• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN (Studi Terhadap RTH Kota Yogyakarta)

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukun Lingkungan

Diampu Oleh:

Prof. Dr. Absori, SH, M. Hum

Disusun oleh :

Nama : ASIKA MAHARGINI N I M :R 100 110 013

PROGRAM MAGISTER HUKUM

(2)

SIGNIFIKANSI RUANG TERBUKA HIJAU DI PERKOTAAN (Studi Terhadap RTH Kota Yogyakarta)

Abstraksi: Berbagai fungsi yang terkait dengan keberadaannya (fungsi ekologis, sosial, ekonomi, dan arsitektural) dan nilai estetika yang dimilikinya (obyek dan lingkungan) tidak hanya dapat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan untuk kelangsungan kehidupan perkotaan tetapi juga dapat menjadi nilai kebanggaan dan identitas kota. Untuk mendapatkan RTH yang fungsional dan estetik dalam suatu sistem perkotaan maka luas minimal, pola dan struktur, serta bentuk dan distribusinya harus menjadi pertimbangan dalam membangun dan mengembangkannya. Karakter ekologis, kondisi dan ke-inginan warga kota, serta arah dan tujuan pembangunan dan perkembangan kota merupakan determinan utama dalam menentukan besaran RTH fungsi-onal ini.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Ruang dan manusia adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ruang akan menjadi lebih menarik dan hidup bila didalamnya terdapat manusia. Begitu juga dengan manusia, tanpa ruang manusia tidak mempunyai wadah untuk tinggal. Manusia akan selalu berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Taman sebagai unsur yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia sejak jaman dahulu akan selalu diselaraskan dengan kondisi dan tingkat kebudayaan yang dimiliki manusia pada jamannya. Kehidupan manusia yang semakin kompleks menuntut taman agar kehadirannya dapat sesuai dengan fungsinya. Kebutuhan taman dirasa semakin penting disebabkan karena beban kesibukan manusia yang semakin meningkat. Manusia membutuhkan tempat “pelarian“ dari aktivitas rutinitas sehari-hari. Dalam Perkembannya kota akan semakin padat dengan aktifitas-aktifitas penduduknya, sehingga membutuhkan ruang terbuka hijau.

(3)

kota.Dalam konteks inilah taman yang berfungsi sebagai paru-paru kota ini sangat bermanfaat dan secara fungsinya taman dapat dimanfaatnkan sebagai tempat pameran tumbuh-tumbuhan dan bunga, sebagai tempat makan dan bersantai karena terdapat pedagang kaki lima yang menjual macam-macam menu makanan.

Sampai saat ini pemanfaatan ruang di perkotaan masih belum sesuai dengan harapan yakni terwujudnya ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kualitas permukiman di perkotaan bisa dilihat dari kemacetan yang semakin parah, berkembangnya kawasan kumuh yang rentan dengan bencana banjir/longsor serta semakin hilangnya ruang terbuka(Openspace) untuk artikulasi dan kesehatan masyarakat. Dan Sebagai wahana interaksi sosial, ruang terbukadiharapkan dapat mempertautkan seluruh anggota masyarakat tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Aktivitas di ruang publik dapat bercerita secara gamblang seberapa pesat dinamika kehidupan sosial suatu masyarakat.1

Ruang terbukamenciptakan karakter masyarakat kota. Tanpa ruang-ruang publik masyarakat yang terbentuk adalah masyarakat maverick yang nonkonformis-individualis-asosial, yang anggota-anggotanya tidak mampu berinteraksi apalagi bekerja sama satu sama lain. Agar efektif sebagai mimbar, ruang publik haruslah netral. Artinya, bisa dicapai (hampir) setiap penghuni kota. Tidak ada satu pun pihak yang berhak mengklaim diri sebagai pemilik dan membatasi akses ke ruang publik sebagai sebuah mimbar politik.

Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, ruang terbuka hijau ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding dan lahan-lahan pertanian seperti di lembah sungai Efrat dan Tigris, dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak, dan taman-taman perumahan.2

Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora, Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang berkuasa saat itu. Berikutnya

(4)

pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance yang glamour dengan plaza, piaza dan square yang luas dan hiasan detail serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan kota Paris menjadi panutan dunia.3

Ruang terbukasecara teoritis adalahRuang yang berfungsi sebagai wadah

(container) untuk kehidupan manusia, baik secara individu maupun berkelompok, serta wadah makhluk lainnya untuk hidup dan berkembang secara berkelanjutan.4 Oleh karena itu ruang terbuka merupakan ruang yang bisa diakses oleh masyarakat baik secara langsung dalam kurun waktu terbatas maupun secara tidak langsung dalam kurun waktu tidak tertentu. Ruangterbukaitu sendiri bisa berbentuk jalan, trotoar, ruang terbuka hijau seperti taman kota, hutan dan sebagainya.

