• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta Chapter III VI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pemberian Mitomycin-C Secara Topikal pada Meatus Media Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopi Fungsional Terhadap Terjadinya Sinekia dan Krusta Chapter III VI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik dengan rancangan eksperimental double-blind randomized clinical trial.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan. Penelitian dilakukan sejak proposal ini disetujui sampai sampel terpenuhi.

3.3 Populasi Penelitian 3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua penderita rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan.

3.3.2 Sampel

Sampel penelitian adalah penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan yang memenuhi kriteria inklusi. Sisi kavum nasi untuk pemakaian topikal mitomycin-C dipilih secara acak dimana peneliti tidak mengetahui sisi mana yang mendapatkan mitomycin-C dan dengan tampon yang serupa dibasahi dengan NaCl 0,9% pada sisi kontralateral sebagai kontrol.

3.3.3 Besar Sampel

Sampel dihitung dengan rumus besar sampel: n ≥ 2 { (Zα + Zβ). SD/ ∆ }2

Keterangan:

n : Jumlah sampel.

Zα : Tingkat kemaknaan = 1,96. Zβ : Power = 0,90.

(2)

n ≥ 2 { (1,96 + 0,90). 2,92/ 3 }2 n ≥ 15,72  16

n ≥ 16 + 20%

Besar sampel minimal yang dibutuhkan adalah 20 orang.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria inklusi

1. Penderita rinosinusitis kronis bilateral dengan polip maupun tanpa polip yang gagal dengan pengobatan medikamentosa dan akan menjalani bedah sinus endoskopi fungsional dengan tindakan minimal antrostomi meatus media pada kedua sisi hidung.

2. Penderita rinosinusitis kronis bilateral dengan polip maupun tanpa polip dengan perbedaan skor Lund-Mackay pada CT scan kurang dari dua antara kedua sisi sinus.

3. Keadaan umum baik.

4. Bersedia diikutsertakan dalam penelitian dan menandatangani informed consent.

3.4.2 Kriteria eksklusi

1. Penderita rinosinusitis kronis unilateral dengan polip maupun tanpa polip.

2. Penderita dengan riwayat operasi di kavum nasi sebelumnya. 3.5 Variabel Penelitian

Variabel yang diteliti adalah sinekia dan krusta.

3.6 Definisi Operasional

• Rinosinusitis kronis adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal selama lebih dari 12 minggu (Fokkens, Lund & Mullol, 2012).

• Bedah sinus endoskopi fungsional adalah teknik bedah minimal invasif dimana sel-sel udara pada sinus dan ostiumnya dibuka dengan cara tampak langsung (Slack & Bates 1998).

(3)

• Skor Lund-Mackay penderita rinosinusitis adalah penilaian hasil CT scan sinus paranasalis yang menggunakan indeks Lund-Mackay dengan skor total adalah

24 (Busquets & Hwang 2006). a) Sinus yang dinilai adalah:

- Sinus maksilaris kanan dan kiri

- Sinus etmoidalis anterior kanan dan kiri - Sinus etmoidalis posterior kanan dan kiri - Sinus frontalis kanan dan kiri

- Sinus sfenoidalis kanan dan kiri

b) Kriteria penilaian untuk masing-masing sinus kanan dan kiri: - Tidak ada kelainan = 0

- Opasitas parsial = 1 - Opasitas total = 2

c) Kriteria diatas ditambah ostiomeatal kompleks kanan dan kiri

Kriteria penilaian untuk masing-masing ostiomeatal kompleks kanan dan kiri adalah; tersumbat = 2, tidak tersumbat = 0

• Sinekia adalah perlengketan yang terjadi antara konka media dengan dinding lateral hidung.

Klasifikasi sinekia yang digunakan adalah:

5. Tipe A : Perlengketan pada bagian persimpangan antara anterior konka media dengan dinding lateral hidung/ perlengketan minimal antara konka media dengan dinding lateral hidung 6. Tipe B : Perlengketan parsial antara konka media dengan dinding

lateral hidung yang lebih besar dari tipe A, dimana dijumpai perlengketan pada setengah atau lebih meatus media namun meatus media masih terlihat

7. Tipe C : Perlengketan total antara konka media dengan dinding lateral hidung disertai tidak terlihatnya meatus media

• Krusta adalah massa yang mengeras pada permukaan luka akibat darah atau sekret yang mengering.

