• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODOLOGI ILMU Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam dalam Displin Ilmu / IDI Dosen Pengampu : Amirullah S.PD.I.,M.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "METODOLOGI ILMU Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam dalam Displin Ilmu / IDI Dosen Pengampu : Amirullah S.PD.I.,M."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

METODOLOGI ILMU

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Islam dalam Displin Ilmu / IDI Dosen Pengampu : Amirullah S.PD.I.,M.A

Oleh:

Kelompok 1

Anggota:

Bagus Setiawan 1901025152

Shofi Amalia Dwi Nastiti 1901025175 Nabilah Ananda Putri 1901025295

Yunisa Nur Qolbi 1901025016

Riana Wulansari 1901025078

6H

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

2022

(2)

A. Pengertian Metodologi Ilmu

Metodologi ilmu sangatlah penting dalam proses kegiatan ilmiah. Tanpa metodologi ilmu proses kerja ilmu tidak dapat bekerja dengan baik. Dalam arti luas metodologi dipahami sebagai suatu analisis dan penyusunan asas-asas, cara, atau proses yang mengatur penelitian ilmiah pada umumnya serta pelaksanaannya dalam ilmu pengetahuan. Dalam kegiatan tersebut terdapat hubungan yang sangat erat antara subjek dan (peneliti) dan objek yang ditelitinya. 1

Metodologi ilmu memberikan pemahaman filosofis tentang hakikat suatu ilmu (masalah kebenaran, objektivitas dan struktur ilmu). Penyebutan metodologi ilmu atau metodologi ilmu pengetahuan lebih diarahkan pada context of justification yang sangat erat kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan. Mengapa? karena pembahasan kegiatan ilmu berkaitan dengan konsep berfikir atau pola berfikir tentang asas-asas atau paradigma yang memayungi suatu proses kegiatan ilmiah atau struktur suatu pengetahuan yang sedang ditelitinya.

1. Konsep Tentang Ilmu

Menurut al-Farabi, al-`ilm adalah kepastian yang dicapai oleh jiwa tentang suatu objek di mana kepastian tersebut diperoleh dari penalaran logis berdasarkan teori- teori atau konsep yang benar, pasti dan unggul.

Al-Farabi mempersyaratkan beberapa hal, terkait dengan subjek kajian maupun metodenya, agar sebuah pengetahuan dapat dinilai sebagai sebuah ilmu. Pada subjek kajian, al-Farabi mempersyaratkan dua hal: pasti dan universal. Pasti maksudnya bahwa subjek kajian yang menjadi bahan penalaran harus bersifat tetap, tidak berubah, sehingga jika hari ini bersifat A tetapi kemudian besok berubah menjadi B, maka dia tidak dapat dijadikan sebagai subjek ilmu; sedang universal maksudnya bahwa subjek kajian atau premis-premis yang menjadi dasar penalaran adalah berlaku umum di setiap

1 Al-Jauhari, A. (2021)

(3)

tempat. Sementara itu, pada aspek metode, al-Farabi mempersyaratkan bahwa sebuah ilmu harus dihasilkan dari metode-metode yang valid.2

Secara metodologis, al-Farabi menyatakan bahwa pengetahuan manusia terhadap objek dapat dihasilkan lewat dua cara, yaitu pembentukan konsep (tashawwur) dan penalaran logis (tashdîq). Pembentukan konsep (tashawwur) itu sendiri ada dua macam: sederhana (tashawwur muthlaq) dan ilmiah (tashawwur ma’a tashdîq).

Tashawwur sederhana adalah seperti pengetahuan kita terhadap matahari dan bulan yang tanpa analisis, sedang tashawwur ilmiah adalah seperti pengetahuan kita tentang langit dengan semua tingkatan dan temporalitasnya (hadîts) yang semua itu tidak dapat diketahui kecuali lewat analisis dan penelitian.

Tashawwur sendiri, secara sederhana dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap objek sebagaimana yang ditunjukkan oleh namanya, atau jawaban atas sebuah pertanyaan apakah dia itu, sedang tashdîq berarti penilaian terhadap sesuatu berdasarkan atas pengertian atau teori yang ada dalam pikiran manusia. Dalam pengertian lain, tashawwur al-Farabi adalah apa yang dikenal sebagai istilah pemikiran tunggal yang tidak berhubungan dengan predikasi, sedang tashdîq adalah apapun yang muncul sebagai sintesa antara subjek dan predikat. Dalam Uyun al-Masail, al-Farabi menulis sebagai berikut,

قیدصتعمروّصتىلاورمقلاوسمشلاروّصتیامكقلطمروّصتىلامسقنیملعلا امك

قّقحتی نوك تاومسلا ركلأاك

اھضعب ىف

ضعب ملعیو نا ملعلا ثّدحم تیلاامسجلاروّصتنكمیلاامكھمدقتیروّصتبّلاامّتیلاامروّصتلانمف

لوطلاروّص ضرعلاو قمعلاو

“Ilmu terbagi pada konsepsi konvensional (tashawur muthlaq) seperti konsep tentang matahari dan bulan, dan konsepsi ilmiah (tashawur ma’a tashdîq) seperti kenyataan bahwa langit saling menjalin antara sebagian dengan lainnya dan pengetahuan bahwa alam adalah temporal. Sebagian dari konsepsi ada yang tidak bisa sempurna kecuali didahului oleh konsep yang lain, seperti tidak mungkin membuat konsep tentang sebuah benda kecuali didahului konsep tentang panjang, lebar dan tinggi”.

