STATUTA ROMA TENTANG PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL (PASAL 1 – 33) (1998)
MUKADIMAH
Negara-negara Pihak pada Statuta ini,
Menyadari bahwa semua orang yang bersatu dengan ikatan-ikatan tra¬disional, untuk-bentuk budaya bersama dalam, suatu warisan yang ter¬sebar, dan membentuk satu ikatan mosaik yang indah ini dapat terpisah setiap saat,
Memikirkan bahwa selama abad ini, jutaan anak, pria dan wanita telah menjadi korban kejahatan-kejahatan yang tidak dapat dibayangkan yang sangat mengguncang kesadaran manusia,
Mengakui bahwa tindakan-tindakan kejahatan ini mengancam per¬damaian, keamanan dan keselamatan dunia,
Menegaskan bahwa kejahatan yang paling serius yang perlu diperhatikan masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan dan bahwa hukuman yang efektif harus ditegakkan/dijamin dengan meng¬ambil tindakan-tindakan pada tingkat nasional dan dengan mengupayakan kerja sama internasional,
Menegaskan untuk mengakhiri tindakan-tindakan pidana ini dan dengan demikian mengusahakan pencegahan terjadinya tindakan pidana itu,
Mengingat bahwa hal ini merupakan tugas dari setiap Negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya terhadap tanggung jawab untuk keja¬hatan-kejahatan internasional ini,
Menegaskan kembali Tujuan dan Prinsip-prinsip Piagam PBB dan pada khususnya bahwa semua Negara harus mempertahankan diri dari ancam¬an atau penggunaan kekuatan terhadap integritas/kesatuan wilayah atau kemerdekaan politik dari setiap Negara, atau dalam hal-hal lain apapun yang tidak konsisten dengan Tujuan-tujuan PBB,
Menekankan dalam hubungan ini bahwa tidak ada satupun ketentuan da¬lam Statuta ini yang akan dijadikan sebagai hal yang memberi¬kan wewenang pada salah satu Negara yang menandatangani untuk mencampuri atau ikut campur dalam suatu konflik bersenjata atau dalam urusan-urusan internal Negara lain,
Menekankan bahwa Pengadilan Pidana Internasional yang dibentuk sesuai dengan Statuta ini harus menjadi pelengkap terhadap yurisdiksi pidana nasional,
Menyatakan untuk menjamin dihormatinya Statuta ini secara terus menerus dan untuk memberlakukan peradilan internasional,
Telah setuju sebagai berikut:
BAGIAN 1
PEMBENTUKAN PENGADILAN
Pasal 1 Pengadilan
Pengadilan Pidana Internasional (selanjutnya disebut “Pengadilan”) dengan Statuta ini dibentuk. Pengadilan ini merupakan lembaga yang permanen dan akan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan yurisdik¬sinya terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang paling serius yang menjadi perhatian internasional, sebagaimana yang disebutkan pada Statuta ini, dan akan menjadi pelengkap yuris¬diksi hukum pidana nasional. Yurisdiksi dan fungsi pengadilan itu akan diatur dengan ketentuan-ketentuan dalam Statuta ini.
Pasal 2
Hubungan Pengadilan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa
Hubungan antara Pengadilan dengan Perserikatan Bangsa Bangsa dilakukan melalui suatu perjanjian yang disahkan oleh Dewan Negara Pihak pada Statuta ini dan kemudian diputuskan oleh Pimpinan Pengadilan atas nama Pengadilan
Pasal 3
Kedudukan Pengadilan
1. Pengadilan ini akan didirikan di Den Haag, Belanda (“Negara Tuan Rumah”)
3. Pengadilan dapat berlokasi dimanapun, sepanjang diinginkan, sebagaimana ditentukan oleh Statuta ini
Pasal 4
Status hukum dan kekuasaan Pengadilan
1. Pengadilan harus memiliki personalitas hukum internasional. Pengadilan juga harus memiliki kapasitas hukum sepanjang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan mencapai tujuan Pengadilan .
2. Pengadilan dapat juga melaksanakan fungsi dan kekuasaannya, sebagimana ditentukan dalam statuta ini di wilayah Negara Peserta dan juga di wilayah negara lainya melalui persetujuan khusus.
BAGIAN 2
JURIDIKSI, HUKUM YANG DAPAT DITERIMA DAN DITERAPKAN
Pasal 5
Kejahatan dalam yuridiksi Pengadilan
1. Jurisdiksi pengadilan terbatas pada kejahatan yang oleh seluruh masyarakat internasional dianggap paling serius. Menurut Statuta ini, Pengadilan memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan sebagai berikut:
(a) Kejahatan genosida;
(b) Kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) Kejahatan perang;
(d) Agresi.
2. Pengadilan memberlakukan yurisdiksi terhadap kejahatan agresi pada suaat suatu ketentuan disahkan sesuai dengan pasal 121 dan 123 tentang definisi kejahatan dan kondisi-kondisi dimana Pengadilan dapat memberlakukan yurisdiksinya terhadap kejahatan ini. Ketentuan seperti ini harus sesuai dengan ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa.
Genosida
Untuk tujuan Statuta ini, “genosida” berarti setiap tindakan berikut ini yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, kelompok bangsa, etnis, ras atau agama seperti:
(a) Pembunuhan para anggota kelompok;
(b) Menyebabkan kerusakan/luka-luka tubuh ataupun mental yang sangat serius terhadap para anggota kelompok;
(c) Dengan sengaja merugikan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkah dapat berakibat pada kerusakan fisik secara keseluruh¬an ataupun sebagian;
(d) Tindakan-tindakan berat yang dimaksudkan untuk mencegah kela¬hiran kelompok itu; (e) Pemindahan paksa anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok lain;
Pasal 7
Kejahatan terhadap kemanusian
1. Untuk tujuan Statuta ini, “kejahatan terhadap kemanusiaan” berarti setiap tindakan-tindakan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari upaya penyerangan yang sistematis dan menyebar luas yang diarahkan terhadap salah satu kelompok penduduk sipil, dengan penyerangan yang disengaja:
(a) Pembunuhan; (b) Pembasmian; (c) Perbudakan;
(d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;
(e) Pemenjaraan atau tekanan-tekanan kebebasan fisik yang kejam yang melanggar peraturan dasar hukum internasional;
(f) Penyiksaan;
dengan suatu tindakan yang ‘disebutkan pada ayat ini atau kejahatan dalam yurisdiksi Peng¬adilan itu;
(i) Penculikan/penghilangan paksa seseorang; (j) Kejahatan apartheid;
(k) Tindakan-tindakan tidak berperikemanusian lain dari sifat yang sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan yang besar atau kecelakaan yang serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.
2. Untuk tujuan ayat 1 :
(a) “Penyerangan yang diarahkan terhadap penduduk sipil” berarti suatu tindakan yang melibatkan perbuatan tindakan yang berli¬pat ganda yang disebutkan pada ayat 1 terhadap penduduk sipil, sesuai dengan atau merupakan kelanjutan dari kebijakan suatu negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan itu;
(b) “Pemusnahan” mencakup hukuman atau yang disengaja dari kondisi-kondisi penyiksaan kehidupan, antara lain perampasan ak¬ses terhadap makanan dan obat-obatan yang diperhitungkan membawa akibat kerusakan dari bagian suatu populasi;
(c) “Perbudakan” yaitu pelaksanaan salah satu atau semua kekua¬saan yang melekat pada hak kepemilikan seseorang dan ter¬masuk pelaksanaan kekuasaan itu dalam pelaksanaan perdagang¬an orang, pada khususnya wanita dan anak-anak;
(d) “Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” yaitu pemindahan paksa orang-orang yang terkait dengan pengusiran atau tindakan-tindakan lain dari daerah dimana mereka secara hukum berada, tanpa dasar-dasar yang diizinkar sesuai dengan hukum internasional; (e) “Penyiksaan” yaitu penyiksaan yang disengaja dari rasa sakit yang sangat berat atau menderita, baik secara fisik maupun mental pada seseorang yang berada dalam penjagaan atau di bawah kontrol dari terdakwa; kecuali bahwa penyiksaan itu tidak termasuk rasa sakit atau menderita yang timbul hanya dari, yang menjadi sifat atau secara tidak disengaja dari sanksi-sanksi hu¬kum;
(f) “Kehamilan yang dipaksa” yaitu pengurungan yang tidak ber¬dasarkan hukum dari seorang wanita yang dipaksa untuk hamil, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis dari suatu populasi atau melakukan pelanggaran-pelanggaran berat lain dari hu¬kum internasional. Definisi ini bagaimanapun juga tidak boleh diinterpretasikan mempengaruhi hukum nasional yang ber¬hubungan dengan kehamilan;
(g) “Penganiayaan” yaitu perampasan yang disengaja dan kejam dari hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas dari kelompok atau pengelompokan;
konteks rezim yang dilembagakan dari penekanan sistematis dan do¬minasi sistematis oleh salah satu kelompok ras terhadap ke¬lompok ras lain atau beberapa kelompok dan dilakukan dengan maksud untuk menjaga rezim itu:
(i) “Penghilangan paksa orang” yaitu pcnangkapan, penahanan, atau penculikan orang-orang oleh atau dengan kewenangan, du¬kungan, atau pengakuan dari Negara atau organisasi politik yang diikuti dengan penolakan untuk mengakui bahwa perampasan kebebasan atau untuk memberikan informasi tentang martabat atau keberadaan dari orang-orang itu, dengan maksud menghi¬langkannya dari perlindungan hukum untuk jangka waktu yang lama.