Bila dilihat dari sifatnya ruangterbukabisa dibedakan menjadi ruang terbuka privat (memiliki batas waktu tertentu untuk mengaksesnya dan kepemilikannya bersifat pribadi, contoh halaman rumah tinggal), ruangterbuka semi privat (ruang publik yang kepemilikannya pribadi namun bisa diakses langsung oleh masyarakat, contoh Senayan, Ancol) dan ruang terbuka umum (kepemilikannya oleh pemerintah dan bisa diakses langsung oleh masyarakat tanpa batas waktu tertentu, contoh alun-alun, trotoar).

Pada penelitian ini akan lebis spesifik meneliti tantang Ruang Terbuka Hijau (RTH) serta signifikansinya bagi masyarakat perkotaan. Secara definitif,Ruang Terbuka Hijau(Green Openspaces)adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan atau pengamanan jaringan prasarana, dan atau budidaya pertanian. Selain untuk meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kelestarian air dan tanah, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga berfungsi untuk meningkatkan kualitas lansekap kota.5

Mendagri secara teoritis menegaskan RTH adalah Ruang-ruang di dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk

3Ibid.

4UUPR no.24/1992 Tentang Penataan Ruang

(5)

area memanjang/jalur yang dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan yang berfungsi sebagai kawasan pertamanan kota, hutan kota, rekreasi kota, kegiatan Olah Raga, pemakaman, pertanian, jalur hijau dan kawasan hijau pekarangan.6

RTH yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang terbuka hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Padahal ruang terbuka hijau diperlukan untuk kesehatan, arena bermain, olah raga dan komunikasi publik.7Maka semua pihak harus menampilkan kesadaramn yang utuh apabila menginginkan batasab ideal dari RTH tang seharusnya.

Pada level kebijakan, kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau.Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan.Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya.8 Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.

Pentingnya RTH juga diperkuat dengan UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa setiap Prop/Kab/Kota yang dalam proses penyusunan RTRW diwajibkan untuk memiliki proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada setiap wilayahnya sebesar 30%, atau untuk wilayah kota paling sedikit 20%. Perwujudan RTH pada setiap wilayah ini merupakan perwujudan dan penguatan dari tujuan Penataan Ruang, yaitu “mewujudkan penataan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan”.9Kata berkelanjutan di dalam UU ini berkaitan erat dengan lingkungan, kualitas lingkungan sudah seharusnya dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang. Jika melihat tujuan dari Penataan Ruang, dapat dikatakan perencanaan tidak

semata-6Instruksi mendagri no.14/1988 Tentang Penataan Ruang 7Op. Cit. Danoedjo,S;1990. Hal. 9

8 Danisworo, M, , Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI. 1998. Hal. 32

(6)

mata hanya menuntut suatu wilayah agar produktif, akan tetapi juga memperhatikan keseimbangan lingkungan dan masyarakat di dalamnya.

Pembinaan ruang terbuka hijau harus mengikuti struktur nasional atau daerah dengan standar-standar yang ada.Secara teoritis Grove dan Gresswell mengungkapkan, Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi.10

Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dapat dibagi atas Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible), yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar, sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun, bunga, buah); dan Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat intangible), yaitu pembersih udara yang sangat efektif, pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah, pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).11

Walaupun pada tataran ideal studi mengenai perencanaan kota (yang dipublikasikan dalam bentuk rencana umum tata ruang kota dan pendetailannya) menyebutkan bahwa kebutuhan ruang terbuka di perkotaan berkisar antara 30% hingga 40%, termasuk di dalamnya bagi kebutuhan jalan, ruang-ruang terbuka perkerasan, danau, kanal, dan lain-lain. Ini berarti keberadaan ruang terbuka hijau (yang merupakan sub komponen ruang terbuka) hanya berkisar antara 10 % – 15 %.12

Kenyataan ini sangat dilematis bagi kehidupan kota yang cenderung berkembang sementara kualitas lingkungan mengalami degradasi/kemerosotan yang semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau yang notabene diakui merupakan alternatif terbaik bagi upaya recovery fungsi ekologi kota yang hilang, harusnya menjadi perhatian seluruh pelaku pembangunan yang dapat dilakukan melalui gerakan sadar lingkungan, mulai dari level komunitas pekarangan hingga komunitas pada level kota.13

10Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell, 1983

11Pedoman; Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Permen PU No. 5 Tahun 2008)

12Ibid

(7)

Penelitian ini akan meneliti beberapa kota besar. Namun melihat banyaknya kota besar di Indonesia, maka peneliti akan menjadikan kota Yogyakarta sebagai Objek Penelitian.