Selanjutnya, untuk menghasilkan konsep yang valid sebagai dasar penalaran dapat dilakukan lewat penelitian induktif disamping pemahaman secara aksiomatik.

2 Soleh, A. K. (2020). Integrasi Quantum Agama dan Sains, hlm 18.

(4)

Namun, yang dimaksud penelitian induksi di sini tidak sama dengan induksi biasa.

Perbedaan di antara keduanya terletak pada aspek tujuan dan sarana yang digunakan.

(1) Induksi al-Farabi berusaha menemukan proposisi universal bagi dirinya sendiri, sementara induksi biasa hanya bertujuan untuk menguji atau memeriksa premis-premis universal yang digunakan dalam silogisme. (2) Sarana yang digunakan dalam induksi biasa adalah rasio sedang induksi al-Farabi melibatkan potensi intelek, sesuatu yang oleh al-Farabi dinilai lebih unggul dari rasio, sehingga hasil yang dicapai bersifat niscaya dan menyakinkan sedang hasil dari induksi biasa tidak bersifat niscaya melainkan hanya mencapai derajat mendekati keyakinan.

Berdasarkan uraian di atas, maka apa yang dimaksud sebagai ilmu dalam pandangan al-Farabi setidaknya harus mengandung tiga prinsip pokok: (1) subjek kajian atau premis yang menjadi dasar penalaran harus bersifat tetap dan universal, (2) bertujuan untuk memahami hakikat objek, (3) menggunakan metode-metode yang validitas.

Selanjutnya, al-Farabi membagi ilmu-ilmu yang dikenal saat itu dalam beberapa bagian berdasarkan atas subjek, ruang lingkup dan sifat kajian. Berdasarkan atas subjeknya, al-Farabi membagi ilmu menjadi empat bagian: metafisika (al-`ilm al-ilâhî), matematika (`ulûm al-ta`lîm), ilmu politik (`ilm al-madânî) dan fisika (al-`ilm al- thabî`î). Ilmu yang paling unggul di antara bentuk-bentuk ilmu ini adalah hikmah atau yang disebut dengan metafisika atau “filsafat pertama” (al- falsafah al-ûlâ) yang diartikan sebagai “pengetahuan tentang penyebab akhir dari segala sesuatu, yaitu pengetahuan tentang esensi, sifat dan perbuatan ilahi dalam kaitannya dengan yang banyak”; sedang yang paling rendah adalah fisika atau ilmu kealaman yang diartikan sebagai “pengetahuan tentang wujud-wujud material”. Sementara itu, berdasarkan ruang lingkup kajian, al-Farabi membagi ilmu menjadi dua bagian, ilmu universal (al-

`ilm al-kullî) dan ilmu partikular (al- `ilm al-juz’î). Ilmu partikular adalah ilmu yang objek kajiannya berupa bagian-bagian dari eksistensi, seperti ilmu fisika yang mengkaji bagian- bagian wujud material dari aspek gerakan-gerakannya, perubahan dan keterdiamannya, matematika yang membahas hitungan-hitungan dan kedokteran yang meneliti soal kesehatan; ilmu universal adalah ilmu yang objek kajiannya mencakup seluruh realitas, seperti tentang wujud atau segala sesuatu yang tidak terbatasi oleh tema-tema ilmu partikular, seperti soal keterdahuluan (taqaddum), kesempurnaan (tâm), tindakan (fi`l) dan sejenisnya atau tentang pangkal segala yang wujud yang disebut Tuhan.

(5)

B. Problem dan Krisis Sains Modern

Berbicara mengenai krisis peradaban, artinya berbicara mengenai sains modern (Barat) dan penerapannya (teknologi). Apa yang dimaksud dengan krisis di sini secara pasti akan mengarah pada peradaban. Karena sekalipun agak berlebihan, sains dan teknologi merupakan komponen dari sebuah peradaban. Ini berarti secara inheren sains dan penerapannya sendiri telah menjelaskan krisis yang melanda “dirinya”. Krisis global di negara modern telah menerpa pada negara berkembang seperti pembangunan yang tidak berorientasi kepada lingkungan, sehingga menyebabkan polusi, musim yang tidak menentu, berkembangnya fenomena anomie dalam masyarakat, dan fenomena destruktif lainnya yang merupakan representasi krisis peradaban (Saefudin, 2015). 3

Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi keahlian atau ketrampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide terhadap sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam. Selanjutnya, sains modern bisa dikatakan lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan pentingnya eksperimen dan observasi.

