• Tidak ada hasil yang ditemukan

Maisaroh Nurharjanti Kisah Nabi Ibrahim Dalam al Qur'an (Kajian Semiotik)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Maisaroh Nurharjanti Kisah Nabi Ibrahim Dalam al Qur'an (Kajian Semiotik)"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

KISAH NABI IBRAHIM A.S. DALAM ALQURAN

(SUATU KAJIAN SEMIOTIK)

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan

Dalam Memperoleh Gelar Magister Agama

dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Arab

Oleh :

Maisaroh Nurharjanti

NIM : 01.2.00.1.06.01.0049

Pembimbing :

Dr. H. A. Sayuti Anshari Nasution, M.A.

KONSENTRASI BAHASA DAN SASTRA ARAB

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Maisaroh Nurharjanti

NIM : 01.2.00.1.06.01.0049

Tempat dan Tanggal Lahir : Gunungkidul, 27 Januari 1975

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul "Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Alquran (Suatu Kajian Semiotik)" adalah benar karya asli saya kecuali kutipan dan bukan merupakan jiplakan. Apabila di kemudian hari terbukti tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar.

Surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya

Jakarta, 31 Desember 2007

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Tesis yang berjudulKisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Alquran (Suatu Kajian Semiotik) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Magister Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tanggal 12 Februari 2008. Tesis ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (M.A.) bidang Pengkajian Islam, konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab.

Jakarta, 12 Februari 2008

Sidang Munaqasyah

1. Dr. Yusuf Rahman, M.A. ( ) Ketua Sidang/Penguji

2. Dr. Thoyib I.M ( ) Penguji

(4)

ABSTRAK

Tesis ini membahas tentang Kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Alquran.

Penelitian ini difokuskan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana struktur yang membangun kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran, bagaimana koherensi dan keterpaduan unsur-unsur dalam kisah Ibrahim a.s., dan bagaimana pemaknaan total kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran.

Untuk membahas permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik yang merupakan perkembangan dari pendekatan strukturalisme. Strukturalisme melihat sebuah karya sastra sebagai sebuah konstruksi yang memiliki unsur-unsur internal yang membentuknya. Dalam perkembangannya, teori ini lebih luas lagi tidak hanya memperhatikan unsur-unsur intrinsiknya saja melainkan juga unsur-unsur di luar diri teks tersebut, misalnya latar belakang kemunculannya, situasi sosial budaya di sekitarnya, ataupun diri pengarang yang melahirkan karya.

Pendekatan semiotik ini digunakan karena dianggap dapat memberikan pemaknaan yang lebih luas -dari sekedar makna literalnya- dari sebuah kisah yang terdapat dalam Alquran. Data yang diperlukan diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan, dengan mengumpulkan data-data dan bahan-bahan penulisan dari berbagai sumber. Untuk menganalisis ayat-ayat yang berkaitan dengan persoalan yang dibahas, penulis menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif seperti kata-kata tertulis. Melalui metode ini, penulis mencoba untuk mengungkapkan berbagai pemaknaan yang timbul dari kumpulan tanda di dalam teks.

Berdasarkan penelitian penulis, dapat dikemukakan bahwa kisah Nabi Ibrahim a.s. dalam Alquran mengandung unsur-unsur sebagaimana yang terdapat dalam kisah, berupa tema, tokoh, plot, peristiwa, setting atau latar, dan pesan moral. Diantara pesan yang ingin disampaikan adalah sebuah tatanan sosial yang berlandaskan tauhid. Inti dari segala uraian Alquran adalah memperkenalkan keesaan Allah swt.

Kisah Ibrahim a.s. lebih mementingkan tema yang ingin disampaikan berupa pesan-pesan moral yang luhur dan sedikit “mengabaikan” unsur-unsur lainnya, seperti siapa ayah Ibrahim a.s. yang sungguhnya, usia berapa ia mulai berdakwah, Alquran tidak merincinya. Hal ini disebabkan Alquran lebih mengutamakan pesan-pesan tersebut sampai kepada pembaca dan dijadikan pelajaran agar dapat mengikuti jejak Ibrahim a.s. dari perjuangan dan keteguhannya serta menjauhi kesesatan dan kebodohan kaumnya. Allah swt. menjadikan Ibrahim a.s. sebagai teladan atau contoh manusia yang teguh pendirian.

(5)

Beberapa tema minor mengarah kepada tema utama diantaranya adalah kecerdasan Ibrahim dalam menyampaikan hujjah atau dalil-dalil untuk mengajak kaumnya mengikuti ajaran tauhid, keteguhan sikap dan sikap pengorbanan Ibrahim a.s. dalam mempertahankan suatu keyakinan meskipun sikap seperti itu akan membahayakan dirinya, dan proses observasi dan perenungan terhadap bintang, bulan, dan matahari yang dilakukan Ibrahim merupakan salah satu perjalanan spiritual dalam rangka menemukan keesaan Allah swt. Ketika Ibrahim dan Ismail mendirikan kakbah sebagai tempat beribadah terlihat bahwa keduanya memiliki ketaatan, kepatuhan dan penghormatan kepada Sang Pencipta.

Selain tema utama dan tema-tema minor, penggambaran kisah Ibrahim a.s. juga dipaparkan melalui penggambaran sang tokoh, setting kehidupannya, sifat-sifat positifnya, dan juga alur yang membangun rangkaian episode dari kisah Ibrahim a.s. Unsur-unsur tersebut mengarah pada satu tema pokok yaitu ajaran tauhid.

(6)

.

) :

1

(

)

2

(

(

coherence

)

)

3

(

.

.

.

.

.

.

.

)

(

.

.

.

.

:

.

.

.

.

.

.

(7)

.

.

.

.

.

ABSTRACT

(8)

To disscuss the issue, this study utilizes the semiotic approach, which is a further development of the structuralism approach. Structuralism views a literary piece as a construction that contains internal elements creating the work. In its development, this theory is more extensive, it not only observes the intrinsic, but also the external elements of the text itself. For example, the background of its materialization, the surrounding socio-cultural situation, as well as the author creating the work.

The semiotic approach is used because it can provide a more extensive comprehension – rather than just a literal understanding – of a tale contained in the

Quran. The required data is obtained by conducting a literary study of compiled data and literature material from various sources. To analyze verses related to the issue in discussion, the writer utilizes the qualitative method, a research resulting in descriptive data such as written words. By means of this method, the writer attempts to disclose various understandings emerging from the collection of signs in the text.

Based on the writer’s study, it is proposed that the tale of the Prophet Ibrahim `alayhis salam in theQuran contains elements found in a story in the form of theme, character, plot, events, setting or background, and moral message. Amongst the messages to be conveyed are that of a social structure based on tauhid

(monotheism). The essence of the elucidation contained in the Quran is the introduction of the Oneness of Allah subhanahu wata’ala.

Tales of the Prophet Ibrahim `alayhis salam emphasize more on the communication of the theme of exalted moral messages, and somewhat “disregards” the other elements such as the identity of his true father, or at what age he began proselytizing. TheQurandoes not discuss these issues in detail. This is caused by the reason that the Quran devotes greater emphasis on the moral messages reaching its readers, and turn them into lessons to follow the footsteps of Ibrahim `alayhis salam based on his struggle and conviction, and to avoid his people’s misled ways and lack of common sense. Allah subhanahu wata’ala presents Ibrahim `alayhis salam as an example of a man of great conviction.

The theme illustrating the teachings of monotheism became the main theme of the overall tale of the Prophet Ibrahim `alayhis salam in the Quran. This main theme influences or provides nuance to the overall episodes of the Prophet Ibrahim `alayhis salam which is disseminated in severalsurah of theQuran. The firmness and conviction of Ismail regarding his father’s dream displays tremendous dedication to Allah subhanahu wata’ala.

Several minor themes leading to the main theme, are Ibrahim’s astuteness in conveying persuasive arguments for his people to follow the teaching of tauhid

(9)

Aside from the main theme and sub-themes, the tale of the Prophet Ibrahim `alayhis salam is also presented through the portrayal of the character, his background, positive nature, and a story line creating a series of episodes of the Prophet Ibrahim `alayhis salam tale. These elements lead to a single main theme which is the teaching oftauhid.

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya milik Allah swt., yang atas curahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan pendidikan dan penulisan tesis dalam rangka memperoleh gelar magister di bidang Bahasa dan Sastra Arab pada Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan umat Nabi Muhammad saw. yang telah diutus Allah swt. sebagai rahmat bagi alam semesta. Begitu juga semoga tercurah kepada para keluarga, sahabat, serta pengikutnya yang setia sampai akhir zaman.

Setelah sekian waktu, penulis “vakum” dari aktifitas perkuliahan, penulis sempat merasakan putus harapan akan terselesaikannya penulisan tesis ini. Namun, penulis yakin Allah swt. akan memberikan kemudahan kepada hamba yang selalu memohon kepada-Nya. Dengan energi dan semangat yang sedikit demi sedikit penulis kumpulkan dan dengan adanya bantuan dari berbagai pihak, baik perorangan maupun lembaga, baik secara langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan, penelitian, penyusunan sampai pada tahap finalisasi, Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan pada batas limit waktu yang diberikan.Alhamdulillâhi rabbil 'âlamin.

Untuk itu, sudah sewajarnya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, M.A. selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dengan kepemimpinan dan kebijakan-kebijakannya, penulis bisa menyelesaikan program S2 ini.

(11)

3. Asisten Direktur dan seluruh staf Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan arahan dan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada penulis, sehingga penulis tetap bersemangat untuk menyelesaikan program S2 ini.