Kota Yogyakarta, berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY, yang terletak ditengah-tengah Propinsi DIY terbentang antara 110o 24I19II sampai 110o 28I 53II Bujur Timur dan 7o 15I 24II sampai 7o 49I26II Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut.Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah sebesar 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propins DIY, yang dibagi dalam 14 kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT.14

Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, dan terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu : sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong, bagian tengah adalah Sungai Code,sebelah barat adalah Sungai Winongo.Adapun tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musimkemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam.15

Di Jogyakarta, luas ruang terbuka hijau kota berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Pertamanan dan Kebersihan adalah 51.108 m2 atau hanya sekitar 5,11 Ha (1,6% dari luas kota), yang terdiri dari 62 taman, hutan kota, kebun raya, dan jalur hijau. Bila jumlah luas tersebut dikonversikan dalam angka rata-rata kebutuhan penduduk, maka setiap penduduk Yogyakarta hanya menikmati 0,1 m2 ruang terbuka hijau.16

Dibanging dengan kota-kota besar di atas, Kota Bandung dan Kota Surakarta terhitung lebih baik dalam pembangunab RTH. Di Kota Bandung Kota Bandung masih lebih tinggi. Hingga tahun 1999, tiap penduduk Kota Bandung menikmati + 1,61 m2 ruang

terbuka hijau. Angka ini merupakan kontribusi eksisting ruang terbuka hijau yang mencover

14Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (ILPPD)PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTATahun 2011 15Ibid.

(8)

Kota Bandung dengan porsi + 15% dari total distribusi pemanfaatan lahan Kota.17Dan Kota Surakarta RTH Kota Surakarta dalam bentuk taman seluas 357 (tiga ratus lima puluh tujuh) Ha, RTH Dalam bentuk Taman Pemakaman Umum (TPU) seluas 50 (lima puluh) Ha, RTH dalam bentuk sempadan rel kereta api seluas 73 (tujuh puluh tiga) Ha dengan sebaran di beberapa kecamatan. Selain itu juga terdapat Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Kota Surakarta seluas 7 (tujuh) Ha yang juga tersebar diseluruh kawasan kecamatan.18

2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat ditentukan rumusan masalah agar dapat diurai pokok permasalah sebagai berikut:

a). Apa yang menjai kendala utama sulitnya realisasi RTH di Kota Yogyakarta?; dan b). Bagaimana Solusi yang dapat dilakukan bagi pembangunan RTH yang ideal di

kotaYogyakarta?

B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk:

a). Mengidentifikasi masalah-masalah pokok yang menjadi akibat sulitnya terealisasi RTH yang idealdi Kota Yogyakarta; dan

b). Mencoba menemukan solusi berupa tindakan yang dapat dilakukan bagi terlaksananya RTH yang ideal di Kota Yogyakarta, baik secara praksis maupun dalam bentuk PERDA.

2. Manfaat Penelitian

a). Dapat mengidentifikasi akibat-akibat yang menjadi penyebab sulitnya terealisasi RTH yang idealdi Kota Yogyakarta; dan

b). Dapat memberikan solusi berupa lamgkah-langkah yang dapat ditempuh bagi terlaksananya RTH yang ideal di kota Yogyakarta, baik secara praksis maupun penetapan PERDA.

C. LANDASAN TEORI

Untuk menangkap problematika yang diajukan pada rumusan masalah, penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai pisau analisis. Pertama, Teori Hukum Kritis (Critical

17Op. Cit. Thesis Rustam hakim: 2000.

