APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Fransisca Angesti Nariswari NIM: 078114144
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
APLIKASI DESAIN FAKTORIAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Fransisca Angesti Nariswari NIM: 078114144
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
v
The way to get started is to quit talking and begin doing. ~ Walt Disney TUHAN telah mendengar permohonanku, TUHAN
menerima doaku (Mazmur 6:9) Keberhasilan adalah kemampuan untuk melewati dan mengatasi dari satu
kegagalan ke kegagalan berikutnya tanpa kehilangan semangat (Winston Chuchill)
LOVE is a promise
that u’ll never forget
vii
semua berkat dan penyertaan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan akhir ini dengan baik. Laporan akhir ini disusun untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Farmasi (S.Farm).
Penulis banyak mengalami kesulitan dan hambatan dalam
menyelesaikan laporan akhir ini. Namun dengan bantuan dari banyak pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir tersebut. Dengan kerendahan
hati penulis ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan yang telah diberikan
kepada :
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Rini Dwiastuti, M.Sc., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis.
3. Dewi Setyaningsih, M.Sc., Apt., selaku Dosen Penguji atas kesediaannya
meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji, serta kritik dan saran yang
diberikan.
4. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji atas kesediaannya
meluangkan waktu untuk menjadi dosen penguji, serta kritik dan saran yang
diberikan.
5. Agatha Budi Susiana Lestari, M.Si., Apt. dan Romo P. Sunu H. S.J. atas
segala bimbingan selama penyusunan proposal.
viii bersama.
9. Teman-teman kos Gracia atas persahabatannya selama ini.
10.Emanuel Dani Ramdani yang setia memberi semangat.
11.Fifi, Septi, Agnes, Aji, Fetri, Putri, Selasih sebagai sahabatku yang selalu
memberi semangat dan dukungan.
12.Teman-teman FST 2007 atas suka dan duka yang kita lewati bersama.
13.Pak Musrifin, Mas Agung, Mas Ottok, Mas Sigit, Mas Wagiran, Pak
Iswandi, Mas Bimo serta laboran-laboran yang lain atas bantuannya selama
penulis menyelesaikan laporan akhir.
14.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan akhir ini banyak
kekurangan mengingat adanya keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.
Untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua
pihak. Akhir kata semoga laporan ini dapat berguna bagi pembaca.
x
mampu menghasilkan busa dalam jumlah cukup dan stabil. Viskositas akan menentukan kemudahan shampoo untuk dituang dari wadah, sedangkan ketahanan busa akan meningkatkan efisiensi pembersihan. Carbopol 940 dapat meningkatkan viskositas shampoo karena dapat membentuk gel dalam air dan mempunyai viskositas paling tinggi, sedangkan penambahan gliserol akan memperbaiki konsistensi dan mempertahankan kelembaban shampoo karena dapat menarik air dari lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana efek carbopol 940, gliserol serta interaksinya terhadap sifat fisis shampoo.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian eksperimental dengan menggunakan desain faktorial dengan dua faktor yaitu konsentrasi carbopol 940 dan konsentrasi gliserol, dua level yaitu level tinggi-level rendah. Sifat fisis (viskositas, ketahanan busa) dan stabilitas shampoo (pergeseran viskositas dan pergeseran ketahanan busa setelah satu bulan penyimpanan) diteliti di proses pembuatan. Data dianalisis secara statistik menggunakan Design Expert 7.14 untuk mengetahui signifikansi (p<0.05) dari setiap faktor dan interaksinya dalam memberikan efek.
Hasil penelitian menunjukkan carbopol 940 memberikan efek signifikan dalam terhadap sifat fisis viskositas, sedangkan tidak memberikan efek signifikan dalam terhadap sifat fisis ketahanan busa. Gliserol dan interaksinya dengan carbopol 940 tidak memberikan efek signifikan dalam terhadap sifat fisis viskositas maupun ketahanan busa shampoo ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.)
xi
and sufficient amount of foam. The viscosity will determine the ease of shampoo to be poured from the container, while foam resistance increase cleaning efficiency. Carbopol 940 can increase the viscosities of shampoo because it can foam a gel in water and has a high viscosity while the addition of glycerol will improve the consistency and the moisture of shampoo because it can draw water from the environment. This study aimed to find out how the effect of Carbopol 940, glycerol, and their interaction on physical properties of shampoo.
This study was a experimental research using a factorial design with two factor concentration of Carbopol 940 and concentration of glycerol. The physical properties (viscosity, foam stability) and the stability of the shampoo (the profile of viscosity dan foam stability one month storage) were observed for the making process. The data were analyzed statistically using Design Expert 7.1.4 for knowing the significance (p<0,05) of each factor and their interaction in giving effect.
The result of this study showed that Carbopol 940 provided significant effect on viscosity physical properties, however did not provide significant effect on foam stability physical properties. Glycerol and their interaction did not provide significant effect on viscosity as well as foam stability physical properties of green tea (Camellia sinensis L.) dry extract shampoo.
xii
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PRAKATA ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
INTISARI ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 3
C. Keaslian Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 4
xiii
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 5
A. Rambut ... 5
1. Definisi ... 5
2. Fungsi rambut ... 5
3. Struktur rambut ... 5
4. Pertumbuhan dan pergantian rambut ... 7
5. Masalah rambut ... 8
B. Teh (Camellia sinensis L.) ... 8
C. Ekstrak Kering ... 10
D. Shampoo ... 10
1. Karakteristik shampoo ... 10
2. Formulasi shampoo ... 11
E. Sodium Lauryl Sulphate ... 12
F. Cocamidopropyl Betaine ... 13
G. Carbopol ... 14
H. Gliserol ... 15
I. Metil Paraben ... 15
J. Uji Sifat Fisis Shampoo ... 16
1. Viskositas ... 16
2. Ketahanan busa ... 18
K. Metode Desain Faktorial ... 19
L. Landasan Teori ... 19
xiv
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 21
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 21
1. Variabel penelitian ... 21
2. Definisi operasional ... 22
C. Alat dan Bahan ... 23
D. Tata Cara Penelitian ... 24
1. Verifikasi ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) dari PT. Sido MunculSemarang, Indonesia ... 24
2. Pembuatan Shampoo ... 24
3. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo ... 26
a. Uji viskositas ... 26
b. Uji ketahanan busa ... 27
4. Uji sifat alir ... 27
E. Analisis Data ... 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28
A. Verifikasi Ekstrak Kering Teh Hijau ... 28
1. Ekstrak teh hijau ... 28
2. Identifikasi organoleptis ... 28
3. Uji kualitatif dengan reaksi warna ... 28
4. Uji kualitatif dengan kromotografi lapis tipis (KLT) ... 30
xv
C. Efek Carbopol 940, Gliserol, Serta Interaksinya Dalam Menentukan
Sifat Fisis Shampoo ... 36
1. Viskositas ... 38
2. Ketahanan busa ... 40
D. Karakteristik Sifat Fisis dan Stabilitas Shampoo ... 42
1. Viskositas shampoo ... 43
2. Pergeseran viskositas shampoo ... 47
3. Ketahanan busa shampoo ... 49
3. Pergeseran ketahanan busa ... 51
E. Sifat Alir Shampoo ... 52
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN ... 61
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Formula modifikasi ... 24
Tabel II. Berat shampoo tiap formula ... 25
