• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PANYABUNGAN

KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

Nama : Nur Hayati NIM : 130600021

Pembimbing : Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort(K)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(2)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Ortodonsia Tahun 2017

Nur Hayati

Muslim Yusuf, drg., Sp. Ort (K)

Prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara

xi + 32 halaman

Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk yang menduduki urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.

Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian antara hubungan gigi atau hubungan rahang yang menyimpang dari normal. Kabupaten Mandailing Natal terletak dibagian selatan Provinsi Sumatera Utara jauh dari perkotaan dengan tenaga medis dokter gigi hanya 16 orang masalah gigi dan mulut sebesar 24,1% karena infrastruktur masih menjadi hambatan untuk memberikan pelayanan kesehatan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle dan jenis kelamin pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan.Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dengan jumlah sampel 324 orang. Data sampel diambil dengan cara mencatat hasil pemeriksaan klinis rongga mulut dan dilakukan foto intraoral sebagai dokumentasi. Kemudian data diolah secara komputerisasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram. Dari penelitian ini diperoleh bahwa prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan berdasarkan klasifikasi Kelas I Angle adalah 221 orang dengan persentase 68,2% yang terdiri dari 134 perempuan dan 87 laki-laki, Kelas II Angle adalah 55 orang dengan persentase 17,0% yang terdiri dari 25 perempuan dan 30 laki- laki dan Kelas III Angle adalah 48 orang dengan persentase 14,8% yang terdiri dari

(3)

28 perempuan dan 20 laki-laki. Berdasarkan usia hasil maloklusi Kelas I Angle dengan persentase paling tinggi adalah usia 12 tahun 71,3% dan persentase paling rendah usia 13 tahun 64,3%. Maloklusi Kelas II Angle dengan persentase paling tinggi adalah usia 10 tahun 20,5% dan persentase paling rendah adalah usia 13 tahun 11,9%. Maloklusi Kelas III Angle persentase paling tinggi adalah usia 13 tahun 23,8% dan persentase paling rendah adalah usia 10 tahun 9,6%.

Daftar rujukan: 34 (2007-2016).

(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan tim penguji

Medan, 09 Maret 2017

Pembimbing: Tanda tangan

Muslim Yusuf, drg., Sp. Ort (K)

NIP: 195808281988031002 ...

(5)

TIM PENGUJI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji

TIM PENGUJI

KETUA : Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K) ANGGOTA : 1. Mimi Marina Lubis, drg.,Sp.Ort

2. Hilda Fitria Lubis, drg.,Sp.Ort

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Prevalensi Maloklusi Pada Anak Sekolah Dasar di SD Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Tak lupa pula penulis hadiahkan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan untuk kedua orangtua tercinta H. Mardan Rangkuti, SP.MM dan Hj. Fauziah, S.Pd atas segala do’a, motivasi dan materiil juga untuk kakak tercinta dr. Fatmala Hayati yang selalu mendoakan dan memberi motivasi.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat banyak bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak juga. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati dan penghargaan yang tulus, penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Dr. Trelia Boel, drg., Sp. RKG sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort (K) sebagai Ketua Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Hilda Fitria Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai koordinator skripsi di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara sekaligus dosen penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis.

4. Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort (K), sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan banyak waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Mimi Marina Lubis, drg., Sp.Ort., sebagai dosen penguji skripsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk penulis dan dosen pembimbing akademik yang telah memberi arahan dan bimbingan kepada penulis.

(7)

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara terutama staf dan pegawai di Departemen Ortodonsia Fakultas Kedokteran Gigi atas bantuan dan motivasinya.

7. Kepala Sekolah dan Pihak Sekolah yaitu SDN No. 078 Panyabungan, SDN No. 082 Aek Banir, SDN No. 088 Panyabungan dan SDN No. 109 Siobon yang telah membantu penulis dalam penelitian dan adik-adik semua yang telah menjadi subjek penelitian penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

8. Sahabat-sahabat penulis yaitu Hilda, Anzili, Putri, Miska, Allya, Devi, Dina dan Mai yang selalu ada membantu dan memberikan semangat.

9. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Ortodonsia terutama Melika, Liling, Kak Natasha dan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan selama pengerjaan skripsi.

10. Agung Ananda Nasution yang telah memberikan motivasi sejak dulu masuk kuliah hingga selesai menulis skripsi.

11. Sahabat-sahabat penulis SMA yaitu Isma, Mora dan Ayesza selalu memberikan semangat dan Zikra, Ayu dan kak Una yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, khususnya di Departemen Ortodonsia.

Medan, 9 Maret 2017 Penulis,

(Nur Hayati) NIM: 130600021

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR DIAGRAM ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 ... Rumusa n Masalah ... 3

1.3 ... Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Periode Gigi Geligi ... 5

2.1.1 Periode Gigi Sulung ... 5

2.1.2 Periode Gigi Bercampur ... 5

2.1.3 Periode Gigi Permanen ... 6

2.2 Maloklusi ... 6

2.2.1 Etiologi ... 6

2.2.2 Klasifikasi ... 7

2.2.3 Prevalensi ... 10

2.3 Rekam Ortodontik ... 11

2.3.1 Fotografi Dental ... 12

2.4 Kabupaten Mandailing Natal ... 12

2.5 Kerangka Teori ... 15

2.6 Kerangka Konsep ... 16

(9)

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian ... 17

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 17

3.3 Populasi dan Sampel ... 17

3.3.1 Populasi ... 17

3.3.2 Sampel ... 17

3.3.3 Kriteria Inklusi ... 18

3.3.4 Kriteria Eksklusi ... 18

3.4 Variabel dan Defenisi Operasional... 18

3.5 Alat dan Bahan ... 19

3.6 Metode Pengumpulan Data/Pelaksanaan Penelitiaan... 20

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 21

3.8 Alur penelitian ... 21

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 22

BAB 5 PEMBAHASAN ... 26

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 29

6.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Hubungan molar pada maloklusi Kelas I Angle ... 8

2 Hubungan molar pada maloklusi Kelas II Angle ... 9

3 Maloklusi Kelas II divisi 1 Angle ... 9

4 Maloklusi Kelas II divisi 2 Angle ... 10

5 Maloklusi Kelas III Angle ... 10

6 Peta Mandailing Natal ... 13

7 Perlengkapan alat penelitian ... 20

8 Bahan penelitian ... 20

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sekolah

dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal ... 22 2. Jumlah tipe maloklusi pada Kelas II dan Kelas III ... 23 3. Prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan usia pada anak

Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan ... 24

(12)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram Halaman 1. Prevalensi maloklusi klasifikasi Angle pada beberapa sekolah

di Kecamatan Panyabungan ... 25

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Kuisioner Penelitian

2 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian

3 Surat pernyataan persetujuan subjek penelitian (informed consent)

4 Data hasil pengamatan maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan

5 Hasil perhitungan statistik prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan

6 Ethical Clearance

7 Surat Keterangan dari pihak-pihak sekolah

(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional tahun 2013, sebanyak 14 provinsi mengalami masalah gigi dan mulut yaitu 25,9%.1 Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah penduduk yang menduduki urutan ketiga setelah karies dan penyakit periodontal.2,3 Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar anak usia pertumbuhan mengalami maloklusi, sehingga perlu diupayakan untuk mengendalikan insiden maloklusi antara lain dengan pemeriksaan dini dan pencegahan maloklusi.3

Berdasarkan laporan dari hasil Riset Kesehatan Dasar untuk Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 masalah gigi dan mulut yaitu 16,7% dan yang menerima perawatan sebesar 23,9%.4 Prevalensi maloklusi pada anak-anak dipedesaan menurut hasil penelitian Agusni (cit: Kusuma dkk) sedikit lebih tinggi dibanding anak yang tinggal diperkotaan. Tingginya angka tersebut dikarenakan sulitnya mendapat informasi mengenai kesehatan dan kurangnya pengawasan orangtua terhadap kesehatan anaknya. Perawatan maloklusi tidak semua orang ingin melakukan, meskipun mereka mempunyai gigi yang menyimpang dari normal.5

