• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung Jakarta Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Evaluasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung Jakarta Selatan"

Copied!
304
0
0

Teks penuh

(1)

i

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI RW 08 KELURAHAN LENTENG AGUNG

JAKARTA SELATAN

EDWINA DWINANDA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

KELURAHAN LENTENG AGUNG JAKARTA SELATAN

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

(3)

iii

RINGKASAN

EDWINA DWINANDA A44070049. Evaluasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung Jakarta Selatan (Di bawah bimbingan TATI BUDIARTI dan DEWI REZALINI ANWAR)

Akibat konversi atau berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH) menjadi ruang terbangun di perkotaan, kebutuhan terhadap RTH tidak terpenuhi secara baik. Keterbatasan keberadaan RTH tidak dapat menampung jumlah penduduk di perkotaan yang meningkat sehingga berdampak pada keseimbangan ekosistem kota dengan indikasi penurunan kualitas lingkungan perkotaan: banjir pada musim hujan, fenomena pulau panas (heat island) kota pada musim kemarau, dan meningkatnya pencemaran udara. Jakarta merupakan salah satu kota yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dengan kawasan pemukiman yang padat. Kelurahan Lenteng Agung merupakan bagian dari Kecamatan Jakagarsa, yang memiliki potensi RTH tebesar di Jakarta Selatan, pada lokasi ini telah diamati kondisi RTH di salah satu kawasan yaitu RW 08. Penelitian ini mencakup pengamatan terhadap jenis RTH dan luasannya untuk mengetahui perananan RTH di kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipe dan karekteristik, pemanfaatan, kualitas dan kuantitas RTH, serta membuat model pengendalian dalam rangka mempertahankan keberadaan RTH di perkotaan.

Penelitian ini berlokasi di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung Jakarta Selatan selama 10 bulan dengan melalui tahapan persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, serta perumusan rekomendasi. Data dikumpulkan dengan teknik secara langsung (wawancara, foto, pengamatan atau observasi) dan tidak langsung (instansi-instansi terkait). Analisis terbagi menjadi analisis tipologi, kualitas, dan kuantitas RTH, kemudian dilanjutkan dengan analisis SWOT untuk merumuskan rekomendasi secara deskriptif. Sedangkan rekomendasi spasial dilakukan dengan menetapkan area-area perizinan pembangunan berdasarkan tingkat kepentingan dan kebutuhan RTH oleh masyarakat.

RW 08 Kelurahan Lenteng Agung memiliki luas 40 Ha dan dibatasi oleh permukiman, Sungai Ciliwung, serta jalur kereta api. Hal ini menjadikan beragamnya variasi jenis RTH, yaitu pekarangan, jalur hijau jalan, RTH pada fasilitas umum dan fasilitas sosial, RTH bantaran sungai, bantaran rel kereta, dan pemakaman.

(4)

openspace is above 50% from its whole area. One of commune from this village that has been choosen as a sample to be observated is RW 08. It has 40 hectares area and consist of variety type of urban green openspaces. The study has been ongoing for 10 months, from March 2011 to January 2012. The identification has been done to the typologies and the capability of each green openspace, including green openspace structure and its elements, to be used by people. Green openspace have an important role to fulfill region needs according to area precentage and are per capita values. This study also reveals how land covered by vegetations can affect the amenity for outdoor activities. In the end of study, there had been obtained a result, which is the existing condition of green openspaces, in order to formulate the proper recommendations. There are descriptive recommendation;it consists of strategies to maintain and optimalize the utilization of existing green openspaces; and spatial recommendation; it purposes dividing area of land used as green openspaces.

(5)

iv

hasil bahwa nilai THI area yang tidak ternaungi oleh vegetasi memiliki selisih nilai lebih rendah 2 angka dibandingkan dengan yang ternaungi. Meskipun secara rata-rata THI pada seluruh RTH masih di atas batas nyaman, yaitu sebesar 28,9, keberadaan vegetasi yang memberikan naungan pada RTH terbukti dapat meningkatkan kenyamanan dengan memperbaiki nilai THI.

Analisis kebutuhan RTH publik dilakukan melaui perhitungan berdasarkan 1) persen luas area dan 2) luasan per kapita. Luas RTH publik yang ada saat ini di lokasi penelitian adalah sebesar 11,16%. Hal ini belum memenuhi kebutuhan RTH yang ditetapkan oleh UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sedangkan berdasarkan perhitungan terhadap luasan per kapita, diperoleh hasil bahwa luas RTH saat ini juga belum memenuhi kebutuhan penduduk baik di tingkat RT maupun di tingkat RW. Dari total kebutuhan sebesar 8.100 m2, saat ini hanya tersedia 1.800 m2 atau 22% dari kebutuhan per kapita.