Tabel III. Datahasil reaksi warna ekstrak kering teh hijau ... 29
Tabel IV. Efek carbopol 940, gliserol, serta interaksi keduanya dalam menentukan sifat fisis shampoo ekstrak kering teh hijau ... 37
Tabel V. Persamaan desain faktorial ... 37
Tabel VI. Hasil analisis menggunakan ANOVA dengan Desain Expert pada respon viskositas setelah dua hari ... 39
Tabel VII. Hasil analisis menggunakan ANOVA dengan Desain Expert pada respon ketahanan busa setelah dua hari ... 42
Tabel VIII. Data viskositas shampoo (dPa.s) ... 43
Tabel IX. Data uji Friedmann viskositas shampoo ... 45
Tabel X. Data uji Wilcoxon viskositas shampoo ... 46
Tabel XI. Data viskositas shampoo dua hari dan 30 hari (dPa.s) ... 47
Tabel XII. Data uji Wilcoxon pergeseran viskositas shampoo ... 48
Tabel XIII. Data ketahanan busa shampoo (cm) ... 49
Tabel XIV. Data uji Friedmann ketahanan busa shampoo ... 50
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur epicathecin (EC), epicatechin gallate (ECG),
epigallocatechin (EGC) dan epigallocathecin gallate (EGCG) ... 9
Gambar 2. Struktur sodium lauryl sulphate (SLS)... 12
Gambar 3. Struktur cocamidopropyl betaine ... 13
Gambar 4. Monomer asam akrilat dari polimer carbomer ... 14
Gambar 5. Struktur gliserol ... 15
Gambar 6. Struktur metil paraben ... 15
Gambar 7. Kurva tipe alir pseudoplastis ... 17
Gambar 8. Kromatogram KLT ekstrak kering teh hijau diamati dengan sinar UV 254 nm, UV 365 dan visibel ... 30
Gambar 9. Ilustrasi gambar kromatogram KLT ekstrak kering teh hijau diamati dengan sinar UV 254 nm, UV 365 dan visibel ... 31
Gambar 10. Struktur micell ... 32
Gambar 11. Susunan carbopol 940 yang berubah dari coiled menjadi uncoiled34 Gambar 12. Grafik efek carbopol 940 dan gliserol terhadap respon ketahanan busa setelah dua hari ... 38
Gambar 13. Grafik efek carbopol 940 dan gliserol terhadap respon ketahanan busa setelah dua hari ... 40
Gambar 14. Grafik hubungan viskositas terhadap waktu ... 44
xviii
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Certificate of Analysis ekstrak kering teh hijau
(Camellia sinensis L.) dari PT. Sido Muncul ... 61
Lampiran 2. Verifikasi ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) menggunakan KLT... 63
Lampiran 3. Perhitungan dosis ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.)64 Lampiran 4. Perhitungan bahan ... 65
Lampiran 5. Penimbangan, notasi, dan formula desain faktorial ... 68
Lampiran 6. Sifat fisis shampoo... 69
A. Ketahanan busa (cm) ... 69
B. Viskositas (dPa.s) ... 70
Lampiran 7. Data sifat alir ... 73
Lampiran 8. Analisis data menggunakan SPSS 16.0 ... 74
A. Viskositas (dPa.s) ... 74
B. Ketahanan busa (cm) ... 78
C. Pergeseran viskositas ... 80
D. Pergeseran ketahanan busa ... 82
Lampiran 9. Analisis data menggunakan Design Expert 7.14 ... 84
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Rambut indah dan sehat adalah dambaan setiap orang. Tidak hanya
wanita, para pria pun juga memperhatikan penampilan rambut. Siklus
pertumbuhan rambut terdiri dari tiga fase, yakni anagen (periode pertumbuhan
yang aktif), katagen (fase transisi yang singkat) dan telogen (fase istirahat),
sesudah itu terjadi reaktivasi (pengaktifan kembali) folikel, rambut baru
diproduksi, dan rambut tua rontok (Graham, 2002). Pada fase telogen, angka
kerontokan normal berkisar antara 25-100 helai/hari (Brannon, 2006). Penyebab
kerontokan rambut abnormal antara lain kekurangan protein dan zat besi,
perubahan hormonal seperti menopause , kelainan trichotillomania (hair-pulling
disorder), tiroid yang hiperaktif, dan infeksi kulit kepala (Anonim, 2010a).
Hormon testosteron yang memegang peranan penting pada kerontokan
rambut. Testosteron dalam tubuh akan dikonversi menjadi dihydrotestosteron
(DHT) oleh enzim 5-α reductase (Liu and Aspres, 2008). DHT inilah yang dapat
menyebabkan kerontokan pada rambut, apabila berlebihan akan menyebabkan
kebotakan (androgenetic alopecia).
Teh hijau (Camellia sinensis L.) mempunyai potensi sebagai anti kanker
dan anti oksidan karena adanya epigallocatechin-3-gallate (EGCG), konstituen
terbesar dari polifenol (Kwon, Han, Yoo, Chung, Cho, Eun, Kim, 2007). EGCG
menjadi stimulator pertumbuhan sel dari sel normal dengan menginduksi
proliferasi dari Dermal Papilla Cells (DPCs), komponen dalam folikel rambut
yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan rambut (Kwon dkk, 2007).
Teh hijau untuk anti hair loss diformulasikan dalam bentuk shampoo
karena selain dapat mengobati kerontokan rambut dan merangsang pertumbuhan
folikel rambut, shampoo berguna untuk menghilangkan kotoran, lemak, dan
minyak dari rambut, serta membuat rambut berkilau dan mudah diatur (Young,
1972). Teh hijau juga mengandung vitamin C untuk perlindungan terhadap radiasi
UV dan vitamin E memulihkan rambut kering atau rusak dan nutrisi untuk rambut
(Anonim, 2010b) sehingga apabila dibuat dalam sediaan shampoo nilai fungsinya
menjadi semakin tinggi.
Dalam formulasi shampoo banyak hal yang harus dipertimbangkan
karena menurut Wilkinson (1982) wanita menginginkan shampoo untuk
membersihkan dan juga mudah dibilas, memberikan efek glossy pada rambut dan
membuat rambut mudah diatur dan tidak kering.
Untuk mendapatkan sediaan shampoo yang dapat diterima konsumen,
diperlukan ketahanan busa dan viskositas yang baik. Salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi stabilitas busa adalah viskositas sediaan (Scharamm, 2005). Busa
adalah substansi yang terbentuk dari gas, liquid atau solid yang terjebak
didalamnya (Anonim, 2010c). Busa pada sediaan shampoo berfungsi untuk
membersihkan rambut dan acceptabilitas pengguna. Carbopol dipilih sebagai
bahan pengental karena stabilitasnya yang tinggi dan efisiensinya sebagai
Penambahan humectant akan memperbaiki konsistensi dan
mempertahankan kelembaban sediaan. Selain itu humectant juga akan
mempengaruhi sifat fisikokimia bahan obat dan pelepasan bahan obat dari basis
yang selanjutnya akan berpengaruh pada efektivitasnya (Barry, 1983). Gliserol
merupakan humectant yang paling umum digunakan namun cenderung
menimbulkan rasa berat (heavy) dan basah (tacky) yang dapat ditutupi dengan
mengkombinasikan bersama humectant lain (Zocchi, 2001).
Berdasar latar belakang di atas, maka perlu dilakukan pengujian efek
untuk melihat pengaruh carbopol 940 sebagai thickening agent dan gliserol
sebagai humectant melalui suatu desain faktorial. Metode desain faktorial
merupakan aplikasi persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara
variabel respon dan variabel bebas. Faktor yang diteliti adalah kosentrasi carbopol
dan gliserol, sedangkan efek yang diteliti adalah ketahanan busa dan viskositas.
Signifikansi dari setiap faktor dan interaksinya dalam memberikan efek dianalisis
menggunakan Design Expert 7.14 dengan Anova pada taraf kepercayaan 95%
(p<0.05).
1. Permasalahan
Apakah carbopol 940 sebagai thickening agent, gliserol sebagai humectant
dan interaksi keduanya berefek terhadap sifat fisis shampoo ekstrak kering teh
hijau (Camellia sinensis L.)?
2. Keaslian penelitian
Sejauh pengetahuan peneliti, penelitian mengenai efek carbopol 940
shampoo ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) : aplikasi desain faktorial
belum pernah dilakukan.
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai efek
carbopol 940 sebagai thickening agent dan gliserol sebagai humectant terhadap
sifat fisis shampoo.
b. Manfaat metodologis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
penggunaan desain faktorial dalam mengamati efek carbopol 940 dan gliserol
terhadap sifat fisis shampoo ekstrak kering teh hijau.
c. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam formulasi sediaan
shampoo terutama menyangkut jumlah thickening agent dan humectant yang
digunakan.