Kabupaten Mandailing Natal berada dibagian selatan wilayah dari Sumatera Utara.6 Berdasarkan laporan dari hasil Riset Kesehatan Dasar untuk Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 Kabupaten Mandailing Natal mempunyai masalah gigi dan mulut sebesar 24,1% dengan pengalaman karies 73,6%.4 Berhubungan dengan visi Kabupaten Mandailing Natal menciptakan kondisi masyarakat yang hidup layak dan mampu meningkatkan taraf hidupnya secara berkesinambungan dengan sarana kesehatan berupa rumah sakit adalah faktor utama dalam menunjang perbaikan kualitas hidup. Dengan tenaga medis khususnya dokter gigi sebanyak 16 orang dan puskesmas berjumlah 26 unit. Untuk itu masalah kesehatan didaerah terpencil masih perlu diperhatikan karena infrastruktur seperti jalan masih menjadi hambatan kepada tenaga-tenaga medis yang akan memberikan pelayanan kesehatan.6,7

(15)

Oklusi dikatakan normal jika susunan gigi dalam lengkung rahang teratur secara baik serta terdapat hubungan yang harmonis antara gigi atas dan gigi bawah.8 Maloklusi dapat didefinisikan sebagai suatu ketidaksesuaian antara hubungan gigi atau hubungan rahang yang menyimpang dari normal. Masalah maloklusi gigi merupakan hasil dari adaptasi orofasial dengan berbagai faktor etiologi seperti genetik, lingkungan, atau kombinasi dari keduanya yang pada umumnya disebut multifaktorial.9,10 Contohnya kebiasaan buruk seperti mengisap ibu jari atau benda- benda lain pada anak-anak yang berpengaruh terhadap perkembangan oklusi.10-12 Pemahaman akan etiologi maloklusi penting dalam pencegahan dan perbaikan penyimpangan oklusal.13

Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, risiko karies, gangguan sendi temporomandibular, rasa sakit pada orofasial dan keserasian wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental seseorang.2,3,5,8,14,15

Kebanyakan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan memiliki masalah dengan gigi geliginya.

Maloklusi banyak terjadi pada usia 10-12 tahun karena usia tersebut merupakan fase kedua gigi geligi yaitu periode gigi bercampur. Periode ini sangat kritis karena terjadi perubahan dimensi dari gigi sulung menjadi gigi permanen yang banyak menimbulkan masalah.16 Freeman, Ackerman dan Profitt menyimpulkan bahwa 14,3% dari pasien mereka dapat ditangani secara interseptif ortodonti saja. Sebuah penelitian di Inggris, menemukan bahwa 38,6% anak-anak akan mendapat manfaat dari perawatan tersebut.3 Deteksi awal terhadap maloklusi dapat dilakukan untuk mengetahui maloklusi sejak dini pada anak, bila ditemukan sejak awal maka maloklusi tidak akan berkelanjutan.3,17

Klasifikasi Angle merupakan klasifikasi yang paling banyak digunakan dalam penentuan maloklusi. Pada tahun 1899, Edward H. Angle menguraikannya berdasarkan anteroposterior relatif (AP) gigi molar pertama permanen. Sebagai orang pertama mendefenisikannya menjadi tiga Kelas yaitu Kelas I Angle, Kelas II Angle dan Kelas III Angle.10,13,18,19

(16)

Hasil penelitian M. Oshagh dkk di Iran prevalensi maloklusi pada anak usia 6- 14 tahun dengan klasifikasi Angle Kelas I, II, dan III didasarkan pada gigi molar pertama permanen adalah 52.0%, 32.6%, dan 12.3%.20 Penelitian Daniel dkk di Nova Friburgo, Brazil pada anak usia 9-12 tahun didapat Kelas I hubungan molar 76.7%, Kelas II 19.2%, dan Kelas III 4.2%.15 Penelitian E Rajendra Reddy di Nalgonda District hampir sama dengan Daniel yaitu Kelas I Angle 78.6%, Kelas II 13.9%, Kelas III 7.8% pada usia 6-10 tahun.10 Penelitian oleh Satinder Pal Singh di Chandigarh-India, mendapatkan hasil maloklusi Angle Kelas I, Kelas II divisi 1, Kelas II divisi 2, dan Kelas III adalah 87.4%, 8.7%, 1.4% dan 2.5%.21 Penelitian oleh Siddegowda di Karnataka-India usia 10-16 tahun mendapatkan hasil maloklusi Angle Kelas I, II, dan III pada laki-laki adalah 78,4%, 21,5%, 0,1% dan pada perempuan adalah 80,2%, 19,8%, 0%.17

Hasil penelitian oleh Putri Wijayanti dkk di SD At-Taufiq Jakarta, Indonesia pada anak usia 9-11 tahun diperoleh maloklusi Kelas I 65.3%, Kelas II 31.6% dan Kelas III 3.1%.3 Gabrielly juga melakukan penelitian gambaran maloklusi pada siswa Kelas 10 di SMA Negeri 9 Manado didapatkan total jumlah maloklusi Angle Kelas I 66.7%, Kelas II 26,7% dan Kelas III 6.7%.2

Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya diberbagai negara dan di Indonesia prevalensi maloklusi masih sangat tinggi. Di daerah Panyabungan belum pernah ada penelitian sebelumnya dikarenakan lokasi penelitian jauh dari perkotaan.

Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Berapakah prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017?

2. Berapakah prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan jenis kelamin pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017?

(17)

3. Berapakah prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan usia pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017.

2. Untuk mengetahui prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan jenis kelamin pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017.

3. Untuk mengetahui prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan usia pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan tahun 2017.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai data untuk mengetahui tingkat prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kabupaten Mandailing Natal.

2. Sebagai informasi data untuk tenaga medis terutama dokter gigi di Kabupaten Mandailing Natal.

3. Sebagai masukan kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kesehatan gigi sejak dini.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Ada tiga periode pertumbuhan gigi pada manusia, yaitu periode gigi sulung, periode gigi bercampur dan periode gigi permanen. Morfogenesis gigi dan perkembangannya melibatkan jumlah gigi yang berhubungan erat dengan proses pembentukan gigi dan pertumbuhan yang bersamaan dengan bagian rahang. Erupsi gigi juga merupakan petunjuk penting dari usia gigi. Gangguan pada waktu kalsifikasi dapat menimbulkan gangguan pada bentuk dan fungsi gigi dalam perkembangan oklusi.22

2.1 Periode gigi-geligi 2.1.1 Periode gigi sulung

Munculnya gigi sulung normalnya dimulai usia 6-7 bulan. Gigi sulung ada 20 gigi yaitu tiap-tiap kuadran mandibula dan maksila terdapat gigi insisif pertama, insisif kedua, kaninus, molar pertama dan molar kedua. Fungsi gigi sulung sebaiknya dipertimbangkan untuk menegaskan pentingnya menjaga gigi sulung dalam keadaan sehat yang diperlukan untuk pengunyahan makanan yang efisien, agar dapat berbicara dengan jelas dan sangat dibutuhkan untuk mempertahankan ruangan yang dibutuhkan guna memberikan tempat erupsi gigi permanen.13,18,22

2.1.2 Periode gigi bercampur

Periode gigi bercampur adalah periode saat gigi sulung yang sudah waktunya tanggal digantikan oleh gigi dewasa atau permanen. Kebanyakan kasus maloklusi atau hubungan maksila dengan mandibula yang tidak ideal, disebabkan oleh kerusakan pada periode ini.3,15,16 Gigi-geligi bercampur dimulai dengan erupsinya insisif pertama bawah dan molar pertama atas serta bawah pada usia sekitar 6 tahun.

Gigi-geligi campuran berakhir sekitar usia 12 tahun ketika gigi sulung telah tergantikan. Umumnya terlihat 24 gigi didalam rongga mulut selama periode gigi- geligi campuran.13,18

(19)

2.1.3 Periode gigi permanen

Gigi permanen yang pertama kali muncul pada rongga mulut adalah molar pertama yang terletak dibagian distal dari molar kedua sulung pada usia kira-kira 6 tahun, yang sering disebut “six year molar”. Gigi permanen kedua muncul ke dalam lengkung gigi adalah insisif sentral pada usia 6-7 tahun dan gigi yang paling akhir digantikan adalah kaninus atas dan premolar kedua atas mendekati usia 12 tahun.

