• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU. Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah. Islam dalam Disiplin Ilmu (IDI) Dosen Pengampu : Amirullah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU. Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah. Islam dalam Disiplin Ilmu (IDI) Dosen Pengampu : Amirullah"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PARADIGMA DAN TEKNIK INTEGRASI ILMU Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Islam dalam Disiplin Ilmu (IDI) Dosen Pengampu : Amirullah

Disusun Oleh : Kelompok 4

Erni Hofifah 1901095017 Rakina Ristiadi 1901095022 Aida Fadjriani 1901095048 Mirna Sri Sulistiani 1901095050 Faizzati Nadhirah 1901095051

6A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR HAMKA

2022

(2)

A. Paradigma Dalam Integrasi Ilmu

Paradigma dapat diartikan sebagai seperangkat keyakinan atau kepercayaan yang mendasari seseorang dalam melakukan segala tindakan1. Ilmu ialah suatu cara untuk mengetahui. Yang hendak diketahui adalah realitas, yakni segala sesuatu, baik yang konkret maupun yang abstrak2. Ilmu telah berkembang demikian pesat dengan munculnya pendekatan - pendekatan baru, seperti pendekatan interdisipliner, multidisipliner, dan sebagainya. Ilmu bahkan telah menjadi semacam way of life dan setiap aspek kehidupan manusia kini terlibat dengan praktik, proses, dan produk-produk kegiatan ilmiah. Manusiapun secara sadar atau tanpa sadar cenderung berkehidupan dengan “cara-cara ilmiah” atau sesuai dengan tuntutan dan tuntunan ilmiah pada umumnya.

Perkembangan ilmu yang demikian pesat tentu saja tidak terlepas dari karakteristiknya yang semakin terbuka, dan terintegrasi dengan kehidupan manusia. Secara lebih eksplisit, integrasi ilmu dengan berbagai aspek kehidupan tercermin dari pola hubungan timbal balik antara ilmu dengan aspek-aspek utama kehidupan manusia, yaitu teknologi, kebudayaan, filsafat, dan bahkan agama sebagai salah satu institusi sakral dalam kehidupan manusia3.

Menurut Muhammad 'Abid al-Jabiri, ada tiga model epistemologis yang sesuai di kalangan Arab - Islam yaitu epistemologi bayani,' irfani dan burhani. Al-Jabiri membedakan antara ketiga epistemologi tersebut, bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik (qiyas al-ghayb 'al al-shhid) atau meng-qiyaskan fur' kepada asl, 'irfani memberikan pengetahuan setelah melalui proses kashf penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal (kulliyat), sedangkan burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip - prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang diatur validitasnya.

M. Amin Abdullah menilai bahwa keilmuan Islam memiliki karakter yang berbeda dengan keilmuan Barat. Perdebatan, pergumulan dan perhatian keilmuan di Barat lebih terletak pada wilayah ilmu pengetahuan alam dan sebagian pada wilayah ilmu humaniora dan ilmu sosial, sedangkan keilmuan Islam lebih terletak pada wilayah humaniora klasik. Jika filsafat ilmu di Barat dikembangkan dengan perangkat rasionalisme, empirisme dan pragmatisme, maka, karena perbedaan itu, menurut Amin Abdullah pengembangan keilmuan Islam (Studi Islam)

1 Diamastuti, “Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis.”

2 Zainal Abidin Bagir, Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi - Zainal Abidin Bagir - Google Buku.

3 Idris and Ramli, Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus Integrasi Ilmu.

(3)

ke depan harus dikembangkan dengan epistemologis yang khas, salah satunya dengan apa yang disebut al-Jabiri dengan epistemologi bayani, 'irfani dan burhan.