Penyusunan rekomendasi secara deskriptif dilakukan dengan menyimpulkan kondisi RTH saat ini dan mengklasifikasikan menjadi faktor internal dan eksternal melalui SWOT sehingga menghasilkan tujuh strategi dengan tujuan mengendalikan keberadaan RTH yang ada agar tidak semakin mengalami konversi menjadi lahan terbangun. Rekomendasi secara spasial dibuat untuk menentukan area-area yang tidak diperbolehkan dilakukan pembangunan dengan pertimbangan pada dasarnya semua tempat dapat dibangun dengan kemajuan teknologi. Rekomendasi ini berdasarkan ketentuan penggunaan lahan untuk RTH sesuai dengan kebutuhan dan peran masing-masing tipenya sehingga secara umum area di dalam kawasan ini akan dibagi menjadi area tanpa pembangunan, area semi-bangunan, dan area bangunan, di mana masing-masing area memiliki porsi RTH yang berbeda-beda.

Konversi lahan di kawasan perkotaan yang semakin mengurangi luasan RTH merupakan masalah penting yang menyangkut kepentingan bersama. Oleh karena itu diperlukan usaha dan kerjasama antar berbagai pihak untuk mengendalikan laju pembangunan serta menjaga kondisi RTH yang ada. Penegakan hukum dan kesadaran masyarakat merupakan kunci utama yang harusdiperhatikan dengan harapan dapat tercipta kondisi perkotaan yang lebih baik serta terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap RTH sebagaimana mestinya.

(6)

@ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip dan memperbanyak karya tulis ini tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa

(7)

vi

EVALUASI PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU

DI RW 08 KELURAHAN LENTENG AGUNG

JAKARTA SELATAN

EDWINA DWINANDA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(8)

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui, Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Tati Budiarti, MS NIP : 19610720 198403 2 002

Dosen Pembimbing II

Dewi Rezalini Anwar, SP, M.A.Des NIP : 19800318 200812 2 001

Diketahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA NIP 19480912 197412 2 001

(9)

viii

RIWAYAT HIDUP

Edwina Dwinanda dilahirkan di Jakarta pada tanggal 31 Januari 1990. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri pasangan Bapak Ardhian Rizal dan Ibu Erna Mardiana. Penulis memulai pendidikan formal di SD Hj. Isriati Baiturrahman Semarang hingga tahun 2001, kemudian menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri 3 Pontianak tahun 2004. Pada tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 5 Semarang. Kemudian melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi di Institut Pertanian Bogor pada Departemen Arsitektur Lanskap melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI).

Pada tingkat perguruan tinggi, penulis bergabung dalam divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia pada Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap 2009-2010, menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Teori Desain Lanskap dan Tanaman dalam Lanskap, anggota tim basket Unit Kegiatan Mahasiswa mewakili IPB dalam Liga Basket Mahasiswa Divisi 1 Jawa Barat Tahun 2008 dan 2009, kapten tim basket putri Arsitektur Lanskap 2009 hingga 2011, menjuarai turnamen basket putri pada kompetisi olehraga antar departemen di Fakultas Pertanian tahun 2008 hingga 2011, anggota dalam ECOFUN community, serta anggota tim LANDSCOPOLY di bawah bimbingan IdeA Landscape Consultant.

(10)

salah satu syarat kelulusan pada Departemen Arsitektur Lanskap Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas oleh keterkaitan banyak pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan ungkapan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Tati Budiarti, MS. dan Dewi Rezalini Anwar, SP, MA.Des atas bimbingan dan waktu luang yang diberikan pada Penulis. Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr selaku penguji.

2. Anggota keluarga di rumah yang tak henti-hentinya memberi semangat dan doa yang luar biasa.

3. Dosen-dosen Departemen Arsitektur Lanskap atas ilmu-ilmu berharga yang tidak mungkin dilupakan maupun tergantikan oleh apapun. Seluruh staff departemen yang secara langsung maupun tidak langsung membantu kelancaran selama perkuliahan.