3. Untuk tujuan Statuta ini, hal ini dipahami bahwa istilah “jenis kelamin” merujuk pada dua jenis kelamin dalam konteks masyarakat, yaitu laki-laki dan perempuan. Istilah “gender” tidak menunjukan adanya pe¬ngertian yang berbeda seperti di atas.
Pasal 8
Kejahatan Perang
1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan kejahatan perang pada khususnya ketika dilakukan sebagai bagian dari peren¬canaan atau kebijakan atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai dampak skala luas dari kejahatan itu.
2. Untuk tujuan Statuta ini, “kejahatan perang” berarti :
(a) Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa pada 12 Agustus 1949. yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini terhadap orang-orang atau kekayaan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkut¬an:
(i) Pembunuhan yang disengaja;
(ii) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk uji coba biologi;
(iii) kesengajaan yang menyebabkan penderitaan atau rasa sakit yang Iuar biasa terhadap tubuh atau kesehatan;
(iv) Pengrusakan yang berlebih-lebihan dan pemusnahan harta benda/kekayaan, yang tidak dibenarkan oleh kebutuhan¬kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak berdasarkan hukum dan tanpa alasan;
(v) Pemaksaan tahanan perang atau orang yang dilindungi Iainnya untuk melaksanakan secara paksa kekuasaan yang sedang bertempur;
(vi) Penyiksaan disengaja terhadap tahanan perang atau orang yang dilindungi Iainnya dari hak-hak pengadilan yang adil dan reguler;
(viii) Penyanderaan.
(b) Pelanggaran-pelanggaran yang berat lainnya terhadap hukum dan hu¬kum adat yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, dalam kerangka kerja yang ditetapkan dari hukum internasional yaitu setiap tindakan-tindakan berikut ini:
(i) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap penduduk sipil seperti atau terhadap penduduk sipil se¬cara individu yang tidak ambit bagian secara langsung dalam kerusuhan/permusuhan itu;
(ii) Dengan sengaja mengadakan penyerangan terhadap obyek-obyek sipil yaitu obyek-obyek yang bukan meru¬pakan obyek-obyek militer;
(iii) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap personil, instalasi, bahan-bahan, unit atau kendaraan¬kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusian atau misi penjagaan keamanan sesuai dengan Piagam PBB, sepanjang hal tersebut mendapat pertindungan yang diberikan terhadap orang-orang sipil atau obyek-obyek sipil sesuai dengan hukum internasional dari konflik bersen¬jata;
(iv) Secara sengaja melancarkan serangan yang menurut pengetahuannya bahwa penyerangan itu akan menye¬babkan kerugian yang tiba-tiba terhadap jiwa atau ke¬celakaan terhadap warga sipil atau kerusakan terhadap obyek-obyek sipil atau kerusakan-kerusakan yang luas, jangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam yang dengan jelas akan berhubungan dengan keuntungan¬keuntungan militer yang kongkrit dan langsung secara keseluruhan yang dapat diantisipasi;
(v) Penyerangan atau bombardir terhadap kota-¬kota, desa-desa, tempat-tempat hunian, atau gedung-¬gedung yang tidak dipertahankan dan yang bukan meru¬pakan obyek-obyek militer dengan cara apapun;
(vi) Pembunuhan atau penyiksaan sandera yang telah mele¬takkan senjatanya atau tidak lagi mempunyai daya per¬tahanan, telah menyerahkan kebijaksanaannya;
(vii) Membuat penggunaan yang tidak tepat bendera gencat¬an senjata, bendera atau tanda-tanda militer serta seragam musuh atau PBB, serta perangkat-perangkat Konvensi Jenewa, yang mengakibatkan kematian atau kecelakaan jiwa yang gawat;
(viii) Pengalihan, secara langsung ataupun tidak langsung, dengan penempatan kekuasaan sebagian dari penduduk sipilnya sendiri ke wilayah huniannya, atau deportasi atau pengalihan seluruh atau sebagian penduduk dari wilayah yang ditempati di dalam atau di luar wilayahnya;
(x) Melakukan pada orang-orang yang berada pada kekuasa¬an pihak lawan, mutilasi fisik, atau eksperimen medis atau ilmiah dari salah satu jenis yang tidak dibenarkan oleh perawatan medis, gigi atau perawatan rumah sakit dari orang yang bersangkutan demi kepentingan-kepentingan¬nya, dan yang menyebabkan kematian terhadap atau ba¬haya yang serius terhadap kesehatan orang atau be¬berapa orang itu;
(xi) Pembunuhan atau mengakibatkan luka terhadap individu ¬individu yang menjadi milik bangsa yang bermusuhan atau angkatan bersenjata;
(xii) Menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
(xiii) Merusak atau menyita harta kekayaan musuh kecuali pengrusakan atau penyitaan itu diminta dengan tegas untuk kebutuhan-kebutuhan perang;
(xiv) Menyatakan hilang, berhenti atau tidak dapat diizinkan di pengadilan hukum hak-hak dan tindakan-tindakan pihak nasional maupun pihak yang bermusuhan;
(xv) Memaksa bangsa-bangsa dari pihak yang bermusuhan untuk ambil bagian dalam operasi perang yang diarahkan terhadap negaranya sendiri, bahkan apabila mereka berada dalam layanan belligerent sebelum memulai per¬ang itu;
(xvi) Penjarahan kota atau tempat, bahkan apabila dilakukan dengan penyerangan; (xvii) Menggunakan racun atau senjata beracun;
(xviii) Menggunakan gas asphyxiating, gas beracun atau gas-gas lain, dan semua bahan-bahan cairan, ba¬han-bahan-bahan dan perangkat-perangkat yang sama;
(xix) Menggunakan peluru tajam yang menyebar atau mudah menusuk pada tubuh manusia, seperti peluru-peluru den¬gan pelindung keras yang intinya tidak tertutup selu¬ruhnya atau diberi incisions,
(xx) Menggunakan senjata, proyektil dan bahan-bahan serta metode perang yang sifatnya dapat menyebabkan ke¬celakaan yang maha berat atau penderitaan yang tidak diperlukan atau yang secara disengaja tidak membeda bedakan dalam pelanggaran hak internasional atau kon¬flik bersenjata, asalkan senjata-senjata, proyektil dan ba¬han-bahan serta metode perang itu mengacu pada laran¬gan yang komprehensif dan termasuk dalam lampiran Statuta ini, dengan perubahan-perubahannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang relevan yang ditetapkan pada pasal 121 dan 123;
(xxi) Melakukan kebiadaban terhadap harkat martabat manusia, khususnya perlakuan yang memalukan dan merendahkan martabat;
(xxiii) Menggunakan keberadaan masyarakat sipil atau orang yang dilindungi lain untuk tameng titik-titik, daerah¬daerah atau kekebalan-kekebalan kekuasaan militer ter¬tentu dari operasi militer;
(xxiv) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangunan-¬bangunan, unit-unit dan transportasi medis, serta personil-¬personil yang menggunakan perangkat khusus dari Kon¬vensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(xxv) Sengaja menggunakan kelaparan sipil sebagai metode perang dengan membiarkan mereka menghilangkan obyek-obyek yang tidak dapat diperbaiki bagi kelanjutan hidupnya termasuk dengan sengaja menghambat paso¬kan-pasokan sebagaimana yang diberikan sesuai dengan Konvensi Jenewa;
(xxvi) Memaksa atau mengikutsertakan anak-anak di bawah umur limabelas tahun dalam kekuatan bersenjata na¬sional atau menggunakannya untuk berpartisipasi aktif dalam pertempuran.