4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui efek Carbopol 940 sebagai thickening agent, efek
gliserol sebagai humectant dan interaksi keduanya terhadap sifat fisis
5 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Rambut 1. Definisi rambut
Rambut tersusun dari batang dan akar. Batang rambut terdiri dari kutikula,
korteks dari sel epidermis yang mengalami keratinasi, dimana mengandung
pigmen dan medula pada bagian tengah. Akar rambut terlindungi oleh folikel dan
terdapat dibagian dalam lapisan dermis pada kulit. Akar bentuknya melebar pada
ujungnya dan terdapat papilla di dalam suatu bulb. Rambut dibentuk dengan
proses pembelahan sel, mitosis, disekeliling akar dekat papila (Young,1972).
2. Fungsi rambut
Pada tubuh manusia ada sekitar 5 juta rambut yang mempunyai fungsi
utama sebagai pelindung. Dari sekian banyak rambut tersebut ada sekitar 100.000
helai rambut yang terdapat pada kepala, yang berfungsi untuk melindungi tubuh
dari benturan (luka) dan cahaya matahari (Embling, 1972). Selain melindungi
tuubh dari rangsangan fisik seperti panas, dingin, udara kering, kelembaban juga
melindungi tubuh dari rangsangan kimia seperti zat kimia dan keringat. Khusus
untuk rambut di kepala juga berfungsi sebagai estetika (Basoeki, 1988).
3. Struktur rambut
Rambut yang terdiri dari batang dan akar rambut dihasilkan dari folikel
rambut. Didalam folikel rambut terdapat sebaceous gland yang berfungsi
muscle yang berfungsi menegakkan rambut apabila terdapat sensor dingin dari
lingkungan (Mitsui, 1997).
Secara histologi batang rambut tersusun atas sel-sel yang terdiri dari tiga
lapisan yaitu :
a. Medula, disusun oleh barisan sel-sel polyhedral yang berisi granula eleidin
dan rongga udara. Medula membentuk bagian tengah rambut yang longgar dan
terdiri dari 2-3 lapis sel kutis, yang satu sama lainnya dipisahkan oleh ruangan
yang berisi udara. Medula mengandung sel keratin yang tertata secara longgar dan
kemungkinan membentuk polygonal atau kuboidal. Sel-sel medula akan mulai
menggeser vesikel dan sitoplasma pada setiap daerah pada bulbus. Sel-sel tersebut
terdiri dari glikogen dan melanosoma. Selain itu, medula juga mengandung
granula lunak, granula pigmen melanin dan intraseluler ruang udara.
b. Korteks, merupakan bagian terbesar batang rambut yang terdiri dari sel-sel
elongate yang berisi granula pigmen pada rambut hitam, tetapi pada rambut putih,
sebagian besar berisi udara. Dalam keadaan akar rambut hidup, terdapat ruang
sempit yang disebut fusi, yang akan dipenuhi udara pada bagian atas rambut
karena sel korteks telah mati. Di bawah mikroskop elektron, korteks yang telah
matang terdiri dari kantong penutup sel yang tegak dengan bagian-bagiannya yang
terpisah oleh dinding yang cukup tebal, kurang lebih 20-25 cm, membran plasma
atau interseluler lamela.
c. Kutikula, adalah lapisan terluar yang terdiri dari sebuah lapisan sel tunggal
yang jernih, pipih seperti sisik yang merupakan bagian terbesar yang terkeratinkan
dengan tebal masing-masing 350-450 nm. Sel-sel tersebut bertumpang tindih,
dengan tepinya mengarah ke atas. Sel kutikula berhubungan dengan sel bawah
rambut untuk mendukung rambut di bawah folikelnya. Selain itu, bersama-sama
mengikat sel korteks untuk mencegah rontoknya rambut (Embling, 1972).
Akar rambut adalah bagian yang terletak di bawah permukaan yang
menembus dermis dan lapisan subkutan dan terdapat dalam kantong epitel
permukaan, yaitu folikel rambut dan di ujungnya terdapat papilla rambut yang
bertugas melakukan pasokan makanan dan membentuk bulbus. Bulbus ini
mengandung sel matriks yang belum berdiferensiasi dan melanosoit, dari sinilah
rambut tumbuh (Mutschler, 1991).
4. Pertumbuhan dan pergantian rambut
Rambut pertama yang tumbuh dihasilkan dari folikel rambut, dimana
bentuknya tipis, tidak mengandung medula dan biasanya tidak mengandung
pigmen, yang dikenal sebagai lanugo. Semua folikel rambut akan mengalami
aktivitas siklik. Pada fase aktif, anagen, dimana rambut diproduksi, berganti
dengan periode istirahat, telogen, dimana pembentukan club hair meninggalkan
ikatan pada folikel dengan memperluas dasar dan papila dermal akan mengecil
dan menjadi secondary germ yang pasif. Diantara anagen dan telogen terdapat
fase transisi yang singkat, dikenal sebagai catagen, dimana membentuk club hair
baru yang bergerak menuju permukaan kulit, rambut baru diproduksi, dan rambut
Pertumbuhan rambut rata-rata 0,37 sampai 0,44 mm tiap hari dan
kerontokan rambut pada kulit kepala yang normal berkisar antara 50-100
helai/hari (Olsen, 1994).
5. Masalah rambut
Salah satu masalah yang sering terjadi pada rambut adalah kerontokan.
Apabila lepasnya rambut dari kulit kepala melebihi batas normalnya, dan tidak
dapat diatasi oleh pertumbuhan rambut yang baru, dan keadaan ini berlangsung
terus menerus dalam waktu yang lama, maka akan menyebabkan kebotakan atau
alopecia (Graham, 2002).
Androgenetic alopecia merupakan tipe kerontokan rambut yang paling
umum terjadi pada manusia. Secara biokimia, salah satu faktor yang
menyebabkan kelainan ini adalah perubahan testosteron menjadi
dehidrotestosteron (DHT) oleh enzim 5-α-reduktase. DHT dipercaya akan
memperpendek pertumbuhan rambut, atau fase anagen pada siklus rambut yang
menyebabkan pengecilan folikel rambut, dan menghasilkan rambut yang lebih
halus (Prager, Bicketee, French, Marcovici, 2002).
B. Teh (Camellia sinensis L.)
Tanaman teh (Camellia sinensis L.) berasal dari daratan Asia Selatan dan
Tenggara. Tanamannya berupa pohon dengan tinggi 1 sampai 5 m. Cabang
mudanya berwarna kuning keabu-abuan; kemudian berkembang menjadi
berwarna merah keunguan. Akarnya berupa akar tunggang yang kuat. Bunganya
kuning-putih berdiameter 2,5–4 cm dengan 7 hingga 8 petal. Daunnya memiliki
tipe utama dari teh : teh hijau, teh hitam, teh oolong dan teh putih. Semua jenis teh
tersebut berasal dari tanaman yang sama. Hal yang membedakan keempat jenis
tersebut adalah bagaimana proses pengolahannya setelah dipanen (Anonim,
2009).
Katekin merupakan senyawa dominan dari polifenol teh hijau yang
merupakan senyawa larut dalam air, tidak berwarna dan memberikan rasa pahit,
tidak menyamak dan tidak berpengaruh buruk terhadap pencernaan makanan
(Syah, 2006). Tipe katekin yang utama terdapat di teh hijau adalah epicathecin
(EC), epicatechin gallate (ECG), epigallocatechin (EGC) dan epigallocathecin
gallate (EGCG). Jumlah EGCG sekitar 60-70% dari jumlah keseluruhan katekin
(Svabodova, Psotova, Walterova, 2003).
Gambar 1. Struktur epicathecin (EC), epicatechin gallate (ECG), epigallocatechin
(EGC) dan epigallocathecin gallate (EGCG) (Svabodova dkk, 2003)
Teh hijau mempunyai potensi sebagai anti kanker dan anti oksidan karena
adanya epigallocatechin-3-gallate (EGCG), konstituen terbesar dari polifenol
pertumbuhan sel dari sel normal. EGCG berguna dalam pencegahan atau
pengobatan androgenetic alopecia dengan menghambat aktivitas 5-alpha
reductase (Kwon dkk, 2007).
C. Ekstrak kering
Ekstrak kering adalah sediaan kering yang diperoleh dari menyari
simplisia nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, yaitu maserasi, perkolasi,
infundasi, atau penyeduhan dengan air mendidih. Pembuatan ekstrak
dimaksudkan agar zat berkhasiat yang terdapat dalam simplisia terdapat dalam
kadar yang tinggi sehingga memudahkan untuk pengaturan dosis (Anief, 2000).