4. Saudara-saudara angkatan 44, atas bantuannya. Penulis bagaikan menemukan potongan-potongan jiwa yang selama ini tidak lengkap. Kelelahan serta candaan bersama selama perkuliahan membuat setiap individu merasa muda sekaligus dewasa serta berani menjadi diri masing-masing. Sebuah kebahagiaan tak terhingga dalam hidup ini mengenal dan memiliki teman-teman hebat.

5. Kakak-kakak dan adik-adik kelas di Arsitektur Lanskap atas dukungan dan semangatnya sehingga penulis selalu merasa memiliki keluarga baru sekaligus rumah hangat yang unik dan mengesankan.

(11)

x

7. Bapak Sarmili, Pak Sugiman, Pak Anwar, Ibu Made, Mbak Asih, serta pihak RW 08 Kelurahan Lenteng Agung lainnya yang senantiasa memberikan bantuan.

Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan yang telah dilakukan selama maupun setelah penulisan skripsi ini. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

(12)

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 2

1.3. Manfaat ... 2

1.4. Kerangka Pikir ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kota dan Permukiman... 4

2.2 Ruang Terbuka Hijau ... 6

2.2.1 Tipologi ... 7

2.2.2 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan ... 13

2.2.3 Manfaat ... 14

2.2.4 Syarat Vegetasi di Perkotaan ... 15

METODOLOGI ... 19

3.1 Lokasi dan waktu ... 19

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3 Batasan studi ... 20

3.4 Metode ... 20

3.4.1 Tahap Persiapan ... 21

3.4.2 Tahap Pengumpulan Data ... 21

3.4.3 Tahap Analisis ... 23

3.4.4 Tahap Evaluasi ... 23

3.4.5 Tahap Perumusan Rekomendasi ... 25

KONDISI UMUM ... 30

4.1. DKI Jakarta ... 30

4.2. Kelurahan Lenteng Agung ... 31

4.3. RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 32

(13)

xii

4.3.2. Kondisi Sosial ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1. Tipologi Ruang Terbuka Hijau ... 37

5.2. Klasifikasi RTH berdasarkan kepemilikan, fungsi, dan bentuk ... 39

5.2.1. Pekarangan ... 39

5.2.2. Jalur Hijau Jalan ... 54

5.2.3. RTH pada Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial ... 72

5.2.4. Bantaran Sungai ... 87

5.2.5. Bantaran Rel Kereta ... 91

5.2.6. Pemakaman ... 98

5.3. Kualitas Ruang Terbuka Hijau... 102

5.3.1. Penutupan Lahan oleh Vegetasi ... 102

5.3.2. Pengaruh Vegetasi terhadap Ameliorasi Iklim Mikro ... 105

5.4. Kuantitas Ruang Terbuka Hijau... 108

5.4.1. Berdasarkan persen luas ... 108

5.4.2. Berdasarkan luasan per kapita ... 110

5.5. Rekomendasi Pengendalian Ruang Terbuka Hijau... 111

5.5.1. Identifikasi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman ... 111

5.5.2. Penilaian Faktor Internal dan Eksternal ... 115

5.5.3. Matriks SWOT ... 118

5.5.4. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi ... 120

5.6. Rekomendasi Penggunaan Lahan ... 121

(14)

3 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 14

4 Rekapitulasi Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Aspek, Jenis, Bentuk, dan Sumber Data ... 22

5 Metode Pengumpulan Data berdasarkan Jenis RTH ... 23

6 Proses Evaluasi RTH ... 24

7 Formulir tingkat kepentingan fakor internal ... 27

8 Formulir tingkat kepentingan fakor eksternal... 27

9 Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal ... 28

10 Matriks SWOT... 28

11 Acuan Standar RTH ... 29

12 Penggunaan Lahan di Kecamatan-Kecamatan DKI Jakarta ... 31

13 Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian ... 35

14 Data Penduduk Menurut Agama ... 35

15 Tipologi Ruang Terbuka Hijau ... 37

16 Syarat Penanaman Vegetasi pada Pekarangan ... 40

17 Syarat Penanaman pada Sampel Pekarangan Sempit ... 42

18 Syarat Penanaman pada Sampel Pekarangan Sedang ... 44

19 Syarat Penanaman pada Sampel Pekarangan Luas ... 46

20 Elemen Hardscape pada Tepi Jalan ... 61

21 Elemen Softscape pada Tepi Jalan ... 61

22 Elemen Hardscape pada RTH Pulau Jalan ... 69

23 Elemen Softscape pada Tepi Jalan ... 69

24 Elemen Softscape pada RTH taman lingkungan ... 74

25 Luasan Ruang dalam Lingkungan Sekolah ... 77

26 Luasan Ruang dalam Lingkungan Sekolah ... 79

27 Elemen Softscape pada RTH Sekolah ... 80

(15)