Suatu kenyataan yang tampak jelas dalam dunia modern yang telah maju ini ialah adanya kontradiksi yang mengganggu kebahagiaan orang dalam hidup. Apa yang dahulu belum dikenal manusia kini sudah tak asing lagi baginya. Bahaya kelaparan dan penyakit menular yang dahulu sangat ditakuti sekarang telah bisa dihindari. Kesulitan dan bahaya alamiah yang dahulu menyulitkan perhubungan, sekarang tidak menjadi soal lagi. Kemajuan industri telah dapat menghasilkan alat-alat yang memudahkan hidup, sehingga kebutuhan jasmani tidak sulit lagi untuk memenuhinya. 4

Seharusnya kondisi dan hasil kemajuan itu membawa kebahagiaan yang lebih banyak kepada manusia dalam hidupnya. Akan tetapi suatu kenyataan yang menyedihkan ialah bahwa kebahagiaan itu ternyata semakin jauh, hidup semakin sukar dan kesukaran material berganti dengan kesukaran mental. Beban jiwa semakin berat,

3 Tanjung, A. (2020). Karakteristik dan Implikasi Sains Barat Modern Terhadap Lingkungan Hidup.

4 Harun, H. (1994). Sains Modern dan Permasalahan Manusia.

(6)

kegelisahan dan tekanan batin lebih sering terjadi dan lebih menekan sehingga mengurangi kebahagiaan (Zakiyah Darajat, 1979). Masyarakat modern telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih untuk mengatasi berbagai masalah kehidupannya, namun pada satu sisi lain ilmu pengetahuan dan teknologi canggih itu tidak mampu menumbuhkan moralitas (akhlak) yang mulia. Dunia modern saat ini termasuk Indonesia ditandai dengan gejala kemerosotan akhlak yang benar benar berada pada taraf yang mengkhawatirkan. Kejujuran dan kasih sayang sudah tertutup oleh penyelewengan, penipuan dan saling merugikan. Di sana sini banyak terjadi adu domba dan fitnah dan perbuatan biadab lainya.

Tragedi di atas disebabkan oleh beberapa faktor yang kini memengaruhi cara berfikir manusia modern. Faktor tersebut menurut Zakiah Daradjat antara lain kebutuhan hidup yang semakin meningkat, rasa individualistis dan egoistis, persaingan dalam hidup, keadaan yang tidak stabil, dan terlepasnya pengetahuan dari agama (Zakiyah Darajat, 1979). Oleh karena itu, dalam makalah ini akan penulis sajikan secara ringkas mengenai krisis dunia modern dan problem keilmuan yang menjadi topik menarik untuk kita bahas lebih lanjut karena tantangan zaman akan semakin bertambah, terutama kehadiran sains yang mana akan selalu mengalami perkembangan.

1. Batasan Sains Modern

Kata sains adalah adaptasi dari kata Inggris, science, yang sering juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan. Secara etimologis, kata "science" berasal dari kata Latin

"scire" yang arti harfiahnya mengetahui, dan derifatnya pengetahauan. Sinonim yang paling dekat dengan bahasa Yunani adalah episteme (Jujun S. Suriasumantri, 1998).

Tetapi secara istilahi/terminologis, kata ini mengalami perkembangan yang cukup signifikan dan harus disadari oleh setiap pelajar sains. (Mulyadhi Kartanegara, 2003).

mengatakan bahwa ilmu (sains) adalah "any organized knowledge". Artinya ilmu apapun yang terorganisir, sehingga pada masa itu, theology disebut juga sains sehingga muncullah istilah theological science, mathematical science bahkam metaphysical science, disamping tentu saja physical science.

Tetapi pada penghujung abad sembilan belas dan awal abad kedua puluh, sains mengalami perubahan, sesuai dengan perubahan pada ranah filosofis, yang dramatisa, di mana sains kemudian atas pengaruh positivisme hanya difokuskan pada objek-objek empiris (inderawi dan fisik) saja, sehingga pengertian sains kemudian berubah menjadi

(7)

"pengetahuan yang sistematik tentang dunia fisik" (a systematic knowledge of the physical world), dengan konsekuensi mengeluarkan segala jenis pengetahuan yang tidak empiris, seperti teologi, metafisik dan bahkan matematik. Semua bidang yang non-empiris dikategorikan sebagai tidak ilmiah (Mulyadhi Kartanegara, 2003). Secara sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul dari pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak jaman dahulu, atau biasa disebut sains sebagai produk.

Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip, model-model, hukum-hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan ilmiah yang biasa diibaratkan sebagai bangunan dimana berbagai hasil kegiatan sains tersusun dari berbagai penemuan sebelumnya. Sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa disebut sains sebagai proses. Metode ilmiah merupakan hal yang sangat menentukan, sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh memecahkan masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan yang sudah ada. Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang tidak lain biasa disebut sebagai teknologi. Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekwensi logis dari sains yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sehingga biasanya salah satu definisi populer tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya.5

2. Kelahiran Sains Barat yang Menyebabkan Imperialisme Epistemologi

Sains modern terbentuk dengan landasan nilai-nilainya yang khas Barat sehingga tak salah jika sebagian orang menyebutnya sains Barat. Nilai-nilai ini kemudian tersebar ke negara-negara nonBarat yang belum berkembang termasuk negara-negara Muslim bersama dengan berkembangnya sains modern, lewat alih sains dan teknologi, lembaga-lembaga pendidikan (terutama universitas), dan lewat beberapa saluran lain.

Lewat alih teknologi dan sains, perubahan ini terjadi karena untuk menguasainya dituntut cara berpikir dan sikap hidup yang sesuai dengannya. Seperti yang telah kita lihat dalam sejarah sains modern, ada beberapa nilai khas inheren dengan sains dan teknologi. Sebagaimana dinyatakan Stephen Mason, “Dalam dunia modern, sains telah membawa manusia kepada sekularitas pikiran dan pengembangan sifat utilitarian, di

5 Harun, H. (1994). Sains Modern dan Permasalahan Manusia.

(8)

samping juga berpengaruh pada standar penilaian dan nilai-nilai manusia, metode keilmuan mempunyai pengaruh lebih besar pada manusia dibanding dengan teori apapun”. Aspek metode keilmuan yang amat berpengaruh ini, misalnya mendasarkan argumen atau penilaian lebih pada kerasionalannya dibanding pertimbangan- pertimbangan lain, atau memutuskan kebenaran pandangan seseorang dengan bukti- bukti empiris. Ini adalah praktek-praktek tipikal dunia modern. Perubahan paling besar yang terjadi pada masyarakat modern mungkin adalah yang menyangkut rasionalisme dan empirisme. Karena pengaruh ini, realitas yang dianggap nyata adalah yang tampak secara empiris atau yang bisa dipikirkan secara rasional. Selain itu adalah tak nyata.

Contoh paling jelas untuk ini adalah A.B. Shah (1987), seorang ilmuan dari India, yang berusaha memanfaatkan sifat sains tersebut untuk “mamajukan” masyarakat India. Ia melihat “perubahan yang ditimbulkan pengetahuan ilmiah dalam pandangan manusia lebih revolusioner sifatnya ketimbang revolusi teknologi”. Menurutnya, sains memiliki “efek yang membebaskan”. Artinya, sains dengan metode keilmuannya telah membebaskan manusia dari takhayul-takhayul otoriterisme yang diwarisinya. Ia telah memungkinkan manusia memandang masalahnya dengan objektif. Manurut Shah, ini tepat untuk masyarakat India yang masih terikat kapada takhayul-takhayul kuno.

Rupanya ia ingin mengulang sejarah sains pada masa renaisans yang juga telah membebaskan manusianya dari takhayul-takhayul. Tapi, sayangnya sains juga membebaskan manusia dari agamanya: A.B. Shah melihat bahwa agama seperti juga takhayul berperan menerangkan fenomena alam dan memberi pegangan bagi manusia sebelum manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan mengendalikan alam.

Dengan begitu, Shah mengikuti jalan pikirannya tampaknya ingin mengatakan bahwa kini sudah tidak diperlukan lagi agama, tepatnya sudah diganti oleh sains! Beginilah penyempitan dunia pengalaman kita terjadi, yang nyata adalah yang empiris, rasional, dan selain itu termasuk agama adalah mitos, obsesi, atau khayalan belaka.

3. Krisis Dunia Modern dan Problem Keilmuan

Dampak tak terlihat sains modern ini, muncul diantaranya pada pola pikir manusia, dan pada gilirannya tentu saja pada perilakunya. Ini tampak pada dominasi rasionalisme dan empirisme pilar utama metode keilmuan (scientific method), dalam penilaian manusia atas realitas-realitas, baik realitas sosial, individual, bahkan juga keagamaan. Mungkin ini juga untuk sebagiannya bisa menjelaskan meningkatnya

(9)

kecenderungan-kecenderungan pada apa yang oleh Herman Kahn disebut sebagai budaya inderawi (yaitu yang bersifat empiris, duniawi, sekular, humanistik, pragmatis, utilitarian dan hedonistik) (Ziauddin Sardar, 1988).