D. Shampoo 1. Karakteristik shampoo
Shampoo adalah produk yang menghilangkan lemak dan kotoran pada
permukaan kulit kepala dan batang rambut. Membersihkan dan melembutkan
rambut adalah fungsi utama dari shampoo. Shampoo diformulasi untuk
meningkatkan fungsi, struktur, efek pemantulan cahaya, kekuatan, kelicinan,
kemudahan untuk diatur, kelembutan dari rambut untuk tujuan memperbaiki
penampilan. Shampoo biasanya berupa cairan kental, jernih atau opaque,
mengandung 20-40% padatan, pHnya disesuaikan sekitar 5,5. Kebanyakan, tetapi
tidak semua, mempunyai viskositas dengan rasio 500-1500 cps (Limbani, 2009).
2. Formulasi shampoo
Bahan-bahan dasar untuk membuat suatu formula shampoo dalam
a. Surfaktan primer
Surfaktan primer berfungsi untuk detergensi dan pembusaan. Surfaktan
anionik banyak digunakan sebagai surfaktan primer karena sifat
pembusaannya yang sangat baik dan harganya relatif murah. Surfaktan
kationik sebenarnya juga bisa digunakan, karena mampu membentuk busa
dengan baik, mampu membersihkan, dan membuat rambut mudah diatur.
Namun sifatnya iritatif khususnya untuk mata, sehingga perlu dikombinasi
dengan surfaktan nonionik atau amfoter (Rieger, 2000).
b. Surfaktan sekunder
Surfaktan sekunder atau auxiliary surfactant bekerja memperbaiki
detergensi dan pembusaan serta menjaga kondisi rambut. Surfaktan amfoter
banyak digunakan karena dapat melembutkan rambut. Beberapa jenis
surfaktan nonionic juga digunakan karena dapat memperbanyak dan
menstabilkan busa (Rieger, 2000).
c. Thickening agent
Agen viskositas yang biasa digunakan seperti :
1) elektrolit : 1-4 % (w/w) amonium atau natrium klorida dalam alkileter
sulfat akan meningkatkan viskositas.
2) Natural gum seperti karaya dan tragakan; alginat.
3) Derivat selulosa (hidroksietil, hidroksipropil, karboksimetil) dimana akan
melindungi rambut dari ketidakteraturan.
4) Karboksi polimer (Carbopol 934 dan 941) yang akan mendukung stabilitas
d. Pengawet
Pengawet yang dipih biasanya golongan paraben. Konsentrasi metil
paraben sebagai pengawet topikal, yakni 0,02 – 0,3% (Rowe, 2009).
e. Pengatur keasaman
Pengatur keasaman berfungsi untuk menyesuaikan pH shampoo,
biasanya 5,5-6,5. Umumnya digunakan asam sitrat, asam laktat, atau asam
fosfat (Fonseca, 2005).
E. Sodium Lauryl Sulphate
Na+
S
O O
O O
-Gambar 2. Struktur Sodium Lauryl Sulphate (SLS)
Surfaktan anionik yang banyak digunakan pada sediaan shampoo adalah
alkil sulfat, khususnya turunan dari lauryl dan myristyl alcohols. Sodium lauryl
sulphate (SLS) merupakan garam yang bagus digunakan untuk menghasilkan
busa yang mengkilap dan volume busa yang besar. SLS berupa serbuk berwarna
putih, atau sebagai pasta di berbagai kandungan deterjen. Kelarutannya rendah di
air dingin, namun dengan meningkatnya temperatur air kelarutannya menjadi naik
menghasikan larutan SLS di suhu sekitar 35-400C (Rieger, 2000).
Meskipun merupakan pembersih yang baik, SLS dapat mengiritasi kulit
sehingga digunakan dengan kombinasi surfaktan amfoterik yang bersifat kurang
iritatif (Paye, 2006).
F. Cocamidopropyl betaine
Gambar 3. Struktur Cocamidopropyl betaine
Betaine adalah turunan trimethylglycine dimana 1 gugus metil digantikan
oleh radikal lemak C12-18 atau lemak alkil amido radikal (Rieger, 2000).
Betaine merupakan surfaktan dengan sifat pembusa, pembasah, dan
pengemulsi yang baik, khususnya dengan keberadaan surfaktan anionik (Barel,
2009). Selain itu, juga merupakan surfaktan yang lembut, daya busanya tidak
dipengaruhi oleh pH, dan sifatnya kompatibel dengan surfaktan anionik, kationik,
maupun nonionik (Wilkinson, 1982).
Betaine bersifat kurang iritatif terhadap mata dan kulit, lebih lagi, adanya
betaine dapat mengurangi efek iritatif dari surfaktan anionik sehingga biasanya
digunakan sebagai gabungan dengan surfaktan lain. Maka dari itu betaine tepat
untuk produk-produk seperti shampoo dan sabun cair (Barel, 2009).
G. Carbopol
Carbopol (Carbomer) dari gugus karboksivinilpolimer yang telah
disilangkan dengan sukrosa alil, merupakan koloid hidrofilik yang mengental
lebih baik daripada natural gums. Carbomer yang terdispersi di dalam air
sodium hidroksida, dengan amina (contohnya trietanolamine), atau dengan basa
anorganik lemah seperti ammonium hidroksida, sehingga dapat meningkatkan
konsistensi dan mengurangi kekeruhannya (Barry, 1983).
Gambar 4. Monomer asam akrilat dari polimer carbomer (Rowe, 2006).
Carbopol yang terdispersi dalam air bersifat asam. Oleh karena itu perlu
ditambahkan basa kuat seperti NaOH hingga dicapai pH optimum 4,5-11 (Barry,
1983), di mana pada pH tersebut carbopol memiliki viskositas yang optimum.
Karena produk-produk ini memiliki bobot molekul yang besar, mereka mampu
menata diri ke dalam struktur terdifusi yang akan mempengaruhi sifat reologi
sistem (Ravissot dan Drake, 2000).
Carbopol 940 adalah tipe yang paling efisien di antara semua carbomer
yang lain, di mana viskositasnya sangat tinggi yaitu 40.000-60.000 cps (pada
kadar 0,5% dengan pH 7,5) dan penampilannya sangat jernih (Allen, 2002).
H. Gliserol
Gliserol (British Pharmacopeia) atau Gliserin (United State Pharmacope)
memiliki rumus empirik C3H8O3 dengan bobot molekul 92,09. Pemeriannya, yaitu
jernih, tidak berwarna, tidak berbau, kental, berupa cairan higroskopis, rasa manis
C
Gambar 5. Struktur Gliserol (Price, 2005)
Penggunaan gliserol dalam bidang farmasi adalah sebagai pelarut
bahan-bahan farmasi; sebagai humectant, plasticizer, dan emollient dalam sediaan
topikal sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
Konsentrasi gliserol dalam kosmetik sebagai humectant dan emolien sebesar 30%.
Gliserol bersifat higroskopis (Price, 2005).
Gliserol merupakan humectant yang paling umum digunakan namun
cenderung menimbulkan rasa berat (heavy) dan basah (tacky) yang dapat ditutupi
dengan mengkombinasikan bersama humectant lain (Zocchi, 2001).
I. Metil paraben
COOCH3 HO
Gambar 6. Struktur metil paraben (Rowe, 2006)
Metil paraben atau biasa disebut nipagin digunakan untuk menghambat
pertumbuhan jamur dan merupakan pengawet yang sering digunakan dalam
makanan dan kosmetik (Kim, 2004). Metil paraben mengandung tidak kurang dari
99,0% dan tidak lebih dari 100,5% C8H8O3, dihitung terhadap zat yang telah
dikeringkan. Metil paraben merupakan hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk
hablur, putih, tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit rasa
terbakar (Anonim, 1995). Kelarutan metil paraben dalam air adalah 1 : 400 bagian
J. Uji Sifat Fisis Shampoo 1. Viskositas
Viskositas adalah suatu pernyataan tahanan dari suatu cairan untuk
mengalir, makin tinggi viskositas maka tahanannya semakin besar. Satuan
viskositas adalah poise, merupakan shearing force yang dibutuhkan untuk
menghasilkan kecepatan 1 cm/detik antara dua bidang cairan yang paralel dimana
luas masing-masing adalah 1 cm2 dan dipisahkan oleh jarak 1 cm (Martin,
Swarbrick, Cammarata, 1993). Viskositas merupakan parameter reologi penting
dalam sediaan semi solid. Penggolongan bahan menurut tipe aliran dan
deformasinya dibagi menjadi dua, yaitu sistem Newton dan sistem non-Newton.