Pada gigi geligi permanen, pembentukan mahkota dan kalsifikasi rata-rata sempurna 3 hingga 4 tahun setelah erupsi ke dalam rongga mulut.18,22

2.2 Maloklusi

Gigi dengan susunan yang rapi dan senyum menawan akan memberikan efek yang positif pada tiap tingkat sosial, sedangkan gigi yang tidak teratur akan memberikan efek negatif.2 Oklusi ideal adalah hubungan harmonis, statis serta dinamis gigi dan rahang yang ingin direproduksi oleh dokter gigi ketika merawat mulut agar diperoleh bentuk dan fungsi yang baik.18,23 Maloklusi secara harfiah berarti oklusi yang tidak baik atau menyimpang dari kondisi ideal.24 Hal ini dapat terjadi karena penataan gigi (dalam rahang) adanya ketidak harmonisan antara ukuran dan bentuk rahang sehingga mencegah gigi berkontak secara ideal.2,3,8,10,18,22

Derajat keparahan maloklusi bisa berbeda-beda dari rendah ke tinggi yang menggambarkan biologi individu. Maloklusi dapat terjadi dalam arah sagital, transversal, vertikal, dapat diidentifikasi berdasarkan hubungan rahang yaitu hubungan rahang bawah terhadap rahang atas.3,23,24 Maloklusi sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi bila tidak dirawat dapat menimbulkan gangguan pada fungsi pengunyahan, penelanan, bicara, gangguan sendi temporomandibular, rasa sakit pada orofasial dan keserasian wajah yang berakibat pada gangguan fisik maupun mental. 2,3,5,8,14,15

(20)

2.2.1 Etiologi

Maloklusi tidak disebabkan oleh satu faktor saja melainkan kombinasi faktor genetik atau keturunan, dan lingkungan. Umumnya disebut multifaktorial. Biasanya faktor-faktor tersebut bermanifestasi sebagai ketidak-seimbangan tumbuh kembang struktur dentofasial sehingga terjadi maloklusi.3,9,10,13,24,25

Pengaruh faktor-faktor tersebut dapat langsung atau tidak langsung menyebakan maloklusi. Pentingnya peran dari masing-masing faktor bergantung pada karakter yang diperiksa.

Faktor lokal atau dentoalveloar, mempunyai efek yang lebih lokal terhadap oklusi jika dibandingkan dengan faktor skeletal dan jaringan lunak. Faktor-faktor lokal ini adalah sebagai berikut:

1. Variasi jumlah gigi

Hipodonsia adalah kondisi umum yang ditandai oleh hilangnya satu atau beberapa gigi sulung atau permanen yang bersifat perkembangan, kecuali gigi molar ketiga. Selain itu gigi supernumeri juga termasuk didefinisikan sebagai gigi tambahan yang paling umum ditemukan pada regio anterior rahang atas.13 Kemudian tanggalnya gigi sulung yang terlalu dini akibat dari karies, atau resorpsi akar menyebabkan pengurangan ruangan lengkung rahang karena pergeseran gigi-geligi disebelahnya.19

2. Variasi ukuran gigi

Ukuran gigi ditentukan secara genetik. Gigi-gigi yang lebih besar atau lebih kecil disebut dengan makrodonsia atau mikrodonsia. Ukuran gigi yang paling bervariasi adalah insisif lateral rahang atas yang cenderung lebih kecil daripada ukuran normal.13,23,26

3. Variasi posisi gigi

Infraklusi terjadi sebagai akibat kegagalan erupsi gigi yang disebabkan oleh ankilosis. Sedangkan transposisi adalah keabnormalan dengan posisi gigi-gigi saling tertukar.

Kebiasaan mengisap jari yang berlangsung lama juga merupakan salah satu dapat memberi efek signifikan pada oklusi, bergantung pada durasi dan intensitas kebiasaan tersebut. Efek oklusalnya mencakup gigitan terbuka anterior yang asimetris, kenaikan overjet dan gigi silang bukal unilateral.3,13

(21)

2.2.2 Klasifikasi

Dr. Edward Angle adalah orang yang pertama mendefenisikan tiga Kelas hubungan rahang pada tahun 1899. Berdasarkan hubungan mesiodistal yang normal antara gigi-geligi rahang atas dan rahang bawah dan gigi molar pertama permanen menjadi kunci oklusinya. Jika molar pertama dipengaruhi oleh faktor gigi sulung yang tanggal terlalu dini, hubungan insisif dan kaninus dapat digunakan untuk mendefenisikan maloklusi. 10,13,18,19,26

Angle membagi kedalam tiga kategori, yaitu:

1. Maloklusi Kelas I Angle

Mandibula dengan lengkung giginya dalam hubungan mesiodistal yang normal terhadap maksila yang disebut juga neutroklusi. Hubungan molar pertama permanen yang dimana cusp mesiobukal molar pertama atas beroklusi dengan groove bukal molar pertama bawah (Gambar 1).13,18,23,26-30

Profil fasial seseorang dengan oklusi Kelas I cenderung membentuk garis agak lurus dari setengah wajah bagian atas ke margo anterior mandibula dan disebut orthognatik.18

Gambar 1. Hubungan molar pada maloklusi Kelas I Angle.28

2. Maloklusi Kelas II Angle

Hubungan Kelas II atau disto-oklusi adalah maloklusi tipe skeletal dimana gigi-gigi bawah dalam hubungan distal (posterior) terhadap antagonisnya dimaksila.

Cusp mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi pada cusp mesiobukal gigi molar

(22)

pertama bawah (Gambar 2).13,18,23,26-30

Oklusi Kelas II mempunyai mandibula yang terlalu kecil dan maksila terlalu besar. Akibatnya mandibula kelihatan retrusi. Profil wajahnya adalah konveks dan disebut retrognatik.18

Gambar 2. Hubungan molar pada maloklusi Kelas II Angle.28

Ada dua tipe maloklusi skeletal didasarkan inklinasi dan overlap insisif atas.

Dikenal sebagai divisi 1 dan divisi 2:

a. Kelas II divisi 1 adalah hubungan gigi insisif anterior atas inklinasinya lebih ke labial atau protrusi dari insisif bawah (Gambar 3). Orang dengan relasi ini sering menunjukkan karakter oral yang unik meliputi overjet horizontal yang berlebihan pada gigi insisif atas yang terletak labial dari insisif bawah, dan supraerupsi insisif bawah. 13,18,23,26-30

Gambar 3. Maloklusi Kelas II divisi 1 Angle.28

(23)

b. Kelas II divisi 2 adalah hubungan gigi insisif anterior atas inklinasinya lebih ke lingual atau retrusi berlebihan, sedangkan insisif lateral berinklinasi ke labial (Gambar 4).Orang ini cenderung mempunyai morfologi yang unik termasuk overjet horizontal yang kecil tetapi overbite vertikal yang berlebihan.13,18,23,26-30

Gambar 4. Maloklusi Kelas II divisi 2 Angle.28

c. Kelas II Subdivisi adalah hubungan kelas II relasi molar terjadi pada satu sisi dan relasi molar kelas I pada sisi yang lain.28

3. Maloklusi Kelas III Angle

Hubungan Kelas III atau mesio-oklusi mempunyai tipe skeletal dimana lengkung gigi bawah terletak anterior dari lengkung gigi atas. Cusp mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi dengan cusp distal bukal gigi molar pertama bawah dan tepi cusp mesial gigi molar kedua bawah (Gambar 5). 13,18,23,26-30

Mandibula relatif besar dibanding maksila, sehingga profil wajah konkaf dengan dagu yang sangat menonjol disebut juga prognatik.18

Gambar 5. Maloklusi Kelas III Angle.28

(24)

Kelas III subdivisi adalah terdapat relasi molar Kelas III pada satu sisi dan relasi molar Kelas I pada sisi rahang yang lain.