Pengaruh pemikiran tokoh cendekiawan sebelumnya (khususnya Al-Jabiri) serta fenomena dikotomi ilmu yang muncul di masyarakat tersebut menjadikan Amin Abdullah menggagas paradigma Integrasi - Interkoneksi. Tujuannya adalah untuk menyatukan atau menghubungkan kedua ilmu tersebut, bukan berdiri sendiri-sendiri. Pemikiran Amin Abdullah sangat mengandalkan M. Abid al-Jabiri yang menggagas trilogi epistemologis, yaitu Epistemologi Bayani, Epistemologi Irfani, dan Epistemologi Burhani. Al-Jabiri adalah seorang filsuf terkenal saat itu. Pemikiran Jabiri diperoleh oleh Marxisme. Paradigma Integrasi-interkoneksi yang digagas Amin Abdullah adalah salah satu opsi pemikiran agar ragam kajian keislaman dapat berkembang dan tidak terkungkung secara lebih menyeluruh. Paradigma ini memandang bahwa antara ilmu-ilmu qauliyah / hadrah al-nass dengan ilmu-ilmu kauniyah / hadharahal- 'ilm maupun dengan hadharah al-falsafah berintegrasi dan berinterkoneksi satu sama lain.

Integrasi secara bahasa berasal dari kata (To Integrate) yang mana muncul kata Integration.

Sedangkan, Interkoneksi secara bahasa berasal dari kata (Inter dan Connect) menjadi kata Connection. Sehingga, Integrasi dapat diartikan dengan terhubung sekaligus menyatukan antara dua hal atau lebih. Interkoneksi adalah mempertemukan atau menghubungkan dua hal atau lebih (Sejarah-sosial, 2007). Bangunan paradigma keilmuan digambarkan sebagai jaring laba-laba yang mana al-Quran dan as-sunnah sebagai pusat keilmuan. Dari pusat keilmuan tersebut dapat di kembangkan pola-pemikiran dengan berbagai pendekatan dan metode yang selanjutnya akan maka ilmu-ilmu yang ada pada lapisan berikutnya, yaitu ilmu-ilmu konvensional, ilmu-ilmu alam, sosial, humaniora dan berakhir dengan ilmu - ilmu dan isu-isu kontemporer pada lapisan berikutnya4.

• Model Integrasi Ilmu

Menurut Armahedi Mahzar, setidaknya ada 3 (tiga) model Integrasi ilmu dan agama, yaitu model monadik, diadik dan triadik.

1) Model Monadik

Model yang populer di kalangan fundamentalis religius maupun sekuler. Kalangan fundamentalisme religius berasumsi bahwa agama adalah konsep universal yang mengandung semua cabang kebudayaan. Agama sebagai satu-satunya kebenaran dan sains hanyalah salah

4 Nandita, “Paradigma Dan Teknik Integrasi Ilmu Halaman 1 - Kompasiana.Com.”

(4)

satu cabang kebudayaan. Sedangkan menurut kalangan sekuler, agama hanyalah salah satu cabang dari kebudayaan. Oleh karena itu, kebudayaanlah yang merupakan ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satu-satunya kebenaran.

Dengan model monadik seperti ini, tidak mungkin terjadi koeksistensi antara agama dan sains, karena menegasikan eksistensi atau kebenaran yang lainnya.

2) Model Diadik

Model ini memiliki beberapa varian. Pertama, varian yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains membicarakan fakta alamiah, sedangkan agama membicarakan nilai ilahiyah. Varian kedua berpendapat bahwa, agama dan sains merupakan satu kesatuan yang tidak dapat diterima. Sedangkan varian ketiga berpendapat bahwa agama dan sains memiliki pertanyaan. Kesamaan inilah yang bisa dijadikan bahan Integrasi.

3) Model Triadik

Dalam model triadik ini ada ketiga yang menjembatani sains dan agama. Jembatan itu adalah filsafat. Model yang diajukan oleh kaum teosofis yang bersemboyan "tidak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran". Kebenaran adalah kebersamaan antara sains, filsafat dan agama.

menjelaskan, model ini merupakan perluasan dari model diadik, dengan memasukkan sebagai komponen ketiga yang berada di antara sains dan agama. Model ini barangkali bisa dikembangkan lagi dengan mengganti komponen ketiga, yaitu filsafat dengan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan5.

B. Ragam Paradigma Integrasi Ilmu 1) Paradigma Fungsionalis/Positivisme

Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Paradigma positivisme/fungsionalis ini telah ratusan tahun menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran realitas. Paradigma ini memiliki pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan hubungan sosial dengan pemikiran yang rasional, dengan orientasi yang pragmatik berkaitan dengan pengetahuan tepat guna dan mengedepankan regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan sosial.