(9)

Legal Studies) adalah sebuah gerakan yang muncul pada tahun 70-an di Amerika Serikat. Gerakan ini menginginkan sebuah penekatan yang berbeda dalam memahami hukum.19

Gerakan studi hukum kritis menolak pemisahan antara rasionalitas hukum dan perdebatan politik.Tiadak ada perbedaan model logika hukum; hukum adalah politik eengan baju yang berbeda.Pendukung gerakan studi hokum kritis memahami dan menggunakan pemikiran hokum dan teori-teori secara lebih intensif disbanding kaum realis.20

D. METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Coding Kualitative.Coding Kualitative adalah “kodifikasi” data Kualitatif adalah menggunakan indikator untuk menentukan kategori, lalu menentukan kode untuk berbagai kutipan dan deskripsi yang termasuk dalam suatu kategori.21

2. Jenis Penelitian

Pilihan untuk menggunakan penelitian deskriptif dikarenakan bentuk penelitian ini ditujukan untuk mendiskripsikan fenomena-fenomena yang telah dikodifikasi, baik fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia.Fenomena dapat berupa bentuk, aktifitas, karakteristik, perubahan, hubungan, kesamaan dan perbedaan antar fenomena yang ada.22

3. Sumber Dan Jenis Data

a). Menurut Bentuk

Menggunakan data dalam bentuk angka naupun yang bukan yang diperoleh dari Rekaman, pengamatan, wawancara, atau bahan tertulis.

b). Sumber dan Jenis Data

19 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, Depok: Fiulsafat UI Press, 2006. Hal. 14.

20 Ibid. hal 15

21 Diadopsi dari “CARE 1997 M&E Workshop Series”.

(10)

 Data primer, yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian, dengan melihat

kepadatan penduduk dari kota Yogyakarta serta PERDA tentang RTH kota Yogyakarta.

 Data sekunder, melihat ;buku-buku literatur, makalah, jurnal dan media masa

yang berkaitan dengan RTH Kota Yogyakarta.

4. Metode Pengumpulan Data

Metide pengumpulan data alam penelitian ini adalah: a. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah pengumpulan data yang diperoleh dengan membaca, mempelajari, dan menganalisis berbagai data sekunder yang berkaitan dengan obyek penelitian.

b. Wawancara

Yaitu cara untuk memperoleh data dengan jalan mengadakan tanyajawab secara langsung antara penulis dengan pihak yang di pandang mengerti dan memahami objek yang diteliti.

5. Metode Analisis Data

Terhadap data primer, digunakan teknik analisis data tipe strauss dan J. Corbin, yaitu dengan menganalisis data sejak peneliti beraa di lapangan. Oleh karena itu selama penelitian, peneliti menggunakan analisi interaktif dengan membuat fieldnote yang terdiri dari deskripsi dan refleksi data. Selanjutnya peneliti akan melakukan klasifikasi data melalui proses indexing, shorting, grouping, dan filtering.23

E. PEMBAHASAN

1. Kendala Utama Realisasi RTH di Kota Yogyakarta

Secara teori, keadaan panas suatu ruang lansekap yang dirasakan oleh manusia merupakan indikator penting dalam menilai suatu struktur panas yang ada.Guna memperoleh keadaan yang ideal, maka diperlukan keadaan struktur panas yang dirasakan nyaman oleh manusia.Dengan demikian, terdapat suatu korelasi antara komponen-komponen penyusun

(11)

struktur panas dalam suatu keadaan thermoscape tertentu, dan rasa panas oleh manusia.Secara umum dinyatakan bahwa komponen-komponen dengan struktur panas rendah dirasakan lebih nyaman dibandingkan dengan struktur panas yang lebih tinggi.

Sejumlah areal di perkotaan, dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, ruang publik, telah tersingkir akibat pembangunan gedung-gedung yang cenderung berpola “kontainer” (container development) yakni bangunan yang secara sekaligus dapat menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi, seperti Mall, Perkantoran, Hotel, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berpeluang menciptakan kesenjangan antar lapisan masyarakat. Hanya orang-orang kelas menengah ke atas saja yang “percaya diri” untuk datang ke tempat-tempat semacam itu.

Kebijaksanaan pertanahan di perkotaan yang sejalan dengan aspek lingkungan hidup adalah jaminan terhadap kelangsungan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini mempunyai fungsi “hidro-orologis”, nilai estetika dan seyogyanya sekaligus sebagai wahana interaksi sosial bagi penduduk di perkotaan. Taman-taman di kota menjadi wahana bagi kegiatan masyarakat untuk acara keluarga, bersantai, olah raga ringan dan lainnya. Demikian pentingnya ruang terbuka hijau ini, maka hendaknya semua pihak yang terkait harus mempertahankan keberadaannya dari keinginan untuk merobahnya.24