2.2.3 Prevalensi

Hasil penelitian prevalensi maloklusi beragam. Hal ini sebabkan karena etnik, geografi setiap kota atau daerah, sampel, negara dan tahunnya dilaksanakan penelitian berbeda.20,30-33 Peningkatan prevalensi maloklusi sebagian dipercayai sebagai suatu proses evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras.23 Hasil penelitian M. Oshagh dkk di Iran prevalensi maloklusi pada anak usia 6-14 tahun dengan klasifikasi Angle Kelas I, II, dan III dilihat dari hubungan gigi molar pertama permanen adalah 52.0%, 32.6%, dan 12.3%.20 Daerah Nova Friburgo, Brazil oleh Daniel dkk pada anak usia 9-12 tahun didapat Kelas I hubungan molar 76.7%, Kelas II 19.2%, dan Kelas III 4.2%.15 Penelitian E Rajendra Reddy di Nalgonda District hampir sama dengan Daniel yaitu Kelas I Angle 78.6%, Kelas II 13.9%, Kelas III 7.8% pada usia 6-10 tahun.10 Penelitian oleh Satinder Pal Singh di Chandigarh-India, mendapatkan hasil maloklusi Angle Kelas I, Kelas II divisi 1, Kelas II divisi 2, dan Kelas III adalah 87.4%, 8.7%, 1.4% dan 2.5%.21 Penelitian oleh Siddegowda di Karnataka-India usia 10-16 tahun mendapatkan hasil maloklusi Angle Kelas I, II, dan III pada laki-laki adalah 78,4%, 21,5%, 0,1% dan pada perempuan adalah 80,2%, 19,8%, 0%.17

Hasil penelitian oleh Putri Wijayanti dkk di SD At-Taufiq Jakarta, Indonesia pada anak usia 9-11 tahun diperoleh maloklusi Kelas I 65.3%, Kelas II 31.6% dan Kelas III 3.1%.3 Gabrielly juga melakukan penelitian gambaran maloklusi pada siswa Kelas 10 di SMA Negeri 9 Manado didapatkan total jumlah maloklusi Angle Kelas I 66.7% responden, Kelas II 26,7% dan Kelas III 6.7%.2

Prevalensi maloklusi tersebut sangat tinggi sehingga menunjukkan perlu adanya pemeriksaan sejak dini untuk mengurangi angka kejadian maloklusi, pencegahan dan perawatan terhadap penyebab maloklusi ataupun perawatan interseptif pada maloklusi sehingga tercapai suatu oklusi yang harmonis, fungsional dan estetik.3,19

(25)

2.3 Rekam Ortodontik

Rekam mempunyai sejumlah fungsi penting dalam praktik klinis. Rekam ortodontik dibagi menjadi dua yaitu primer dan sekunder. Rekam primer adalah rekam yang tertulis dan dapat mencakup informasi seperti demografi pasien, riwayat relevan, temuan pemeriksaan klinis, diagnosis, rencana perawatan dan informed consent. Sedangkan rekam sekunder dibuat untuk membantu diagnosis, memantau perawatan dan melengkapi rekam primer.13

2.3.1 Fotografi dental

Foto intraoral dan ekstraoral secara rutin dibuat pada awal perawatan, kadang- kadang selama dan setelah selesainya perawatan. Foto memberikan rekam berwarna dari kondisi jaringan lunak dan keras (misalnya hipoplasia enamel). Foto dapat digunakan untuk merencanakan perawatan, memantau pertumbuhan, memantau kemajuan perawatan, pendidikan kepada pasien, dan sebagai rekam legal dan audit, riset dan pengajaran. Salah satu pemeriksaan klinis yang dapat dilakukan menentukan maloklusi adalah fotografi dengan berdasarkan posisi rahang atas dan bawah ketika beroklusi. Idealnya maksila berada 2-3 mm didepan mandibula.3,13

Panduan The American board of Orthodontist’s untuk fotografi intraoral : 1. Standard kualitas foto intraoral berwarna.

2. Fotografi harus berorientasi secara akurat.

3. Satu foto depan pada interkuspal maksimum.

4. Dua pandangan lateral kanan dan kiri.

5. Dua pandangan oklusal rahang atas dan rahang bawah (optional).

6. Bebas dari retractor, label dll.

7. Kualitas cahaya bebas dari bayangan.

8. Lidah harus berada diposterior.

9. Tidak ada air liur (saliva).

10. Gigi bersih.27

(26)

2.4 Kabupaten Mandailing Natal

Secara geografis, Kabupaten Mandailing Natal terletak diantara 0°10°- 1°50°

Lintang Utara dan 98°50° - 100°10° Bujur Timur. Kabupaten ini menempati area seluas 662.070 Ha atau 9,24% dari wilayah Provinsi Sumatera Utara. Terdiri dari 23 kecamatan dan 407 desa/kelurahan defenitif. Area Kabupaten Mandailing Natal di sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas, di sebelah selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat, di sebalah barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan di sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat. (Gambar 6).6,7 Wilayah kecamatan yang terluas adalah Kecamatan Muara Batang Gadis, yaitu 143.502 Ha (21,67%) sedangkan wilayah terkecil yaitu Lembah Sorik Merapi seluas 3.472,57 Ha (0,52%). Jumlah penduduk dengan jenis kelamin laki-laki lebih sedikit dibandingkan penduduk perempuan. Pada tahun 2015 jumlah penduduk laki-laki sebesar 211.506 jiwa, sedangkan penduduk perempuan sebanyak 219.388 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 96,41.6,7

Gambar 6. Peta Mandailing Natal.7

(27)

Kabupaten yang ber-ibukota di Panyabungan mempunyai visi untuk menciptakan kondisi masyarakat yang hidup dengan layak dan mampu meningkatkan taraf hidupnya secara berkesinambungan. Perekonomian masyarakat Mandailing Natal sangat bervariasi yaitu pertanian dan perkebunan dengan tanah yang subur dalam jangka panjang akan dijadikan agrowisata sekaligus salah satu pusat agrobisnis di Provinsi Sumatera Utara. Keseharian masyarakat juga melakukan kegiatan peternakan. Untuk perikanan dengan peralatan yang belum lengkap tercatat potensi belum maksimal sehingga produksi kurang memuaskan. Kegiatan dagang industri seperti karet, kopi dan bahan pangan juga banyak dilakukan di pasar tradisional.

Pertambangan juga merupakan potensi terbesar yang dimiliki oleh Mandailing Natal dengan salah satu galian yang terdapat didalamnya adalah marmer.6

Berkaitan dengan sarana kesehatan berupa rumah sakit merupakan faktor utama dalam menunjang perbaikan kualitas hidup.6 Tahun 2015, tenaga medis yang tersedia yaitu dokter umum sebanyak 53 orang, dan dokter gigi 16 orang. Kabupaten Mandailing Natal mempunyai 4 rumah sakit, 26 puskesmas dan 480 posyandu.

Jumlah Sekolah Dasar (SD) Negeri yang ada di Kabupaten Mandailing Natal sebanyak 390 unit, dengan 4918 orang guru dan 66.579 murid.

Menurut hasil Riskesdas Provinsi Sumatera Utara tahun 2007 Mandailing Natal mempunyai masalah gigi dan mulut sebesar 24,1% dengan pengalaman karies 73,6%.4 Tingginya angka masalah kesehatan tersebut didaerah terpencil masih perlu diperhatikan karena infrastruktur seperti jalan masih menjadi hambatan kepada tenaga-tenaga medis yang akan memberikan pelayanan kesehatan.7

(28)

2.5 Kerangka Teori

Periode Gigi-geligi

Gigi sulung Gigi bercampur Oklusi Gigi permanen

Maloklusi

Defenisi Etiologi Klasifikasi Prevalensi Rekam ortodontik

Angle Dewey Lischer Primer Sekunder

Model studi Kelas I Kelas II Kelas III

Radiografi

Kab. Mandailing Natal

Fotografi Divisi I Divisi II

(29)

2.6 Kerangka Konsep

Prevalensi maloklusi berdasarkan:

1. Kelas I Angle 2. Kelas II Angle 3. Kelas III Angle

Variabel tak terkendali : - Ras

- Skeletal - Overjet - Overbite

Anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan

Variabel terkendali : - Usia

- Sekolah - Jenis kelamin

- Teknik operator menentukan klasifikasi secara klinis (Uji Interrater Reliability)

(30)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis rancangan penelitian ini adalah deskriptif yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan tentang prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal dengan pendekatan cross-sectional.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di sebuah Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal dari bulan Oktober-Februari, 2016-2017.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal dengan total jumlah adalah 12.677 anak.

3.3.2 Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah subjek yang diambil dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dengan menggunakan teknik cluster sampling.