Pada tipe non-Newtonian, viskositas tidak berbanding lurus dengan kecepatan
geser. Tipe non-Newtonian meliputi plastis, pseudoplastis, dan dilatan
(Liebermann, 1996).
Sejumlah besar produk farmasi termasuk gom alam dan sintesis
menunjukkan tipe alir pseudoplastis. Sebagai aturan umum, tipe alir pseudoplastis
diperlihatkan oleh polimer-polimer dalam larutan, yang merupakan kebalikan dari
sistem plastis, tanpa adanya yield value. Viskositas zat pseudoplastis berkurang
Gambar 7. Kurva tipe alir pseudoplastis (Martin dkk, 1993)
Pengukuran viskositas dapat menggunakan berbagai jenis viskometer :
a. Viskometer kapiler
Yang ditentukan adalah waktu tempuh cairan di dalam sebuah kapiler
standar. Viksometer kapiler digunakan untuk bahan-bahan yang mengikuti
tipe aliran Newton dan untuk cairan yang volumenya kecil digunakan
viskometer kapiler bertekanan menurut HESS (Voigt, 1994).
b. Viskometer Stormer
Viskometer ini bekerja berdasarkan prinsip Searle dimana sistem yang
diuji ditempatkan dalam ruang antara mangkuk dan rotor, serta dibiarkan
hingga mencapai temperatur keseimbangan. Sebuah beban ditempatkan
pada penggantung. Waktu yang dibutuhkan rotor tersebut untuk berputar
100 kali dicatat oleh operator. Data ini kemudian diubah ke rpm. Beban
ditambah dan seluruh prosedur tersebut diulang. Dengan cara ini dapat
dibuat suatu rheogram dengan memplotkan rpm terhadap beban yang
ditambahkan. Dengan menggunakan konstanta yang sesuai, harga rpm
detik-1. Begitu pula dengan beban yang ditambahkan dapat diubah dalam
satuan shear stress yakni dyne cm-2. Alat stormer tidak boleh digunakan
untuk sistem yang mempunyai viskositas di bawah 20 cps. (Martin dkk,
1993)
2. Ketahanan busa
Stabilitas busa merujuk kepada kemampuan busa untuk mempertahankan
parameter utamanya dalam keadaan konstan selama waktu tertentu, parameter
tersebut meliputi ukuran gelembung, kandungan cairan, dan total volume busa. “Waktu hidup” busa (foam lifetime) merupakan ukuran paling sederhana untuk
menunjukkan stabilitas busa (Exerowa, 1998).
Untuk mencegah pecahnya busa dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan viskositas bulk dari cairan, misalnya dengan penambahan gliserol
atau polimer. Peningkatan viskositas sediaan akan membuat gaya gravitasi
menurun sehingga kecepatan drainage juga menurun. Selain itu, stabilitas busa
juga dapat didukung oleh peningkatan viskositas permukaan dan atau elastisitas
permukaan lewat pencampuran beberapa macam surfaktan sehingga didapat film
surfaktan yang rapat dan tidak mudah pecah (Tadros, 2005).
Menurut Edoga (2009), cara yang dapat dilakukan untuk mengukur
ketahanan busa adalah dengan membuat larutan surfaktan, kemudian dituang ke
dalam labu dan diaduk dengan kuat selama 2 menit menggunakan pengaduk
mekanik elektris, setelah itu didiamkan selama 5 menit dan diamati tinggi
busanya, sedangkan menurut Evren (2007) pengukuran dapat dilakukan dengan
tabung berskala, digojok 20 kali dengan kecepatan konstan, dan diukur volume
busanya pada menit ke-0 dan ke-5.
K. Metode Desain Faktorial
Desain faktorial merupakan teknik untuk memberikan model hubungan
antara variabel respon dengan satu atau lebih variabel bebas. Desain faktorial dua
level berarti ada dua faktor (misal A dan B) yang masing-masing faktor diuji pada
dua level yang berbeda, yaitu level rendah dan level tinggi. Desain faktorial dapat
didesain suatu percobaan untuk mengetahui faktor yang dominan berpengaruh
secara signifikan terhadap suatu respon (Bolton, 1997).
Desain faktorial juga dapat menghitung besarnya efek masing-masing
faktor, maupun efek interaksi. Besarnya efek dapat dicari dengan menghitung
selisih antara rata-rata respon pada level tinggi dan rata-rata respon pada level
rendah. Konsep perhitungan efek menurut Bolton (1997) sebagai berikut.
Efek faktorial I = [(a-(1)) + (ab-b)] / 2
Efek faktorial II = [(b-(1)) + (ab-a)] / 2
Efek faktorial III = [(ab-b) - (a-(1))] / 2
L. Landasan Teori
Penerimaan konsumen akan suatu produk shampoo menjadi faktor yang
penting karena akan mempengaruhi kepatuhan konsumen dalam penggunaanya.
Penerimaan tersebut dipengaruhi oleh sifat fisis yang meliputi viskositas dan
ketahanan busa. Viskositas akan memudahkan dalam penuangan dan pada saat
mengaplikasikan shampoo, sedangkan ketahanan busa akan meningkatkan
Viskositas dipengaruhi oleh penambahan bahan pengental pada shampoo.
Carbopol merupakan suatu polimer dan biasa digunakan sebagai bahan pengental
karena viskositasnya yang tinggi. Jenis carbopol yang memiliki viskositas dan
kejernihan paling baik adalah Carbopol 940. Ketahanan busa shampoo
dipengaruhi oleh surfaktan yang digunakan. Adanya surfaktan akan mengurangi
tegangan antarmuka gas/cairan sehingga mempermudah dispersi gas dalam cairan,
sedangkan untuk menjaga kelembaban dari sediaan digunakan humectant berupa
gliserol yang dapat menarik lembab dari lingkungan.
Carbopol 940 dan gliserol dapat berpengaruh terhadap viskositas dan
ketahanan busa shampoo. Desain eksperimen yang memungkinkan untuk
mengevaluasi secara simultan carbopol 940 dan gliserol serta interaksi keduanya
yang signifikan adalah desain faktorial (Bolton, 1997). Desain faktorial pada dua
level, yaitu rendah dan tinggi dan dua faktor, yaitu carbopol 940 dan gliserol
(Full Factorial Design 22) diuji agar dapat diperoleh faktor yang memberikan
pengaruh yang signifikan, apakah berasal dari salah satu faktor atau berasal dari
interaksinya.
M. Hipotesis
Carbopol 940, gliserol dan interaksi keduanya memberikan efek yang
signifikan terhadap sifat fisis shampoo ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis
21 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Rancangan Penelitian
Jenis rancangan penelitian yang dilakukan termasuk jenis penelitian
eksperimental dengan desain penelitian secara desain faktorial. Penelitian ini
dilakukan di Laboratorium Teknologi Sediaan Steril Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah konsentrasi Carbopol 940 dan gliserol.
2. Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah sifat fisis (viskositas dan ketahanan busa) dan stabilitas shampoo (nilai pergeseran viskositas dan ketahanan
busa setelah 1 bulan penyimpanan).
3. Variabel pengacau terkendali dalam penelitian ini adalah alat yang digunakan, suhu pemanasan, kecepatan putar mixer, wadah penyimpanan
shampoo dan lama waktu pencampuran.
C. Definisi Operasional
1. Shampoo adalah sediaan setengah cair yang tersusun atas surfaktan, pengental, air, serta bahan aditif lain yang meliputi pengatur pH, pengawet, dan
humectant yang dibuat sesuai prosedur pembuatan shampoo pada penelitian ini.
2. Ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) adalah serbuk halus hasil ekstraksi daun teh hijau yang mengandung epigalokatekin-3-galat (EGCG).
3. Thickening agent adalah bahan yang digunakan untuk mengentalkan shampoo. Dalam penelitian ini thickening agent yang digunakan adalah carbopol
940 dengan jumlah 2 g dan 4 g.