Untuk memahami hal ini lebih baik, kita perlu melihat sejarah sains modern lebih dekat. Makin banyak saja orang yang yakin bahwa apa yang disebut sebagai peradaban modern, yang di dalamnya kita hidup sekarang ini, sedang berada dalam krisis. Padahal, berbicara tentang peradaban modern adalah berbicara tentang sains modern dan penerapannya, demikian kata seorang penulis sejarah sains Barat. Memang, kedengarannya, agak berlebihan, tapi dalam kenyataannya sains modern bisa menerangkan berbagai persoalan dunia, tepatnya krisis global masa kini. Tentang alienasi individual, rusaknya lingkungan manusia, dan sebagainya. Masalah-masalah inilah bersama masalah-masalah lain yang saling mempengaruhi dan terakumulasi dalam apa yang sekarang sering disebut krisis global. Dan jika disebut peradaban modern, itu artinya bagian terbesar dari negara-negara di dunia, karena hampir seluruh negara kecil atau besar dengan sadar atau terpaksa sedang atau telah berjalan ke arahnya. Dengarlah Gregory Bateson: “Sudah jelas bagi banyak orang bahwa banyak bahaya mengerikan telah tumbuh dari kekeliruan-kekeliruan epistemologi Barat. Mulai insektisida sampai polusi, malapetaka atomik, ataupun kemungkinan mencairnya topi es antariksa. Di atas segalanya, dorongan fantastik kita untuk menyelamatkan kehidupan-kehidupan perorangan telah menciptakan kemungkinan bahaya kelaparan dunia di masa mendatang” (Mahdi Ghulsyani, 1996).

Kalau krisis-krisis ini didaftar secara lebih terinci, maka akan didapatkan daftar yang amat panjang. Contoh pertama dan mungkin yang terbesar adalah krisis lingkungan. Ekosistem alam kini berada dalam keadaan yang amat labil, karena terlalu banyaknya campur tangan manusia di dalamnya, baik direncanakan ataupun tidak. Efek rumah kaca akibat makin banyaknya gas CO2 hasil pembakaran bahan bakar fosil tidak hanya mengancam sebagian dunia, tapi seluruh dunia. Ancaman lain adalah menipisnya lapisan ozon atmosfer. Meskipun jumlahnya kecil, hanya seperjuta bagian, ozon sangat penting untuk melindungi kehidupan dari serangan ultraviolet sinar matahari.

Contoh-contoh di atas belum seberapa jika dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya perang nuklir. Jumlah senjata nuklir yang ada saat ini cukup untuk menghancurkan umat manusia beberapa kali. Lebih dari empat puluh ribu hulu ledak bom nuklir, yang ada di dunia kini, masing-masing berkekuatan ribuan kali bom yang

(10)

pernah jatuh di Hirosima dan Nagasaki. Yang lebih dahsyat, setelah peneliti sains memiliki kemampuan untuk menciptakan bentuk kehidupan baru lewat rekayasa genetika, pada April 1987 Kantor Hak Cipta Amerika Serikat mengumumkan bahwa organisme hidup ini termasuk binatang, dapat diberikan hak paten. Atau dalam dunia bioteknologi disebut dengan teknik cloning, suatu teknik terbaru dalam mewujudkan obsesi manusia kontemporer untuk menciptakan manusia unggulan melalui benih unggulan pula. Memang terjadi perdebatan atas keputusan ini, tapi tak sedikit pula ilmuwan yang menganggap hal ini wajar-wajar saja.

Itu semua baru sebagian dari dampak sains modern. Ada dampak lain, dampak psikologis, misalnya, termasuk meningkat-pesatnya statistik penderita depresi, kegelisahan, psikosis, dan sebagainya. Sebagaimana halnya pada abad ke-17, sekali lagi kita mengalami destabilisasi dan keterpecahan, ketika paradigma keagamaan digugat.

Argumen bahwa sains itu netral, bahwa sains bisa digunakan untuk kepentingan yang baik atau buruk, bahwa pengetahuan yang dalam tentang atom bisa digunakan untuk menciptakan bom nuklir dan juga bisa untuk menyembuhkan kanker, bahwa ilmu genetika bisa untuk mengembangkan pertanian di dunia ketiga dan juga bisa untuk

“menyaingi Tuhan”, semua ini tampaknya (pernah) amat meyakinkan.

Selain itu, jika kita melihat sejarah lahirnya sains modern, maka akan semakin tampaklah bahwa sejak masa renaisans, masa kelahiran sains modern, tujuan sains adalah untuk diterapkan. Untuk memberikan tempat pada manusia sebagai penguasa alam sehingga manusia bisa bebas mengeksploitasinya demi kepentingan sendiri dalam kehidupan sehari-harinya. Ringkasnya, sejak kelahirannya, sains modern tak bisa dipisahkan dari penerapannya, baik atau buruk, dan akibatnya ia tidak netral. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa krisis-krisis di atas untuk sebagian besarnya diakibatkan oleh sains dan “mengarah kepada suatu krisis dalam sains”, demikian pendapat Ziauddin Sardar. Di sini Sardar juga memberikan batasan yang mungkin lebih tepat bagi kata “sains”, yakni keseluruhan riset dan penerapannya.

Belakangan ini banyak kritik terhadap sains modern dari berbagai kalangan.