(c) Dalam hal konflik bersenjata bukan bersifat internasional, pelanggaran-pelanggaran serius dari pasal 3 pada Konvensi Jenewa ke empat tanggal 12 Agustus 1949, yaitu setiap tindakan berikut ini yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak ambil bagian secara aktif dalam pertempuran termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjatanya/menye¬rah dan mereka yang ditempatkan hors de combat karena sakit, luka, penahanan atau sebab-sebab lain apapun:
(i) Pelanggaran terhadap nyawa dan orang, pada khususnya pembunuhan tanpa pandang bulu, mutilasi, perlakuan kejam dan penyiksaan;
(ii) Melakukan kebiadaban terhadap harkat martabat manusia, khususnya perlakuan yang memalukan dan merendahkan martabat;
(iii) Penyanderaan;
(iv) Memberikan hukuman dan melakukan eksekusi tanpa peng¬adilan terlebih dahulu yang diumumkan oleh pengadilan yang dilembagakan secara regular, yang mengupayakan se¬luruh jaminan yudisial yang secara umum dikenal sangat diperlukan;
(e) Pelanggaran-pelanggaran hukum serius lainnya dan hukum tradi¬sional yang berlaku di dalam konflik bersenjata yang bukan bersi¬fat internasional, dalam kerangka kerja yang ditetapkan pada hukum internasional yaitu setiap tindakan berikut ini :
(i) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil seperti atau terhadap warga negara sipil yang tidak ambil bagian secara langsung dalam pertempuran/per¬musuhan itu;
(ii) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap bangun¬an, bahan-bahan, unit medis dan transportasi, dan personil yang menggunakan perangkat khusus dari Konvensi Jenewa sesuai dengan hukum internasional;
(iii) Dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap personil, instalasi, bahan-bahan unit atau kendaraan yang terlibat dalam bantuan kemanusian atau misi penjaga keamanan se¬suai dengan Piagam PBB, dan juga mereka berhak menda¬pat perlindungan yang diberikan kepada warga sipil atau obyek-obyek sipil sesuai dengan hukum internasional dari konflik bersenjata;
(iv) Dengan sengaja mengarahkan penyerangan terhadap bangunan¬bangunan yang diperuntukan untuk tujuan keagamaan, pendidikan, seni, ilmu pengetahuan atau tujuan-tujuan amal, monumen bersejarah, rumah sakit dan tempat-tempat di¬mana orang-orang sakit dan sakit berada asalkan mereka bukan tujuan militer;
(v) Penjarahan kota atau tempat, bahkan apabila dilakukan dengan penyerangan;
(vi) Melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sebagaimana dijelaskan pada pasal 7 ayat 2 (f), sterilisasi paksa dan setiap bentuk pelanggaran seksual lainnya dan juga yang merupakan pelanggaran serius terhadap pasal 3 sampai dengan Konvensi Jenewa ke empat;
(vii) Mongikutsertakan atau mendaftarkan anak-anak di bawah umur limabelas tahun dalam angkatan bersenjata atau kelompok-kelompok atau menggunakannya untuk berpartisi¬pasi aktif dalam kerusuhan;
(viii) Memerintahkan pemindahan populasi atau penduduk sipil untuk alasan-alasan yang terkait dengan konflik kecuali menjamin masyarakat sipil yang terlibat atau untuk alasan ¬alasan militer imperatif yang diminta;
(ix) Pembunuhan atau mengakibatkan luka yang hebat; (x) Menyatakan bahwa tidak ada tempat yang akan diberikan;
(xii) Merusak atau menyita harta benda pihak lain kecuali peng¬rusakan atau penyitaan itu dituntut dengan tegas oleh kebu¬tuhan konflik;
(f) Ayat 2 (e) berlaku bagi konflik bersenjata yang bukan bersifat internasional dan dengan demikian tidak berlaku bagi situasi¬situasi gangguan internal dan ketegangan-ketegangan seperti kerusuhan, tindakan isolasi dan sporadis dari pelanggar¬an atau tindakan-tindakan lain dari sifat yang serupa. Ini berlaku bagi konflik bersenjata yang berlangsung di wilayah suatu Ne¬gara apabila ada konflik bersenjata yang terjadi antara pemerin¬tah dan kelompok bersenjata terorganisir atau antara kelompok¬kelompok itu.
3. Tidak ada ketentuan dalam ayat 2 (c) dan (e) yang akan mempenga¬ruhi tanggung jawab Pemerintah untuk menjaga atau menetapkan kembali undang-undang atau aturan di Negara itu atau untuk mempertahankan kesatuan dan integritas wilayah Negara itu, dengan segala cara yang sah.
Pasal 9
Elemen-elemen Kejahatan
1. Elemen-elemen kejahatan akan membantu Pengadilan dalam mengin¬terpretasikan dan mengaplikasikan pasal 6, 7, dan 8. Elemen-elemen ini akan digunakan oleh mayoritas dua pertiga para anggota Majelis Negara-negara Pihak.
2. Perubahan-perubahan terhadap Elemen-elemen Kejahatan dapat di¬usulkan oleh: (a) Salah Satu Negara yang Menandatangani;
(b) Hakim-hakim yang bertindak menurut mayoritas absolut; (c) Penuntut/Jaksa Penuntut.
Perubahan-perubahan itu akan digunakan oleh mayoritas dua pertiga dari para anggota Majelis Negar-negara Pihak.
3. Elemen-elemen Kejahatan dan perubahan-perubahannya harus se¬suai dengan Statuta ini.
Pasal 10
Pasal 11
Yurisdiksi ratione temporis
1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi hanya berkaitan dengan keja¬hatan-kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya Statuta ini.
2. Apabila suatu negara menjadi Pihak pada Statuta ini setelah tanggal mulai diberlakukan, maka Pengadilan hanya dapat melaksanakan yurisdiksi berkaitan dengan kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya Statuta ini di Negara yang bersangkutan, kecuali jika Negara tersebut membuat pernyataan sesuai dengan pasal 12, ayat 3.
Pasal 12
Prakondisi pelaksanaan yurisdiksi
1. Negara yang menjadi Pihak pada Statuta ini oleh karenanya menerima yurisdiksi Pengadilan berkaitan dengan kejahatan¬-kejahatan yang disebutkan pada pasal 5.
2. Dalam hal pasal 13 ayat (a) atau (c), Pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila salah satu Negara berikut ini atau lebih meru¬pakan Pihak pada Statuta ini atau telah menerima yurisdiksi Pengadilan sesuai dengan ayat 3:
(a) Negara di wilayah yang pelanggaran terjadi atau apabila keja¬hatan dilakukan di atas sebuah kapal atau pesawat, Negara yang mencatatkan kapal atau pesawat itu;
(b) Negara dimana orang yang didakwa melakukan kejahatan seba¬gai kebangsaannya. 3. Apabila penerimaan dari suatu Negara yang bukan salah satu penan¬datangan dalam Statuta ini diperlukan sesuai dengan ayat 2, Negara itu, dengan pernyataan yang diajukan pada Kantor Panitera, dapat menerima pelaksanaan yurisdiksi oleh pengadilan yang ber¬kaitan dengan kejahatan yang bersangkutan. Negara yang menerima itu harus bekerja sama dengan Pengadilan tanpa ada penundaan atau kekecualian sesuai dengan Bagian 9.
Pasal 13
Pelaksanaan yurisdiksi
Pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya berkaitan dengan kejahatan yang disebutkan pada pasal 5 sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Statuta ini apabila:
(b) Suatu situasi di mana salah satu kejahatan atau lebih muncul atau terlihat telah dilakukan disampaikan pada Penuntut oleh Dewan Ke¬amanan yang bertindak sesuai dengan Bab VII Piagam PBB; atau
(c) Penuntut telah mengadakan penyelidikan/investigasi berkaitan dengan kejahatan itu sesuai dengan pasal 15.
Pasal 14
Penyerahan suatu situasi oleh Negara Pihak
1. Suatu Negara Pihak dapat menunjukan pada Penuntut situasi dimana salah satu kejahatan atau lebih dalam yuris¬diksi Pengadilan muncul telah dilakukan yang meminta Penuntut itu untuk menyelidiki situasi itu untuk tujuan menentukan apakah salah seorang atau beberapa orang tertentu atau lebih harus bertanggung jawab terhadap pelaksanaan atau tindakan kejahatan itu.
2. Sejauh mungkin, penyerahan harus menjelaskan keadaan yang rele¬van dan disertai dengan dokumentasi yang mendukung sebagaimana yang ada pada Negara yang mengajukan situasi itu.
Pasal 15 Penuntut
1. Penuntut dapat melaksanakan/mengawali penyelidikan proprio motu berdasarkan pada informasi tentang kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu.
2. Penuntut harus menganalisa keseriusan informasi yang diterima, un¬tuk tujuan ini ia dapat mencari informasi tambahan dari Negara-¬negara, organisasi PBB, organisasi-organisasi antar¬pemerintah atau organisasi-organisasi-organisasi-organisasi nonpemerintah, atau sumber-sumber yang dapat dipercaya lainnya yang dianggap tepat, dan dapat menerima kesaksian tertulis ataupun lisan di tempat kedudukan Pengadilan itu.
3. Apabila Penuntut menyimpulkan bahwa ada dasar yang tepat untuk ditindaklanjuti dengan penyelidikan, dia akan mengajukan kepada Majelis Pra-Peradilan permintaan kewenangan untuk melakukan in¬vestigasi, bersama-sama dengan bahan-bahan pendukung yang telah dikumpulkan. Korban-korban dapat mengajukan perwakilan pada Majelis Pra-Peradilan, sesuai dengan Peraturan Prosedur dan Pem¬buktian.
mengurangi penentuan-penentuan berikutnya oleh Pengadil¬an dengan memperhatikan pada yurisdiksi dan dapat diakuinya kasus itu.
5. Pemilihan Majelis Pra-Peradilan untuk memberikan kewenangan in¬vestigasi tidak menghalangi penyajian pemintaan berikutnya oleh Penuntut berdasarkan pada fakta-fakta atau bukti-bukti baru menge¬nai situasi yang sama.