4. Humectant adalah bahan yang dapat mempertahankan kandungan air pada sediaan dengan mengikat lembab dari lingkungan. Dalam penelitian ini humectant
yang digunakan adalah gliserol dengan jumlah 2 g dan 16 g.
5. Viskositas adalah tahanan shampoo untuk mengalir saat diisikan ke dalam wadah dan dikeluarkan saat diaplikasikan pada rambut yang diukur dengan
menggunakan viscotester dan dinyatakan dalam satuan dPa.s.
6. Ketahanan busa adalah kemampuan busa untuk bertahan atau tidak hilang selama 5 menit setelah divortex. Nilainya didapat dari selisih tinggi busa pada
menit ke-0 setelah divortex dengan tinggi busa pada menit ke-5 setelah divortex
dan dinyatakan dalam satuan cm.
7. Desain faktorial adalah desain penelitian yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efek dari dua faktor yaitu carbopol 940 dan gliserol.
9. Faktor adalah besaran yang mempengaruhi respon, yaitu carbopol 940 sebagai faktor A dan gliserol sebagai faktor B.
10.Level adalah nilai atau tetapan untuk faktor yang digunakan, yaitu level rendah dan tinggi. Level rendah pada carbopol 940 dan gliserol adalah 2 g
sedangkan level tinggi pada carbopol 940 adalah 4 g dan pada gliserol 16 g.
11.Respon adalah sifat atau hasil percobaan yang diamati, yaitu sifat fisis shampoo yang meliputi viskositas shampoo, ketahanan busa shampoo dan
stabilitas shampoo yakni pergeseran viskositas dan ketahanan busa shampoo.
D. Alat dan Bahan Penelitian
Alat yang digunakan meliputi seperangkat alat gelas Pyrex-Germany,
neraca Mettler-Toledo PL300, neraca analitik Mettler-Toledo AB204, hot plate
Cenco, thermometer, mixer merek Sharp, pH indikator universal (Merck), vortex
Cenco, viscotester seriVT 04 RION-Japan.
Bahan yang digunakan meliputi ekstrak kering teh hijau (Camellia
sinensis L.), Bahan-bahan untuk pembuatan shampoo meliputi sodium lauryl
sulphate (Brataco), cocamidopropil betaine (Brataco), carbopol 940 distributor
PT. Agung Jaya, natrium hidroksida (Brataco), asam askorbat (Brataco), nipagin
(Brataco), natrium klorida (Brataco), gliserol (Brataco), keseluruhannya adalah
E. Tata Cara Penelitian
1. Verifikasi ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.) dari PT. Sido Muncul Semarang, Indonesia
Verifikasi ekstrak menggunakan sertifikat Laboratorium Penelitian dan
Pengujian Terpadu Universitas Gadjah Mada.
2. Pembuatan shampoo a. Formula standar
A Carbopol 940 * g
Natrium hidroksida 20%b/v q.s pH 7,0
B Sodium lauryl sulphate 10,0 g
Nipagin 0,1 g
C Cocamidopropyl betaine 10,0 g
Asam sitrat 50%b/v q.s pH 5,0 - 6,0
Natrium klorida 25%b/v 8,0 g
Aqua demineralisata ad 100,0 g
b. Formula modifikasi
Tabel I. Formula modifikasi
Bagian Nama bahan Jumlah (g)
A Carbopol 940 * g
Natrium hidroksida 20%b/v q.s pH 7,0
Aqua demineralisata 130
B Sodium lauryl sulphate 40
Nipagin 0,4
Aqua demineralisata 150
Natrium klorida 25%b/v 32
Tabel II. Berat shampoo tiap formula (g)
Formula (g) 1 a b ab
c. Cara kerja pembuatan formula.
Bagian A: Carbopol yang telah dikembangkan 24 jam dimasukkan ke
dalam gelas piala. Pasang ke alat mixer, lalu lakukan pengadukan selama 1
menit dengan kecepatan nomor 1. Kemudian ditambahkan larutan natrium
hidroksida 20%b/v secukupnya hingga pH 7,0.
Bagian B: Dipanaskan aqua demineralisata dan sodium lauryl sulphate
dalam gelas piala hingga 700C. Dimasukkan nipagin dan diaduk hingga
Bagian C : Dicampurkan bagian A dan bagian B dengan mixer dan
lakukan pengadukan selama 2 menit dengan kecepatan nomor 1 (campuran
1). Dimasukkan natrium klorida 25%b/v ke dalam campuran 1 selama 3
menit (campuran 2). Kemudian dimasukkan cocamidopropil betaine ke
dalam campuran 2 selama 4 menit (campuran 3).
Bagian D : Dicampurkan ekstrak kering teh hijau (Camellia sinensis L.)
dengan gliserol. Kemudian dimasukkan ke dalam campuran 3 dengan
mixer dan lakukan pengadukan selama 2 menit dengan kecepatan nomor 1
(campuran 4).
Bagian E : Ditambahkan fragrance ke dalam campuran 4 dengan mixer
dan dilakukan pengadukan selama 1 menit dengan kecepatan nomor 1.
Kemudian dilanjutkan dengan menambahkan asam askorbat 0,1%b/v
secukupnya hingga pH 5,0.
Untuk satu kali pembuatan dibuat shampoo sebanyak 400 g, kemudian
ditempatkan dalam wadah dan disimpan selama 2 hari, 7 hari, 15 hari, 21
hari dan 30 hari sebelum dilakukan pengukuran. Masing-masing formula
direplikasi 6 kali.
3. Uji viskositas dan ketahanan busa shampoo
a. Uji viskositas. Sebanyak 150 g shampoo dimasukkan perlahan-lahan ke
dalam wadah dan dipasang pada viscotester. Didiamkan 5 menit agar sediaan
punya kesempatan untuk menstabilkan diri lebih dahulu. Dinyalakan alat dan
b. Uji ketahanan busa. Ditimbang shampoo sebanyak 0,5 g dan larutkan
dalam 50 ml air. Diambil 10 ml larutan shampoo dan dimasukkan perlahan-lahan
ke tabung reaksi berskala ukuran 25 ml. Ditutup bagian atas tabung reaksi dan
vortex selama 2 menit. Dicatat tinggi busa pada menit ke-0 dan menit ke-5.
Dihitung selisih tinggi busa sebagai nilai ketahanan busa.
4. Uji sifat alir
Sebuah beban ditempatkan pada penggantung. Waktu yang dibutuhkan rotor
tersebut untuk berputar 100 kali dicatat oleh operator. Data ini kemudian
diubah ke rpm. Beban ditambah dan seluruh prosedur tersebut diulang.
Dengan cara ini dapat dibuat suatu rheog dengan memplotkan rpm terhadap
beban yang ditambahkan. Dengan menggunakan konstanta yang sesuai, harga
rpm tersebut dapat diubah menjadi rate of shear yang sesungguhnya dalam
detik-1. Begitu pula dengan beban yang ditambahkan dapat diubah dalam
satuan shear stress, yakni dyne cm-2 (Martin dkk, 1993).
F. Analisis Hasil
Analisis data menggunakan Design Expert 7.14 serial number 2014.7723
dengan uji ANOVA pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil analisis akan
menghasilkan nilai p (probability value). Apabila nilai p < 0.05 maka dapat
disimpulkan bahwa faktor dan interaksi berpengaruh signifikan terhadap respon.
Dengan metode desain faktorial dapat dihitung besarnya efek carbopol 940,
28 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Verifikasi Ekstrak Kering Teh Hijau 1. Ekstrak teh hijau
Ekstrak teh hijau yang digunakan dalam pembuatan shampoo merupakan
ekstrak kering teh hijau yang didapatkan dari PT. Sido Muncul, Semarang..
Menurut Voight (1994) persyaratan ekstrak kering memiliki kandungan lembab
kurang dari 5%, berdasarkan data yang terdapat pada CoA kandungan lembab
ekstrak kering teh hijau ini adalah 3,5% sehingga ekstrak yang digunakan
memenuhi persyaratan sebagai ekstrak kering. Kandungan EGCG
(epigallocatechin-3-gallate) dari ekstrak kering teh hijau berdasarkan certificate
of analysis (CoA) adalah 8,40% (b/b). Menurut Kwon dkk (2007), dikatakan
bahwa dengan penambahan 0,1 µM EGCG pada 10 folikel rambut dapat
menginduksi pemanjangan folikel rambut, sehingga ekstrak kering teh hijau yang
ditambahkan dalam 400 g shampoo sebanyak 2,2 g tiap formula (kandungan
EGCG dalam formula adalah sebanyak 5,4568 x 10-3 g/ml).