Soalnya, teknologi sebagai penerapan sains untuk kepentingan manusia punya dampak yang cukup menakutkan. Keempat dampak itu adalah dampak militer, dampak ekologis, dampak sosiologis dan dampak psikologis. Dampak pertama adalah potensi destruktif yang ditemukan sains ternyata serta merta dimanfaatkan langsung sebagai senjata pemusnah massal oleh kekuatan-kekuatan militer dunia. Sejarah tak dapat memungkiri bahwa ilmuwan berperan cukup besar dalam pengembangan senjata-

(11)

senjata pemusnah massal tersebut. Dampak kedua adalah dampak tak langsung yang berupa pencemaran dan perusakan lingkungan hidup manusia oleh industri sebagai penerapan teknologi untuk kepentingan ekonomi. Dampak ketiga adalah keretakan sosial, keterbelahan personal dan keterasingan mental yang dibawa oleh pola hidup urbanisasi yang mengikuti industrialisasi ekonomi. Dampak keempat, yang paling parah, adalah penyalahgunaan obat-obatan hasil industri kimia untuk menanggulangi dampak negatif dari urbanisasi. Keempat dampak negatif penerapan sains dan teknologi itu tidaklah merisaukan kebanyakan ilmuwan karena mereka menganggap hal itu bukanlah urusan mereka. Soalnya dalam pandangan mereka, tugas mereka hanyalah mencari kebenaran ilmiah tentang alam.

Oleh karena itu sains dianggap sebagai ilmu yang netral yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan teknologi. Sementara itu para teknolog juga melempar tanggung jawab dengan mengatakan teknologi itu bagaikan pisau adalah sesuatu yang netral yang bisa dimanfaatkan secara positif atau negatif tergantung pemakainya. Akan tetapi melihat gelombang dampak negatif yang kumulatif sains modern itu, pada paruh kedua abad yang baru silam ini, timbul sejumlah kritik terhadap sains yang bukan merujuk pada dampak-dampak negatif yang sekunder itu, tapi langsung ke jantung filosofis sains yang selama ini dianggap tidak bermasalah. Kritik itu datang dari kalangan teolog, filosof serta ideolog-ideologi ekosofi, neomarxisme, feminisme dan etnoreligius. Pada dasarnya, kritikus-kritikus anti-sains itu menunjukkan ketimpangan pikir yang mendasari metodologi sains yang berujung pada mudahnya sains dimanfaatkan secara negatif tanpa rasa bersalah sedikitpun dari kalangan sains. Suatu kondisi yang menyedihkan dan memprihatinkan

4. Pemaknaan Sains Barat Terhadap Lingkungan Hidup

Cara pandang manusia atas lingkungan, sangat berpengaruh pada wajah asli lingkungan. Sebab, cara pandang telah menyebabkan adanya pemaknaan yang berbeda- beda atas bumi oleh manusia berdasarkan paradigmanya. Nilai dan arti dari lingkungan hidup sangat ditentukan oleh pola pikir, sikap hidup, tujuan dan kecakapan teknik manusia. Oleh karenanya, wajah lingkungan alam asli akan berubah menjadi wajah alam budaya.

Ilmu pengetahuan Barat telah memunculkan pola pikir yang pada akhirnya telah membentuk pola tindakannya. Berdasarkan pemaparan tentang karakteristik sains Barat

(12)

modern pada pembahasan sebelumnya, Sains Barat modern telah membentuk pola dominasi tersendiri, yaitu materialisme, hedonisme, dan juga eksloitatif terhadap lingkungan.

Hamdani mengungkapkan secara garis besar aktivitas sains Barat modern berimplikasi buruk pada lingkungan hidup yaitu: Pengambilan sumber daya alam (Eksploitatif), penggungundulan hutan (Distruktif), serta pencemaran. Pengambilan sumber alam secara besar-besaran menggunakan perangkat teknologi modern, menjadi ancaman tidak tersedianya sumber alam lagi bagi generasi mendatang, penebangan hutan secara besar-besaran menyebabkan terjadinya penggundulan hutan yang juga mendorong semakin meningkatnya suhu udara dimuka bumi ini, Sistem pengelolaan limbah industri yang tidak di tata secara baik, menyebabkan lingkungan tidak hanya kotor, tetapi juga tercemar, serta sejumlah kasus lainya.

Krisis ini pada kenyataannya bukanlah krisis ekologis belaka, melainkan juga krisis nilai dan pemaknaan dari manusia itu sendiri mengenai perayaan hidup secara menyeluruh. Dengan demikian, krisis tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kosmos.

Karena prinsip kosmos adalah keseimbangan dan ke saling melengkapi, maka krisis ekologis lebih tepat disebut sebagai krisis keseimbangan dan teralienasinya manusia dengan entitas lainnya. Sehingga Kita dapat menyimpulkan eleman kunci grand narasi berdasarkan tiga titik utama.

Pertama, Munculnya kapitalisme industri di Eropa serta wilayah lainnya disertai dengan menurunnya kepercayaan dan praktik keagamaan dan magis yang sebelumnya merupakan tradisi yang berlangsung dikalangan masyarakat pra-industrial.

Perkembangan kapitalisme industri pada level ekonomi dibarengi dalam ruang budaya oleh sekularisasi kepercayaan dan praktik serta oleh progresivitas rasionalisasi kehidupan sosial.