Positivisme/fungsional selalu menekankan pada generalisasi untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena sebab akibat. Bagi pendukung paradigma ini penjelasan

5 Aminuddin, “Integrasi Ilmu Dan Agama: Studi Atas Paradigma Integratif-Interkonektif.”

(5)

dan deskripsi adalah hubungan antara logika, data dan hukum atau mungkin standar yang diperoleh 6.

2) Paradigma Interpretif

Dikaitkan dengan peran ilmu sosial, menurut Hendrarti paradigma interpretif memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis atas ‘socially meaningful action’ melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam latar alamiah agar dapat memahami dan menafsirkan bagaimana para aktor sosial menciptakan dan memelihara dunia sosial mereka 7. Paradigma kritis berpandangan bahwa unsur kebenaran adalah melekat pada keterpautan antara tindakan penelitian dengan situasi historis yang melingkupi. Penelitian tidak dapat terlepas dari konteks tertentu misalnya situasi politik, kebudayaan, ekonomi, etnis dan gender.

3) Paradigma Postmodern

Postmodernisme hadir dengan kritik terhadap pandangan modernisme. Salah satu kritiknya adalah ide mengenai subjektivitas yang dipegang teguh selama ini menyembunyikan kekuasaan. Ilmu-ilmu sosial didominasi oleh subjektivitas. Postmodernisme hadir dengan ciri- ciri hilangnya kedalaman dan hilangnya horizon waktu. Postmodern menerima pluralitas (fakta kemajemukan) dan pluralisme (kemajemukan pikiran). Postmodern mengakui bahwa realitas tidak terbatas pada realitas fisik saja tetapi realitas psikis dan spiritual bahkan meliputi juga realitas absolut yaitu realitas Tuhan. Sepanjang sejarah telah lama diketahui bahwa pikiran manusia dapat bekerja dalam dua macam pengetahuan (modus kesadaran) yaitu rasional (sains) dan intuitif (agama). Pengetahuan rasional diperoleh dari pengalaman yang dialami dengan berbagai objek dan peristiwa dalam lingkungan sehari-hari ini hanya bisa eksis dalam relasinya dengan pengetahuan yang lain 8.

Secara metodologi, paradigma postmodern lebih menekankan pada keakuratan dan reliabilitas melalui verifikasi dan logical discourse. Dalam aksiologi, paradigma ini lebih menekankan pada peran nilai (role of value) dalam riset artinya peneliti membawa nilai-nilai sosial yang diletakkan untuk menjustifikasi fenomena yang diinvestigasi.

6 Mohammad, Filsafat Ilmu:Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.

7 Hasanadi, “Kearifan Lokal Dalam Ungkapan Tradisional: Membaca Ulang Karakteristik Masyarakat Pasaman Barat Local Wisdom At Traditional Expressions: Read Repeated Character By People of Pasaman Barat.”

8 Muawanah, “Postmodern : ( The Best ) Paradigm ?”

(6)

4) Paradigma Kritis

Paradigma kritikal merupakan bagian dari pemikiran Humanis Radikal yang dapat ditelusuri pada doktrin idealisme Jerman dan pemikiran Kantian. Paradigma ini berdiri pada pemikiran bahwa individu menciptakan dunia (realitas) dimana ia tinggal. Paradigma ini lahir untuk memperbaiki kelemahan paradigma sebelumnya (interpretif) dengan cara melakukan pembebasan dan perubahan.

Tujuan paradigma teori ini adalah to emancipate dan to transform. Paradigma ini beranggapan bahwa suatu teori tidak cukup bila hanya bisa menafsirkan. Justru yang penting adalah suatu teori harus bisa dan mampu membebaskan dan mengubah. Tanpa unsur pembebasan dan perubahan, suatu teori tidak bisa dikategorikan sebagai teori kritis (Triyuwono, 2006).