Saat ini Kota Yogyakarta dapat dikatakan sebagai kota yang padat. Kepadatan kota dikarenakan adanya pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini, walaupun diiringi dengan pemekaran luas kota, namun tidak mampu mencegah permasalahan yang muncul akibat dari pertambahan penduduk. Tabel berikut menunjukkan pertambahan penduduk Kota Yogyakarta mulai tahun 1969 sampai dengan tahun 2006.25

Tabel 1. Pertambahan Penduduk

Sumber: BPS Provinsi DIY terdapat di http://www.bps.go.id

24Op.Cit;Danisworo, M:1998

(12)

Keterbatasan lahan dan peningkatan jumlah penduduk setiap tahun menyebabkan kota menjadi padat. Akhirnya, kedua faktor tersebut dapat menimbulkan kekumuhan kota. Aktivitas kota akan mempengaruhi kualitas lingkungan perkotaan. Kota dengan kegiatan industri, perdagangan, dan jasa yang intensif akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Kompetisi penggunaan lahan yang terjadi antara guna lahan dengan fungsi ekonomis, seperti perdagangan dan jasa, industri serta pemukiman, mendesak keberadaan ruang terbuka bervegetasi.

Kurangnya RTH akibat peningkatan jumlah penduduk menyebabkan berkurangnya lahan untuk vegetasi. Lahan bervegetasi diganti dengan permukiman, gedung-gedung, dan industri untuk memenuhi kebutuhan penduduk kota. Penggunaan lahan Kota Yogyakarta pada tahun 2005, dominasi penggunaan lahan adalah lahan bukan sawah yaitu seluas 3.250 Ha (96,25%), sedangkan untuk lahan sawah hanya seluas 123 Ha (3,75%). Kecamatan yang masih mempunyai lahan sawah adalah Kecamatan Mantrijeron sebesar 4 Ha (3,28%), Mergangsan 5 Ha (4,10%), Umbulharjo 61 Ha (50%), Kotagede 26 Ha (21,31%) dan Tegalrejo 26 Ha (21,31%) (Lampiran Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kota Yogyakarta 2005-2025).26

Ruang terbuka hijau yang sempit menyebabkan radiasi panas dari sinar matahari tidak dipantulkan, namun langsung diserap oleh gedung-gedung, dinding, dan atap. Sarana dan prasarana seperti fasilitas gedung, jalan, pertokoan, permukiman, pabrik menyebabkan berkurangnya jumlah ruang vegetasi di kota. Sarana transportasi yang semakin meningkat menyebabkan naiknya kuantitas gas CO2. Sedikit ruang vegetasi yang ada menyebabkan berkurangnya penyerapan CO2, akibatnya terjadi ketidakseimbangan komposisi udara. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan meningkat 10 s.d. 20oC dari suhu udara ambient (Heidt dan Neef 2006).27

Besarnya jumlah penduduk, banyaknya bangunan-bangunan, kendaraan bermotor yang memacetkan jalan, dan kebisingan menyebabkan Kota Yogyakarta terasa semakin sesak dan tidak nyaman. Dalam melakukan kegiatan sehari-hari, suatu hal yang sangat diperhatikan adalah kenyamanan dalam melakukan suatu kegiatan, apalagi jika berhubungan dengan kegiatan kesenangan atau bermain maka faktor kenyamanan

(13)

merupakan prioritas yang sangat penting. Sebagian besar kota di Indonesia saat ini dirasakan tidak nyaman, penuh kebisingan, panas waktu siang hari, polusi udara, banjir jika musim penghujan. Salah satu penyebabnya adalah hilangnya salah satu daya dukung lingkungan.

Peningkatan suhu udara di perkotaan terjadi akibat meluasnya areal terbangun sebagai hasil dari proses urbanisasi yang intensif. Kota akan menyimpan dan melepaskan panas di siang hari dan malam hari. Pada malam hari kota menjadi lebih panas dibanding daerah sekitarnya dan terjadi efek pulau bahang atau urban heat island.

2. Solusi Bagi Pembangunan RTH di Kota Yogyakarta

Dengan menimbang persoalan-persoalan diatas, maka Walikota Yogyakarta membuat KEPUTUSAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 619 / KEP / 2007, Tentang Rencana Aksi Daerah Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun 2007 – 2011. Dalam surat Keputusan ini Walikota menetapkan hal-hal sebagai berikut:28

 Rencana Aksi Daerah (RAD) Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta

Tahun 2007-2011 adalah Dokumen Perencanaan Program Terpadu yang bersifat Lintas sektor dan lintas wilayah serta meliputi aspek social, ekonomi, lingkungan, budaya, kesehatan masyarakat dan penduduk untuk kurun waktu 5 (lima) tahun, terhitung mulai tahun 2007 sampai dengan tahun 2011, sebagaimana terlampir dalam Keputusan ini.

 RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun 2007-2011

dimaksudkan sebagai pedoman dan informasi bagi para pemangku kepentingan dalam membuat komitmen pada program prioritas yang bersifat lintas sektor dan lintas wilayah.

 Penjabaran RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan Kota Yogyakarta Tahun

2007-2011 akan ditindaklanjuti setiap tahunnya dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Yogyakarta dan Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD).

(14)

 Menunjuk Asisten Pembangunan dibantu Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota

Yogyakarta untuk mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan program dan kegiatan pada Rencana Aksi Daerah ini.

Pembangunan dan pengelolaan RTH wilayah perkotaan harus menjadi substansiyang terakomodasi secara hierarkial dalam perundangan dan peraturan serta pedoman di tingkat nasional dan daerah/kota. Untuk tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, permasalahan RTH menjadi bagian organik dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan subwilayah yang diperkuat oleh peraturan daerah.

Dalam pelaksanaannya, pembangunan dan pengelolaan RTH juga mengikut sertakan masyarakat untuk meningkatkan apresiasi dan kepedulian mereka terhadap, terutama, kualitas lingkungan alami perkotaan, yang cenderung menurun.

Beberapa action plan yang dapat dilaksanakan, adalah:29

o Suboptimalisasi RTH, action plan yang disarankan:

a. Penyusunan kebutuhan luas minimal/ideal RTH sesuai tipologi kota; b. Penyusunan indikator dan tolak ukur keberhasilan RTH suatu kota; dan c. Rekomendasi penggunaan jenis-jenis tanaman dan vegetasi endemik serta

jenis-jenis unggulan daerah untuk penciri wilayah dan untuk meningkatkan keaneka ragaman hayati secara nasional.

o Keterbatasan lahan perkotaan untuk peruntukan RTH, action plan yang disarankan:

a. Peningkatan fungsi lahan terbuka kota menjadi RTH; b. Peningkatan luas RTH privat; dan

c. Pilot project RTH fungsional untuk lahan-lahan sempit, lahan-lahan marjinal, dan lahan-lahan yang diabaikan.

Bentuk praksis untuk memaksimalkan lahan-lahan yang ada di kota Yogyakarta, maka sangat penting sekali untuk dilkukan penghijauan yang akan sangan memberikan manfaat bagi masyarakat kota Yogyakarta, seperti mengurangi efek urban heat island. Serta tumbuhan dan air akan mengurangi panas melalui evapotranspirasi yang

(15)

dilakukan. Penambahan luas permukaan untuk vegetasi dapat menurunkan suhu maksium udara.

Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988 mengemukakan bahwa ruang terbuka hijau mempunyai manfaat sebagai berikut:

1) Memberikan kesegaran, kenyamanan, dan keindahan lingkungan; 2) Memberikan lingkungan bersih dan sehat; dan

3) Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, biji, serta buah atau hasil lainnya.

Manfaat dari segi fisik

Manfaat dari segi ini dapat langsung dirasakan. Manfaat yang dapat langsung dirasakan adalah menciptakan iklim mikro di dalam perkotaan. Rumput-rumputan walaupun tergolong tanaman bawah, namun memiliki peranan untuk merubah komposisi CO2 udara sekitar, presipitasi, dan suhu sekitar dalam kisaran kecil.30 Contah lain adalah Kota Guangzhou, Cina. Kota Guangzhou adalah kota yang terletak di Selatan Cina yang mengalami pertumbuhan kota yang pesat sejak tahun 1980an. Pertumbuhan kota ini menyebabkan ruang terbuka dimanfaatkan sebagai sarana pendukung kegiatan penduduk seperti permukiman atau gedung-gedung. Hal ini menciptakan perubahan iklim mikro dalam kota sehingga kota menjadi panas (urban heat islands)31.