4. Bapak Dr. H. Ahmad Sayuti Anshari Nasution, M.A. yang telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan bimbingan, masukan-masukan, arahan-arahan serta memberikan dorongan moril yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian tesis ini.

5. Segenap Dosen Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang selama penulis menimba ilmu, mereka dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab memberikan ilmu pengetahuan dan telah memperluas cakrawala berfikir penulis.

6. Kepala dan segenap staf perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kepala perpustakaan di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya Jakarta Pusat yang telah sudi meminjamkan buku-buku yang diperlukan untuk penyelesaian penulisan tesis.

7. Deputi Sekretaris Wakil Presiden Bidang Administrasi, Bapak Henry Soelistyo Budi, S.H., L. LM., Kepala Pusat Penerjemahan dan Penyiapan Naskah, Bapak Drs. Maman H. Soetardja, Apt., M.M. beserta rekan kerja di Sekretariat Wakil Presiden RI, khususnya Pusat Penerjemahan dan Penyiapan Naskah, Mas Sapto, Siti Khodijah, dan Risti, serta tentu saja untuk Pak Hananto, terima kasih atas pengertian dan perhatiannya selama penulis dalam proses penyelesaian penulisan tesis.

Atas semua bantuan dan jasa mereka, sekali lagi penulis ucapkan terima kasih,

jazaahumullah khairan katsiro, semoga menjadi amal shaleh yang akan memberatkan timbangan amal kebaikan di akhirat nanti dan Allah swt. senantiasa melimpahkan hidayah-Nya. Amin.

(12)

Siti Jamhariah yang atas atas doa dan kasih sayangnya yang tulus dan tiada pernah pupus serta motivasi untuk terus belajar dan belajar, yang sangat penulis rasakan berkahnya. Penulis ucapkan “Jazâkumullâh khaira al-jazâ”, serta doa Rabbi ighfir lî wa liwâlidayya wa arhamhumâ kamâ rabbayânî shaghîrâ, Amin. Saudara-saudaraku di Yogyakarta, Mbak Nur, Mbak Upik, Irwan , dan Ulfa, terima kasih banyak atas dukungannya.

Begitu pula penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak dan Mama Mertua, Drs. H. Chusnan Jusuf dan Dr. Hj. Masyitoh, M.Ag. atas dorongan moril dan materiil dalam upaya menyelesaikan studi ini.

Kepada suami tercinta, Faiz Rafdhi, M.Kom., yang tiada bosan memberikan motivasi kepada penulis selama studi, serta mendampingi penulis dalam suka maupun duka. Semoga tesis ini dapat memacu dalam menyelesaikan penulisan disertasi pada Program Doktor Bidang Teknologi Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Terakhir, kepada kedua permata hati Rifda Hanun dan Izza Mufida yang dengan canda dan tawanya dapat memecah kebuntuan dan menjadi penghibur saat lelah menghadapi tugas. Teriring doa untuk kedua permata hati, semoga kelak permata hatiku tersayang akan menjadimukminah, ‘alimah, ‘arifah, dan shalihah. Amin.

Akhirnya, Penulis sadar sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam penulisan tesis ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca sangat dinantikan demi kesempurnaan tesis ini. Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita termasuk hamba Allah yang senantiasa berserah diri kepada-Nya. Amin.

Jakarta, 31 Desember 2007 M

21 Dzulhijjah 1428 H

(13)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pernyataan ... ii

Halaman Persetujuan Pembimbing ... iii

Halaman Pengesahan ... iv

Abstrak ... v

Kata Pengantar ... xi

Daftar Isi ... xiv

Pedoman Transliterasi ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 10

C. Pembatasan Masalah ... 10

D. Perumusan Masalah ... 12

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 12

F. Manfaat Penelitian ... 12

G. Metode Penelitian ... 13

H. Sumber Data ... 15

I. Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data ... 15

J. Teknik dan Prosedur Analisis Data ... 16

K. Tinjauan Pustaka dan Kajian Terdahulu ... 12

L. Sistematika Penulisan ... 21

BAB II QASHASH AL-QUR’ÂN A. PengertianQashash al-Qur’ân... 22

B. Unsur-unsurQashash al-Qur’ân... 28

C. Kesatuan Kisah dan Pengulangan Kisah ... 37

D. KarakteristikQashash al-Qur’ân... 40

(14)

BAB III KAJIAN TEORI: SEMIOTIKA, PERKEMBANGAN, DAN PENERAPANNYA

A. Makna Semiotika ... 58

B. P erkembangan Semiotika dan Penerapannya ... 61

C. Beberapa Konsep Semiotika ... 66

1. Teori Semiotik Saussure ... 67

2. Teori Semiotik Peirce ... 72

3. Teori Semiotik Eco ... 74

D. Pendekatan Semiotika dalam Karya Sastra ... 76

BAB IV ANALISIS SEMIOTIK PADA AYAT-AYAT YANG MENGKISAHKAN IBRAHIM A.S. A. Struktur yang Membangun Kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran ... 82

1. Tema ... 83

2. Tokoh dan Penokohan ... 96

3. Alur atau Plot ... 106

4. Setting ... 109

5. Bahasa (Simbol, Gaya Bahasa/Dialog) ... 111

6. Moral (Pesan) ... 115

B. Koherensi dan Keterpaduan Unsur-unsur dalam Kisah Ibrahim a.s. .... 116

C. Relasi Struktural Kisah Ibrahim a.s. dengan Konteks ... 134

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 146

B. Saran ... 149 Daftar Pustaka

(15)

PEDOMAN TRANSLITERASI

1. Konsonan

= a = z = q

= b = s = k

= t = sy = l

= ts = sh = m

= j = dl = n

= h = th = w

= kh = zh = h

= d = ` = ‘

= dz = gh = y

= r = f

2. Vokal

a. Vokal Tunggal b. Vokal Rangkap

__ = a = ai

__ = i = aw

__ = u

3. Maddah (vokal panjang)

Vokal panjang dikembangkan dengan huruf dan tanda, yaitu:

(16)

â = qâla

î = qîla

û = yaqûlu

4. Ta marbuthah (

/

) yang hidup (berharakat fathah, kasrah, dan dlomat)

menjadi “t” 5. Syaddah ( )

Tanda syaddah dilambangkan dengan huruf yang sama dengan yang diberi tanda syaddah.

Contoh: = Rabbana

6. Kata Sandang

Kata sandang yang diikuti oleh huruf baik syamsyiyah maupun

qamariyah

berlaku aturan yang sama, yakni dimulai dengan kata sandang dan

diikuti

oleh huruf-huruf tersebut.

Contoh: al-Syams (untuk syamsyiyah) =

al-Qamar (untuk qamariyah) =

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Alquran berasal dari bahasa Arabal-Qur’ân yang secara harfiah merupakan akar kata dari qara’a yang berarti membaca. Al-Qur’ân adalah bentuk mashdar

yang diartikan sebagai isim maf’ûl yaitu maqrû’ yang berarti “yang dibaca”.1 Menurut istilah pengertian Alquran adalah kalam yang diwahyukan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. melalui perantaraan malaikat Jibril.2 Alquran merupakan bayân atau penjelasan kepada manusia tentang bagaimana membangun sebuah tatanan sosial yang berlandaskan tauhid. Dengan kata lain inti dari segala uraian Alquran adalah memperkenalkan keesaan Allah swt. Ini terlihat sejak wahyu pertama Alquran, ketika wahyu tersebut memerintahkan untuk membaca dengan nama Allah swt. yang diperkenalkannya sebagai Maha Pencipta, Maha Pemurah, serta Maha Pemberi Ilmu.

Alquran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan bahasa Arab, bahasa yang dipakai oleh orang-orang Arab waktu itu. Tingkat kebahasaan bangsa Arab pada waktu itu telah mencapai tingkat bahasa yang tinggi. Meskipun demikian bahasa Alquran tetap tak bisa ditandingi oleh para penyair sekalipun.

Perlu digarisbawahi bahwa Alquran menggunakan kosa kata yang digunakan oleh orang-orang Arab pada masa turunnya. Namun, pengertian kosa kata tersebut tidak selalu sama dalam pemaknaannya dengan yang berlaku di masyarakat pada waktu itu. Selain harus memperhatikan struktur serta kaidah-kaidah kebahasaan serta konteks pembicaraan ayat, harus diperhatikan pula penggunaan kosa kata tersebut pada masa pra Islam. Hal ini penting untuk menangkap makna yang dimaksud oleh Alquran.3

1 Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm al-Zarqani,Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz I, Beirut: Dâr

al-Fikr, 1988 h. 43-47

2 Shubhi al-Shâlih,Mabâhits fî ‘Ulûm al- al-Qur’ân,Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1988 h.

21

(18)

Sebagai kitab hidayah dan furqân, Alquran bertujuan untuk mempengaruhi pendengar atau pembacanya agar mau menerima gagasan yang diajukannya dan mengamalkannnya dalam kehidupan. Oleh karena itu Alquran selalu menggunakan dualisme pendekatan dalam menyeru manusia. Gagasan-gagasan Allah swt. disampaikan oleh Alquran secara argumentatif, logis, dan rasional tetapi menggunakan gaya bahasa dan teknik pengungkapan yang menyentuh perasaan dan emosi pendengar atau pembacanya sehingga terpengaruh dan terkesan oleh gagasan tersebut. Ini menunjukkan bahwa Alquran menggunakan pendekatan sastra dalam menyampaikan pesan-pesan Allah swt. mengenai kehidupan dunia dan akhirat.4

Allah swt. meyakinkan manusia tentang ajaran-Nya dengan menyentuh seluruh totalitas manusia, termasuk menyentuh hati mereka. Sarana yang digunakan adalah melalui seni yang ditampilkan oleh Alquran, antara lain melalui kisah-kisah nyata atau simbolik yang dipadu oleh imajinasi dan gambaran-gambaran kongkrit dari gagasan abstrak yang dipaparkan dalam bahasa seni yang mencapai puncaknya.5

Salah satu tradisi bangsa Arab dalam menyampaikan suatu pesan adalah dengan menggunakan sarana kisah, hikayat, dan mitos yang diwariskan secara turun temurun. Sebagaimana tradisi bangsa Arab pada waktu itu maka Alquran pun banyak menggunakan kisah sebagai sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran. Alquran menjadikan kisah sebagai salah satu sarana pendidikan yang sejalan dengan pandangannya tentang alam, manusia, dan kehidupan.