Paradigma ini melakukan pembebasan dan perubahan pada tingkat teori sekaligus juga pada tingkat praktik. Pada tataran teori, pembebasan dan perubahan dapat dilakukan sejak pada aspek metodologi sampai pada teori itu sendiri. Sedangkan pada tataran praktik paradigma ini menggoyang eksistensi/kemapanan paradigma lain (positivis). Paradigma ini menganggap bahwa masyarakat yang normal adalah masyarakat yang selalu berubah.

Teori kritis memberi kerangka filosofis dan perspektif dari mana memulai membaca ‘objek sosial’ dan bagaimana kerangkanya. Teori kritis telah menunjukkan bagaimana mencari dan memaknai realitas, bahkan jika perlu melakukan reinterpretasi. Kelemahan dari paradigma ini menurut Triyuwono (2006) adalah pembebasan dan perubahan dalam paradigma ini hanya sebatas fisik, sehingga terperangkap dalam dunia materi.

C. Contoh Praktik Integrasi Ilmu

Konsep integrasi yang dikembangkan di UIN memiliki karakteristik yang berbeda. Perbedaan ini terutama tampak pada aspek filosofis dan epistemologis yang dianut oleh masing-masing UIN. Paradigma epistemologis yang dikembangkan di masing-masing UIN sebahagian besarnya sangat dipengaruhi oleh pandangan filosofis masing-masing penggagas utamanya.

Berikut ini diuraikan konsep integrasi keilmuan yang dianut dan dikembangkan di tigas UIN:

Jakarta, Yogyakarta, dan Malang.

(7)

1. UIN Jakarta

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggunakan pola integrasi yang ditawarkan Azyumardi Azra, yang kemudian diimplementasikan secara konkret mulai tahun 2002 pada saat konversi IAIN menjadi UIN. Walaupun diyakini bahwa akar-akar intelektual UIN Jakarta sudah diletakkan para pendahulunya seperti Harun Nasution dan Nurcholish Madjid.

Azyumardi Azra menawarkan tiga alternatif model integrasi untuk dikembangkan pada UIN Jakarta, sebagai berikut.

• Pertama, “Model Universitas al-Azhar Mesir”, dimana fakultas -fakultas agama berdiri berdampingan dengan fakultas - fakultas umum. Fakultas - fakultas ini cenderung terpisah satu sama lain, walaupun tetap di bawah satu payung universitas.

• Kedua, “Model Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)”. Pada model ini fakultas-fakultas umum berdampingan dengan fakultas agama yang terdiri dari berbagai jurusan, seperti jurusan tarbiyah, jurusan syariah, dll.

• Ketiga, “Model Universitas Islam Antarbangsa (UIA) Kuala Lumpur”. Dalam model ini ilmu dibagi menjadi revealed knowledge (ilmu kewahyuan) yang memunculkan fakultas agama dan acquired knowledge (ilmu perolehan) yang memunculkan fakultas - fakultas umum, seperti: teknik, kedokteran, ekonomi, psikologi, antropologi, dan sebagainya.

Dalam perspektif UIN Jakarta, semua ilmu secara epistemologis bersumber dari Tuhan. Wahyu Tuhan mewujud dalam dua hal, yakni ayat-ayat Qur’âniyyah yang tertulis di dalam al-Qur’ân, dan ayat-ayat kauniyyah yang tersebar di jagad raya. Umat Islam perlu mempelajari ayat-ayat Qur’âniyyah dan pada saat yang sama juga perlu mempelajari ayat-ayat kauniyyah, karena dengan mempelajari keduanya umat Islam dapat menemukan berbagai macam ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dalam kehidupan.

Reintegrasi keilmuan UIN Jakarta menganut paradigma integrasi dialogis, yakni cara pandang terhadap ilmu yang terbuka dan menghormati keberadaan jenis-jenis ilmu yang ada secara proporsional dengan tidak meninggalkan sifat kritis. Dengan demikian ada 2 prasyarat untuk terwujudnya integrasi ilmu dialogis, yakni terbuka dan kritis. Terbuka artinya suatu ilmu atau sekumpulan ilmu dapat bersumber dari agama dan ilmu-ilmu sekuler yang diasumsikan dapat bertemu saling mengisi secara konstruktif. Sedangkan kritis artinya kedua jenis keilmuan

(8)

dalam ber koeksistensi dan berkomunikasinya terbuka untuk saling mengkritik secara konstruktif.