6. Apabila setelah pengujian awal yang disebut pada ayat 1 dan 2. Penuntut menyimpulkan bahwa infomasi yang diberikan tidak meru¬pakan dasar yang tepat untuk penyelidikan, dia akan memberitahu¬kan hat itu kepada orang-orang yang telah memberikan informasi itu. Hal ini tidak akan menghalangi Penuntut dari mempertimbangkan in¬fomasi lebih lanjut yang diajukan kepadanya mengenai situasi yang sama dalam hal ada fakta-fakta atau bukti-bukti baru.
Pasal 16
Penundaan investigasi atau penuntutan
Tidak ada penyelidikan ataupun penuntutan dapat dilakukan atau ditindak¬lanjuti sesuai dengan Statuta ini untuk jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan, berdasarkan keputusan yang diberlakukan se¬suai dengan Bab VII Piagam PBB, telah meminta Pengadilan untuk memberlakukan hal itu; permintaan itu dapat diperpanjang oleh Dewan sesuai dengan kondisi-kondisi yang sama.
Pasal 17
Isu-isu Pengakuan
1. Setelah memperhatikan paragraf 10 Pembukaan dan pasal 1, Peng¬adilan dapat menentukan bahwa suatu kasus tidak dapat diterima apabila :
(a) Kasus itu diselidiki atau dituntut oleh Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadapnya, kecuali Negara itu tidak menghendaki atau tidak mampu untuk melakukan investigasi atau penuntutan itu;
(b) Kasus itu telah diselidiki oleh Negara yang mempunyai yurisdiksi terhadapnya dan Negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali keputusan yang di¬hasilkan dari ketidakmauan atau ketidakmampuan Negara itu untuk menuntut;
2. Agar dapat menentukan ketidakmauan dalam kasus tertentu, Peng¬adilan harus mempertimbangkan, prinsip-prinsip proses yang tepat waktu yang dikenal oleh hukum internasional, apakah salah satu atau lebih hal berikut ini ada atau tidak, sebagaimana yang berlaku:
(a) Perkara-perkara itu dilakukan atau sedang diproses atau kepu¬tusan nasional dibuat untuk tujuan melindungi orang yang ber¬sangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang disebutkan pada pasal 5;
(b) Ada keterlambatan yang tidak dapat dibenarkan dalam perkara¬perkara yang keadaannya tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang itu ke Pengadilan;
(c) Perkara-perkara itu tidak atau tidak sedang diselesaikan secara independen atau memihak, dan perkara itu dilaksanakan atau sedang dilaksanakan dengan cara dimana menurut keadaannya tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang itu kepada keadilan.
3. Agar dapat menentukan ketidakmampuan kasus tertentu, Pengadilan akan mempertimbangkan apakah, dikarenakan ketidakmampuan se¬cara menyeluruh atau kegagalan substansial dari sistem yudisial na¬sional, Negara itu tidak mampu untuk mendapatkan terdakwa atau bukti-bukti yang diperlukan dan saksi-saksi/kesaksian atau dengan cara lain tidak dapat memproses perkara-perkaranya.
Pasal 18
Aturan-aturan awal mengenai pengakuan
1. Apabila sebuah situasi telah diajukan kepada Pengadilan sesuai dengan pasal 13 (a) dan Penuntut telah menentukan bahwa akan ada dasar yang tepat untuk memulai investigasi, atau Penuntut sudah memulai investigasinya sesuai dengan pasal 13 (c) dan 15, Penuntut harus memberitahukan seluruh Negara yang menandatangani dan Negara-negara yang mempertimbangkan informasi yang ada, secara normal dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kejahatan¬kejahatan itu. Penuntut dapat memberitahukan Negara-negara itu tentang dasar-dasar rahasia dan, dimana Penuntut meyakini hal itu perlu untuk melindungi orang, mencegah kerusakan atau penghilang¬an bukti atau mencegah melarikan diri orang-orang itu, dapat mem¬batasi lungkup informasi yang diberikan kepada negara-negara.
menyerahkan penyelidikan Negara dari orang-orang itu kecuali Ma¬jelis Pra-Peradilan, atas permohonan Penuntut, memutuskan untuk memberikan wewenang penyelidikan.
3. Penyerahan Penuntut atas penyelidikan atau investigasi suatu Negara haruslah terbuka untuk ditinjau kembali oleh Penuntut enam bulan setelah tanggal penyerahan atau setiap saat apabila telah ada perubahan yang penting dari keadaan-keadaan berdasarkan pada keti¬dakmauan Negara itu atau ketidakmampuannya untuk melakukan penyelidikan.
4. Negara yang bersangkutan atau Penuntut dapat mengajukan banding kepada Majelis Banding terhadap peraturan dari Majelis Pra Peradilan, sesuai dengan Pasal 82. Banding itu dapat disidangkan atau diperiksa atas dasar dipercepat.
5. Apabila Penuntut telah menyerahkan investigasi sesuai dengan ayat 2, Penuntut dapat meminta bahwa Negara yang bersangkutan secara berkala memberitahu Penuntut tentang kemajuan dari investigasinya dan setiap tuntutan berikutnya. Negara-negara yang menandatangani harus merespon terhadap permintaan-permintaan itu tanpa keter¬lambatan. 6. Penundaan peraturan oleh Majelis Pra-Peradilan, atau setiap saat pada saat Penuntut telah menyerahkan penyelidikan/investigasi se¬suai dengan pasal ini, Penuntut, atas dasar kekecualian, dapat meng¬upayakan kewenangan dari Majelis Pra-Peradilan untuk melakukan langkah-langkah investigatif yang diperlukan untuk tujuan menjaga bukti-bukti bilamana ada kesempatan yang khusus untuk mem¬peroleh bukti-bukti penting atau ada resiko yang panting bahwa bukti-bukti tidak akan tersedia nanti.
7. Suatu Negara yang telah menentang peraturan Majelis Pra-Peradilan sesuai dengan pasal ini dapat menentang hal-hal yang dapat diterima dari kasus sesuai dengan pasal 19 tentang dasar-dasar fakta signifi¬kan tambahan atau perubahan-perubahan signifikan dari keadaan.
PasaI 19
Tantangan terhadap yurisdiksi Pengadilan atau pengakuan kasus
1. Pengadilan akan memenuhi sendiri bahwa dirinya mempunyai yuris¬diksi dalam kasus yang dibawa ke hadapannya. Pengadilan, atas kebijakannya sendiri dapat menentukan pengakuan terhadap kasus sesuai dengan pasal 17.
2. Tantangan terhadap pengakuan dari kasus atas dasar yang disebut¬kan pada pasal 17 atau tantangan-tantangan terhadap yurisdiksi Pengadilan dapat dibuat oleh:
(a) Seorang terdakwa atau seorang dari yang mana jaminnan penangkapan atau panggilan muncul telah diterbitkan sesuai dengan pasal 58;
(c) Suatu Negara dari mana penerimaan yurisdiksi diperlukan sesuai dengan Pasal 12.
3. Penuntut dapat mengupayakan aturan Pengadilan mengenai perta¬nyaan yurisdiksi atau pengakuan. Dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan yurisdiksi atau pengakuan, mereka yang telah mengajukan situasi sesuai dengan pasal 13 serta korban-korbannya dapat juga mengajukan pengamatan kepada Pengadilan.
4. Pengakuan dari kasus atau yurisdiksi dari Pengadilan dapat ditantang hanya sekali oleh seseorang atau Negara yang disebutkan pada ayat 2. Tantangan itu akan berlangsung sebelum atau pada, permulaan proses peradilan. Dalam keadaan kekecualian, Pengadilan dapat memberikan penundaan untuk tantangan dibawa lebih daripada sekali atau pada suatu saat paling lambat dari permulaan proses peradilan. Tantangan-tantangan terhadap pengakuan dari suatu kasus, pada permulaan proses peradilan, atau kemudian dengan cuti Pengadilan, dapat didasarkan hanya pada pasal 17, ayat 1 (c).
5. Suatu Negara yang disebutkan pada ayat 2 (b) dan (c) akan mem¬buat tantangan pada kesempatan-kesempatan paling awal.
6. Sebelum konfirmasi dari tuduhan, tantangan terhadap pengakuan dari kasus atau tantangan terhadap yurisdiksi Pengadilan akan diaju¬kan pada Majelis Pra-Peradilan. Setelah konfirmasi dari tuduhan, mereka akan mengajukan pada Majelis Peradilan. Keputusan berkait¬an dengan yurisdiksi dan pengakuan dapat diajukan banding kepada Majelis Banding sesuai dengan Pasal 82.
7. Apabila tantangan dibuat oleh Negara yang disebut pada ayat 2 (b) atau (c), Penuntut akan menunda atau menghentikan sementara penyelidikan sampai dengan waktu itu setelah Pengadilan membuat penentuan sesuai dengan pasal 17.