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan manusia. Dengan adanya hutan kota, partikel padat yang tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan serapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting.32

Tabel 2. Kemampuan Tanaman Menyerap Debu:33

30 Op.Cit, Muchammad Chusnan Aprianto: Maret 2009. 31 Ibid: Maret 2009.

(16)

Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel dari pada daun yang mempunyai permukaan yang halus. Manfaat dari adanya tajuk hutan kota ini adalah menjadikan udara yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk dari hutan kota.34

Penghijauan atau hutan kota dapat mengurangi efek pulau bahang. Vegetasi mengurangi efek ini melalui penyerapan sumber-sumber pencemar. Penelitian di Toronto tahun 2005 membuktikan bahwa vegetasi dapat mengurangi sumber-sumber pencemar NO2, S02, CO, PM10 and ozon. Rumput di atap dapat menyerap CO 0,14 - 0,35 Mg, menyerap NO2 0,65 - 1,60 Mg, menyerap ozon 1,27 - 3,1 Mg, menyerap PM10 0,88 - 2,17 Mg, menyerap SO2 0,25 - 0,61 Mg. Pohon mampu menyerap CO 0,06 0,57 Mg, NO2 0,62 3,74 Mg, ozon 1,09 7,4 Mg, PM10 1,37 -5,57 Mg, dan SO2 0,23 - 1,37 Mg.35

Ruang terbuka hijau berupa hutan kota mampu mereduksi kebisingan, tergantung dari jenis spesies, tinggi tanaman, kerapatan dan jarak tumbuh, dan faktor iklim yaitu suhu, kecepatan angin, dan kelembaban. Penelitian di hutan kota Sabilal Muhtadin Banjarmasin (luas ± 2,5 ha) menunjukkan bahwa hutan kota mampu menurunkan kebisingan. dengan luas areal penghijauan. Penurunan kebisingan dari titik 1 (di luar areal hutan kota) dengan kebisingan dititik ukur 2 ( di dalam hutan kota) sebesar 7,51 dB atau 12,74 %, penurunan kebisingan titik ukur 1 dan titik ukur 3 adalah sebesar 10,58 dB atau 17,95 %, dan penurunan kebisingan dari titik ukur 2 ke titik ukur 3 sebesar 3,07 dB atau 5,96 %, berarti penurunan rata rata

(17)

kebisingan di luar hutan kota dengan kebisingan di dalam hutan kota sebesar 12,07 %.36

Manfaat dari segi sosial

Keuntungan sosial dari penghijauan dapat dirasakan oleh individual, sebuah organisasi, atau seluruh penduduk. Pemandangan ruang hijau dapat meningkatkan produktivitas kerja, mengurangi kekerasan rumah tangga, dapat mempercepat penyembuhan. Keuntungan ruang hijau juga dirasakan oleh organisasi. Pekerja yang di ruangan sekitanya terdapat pemandangan hijau vegetasi memiliki produktivitas kerja yang lebih tinggi, dan supervisor menyatakan bahwa pekerjanya lebih produktif.

Sebagian besar keuntungan penghijauan/lingkungan hijau terukur pada tingkat individu. Pemandangan vegetasi dan air telah dibuktikan mengurangi stres, meningkatkan penyembuhan, dan mengurangi penderita frustasi dan agresi. Pemandangan ruang hijau di rumah juga terkait dengan rasa kasih sayang yang tinggi dan kepuasan tetangga.

Tinggal dan bermain di tempat hijau/bervegetasi dapat sangat bermanfaat bagi anak-anak. Bermain di tempat hijau dengan pohon dan vegetasi dapat mendukung perkembangan kemampuan dan kognitif anak. Hidup dalam lingkungan bervegetasi dapat memperbaiki prestasi sekolah siswa dan mengurangi laporan kekerasan dalam rumahtangga.37

Kualitas lingkungan fisik permukiman seperti lingkungan bervegetasi atau tanaman, banyaknya penyinaran matahari, dan sedikitnya kebisingan memiliki kaitan erat dengan umur panjang penduduk. Faktor ruang hijau dan jalan bervegetasi dekat permukiman secara signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup 5 tahun penduduk dan ini tidak tergantung pada usia penduduk, jenis

(18)

kelamin, status perkawinan, prilaku terhadap komunitasnya, dan status sosial ekonomi.38

F. KESIMPULAN

Permasalahan yang selalu ada di kota adalah pertambahan penduduk setiap tahun. Pertambahan ini menyebabkan peningkatan sarana penunjang berupa kendaraan bermotor dan gedung/bangunan. Sarana ini menyebabkan masalah pada kondisi fisik kota. Masalah yang muncul adalah terciptanya efek pulau bahang, udara kota yang tidak sehat, kebisingan, dan ketidaknyamanan hidup di kota. Penghijauan mampu mengembalikan iklim mikro kota sehingga menghilangkan efek pulau bahang. Vegetasi juga mampu menyerap debu dan polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor. Manfaat lain adalah vegetasi mampu meredam kebisingan dan meningkatkan kenyamanan hidup di kota.