Beberapa SD Negeri yang dipilih adalah : 1. SD Negeri No. 078 Panyabungan 2. SD Negeri No. 082 Aek Banir 3. SD Negeri No. 088 Panyabungan 4. SD Negeri No. 109 Siobon

Besar sampel ditentukan dengan rumus penaksiran proporsi populasi dengan ketelitian absolut (absolute presicion)34:

(31)

Keterangan : n : besar sampel

Zα : derajat kepercayaan 95% maka Z=1,96

P : proporsi pada populasi penelitian sebelumnya (hasil penelitian Daniel dkk tahun 2009 prevalensi maloklusi pada anak usia 9-12 tahun di Nova Friburgo, Rio de Janerio State, Brazil sebesar 70%)

d : presisi mutlak (5%)

Hasil perhitungan rumus sampel adalah 323, namun untuk menghindari bias penelitian maka peneliti mengambil 324 sampel dan setiap masing-masing sekolah berjumlah 81 sampel.

3.3.3 Kriteria Inklusi

1. Usia 9-13 tahun atau kelas 4,5, dan 6.

2. Semua gigi molar permanen pertama lengkap.

3. Tidak pernah atau tidak sedang perawatan ortodonti.

3.3.4 Kriteria Ekslusi

1. Tidak bersedia berpartisipasi dalam penelitian.

3.4 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional Variabel dalam penelitian ini adalah

1. Prevalensi maloklusi berdasarkan Kelas I Angle, Kelas II Angle dan Kelas III Angle.

2. Anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan.

(32)

Defenisi operasional dalam penelitian ini :

1. Murid SD Negeri di Kecamatan Panyabungan adalah murid yang masih aktif terdaftar disekolah SD Negeri tersebut.

2. Usia adalah usia kronologis berdasarkan tanggal lahir.

3. Jenis kelamin adalah mempunyai ciri fisik laki-laki dan perempuan yang dilihat dari kartu siswa.

4. Maloklusi Kelas I Angle adalah cusp mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi pada bagian groove bukal gigi molar pertama bawah.

5. Maloklusi Kelas II Angle adalah cusp mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi pada mesiobukal gigi molar pertama bawah dan tepi distal cusp bukal gigi premolar kedua bawah.

6. Maloklusi Kelas II divisi 1 Angle adalah jika gigi-gigi anterior dirahang atas inklinasinya lebih ke labial atau disebut juga protrusi.

7. Maloklusi Kelas II divisi 2 Angle adalah jika gigi-gigi anterior dirahang atas inklinasinya tidak ke labial atau disebut juga retrusi.

8. Maloklusi Kelas III Angle adalah cusp mesiobukal gigi molar pertama atas beroklusi pada cusp distal bukal gigi molar pertama bawah dan tepi mesial gigi molar kedua bawah.

9. Fotografi intraoral adalah pengambilan foto rongga mulut untuk data sekunder.

3.5 Alat dan Bahan

Alat yang dipakai dalam penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tiga serangkai (kaca mulut, sonde, dan pinset) 2. Pulpen

3. Pensil 4. Penghapus

5. Kamera DSLR merk Canon EOS 550D 6. Check Retractor

7. Kaca intraoral 8. Lampu senter

(33)

Gambar 7. Perlengkapan alat penelitian.

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah 1. Masker

2. Sarung tangan

Gambar 8. Bahan penelitian.

3.6 Metode Pengumpulan Data/Pelaksanaan Penelitian

1. Pengumpulan data penelitian dilakukan dibeberapa sekolah SD Negeri di Kec.

Panyabungan yaitu SDN 078 Panyabungan, SDN 082 Aek Banir, SDN 088 Panyabungan dan SDN 109 Siobon setelah mendapat izin penelitian dari fakultas, Dinas Pendidikan Panyabungan, dan pihak sekolah.

1 2 3 4

7 8 6

1 2

5

(34)

2. Penyebaran kuesioner, lembar penjelasan dan lembar persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani oleh orangtua terlebih dahulu secara acak sehari sebelum penelitian kepada sampel.

3. Pengambilan sampel diambil secara acak sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.

4. Kemudian, sampel dipersilakan untuk duduk dikursi dan dilakukan pemeriksaan klinis rongga mulut sampel dengan kaca mulut dan dipakaikan check retractor sampel oklusi sentrik (Gambar 9).

5. Hasil pemeriksaan dimasukkan ke lembar isian penelitian untuk menentukan klasifikasi.

6. Lalu, dilakukan foto intraoral dengan kamera dan diambil dari sudut sisi kanan dan kiri untuk dokumentasi atau sebagai rekam ortodontik (Gambar 10).

7. Setelah seluruh data yang dibutuhkan sudah terkumpul maka hasil pengumpulan data tersebut dimasukkan ke komputer untuk dianalisis.

8. Analisis data dilakukan untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada anak-anak tersebut.

Gambar 9. Pemeriksaan klinis rongga mulut subjek penelitian

Gambar 10. Hasil foto intraoral penelitian maloklusi

(35)

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara komputerisasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel.

3.8 Etika Penelitian

Etik dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Lembar persetujuan (informed consent)

Peneliti mengajukan lembar persetujuan dan memberikan penjelasan kepada responden berisi tentang manfaat penelitian dan disetujui oleh responden.

2. Ethical clearance

Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada Komisi Etik Penelitian Kesehatan berdasarkan etik yang bersifat nasional dan internasional.

(36)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada beberapa Sekolah Dasar (SD) di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara yaitu di SD Negeri No. 078 Panyabungan, SD Negeri No. 082 Aek Banir, SD Negeri No. 088 Panyabungan dan SD Negeri No. 109 Siobon dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan. Penelitian ini menggunakan kuisioner dan melibatkan 324 orang, terdiri dari 137 laki-laki dan 187 perempuan.

Berdasarkan hasil pencatatan data klinis pada rongga mulut subjek penelitian, dilakukan uji statistik deskriptif untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada anak Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan dalam bentuk frekuensi dan persentase (Tabel 1).

Tabel 1. Prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal

Maloklusi Klasifikasi Angle

Total (n=324) F %

Perempuan (n=187) F %

Laki-laki (n=137) F % Kelas I

Kelas II Divisi 1 Divisi 2 Subdivisi Kelas III Subdivisi

221 68.2 55 17.0 21 6.4 1 0.3 33 10.8 48 14.8 27 8.3

134 71.7 25 13.4 9 4.8 1 0.5 15 8.0 28 15.0 16 8.5

87 63.5 30 21.9 12 8.7 0 0 18 13.3 20 14.6 11 8.0 Keterangan : F = Frekuensi

% = Persentase

(37)

Tabel 1 memperlihatkan hasil maloklusi klasifikasi Angle menurut hubungan molar terdapat Kelas I Angle memiliki persentase paling tinggi yaitu 68,2% (221 orang) yang terdiri dari 134 perempuan dan 87 laki-laki. Maloklusi Kelas II yaitu 17,0% (55 orang) yang terdiri dari 25 perempuan dan 30 laki-laki. Persentase Kelas III yaitu 14,8% (48 orang) yang terdiri dari 28 perempuan dan 20 laki-laki.

Total pencatatan dan pengamatan jumlah sampel penelitian data klinis sebanyak 324 orang, jika dirincikan tipe maloklusi skeletal yang didasarkan inklinasi dan overlap insisif atas, Kelas II terbagi atas Kelas II divisi 1, Kelas divisi 2 dan Kelas II subdivisi, sedangkan untuk Kelas III yaitu adanya Kelas III subdivisi. Hasil tabel 1 memperlihatkan Kelas II subdivisi memiliki total paling tinggi yaitu 33 orang (10,8%) terdiri dari 15 perempuan dan 18 laki-laki, kemudian Kelas III subdivisi yaitu 27 orang (8,33%) terdiri dari 16 perempuan dan 11 laki-laki, Kelas II divisi 1 yaitu 21 orang (6.4%) terdiri dari 9 perempuan dan 12 laki-laki, sedangkan total persentase paling rendah Kelas II divisi 2 yaitu hanya dimiliki 1 perempuan (0,3%).

Selain melihat secara keseluruhan prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan menurut jenis kelamin, penelitian ini juga melihat prevalensi maloklusi dengan klasifikasi Angle berdasarkan usia subjek penelitian (Tabel 2) yang terbagi atas usia 9 tahun, 10 tahun, 11 tahun, 12 tahun dan 13 tahun.