8. Penundaan peraturan oleh Pengadilan, Penuntut dapat mengupaya¬kan wewenang dari Pengadilan itu:
(a) Untuk mengambil Iangkah-langkah investigatif yang diperlukan dari jenis-jenis yang disebutkan pada pasal 18, ayat 6;
(b) Untuk mengambil pernyataan atau kesaksian dari seorang saksi atau menyelesaikan/melengkapi pengumpulan dan pengujian bukti-bukti yang telah dimulai sebelum pembuatan tantangan itu; dan
(c) Bekerja sama dengan Negara-negara yang terkait untuk mence¬gah melarikan dirinya orang-orang yang berkaitan dengan mana Penuntut telah memintanya jaminan penangkapan sesuai dengan Pasal 58.
9. Pembuatan tantangan tidak akan mempengaruhi keabsahan dari tin¬dakan yang dilakukan oleh Penuntut atau perintah atau jaminan yang dikeluarkan oleh Pengadilan sebelum membuat tantangan itu.
dia dipuaskan secara menyeluruh bahwa fakta-fakta baru telah timbal yang meniadakan dasar-dasar dimana kasus itu telah ditemukan sebelumnya tidak da¬pat diakui sesuai dengan pasal 17.
11. Apabila Penuntut, dengan memperhatikan pada masalah-masalah yang disebutkan pada pasal 17, menyerahkan penyelidikan, Penuntut dapat meminta bahwa Negara yang terkait menyediakan pada Penuntut informasi tentang perkara itu. Informasi itu, atas permin¬taan Negara yang bersangkutan merupakan informasi rahasia. Apa¬bila Penuntut kemudian memutuskan untuk melanjutkannya dengan penyelidikan, dia harus memberitahukan kepada Negara itu dimana penyerahan dari perkara-perkara itu telah terjadi.
Pasal 20 Ne bis in idem
1. Kecuali ditentukan dalam Statuta ini, tidak ada seorangpun yang diajukan ke Pengadilan dengan memperhatikan perilaku yang membentuk dasar-dasar kejahatan dimana orang itu telah dituduh atau didakwa oleh Pengadilan.
2. Tidak ada seorangpun yang akan diadili oleh Pengadilan lain untuk kejahatan yang disebutkan pada pasal 5 untuk mana orang itu telah didakwa atau dituduh oleh Pengadilan itu. 3. Tidak ada seorangpun yang telah diadili oleh Pengadilan lain untuk perilaku yang juga dijelaskan pada pasal 6, 7, atau 8 yang diadili oleh Pengadilan itu berkaitan dengan perilaku yang sama kecuali perkara-perkara itu dalam pengadilan lain :
(a) Apakah untuk tujuan melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana atas kejahatan-kejahatan dalam yuris¬diksi Pengadilan itu; atau
(b) Dengan cara lain tidak dilakukan secara independen atau memi¬hak sesuai dengan norma-norma dari proses yang tepat yang dikenal oleh hukum internasional dan dilakukan dengan cara di¬mana dalam keadaan itu, tidak konsisten dengan maksud untuk membawa orang itu terhadap peradilan.
Pasal 21
Hak yang berlaku
1. Pengadilan akan memberlakukan :
(b) Dalam kesempatan kedua, bilamana memungkinkan, fakta-fakta yang berlaku dan prinsip-prinsip serta aturan-aturan hukum in¬ternasional, termasuk prinsip-prinsip yang dibuat dari hukum in¬ternasional untuk pertikaian bersenjata;
(c) Kegagalan itu, prinsip-prinsip umum dari hukum yang berasal dari Pengadilan dari hukum nasional atau sistem hukum dunia, termasuk, bilamana tepat, hukum nasional Negara-negara yang biasanya melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan itu dengan ketentuan bahwa prinsip-prinsip itu tidak bertentangan dengan Statuta ini dan dengan hukum internasional dan norma-¬norma serta standar-standar yang dikenal secara internasional.
2. Pengadilan dapat menerapkan prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan hukum sebagaimana yang ditafsirkan pada keputusan sebelumnya.
3. Penerapan dan interpretasi hukum sesuai dengan pasal ini harus konsisten dengan hak-hak manusia yang dikenal secara internasional, dan tanpa ada perbedaan-perbedaan yang panting yang ditemukan pada dasar-dasar seperti gender sebagaimana yang dijelaskan pada pasal 7 ayat 3, usia, ras, wama kulit, bahasa, agama atau keyakinan, politik atau pendapat-pendapat lain, kebangsaan, etnis atau asal sosial, kekayaan, kelahiran atau status lain.
BAGIAN 3
PRINSIP-PRINSIP UMUM HUKUM PIDANA
Pasal 22
Nullum crimen sine lege
1. Seseorang tidak bertangggung jawab secara pidana sesuai dengan Statuta ini kecuali perilaku yang bersangkutan merupakan, pada saat terjadi, merupakan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu.
2. Definisi dari kejahatan akan dibentuk secara ketat dan tidak akan diperluas dengan analogi. Dalam hal terjadi kebingungan, definisi akan ditafsirkan menurut orang yang diselidiki, dituntut atau didakwa.
3. Pasal ini tidak mempengaruhi karakterisasi dari perilaku sebagai tin¬dakan pidana sesuai dengan hukum internasional yang secara inde¬penden dari Statuta ini.
Pasal 23
Nulla poena sine lege
Pasal 24
Ratione personae nonretroaktif
1. Tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab secara pidana sesuai dengan Statuta ini untuk perilaku atau tindakan-tindakan se¬belum diberlakukannya Statuta ini.
2. Dalam hal terjadi perubahan pada hukum yang berlaku untuk kasus yang diberikan sebelum keputusan akhir hukum yang lebih tepat un¬tuk orang yang sedang diinvestigasi, dituntut atau didakwa harus berlaku.
Pasal 25
Tanggung jawab pidana individu
1. Pengadilan mempunyai yurisdiksi terhadap orang secara alami sesuai dengan Statuta ini. 2. Seseorang yang melakukan kejahatan di dalam yurisdiksi Pengadilan itu harus bertanggung jawab secara individu dan mempertanggung jawabkan untuk hukuman sesuai dengan Statuta ini.
3. Sesuai dengan Statuta ini, seseorang harus bertanggung jawab dan menanggung secara pidana hukuman-hukuman untuk ke¬jahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu apabila orang itu:
(a) Melakukan kejahatan baik sebagai individu, bersama-sama dengan orang lain atau melalui orang lain, tanpa memperhatikan apakah orang lain itu bertanggung jawab secara pidana atau tidak;
(b) Memerintahkan, menyuruh atau membujuk dilakukannya keja¬hatan yang pada kenyataannya terjadi atau diupayakan;
(c) Untuk tujuan memberi kemudahan dilakukannya kejahatan, ban¬tuan, atau dengan cara lain membantu dalam pelaksanaan tindakan-tindakan yang dicobanya, termasuk memberikan cara¬cara untuk melakukannya;
(d) Dengan cara lain yang memberikan kontribusi terhadap perbuat¬an atau perbuatan percobaan dari kejahatan itu oleh kelompok orang yang bertindak dengan tujuan yang telah jelas. Kontribusi itu akan bersifat disengaja dan akan merupakan salah satu dari :
(i) Dibuat dengan tujuan untuk kegiatan-kegiatan pidana atau tujuan pidana dari kelompok, dimana kegiatan itu atau tujuan-tujuan itu melibatkan perbuatan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu; atau
(e) Berkaitan dengan kejahatan genosida, secara langsung ataupun melibatkan publik lain untuk melakukan genocide;
(f) Mencoba untuk melakukan kejahatan dengan mengambil tindak¬an yang memulai pelaksanaannya dengan cara-cara dari langkah yang substansial, tetapi kejahatan itu tidak terjadi karena keadaan-keadaan yang babas dari maksud-maksud orang. Ba¬gaimanapun juga, seseorang yang meninggalkan upaya untuk melakukan kejahatan atau dengan cara lain mencegah penyele¬saian kejahatan tidak bertanggung jawab atas hukuman sesuai dengan Statuta ini untuk upaya-upaya untuk dilakukan kejahatan itu apabila orang itu secara sukarela dan sepenuhnya menyerah atas tujuan pidana.
4. Tidak ada ketentuan dalam Statuta ini yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana individu yang akan mempengaruhi tanggung jawab Negara sesuai dengan hukum internasional.
Pasal 26
Ketidak-terjangkauan yurisdiksi atas
orang-orang di bawah usia delapan belas tahun
Pengadilan tidak mempunyai yurisdiksi terhadap orang yang masih berada di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan yang dituduhkan.
Pasal 27
Ketidakrelevansian kapasitas resmi
1. Statuta ini berlaku sama bagi semua orang tanpa ada perbe¬daan berdasarkan kapasitas resmi. Pada khususnya, kapasitas resmi sebagai Kepala Negara atau Pemerintahan, anggota Pemerintahan atau parlemen, perwakilan terpilih atau pejabat pemerintah dalam kedudukan apapun adalah orang yang tidak akan dibebaskan dari tanggung jawab pidana sesuai dengan Statuta ini, ataupun atas nama dirinya sendiri, tidak merupakan dasar untuk pengurangan hukuman.