Secara teologis, Alquran diyakini oleh umat Islam sebagai firman Allah swt. yang didektekan langsung oleh malaikat Jibril kepada Muhammad. Hal ini yang membedakan otentisitas Alquran dibandingkan kitab suci agama lain yang mana kitab suci agama lain redaksinya ditulis oleh para nabi (manusia). Teks Alquran ditulis dalam bahasa Arab yang dapat membuka peluang penafsiran hermeneutis ketika Alquran dibaca oleh generasi berikutnya yang berselang waktu dan tempat

4 Sayyid Quthb,Al-Tashwîr al-Fanni fî Al-Qur’ân,Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1975, h. 12

(19)

yang jauh berbeda. Kehadiran teks Alquran di tengah umat Islam pada khususnya telah membuka pusaran kajian yang tak pernah berhenti. Alquran dikaji dari berbagai sudut pandang dan tak pernah ada habisnya.6

Untuk memahami pesan yang disampaikan Alquran diperlukan tafsir. Hidayat berpendapat bahwa Muhammad saw. terlibat langsung dalam proses penafsiran Alquran. Dengan keempat sifat utama yang dimilikinya (shiddiq, amanah, fathanah, tabligh), Muhammad saw. mampu memahami, menyerap, dan mengungkapkann kembali pesan Allah swt. yang disampaikan melalui Jibril tersebut dalam bahasa Arab. Keterlibatan Muhammad saw. dalam penafsiran Alquran berlangsung dalam dua level. Kesatu, proses pengungkapannya dalam bahasa Arab; kedua, penafsiran atas Alquran yang kemudian disebut dengan hadis.7

Perdebatan mengenai pendekatan sastra untuk memahami kisah-kisah dalam Alquran ini telah terjadi sejak lama. Selain al-Khuli, terdapat juga Khalafullah dan Nasr Hamid Abu Zaid yang mencoba menafsirkan Alquran dengan memposisikan teks Alquran sebagai teks yang dapat dikaji dengan sudut pandang pemahaman yang umum. Teks-teks kisah dalam Alquran dipandang sebagai bukan teks sejarah melainkan teks-teks sastra yang dipilih Alquran sebagai mediator demi kemudahan penyampaian pesan-pesan dasarnya yang kadang bertentangan dengan mainstream tafsir yang biasanya memosisikannya sebagai teks-teks sejarah.

Jika ditilik dari segi historisnya, Alquran diturunkan untuk berdialog dengan realitas sosial budaya yang melingkupinya. Turunnya sebuah ayat Alquran dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa dan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan umat pada masa turunnya ayat tersebut. Sehingga muncullah

6 Komaruddin Hidayat,Memahami Bahasa Agama, Sebuah kajian Hermeneutik, Jakarta:

Paramadina, 1996, h. 15

(20)

pemahaman bahwa teks Alquran tidak dapat dipisahkan dari sistem budaya yang melatarbelakanginya.

Kisah dalam Alquran bukanlah sebuah karya seni yang terpisah dalam tema, cara penyampaiannya, dan dalam pengolahan alur ceritanya tetapi Alquran memiliki cara yang beragam dalam menyampaikan sebuah kisah untuk maksud tujuan keagamaan. Tugas kisah dalam Alquran adalah memberikan gambaran-gambaran yang semuanya tunduk pada tujuan keagamaan.8

Pemaparan Alquran menyatukan antara maksud tujuan keagamaan dan maksud tujuan seni. Alquran menjadikan keindahan seni sebagai alat yang digunakan untuk mempengaruhi perasaan.

Diantara tujuan-tujuan kisah dalam Alquran adalah:

1. Untuk menetapkan wahyu dan risalah. Sebagaimana terdapat dalam pembukaan Surah Yusuf as.: “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya. Kami menceritakan kepadamu kisah pa-ling baik dengan mewahyukan Alquran ini kepadamu dan sesungguhnya kamu se-belumnya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” SurahYusuf[QS 12:2-3].

2. Menerangkan bahwa semua agama berasal dari Allah swt., sejak masa Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Muhammad saw.

3. Menerangkan bahwa agama seluruhnya berlandaskan pada satu dasar yaitu tauhid.

4. Menjelaskan cara-cara para nabi berdakwah dan sikap penerimaan umatnya yang relatif sama.

5. Menerangkan asal yang sama antara agama Nabi Muhammad saw. dan agama Nabi Ibrahim a.s. secara khusus dan agama-agama bani Israil secara umum. 6. Menerangkan bahwa Allah swt. pada akhirnya pasti akan menolong para

nabi-Nya dan membinasakan orang-orang yang mendustakan mereka.

(21)

7. Membenarkan kabar gembira dan kabar ancaman serta menyajikan contoh-contoh nyata dari pembenaran ini.

8. Menerangkan nikmat-nikmat Allah swt. yang diberikan kepada nabi-nabi-Nya dan orang-orang pilihan-Nya

9. Memberikan peringatan kepada anak-anak Adam terhadap godaan dan rayuan setan serta menampakkan permusuhan abadi antara setan dan anak keturunan Adam as.

10. Menerangkan kekuasaan Allah swt. yang di luar kebiasaan.9

Selain itu masih terdapat tujuan-tujuan lain yang berisi nasehat dan wejangan yang mewarnai dan mendominasi kisah-kisah dalam Alquran.

Mengingat peran penting dari kisah adalah untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan juga merupakan tradisi keberagamaan bangsa Arab pada masa itu, maka Alquran menjadikan kisah sebagai salah satu alat dakwah. Kisah dalam Alquran bukanlah karya sastra murni baik dilihat dari segi tema, alur cerita, ataupun aspek penokohannya tetapi kisah dalam Alquran ini merupakan sarana dakwah untuk mempengaruhi emosi pembaca ataupun pendengarnya.

Pentingnya posisi kisah dalam Alquran menjadikannya menempati porsi yang tidak sedikit dari keseluruhan ayat-ayat Alquran. Bahkan ada surah-surah Alquran yang dikhususkan untuk kisah semata-mata di dalamnya banyak mengandung pelajaran bagi umat manusia, misalnya Surah Yusuf, Qashash, al-Anbiyâ’, dan lain-lain.10

Salah satu kisah yang dipaparkan dalam Alquran adalah kisah nabi Ibrahim a.s. Dalam agama Islam, Ibrahim a.s. adalah panutan iman yang teguh dan penganut monoteisme yang kokoh, nabi dan rasul, dan penerima wahyu dari Allah swt. Nabi Ibrahim a.s. tercatat sebagai kekasih atau sahabat Allah swt.11

9 Sayyid Quthb,Al-Tashwîr al-Fanni fî Al-Qur’ân, h. 120-128

10 A. Hanafi,Segi-segi Kesusatraan Pada Kisah-Kisah Alquran, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1984,

h. 22

11 Jerald F. Dirk, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, penerjemah, Satrio Wahono Jakarta: Serambi,

(22)

Selain menjadi nama dari surah dalam Alquran, Nabi Ibrahim a.s. juga merupakan manusia yang memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh nabi ataupun manusia lain. Misalnya Nabi Ibrahim a.s. menemukan Allah swt. melalui tahapan-tahapan pencarian dan analisa yang panjang serta pengalaman ruhaniah. Nabi Ibrahim a.s. merupakan satu-satunya nabi yang memohon pada Allah swt. agar diperlihatkan bagaimana Allah swt. menghidupkan yang mati dan permohonan tersebut dikabulkan.12 Nabi Ibrahim as. juga pendiri kakbah sebagai kiblat bagi umat Islam di seluruh dunia.

Pada masa hidupnya Nabi selalu memberikan penjelasan dan penafsiran tentang ayat-ayat Alquran, namun tidak semua ayat telah dikomentari oleh beliau. Setelah beliau wafat, para sahabat danthabi’in memberikan penjelasan mengenai ayat-ayat yang belum dijelaskan oleh Nabi. Munculnya penafsiran Alquran menjadikan tumbuh berbagai aliran tafsir. Tafsir Alquran dapat membantu manusia untuk menangkap pesan-pesan Allah swt. yang dituangkan dalam Alquran.13

Semiotika atau semiologi merupakan terminologi yang merujuk pada ilmu yang sama. Istilah semiologi lebih banyak digunakan di Eropa sedangkan semiotika lazim dipakai oleh ilmuwan Amerika. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yaitu semeion, yang berarti “tanda”. Yang dipelajari di dalamnya adalah sistem tanda seperti bahasa, kode, sinyal, dan lain sebagainya.