2. Identifikasi organoleptis
Hasil uji organoleptis didapatkan hasil bahwa ekstrak kering teh hijau
berupa serbuk kering kuning kecoklatan, berbau khas dan rasa pahit khas (sepat).
3. Uji kualitatif dengan reaksi warna
Identifikasi warna bertujuan untuk mengetahui kebenaran ekstrak teh
(Anonim, 1980). Pada tabel dapat diketahui bahwa reaksi warna yang muncul
memenuhi syarat ekstrak teh hijau berdasarkan MMI.
Tabel III. Data hasil reaksi warna ekstrak kering teh hijau
4. Uji kualitatif dengan Kromatogafi Lapis Tipis (KLT)
Identifikasi EGCG secara KLT bertujuan untuk mengetahui adanya
senyawa yang sama (EGCG) pada ekstrak teh hijau yang digunakan dengan baku
pembanding EGCG 0,103% (b/v).
Gambar 8. Kromatogam KLT ekstrak kering teh hijau diamati dengan sinar UV 254 nm, UV 365 dan visibel
Identifikasi ekstrak teh hijau diamati menggunakan fase diam silika gel
F254 dan fase gerak campuran kloroform-asam asetat-asam formiat-iso propanol
(16:2:2:8 v/v) pereaksi semprot vanillin-asam klorida dengan jarak rambat 8,5 cm.
Setelah diamati dengan sinar UV 254 nm, 365 nm dan sinar visibel bercak
menunjukkan tinggi yang sama antara sampel ekstrak teh hijau dengan
Gambar 9. Ilustrasi gambar kromatogam KLT ekstrak kering teh hijau diamati dengan sinar UV 254 nm, UV 365 dan visibel
Keterangan :
Fase diam = silika gel GF254
Fase gerak = kloroform-asam asetat-asam formiat-iso propanol (16:2:2:8 v/v) Jarak elusi = 8,5 cm
P = pembanding EGCG 0,103% (b/v) S = ekstrak kering teh hijau
Pada pengamatan di sinar UV 254 nm terlihat adanya bercak lain pada
jarak rambat 8,5 cm. Namun tinggi bercak tersebut berbeda dengan tinggi bercak
pembanding (EGCG 0,103% (b/v)). Bercak tersebut diduga adalah senyawa lain
yang ikut terelusi oleh fase gerak.
Rƒ 1,00
Rƒ 0,00
Rƒ 0,38
B. Formulasi Sediaan Shampoo Ekstrak Kering Teh Hijau
Sediaan shampoo terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan
(eksipien). Bahan utama berupa surfaktan yang berfungsi untuk membersihkan
rambut dari minyak dan kotoran yang menempel. Surfaktan akan membentuk
micell yang terdiri dari lapisan hidrofob (bagian ekor) yang akan mengikat
minyak dan kotoran yang menempel, sedangkan lapisan hidrofil (bagian kepala)
akan mempermudah pembilasan oleh air. Bahan pendukung dapat berupa
thickening agent, pengawet, fragance dan conditioning agent.
Gambar 10. Struktur micell
Menurut Rieger (2000), dua surfaktan yang cocok digunakan untuk
basis shampoo adalah surfaktan anionik dan amfoterik. Surfaktan anionik
penggunaannya luas karena efek detergensinya yang tinggi dan harganya murah.
Sedangkan surfaktan amfoterik berperan dalam efek conditioning dan
melembutkan rambut. Surfaktan anionik sebagai surfaktan primer (utama),
sedangkan surfaktan amfoterik sebagai surfaktan sekunder. Surfaktan primer yang
digunakan adalah sodium lauryl sulphate (SLS) dan surfaktan sekunder yang
digunakan adalah cocamidopropyl betaine (betain). SLS digunakan untuk efek
yang baik, daya pembersih tinggi dan stabil dalam air sadah. SLS juga memiliki
HLB yang tinggi, yakni 40. Menurut Liebermann (1996), efek pembersihan
surfaktan yang baik pada HLB di atas 12 karena sifatnya yang hidrofil sehingga
mudah dibilas oleh air. Namun SLS ini dapat mengiritasi mata dan menimbulkan
efek kasar pada kulit, sehingga perlu dikombinasikan dengan surfaktan lain untuk
mengurangi efek iritasi tersebut dan dapat meningkatkan karakteristik shampoo
seperti stabilitas busa (Anonim, 2010). Betain merupakan co-surfaktan yang
sering digunakan karena meningkatkan formula mildness, viskositas dan
karakteristik busa (Arif, 2010). Betain juga akan menstabilkan busa yang
dihasilkan oleh SLS.
Untuk meningkatkan viskositas shampoo maka digunakan carbopol 940
sebagai agen peningkat viskositas. Carbopol 940 merupakan tipe carbopol yang
memiliki penampilan paling jernih dan viskositas paling tinggi, yaitu
40.000-60.000 cps (pada kadar 0,5% dengan pH 7,5) (Allen, 2002). Carbopol memiliki
karakter fisiologis netral dan tidak menimbulkan iritasi, baik pada iritasi primer
maupun uji sensitifitasi. Carbopol yang terdispersi dalam air bersifat asam. Pada
kondisi asam, sebagian gugus karboksil pada rantai polimer akan membentuk
gulungan. Oleh karena itu perlu ditambahkan basa kuat seperti NaOH hingga
dicapai pH optimum 4,5-11 (Barry, 1983), di mana pada pH tersebut carbopol
memiliki viskositas yang optimum. Penambahan basa akan memutuskan gugus
karboksil dan meningkatkan muatan negatif sehingga timbul gaya tolak menolak
elektrostatis yang akan membuatnya menjadi gel yang rigid (kaku) dan
(2010) netralisasi carbopol 940 dengan NaOH menghasilkan gel yang lebih jernih
dibandingkan trietanolamin. Carbopol 1 g dapat dinetralisasi dengan kurang lebih
0,4 g NaOH (Rowe, 2006).
Reaksi penambahan basa :
R-COOH + NaOH R-COONa + H2O
R-COONa R-COO- + Na+
Muatan negatif pada COO- akan saling tolak-menolak sehingga
menghasilkan sistem gel yang rigid. Penambahan basa yang berlebihan akan
membuat carbopol menjadi encer karena kation-kation melindungi gugus-gugus
karboksil dan juga mengurangi gaya tolak-menolak elektrostatis.
Gambar 11. Susunan carbopol 940 yang berubah dari coiled menjadi uncoiled
Selain penambahan carbopol 940 sebagai thickening agent, perlu
ditambahkan NaCl sebagai viscosity modifier agar tercapai viskositas optimum.
Viskositas yang dihasilkan oleh carbopol 940 cukup tinggi sehingga perlu
ditambahkan NaCl untuk menurunkan viskositas. Mekanismenya adalah
pergeseran laju reaksi di mana ketika berada di air NaCl akan terdisosiasi
sempurna menjadi Na+ dan Cl- yang akan menggeser reaksi COONa COO- +
Na+ sehingga COO- yang telah terbentuk akan berikatan kembali dengan Na+ dan
Rambut yang lembut merupakan efek yang diharapkan dari penggunaan
shampoo. Efek tersebut dapat dicapai dengan penambahan humectant yang
merupakan agen yang mengontrol perubahan kelembaban antara produk dengan
udara pada kulit (Strianse, 1957). Humectant menjadi faktor yang penting karena
tidak hanya air saja yang dikenal memiliki peranan penting dalam mengatur
kelembutan kulit. Penelitian menunjukkan jika NMF (Natural Moisturizing
Factor) dihilangkan dari kulit, air saja tidak cukup menjaga elastisitas kulit
(Loden, 2000). Humectant yang digunakan adalah gliserol yang merupakan
humectant yang umum digunakan dan mengandung substansi dengan bobot
molekul rendah yang dapat menarik air. Gliserol juga larut dalam air sehingga
compatible dengan bahan-bahan shampoo lainnya. Gliserol dapat menjaga
kelembaban sediaan sehingga tidak menimbulkan efek rambut kering.