2. Kekebalan atau peraturan-peraturan prosedural khusus yang mungkin melekat pada kapasitas resmi dari seseorang, baik sesuai dengan hu¬kum nasional atau internasional tidak akan menghambat Pengadilan dalam melaksanakan yurisdiksi terhadap orang itu.
Pasal 28
Selain dasar-dasar tanggung jawab pidana lain, sesuai dengan Statuta ini untuk kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan:
(a) Komandan militer atau orang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer harus bertanggung jawab secara pidana untuk kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan di bawah komando dan kontrol efektifnya, atau otoritas dan kontrol efektif sebagaimana yang terjadi, sebagai akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan kontrol yang tepat terhadap kekuatan-kekuataan itu, bilamana :
(i) Bahwa komandan militer atau orang mengetahui atau menyadari keadaan-keadaan pada waktu itu, harus telah mengetahui bahwa kekuatan-kekuatannya melakukan atau hampir melakukan keja¬hatan itu; dan
(ii) Bahwa komandan militer atau orang yang gagal untuk men¬gambil segala tindakan yang diperlukan dan tepat dalam kekua¬saannya untuk mencegah atau menekan perbuatannya atau un¬tuk mengajIikan hal-hal kepada yang berwenang untuk penye¬lidikan atau penuntutan. (b) Berkaitan dengan hubungan atasan dengan bawahan yang tidak di¬jelaskan pada ayat (a) atasan haruslah bertanggung jawab secara pi¬dana untuk kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu yang dilakukan oleh bawahan-bawahan sesuai dengan otoritas-otoritas efektifnya sebagai akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan kontrol secara tepat pada bawahan-bawahannya itu, bilamana :
(i) Atasan mengetahui. atau dengan sadar tidak memperhatikan in¬formasi yang jelas-jelas menunjukan bahwa bawahannya sedang melakukan atau hampir melakukan tindakan itu; (ii) Tindakan-tindakan kejahatan itu berada dalam tanggung jawab dan kontrol efektif dad atasan itu; dan
(iii) Atasan yang gagal untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan dan tepat dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatannya atau mengajukan masalah-masalah kepada yang berwenang untuk penyelidikan atau penuntutan.
Pasal 29
Tidak berlakunya pembatasan
Kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu tidak mengacu pada pembatasan apa pun.
1. Kecuali ditetapkan lain, seseorang akan bertanggung jawab secara pidana dan menanggung hukuman untuk kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu hanya apabila elemen-elemen penting dilakukan dengan maksud yang disengaja dan atas pengetahuannya.
2. Untuk tujuan pasal ini, seseorang bermaksud bilamana :
(a) Sehubungan dengan perilaku, bahwa orang itu berusaha untuk melakukan perilaku itu; (b) Sehubungan dengan akibat, bahwa orang itu dapat menyebab¬kan bahwa akibatnya atau menyadari bahwa hal ini akan terjadi dalam pelaksanaan biasa kejadian-kejadian itu.
3. Untuk tujuan pasal ini “mengetahui” berarti kesadaran bahwa keada¬an terjadi atau konsekuensi akan terjadi pada jalannya peristiwa-¬peristiwa biasa. “Mengetahui” dan “dengan sengaja” diartikan seba¬gaimana mestinya.
Pasal 31
Dasar-dasar untuk tidak menanggung tanggung jawab pidana
1. Selain untuk dasar-dasar lain untuk tidak menanggung tanggung jawab pidana yang ditetapkan pada Statuta ini, seseorang tidak akan bertanggung jawab secara pidana apabila pada saat peri¬laku orang itu:
(a) Orang itu menderita sakit jiwa atau cacat yang menghancurkan kapasitas orang itu untuk menghargai perilaku-perilakunya yang tidak berdasarkan hukum atau alami, atau kapasitas untuk me¬ngontrol perilakunya untuk disesuaikan dengan persyaratan¬persyaratan hukum; (b) Orang itu berada dalam keadaan keracunan yang menghancur¬kan kapasitas orang itu untuk menghargai perilakunya yang tidak berdasarkan hukum atau alami. atau kapasitas untuk mengontrol perilakunya untuk menyesuaikan dengan persyaratan-persyarat¬an hukum, kecuali orang itu telah secara sengaja menjadi kera¬cunan dibawah keadaan yang diketahui orang itu, atau tidak memperhatikan resiko, bahwa sebagai akibat dari keracunan itu, dia akan berusaha untuk melakukan perilaku yang merupakan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan itu;
(c) Orang yang bertindak dengan tepat mempertahankan dirinya atau orang-orangnya atau orang lain atau, dalam hal kejahatan perang, kekayaan yang penting untuk kelangsungan hidup orang¬orang atau orang lain atau kekayaan yang penting untuk menuntaskan misi militer, terhadap penggunaan kekuatan yang besar dan tidak berdasarkan hukum dengan cara yang dapat merugikan derajat bahaya pada orang atau orang lain atau kekayaan yang dilindungi. Fakta bahwa orang itu terlibat dalam operasi penyerangan yang dilakukan oleh angkatan bersenjata tidak akan merupakan dasar untaak tidak termasuk tanggung jawab pidana sesuai dengan sub ayat ini.
tubuh yang berkelanjutan atau yang sangat gawat terhadap seseorang atau orang lain, dan orang itu harus bertindak dengan tepat un¬tuk menghindari ancaman ini, asalkan orang itu tidak bermaksud untuk menyebabkan bahaya yang lebih besar daripada yang akan dihindari. Ancaman-ancaman itu mungkin salah satunya :
(i) Dibuat oleh orang lain; atau
(ii) Dilembagakan oleh keadaan-keadaan lain di luar kontrol orang itu.
2. Pengadilan dapat menentukan pemberlakuan dasar-dasar untuk tidak memasukan tanggung jawab pidana yang diberikan dalam Statuta ini pada kasus-kasus sebelumnya.
3. Pada proses peradilan, Pengadilan dapat mempertimbangkan dasar untuk tidak memasukan tanggung jawab pidana selain daripada tanggung jawab yang disebutkan pada ayat 1 bilamana dasar itu berasal dari yang berlaku sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 21, prosedur-prosedur yang berkaitan dengan pertimbangan dasar itu akan diberikan dalam Aturan-aturan Prosedur serta Pembuktian.
Pasal 32
Kesalahan fakta atau kesalahan hukum
1. Kesalahan fakta akan menjadi dasar untuk tidak dimasukannya tang¬gung jawab pidana hanya apabila hal tersebut meniadakan elemen mental yang diperlukan oleh kejahatan itu. 2. Kejahatan hukum seperti apakah tipe perilaku tertentu merupakan kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan tidak akan menjadi dasar un¬tuk tidak memasukan tanggung jawab pidana. Kejahatan hukum ba¬gaimanapun juga dapat menjadi dasar untuk tidak memasukan tang¬gung jawab pidana apabila hal itu meniadakan elemen-elemen men¬tal yang diperlukan oleh kejahatan itu, atau sebagaimana yang ditetapkan pada Pasal 33.
Pasal 33
Aturan-aturan dan keterangan atau penjelasan hukum yang lebih tinqgi
1. Fakta bahwa kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan telah dilakukan oleh seseorang sesuai dengan aturan dari Pemerintahan atau dari seorang atasan, apakah militer atatipun sipil, tidak akan melepaskan orang itu dari tanggung jawab pidana kecuali :
(a) Orang tersebut di bawah kewajiban hukum untuk mematuhi pe¬rintah Pemerintah atau atasan yang bersangkutan;
HUBUNGAN ICC DENGAN PBB
Berbeda dengan Mahkamah Internasional , ICC secara hukum dan fungsional independen dari PBB. Namun, Statuta Roma memberikan kewenangan tertentu kepada Dewan Keamanan PBB. Pasal 13 memungkinkan Dewan Keamanan untuk merujuk pada situasi ICC yang tidak akan dinyatakan jatuh di bawah yurisdiksi ICC (seperti yang dilakukan sehubungan dengan situasi di Darfur). Pasal 16 memungkinkan Dewan Keamanan untuk meminta ICC untuk menunda dari menyelidiki suatu kasus untuk jangka waktu 12 bulan. Seperti penangguhan yang dapat diperbaharui tanpa batas oleh Dewan Keamanan.
Pengadilan bekerjasama dengan PBB di berbagai bidang, termasuk pertukaran informasi dan dukungan logistik. Laporan tahunan ICC diserahkan kepada PBB setiap tahunnya, dan dalam beberapa rapat Majelis Negara Pihak diadakan di fasilitas PBB. Hubungan antara pengadilan dan PBB diatur oleh "Hubungan Perjanjian antara Mahkamah Pidana Internasional dan PBB".
KEUANGAN
ICC didanai oleh kontribusi dari negara pihak. Jumlah terhutang oleh masing-masing pihak negara ditentukan dengan menggunakan metode yang sama seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kontribusi masing-masing negara didasarkan pada kemampuan negara untuk membayar, yang mencerminkan faktor-faktor seperti pendapatan nasional dan populasi. Jumlah maksimum satu negara dapat membayar setiap tahun dibatasi hingga 22% dari anggaran ICC; Jepang membayar pajak ini di tahun 2008.