Awal mula konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure melalui dikotomi sistem tanda, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signifie). Jadi ketika salah satu aspek disebut atau ditunjuk, maka aspek yang lain turut hadir dalam penunjukan atau penyebutan tersebut14. Dalam istilah linguistik, fenomena penanda-petanda diungkap sebagai fenomena langue-parole atau

competence-performance. Langue dimaknai sebagai aspek sosial bahasa yang

12 M. Quraish Shihab,Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung: Mizan, 1994, h., 203

13 Thameem Ushama,Metodologi Tafsir Alquran, penerjemah, Hasan Basri dan Amroeni Jakarta:

Riora Cipta, 2000, h. 2

(23)

memungkinkan terjadinya komunikasi simbolik, sedangkan parole merupakan wujud atau aktualisasi darilangue dalam tuturan atau tulisan.15

Aminuddin menyebutkan bahwa ruang lingkup semiotika meliputi:

1. Karakteristik hubungan antara bentuk, lambang, atau kata yang satu dengan yang lainnya.

2. Hubungan antara bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang diacunya. 3. Hubungan antara kode bahasa dengan pemakainya.

Berkaitan dengan tiga ruang lingkup semiotika tersebut di atas, maka bahasa dalam sistem semiotik dapat dibedakan dalam tiga komponen sistem, yaitu:

1. Sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungannya.

2. Semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya.

3. Pragmatik, yakni bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.16

Media sastra adalah bahasa. Bahasa adalah sistem tanda, maka untuk memahami konsep makna dalam karya sastra seorang penelaah harus menguasai tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem lambang, dan proses perlambangan yang terdapat dalam suatu bahasa. Hal tersebut berdasarkan kenyataan bahwa sistem tanda atau lambang pada masing-masing bahasa mempunyai ciri dan spesifikasinya sendiri.17

Fungsi bahasa seperti dikutip Sobur dari Roman Jacobson adalah bahwa bahasa memiliki enam macam fungsi yaitu:

1. Fungsi referensial, atau bahasa sebagai pengacu pesan;

2. Fungsi emotif, bahasa adalah alat untuk mengungkapkan keadaan pembicara;

15 Hedy Sri Ahimsa Putra, Strukturalisme Levi Strauss, Mitos dan Karya Sastra, Yogyakarta:

Galang Press, 2001, h. 42-43

16 Aminuddin,Semantik Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2001,

h. 37

(24)

3. Fungsi konatif, bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan sesuatu keinginan pembicara yang langsung atau segera dipikirkan oleh pendengarnya;

4. Fungsi metalinguistik, bahasa sebagai penjelas terhadap sandi atau kode yang digunakan;

5. Fungsi Fatis, bahasa sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan, atau kontak antara pembicara dengan pendengarnya;

6. Fungsi puitis atau penyandi pesan.18

Berbeda dengan Jacobson, Halliday mengungkapkan fungsi bahasa secara makro yang terbagi menjadi tiga fungsi yaitu:

1. Fungsi Ideasional, bahasa sebagai alat untuk membentuk, mempertahankan, dan memperjelas hubungan antar masyarakat;

2. Fungsi Interpersonal, berkaitan dengan pera bahasa sebagai alat untuk menyampaikan informasi di antara anggota masyarakatnya. Bahasa berperan sebagai pembangun dan pemelihara hubungan sosial dalam masyarakat. Bahasa dapat mengungkapkan sebuah status, sikap sosial dan individu, serta penilaian atau taksiran terhadap peristiwa komunikasi dalam masyarakat; 3. Fungsi tekstual, bahasa berfungsi untuk membentuk suatu mata rantai

hubungan kebahasaan dan mata rantai unsur situasi yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya.19

Metode semiotik dalam kajian sastra lahir sebagai kelanjutan dari metode strukturalisme. Strukturalisme memiliki asumsi bahwa dalam suatu fenomena terdapat konstruksi tanda-tanda. Keterkaitan antar inner structure merupakan inti dari metode strukturalisme ini. Dalam menanggapi karya sastra secara obyektif haruslah berdasarkan teks karya sastra itu sendiri. Jika kajian struktural hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik tidak demikian halnya karena paham semiotik menganggap bahwa karya sastra memiliki sistem tersendiri. Pengkajian terhadapnya diarahkan pada bagian-bagian karya sastra dalam

18 Alex Sobur,Semiotika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003, h. 56

19 Halliday, M.A.K,Language Structure and Language Function, dalam John Lyons, 1972,

(25)

menyangga keseluruhan dan sebaliknya keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian.20

Pendekatan sastra atas teks Alquran sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Pada masa abad pertama Islam, Abdullah ibnu Abbas (w. 68 Hijriah/687 M) menggunakan puisi pra Islam untuk menafsirkan beberapa teks Alquran. Hal ini dilakukan karena sebelum kedatangan Islam tradisi sastra berupa syi’r telah berkembang di dunia Arab. Model penafsiran seperti ini diikuti oleh para ulama sesudah ibn Abbas, diantaranya adalah Abd Qahir Jurjani dan al-Zamakhsyari.21

Pada masa modern, pendekatan linguistik dan sastra dimotori oleh Amin al-Khuli (w. 1967). Ia mulai mengkaji pendekatan sastra dalam menginterpretasikan Alquran (al-manhaj al-adabi fi al-tafsîr) pada pertengahan abad ke dua puluh. Keseriusannya dalam mengkaji Alquran tidak bisa dilepaskan dari kajian-kajiannya terhadap bahasa dan sastra Arab. Menurutnya, kajian sastra Arab membutuhkan perangkat analisis ilmu balaghah yang mencakup aspek ma’ani,

bayân danbadî’.

Muhammad Ahmad Khalafullah menerapkan teori yang digunakan oleh al-Khulli ini dalam mengkaji kisah nabi dalam Alquran. Menurutnya kisah-kisah nabi yang terdapat dalam Alquran bukanlah data sejarah yang disusun secara kronologis tetapi kisah-kisah tersebut banyak disebutkan secara berulang karena memiliki misi tertentu. Gambaran sastrawi banyak digunakan untuk mengekspresikan ajaran moral yang disampaikan sesuai dengan konteksasbâb al-nuzûl pada saat ayat tersebut diturunkan.22 Generasi setelah kedua ulama di atas adalah Nashr Hamid Abu Zayd yang mengembangkan teori sastra sebagai sebuah pendekatan dalam menafsirkan Alquran.

20 Suminto A. Sayuti, Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra, dalam Jabrohim,

Metodologi Penelitian Sastra Yogyakarta: Hanindita, 2001, h. 66

21 Moch. Nur Ichwan,Meretas Kesarjanaan Kritis Alquran, Jakarta: Teraju, 2003, h. 42

(26)

Sebagaimana dijelaskan di atas, kisah dalam Alquran bukanlah karya sastra murni baik dilihat dari segi tema, alur cerita, ataupun aspek penokohannya. Secara kritis dapat diajukan pertanyaan, dapatkah dikatakan bahwa cerita Ibrahim a.s. bukanlah suatu kisah? Jika tidak, bagaimana Alquran membangun struktur kisahnya? Jika ya, termasuk kategori apa kisah Ibrahim a.s. dalam kaitannya dengan sastra?

Tesis ini merupakan satu bentuk tugas akhir program Magister untuk program studi Bahasa dan Sastra Arab dalam rangka kajian sastra dalam Alquran. Ada dua alasan mengangkat topik ini ke dalam penelitian tesis. Kesatu, belum terdapat satu literatur yang secara khusus menjabarkan kisah-kisah Ibrahim a.s., mengingat beliaulah tokoh tiga agama samawi dan bapak para nabi. Diharapkan, penelitian ini menambah literatur baru dalam khazanah sastra di Indonesia;

Kedua, penulis tertarik mengangkat tema ini dengan pendekatan semiotik untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dari uraian di atas dapat diidentifikasi masalah-masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur yang membangun kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran? 2. Bagaimana koherensi dan keterpaduan unsur-unsur dalam kisah Ibrahim a.s.? 3. Bagaimana pemaknaan total kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran?

C. PEMBATASAN MASALAH

1. Pemaknaan terhadap struktur narasi yang membangun kisah Ibrahim a.s.; 2. Relasi struktural kisah Ibrahim a.s. dengan konteks;

3. Pemberian makna totalitas terhadap kisah Ibrahim a.s.

(27)

d. Surah Al-An’âm disebut namanya sebanyak 4 kali. (Makiyyah) e. Surah At-Taubah disebut namanya sebanyak 3 kali. (Madaniyyah) f. Surah Hud disebut namanya sebanyak 4 kali. (Makiyyah)

g. Surah Yusufdisebut namanya sebanyak 2 kali. (Makiyyah) h. Surah Ibrâhîm a.s. disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) i. Surah al-Hijrdisebut namanya sebanyak 1 kali.(Makiyyah) j. Surah an-Nahl disebut namanya sebanyak 2 kali. (Makiyyah) k. Surah al-Anbiyâ’ disebut namanya sebanyak 4 kali. (Makiyyah) l. Surah al-Hajj disebut namanya sebanyak 3 kali.(Madaniyyah) m. Surah al-Syu’arâ’disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) n. Surah al-Ankabût disebut namanya sebanyak 2 kali. (Makiyyah) o. Surah al-Ahzab disebut namanya sebanyak 1 kali.(Madaniyyah) p. Surah as-Shâffatdisebut namanya sebanyak 3 kali. (Makiyyah) q. Surah Shâd disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) r. Surah as-Syurâ disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) s. Surah al-Zukhruf disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) t. Surah al-Dzâriyat disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) u. Surah an-Najm disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah) v. Surah al-Hadîd disebut namanya sebanyak 1 kali. (Madaniyyah)

w. Surah al-Mumtahanah disebut namanya sebanyak 2 kali. (Madaniyyah) x. Surah al-A’lâ disebut namanya sebanyak 1 kali. (Makiyyah)23

23 Pengklasifikasian Surah berdasarkan jenis ayatMadaniyyha ataupunMakiyyah berdasarkan

Al-Qur’ân al-Karîm, Madinah:Majma’ al-Malik al-Fahd li Thibâ’ah al-Mushhaf al-Syarîf, tanpa tahun.