xiv

29 Nilai Potensial Ekosistem Bantaran Sungai ... 88

30 Daya Tarik Jalur Hijau Sungai ... 89

31 Elemen Softscape pada RTH Bantaran Sungai ... 90

32 Elemen Softscape pada RTH Bantaran Rel Kereta... 96

33 Pemanfaatan RTH Bantaran Rel Kereta Api ... 96

34 Perbandingan Kondisi Eksisting Pemakaman dengan Standar ... 101

35 Elemen Softscape pada RTH Pemakaman ... 102

36 Kualitas RTH berdasarkan Tingkat Penutupan oleh Vegetasi ... 103

37 Daftar Suhu, Kelembaban, dan THI ... 104

38 Luas Ruang Terbangun dan Ruang Terbuka Hijau ... 108

39 Kebutuhan RTH di Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 110

40 Tingkat Kepentingan Faktor Internal RTH pada RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 115

41 Tingkat kepentingan faktor eksternal RTH pada RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 116

42 Penilaian bobot faktor strategis internal RTH kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 116

43 Penilaian bobot faktor strategis eksternal RTH kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 117

44 Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) RTH kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 117

45 Matriks External Factor Evaluation (EFE) RTH kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 117

46 Matriks SWOT RTH RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 119

47 Perangkingan alternatif strategi RTH RW 08 Kelurahan Lenteng Agung ... 120

48 Rekomendasi Penggunaan Lahan ... 124

(16)

4 RW08 Kelurahan Lenteng Agung ... 19

5 Alur Penelitian ... 20

6 Batas Wilayah Lokasi Penelitian ... 32

7 Pola dan Jalur Sirkulasi Lokasi Penelitian... 33

8 Kondisi Penutupan Lahan ... 38

9 Presentase Pekarangan berdasarkan Ukuran ... 40

10 Penataan Pekarangan Ukuran Sempit ... 41

11 Penataan Pekarangan Ukuran Sedang ... 43

12 Penataan Pekarangan Ukuran Luas ... 45

13 Contoh Ukuran Pekarangan a) Sempit, b) Sedang, dan c) Luas ... 46

14 Grafik Presentase Kepemilikan Hardscape di Pekarangan ... 48

15 Presentase Preferensi Hardscape di Pekarangan ... 49

16 Penggunaan Elemen Hardscape di Pekarangan ... 53

17 Grafik Presentase Kepemilikan Softscape di Pekarangan ... 53

18 Presentase Keberadaan Softscape di Pekarangan ... 53

19 Lokasi Jalur Hijau Jalan... 54

20 Lokasi RTH Tepi Jalan Ruas Pertama ... 56

21 Ilustrasi Pola Tepi Jalan pada Ruas Pertama ... 56

22 Kondisi Saluran Drainase di Ruas Jalan Pertama ... 57

23 Kondisi Jalur Pedestrian pada Ruas Jalan Pertama ... 58

24 Lokasi RTH Tepi Jalan Ruas Kedua ... 59

25 Ilustrasi Pola Tepi Jalan pada Ruas Kedua ... 59

26 Kondisi Tepi Jalan Ruas Kedua ... 60

27 Tampak Potongan RTH Tepi Jalan Ruas Pertama ... 62

28 Tampak Potongan RTH Jalan Ruas Kedua ... 63

(17)

xvi

30 Kondisi Separator Jalan ... 65

31 Tampak Potongan RTH Separator Jalan... 66

32 Lokasi RTH Pulau Jalan ... 67

33 Kondisi Pulau Jalan Pertama ... 68

34 Kondisi Pulau Jalan Kedua ... 69

35 RTH Pulau Jalan Pertama ... 70

36 RTH Pulau jalan Kedua ... 71

37 Lokasi RTH pada Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial ... 72

38 Kondisi RTH Taman Lingkungan ... 73

39 RTH Taman Lingkungan 1 ... 75

40 RTH Taman Lingkungan 2 ... 76

41 Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Halaman Sekolah... 78

42 Planter Box dan Tanaman dalam Pot di Sekolah ... 79

43 Fungsi Ruang Terbuka Hijau pada Sekolah ... 81

44 RTH Halaman Sekolah ... 82

45 Kondisi RTH Halaman Masjid ... 83

46 Kondisi RTH Halaman Puskesmas ... 84

47 RTH Halaman Masjid ... 85

53 Kondisi Bantaran Rel dengan Pagar dan Vegetasi ... 94

54 Penggunaan Ruang Bantaran Rel ... 94

55 Tampak Potongan RTH Bantaran Rel Kereta ... 97

56 Lokasi RTH Pemakaman ... 98

57 Kondisi Sekitar RTH Pemakaman ... 99

58 Kondisi RTH Pemakaman ... 99

59 Perbandingan Kondisi Visual oleh Tutupan Vegetasi ... 100

60 Penyalahgunaan Pemanfaatan Pemakaman oleh Warga ... 101

(18)