Tabel 2. Prevalensi maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan usia pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan

Usia

Malokusi klasifikasi Angle

Kelas I Kelas II Kelas III Total 9 tahun

17 68.0%

4 16.0%

4 16.0%

25 100.0%

10 tahun

51 69.9%

15 20.5%

7 9.6%

73 100.0%

11 tahun

54 65.1%

13 15.7%

16 19.3%

83 100.0%

12 tahun

72 71.3%

18 17.8%

11 10.9%

101 100.0%

13 tahun

27 64.3%

5 11.9%

10 23.8%

42 100.0%

Total

221 68.2%

55 17.0%

48 14.8%

324 100.0%

(38)

Tabel 2 memperlihatkan hasil maloklusi klasifikasi Kelas I Angle berdasarkan usia 12 tahun memiliki persentase paling tinggi yaitu 71,3% (72 orang), sedangkan paling rendah adalah usia 13 tahun yaitu 64.3% (17 orang). Sampel dengan usia 9 tahun yaitu 68,0% (17 orang), usia 10 tahun yaitu 69,9% (51 orang) dan usia 11 tahun yaitu 65,1% (54 orang). Hasil maloklusi klasifikasi Kelas II Angle berdasarkan usia 10 tahun memiliki persentase paling tinggi yaitu 20,5% (15 orang), sedangkan persentase paling rendah usia 13 tahun yaitu 11,9% (4 orang). Sampel dengan usia 9 tahun yaitu 16,0% (4 orang), usia 11 tahun yaitu 15,7 (13 orang) dan usia 12 tahun yaitu 17,8% (18 orang). Hasil persentase maloklusi klasifikasi Kelas III Angle berdasarkan usia 13 tahun memiliki persentase paling tinggi yaitu 23,8% (10 orang), sedangkan usia 10 tahun paling rendah yaitu 9,6% (4 orang). Sampel usia 9 tahun yaitu 16,0% (4 orang), usia 11 tahun yaitu 19,3% (16 orang) dan usia 12 tahun yaitu 10,9% (11 orang).

(39)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan pada beberapa sekolah di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal. Peneliti memilih 4 Sekolah Dasar dari total jumlah 44 Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan dengan latar belakang heterogen pada tingkat sosial ekonomi maupun demografi. Salah satunya Sekolah Dasar di Siobon merupakan sekolah yang terpencil di Kecamatan Panyabungan karena infrastruktur masih kurang memadai yang menjadi hambatan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan. Seperti menurut hasil penelitian Agusni (cit: Kusuma dkk) bahwa prevalensi maloklusi pada anak-anak dipedesaan sedikit lebih tinggi dibanding anak yang tinggal diperkotaan.5

Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek penelitian dengan maloklusi Kelas I paling banyak dari keseluruhan jumlah sampel 324 orang. Angle menyatakan maloklusi kelas I Angle memiliki prevalensi lebih banyak dari populasi meskipun tidak ada malrelasi anteroposterior pada keadaan ini, tetapi kemungkinan ada penyimpangan dimensi vertikal atau transversal.13,23 Berdasarkan penelitian ini, pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan didapatkan hasil maloklusi (Tabel 1) yaitu Kelas I Angle 68,2% (221 orang), Kelas II Angle 17,0% (55 orang) dan Kelas III 14,8% (48 orang). Penelitian ini serupa dengan hasil penelitian Siddegowda di Karnataka-India mengobservasi disekolah-sekolah dengan rentang usia 10-16 tahun mendapatkan hasil maloklusi Angle Kelas I 79,2% (7530 orang), Kelas II 20,7%

(1970 orang), dan Kelas III 0,1% (5 orang).17 Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Daniel dkk pada anak usia 9-12 tahun di Nova Friburgo, Brazil mendapatkan hasil hubungan molar Kelas I 76,7% (312 orang), Kelas II 19,2% (79 orang) dan Kelas III 4,2% (16 orang).15 Hasil penelitian oleh Gabrielly dkk di Manado juga sesuai dengan hasil maloklusi Angle Kelas I 66,7% (20 orang), Kelas II 26,7% (8 orang), dan Kelas III 6,7% (2 orang).2

Hasil penelitian ini terdapat dua sekolah yang memiliki total persentase maloklusi Kelas III Angle lebih tinggi dibanding Kelas II Angle (Tabel 1) yaitu SDN

(40)

088 Panyabungan dengan persentase Kelas III Angle 13,6% (11 orang) dan Kelas II Angle 12,3% (10 orang). Subjek penelitian di SDN 109 Siobon dengan persentase Kelas III Angle 24,7% (20 orang) dan Kelas II Angle 13,6% (11 orang). Hal ini berbeda dengan penelitian Wijayanti dkk di SD At-Tufiq, Jakarta yang mendapatkan hasil Kelas II lebih banyak daripada Kelas III yaitu 31,6% (31 orang) dan 3,1% (3 orang).3 Penelitian oleh Rajendra dkk di Nalgonda, India juga berbeda mendapatkan hasil Kelas II 13,9% lebih tinggi daripada yaitu Kelas III 7,8%.10 Angle menyatakan maloklusi Kelas III lebih jarang ditemukan, terjadi pada individu dengan tampilan dagu bawah yang menonjol dimana lengkung rahang dan bibir atas perkembangannya kurang baik.2,13 Namun prevalensi pada penelitian ini berbeda, disebabkan maloklusi merupakan suatu evolusi yang diduga akibat meningkatnya variabilitas gen dalam populasi yang bercampur dalam kelompok ras.23

Berdasarkan jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada maloklusi Kelas I Angle. Perempuan dan laki-laki mempunyai kemungkinan hal yang sama mengalami maloklusi. Hasil dari penelitian ini didapat persentase maloklusi Kelas I Angle (Tabel 1) yaitu 71,7% (134 perempuan) dan 63,5% (87 laki-laki), Kelas II Angle 13,4% (25 perempuan) dan 21,9% (30 laki-laki), dan Kelas III Angle 15,0% (28 perempuan) dan 14,6% (20 laki-laki). Penelitian oleh M. Oshagh dkk pada anak usia sekolah juga serupa mendapatkan hasil bahwa perempuan memiliki persentase Kelas I Angle lebih tinggi daripada laki-laki yaitu 55,5% (217 perempuan) dan 47,6% (147 laki-laki). Maloklusi Kelas II Angle 31,5% (123 perempuan) dan 34% (105 laki-laki). Sedangkan untuk maloklusi Kelas III Angle M. Oshagh mendapatkan hasil laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan yaitu 15,5% (48 laki- laki) dan 9,7% (38 perempuan).20 Hasil penelitian ini serupa dengan Siddegowda di Karnataka-India persentase Kelas I Angle yaitu 80,2% (3639 perempuan) dan 78,4%

(3891 laki-laki). Maloklusi Kelas II Angle yaitu 19,8% (899 perempuan) dan 21,5%

(1071 laki-laki), dan untuk Kelas III juga berbeda dengan hasil peneliti, Siddegowda mendapatkan hasil yaitu 0,1% (4 laki-laki) dan 0,0% (1 perempuan).17

Selain melihat klasifikasi maloklusi Angle secara umum, peneliti juga melihat tipe maloklusi skeletal didasarkan inklinasi dan overlap insisif atas (Tabel 1). Dalam

(41)

hal ini Kelas II divisi 1 didapatkan hasil 3,4% (11 orang), Kelas II divisi 2 yaitu 0,3%

(1 orang) dan Kelas II subdivisi 9,25% (30 orang). Penelitian ini berbeda dengan Siddegowda yang mendapatkan hasil persentase paling tinggi yaitu Kelas II divisi 1 sebanyak 13,3% (1264 orang), persentase kedua yaitu Kelas II divisi 2 sebanyak 3,9% (375 orang) dan persentase paling rendah yaitu Kelas II subdivisi sebanyak 3,5% (331 orang).17 Bila hanya melihat Kelas II divisi 1 dan divisi 2 penelitian ini sesuai dengan Piya dkk di Nepal mendapatkan hasil persentase tertinggi yaitu 10,7%