Kedua, Menurunnya peran agama dan magis menjadi landasan bagi munculnya sistem kepercayaan secular atau ideology yang diarahkan untuk memobilisir tindakan politik dengan tanpa mengacu pada nilai dan kehidupan yang lain. Kesadaran agama dan mistis masyarakat pra- industrial digantikan oleh kesadaran praktis yang berakar dari kolektivitas sosial dan diawali oleh sistem kepercayaan secular.

Ketiga, Perkembangan tersebut melahirkan “era ideologi” yang berujung pada terjadinya gerakan revolusioner radikal pada akhir abad ke 19. Gerakan tersebut seperti

(13)

tulisan-tulisan para ahli teori 1950-an dan 1960-an merupakan manesfestasi akhir era ideology. Saat ini kehidupan politik merupakan persoalan reformasi bertahap dan sebagai akomodasi pragmatic terhadap kepentingan pihak yang bertikai. Tindakan sosial dan politik tak banyak oleh sistem kepercayaan sikular yang menuntut perubahan sosial secara radikal. Karena itu, berdasarkan pendukung pandangan ini, kita sedang menyaksikan tidak hanya akhir era ideology tapi akhir dari ideologi itu sendiri.

C. The Islamic Worldview sebagai Metodologi Ilmu

Dalam perkembangan kajian filsafat ilmu, kita mengenal dua pandangan yang berseberangan, yakni Islamic Wolrdview dan Western Worldview. Pandangan ini saling berseberangan karena perbedaan penempatan sebuah sebuah konsep dasar yang esensial dan mencakup beragam lini kehidupan. Agama Islam lahir di tanah jazirah Arab, lalu berkembang meluas dan menjadi sakaguru secara universal selama berabad- abad sebelum Eropa berkembang pesat seperti saat ini (Mubarok 2020). Mereka memang memiliki masa jahiliyah sebelum hadirnya Nabi Muhammad saw. dan memiliki sejarah panjang peradaban manusia yang telah maju dan diakui sebagai warisan dunia yang tidak ternilai. Memasuki tahun 750 SM saat dinasti abbasiyah mulai membangun pondasi kekhalifahannya, Eropa pada tahun yang sama berada pada masa kekaisaran Yunani kuno dengan memiliki peradaban maju yang sama. Kedua peradaban yang berlokasi di belahan bumi yang berseberangan nyatanya saling terkait khususnya dalam hal pengembangan ilmu penngetahuan. 6

Semuanya berubah ketika peradaban Romawi muncul pada abad ke-8 sebelum masehi dan menghancurkan keseimbangan peradaban Yunani dengan peradaban muslim dengan menguasai wilayah kekhalifahan, dan mengubah beberapa tatanan keseimbangan dengan peperangan atas dasar perebutan kekuasaan dan menghancurkan bangunan-bangunan serta memusnahkan hampir seluruh bukti-bukti kemajuan peradaban yang dimiliki oleh umat muslim. Serta menjadikan peradaban Yunani sebagai pewaris keilmuan filosofis, ilmu alam, ilmu sosial, dan teknologi (Rozak 2017).

Dimulai dari ekspansi yang dilakukan Romawi terjadi Perang Salib, suatu peperangan terbesar sepanjang sejarah yang berlangsung dalam tiga masa. Ketika bangsa Romawi memenangkan peperangan ini, mereka langsung menerapkan doktri kristenisasi dan dogma-dogma yang secara filsafat keilmuan menempatkan sesuatu yang metafisik

6 Nugroho, A. F. (2018). Krisis Sains Modern Krisis Dunia Modern Dan Problem Keilmuan.

(14)

dalam sebuah perwujudan yang tampak. Hal ini dikemudian hari menimbulkan berbagai keraguan dalam akal dan nalar manusia, serta didorong oleh kemunculan beberapa teori baru pada abad pertengahan yang bertentangan dengan teori yang dikemukanan oleh pihak rohaniawan gereja. Sehingga pada akhirnya ilmu pengetahuan dan agama dipisahkan, serta menganggap agama memiliki kemuliaan dan ilmu pengetahuan hanya difungsikan untuk sebuah analisis skeptis mengenai hubungan antar manusia saja.