Argumentasi mengapa UIN Jakarta memilih paradigma integrasi ilmu dialogis adalah sebagai berikut. Pertama, alasan substantif. Bagi UIN Jakarta ilmu pengetahuan itu mempunyai cara pandang yang terbuka dan objektif. Terbuka artinya ilmu pengetahuan akan terus berkembang seiring dengan temuan baru. Objektif artinya secara normatif ilmu pengetahuan memiliki ruang universalitas untuk diaplikasikan dan diuji ulang oleh siapapun. Kedua, alasan sosial.

Dengan menggunakan paradigma ilmu dialogis diharapkan UIN Jakarta mampu memperluas wilayah komunikasi dan wilayah partisipasi dalam pendidikan, pengajaran, pengembangan dan pemanfaatan ilmu. Ketiga, alasan politis. Dengan menggunakan paradigma ilmu dialogis, UIN Jakarta dapat mengembangkan sikap inklusif sebagai strategi pengembangan ilmu dan pergaulan UIN Jakarta dalam konteks global, yang pada akhirnya dapat diterima oleh berbagai komunitas yang beragam. Keempat, alasan ekonomis, dimana UIN Jakarta mempertimbangkan hubungan antara pendidikan dan penelitian dengan kebutuhan pasar kerja9.

Reintegrasi keilmuan UIN Jakarta dikembangkan pada tiga level: pertama, level filosofi;

kedua, level kurikulum; dan ketiga, level program akademik. Pada tataran filosofis, UIN Jakarta mengembangkan dua langkah strategis. Pertama, mengembangkan suasana dialogis antara berbagai disiplin ilmu di lingkungan universitas, baik antara disiplin ‘sekuler’ dengan

‘agama’ maupun diantara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Kedua, membangun integrasi keilmuan dengan ditinjau dari tiga dasar filsafat ilmu, yakni: ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

Pada ranah kurikulum, UIN Jakarta merumuskan konsep integrasi dialogis dalam empat bentuk. Pertama, penataan program studi/jurusan yang menggambarkan adanya pengakuan ilmu lain yang tidak serumpun. Hal ini antara lain tercermin dalam pemasukan program studi umum ke dalam fakultas agama, atau sebaliknya. Kedua, penataan disiplin ilmu di mana UIN Jakarta menyajikan rumpun ilmu-ilmu Qur’âniyyah dan kauniyyah dengan meniscayakan bidang ilmu dan disiplin ilmu yang yang berasal dari sumber ilmu yang tidak sama: wahyu, akal, intuisi, dan pancaindra. Dalam konteks ini beberapa jenis ilmu dari rumpun berbeda dapat dipelajari melalui program studi apa pun melalui Mata Kuliah Umum (MKU), meliputi

9 Efrinaldi, Andiko, and Taufiqurrahman, “The Paradigm of Science Integration in Islamic University: The Historicity and Development Pattern of Islamic Studies in Indonesia.”

(9)

Kewarganegaraan, Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, IAD/ISD/IBD, dan Studi Islam. Sementara Mata Kuliah Dasar Khusus (MKDK) diberikan lintas program studi dalam satu fakultas. Ketiga, pengembangan mata kuliah lintas disiplin ilmu. Pola ini dilakukan dengan memberikan mata kuliah dari disiplin ilmu lain dalam disiplin ilmu tertentu.

Sebagai contoh, disiplin ilmu dakwah mengembangkan mata kuliah Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) dikaitkan dengan ilmu lingkungan dari disiplin ilmu sains dan ilmu sosial. Keempat, penerapan Sistem Kredit Semester (SKS). Dengan sistem SKS, mahasiswa dapat mengambil beberapa mata kuliah yang masuk dalam rumpun ilmu - ilmu Qur’âniyyah maupun kauniyyah melalui MKU yang lintas fakultas dan MKDK yang lintas program studi.

Mahasiswa juga dapat mengambil Mata Kuliah Keahlian (MKK) pada fakultas lain untuk mendukung keilmuan integratif. Misalnya mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dapat mengambil MKK pada Fakultas Psikologi untuk mendukung penulisan skripsi.