(14 orang) Kelas II divisi 1 dan diikuti oleh Kelas II divisi 2 yaitu 3,1% (4 orang).31 Penelitian ini juga sesuai dengan Bittencourt dan Machado pada anak usia 6-10 tahun di Brazil mendapatkan hasil maloklusi Kelas II divisi 1 yaitu 18,40% (879 orang) dan Kelas II divisi 2 yaitu 3,20% (153 orang).9 Persentase maloklusi Kelas II divisi 1 lebih banyak daripada divisi 2. Gigi insisif atas protrusi dapat disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan seperti bibir yang tidak kompeten dapat mempengaruhi posisi insisif atas karena hilangnya keseimbangan yang dihasilkan oleh bibir dan lidah sehingga insisif atas protrusi, dan adanya kebiasaan mengisap jari juga mempengaruhi maloklusi Kelas II divisi 1.2

Hasil penelitian maloklusi klasifikasi Angle berdasarkan usia persentase Kelas I Angle paling tinggi (Tabel 2) yaitu usia 12 tahun 71,3% (72 orang) dan paling rendah yaitu usia 13 tahun 64,3% (27 orang). Kemungkinan hal ini terjadi karena distribusi sampel peneliti tidak sama rata setiap masing-masing usia yang diteliti. Ini juga disebabkan usia 12 tahun sudah memasuki tahap geligi permanen terjadinya maloklusi sudah mulai menurun karena seiring bertambahnya usia, pertumbuhan dan perkembangan rahang semakin tumbuh besar atau sempurna.19 Kemudian persentase maloklusi Kelas II Angle paling tinggi yaitu usia 10 tahun 20,5% (15 orang) dan paling rendah yaitu usia 13 tahun 11,9% (5 orang). Kelas II Angle tinggi dikarenakan usia 10 tahun masih dalam tahap geligi campuran yang berarti masih dalam perkembangan gigi dan oklusi serta maloklusi yang terlihat dapat berubah semakin parah.19 Persentase maloklusi Kelas III Angle paling tinggi yaitu usia 13 tahun 23,8%

(10 orang) dan paling rendah yaitu usia 10 tahun 9,6% (7 orang).

(42)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan dapat disimpulkan bahwa :

1. Maloklusi Kelas I Angle adalah persentase tertinggi pertama yaitu 68,2%, Kelas II Angle adalah persentase kedua yaitu 17,0% dan Kelas III Angle adalah persentase ketiga yaitu 14,8% dari total jumlah sampel.

2. Persentase maloklusi Kelas I Angle lebih banyak pada perempuan yaitu 71,7% dan pada laki-laki 63,5%, Kelas II Angle lebih banyak pada laki-laki yaitu 21,9% dan perempuan 13,4% dan Kelas III Angle lebih banyak pada perempuan yaitu 15,0% dan laki-laki 14,6%.

3. Persentase maloklusi Kelas I Angle paling tinggi pada usia 12 tahun yaitu 71,3% dan paling rendah usia 13 tahun 64,3%, Kelas II Angle paling tinggi pada usia 12 tahun yaitu 20,5% dan paling rendah usia 13 tahun 11,9% dan maloklusi Kelas III Angle paling tinggi pada usia 13 tahun yaitu 23,8% dan paling rendah usia 10 tahun 9,6%.

6.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan subjek penelitian yang lebih banyak dan faktor-faktor yang mempengaruhi maloklusi untuk mendapatkan validitas yang lebih tinggi.

2. Perlu dilakukan penelitian menggunakan populasi seluruh anak sekolah dasar di Kabupaten Mandailing Natal untuk mengetahui prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kabupaten Mandailing Natal.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.

Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta, 2013: 110.

2. Rorong G F.J, Pangemanan D H.C, Juliatri. Gambaran maloklusi pada siswa Kelas 10 di SMA Negeri 9 Manado. Jurnal e-GiGi (eG) 2016; 4(1): 11-15.

3. Wijayanti P, Krisnawati, Ismah N. Gambaran maloklusi dan kebutuhan perawatan ortodonti pada anak usia 9-11 tahun (Studi pendahuluan di SD At-Taufiq, Cempaka Putih, Jakarta). Jurnal PDGI 2014; 63(1): 25-9. (cit.)

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI.

Laporan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi Sumatera Utara 2007.

Jakarta, 2008: 103.

5. Kusuma RH, Adhani R, Widodo, Rianta S. Perbedaan indeks karies antara maloklusi ringan dan berat pada remaja di Ponpes Darul Hijrah Martapura.

Dentino (Jur. Ked. Gigi) 2014; 2(1): 13-17.

6. Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal. Profil Kabupaten Mandailing Natal tahun 2014. Panyabungan, 2014: 1-8.

7. Badan pusat statistik Kabupaten Mandailing Natal. eds. Kabupaten Mandailing Natal dalam angka 2016. Panyabungan, 2016: 3-67.

8. Laguhi VA, Anindita P.S, Gunawan PN. Gambaran maloklusi dengan menggunakan HMAR pada pasien di Rumah Sakit Gigi dan Mulut Universitas Sam Ratulangi Manado. Jurnal e-GiGi (eG) 2014; 2(2): 1-7.

9. Bittencourt MAV, Machado AW. An overview of the prevalence of malocclusion in 6 to 10 year old children in Brazil. Dental Press J Orthod, 2010; 15(6): 113-22.

10. Reddy ER, Manjula M, Sreelakshmi N, Rani TS, Aduri R, Patil BD. Prevalence of Maloclussion among 6 to 10 year old Nalgonda School Children. Journal of International Oral Health 2013; 5(6): 49-54.

11. Dimberg L, Lennartsson B, Arnrup K, Bondemark L. Prevalence and change of malocclusions from primary to early permanent dentition: a longtudinal study.

Angle Orthodontist 2015; 85(5): 728-34.

(44)

12. Luna AC, Godoy F, Menes VA. Malocclusion and treatment need in children and adolescents with sickle cell disease. Angle Orthodontist 2014; 84(3): 467-72.

13. Gill DS. Ortodonsia at a Glance. Alih bahasa. Titiek Suta. Jakarta: EGC, 2014: 18-71.

14. Oley AB, Anindita PS, Leman MA. Kebutuhan perawatan ortodonti berdasarkan index of orthodontic treatment need pada usia remaja 15-17 tahun. Jurnal e-GiGi (eG), 2015; 3(2): 292-7.

15. Brito DI, Dias PF, Gleiser R. Prevalence of maloclussion in children aged 9 to 12 years old in the city of Nova Friburgo, Rio de Janeiro State, Brazil. R dental Press Ortho Facial 2009; 14(6): 118-24.

16. Fajri L, Sutijati R. Kebutuhan perawatan ortodonsi siswa sekolah dasar Sumbersari Kabupaten Jember dengan menggunakan Indeks Malocclusion Assessment Record (HMAR). Stomatogantic (J. K. G Unej) 2013; 10(1): 47-50.

17. Siddegowda R, Satish RM. The prevalence of maloccusion and its gender distribution among Indian school children: an epidemiological survey. SRM Journal of Research in dental sciences 2014; 5(4): 224-9.

18. Scheid RC, Weiss G. Anatomi Gigi. Alih bahasa. Purwanto Siswawuwignya dkk.

Ed 8. Jakarta: EGC, 2013: 179-272.

19. Herawati H, Sukma N, Utami RD. Relationship between deciduous teeth premature loss and malocclusion incidence in elementary school in Cimahi.

Journal of Medicine and Health 2015; 1(2): 156-69.

20. Oshagh M, Ghaderi F, Pakshir HR, Baghmollai AM. Prevalence of malocclusions in schooll-age children attending the orthodontics departement of Shiraz University of Medical Sciences. EMI IJ 2010; 16(12): 1245-50.

21. Singh SP, Kumar V, Narboo P. Prevalence of Maloclussion among children and adolesents in various schoool of Leh Region. Journal of Orthodontics &

Endodontics 2015; 1(2): 1-6.

22. Nasution M. Pengenalan Gigi. Medan: USU Press, 2012: 29-31.

23. Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya: Airlangga University Press, 2012: 22-79.

(45)

24. Dewi O. Analisis hubungan maloklusi dengan kualitas hidup pada remaja SMU kota Medan tahun 2007. Tesis. Medan: Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM USU, 2008: 22-4.