Pemisahan inilah yang mengantarkan peradaban barat pada masa pertengahan ke masa kegelapan (dark age). Sedangkan tanah arab sedang mulai kembali bangkit serta kembali mengambil daerah teluk hingga konstantinopel dari tangan penguasa Romawi. Setelah kekaisaran Romawi runtuh, Eropa memasuki masa baru sebagai sebuah kerajaan yang terpecah. Mereka masih dalam masa kegelapan dengan posisi gereja sebagai pengatur utama dan yang menentukan kenaikan tahta seorang raja. Paus tidak hanya menyampaikan wahyu dan memimpin gereja duniawi, tetapi juga turut andil dalam keputusan-keputusan kerajaan. Islam sebagai jembatan peradaban menyimpan dan memberikan bukti-bukti mengenai perkembangan keilmuan manusia baik dari segi filsafat, politik, hukum, antropologi, dan sebagainya dari masa Yunani kuno. Namun sangat disayangkan, peradaban Barat mengubah nama-nama para filsuf muslim yang mengembangkan keilmuan tersebut dengan nama-nama Barat, dan menganggap mereka berasal dari kalangan cendekiawan Barat juga. Sebagai contoh nyata ialah seorang Avicenna atau Ibnu Sina, seorang ilmuan muslim yang mencetuskan mengenai ilmu kedokteran modern dan hasil pemikirannya seluruhnya tertuang dalam bukunya yakni The Cannon of Medicine, yang hingga saat ini menjadi buku pengantar wajib mahasiswa kedokteran. Secara nyata, pengetahuan yang dikembangkan merujuk pada tuntunan Al-Qur’an dan Hadis yang dibuktikan secara empiris melalui penelitian. Hingga Eropa memasuki masa Pencerahan atau Rennaissance, ketika agama dan ilmu pengetahuan telah dipisahkan dan para cendekiawan bersepakat untuk menggunakan sebuah keraguan sebagai sarana untuk mencari sebuah kebenaran yang ternyata dimaksud dalam sebuah wujud tertampak.

Umat muslim seakan-akan diarahkan untuk mengikuti pandangan mereka yang cenderung skeptis, hingga umat muslim mulai terbelah dengan adanya paham sekularisme dan secara perlahan tampak jelas memisahkan antara agama dan pengetahuan khususnya dalam hal gaya hidup.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Aji, R. H. S. (2016). Dalam Islam. In Jurnal Filsafat dan Budaya Hukum (Vol. 1, Issue 4).

Al-Jauhari, A. (2021). Kata Pengantar. Dialog, 44(1), i–Vi.

https://doi.org/10.47655/dialog.v44i1.470 BASYA, F. (n.d.). Sumbangan Keilmuan Islam.

Harun, H. (1994). Sains Modern dan Permasalahan Manusia. Jurnal Filsafat, 23–33.

Nugroho, A. F. (2018). Krisis Sains Modern Krisis Dunia Modern Dan Problem Keilmuan.

Jurnal Penelitian Agama, 19(2), 80–95. https://doi.org/10.24090/jpa.v19i2.2018.pp80- 95

Rahmawati, M., Aini, F. N., Nuraini, Y., & Mahdi, B. M. (2020). Islamic Worldview : Tinjauan Pemikiran Syech Muhammad Naquib Al-Attas dan Budaya Keilmuan Dalam Islam. NALAR: Jurnal Peradaban Dan Pemikiran Islam, 4(2), 77–91.

https://doi.org/10.23971/njppi.v4i2.2165

Sarwat, Ahmad, Lc., M. (2019). Islam & Teknologi. Rumah Fiqih Publishing.

Soleh, A. K. (2020). Integrasi Quantum Agama dan Sains.

Tanjung, A. (2020). Karakteristik dan Implikasi Sains Barat Modern Terhadap Lingkungan Hidup. Indonesian Journal of Islamic Theology and Philosophy, 1(2), 23–44.

https://doi.org/10.24042/ijitp.v1i2.3728

Wahyudi, T. (2017). Peran Pendidikan Islam dalam Membangun dan Menguatkan Worldview Islam padaMasyarakat Muslim di Tengah Arus Globalisasi. Cendekia:

Journal of Education and Society, 15(2), 319.

https://doi.org/10.21154/cendekia.v15i2.1053

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, secara sederhana dapat diartikan bahwa asbabul wurud adalah sebab-sebab datangnya sebuaah hadis. Artinya ilmu ini membahas mengenai sebab mengapa suatu hal

Dasar pemikiran kenapa Ketuhanan Yang Maha Esa dijadikan sila pertama dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila – Bung Karno – mempunyai keyakinan bahwa

Invers : Jika ketiga sisi pada sebuah segitiga memiliki panjang yang tidak sama dengan ketiga sisi pada sebuah segitiga lain, maka kedua segitiga tersebut tidak

Berdasar dari pengertian logika yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa logika merupakan cabang filsafat yang mempelajari, menyusun, mengembangkan, dan membahas

manusia bukan ilmu pengtahuan maupun objek lainnya. 3) Epistemologi islam dalam pandangan filosof muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan

Semua para mujtahid yang melakukan ijtihadnya tanpa adanya penyandaran kepada Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ maupun Qiyas, maka ijtihad itu disebut dengan Istihsan,

Pada saat pertama kali ilmu vektor dikembangkan sekitar abad ke-17, hanya dikenal vektor-vektor di R 2 dan R 3 saja, tetapi dalam perkembangannya yakni

Misalnya ilmu hadis bercampur dengan ilmu ushhul fiqh, seperti dalam kitab Ar-Risalah yang ditulis oleh Asy-Syafi‟i atau cmapur dengan fiqh seperti kitab Al-Umm dan solusi