Luas krusta yang terbentuk dibagi atas 3 tingkat: (Fokkens, Lund & Mullol 2012)

(4)

5. Ringan : kurang dari 50% 6. Berat : lebih dari 50%

3.7 Alat dan Bahan Penelitian

Penelitian ini memerlukan alat-alat sebagai berikut:

1. Mitomycin-C 10mg/vial produksi Kyowa Hakko Kirin Co. Ltd. 2. Formulir persetujuan ikut dalam penelitian (informed consent) 3. Alat pemeriksaan THT rutin

4. Nasoendoskopi set

5. 1 set alat bedah sinus endoskopik fungsional

3.8 Cara Kerja

Setelah dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional, tampon berukuran 8x1 cm yang dibasahi dengan 1 ml mitomycin-C (0,5 mg/ml) diletakkan pada permukaan berikut: meatus media, rongga etmoid, dan sekeliling ostium sinus maksila pada salah satu sisi kavum nasi selama 5 menit dan dengan tampon yang serupa dibasahi dengan 1 ml NaCl 0,9% pada sisi kontralateral sebagai kontrol. Sisi untuk pemakaian topikal mitomycin-C dipilih secara acak dan peneliti tidak mengetahui sisi mana yang mendapatkan mitomycin-C. Asisten akan menuliskan sisi mana yang mendapatkan mitomycin-C dan NaCl 0,9% pada formulir dan memasukannya ke dalam amplop tersegel. Setelah 5 menit tampon dilepas dan dilakukan pemasangan tampon pada kedua meatus media, kemudian dilakukan pemasangan tampon

anterior pada kedua kavum nasi. Setelah semua tampon dilepas pada hari ke-2, cuci hidung dengan NaCl 0,9% dilakukan 2 kali sehari. Terapi yang diberikan adalah

ceftriaxon, deksametason, analgetik dan iliadin nasal spray. Pasien juga disarankan untuk cuci hidung dirumah sewaktu berobat jalan.

(5)

3.9 Rencana Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul akan diolah menggunakan program SPSS. Analisis

univariat dilakukan dengan mendistribusikan data dalam bentuk tabel. Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel menggunakan uji Chi-Square dimana p<0,05.

3.10 Kerangka Kerja

Pasien rinosinusitis kronis bilateral dengan polip maupun tanpa polip yang memenuhi kriteria inklusi

Bedah sinus endoskopi fungsional Tampon berukuran 8x1 cm

dibasahi 1 ml mitomycin-C (0,5 mg/ml) diletakkan pada

salah satu permukaan meatus media, rongga etmoid dan sekeliling ostium

sinus maksila selama 5 menit dengan tampon yang

serupa dibasahi dengan NaCl 0,9% pada sisi kontralateral sebagai kontrol

Evaluasi sinekia dan krusta dilakukan pada minggu pertama dan minggu kedua setelah operasi di meatus media,

(6)

3.11 Jadwal Penelitian

No Jenis Kegiatan

Waktu

1 bulan 2 bulan 18 bulan 2 bulan 1 bulan

1 Persiapan proposal

2 Presentasi proposal

3 Pengumpulan data

4

Pengolahan data dan pembuatan

laporan

(7)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan rancangan eksperimental double-blind randomized clinical trial. Sampel penelitiannya adalah penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan. Sampel yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah sebanyak 20 sampel.

4.1 Proporsi terjadinya sinekia pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Pengaruh pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% terhadap proporsi terjadinya sinekia di meatus media pada penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1. Proporsi terjadinya sinekia pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Sinekia

NaCl 0,9% Mitomycin-C

Minggu I Minggu II Minggu I Minggu II

n (%) n (%) n (%) n (%)

Tidak dijumpai 3 (15,0) 7 (35,0) 18 (90,0) 16 (80,0)

Dijumpai 17 (85,0) 13 (65,0) 2 (10,0) 4 (20,0) Total 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0)

Minggu I df = 1, p = 0.000 Minggu II df = 1, p = 0.004

(8)

antara pemberian mitomycin-C dengan NaCl 0,9% terhadap terjadinya sinekia pada minggu I.

