritual. Sekularisasi metodologis sains menggunakan epistemologi rasionalis dan empiris.

Rasionalis percaya bahwa rasio adalah alat pengetahuan yang objektif karena mereka terus melihat realitas. Sedangkan empirisme percaya bahwa sumber pengetahuan yang efektif adalah empiris (pengalaman).

Sekularisasi ilmu dari segi aksiologi, yaitu ilmu tidak bernilai atau netral, dan nilainya hanya diberikan oleh manusia penggunanya. Menurut kaum sekularis, memasukkan nilai ke dalam sains menyebabkan sains menjadi “bias”, sehingga menghilangkan objektivitasnya. Situasi ini telah mendorong upaya para cendekiawan Muslim untuk mengintegrasikan kembali sains dan agama. Upaya pertama yang diajukan adalah Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi umat Islam yang telah lama ditinggalkan oleh peradaban dunia modern, upaya “mengislamkan ilmu” memiliki dilema tersendiri. Teka-tekinya adalah apakah akan memberi label sains Barat "Islam" atau

"Islam"? Ataukah berusaha mentransformasikan norma-norma agama menjadi realitas sejarah empiris melalui referensi utama Al-Qur'an dan Hadits? Keduanya sama-sama sulit jika upayanya tidak didasarkan pada kritik epistemologis (Fathul Mufid, 2013).

(4)

B. Ragam paradigma dan Teknik integrasi ilmu

Paradigma penelitian adalah cara pandang, keyakinan, dan kesepakatan peneliti mengenai cara fokus permasalahan dipahami dan dikaji. Egon G. Guba mengklasifikasikan paradigma penelitian sosial ke dalam tiga aspek, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Ontologi membahas apa yang ingin diketahui dalam penelitian. Epistemologi menanyakan bagaimana hal tersebut bisa diketahui. Sementara itu, metodologi mencari cara untuk mengetahui sesuatu.

Apa fungsi ketiganya dalam penelitian? Ontologi dan epistemologi membantu kita menentukan cara pandang terhadap masalah penelitian dan bagaimana memperoleh pengetahuan atau data tersebut. Di sisi lain, metodologi merupakan strategi yang akan kita gunakan untuk mendapatkan jawaban permasalahan lewat data penelitian.

Berdasarkan tiga klasifikasi tersebut, terdapat lima paradigma penelitian, yaitu positivisme, konstruktivisme, pragmatisme, subjektivisme, dan kritis.

• Positivisme

Jenis ini memercayai bahwa realitas dan kebenaran dari suatu fenomena bersifat tunggal.

Realitas tersebut dapat diukur menggunakan instrumen yang valid dan reliabel. Karena itu, penelitian positivistik biasanya menggunakan pendekatan kuantitatif.

• Konstruktivisme

Berkebalikan dengan positivisme, konstruktivisme justru menganggap bahwa tidak ada realitas ataupun kebenaran tunggal. Realitas sosial diinterpretasikan oleh individu maupun kelompok, sehingga hasil yang didapat akan beragam. Penelitian konstruktivistik umumnya memakai pendekatan kualitatif.

• Pragmatisme

Paradigma pragmatisme memercayai bahwa realitas tidaklah bersifat tetap karena terus- menerus dinegosiasikan, diperdebatkan, dan diinterpretasi. Paradigma ini dapat dikatakan merupakan gabungan dari pandangan positivisme dan konstruktivisme. Biasanya, penelitian jenis ini menggunakan pendekatan gabungan kualitatif dan kuantitatif.

• Subjektivisme

Subjektivisme beranggapan bahwa realitas adalah apa yang diyakini oleh peneliti sebagai kenyataan. Karena itu, pandangan dan interpretasi peneliti dianggap penting dalam penelitian. Paradigma subjektivisme umumnya digunakan dalam metode analisis wacana, arkeologis, genealogis, dan dekonstruktivisme.

• Kritis

Paradigma kritis meyakini bahwa realitas sosial merupakan suatu sistem yang dikonstruksi dan berada di bawah sekelompok pihak yang berkuasa. Jenis-jenis penelitian yang mengadopsi paradigma ini di antaranya adalah analisis wacana kritis, kritik ideologi, hingga etnografi kritis.