25. Kumar DA at all. Prevalence of malocclusion among children and adolescents residing in orphanages of Bilaspur, Chattishgarh, India. J Adv Oral Research, 2013; 3(3): 21-28.

26. Singh G. Text of orthodontic. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher, 2015: 125, 189-97.

27. Alatrach AB, Saleh FK, Osman E. The prevalence of malocclusion and orthodontic treatment need in a sample of Syrian children. European Scientific J, 2014; 10(30): 230-47.

28. Phul BS. Orthodontics: Principles and Practice. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publisher, 2011: 89-103.

29. Sulandjari H. Buku Ajar Ortodonsia I KGO I. Yogyakarta. 2008: 44.

30. Piya A, Shreshta VB, Achrya J, Khanal S, Battharai P. Pattern of distribusion of malocclusion among patients seeking orthodontic treatment at dental college Nepal Medical collage. Journal of Nepal Dental Association, 2013; 13(2): 36-41.

31. Cobourne M, Dibiase A. Handbook of orthodontics. China: Elsevier, 2016: 1-9.

32. Baral P. Prevalence of malocclusion in permanent dentition in Aryan and Mongoloid races of Nepal- a comparative study. POJ, 2013; 5(2): 57-9.

33. Ajayi EO. Prevalence of malocclusion among school children in Benin City, Nigeria. JMBR, 2007; 7(1&2): 5-11.

34. Dahlan MS. Pintu gerbang memahami statistik, metodologi, dan epidemiologi.

Jakarta: CV Sagung Seto, 2013: 77.

(46)

LAMPIRAN 1

DEPARTEMEN ORTODONSIA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

“PREVALENSI MALOKLUSI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI SD KECAMATAN PANYABUNGAN KABUPATEN MANDAILING

NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA”

KUESIONER

Nomor :

Tanggal : ...

I. Data responden

Nama :

Umur :

Jenis kelamin : L/P

Nama Sekolah :

Kelas :

Alamat :

(47)

II. Data penelitian

1. Apakah anda pernah pergi ke dokter gigi?

a. Ya b. Tidak

2. Apakah anda pernah atau sedang memakai behel/kawat gigi?

a. Ya b. Tidak

III. Apel gigi (diisi oleh peneliti)

Keterangan:

k : karies ● : tambalan ↑ : sedang erupsi x : cabut o : belum erupsi lain-lain : …..

IV. Oklusi (diisi oleh peneliti)

Oklusi Keterangan Kelas I Angle

Kelas II Angle Kelas III Angle

55 54 53 52 51 61 62 63 64 65

17 16 15 14 13 12 11 21 22 23 24 25 26 27 47 46 45 44 43 42 41 31 32 33 34 35 36 37

85 84 83 82 81 71 72 73 74 75

(48)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA ORANG TUA ATAU WALI SUBJEK PENELITIAN

Selamat pagi/ siang,

Saya Nur Hayati, mahasiswi dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Saya akan melakukan penelitian yang berjudul Prevalensi Maloklusi Pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle pada anak sekolah dasar di Kecamatan Panyabungan. Manfaat yang diperoleh adalah sebagai data untuk mengetahui tingkat prevalensi maloklusi pada anak sekolah dasar di Kabupaten Mandailing Natal.

Penelitian ini membutuhkan 324 sampel subjek penelitian. Partisipasi Bapak/

Ibu bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Bila Bapak/ ibu memutuskan untuk membenarkan anak Bapak/ Ibu ikut serta dalam penelitian, anak juga bebas untuk mengundurkan diri/ berubah pikiran setiap saat tanpa dikenai denda atau sanksi apapun.

Pada waktu penelitian, saya akan melakukan pemeriksaan gigi yang akan diisi ke lembar penelitian. Pemeriksaan gigi dilakukan dengan menggunakan kaca mulut.

Setelah itu anak-anak akan dipakaikan cheek retractor (alat pembuka mulut yang terbuat dari bahan plastik) dan kaca intraoral untuk memperlihatkan keadaan gigi, kemudian difoto menggunakan kamera. Lalu, cheek retractor dan kaca intraoral akan dilepaskan kembali dan anak-anak dipersilahkan kembali ke kelas mengikuti pelajaran.

Sebagai subjek peneliti, anak-anak berkewajiban mengikuti aturan dan petunjuk seperti yang tertulis diatas. Untuk penelitian ini, Bapak/Ibu tidak akan dibebankan oleh biaya apapun. Semua informasi yang berkaitan dengan identitas anak-anak akan dirahasiakan. Hasil penelitian akan dipublikasikan tanpa identitas anak-anak.

(49)

Bila Bapak/ Ibu membutuhkan penjelasan, maka dapat menghubungi saya:

Nama : Nur Hayati

Alamat : Jl. Lintas Timur, Gg. Mangga Godang, Sipolu-polu No. HP : 081370129996

Demikian informasi ini saya sampaikan. Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak/ Ibu yang telah ikut berpartisipasi pada penelitian ini dan kepada anak Bapak/Ibu yang berpartisipasi saya akan berikan souvenir. Keikutsertaan Bapak/ Ibu dalam penelitian ini akan menyumbangkan sesuatu ilmu yang berguna bagi ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran gigi.

Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini diharapkan Bapak/ Ibu bersedia mengisi lembar persetujuan (informed concern) yang telah dipersiapkan.

Peneliti,

Nur Hayati

(50)

LAMPIRAN 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONCERN)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : ………..

Alamat : ...

Telp/ HP : ...

Saya telah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian Prevalensi Maloklusi Pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Maka dengan ini saya sukarela dan tanpa paksaan mengizinkan dilakukan pemeriksaan maloklusi pada anak saya:

Nama : ………..

Nama sekolah :...

Kelas : …...

Jenis Kelamin : L / P

Demikian pernyataan ini saya berikan dalam keadaan sehat / sadar dan tanpa paksaan apapun dari pihak manapun juga.

Panyabungan, 2017 Mahasiswa Peneliti Orang Tua Subjek Penelitian,

……….. ………

Nur Hayati ( )

(51)

LAMPIRAN 4

DATA HASIL PENGAMATAN MALOKLUSI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN PANYABUNGAN

NO JENIS KELAMIN UMUR SEKOLAH

MALOKLUSI

KELAS I KELAS II KELAS III

1 Laki-laki 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

2 Laki-laki 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

3 Laki-laki 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

4 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

5 Laki-laki 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

6 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Tidak Ya

7 Laki-laki 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

8 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Ya Tidak

9 Laki-laki 13 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Tidak Ya

10 Laki-laki 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Ya Tidak

11 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

12 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

13 Perempuan 13 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

14 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

15 Laki-laki 10 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

16 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

17 Laki-laki 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

18 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

19 Perempuan 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Ya Tidak

20 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

21 Laki-laki 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

22 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Ya Tidak

23 Perempuan 12 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Ya Tidak Tidak

24 Laki-laki 11 tahun SDN 078 PANYABUNGAN Tidak Ya Tidak

Gambar

Gambar 1. Hubungan molar pada maloklusi Kelas I Angle. 28
Gambar 2. Hubungan molar pada maloklusi Kelas II Angle. 28
Gambar 4. Maloklusi Kelas II divisi 2 Angle. 28
Gambar 6. Peta Mandailing Natal. 7
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Therefore, to examine whether degraded PCs or oxi- dized fatty acids were responsible for the inhibitory effects of oxidative products of PUFA-containing PCs, we

Dengan demikian, dapat di simpulkan bahwa terdapat perbedaan di dalam perhitungan HPP yang di lakukan perusahaan selama ini dengan metode yang di terapkan oleh penulis.Perbedaan

[r]

Secara umum kesimpulan dalam penelitian ini adalah “ Implementasi pembelajaran tematik dengan Quantum Teaching di kelas III SDN 21 Kecamatan Sungai Raya

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada pada aspek produksi dan ekspor CPO Sumatera Utara, menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi

Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan secara lengkap, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan Saya menandatangani dan menyatakan bahwa saya bersedia menjadi

______ murid dapat mencapai objektif yang ditetapkan dan ______ murid yang tidak mencapai objektif akan diberi bimbingan khas dalam sesi akan datang.

Pada Sukirno, keseluruhan data kuantitatif menunjukkan tidak ada perbedaan kondisi depresi sebelum dengan sesudah pelaksanaan intervensi, sekalipun Sukirno mengaku