Tabel 4.2. Analisis terhadap number needed to treat (NNT) pada minggu I

Sinekia

Nilai absolute risk reduction (ARR) adalah nilai menghitung berapa persen terapi mitomicyn-C yang diuji memberikan perbaikan dibandingkan dengan pemberian NaCl 0,9%. Pada tabel diatas di dapatkan nilai ARR 75% yang berarti mitomycin-C dapat mengurangi efek terjadinya sinekia 75% lebih dibandingkan pemberian NaCl 0,9%. Dari nilai ARR dapat dihitung number needed to treat (NNT) yaitu jumlah pasien yang harus diobati untuk mendapatkan tambahan 1 hasil yang baik. Pada tabel 4.2 didapatkan nilai NNT adalah 1,3 yang artinya dari 4 orang pasien yang mendapatkan pengobatan dengan mitomycin-C setelah 1 minggu diperoleh hasil 3 orang diantaranya pengurangan terjadinya sinekia.

Pada minggu II sinekia juga paling banyak terjadi pada sisi kavum nasi yang mendapatkan NaCl 0,9% sebanyak 13 kavum nasi (65,0%) dibandingkan dengan sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C sebanyak 4 kavum nasi (20,0%). Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,004 (p<0,05), artinya ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian mitomycin-C dengan NaCl 0,9% terhadap terjadinya sinekia pada minggu II.

Tabel 4.3. Analisis terhadap number needed to treat (NNT) pada minggu II

Sinekia

(9)

0,9%. Dari nilai ARR dapat dihitung number needed to treat (NNT) yaitu jumlah pasien yang harus diobati untuk mendapatkan tambahan 1 hasil yang baik. Pada tabel 4.3 didapatkan nilai NNT adalah 2,2, artinya dari 2 orang pasien yang mendapatkan pengobatan dengan mitomicyn-C setelah 2 minggu diperoleh hasil 1

orang diantaranya pengurangan terjadinya sinekia.

4.2 Distribusi frekuensi sinekia pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Gambaran sinekia dengan pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% pada penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4. Distribusi frekuensi sinekia pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Sinekia

NaCl 0,9% Mitomycin-C

Minggu I Minggu II Minggu I Minggu II

n (%) n (%) n (%) n (%)

Tidak dijumpai 3 (15,0) 7 (35,0) 18 (90,0) 16 (80,0)

Tipe A 8 (40,0) 4 (20,0) 1 (5,0) 4 (20,0)

Tipe B 4 (20,0) 5 (25,0) - -

Tipe C 5 (25,0) 4 (20,0) 1 (5,0) -

Total 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sinekia terjadi pada kedua sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C dan NaCl 0,9%. Sinekia tipe A paling banyak terjadi pada sisi NaCl 0,9% pada minggu I sebanyak 8 kavum nasi (40,0%). Sinekia tipe B paling banyak terjadi pada sisi NaCl 0,9% pada minggu I dan minggu II berturut-turut sebanyak 4 kavum nasi (20,0%) dan 5 kavum nasi (25,0%). Satu penderita mengalami sinekia tipe C pada kedua sisi kavum nasi pada minggu I.

(10)

Gambar 4.1. Sinekia tipe A Gambar 4.2. Sinekia tipe B Gambar 4.3. Sinekia tipe C

4.3 Proporsi terjadinya krusta pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Pengaruh pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% terhadap proporsi terjadinya krusta di meatus media pada penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5. Proporsi terjadinya krusta pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Krusta

NaCl 0,9% Mitomycin-C

Minggu I Minggu II Minggu I Minggu II

n (%) n (%) n (%) n (%)

Tidak dijumpai 9 (45,0) 12 (60,0) 8 (40,0) 12 (60,0)

Dijumpai 11 (55,0) 8 (40,0) 12 (60,0) 8 (40,0) Total 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0)

Minggu I df = 1, p = 0.749 Minggu II df = 1, p = 1.000

Dari tabel 4.5 dapat dilihat bahwa pada minggu I krusta yang terjadi hampir sama pada sisi kavum nasi yang mendapatkan NaCl 0,9% dan pada sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C berturut-turut sebanyak 11 kavum nasi (55,0%) dan 12 kavum nasi (60,0%). Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,749 (p>0,05), artinya tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian mitomycin-C dengan terjadinya krusta pada minggu I.

(11)

(p>0,05), artinya tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian mitomycin-C dengan terjadinya krusta pada minggu II.

4.4 Distribusi frekuensi krusta pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Gambaran krusta dengan pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% pada penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut.