• Teknik integrasi ilmu

Paradigma Integrasi-interkoneksi yang digagas Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikian agar ragam kajian keislaman dapat berkembang dan tidak terkungkung secara lebih menyeluruh. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyah / hadarah al-nass dengan ilmu-ilmu kauwniyah / hadarah al- 'ilm maupun dengan hadarah al-falsafah

(5)

berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain Integrasi secara bahasa berasal dari kata (To Integrate) yang mana muncul kata Integration. Sedangkan, Interkoneksi secara bahasa berasal dari kata (Inter dan Connect) menjadi kata Connection. Sehingga, Integrasi dapat diartikan dengan "terhubung sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih". Interkoneksi adalah "mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih"

• Model integrasi ilmu

Menurut Armahedi Mahzar, setidaknya ada 3 (tiga) model Integrasi ilmu dan agama, yaitu model monadik, diadik dan triad.

• Model Monadik

Model yang populer di kalangan fundamentalis religius maupun sekuler. Kalangan fundamentalisme religius berasumsi bahwa agama adalah konsep universal yang mengandung semua cabang kebudayaan. Agama sebagai satu-satunya kebenaran dan sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan. Sedangkan menurut kalangan sekuler, agama hanyalah salah satu cabang dari kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.14 Dengan model monadik seperti ini, tidak mungkin terjadi koeksistensi antara agama dan sains, karena menegasikan eksistensi atau kebenaran yang lainnya.

• Model Diadik

Model ini memiliki beberapa varian. Pertama, varian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains membicarakan fakta alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai ilahiyah. Varian kedua berpendapat bahwa, agama dan sains merupakan satu kesatuan yang tidak dapat diterima. Sedangkan varian ketiga berpendapat bahwa agama dan sains memiliki pertanyaan. Kesamaan inilah yang bisa dijadikan bahan Integrasi.

• Model Triadik

Dalam model triadik ini ada ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model yang diajukan oleh kaum teosofis yang bersemboyan "tidak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran," Kebenaran adalah kebersamaan antara sains, filsafat dan agama.16 menjelaskan, model ini merupakan perluasan dari model diadik, dengan memasukkan sebagai komponen ketiga yang berada di antara sains dan agama.

Model ini barangkali bisa dikembangkan lagi dengan mengganti komponen ketiga, yaitu filsafat dengan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan.

C. Panduan Teknis Pengintegrasian Dan Contoh Praktik Integrasi Ilmu

Proses integrasi ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan secara filosofis dapat dilakukan dengan berbagai macam model. Menurut Abuddin Nata, upaya integrasi ilmu dalam penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan dengan tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu model purifikasi, modernsasi Islam, dan Neo-modernisme Islam. Dari sudut pandang metodologis langkah yang harus ditempuh adalah perumusan ulang epistemologi ilmu melalui sebuah kajian filsafat. Karena dengan filsafat akan dirumuskan sosok rancang bangun keilmuan (body of knowledge) sebagai pijakan untuk merumuskan jenis ilmu dan nomenklaturnya.

(6)

Secara teknis, implementasi integrasi keilmuan tersebut dalam konteks pembelajaran dimulai dengan model kurikulum integratif (integrated curriculum), yaitu kurikulum yang didesain dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai perspektif, terangkum dalam berbagai pengalaman belajar yang menjangkau berbagai ranah pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sesuai tujuan integrasi, maka desain kurikulum ini adalah menggabungkan dua komponen ilmu agama dan ilmu umum menjadi satu dalam struktur kurikulum yang utuh dan komprehensif. Adapun metode/strategi yang digunakan untuk mencapai hal tersebut adalah:

(1) Melalui penggabungan (fusion) antara beberapa topik menjadi satu paket kajian.

(2) Memasukkan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadi satu kesatuan (within one subject).

(3) Menghubungkan satu topik dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang diajarkan dalam jam atau kelas yang berbeda (multidisciplinary).

(4) Kajian antara suatu topik dengan menggunakan berbagai perspektif (comparative perspective), dan

(5) Mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, dan isu-isu mutakhir (current issue) yang sedang berkembang (transdisciplinary).

Implementasi lima metode tersebut dilaksanakan dengan kaidah dan dalam bingkai korelasi (correlation) dan harmonisasi (harmonization). Artinya, dalam dan untuk mewujudkan kurikulum integratif tersebut, baik pada level konsep maupun implementasi, harus selalu berpegang pada prinsip dan kaidah korelasi dan harmonisasi. Dengan demikian, ragam perspektif, pengalaman, pendekatan, dan bidang keilmuan tersebut harus tetap memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya, tidak saling bertentangan justru sebaliknya saling mengisi dan melengkapi.