Rencana Aksi Daerah Peningkatan Kualitas Lingkungan merupakan dokumen aksi yang digunakan untuk melaksanakan pembangunan sarana prasarana berkualitas. Disamping disusun oleh semua pemangku kepentingan, RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan mempunyai landasan yang kuat serta saling mendukung antara RAD dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Yogyakarta. Kunci keberhasilan pelaksanaan RAD Peningkatan Kualitas Lingkungan adalah diperlukannya komitmen bersama yang serius, terpadu, terkoordinasi dan konsisten serta dukungan anggaran dan SDM yang memadai.

Mekanisme penyusunan hingga pelaksanaan RAD Peningkatan KualitaLingkungan dirumuskan menjadi beberapa langkah, yaitu:

a. Penyusunan program prioritas untuk peningkatan kualitas lingkungan, dijabarkan ke dalam rencana aksi yang memuat kegiatan, instansi terkait dan pendanaan.

(19)

b. Penjabaran program peningkatan kualitas lingkungan ke dalam rencankegiatan diturunkan menjadi rencana tahunan tiap-tiap instansi terkait. c. Pengalokasian anggarannya bersumber dari APBD dan APBN serta didukung

lembaga donor nasional maupun internasional maupun swadaya masyarakat. d. Koordinasi instansional di tingkat daerah, antar daerah yang tergabung

dalam aglomerasi perkotaan, serta dengan pusat.

e. Pengawasan, pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh instansi terkaitsesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

(20)

Daftar Pustaka:

 Bulletin Penataanruang. Surakarta: Pemkot Surakarta. 2012

 Danisworo, M, , Makalah Pengelolaan kualitas lingkungan dan lansekap perkotaan di

indonesia dalam menghadapi dinamika abad XXI. 1998.

 Danoedjo,S., Menuju Standar Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Kota Dalam Rangka Melengkapi Standar Nasional Indonesia. Jakarta; Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum. 1990

 Diadopsi dari “CARE 1997 M&E Workshop Series”.

 Instruksi mendagri no.14/1988 Tentang Penataan ruang.

 LG. Saraswati dkk, Hak Asasi Manusia, Teori, Hukum, Kasus, Depok: Fiulsafat UI Press, 2006.

 Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002.

 Newton N,T, 1971. Design On the Land. (The Development Of Landscape Architecture).  Pemerintah Kotamadya DT II Surabaya, Langkah Kebijakan dan Pengalaman Praktis

Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Di Surabaya. Jakarta, 1990.

 Pedoman; Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Permen PU No. 5 Tahun 2008)

 Rustam Hakim, Thesis Analisis Kebijakan Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota DKI Jakarta, Institut Teknologi Bandung, 2000.

 Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell, 1983

 UU Nomor 26 Tahun 2007 Tetang Penataan Ruang

 UUPR no.24/1992 Tentan Penataan Ruang

 Rustam Hakim, Arsitektur Lansekap,Manusia, Alam dan Lingkungan, Jakarta: Bina

Aksara, 2004.

 Soemarwoto, O., Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:Penerbit

Gambar

Tabel 1. Pertambahan Penduduk

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Berdasarkan hasil plot tersebut yang di overlay dengan type curve Ganesh Thakur, maka dapat dilihat bahwa hasil plot berhimpitan dengan type curve nomor 2,

Cara analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan (1) mengumpulkan laporan keuangan Manchester United PLC dari tahun 2009 hingga 2012, (2)

Narasumber lainnya terkait pemberitaan Kemenristek antara lain Kepala Pemberitaan Kemenristek Munawir Razak terkait isu Kerjasama Iptek RI dan Belarusia dan Staf Ahli Menteri

13 Estimasi Regresi Kuantil pada Model Dinamis dengan Menggunakan Pendekatan Kalman Filter untuk Pemodelan Curah Hujan Ekstrim di Indonesia.. Nurjannah, S.Si., M.Phil,

Namun penulis ingin menganalisa dan menghitung perpindahan panas yang terjadi dalam ketel uap pipa air (water tube boiler) dengan data kapasitas uap boiler yang

dekatan aljabar max-plus dalam sistem even diskrit dinamik adalah karena plus dapat menangani dengan mudah proses sinkronisasi (Braker, 1990). Pendekatan dengan aljabar

Penelitian studi kasus ini menggunakan desain penelitian deskriptif bertujuan untuk melakukan penerapan intervensi manajemen halusinasi terhadap tingkat agitasi pada