Tabel 4.6. Distribusi frekuensi krusta pada pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9%

Krusta

NaCl 0,9% Mitomycin-C

Minggu I Minggu II Minggu I Minggu II

n (%) n (%) n (%) n (%)

Tidak dijumpai 9 (45,0) 12 (60,0) 8 (40,0) 12 (60,0)

Ringan 9 (45,0) 8 (40,0) 8 (40,0) 8 (40,0)

Berat 2 (10,0) - 4 (20,0) -

Total 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0) 20 (100,0)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa krusta terjadi pada kedua sisi kavum nasi yang mendapatkan NaCl 0,9% dan mitomycin-C. Krusta tipe ringan pada minggu I terjadi hampir sama pada sisi NaCl 0,9% maupun pada sisi mitomycin-C, yaitu masing-masing 9 kavum nasi (45,0%) dan 8 kavum nasi (40,0%), sedangkan pada minggu II krusta tipe ringan yang terjadi sama besar yaitu 8 kavum nasi (40,0%). Krusta tipe berat paling banyak terjadi pada sisi mitomycin-C pada minggu I yaitu 4

kavum nasi (20,0%).

Gambaran krusta ringan dan berat yang dijumpai pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

(12)

BAB 5 PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan terhadap 20 penderita rinosinusitis kronis yang

menjalani bedah sinus endoskopi fungsional yang dilakukan di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan. Dari 20 penderita yang diteliti, 11 penderita adalah laki-laki dan 9 penderita adalah perempuan. Umur termuda adalah 16 tahun sedangkan tertua berusia 68 tahun. Setelah dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional, sisi kavum nasi yang mendapatkan pengobatan topikal mitomycin-C dipilih secara acak yaitu pada sisi kiri kavum nasi 14 penderita dan pada sisi kanan kavum nasi 6 penderita (lampiran 2).

Pemeliharaan mukosa dan kerusakan minimal dari struktur anatomi yang normal adalah penentu atas hasil yang baik setelah bedah sinus endoskopi fungsional. Namun, terlepas dari prosedur hemat mukosa selalu ada permukaan mukosa yang terluka setelah operasi (Venkatraman et al. 2012). Ketika permukaan mukosa yang terluka berada saling berdekatan setelah dilakukannya bedah sinus endoskopi fungsional, jaringan ikat dapat terbentuk diantara kedua permukaan tersebut sehingga terjadi sinekia. Sinekia dengan ukuran yang besar dan berada pada tempat yang sesuai dapat menyebabkan sumbatan pada ostium sinus sehingga memungkinkan terjadinya infeksi sinus yang berulang (Konstantinidis et al. 2008).

Dari hasil penelitian didapatkan pada minggu I sinekia paling banyak terjadi

pada sisi kavum nasi yang mendapatkan NaCl 0,9% sebanyak 17 kavum nasi (85,0%) dibandingkan dengan sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C sebanyak 2 kavum nasi (10,0%). Dari uji Chi-Square diperoleh nilai p=0,000 (p<0,05), artinya ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik

(13)

Hal ini sesuai dengan penelitian Gupta & Motwani (2006), Baradaranfar et al (2011) dan Venkatraman et al (2012) yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian mitomycin-C dengan terjadinya sinekia. Akan tetapi hasil yang berbeda didapatkan oleh Chung et al (2002), Anand et al (2004),

Konstantinidis et al (2008) dan Yamaoka & Gregorio (2012).

Mitomycin-C dapat digunakan sebagai tambahan pada bedah sinus endoskopi fungsional untuk berbagai alasan, seperti; beberapa penelitian telah menunjukkan efektivitas dari pemakaian mitomycin-C pada beberapa penyakit mata yang terbukti

dapat meminimalisir proses pembentukan jaringan parut paska operasi sehingga resiko kegagalan operasi dapat dihindarkan, sampai saat ini belum ditemukan adanya laporan tentang efek samping terhadap pengunaan mitomycin-C secara topikal dan dari dua penelitian yang berbeda, Rahal et al dan Ingrams et al menunjukkan penurunan insidensi stenosis pada operasi antrostomi maksila dengan kelinci sebagai objeknya. Analisis secara histologis menunjukkan bahwa pemberian mitomycin-C secara topikal menyebabkan penurunan proliferasi fibroblas, namun secara cepat mampu mengembalikan epitel normal saluran napas (Anand et al. 2004).