Pada tataran program akademik, UIN Jakarta mengembangkan beberapa pilar program untuk mendukung konsep integrasi dialogis, yakni: penguatan tradisi riset berbasis integrasi ilmu dialogis, penguatan pembelajaran berbasis integrasi, dan peningkatan kualitas tenaga pengajar dengan mindset integrasi dialogis.

Penguatan tradisi riset diimplementasikan oleh UIN Jakarta untuk membangun distingsi atas PTAIN lainnya. UIN Jakarta mendeklarasikan diri sebagai universitas riset. Untuk itu UIN Jakarta melakukan pemantapan lembaga-lembaga penelitian dengan cara mendukung pusat - pusat penelitian dan kajian yang telah ada serta mendorong tumbuhnya pusat-pusat penelitian yang memiliki minat dan konsentrasi integrasi ilmu dialogis, terutama pada fakultas-fakultas ilmu alam dan humaniora.

Penguatan pembelajaran integratif dikembangkan UIN Jakarta dengan meningkatkan kualitas pembelajaran dan memberikan berbagai kemudahan dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar dengan memanfaatkan sumber belajar yang variatif semaksimal mungkin dalam rangka menerapkan konsep integrasi (Azra 2013). Dalam rangka hal itu UIN Jakarta juga menggagas penambahan dosen lintas disiplin untuk mendukung pembelajaran lintas disiplin melalui per teaching, guna mengaplikasikan integrasi dialogis.

(10)

2. UIN Yogyakarta

UIN Yogyakarta menggunakan model integrasi ‘jaring laba - laba keilmuan’. Model ini banyak mengadopsi gagasan Amin Abdullah dalam pengembangan model integrasi- interkoneksi keilmuan.

Konsekuensi dari pendekatan integrasi-interkoneksi dengan skema jaring laba-laba keilmuan semacam ini dalam tataran struktur keilmuan dan ke fakultasan menurut hemat penulis, telah membawa kerancuan pada penempatan beberapa program studi. Sebagai contoh, Fakultas Dakwah yang kemudian berubah menjadi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) menjadi rancu dengan keberadaan Program Studi Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISH). Demikian halnya dengan Program Studi Pendidikan Matematika, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia, dan Pendidikan Biologi yang seharusnya masuk ke wilayah Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, sekarang ini bernaung di bawah Fakultas Sains dan Teknologi (FST).

Amin Abdullah berargumentasi tentang keunggulan model integratif – interkonektif dengan membandingkannya dengan model single entity ini maupun isolated entities. Model single entity ini pada umumnya mengklaim bahwa cukup dirinya sendiri saja yang dapat mengatasi permasalahan kemanusiaan. Dalam konteks perbandingan dengan entitas lain, model ini menunjukkan corak keangkuhan ilmu pengetahuan. Model hubungan ini menggambarkan keterpisahan antara wilayah ilmu satu dengan lainnya. Akibatnya tidak terjadi integrasi keilmuan dalam menyelesaikan persoalan kemanusiaan, sehingga peradaban terkesan maju, namun sesungguhnya terjadi krisis akibat terisolasinya wilayah keilmuan. Masing masing wilayah ilmu tidak mau menyadari keterbatasan – keterbatasannya sehingga memunculkan ketimpangan pada dimensi tertentu.

Model interkoneksi ini melahirkan kesadaran untuk saling mengisi dan melengkapi atas keterbatasan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah ilmu. Dengan model ini maka persoalan kemanusiaan dapat diselesaikan secara komprehensif. Model inilah yang ideal untuk dikembangkan pada UIN.