ICC menghabiskan € 80,5 juta pada tahun 2007, dan Majelis Negara Pihak telah menyetujui anggaran sebesar € 90.382.100 untuk tahun 2008 dan € 101.229.900 untuk tahun 2009. Pada September 2008, staf ICC terdiri dari 571 orang dari 83 negara.
INVESTIGASI
Pengadilan telah menerima keluhan tentang dugaan kejahatan di sedikitnya 139 negara. Namun hingga Maret 2011, Mahkamah baru membuka investigasi ke enam situasi, semuanya terjadi di Afrika, yaitu di Uganda, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Darfur (Sudan), Republik Kenya dan Libya. Dari keenam, tiga dirujuk ke Mahkamah oleh pihak negara (Uganda, Republik Demokratik Kongo dan Republik Afrika Tengah), dua orang dirujuk oleh Dewan Keamanan PBB (Darfur dan Libya) dan hanya satu dimulai motu proprio oleh Jaksa Penuntut (Kenya).
1. Mengapa Pengadilan Pidana Internasional perlu?
Selama beberapa abad terakhir ini kita telah melihat beberapa dari kekejaman terburuk dalam sejarah kemanusiaan. Dalam banyak kasus, kejahatan ini telah dilakukan dengan impunitas, yang hanya mendorong orang lain untuk mencemoohkan hukum kemanusiaan. Oleh karena itulah, Serikat perwakilan masyarakat internasional dipenuhi untuk bernegosiasi dan menyetujui pembentukan suatu perjanjian berdasarkan Mahkamah Pidana Internasional untuk membantu mengakhiri kekebalan hukum dan pelanggaran berat atas hukum kemanusiaan internasional.
2. Apa saja fitur kunci dari ICC?
Berbasis di Den Haag, Belanda, Mahkamah Pidana Internasional merupakan lembaga internasional pertama yang permanen, dengan yurisdiksi untuk mengadili individu yang bertanggung jawab atas kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional antara lain, yaitu genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Yurisdiksi ICC akan melengkapi pengadilan nasional, yang berarti bahwa Pengadilan hanya akan bertindak ketika negara-negara sendiri tidak mampu atau tidak mau untuk menyelidiki atau menuntut pelaku kejahatan atas hukum kemanusiaan internasional.
ICC juga memiliki perlindungan yang kuat untuk proses peradilan karena, pengamanan prosedural untuk hak dan keadilan gender korban dari pelecehan di bawah hukum internasional.
3. Kapan Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional berlaku?
Statuta ICC mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2002. 60 hari setelah ratifikasi ke-60 negara yang diperlukan untuk menciptakan Pengadilan telah diterima pada tanggal 11 April di sebuah acara khusus di PBB, ketika 10 negara secara bersamaan mendepositkan piagam ratifikasi.
4. Tidak "saling melengkapi" berarti bahwa Mahkamah Pidana Internasional tidak pernah dapat menuntut jika sebuah negara memegang sidang sendiri?
Mahkamah Pidana Internasional akan melengkapi pengadilan nasional sehingga mereka dapat mempertahankan yurisdiksi untuk mencoba mengadili atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Jika kasus sedang dipertimbangkan oleh negara dengan yurisdiksi atas hal itu, maka ICC tidak dapat bertindak kecuali jika negara tidak bersedia atau tidak benar-benar untuk menyelidiki atau menuntut.
Sebuah negara dapat dikatakan untuk menjadi "tidak mau" jika dengan jelas melindungi seseorang dari tanggung jawab atas kejahatan. Sebuah negara mungkin "tidak" ketika sistem hukum negara tersebut telah runtuh.
5. Siapa yang bisa melakukan proses pengadilan?
pengadilan nasional memiliki kesempatan pertama untuk menyelidiki atau menuntut pelaku kejahatan.
6. Dapatkah ICC digunakan untuk mengadili kejahatan yang dilakukan sebelum Traktat Roma mulai berlaku?
ICC tidak akan memiliki yurisdiksi retroaktif dan karenanya tidak akan berlaku untuk kejahatan yang dilakukan sebelum 1 Juli 2002 ketika Statuta Roma diberlakukan.
7. Mengapa pengadilan tidak melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi?
Dalam Statuta Roma, kejahatan agresi termasuk di dalam yurisdiksi Pengadilan. Namun, Negara Pihak harus mengadopsi perjanjian pengaturan definisi agresi dan kondisi di mana Pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya terlebih dahulu.
8. Dapatkah tindakan terorisme menjadi bagian yurisdiksi ICC?
ICC hanya memiliki yurisdiksi atas genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. ICC mungkin dapat menuntut tindakan teroris hanya jika mereka jatuh dalam kategori ini.
9. Apakah perbedaan ICC dengan Pengadilan ad hoc untuk Rwanda dan bekas Yugoslavia? Mahkamah Pidana Internasional (ICC) adalah produk dari suatu perjanjian multilateral, sedangkan Pengadilan untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda diciptakan oleh Dewan Keamanan PBB. Pengadilan ini diciptakan sebagai respon terhadap situasi tertentu dan hanya ada untuk jangka waktu yang terbatas. Sedangkan, ICC adalah sebuah pengadilan pidana internasional yang permanen dan independen.
9. Apakah perbedaan ICC dengan ICJ (Mahkamah Internasional)?
Mahkamah Internasional (ICJ) tidak memiliki yurisdiksi pidana untuk mengadili individu. ICJ adalah pengadilan sipil terutama yang berhubungan dengan sengketa antar negara. ICJ adalah organ peradilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sedangkan ICC adalah independen dari PBB.
10. Bagaimana ICC didanai?
ICC ini didanai oleh kontribusi dari Negara Pihak dan dengan kontribusi sukarela dari pemerintah, organisasi internasional, individu, perusahaan dan entitas lain.
11. Dimana Mahkamah Pidana Internasional berada?
ICC telah mendirikan kantor pusat di Den Haag, Belanda. Pengadilan saat ini terletak di 'busur de'.
Alamat: Maanweg 174, 2516 AB, Den Haag, Belanda
12. Berapa banyak orang yang bekerja untuk ICC?
Pada Januari 2009, 285 perempuan dan 302 laki-laki bekerja untuk ICC, yang berasal dari lebih dari 85 negara.
13. Bagaimana cara melamar pekerjaan di ICC?
Pengadilan Pidana Internasional mencari individu yang kreatif, profesional, dan sangat termotivasi untuk bekerja untuk ICC. Semua prosedur dan panduan aplikasi lamaran diterbitkan pada situs web ICC.
Disarikan dari sumber terpercaya (zain).
Mochtar Kusumaatmaja ahli hukum internasional dari RI
Sumber Hukum Internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi sumber hukum dalam arti materil dan formal. Dalam arti materil, adalah sumber hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana untuk mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber yang paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dipakai Mahkamah internasional dalam memutuskan suatu sengketa internasional.
Macam-macam sumber hukum internasional berdasarkan penggolongannya: A. Berdasarkan penggolongannya sumber hukum internasional dibedakan menjadi dua: 1. Penggolongan menurut pendapat para sarjana hukum internasional Para sarjana hukum internasional menggolongkan sumber hukum internasional yaitu, meliputi:
2. Traktat / perjanjian internasional
internasional) Keputusan-keputusan Mahkamah Internasional dapat berupa keputusan yang bukan atas pelaksanaan hukum memperkuat argument tentang adanya atau kebenaran dari suatu norma hukum. Pendapat para sarjana akan lebih berpengaruh jika dikemukakan oleh perkumpulan professional. primer adalah sumber hukum yang sifatnya paling utama artinya sumber hukum ini dapat berdiri sendiri-sendiri meskipun tanpa keberadaan sumber hukum yang lain. Sedangkan sumber hukum subsider merupakan sumber hukum tambahan yang baru mempunyai daya ikat bagi hakaim dalam memutuskan perkara apabila didukung oleh sumber hukum primer. Hal ini berarti bahwa sumber hukum subsider tidak dapat berdiri sendiri sebagaimana sumber
hukum primer.
Sumber Hukum Primer hukum Internsional
3. Prinsip Hukum Umum (General Principles of Law) yang diakui oleh negara-negara beradab.
Oleh karena sumber hukum internasional nomor 1,2,3 merupakan sumber hukum primer, maka Mahkamah Internasional dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan berdasarkan sumber hukum nomor 1 saja, 2 saja, atau 3 saja. Namun perlu diketahui bahwa pemberian nomor 1, 2, 3 tidak menunjukan herarki dari sumber hukum tersebut. Artinya bahwa ketiga sumber hukum tersebut mempunyai kedudukan yang sama tingginya atau yang satu tidak lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya dari sumber hukum yang lain.