Mayoritas kisah-kisah Alquran tergolong dalam ayat-ayat Makiyyah. Pada periode awal dakwah Islam di Mekah, isu sentral yang muncul ke permukaan sangat kental diwarnai dengan tiga poin yaitu,

ketuhanan, kerasulan, dan mukjizat. (Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann Qashashî fî

al-Qur’ân al-Karîm h. 114

Dari dua puluh empat surah yang memuat kisah Ibrahim a.s. tersebut hanya tujuh surah yang

merupakan kelompok ayat-ayat madaniyyah. Hal tersebut merupakan salah satu ciri ayat-ayat

makiyyah yang lebih mengutamakan pengajaran tauhid melalui penjelasan-penjelasan tentang

prinsip-prinsip akhlak yang mulia dan pranata sosial yang tinggi yang tujuannya untuk mengajak orang untuk

(28)

D. PERUMUSAN MASALAH

Dari pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian ini dengan pertanyaan berikut:

Bagaimana pemaknaan simbol, interpretasi, dan pemaknaan totalitas kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran dilihat dari paradigma semiotik?”

E. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pemaknaan simbol yang diungkapkan dalam kata-kata yang tersusun tentang Ibrahim a.s. dalam Alquran.

2. Memahami kerangka pemaknaan yang logis berdasarkan urutan kisah.

3. Memahami kisah Ibrahim a.s. secara total, sistematis dan berdasarkan pendekatan semiotik.

4. Memperoleh jawaban atas permasalahan yang diangkat

F. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kajian sastra Arab khususnya dalam menerapkan metode semiotik. Metode ini memiliki kemampuan untuk menganalisis dan menginterpretasikan kisah-kisah sehingga maknanya dapat digali lebih jauh.

2. Manfaat praktis

(29)

G. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan proses, prinsip dan prosedur kerja yang digunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Metodologi adalah pendekatan umum untuk mengkaji suatu obyek penelitian.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan prinsip kerja penelitian kualitatif. Dengan demikian hasil penelitian ini dijabarkan dan dianalisis dengan kata-kata atau susunan kalimat dan tidak menggunakan angka-angka statistik. Penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka dan metode statistik.24

Penelitian ini memiliki ciri-ciri atau karakteristik sebagai penelitian kualitatif, diantaranya adalah:

1. Mempunyai latar ilmiah

Penelitian kualitatif dengan ciri latar ilmiah berarti peneliti melakukan penelitian pada satu konteks secara utuh. Hal itu disebabkan oleh kesatuan konteks yang terdari beberapa struktur yang saling menginterpretasi satu sama lain dan tidak dapat dipecah-pecah. Antara struktur yang satu dengan struktur lainnya saling berpengaruh.25

2. Menggunakan manusia (peneliti) sebagai instrumen penelitian

Kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif merupakan pengumpul data utama. Penelitian dengan peneliti sebagai alat pengumpul data utama dalam istilah Moleong26, disebut sebagai ”pengamatan berperan serta” atau ”participant observation”.

3. Bersifat diskriptif

Deskripsi dalam penelitian kualitatif dijabarkan dalam gambaran dengan ciri-ciri yang akurat yang berupa kata-kata atau gambaran sesuatu. Data-data yang dikumpulkan dapat berasal dari naskah, hasil wawancara, ataupun dari

24 Deddy Mulyana,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, h. 150

25 Fatimah Djajasudarma,Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian, Bandung:

Eresco, 1993, h. 11

(30)

lapangan. Data tersebut kemudian disusun dengan dipilah sesuai denga hakikatnya atau sesuai dengan ciri-cirinya. Penelitian juga harus diawali dengan sebuah studi pustaka yan kemudian disusun dengan teliti dan sistematis dengan pertimbangan ilmiah.27

4. Menganalisis data secara induktif

Analisis data pada tahapan ini menggunakan kajian data secara induktif , yaitu data yang akan diuji berlangsung dari fakta kepada teori dan bukan sebaliknya.

5. Mementingkan proses daripada hasil28

Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses karena sejalan dengan pengertian teori strukturalisme De Saussure yang menyatakan bahwa bagian-bagian atau unsur-unsur itu merupakan satu kesatuan yang utuh yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa peranan proses dalam penelitian kualitatif adalah besar sekali.

Metode penelitian pada tesis ini adalah metode deskriptif analitis, yaitu dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusun dengan analisis, terutama yang berhubungan dengan isi teks. Sebagai jenis penelitian kualitatif, dasar dari metode analisis adalah penafsiran.29

Penelitian ini juga bersifat diskriptif karena dalam penelitian ini data-data akan dipaparkan sebagaimana adanya seperti yang tergambar pada saat penelitian dilakukan. Laporan penelitian juga berbentuk paparan yang berisi kutipan dari data untuk memberikan dukungan terhadap hal-hal yang diteliti. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan dan menguraikan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antar peristiwa yang diteliti.30 Di dalam penelitian kebahasaan, metode penelitian deskriptif cenderung digunakan dalam

27 Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 6

28 Zaini Hasan,Karakteristik Penelitian Kualitatif, dalam Aminuddin,Pengembangan Penelitian

Kualitatif dalam Bidang Bahasa dan Sastra, Malang: HISKI-YA3, 1990, h. 14

29 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006, cet. ii, h.49.

(31)

penelitian kualitatif, terutama dalam mengumpulkan data serta menggambarkan data secara ilmiah.

Data dalam penelitian ini adalah seluruh sistem tanda bahasa yang terdapat dalam Alquran mengenai kisah Nabi Ibrahim a.s. yang merupakan unsur-unsur pembentuk struktur kisah Nabi Ibrahim a.s. tersebut. Dalam tesis ini, dilakukan beberapa langkah penelitian, yaitu:

a. Menentukan topik penelitian b. Merumuskan masalah

c. Menentukan metode pengolahan data d. Mengklasifikasi dan mengidentifikasi data e. Menganalisis data, serta

f. Menarik kesimpulan

H. SUMBER DATA

Data penelitian ini diperoleh dari Alquran pada ayat-ayat yang memuat kisah Ibrahim a.s. Ayat-ayat tersebut menjadi sumber data utama dalam penelitian ini. Data skunder diperoleh dari buku-buku yang berhubungan dengan kajian sastra, baik sastra pada umumnya maupun sastra Arab pada khususnya. Selain itu buku-buku tentang kisah-kisah para Nabi dijadikan juga sebagai data pendukung.

I. TEKNIK DAN PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data diperoleh melalui langkah-langkah dan teknik sebagai berikut:

1. Menentukan unsur-unsur kisah yang akan diteliti 2. Mengumpulkan data-data primer

3. Mengumpulkan data-data sekunder

(32)

J. TEKNIK DAN PROSEDUR ANALISIS DATA

Langkah-langkah analisis metode semiotik adalah sebagai berikut:

1. Teks dianalisis dengan memperhatikan hubungan antar unsur-unsur dengan keseluruhannya dengan menggunakan pendekatan struktural.

2. Pemberian makna masing-masing unsur dengan metode semiotik sesuai dengan yang berlaku dalam sastra.

3. Pencarian makna totalitas dalam kerangka semiotik.

4. Untuk kepentingan pemaknaan itu harus dilakukan pembacaan heuristik dan hermeneutik.

Perlu ditekankan disini bahwa urut-urutan di atas dapat dibolak-balik sesuai keperluan. Dalam kerangka semiotik perlu diperhatikan konvensi-konvensi sastra dan kaitannya dengan kerangka kesejarahan dan kerangka sosial budaya dimana teks tersebut diproduksi atau dihasilkan.