Model UIN Yogyakarta ini memiliki kemiripan dengan model paradigma integritas transdisipliner yang digagas Noeng Muhadjir, namun lebih tampak interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu. Gagasan Noeng Muhadjir terbatas pada konsultasi ilmu kemanusiaan terhadap ilmu ketuhanan dimana ilmu - ilmu humaniora berkonsultasi terhadap aqidah, ilmu-ilmu sosial berkonsultasi dengan akhlak, dan sains teknologi berkonsultasi pada syariah

(11)

3. UIN Malang

UIN Malang menggunakan model integrasi keilmuan ‘pohon ilmu’, yang dipopulerkan oleh Imam Suprayogo. Suprayogo menyatakan bahwa Tuhan memerintahkan manusia untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan cara memikirkan ciptaan langit dan bumi, misalnya dengan kalimat “tidakkah kau perhatikan bagaimana unta diciptakan, langit ditinggikan, gunung ditegakkan, dan bumi dihamparkan”. Ayat tersebut merupakan anjuran untuk menggali ilmu seluas - luasnya. Jadi baik ayat-ayat yang tertulis maupun yang berupa kejadian alam semuanya wahyu Allah. Wahyu Allah yang mewujud dalam dua hal tersebut merupakan sumber semua cabang ilmu pengetahuan. Cara pandang epistemologi ini melahirkan konsep ‘pohon ilmu’ yang kemudian menjadi model integrasi keilmuan UIN Malang.

Wa rumpun mata kuliah pada UIN Malang dikategorikan menjadi tiga wilayah. Pertama, rumpun mata kuliah ilmu alat, yakni Pancasila, Bahasa Arab dan Inggris, Filsafat, Ilmu Alamiah Dasar dan Ilmu Sosial Dasar digambarkan sebagai akar yang harus dimiliki dan dikuasai secara kokoh untuk mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Kedua, rumpun mata kuliah ilmu pokok, yakni al-Qur’ân, al-Sunnah, sirah Nabawiyyah, Pemikiran Islam, dan Tamadun Islam, digambarkan sebagai batang utama pohon. Rumpun mata kuliah ini merupakan sumber ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh mahasiswa. Ketiga, rumpun mata kuliah ilmu-ilmu pengembangan, yakni Humaniora dan Budaya, Tarbiyah, al-Ahwâl al-Syakhsiyyah, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi Islam, Ilmu-ilmu Kesehatan, Informatika, dan Arsitektur. Ilmu- ilmu tersebut merupakan pengembangan dari ilmu pokok.

Mencermati konsep integrasi tiga UIN, dapat ditarik benang merah titik-titik kesamaan dan ketidaksamaan di antara ketiganya. Titik persamaannya adalah pada konsep epistemologi di mana ketiganya menempatkan al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai pusat dan sumber dari ilmu pengetahuan. Sedangkan letak perbedaannya secara ontologis, masing-masing menempatkan cabang ilmu secara berbeda.

Bagi UIN Jakarta secara ontologis memang ada keniscayaan berbagai rumpun ilmu yang merupakan entitas sendiri. Berbagai rumpun ilmu ini harus diakui adanya dan ditempatkan sejajar. Oleh karenanya misi integrasi UIN Jakarta adalah mendialog-kan berbagai rumpun ilmu secara terbuka, dialogis, dan kritis. Inilah paradigma keilmuan integratif yang menjadi landasan konsep integrasi dialogis khas UIN Jakarta.

(12)

Konsep integrasi UIN Yogyakarta lebih ditunjukkan oleh karakteristik interkoneksi tiga pilar keilmuan. Tiga pilar keilmuan diperlakukan secara interseksi dan interkoneksi sehingga memunculkan cabang-cabang turunan disiplin ilmu. Sementara bagi UIN Malang, integrasi ilmu lebih ditekankan pada penempatan al-Qur’ân dan al-Sunnah sebagai inti yang harus dikembangkan melalui observasi, eksperimen dan penalaran logis untuk mendapatkan ilmu turunan al-Qur’ân dan al-Sunnah yang kemudian melahirkan bidang ilmu kealaman, sosial, dan humaniora.

(13)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, Luthfi Hadi. “Integrasi Ilmu Dan Agama: Studi Atas Paradigma Integratif- Interkonektif.” Kodifikasia 4, no. 1 (2010): 181–214.

Diamastuti, Erlina. “Paradigma Ilmu Pengetahuan Sebuah Telaah Kritis.” Jurnal Akuntansi Universitas Jember 10, no. 1 (2015): 61. https://doi.org/10.19184/jauj.v10i1.1246.