Sumber Hukum Subsider
Bahwa yang termasuk sumber hukum tambahan dalam hukum internasional adalah:
4. Keputusan Pengadilan.
5. Pendapat Para sarjana Hukum Internasional yang terkemuka. Oleh karena sumber hukum internasional nomor 4 dan 5 merupakan sumber hukum subsider maka Mahkamah Internasional tidak dapat memutuskan suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan hanya berdasarkan sumber hukum nomor 4 saja, 5 saja, atau 4 dan 5 saja. Hal ini berarti bahwa kedua sumber hukum tersebut hanya bersifat menambah sumber hukum primer sehingga tidak dapat berdiri sendiri.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia global dalam masyarakat internasional pada zaman sekarang sudah banyak yang melintasi batas-batas wilayah teritorial suatu negara. Dan hal ini sudah tentu memerlukan suatu aturan atau tata tertib hukum yang jelas dan tegas. Yang bertujuan untuk menciptakan suatu kerukunan dalam menjalin kerjasama antar negara yang saling menguntungkan. Dan sumber hukum internasional seperti perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan sebagainya memilki peran penting dalam mengatur masalah-masalah bersama yang dihadapi subyek-subyek hukum internasional. B. Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan Sistem Internasional dan Sistem Peradilan Internasional? C. Tujuan Penelitian Makalah ini kami susun selain untuk memenuhi salah satu tugas mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, juga kami memiliki tujuan agar dapat membantu menambah referensi mengenai Sistem Internasional dan Peradilan Internasional. D. Manfaat Penelitian Untuk mengetahui apa itu Sistem Internasional dan Peradilan Internasional.
atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang diaturnya (obyeknya). E. Pembagian Hukum Internasional Hukum internasional terbagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1) Hukum Perdata Internasional (privat international law) Yaitu keseluuhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang dilakukan oleh subjek hukum, yang masing-masing tunduk pada system hukum perdata yang berbeda satu dengan lainnya.
4 2) Hukum Pidana Internasional (Public international Law) Yaitu keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara yang bukan bersifat perdata. F. Asas-asas Hukum Internasional Dalam menjalin hubungan antar bangsa, ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh setiap Negara : a. Asas Teritorial Didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Intinya, negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayah negaranya. b.Asas Kebangsaan Didasarkan atas kekuasaan negara untuk warga negaranya. Intinya, setiap warga negara dimanapun dia berada tetap mnedapatka perlakuan hukum dari negaranya sendiri meskipun seddang berada di negara asing. c. Asas kepentingan umum Didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan dalam kehidupan masyarakat. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah suatu negara. Menurut Resolusi majelis Umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas, yaitu : 1) Setiap negara tidak melakukan ancaman agresi terhadap keutuhan wilayah dan kemerdekaan negara lain. Dalam asas ini ditekankan bahwa setiap negara tidak memberikan ancaman dengan kekuatan militer dan tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan piagam PBB. 2) Setiap negara harus menyelesaikan masalah internasional dengan cara damai, Dalam asas ini setiap Negara harus mencari solusi damai, menghendalikan diri dari tindakan yang dapat membahayakan perdamaian internasional. 3) Tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain. Asas ini menekankan setiap negara memiliki hak untuk memilih sendiri keputusan politiknya, ekonomi, social dan system budaya tanpa intervensi pihak lain. 4) Negara wajib menjalin kerjasama dengan negara lain berdasar pada piagam PBB, kerjasama itu dimaksudkan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan internasional di bidang Hak asasi manusia, politik, ekonomi, social budaya, tekhnik, perdagangan. 5) Asas persaman hak dan penentuan nasib sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu negara ditentukan oleh rakyat. 6) Asas persamaan kedaulatan dari negara, Setiap negara memiliki persamaan Kedaulatan, secara umum sebagai berikut : a. Memilki persamaan Yudisial (perlakuan Hukum). b. Memilikim hak penuh terhadap kedaulatan c. Setiap negara menghormati kepribadian negara lain.
masyarakat negara-negara atau masyarakat bangsa-bangsa yang anggotanya didasarkan pada kesukarelaaan dan kesadaran, sedangkan kekuasaan tertinggi tetap berada di negara masing-masing. Meski demikian, ada sebagian besar negara anggota masyarakat yang mentaati kaidah- kaidah hukum internasional. Mengenai hal ini ada dua aliran yang memiliki pendapat berbeda. • Aliran naturalis Bersandar pada hak asasi dan hak alamiah. Menurut teori ini, hukum internasional adalah hukum alam sehingga kedudukannya dianggap lebih tinggi dari pada hukum nasional. Pencetus teori ini adalah Grotius (Hugo De Groot) dan kemudian disempurnakan oleh Emmerich Vattel, ahli hukum dan diplomat Swiss. • Aliran positivisme Mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan bersama dari negara-negara ditambah dengan asas pacta sunt servanda yang dianut oleh mazhab Wina dengan pelopornya yaitu Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen pacta sunt servanda merupakan kaidah dasar pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (Viena Convention of The Law of treatis) tahun 1969. b. Dalam Arti Formal Sumber Hukum Internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi sumber hukum dalam arti materil dan formal. Dalam arti materil, adalah sumber hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana untuk mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber yang paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dipakai Mahkamah internasional dalam memutuskan suatu sengketa internasional.
internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union. 3. Palang Merah Internasional Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam
sengketa tersebut diselesaikan dengan keputusan Mahkamah Internasional sendiri. 5. Penafsiran Putusan, dilakukan jika dimainta oleh salah satu atau pihak yang bersengketa. Penapsiran dilakukan dalambentuk perjanjian pihak bersengketa. 6. Perbaikan putusan, adanya permintaan dari pihak yang bersengketa karena adanya fakta baru (novum) yang belum duiketahui oleh Mahkamah Internasional. 2) Mahkamah Pidana Internasional : Bertujuan untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan pelaku kejahatan internasional. Terdiri dari 18 hakim dengan masa jabatan 9 tahun dan ahli dibidang hukum pidana internasional. Yuridiksi atau kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Pidana Internasional adalah memutus perkara terhadap pelaku kejahatan berat oleh warga Negara dari Negara yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah.
11 b) Analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia; c) Posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan. 4) Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing. 2. Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945 a) Pengertian Ratifikasi Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan hukum (perjanjian) internasional. Hal ini menunbuhkan keyakinan pada lembaga-lambaga perwakilan- perwakilan rakyat bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak melakukan hal- hal yang bertentangan dengan kepentingan umum. b) Proses Ratifikasi Ratifikasi merupakan proses pengesahan. Berikut adalah contoh proses ratifikasi hukum (perjanjian internasional) menjadi hukum nasional : - Persetujuan Indonesia-Belanda mengenai penyerahan Irian Barat yang ditandatangani di New York (15 - Januari 1962) disebut Agreement. - Perjanjian Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia dengan Papua Guinea yang ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973 dalam bentuk agreement. - Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia-Singapura 25 Mei 1973 3. Proses ratifikasi menurut UUD 1945 Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerja sama antara eksekutif (Presiden) dan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), harus diperhatikan hal-hal berikut : 1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. 2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang L. Proses Hukum yang Adil atau Layak
UU No.8 Tahun 1981, kehidupan hukum Indonesia telah meniti suatu era baru, yaitu kebangkitan hukum nasional yang mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah mekanisme sistem peradilan pidana. Perlindungan hak-hak tersebut, diharapkan sejak awal sudah dapat diberikan dan ditegakkan. Selain itu diharapkan pula penegakan hukum berdasarkan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggung jawab. Namun semua itu hanya terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem, yaitu mempergunakan segenap unsur yang terlibat didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling interrelasi dan saling mempengaruhi satu sama lain.
13 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Jadi, hubungan internasional merupakan aturan-aturan yang telah di ciptakan bersama negara-negara anggota yang melintasi batas-batas negara. Peradilan Internasional dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah satu organ perlengkapan PBB. Sumber Hukum Internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh Mahkamah Internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum internasional dibedakan menjadi sumber hukum dalam arti materil dan formal. Dalam arti materil, adalah sumber hukum internasional yang membahas dasar berlakunya hukum suatu negara. Sedangkan sumber hukum formal, adalah sumber dari mana untuk mendapatkan atau menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem hukum dan peradilan internasional itu sangat diperlukan oleh suatu negara untuk tetap mempertahankan eksistensi dan kemakmuran suatu negara. B. Saran Seharusnya kita dapat menghargai dan ikut mengerti tentang masalah sengketa internasional dengan cara memenuhi dan mematuhi kewajiban perjanjian internasional, serta mau mempelajari lebih dalam lagi mengenai Sistem Hukum dan Peradilan Internasional.
14 DAFTAR PUSTAKA Astanta, Anas Padri. 2013. Pendidikan Kwearganegaraan SMA Kelas XI Semester 2. Purworejo : MGMP Kewarganegaraan SMA Kabupaten Purworejo. Budiyanto. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan Jilid 2 untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Erlangga http://contoh-makalah-sistem-hukum-dan.html sistem-hukum-dan-peradilan.html htm?biw=1024&bih=497&sei=LOFKUfBVwoesB87IgdAK htm? biw=1024&bih=497&sei=4OFKUbD9L4P4rQfrh4HYCw
15 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ………... …... i DAFTAR ISI ………... ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..
………... 1 B.
Tujuan...2 BAB II
PEMBAHASAN A. Sistem Hukum