Dalam sebuah penelitian kultur fibroblas hidung manusia yang mendapatkan mitomycin-C 0,4 mg/ml selama 5 menit yang dilakukan oleh Hu et al. menunjukkan tingkat penghambatan pertumbuhan fibroblas hanya 31% dan kembali normal dalam 5-7 hari kemudian. Disamping itu juga dijumpai peningkatan apoptosis fibroblas. Mengingat jangka waktu yang diperlukan untuk pembentukan sinekia dalam kavum nasi dengan durasi yang singkat, maka efek mitomycin-C dapat mengurangi efek fibroblas dalam waktu singkat. Peningkatan apoptosis fibroblas juga dijumpai (Anand

et al. 2004). Penundaan terbentuknya fibrosis akan memungkinkan reepitelisasi berlangsung sebelum jaringan parut dapat terbentuk, sehingga meningkatkan keberhasilan bedah sinus endoskopi fungsional (Singh, Lade & Natesh 2011).

(14)

mitomycin-C pada operasi hidung (Chung et al. 2002; Anand et al. 2004; Konstantinidis et al. 2008).

Penelitian Singh, Lade & Natesh (2011) yang membandingkan penggunaan mitomycin-C dengan konsentrasi 0,4 mg/ml dan 0,8 mg/ml selama 5 menit telah terbukti menurunkan pembentukan sinekia pada penderita yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional.

Dari hasil penelitian pada tabel 4.4 sinekia terjadi lebih sedikit pada sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C dibandingkan dengan NaCl 0,9%, hal ini

bermakna bahwa mitomycin-C dapat menghambat pembentukan sinekia. Sinekia pada sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C pada minggu I sebanyak 2 kavum nasi (1 kavum nasi tipe A dan 1 kavum nasi tipe C) sementara sinekia pada minggu II sebanyak 4 kavum nasi tipe A. Dimana pada 2 kavum nasi yang awalnya pada minggu I tidak terdapat sinekia menjadi terdapat sinekia tipe A pada minggu II. Hal ini mungkin disebabkan karena penderita jarang mencuci hidung, dan akibat tindakan pembersihan krusta yang luas pada kavum nasi menyebabkan permukaan mukosa terluka kembali. Dari penelitian juga didapatkan satu penderita mengalami sinekia tipe C pada sisi kavum nasi yang mendapat mitomycin-C, hal yang sama didapatkan oleh Chung et al (2002) dan Baradaranfar et al (2011). Akan tetapi hasil yang berbeda didapatkan oleh Konstantinidis et al (2008) dimana penelitiannya tidak menemukan sinekia tipe C pada sisi yang mendapat mitomycin-C.

Krusta dapat berperan sebagai jembatan pembentukan sinekia, yang menyebabkan sumbatan ostium (Penavic 2011). Penggunaan topikal mitomycin-C

dapat membantu mengurangi kejadian sinekia pada periode awal paska operasi dan dengan demikian meningkatkan hasil dari operasi, tetapi tidak ada bukti kuat untuk

efek jangka panjang (Karkos et al. 2011; Venkatraman et al. 2012; Harugop et al. 2014).

(15)

(p>0,05), artinya tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara pemberian mitomycin-C dengan NaCl 0,9% terhadap terjadinya krusta pada

minggu II (tabel 4.5).

Hal ini sesuai dengan penelitian Gupta & Motwani (2006) yang mendapatkan tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara pemberian mitomycin-C

dengan terjadinya krusta. Akan tetapi hasil yang berbeda didapatkan oleh Venkatraman et al (2012) dimana penelitiannya menemukan pembentukan krusta yang lebih sedikit pada sisi yang mendapatkan mitomycin-C dan menyimpulkan

bahwa hal ini merupakan penyebab perbaikan gejala pada sisi yang mendapatkan mitomycin-C.

Saat operasi, hindari melukai dan merusak mukosa secara luas yang dapat menyebabkan cedera epitel. Pada tahap awal, kavum nasi tampak bersih yang disebut stage of clean cavity. Setelah 3-5 hari tampon anterior dilepas, rembesan gumpalan darah akan membentuk krusta hitam yang keras. Tidak ada perubahan pada mukosa sisa yang berada di bawah krusta dalam 2-3 hari pertama. Hasil pemeriksaan endoskopi pada 10 hari pertama, awalnya kavum nasi didominasi oleh krusta oleh karena bersihan mukosa yang rendah sehingga sekret kental berkumpul dan selanjutnya krusta akan berkurang. Setelah 10 hari kavum nasi menjadi bersih (Penavic 2011). Pada penelitian ini krusta terjadi hampir pada semua kavum nasi, yang menunjukkan bahwa mitomycin-C tidak dapat menghambat pembentukan krusta. Hal ini mungkin disebabkan karena mitomycin-C merupakan antifibroblas sedangkan krusta sendiri terbentuk dari campuran gumpalan darah dan sekret yang

(16)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita rinosinusitis kronis dengan polip maupun tanpa polip yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional di Departemen T.H.T.K.L. beberapa Rumah Sakit di kota Medan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut.