K. TINJAUAN PUSTAKA DAN KAJIAN TERDAHULU

Kajian tentang qashash al-qur’ân telah banyak tersebar dalam buku-buku tafsir maupun dalam ‘ulûm al- qur’ân karena qashash merupakan bagian dari kandungan Alquran. Sejauh pengamatan penulis, kajian semiotik yang diterapkan dalam Kisah Nabi Ibrahim a.s. belum penulis temukan. Namun, karya-karya terdahulu yang menjadi tinjauan kepustakaan dalam kajian ini diantaranya adalah: Khalafullah dalam bukunya yang berjusul Fann Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm31, Quthb dalam bukunya, Al-Tashwîr al-Fannîfî al-Qur’ân32, al-Qaththân dalam Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân33, Ibnu Katsir dalam Qashash

al-Anbiyâ’.34 Selain buku-buku tersebut, penulis juga menggunakan beberapa penelitian tesis terdahulu sebagai studi kepustakaan diantaranya adalah tesis yang

31 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm, Kairo:

Maktabah al- Nahdlah al-Mashîrah, 1951

32 Sayyid Quthb,Al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân

33 Mannâ’ al-Qaththân,Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tanpa penerbit, 1990

34 Ibnu Katsir,Qashash al-Anbiyâ’, Juz 1,Tahqîq Mushtofa Abdul Wahid, Kairo: Dâr

(33)

ditulis oleh Wahab, Konsep Dialog dalam Alquran: Studi Kisah Nabi Ibrahim a.s.35, Hadiyanto, Kajian Semiotik Kisah Yusuf, Sebuah Tinjauan Sastra terhadap Kisah Alquran36,Tohe, Gaya Bahasa Alquran Periode Mekah, Kajian Struktural Semiotik37, dan Hidayat, Struktur Narasi dalam Qashash al-Qur’ân, Tinjauan Analisa Strukturalime Naratif38.Penjelasan mengenai kajian-kajian terdahulu dan menjadi tinjauan kepustakaan dalam penulisan tesis ini, secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut:

Kajian Khalafullah merupakan kajian yang komprehensif dan menjadi argumen bahwa Alquran mengikuti konvensi sastra dalam penyajianqashash al-Qur’ân. Kajian Khalafullah telah menggunakan pendekatan surah dalam menyatukan tema-tema dan tidak menyatukan tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa khas dalam kisah Alquran.39

Kajian Quthb lebih mengedepankan asumsi bahwa Qashash al-Qur’ân

tunduk dalam kerangka tujuan keagamaan dan tujuan dakwah Muhammad. Pandangan yang dibangun Quthb adalah Alquran merupakan kitab dakwah keagamaan dan Qashash merupakan salah satu sarananya. Qashash dalam Alquran bukanlah sebuah karya seni yang terpisah dalam tema dan cara pengungkapan atau penggambarannya tetapi merupakan salah satu cara Alquran yang beragam untuk maksud tujuan keagamaan.40

Sebuah kritik terhadap tesis yang dikemukakan Quthb adalah fokus yang menjadi perhatian Quthb pada pengungkapan atau penggambaran (tashwîr) yang

35 Muhbib Abdul Wahab,Konsep Dialog dalam Alquran: Studi Kisah Nabi Ibrahim a.s.,

Tesis S2 Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1997

36 Andy Hadiyanto, Kajian Semiotik Kisah Yusuf, Sebuah Tinjauan Sastra terhadap Kisah

Alquran,Tesis S2 Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004

37 Achmad Tohe, Gaya Bahasa Alquran Periode Mekah Kajian Struktural Semiotik, Tesis S2

Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006

38 M. Wakhid Hidayat,Struktur Narasi dalam Qashas al-Qur’ân Tinjauan Analisa Strukturalime

Naratif,Tesis S2 Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007

39 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm, h. 211-212.

(34)

masih berada pada tataran kajian unsur bahasa pada tingkat unsur cerita sehingga kajian ini belum mengungkap lebih dalam mengenai unsur-unsur teks dalam

Qashash al-Qur’ân.41

Sementara itu, al-Qaththân, berpendapat bahwa Qashash al-Qur’ân

merupakan gambaran realita kehidupan masa lalu yang benar-benar terjadi dan jauh dari khayalan ataupun imajinasi. Al-Qaththân, membagi cerita menjadi tiga; cerita para nabi dan rasul, cerita orang-orang pendahulu yang tidak ditetapkan kenabian dan kerasulannya, dan cerita yang berkaitan dengan masa Muhammad.42 Perbedaan antara Khalafullah dengan kajian al-Qaththân, adalah pada penekanan acuan (reference) cerita, dimana acuan narasi dalam pemikiran Khalafullah kepada kehidupan Muhammad, sedangkan acuan narasi pemikiran al-Qaththân, kepada kehidupan para tokoh cerita, misalnya Musâ, Ibrâhim, Lûth, dan lainnya.43 Sejalan dengan Quthb, Ibn Katsir menceritakan para nabi dari sudut pandang kesejarahan sehingga yang diungkapkan lebih cenderung semacam biografi kehidupan para nabi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi serta tokoh-tokoh lain yang berinteraksi dengan para nabi semasa hidup mereka.44 Karena mengacu pada referen kehidupan nyata sang tokoh atau suatu peristiwa, eksistensi teks cerita atau kisah dengan model-model penceritaannya menjadi terabaikan.

Penjelasan singkat mengenai kajian kepustakaan dari beberapa tesis adalah: Wahab dalam tesisnya yang berjudul “Konsep Dialog dalam Alquran: Studi tentang Kisah Ibrahim a.s.” menjabarkan tentang konsep dialog dalam Alquran dengan fokus penelitian pada kisah Ibrahim. Objek kajian Muhbib dengan tesis yang penulis susun adalah sama-sama meneliti kisah Ibrahim a.s. Namun, menurut penulis, tesis Wahab hanya membahas salah satu unsur yang terdapat dalam teori strukturalisme yaitu dialog. Sementara kajian semiotik yang penulis

41 Sayyid Quthb,Al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân,h. 163-168

42 Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 306

43 Mannâ’ al-Qaththân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, h. 308

44 Ibn Katsir,Qashash al-Anbiyâ’, Qashash al-Anbiyâ’,Juz 1,Tahqîq Mushtofa Abdul

(35)

teliti adalah meneliti seluruh unsur yang membangun sebuah karya sastra. Oleh karena itu pada unsur dialog hanya akan dibahas secara sekilas.

Teori semiotika yang diiplementasikan oleh Hadiyanto dalam tesisnya tersebut adalah bertolak dari teori strukturalisme yang menyebutkan bahwa sebuah karya sastra tersusun dari beberapa struktur yang membentuk satu kesatuan dan dari kesatuan itulah muncul sebuah makna. Korpus kajian dalam kajian Hadiyanto adalah kisah Nabi Yusuf a.s. Dalam Alquran, kisah Yusuf a.s. dimuat dalam satu surah secara utuh sedangkan kisah Ibrahim a.s. ditampilkan dalam Alquran secara parsial atau dengan kata lain tersebar dalam beberapa episode dan berada dalam surah-surah yang terpisah. Hal ini menjadikan setiap episode dalam pengkisahan Ibrahim memiliki ciri struktural yang berbeda dengan pengkisahan Yusuf a.s.

Tohe dalam tesisnya yang berjudul “Gaya Bahasa Alquran Periode Mekah, Kajian Struktural-Semiotik. Tesis ini objek kajiannya adalah ayat-ayat

Makiyyah dengan menggunakan metode struktural-semiotik. Sebagaimana pada Hadiyanto, tesis ini menggunakan teori semiotik yang merupakan perkembangan dari teori strukturalisme.

Hidayat mengangkat model analisa strukturalisme naratif A.J. Greimas sebagai landasan kajian terhadap struktur narasi dalam qashshah al- Qur’ân. Strukturalisme naratif ini mengandaikan bahwa struktur suatu teks dikarakteristikkan oleh enam peran yang disebut dengan istilah aktan.

Penelitian Hidayat menggunakan pendekatan sastra untuk mengkaji

(36)

pengirim, aktan objek dan aktan penerima, poros kehendak; antar subjek dan objek, dan poros kekuatan; antara pembantu, subjek dan perintang. Analisa kemudian dilengkapi juga dengan analisafungsidan sintagma.

Masalah utama yang diangkat dalam Tesis Hidayat adalah, “Bagaimana struktur narasi dalamQashash al-Qur`ân dianalisa dengan strukturalisme naratif”. Masalah ini dijabarkan; (1) Bagaimana Qashash al-Qur`ân ditinjau dari konsep strukturalisme dan konsep narasi? (2) Bagaimana struktur narasi Qashash al-Qur`ân dianalisa dengan struktur aktansial A. J. Greimas?, (3) Apa karakteristik struktur narasi Qashash al-Qur`ân yang didasarkan pada analisa strukturalisme naratif model A.J. Greimas dan ditinjau dari konsep struktur narasi secara umum? Tujuan Penelitian ini adalah menemukan deskripsi Qashash al-Qur`ân dalam tinjauan strukturalisme dan narasi, menemukan deskripsi struktur-struktur narasi berdasarkan struktur aktansial A.J.Greimas, dan menemukan karakteristik-karakteristik struktur narasiQashash al-Qur`ân.Qashash al-Qur`ân ditinjau dari konsep strukturalisme dan narasi, dan dikombinasikan dengan paradigma tartîb al-âyâtdan kesatuan ayat-ayat dalam surah, terbagi dalam tiga klasifikasi. Kesatu, modelQashash al-Qur`ân satu narasi dalam satu surah, kedua, model kumpulan narasi pendek berurutan dalam satu surah, dan ketiga model narasi tak beraturan dalam satusurah.

Struktur aktansial A.J. Greimas dianalisakan kepada sembilansurah yang mengandung model-model Qashash al-Qur`ân, yaitu surah Yusuf [Q.S. 12], al-Qashash[Q.S. 28], al-A’râf [Q.S. 7], Maryam [Q.S. 19],asy-Syu’arâ`[Q.S. 26],

al-Naml [Q.S. 27], al-Shâffât [Q.S. 37], al-Baqarah[Q.S. 2], dan al-Kahfi [Q.S. 18].

Dari analisa ini ditemukan variasi deskripsi struktur-struktur narasi aktansial Qashash al-Qur`ân yang lengkap dalam keenam aktan, atau zeroisasi dalam salah satu dari aktan pembantu dan penentang.

(37)

Pendekatan semiotik ini digunakan untuk memaknai fenomena kebahasaan Alquran tidak hanya secara literal tetapi lebih luas dari itu.45

L. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini disusun dalam lima bab, dengan perincian sebagai berikut:

Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sumber data, teknik dan prosedur pengumpulan data, teknik dan prosedur analisis data, tinjauan pustaka dan kajian terdahulu, serta sistematika penulisan tesis;

Bab keduaberisi uraian tentangQashash al-Qur’ân. Pada bab kedua ini akan dijabarkan mengenai pengertian Qashash al-Qur’ân , unsur-unsur Qashash al-Qur’ân , kesatuan kisah dan pengulangan kisah, karakteristik Qashash al-Qur’ân, dan kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran.