Kesimpulan

Jadi pada kesimpulannya yaitu Menurut Murad W. Hofman, pemisahan agama dan sains terjadi pada Abad Pertengahan, ketika umat Islam tidak peduli (baca: menyerah) sains dan teknologi. Keduanya sama-sama menanamkan konsep taklid dan membatasi studi agama pada bidang-bidang yang masih dikenal sebagai ilmu agama, seperti tafsir, doktrin, dan tauhid. Ilmu memiliki metode norma dan tarekat, tarekat hanyut dalam wirid dan dzikir untuk mensucikan jiwa dan mendekatkan diri Menjauh dari kehidupan duniawi dan bersujud kepada Allah. Pada saat yang sama, para sarjana tidak tertarik untuk mempelajari alam dan kehidupan manusia secara objektif, dan bahkan ada yang melarang studi filsafat, meskipun sains dan teknologi dapat berkembang pesat dari filsafat.

Mereka mengkritisi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang lepas dari ajaran agama, sebagaimana dikemukakan Muhammad Naqub Attas dan Ismail Razi Farooqi, dengan tujuan agar ilmu pengetahuan membawa kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam pandangan para ilmuwan dan cendekiawan Muslim ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu kembali ke kerangka dan perspektif ajaran Islam. Dan, sejak saat itu, gerakan Islamisasi ilmiah telah diluncurkan untuk mengeksplorasi dan memperkenalkan studi Islam terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Realitas alam dan sosial didemitologikan

(7)

dan disanitasi, yaitu de-sucikan (tidak ada yang sakral di alam) dari sesuatu yang spiritual dan spiritual.

Paradigma penelitian adalah cara pandang, keyakinan, dan kesepakatan peneliti mengenai cara fokus permasalahan dipahami dan dikaji. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyah / hadarah al-nass dengan ilmu-ilmu kauwniyah / hadarah al- 'ilm maupun dengan hadarah al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain Integrasi secara bahasa berasal dari kata (To Integrate) yang mana muncul kata Integration. Interkoneksi adalah "mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih" Model integrasi ilmu Menurut Armahedi Mahzar, setidaknya ada 3 (tiga) model Integrasi ilmu dan agama, yaitu model monadik, diadik dan triad.

Oleh karena itu, kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.14 Dengan model monadik seperti ini, tidak mungkin terjadi koeksistensi antara agama dan sains, karena menegasikan eksistensi atau kebenaran yang lainnya. Pertama, varian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Model yang diajukan oleh kaum teosofis yang bersemboyan

"tidak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran," Kebenaran adalah kebersamaan antara sains, filsafat dan agama.16 menjelaskan, model ini merupakan perluasan dari model diadik, dengan memasukkan sebagai komponen ketiga yang berada di antara sains dan agama.

Secara teknis, implementasi integrasi keilmuan tersebut dalam konteks pembelajaran dimulai dengan model kurikulum integratif (integrated curriculum), yaitu kurikulum yang didesain dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai perspektif, terangkum dalam berbagai pengalaman belajar yang menjangkau berbagai ranah pengetahuan sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Sesuai tujuan integrasi, maka desain kurikulum ini adalah menggabungkan dua komponen ilmu agama dan ilmu umum menjadi satu dalam struktur kurikulum yang utuh dan komprehensif. Kajian antara suatu topik dengan menggunakan berbagai perspektif (comparative perspective), dan Mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, dan isu-isu mutakhir (current issue) yang sedang berkembang (transdisciplinary). Artinya, dalam dan untuk mewujudkan kurikulum integratif tersebut, baik pada level konsep maupun implementasi, harus selalu berpegang pada prinsip dan kaidah korelasi dan harmonisasi.

Daftar Pustaka

Aminuddin, L. H. (2010). Integrasi Ilmu dan Agama: Studi Atas Paradigma Integratif- Interkonektif. Kodifikasia, 4(1), 181–214.

Fathul Mufid. (2013). Integrasi Ilmu-Ilmu Islam. Equilibrium, 1(1), 55–71. Retrieved from http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/equilibrium/article/view/200

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah : (1) Hasil belajar siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diajarkan dengan model quantum teaching lebih tinggi

Dalam pandangan al-Quran, dasar interpretasi dari semua bentuk ilmu adalah tauhid,dalam arti ia di kembangkan dalam bangkai spirit tauhid. Dalam al-Qur’an, khususnya

Sebagai contoh: “Bus siap berangkat, semua sudah siap, sopirnya,keneknya, dan penumpang sudah siap berangkat, tetapi jika bus itu tidak ada “dop pada ban”, bus itu tidak bisa