Penambahan ekstrak teh hijau dalam formulasi shampoo berfungsi
sebagai penutrisi rambut untuk merangsang pertumbuhan rambut. Berdasarkan
hasil penelitian, ekstrak teh hijau ini tidak stabil dalam pH yang cenderung basa,
melainkan sangat stabil dalam pH < 4 dan stabil dalam pH 4-8. Oleh karena itu
diperlukan adanya penambahan asam agar pH shampoo cenderung asam namun
masih sesuai dengan pH kulit kepala yakni 5-6. Pada awalnya ditambahkan asam
sitrat untuk menurunkan pH, namun shampoo cenderung tidak stabil dan warna
shampoo menjadi lebih gelap, sehingga ditambahkan asam askorbat untuk
menurunkan pH sampai 5. Menurut Zhou, Chiang, Portocarrero, Zhu, Hill,
Heppret, dkk (2010), asam askorbat dapat meningkatkan stabilitas ekstrak teh
garam pada struktur rambut. Sebaliknya pH lebih dari 8,5 akan merusak ikatan
sulfida dan pH lebih dari 12 akan merusak ikatan hidrogen dan jembatan garam
pula. Apabila ketiga ikatan tersebut hilang maka rambut akan kasar dan rusak
(Corcoran, 1997).
Selain itu, bahan yang ditambahkan adalah pengawet. Pengawet dalam
hal ini adalah metil paraben perlu ditambahkan karena sediaan yang akan dibuat
yakni shampoo memiliki kandungan air yang tinggi yang dapat menjadi media
pertumbuhan mikroba. Menurut Rowe (2006), paraben efektif pada rentang pH
yang lebar dan mempunyai spektrum aktivitas antimikroba yang luas. Selain itu
kelarutan metil paraben 1:400 dalam air sehingga dapat bercampur dengan baik
dalam shampoo yang medianya adalah air.
Untuk pembuatan shampoo ini digunakan aqua demineralisata yang
sudah dihilangkan kandungan logam-logam didalamnya. Tujuannya adalah untuk
menghindari keberadaan mineral-mineral seperti Ca dan Mg yang mungkin
terdapat dalam air. Ion-ion tersebut dapat berikatan dengan COOH- pada carbopol
yang mengakibatkan gaya tolak-menolak berkurang dan viskositas menurun.
C. Efek Carbopol 940, Gliserol, Serta Interaksinya Dalam Menentukan Sifat Fisis Shampoo
Data yang diperoleh dari uji sifat fisis shampoo kemudian dianalisis
menggunakan Desain Expert untuk mengetahui besar efek faktor terhadap sifat
fisis (viskositas dan ketahanan busa setelah dua hari pembuatan shampoo) dan
Berikut ini merupakan data besar efek carbopol 940 dan gliserol serta
interaksi keduanya terhadap sifat fisis shampoo dalam penelitian :
Tabel IV. Efek Carbopol 940 dan Gliserol, serta Interaksi Keduanya dalam Menentukan Sifat Fisis Shampoo Ekstrak Kering Teh Hijau
Keterangan : - (negatif) : efek dari faktor tersebut dapat menurunkan sifat fisik dan stabilitas shampoo.
+ (positif) : efek dari faktor tersebut dapat meningkatkan sifat fisik dan stabilitas shampoo.
Di bawah ini merupakan data persamaan desain faktorial :
Tabel V. Persamaan Desain Faktorial
Sifat Fisis dan Stabilitas Shampoo
Persamaan Desain Faktorial Model (p) Keterangan
Viskositas Y = 11,571 + (3,536) X1 +
(-Persamaan desain faktorial yang diperoleh dari respon viskositas valid
(p<0,05) (Tabel V) sehingga dapat digunakan untuk memprediksi respon yang
diinginkan, sedangkan untuk respon ketahanan busa diperoleh persamaan yang
tidak valid (p>0,05) sehingga tidak bisa untuk memprediksi respon yang
diinginkan.
.
Respon Nama bahan Efek Kontribusi (%)
Viskositas A-Carbopol 940 825,00 87,14
B-Gliserol -0,0833 8,89 x 10-3
AB-Interaksi 0,92 1,08
Ketahanan busa A-Carbopol 940 0 0
B-Gliserol 0,13 5,03
1. Viskositas
Berdasarkan Tabel IV, diperoleh efek carbopol 940 terhadap viskositas
shampoo sebesar 825,00, gliserol terhadap viskositas shampoo sebesar |-8,33|, dan
interaksi antara keduanya sebesar 91,67. Carbopol 940 memberikan kontribusi
paling besar (87,14%) terhadap viskositas shampoo.
Efek carbopol 940 dan gliserol serta interaksi keduanya terhadap
viskositas shampoo dapat dilihat pada gafik berikut :
Gambar 12. Gafik Efek Carbopol 940 dan Gliserol terhadap Respon Viskositas Setelah dua hari
Peningkatan carbopol 940 pada gliserol level rendah dan tinggi
sama-sama meningkatkan respon viskositas shampoo (Gambar 12a). Namun pada
gliserol level rendah respon viskositas mengalami peningkatan yang lebih kecil
dibandingkan pada gliserol level tinggi. Efek gliserol pada respon viskositas
adalah menurunkan viskositas, hal ini terlihat dari nilai efek yang bernilai negatif. b
a
: gliserol level rendah
: gliserol level tinggi
: carbopol 940 level rendah
Namun nilai kontribusinya sangat kecil yakni 8,891 x 10-3, sehingga pada gafik
baik gliserol level rendah dan tinggi sama-sama meningkatkan respon viskositas
shampoo karena carbopol 940 lebih dominan dalam menentukan viskositas.
Peningkatan gliserol pada carbopol 940 level rendah akan menurunkan
viskositas sedangkan pada level tinggi akan meningkatkan viskositas. Hal ini
dikarenakan carbopol 940 memiliki efek yang dominan terhadap viskositas
(berkontribusi sebesar 87,14%) sehingga dengan menurunnya konsentrasi
carbopol 940 maka viskositasnya juga akan menurun. Hal ini diperkuat dengan
nilai efek gliserol yang kecil pada respon viskositas (kontribusinya sebesar 8,891
x 10-3) sehingga walaupun gliserol meningkat maka efeknya lebih kecil
dibandingkan carbopol 940.
Interaksi antara carbopol 940 dan gliserol dalam menentukan viskositas
shampoo dapat dilihat pada gafik, yaitu adanya perpotongan garis (Gambar 12a)
dan garis yang hampir sejajar (Gambar 12b).
Tabel VI. Hasil analisis menggunakan ANOVA dengan Desain Expert pada respon viskositas setelah dua hari
Carbopol 940 dan gliserol serta interaksi keduanya memberikan efek
yang signifikan terhadap respon viskositas shampoo bila p<0,05. Hasil analisis
data viskositas (Tabel VI), diperoleh nilai p>0,05 menunjukkan bahwa gliserol
viskositas. Namun pada faktor carbopol 940 didapatkan nilai p<0,05 yang
menunjukkan bahwa carbopol 940 memiliki efek yang signifikan terhadap
viskositas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hanya pengaruh carbopol 940 yang
dominan dalam respon viskositas.
2. Ketahanan busa
Berdasarkan Tabel IV, diperoleh efek carbopol 940 terhadap ketahanan
busa shampoo sebesar 0, gliserol terhadap ketahanan busa shampoo sebesar 0,12,
dan interaksi antara keduanya sebesar |-0,083|. Gliserol memberikan kontribusi paling besar (5,03%) terhadap ketahanan busa shampoo.
Gambar 13. Gafik Efek Carbopol 940 dan Gliserol terhadap Respon Ketahanan Busa Setelah dua hari
Peningkatan carbopol 940 pada gliserol level rendah akan meningkatkan
respon ketahanan busa shampoo sedangkan pada gliserol level tinggi akan
menurunkan ketahanan busa shampoo (Gambar 13a). Efek carbopol 940 dalam
respon ketahanan busa adalah 0 atau dapat dikatakan tidak memberikan efek,
: gliserol level rendah
: gliserol level tinggi
: carbopol 940 level rendah
: carbopol 940 level tinggi