Bab ketiga berisi uraian tentang kajian teori: meliputi pengertian semiotika, perkembangan dan penerapannya, beberapa konsep semiotika yang terdiri dari tiga orang tokoh yang mempopulerkan konsep semiotika yaitu Ferdinand De Saussure, Charles Sanders Peirce, dan Umberto Eco, serta pendekatan semiotika dalam karya sastra.

Bab keempat berisi analisis semiotik pada ayat-ayat yang mengkisahkan Ibrahim a.s. Dalam bab ini akan dijabarkan mengenai struktur yang membangun kisah Ibrahim a.s. dalam Alquran, koherensi dan keterpaduan unsur-unsur dalam kisah Ibrahim a.s., relasi struktural kisah Ibrahim a.s. dengan konteks, dan interpretasi secara keseluruhan terhadap kisah Ibrahim a.s.

Bab kelimaberisi penutup berupa simpulan dan saran.

45 M. Wakhid Hidayat,Struktur Narasi dalam Qashas al-Qur’ân Tinjauan Analisa Strukturalime

Naratif,Tesis S2 Konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri

(38)

BAB II

QASHASH AL-QUR’ÂN

A. PENGERTIANQASHASH AL-QUR’ÂN

Menurut bahasa, kata qashash merupakan bentuk jama’ dariqishshah yang berarti mengikuti jejak atau menelusuri bekas, atau cerita/kisah.1 Kata al-Qashsh

(kisah) adalah bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja qashsha, yaqushshu.

Kisah menurut istilah ialah suatu media untuk menyalurkan tentang kehidupan atau suatu kebahagiaan tertentu dari kehidupan yang mengungkapkan suatu peristiwa atau sejumlah peristiwa yang satu dengan yang lain saling berkaitan, dan kisah harus memiliki pendahuluan dan bagian akhir. Secara semantik kisah berarti cerita, kisah atau hikayat. Dapat pula berarti mencari jejak,

Al-Kahfi [Q.S. 18: 64], menceritakan kebenaran, Al-An’am [Q.S. 6: 57], menceritakan ulang hal yang tidak mesti terjadi Yusuf [Q.S. 12: 5] dan berarti berita berurutan,Ali Imran [Q.S. 3:62).

Pengertian qashash al-qur’ân menurut istilah adalah kisah-kisah dalam Alquran yang menceritakan ihwal umat-umat terdahulu, para Nabi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Di dalam Alquran banyak diceritakan tentang umat-umat terdahulu dan sejarah para Nabi dan Rasul serta ihwal bangsa-bangsa dan perilaku mereka.2

Al-Qaththân mendefinisikan Qashash al-Qur’ân dalam kerangka kesejarahan sehingga kisah dikelompokkan dalam tiga macam, yaitu:

1. Qashash al-anbiyâ’,(kisah para nabi)

Dalam Alquran diceritakan tentang dakwah para nabi dan mukjizat-mukjizat para Rasul serta sikap umat-umat yang menentang. Tahapan dakwah dan perkembangannya yang dilakukan para nabi disertai akibat-akibat yang dihadapi orang yang beriman dan azab yang ditimpakan kepada orang-orang

1 Mannâ’ al-Qaththân,Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân, tanpa penerbit, 1990,h. 305

(39)

yang mendustakan, misalnya kisah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad saw. dan nabi-nabi serta rasul lainnya.

2. Qashash al-qur’ânyang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang telah telah terjadi pada masa lampau yang tidak dapat dipastikan kenabian mereka, seperti kisah ribuan orang yang pergi dari kampung halaman mereka karena takut mati. Contoh lainnya adalah kisah Thâlût dan Jâlût, Ahl al-Kahfi, Qârûn, dan lainnya.

3. Qashash al-qur’ân yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw., seperti kisah perang Badr dan perang Uhud serta peristiwa Isra’.3

Khalafullah, dengan kerangka terminologi cerita sastra, mendefinisikan

qashash sebagai “Sebuah karya sastra dalam kapasitasnya sebagai hasil imajinasi seorang pengisah atas suatu kejadian tertentu yang dialami oleh seorang tokoh tak dikenal, ataupun sebaliknya, tokohnya dikenal tapi kejadiannya sama sekali belum terjadi. Atau keduanya dikenal tapi dibungkus dalam sebuah kisah sastra, sehingga tidak semua fenomena yang terjadi diceritakan, artinya hanya diambil beberapa hal yang dianggap penting saja. Bahkan bisa jadi dalam kisah itu diceritakan sebuah kejadian nyata akan tetapi ditambah sendiri oleh pengisahnya dengan kejadian dan tokoh khayalan, sehingga terkesan menjadi sebuah kisah fiktif saja.”4

Pendefinisian qashash menurut Khalafullah yang mengambil teori sastra pada umumnya memunculkan sebuah pertanyaan “Adakah aspek sastra dalam Alquran? Agaknya pertanyaan tersebut akan selalu dipertanyakan mengingat Alquran bagi umat Islam adalah kalâmullah yang tidak mungkin terdapat satu kesalahan sekecil apapun. Alquran adalah kalam Allah yang tidak ada keraguan lagi untuk meyakininya sebagai suatu kebenaran yang akan membimbing manusia

3 Mannâ’ al-Qaththân,Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân,h. 306

4 Muhammad A.Khalafullah, ,al-Fann al-Qashash fî al Quran al-Karîm, (Kairo: Sina’ li al-Nasyr

(40)

kepada petunjuk (al-hudâ). Akan tetapi Alquran akan dipahami melalui sarana tafsir.

Benih-benih penafsiran Alquran yang mengandung nilai sastra sebenarnya telah dimulai pada masa nabi Muhammad saw. Dalam riwayat-riwayat dari Nabi sendiri menunjukkan bahwa beliau dalam beberapa kesempatan memberikan interpretasi yang sejajar dengan pengertian istilah majâz atau perluasan makna dalam terminologi sastra Arab. Istilah majâz baru muncul belakangan tetapi inti dari istilah majâz ataupun elemen-elemen penopangnya secara jelas dapat diketahui dalam interpretasi Nabi.

Contoh dari penjelasan nabi yang mengandung unsur majâz adalah dalam menjelaskan makna dari Surah Al-Baqarah [Q.S. 2: 187]

¨

(41)

Nabi menjawab petanyaan Uday Ibn Hatim bahwa yang dimaksud dengan benang hitam dan putih adalah gelapnya malam dan terangnya siang. Dari kasus ini terdapat perubahan makna dari makna leksikal kepada maknamajâzi. Jawaban Nabi dalam kasus ini merupakan embrio dari penafsiran susastra Alquran.5

Selain perbedaan penafsiran yang memunculkan pebedaan makna suatu teks, perbedaan penafsiran juga berpengaruh terhadap munculnya aliran ilmu nahwu dan balaghah. Sejarah menunjukkan bahwa aliran nahwu antara Kufah, Basrah, maupun Baghdad muncul karena perbedaan interpretasi dalam membaca

lafadz atau susunan kata dalam Alquran.

Dapat dipahami bahwa Alquran secara empiris merupakan suatu naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan sarana komunikasi berupa bahasa. Namun, harus dipahami pula bahwa Alquran tetap memiliki perbedaan dengan teks sastra ataupun teks-teks lainnya. Kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung dalam Alquran yang memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya dalam komunikasi antar manusia. Yang membedakan kedua fungsi bahasa tersebut adalah fungsi bahasa Alquran yang khas, universal, dan mengatasi ruang dan waktu.

Hakikat bahasa sebagaimana dikembangkan para pemikir bahasa dan pemikir filsafat adalah suatu struktur dan makna. Struktur berkaitan dengan bentuk kata, kaidah kata, struktur kalimat, makna kalimat, dan bagaimana cara pengucapannya.

Teks dalam bahasa Alquran memiliki hakikat yang khusus karena hakikat Alquran itu sendiri. Bahasa Alquran bukan hanya mengacu pada dunia melainkan mengatasi ruang dan waktu. Hal ini ditunjukkan misalnya yang berkaitan dengan kisah para nabi, dunia ghaib, alam ruh, dan lain sebagainya. Bahasa Alquran mengacu pada :

5 M. Nur Kholis Setiawan,Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta:eLSAQ Press, 2005, h.

(42)

1. Dunia, yang meliputi dua hal. Kesatu, dunia human, yang meliputi dunia kemanusiaan. Kedua, dunia infra human, yang berkaitan dengan dunia binatang, tumbuhan, dan dunia fisik lainnya dengan segala hukum serta sifat masing-masing.

2. Aspek metafisik, yaitu suatu hakikat makna di balik hal-hal yang bersifat fisik.

Aspek metafisik ini tidak terjangkau oleh indera manusia, sehingga hanya dapat dipahami, dipikirkan, dan dihayati.

3. Adikodrati, yaitu suatu wilayah di balik dunia manusia yang hanya diinformasikan oleh Allah swt. melalui wahyu, misalnya tentang surga, neraka, ruh, hari kiamat, dan sebagainya.