Efrinaldi, Efrinaldi, Toha Andiko, and Taufiqurrahman Taufiqurrahman. “The Paradigm of Science Integration in Islamic University: The Historicity and Development Pattern of Islamic Studies in Indonesia.” Madania: Jurnal Kajian Keislaman 24, no. 1 (2020): 97.

https://doi.org/10.29300/madania.v24i1.3326.

Hasanadi. “Kearifan Lokal Dalam Ungkapan Tradisional: Membaca Ulang Karakteristik Masyarakat Pasaman Barat Local Wisdom At Traditional Expressions: Read Repeated Character By People of Pasaman Barat.” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 4, no. 1 (2018): 1032–47.

Idris, Saifullah, and Fuad Ramli. Dimensi Filsafat Ilmu Dalam Diskursus Integrasi Ilmu, 2016.

Masyitoh, D., Mustika, R. D., Alfaza, A. S., Hidayatullah, A. F., & Umar Al Faruq, A. H.

(2020). Amin Abdullah dan Paradigma Integrasi Interkoneksi. Attractive: Innovative Education Journal, 2(1), 108-116. http://dx.doi.org/10.51278/aj.v2i1.22

http://www.attractivejournal.com/index.php/aj/article/view/22/19

Mohammad, Muslih. Filsafat Ilmu:Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma Dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, 2016.

Muawanah, Umi. “Postmodern : ( The Best ) Paradigm ?” Jurnal Akuntansi Indonesia 6, no.

1 (2010): 53–64.

https://scholar.google.com/scholar?hl=en&as_sdt=0%2C5&q=post+modern+dalam+per spektif+etika+akuntansi+&oq=#d=gs_qabs&u=%23p%3DWjp04SXvcCsJ.

Nandita, Ardhia. “Paradigma Dan Teknik Integrasi Ilmu Halaman 1 - Kompasiana.Com.” 23 April 2021. Accessed March 24, 2022.

https://www.kompasiana.com/ardhianandita4698/6082f0038ede483704623f72/paradigm a-dan-teknik-integrasi-ilmu.

Tajuddin, T., & Awwaliyah, N. M. (2021). Paradigma Integrasi-Interkoneksi Islamisasi Ilmu Dalam Pandangan Amin Abdullah. Aksiologi: Jurnal Pendidikan dan Ilmu Sosial, 1(2), 56-61. http://aksiologi.pubmedia.id/index.php/aksiologi/article/view/11/13

Zainal Abidin Bagir. Integrasi Ilmu Dan Agama: Interpretasi Dan Aksi - Zainal Abidin Bagir - Google Buku, 2005.

https://books.google.co.id/books?id=pWw1wXbzX1cC&printsec=copyright&hl=id#v=o nepage&q&f=false.

Referensi

Dokumen terkait

Bangsa dan Negara Indonesia terdiri dariberbagai macam unsure yang bentuknya yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan, serta agama yang secara keseluruhan

Media pembelajaran adalah media yang digunakan dalam pembelajaran, yaitu meliputi alat bantu guru dalam mengajar serta sarana pembawa pesan dari sumber belajar ke

1) Perbedaan pendapat tentang valid – tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang shahih

Invers : Jika ketiga sisi pada sebuah segitiga memiliki panjang yang tidak sama dengan ketiga sisi pada sebuah segitiga lain, maka kedua segitiga tersebut tidak

Dan dalam pembahasan tersebut harus mempertimbangkan faktor – faktor penentu kepribadian yang beragam dari faktor genetis hingga faktor yag secara luas seperti faktor

manusia bukan ilmu pengtahuan maupun objek lainnya. 3) Epistemologi islam dalam pandangan filosof muslim, terlebih dahulu harus benar-benar dipahami bahwa pengetahuan

Seseorang tidak bisa melihat suatu benda yang seharusnya dapat dilihat dengan mata normal, itu bertanda mata orang tersebut mengalami gangguan berupa kelainan pada

Seakan-akan engkau melihatNya, dan sekiranya engkau tidak dapat melihatNya maka sungguh dia melihatmu.”Hadis ini menjelaskan bahwa bangunan ilmu pengetahuan islam adalah