6.1.1. Dijumpai pengaruh pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% terhadap terjadinya sinekia pada minggu I dan minggu II (p<0,05). Pada minggu I, terapi dengan mitomycin-C relatif lebih efektif daripada NaCl 0,9% dengan nilai NNT adalah 1,3 yang artinya dibutuhkan 4 orang pasien yang diberikan 1 minggu pengobatan dengan mitomycin-C untuk medapatkan hasil 3 orang diantaranya pengurangan terjadinya sinekia. Pada minggu II, terapi dengan mitomycin-C relatif lebih efektif daripada NaCL 0,9% dengan nilai NNT adalah 2,2 yang artinya dibutuhkan 2 orang pasien diberikan 2 minggu pengobatan dengan mitomicyn-C untuk medapatkan hasil 1 orang diantaranya terjadinya pengurangan sinekia.

6.1.2. Sinekia terjadi lebih sedikit pada sisi kavum nasi yang mendapatkan mitomycin-C dibandingkan dengan NaCl 0,9%, hal ini bermakna bahwa mitomycin-C dapat menghambat pembentukan sinekia. Sinekia tipe A paling banyak terjadi pada sisi NaCl 0,9% pada minggu I sebanyak 8

kavum nasi (40,0%). Sinekia tipe B paling banyak terjadi pada sisi NaCl 0,9% pada minggu I dan minggu II berturut-turut sebanyak 4 kavum nasi

(20,0%) dan 5 kavum nasi (25,0%). Satu penderita mengalami sinekia tipe C pada kedua sisi kavum nasi pada minggu I.

6.1.3. Tidak dijumpai pengaruh pemberian mitomycin-C dan NaCl 0,9% terhadap terjadinya krusta pada minggu I dan minggu II (p>0,05).

(17)

sedangkan pada minggu II krusta tipe ringan yang terjadi sama besar yaitu 8 kavum nasi (40,0%). Krusta tipe berat paling banyak terjadi pada sisi mitomycin-C pada minggu I yaitu 4 kavum nasi (20,0%).

6.2 Saran

6.2.1. Pada penderita rinosinusitis kronis yang menjalani bedah sinus endoskopi fungsional perlu mendapatkan pengobatan topikal mitomycin-C untuk mengurangi terbentuknya sinekia, demikian juga pada penderita yang mengalami sinekia saat follow-up minggu I.

6.2.2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan dosis dan lama pengolesan mitomycin-C yang lebih optimal pada pasien yang akan dilakukan bedah sinus endoskopi fungsional.

Gambar

Tabel 4.1. Proporsi terjadinya sinekia pada pemberian mitomycin-C dan                  NaCl 0,9%
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi sinekia pada pemberian mitomycin-C  dan
Gambar 4.1. Sinekia tipe A    Gambar 4.2. Sinekia tipe B
Tabel 4.6. Distribusi frekuensi krusta pada pemberian mitomycin-C  dan                   NaCl 0,9%

Referensi

Dokumen terkait

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak

penulis dimampukan untuk merampungkan Tesis Magister yang berjudul “G ambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis

Pendahuluan: Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) telah menjadi standar tindakan bedah dalam penatalaksanaan rinosinusitis kronis (RSK), khususnya bagi penderita yang

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita, prosedur tindakan dan temuan operasi pada penderita RSK yang

Pada penelitian ini didapatkan proporsi rasa nyeri terbanyak pada penderita rinosinusitis kronis adalah nyeri tekan wajah, sakit kepala dengan hidung tersumbat 78,6%, proporsi multi

Kesimpulan : Bakteri terbanyak di maksilla pada penderita Rinosinusitis Kronis dengan dan tanpa polip di Medan adalah bakteri aerob Klebsiella.. oxytoca dan

Untuk mengetahui distribusi frekuensi antibiotik yang sensitif pada uji sensitifitas bakteri penderita rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip. 1.4

Pada penelitian ini didapatkan proporsi rasa nyeri terbanyak pada penderita rinosinusitis kronis adalah nyeri tekan wajah, sakit kepala dengan hidung tersumbat 78,6%, proporsi multi