4. Ilahiyah, yaitu aspek yang berkaitan dengan hakikat Allah, bahwa Allah itu memiliki al-Asma' al-Husna, seperti al-Aziz, al-Hakim, al-Alim, dan lain sebagainya.6

Khalafullah, dengan kerangka sastra tersebut, membagi Qashash al-qur’ân

menjadi tiga corak. Kesatu, corak sejarah (al-laun al-târikhy), yaitu suatu cerita yang menceritakan tokoh-tokoh sejarah tertentu seperti para nabi dan rasul dan beberapa cerita yang diyakini orang-orang terdahulu sebagai sebuah realitas sejarah. Kedua, corak perumpamaan(al-laun at-tamtsîly), yaitu cerita-cerita yang menurut orang-orang terdahulu, kejadiannya dimaksudkan untuk menerangkan dan menjelaskan suatu hal atau nilai-nilai. Corak cerita seperti ini tidak mengharuskan cerita yang diangkat dari sebuah realitas sejarah dan boleh berupa cerita fiktif dalam batasan orangorang terdahulu. Ketiga, bercorak legenda atau mitos (al-laun al-usthûry), yaitu cerita yang diambil dari mitos-mitos yang dikenal dan berlaku dalam sebuah komunitas sosial. Tujuan dari cerita mitos ini adalah untuk memperkuat satu tujuan pemikiran atau untuk menafsirkan suatu problem pemikiran. Unsur mitos dalam kisah bukan sebagai tujuan cerita, tapi

(43)

berfungsi sebagai salah satu instrumen untuk menarik pendengar atau pembacanya.7

Menurut Quthb, kisah-kisah Alquran dalam penyampaian ataupun dalam alur kejadiannya tunduk pada maksud tujuan dakwah keagamaan. Namun, pengaruh ketertundukan terhadap tujuan tersebut tidak menghalangi keserasian seni dalam cara pengungkapan sehingga keserasian seni pengungkapan itu dapat mempengaruhi perasaan.8

Quthb mengklasifikasikan kisah Alquran didasarkan kepada urutan episode-episode ceritanya menjadi tiga, yaitu; (1) Cerita disajikan dari episode kelahiran sang tokoh, seperti, cerita Âdam, ’Îsâ, Ismâ’îl, Ishâq, dan Mûsâ. (2) Cerita disajikan dari episode yang relatif akhir ketika sang tokoh menghadapi konflik atau mengalami peristiwa yang dapat dijadikan pelajaran. Contoh, cerita Yusuf, Ibrahim, Daud, dan Sulaim n. (3) Cerita yang disajikankan pada episode paling terakhir. Contoh cerita Nuh Hud, Shalih, dan juga Syu‘aib.9

Lebih jauh, Djalal mengklasifikan kisah Alquran dalam dua tinjauan yaitu 1) Segi waktu, yang terbagi menjadi tiga macam: Kesatu, kisah tentang hal-hal ghaib pada masa lalu (al-qashash al-ghuyûb al-mâdliyah) yang sudah tidak dapat lagi ditangkap oleh panca indra manusia karena waktu kejadiannya sudah lampau. Contohnya adalah kisah para nabi, kisah Maryam, dan lainnya.

Kedua, kisah hal-hal ghaib yang terjadi pada masa kini (al-qashash al-ghuyûb al-hâdlirah). Meskipun sudah ada sejak zaman dulu akan tetapi tetap masih ada sampai masa yang akan datang. Contohnya adalah kisah yang menerangkan tentang segala sifat-sifat Allah swt., para malaikat, jin, setan, kenikmatan surga dan juga siksaan neraka.Ketiga, kisah hal-hal ghaib yang akan datang (al-qashash al-ghuyûb al-mustaqbalah). Yaitu kisah-kisah yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi pada saat Alquran diturunkan, kemudian peristiwa tersebut benar-benar terjadi. Contohnya

7 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm,h. 127

8 Sayyid Quthb,Al-Tashwîr al-Fannî fî al-Qur’ân,Kairo:Dâr al-Ma’ârif, 1975, h. 143

(44)

adalah kemenangan nabi Muhammad saw. dari penganiayaan orang-orang yang menentang dakwahnya.

2) Segi materi yang terbagi menjadi tiga macam, yaitu:Kesatu, kisah para nabi.

Kedua, kisah orang-orang yang belum tentu nabi atau kelompok manusia tertentu.Ketiga, kisah tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian pada masa nabi Muhammad saw.10

B. UNSUR-UNSURQASHASH AL-QUR’ÂN

Unsur-unsur kisah dalam Alquran metode pengalokasiannya sama dengan pengalokasian yang berlaku dalam karya sastra pada umumnya seperti pada cerpen, prosa, dan novel. Yang membedakan antara unsur kisah pada karya sastra umum dengan karya sastra Alquran diantaranya adalah dalam kisah-kisah Alquran kita tidak akan dapat menemukan seluruh unsur kisah terkumpul pada satu kisah melainkan akan tersebar pada berbagai surah. Kisah yang ditampilkan secara utuh hanyalah kisah Yusuf a.s. sedangkan kisah-kisah lainnya banyak tersebar dan mayoritas kisahnya bukanlah merupakan satu kisah yang panjang. Hal tersebut kiranya berkaitan dengan tahapan dakwah Islam yang terjadi pada saat ayat diturunkan.

Sebagai contoh dapat dilihat bahwa unsur peristiwa atau kejadian banyak ditonjolkan apabila pesan yang disampaikan adalah berupa peringatan atau ancaman. Jika unsur tokoh yang ditonjolkan maka maksud diturunkannya ayat tersebut adalah untuk memberikan sugesti dan menyebarkan semangat dan pada saat tertentu untuk meneguhkan hati nabi Muhammad saw. dan para pengikutnya. Namun, apabila unsur dialog yang menjadi fokus maka akan tampak tujuannya adalah sebagai pembelaan atas dakwah Islam terhadap orang-orang yang menentang ajaran Allah.

(45)

Khalafullah menyatakan bahwa dalam kaidah kisah sastra11 disebutkan bahwa sebuah kisah harus terfokuskan pada satu unsur saja, adapun unsur kisah-kisah lainnya harus disembunyikan. Artinya agar unsur-unsur kisah-kisah tidak terkumpul dalam satu bingkai kisah dengan porsi tempat dan kepentingan yang sama di mana jika salah satu unsur kisah tenggelam akan mengakibatkan kisah tersebut kehilangan keseimbangan seninya. Kisah-kisah Alquran notabene adalah kisah-kisah pendek kecuali kisah Yusuf a.s.

Beberapa perbedaan model kisah Alquran ditinjau dari perspektif tata cara pengalokasian unsur-unsurnya:

1. Kisah yang dimaksudkan untuk menakut-nakuti dan mengancam. Dalam hal ini unsur peristiwa atau kejadian lebih dominan.

2. Kisah yang dimaksudkan untuk memberikan sugesti atau menumbuhkan semangat baru serta meneguhkan hati Nabi Muhammad saw. dan para pengikut setianya. Dalam hal ini unsur tokoh atau penokohan lebih dominan. 3. Kisah yang dirancang khusus untuk mengadakan pembelaan terhadap ajaran

dan dakwah Islam, unsur dialog lebih dominan.12

Khalafullah berpendapat bahwa unsur-unsur dalam kisah Alquran dapat dibagi menjadi empat unsur yaitu:

1. Tokoh

Dalam Alquran penggambaran tokoh dalam wacana kisah tidak hanya tokoh yang berwujud manusia saja melainkan lebih luas dan bersifat umum. Artinya bahwa tokoh adalah pemeran utama dari seluruh rangkaian peristiwa yang terjadi, dialog yang muncul, serta pemikiran berputar pada diri tokoh tersebut. Sebagai contoh kisah dalam Alquran memuat tokoh-tokoh berupa malaikat, manusia baik laki-laki maupun perempuan, dan juga mengangkat tokoh jin dan hewan.

11 Muhammad Ahmad Khalafullah, al-Fann al- Qashashî fî al-Qur’ân al-Karîm,h. 292

Referensi

Dokumen terkait

Di dalam Al-Qur ’ an itu sendiri terdapat kisah-kisah umat terdahulu, salah satu yang dapat diambil ibrah yakni kisah dari Nabi Ibrahim A.S. Sifatnya yang sabar, teguh

(alliday dan (asan menyatakan bahwa wacana tidak sama dengan teks. Mereka membedakan teks sebagai sesuatu yang mengacu pada bahasa tulis, sedangkan wacana

Nabi Ibrahim mencoba membuka cakrawala pemikiran ayahnya dengan menawarkan sebuah kepastian yang diterima dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bukan Tuhan yang lemah seperti

4FKBMBO EFOHBO QFSOZBUBBO ZBOH UFSNBLUVC EBMBN ,JUBC 1FSKBOKJBO #BSV UFSTFCVU "M2VSBO TFDBSB MFCJI HBNCMBOH

Dari sini, dapat diketahui bahwa sesuatu yang dinamis dari penafsiran bukan terletak pada makna literal teks, melainkan pada pemaknaan terhadap signifi kansi (pesan utama)

Tidak aneh jika seruannya disambut antusias oleh kalangan bawah (arâdzil) yang merupakan mayoritas masyarakat. Sedangkan kisah Nabi Mûsâ as. mengajarkan bahwa ajaran

Setiap manusia diciptakan Allah sesuai dengan fitrahnya. Secara literal, kata fitrah merupakan bentuk derivatif dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa yang

Penulisan skripsi ini yang berjudul “Konsep Internalisasi Nilai-Nilai Tauhid pada Kisah Nabi Ibrahim AS di dalam Al-Qur’an”, adalah merupakan salah satu tahapan dalam menempuh