68 Penyediaan RTH Taman RT ... 126

69 Ilustrasi Penyediaan RTH Taman RW ... 126

70 Ilustrasi Penyediaan RTH pada Bantaran Sungai ... 127

71 Peta Rekomendasi Penggunaan Lahan ... 128

(19)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Simonds (2006) menjelaskan bahwa kawasan perkotaan merupakan suatu bentuk lanskap buatan manusia yang terjadi akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya. Kehidupan sosial pada suatu kawasan akan mempengaruhi lanskap yang ada, begitu pula sebaliknya. Karakter yang tercipta dapat memberikan ciri khas tertentu untuk menjadi nilai tambah bagi suatu lanskap. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.

(20)

bagian dari Kecamatan Jakagarsa, yang memiliki potensi RTH besar di Jakarta Selatan. Pada lokasi ini akan diamati kondisi RTH di salah satu kawasan yaitu RW 08. Lokasi ini memiliki jenis RTH perkotaan yang beragam serta terdapat kelompok masyarakat peduli lingkungan yang aktif. Penelitian ini mencakup pengamatan terhadap jenis RTH dan luasannya untuk mengetahui perananan RTH di kawasan perkotaan dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengidentifikasi tipe-tipe ruang terbuka hijau dan karakteristiknya di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung,

2. mendapatkan informasi pemanfaatan beberapa jenis ruang terbuka hijau di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung,

3. menganalisis kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau publik di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung,

4. membuat model pengendalian ruang terbuka hijau untuk mempertahankan keberadaannya di perkotaan.

1.3. Manfaat

(21)

3

1.4. Kerangka Pikir

Kerangka pikir penelitian secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 1

sebagai berikut:

evaluasi analisis

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian Pengendalian Ruang Terbuka Hijau di

Perkotaan Tipologi RTH

Bentuk

Fisik Kepemilikan Fungsi

(22)

komponen, mulai dari komponen yang terlihat nyata secara fisik seperti perumahan dan prasaran umum, hingga komponen yang secara fisik tidak dapat terlihat, yaitu berupa kekuatan politik dan hukum yang mengarahkan kegiatan kota. Di samping itu, berbagai interaksi antar unsur yang bermacam-macam memiliki tingkat kepentingan yang sama dengan unsur itu sendiri. Pada satu unsur-unsur dan keterkaitan antar unsur dipandang secara bersama-sama, maka kota-kota yang cukup besar akan terlihat sebagai organisme yang paling rumit yang merupakan hasil karya manusia (Branch, 1995).

Sujarto (1991) membagi wilayah kota menjadi tiga jenis, yaitu: (a) wilayah pengembangan di mana kawasan terbangun bisa dikembangkan secara optimal, (b) wilayah kendala di mana pengembangan kawasan terbangun dapat dilakukan secara terbatas dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, dan (c) wilayah limit di mana peruntukannya hanya untuk menjaga kualitas alam, sedangkan keberadaan kawasan terbangun tidak dapat ditolerir. Keberadaan RTH menempati bagian-bagian tertentu dalam komponen penyusun tata ruang pada wilayah pengembangan, pada sebagian wilayah kendala yang berfungsi menjaga kelestarian alam, dan wilayah limit yang memang hanya diperuntukkan bagi kelestarian alam.

(23)

5

menurunnya kualitas lingkungan akibat kurang diperhitungkannya kemampuan lingkungan perkotaan dalam mendukung berbagai kegiatan dan sarana yang dibangun (Nurisjah, Roslita, dan Pramukanto, 1998).

Penurunan kualitas lingkungan kota yang signifikan, adalah masalah perubahan cuaca dan musim yaitu dalam hal peningkatan suhu, pencemaran udara, perubahan musim, menurunnya permukaan air tanah, banjir, intrusi air laut, serta meningkatnya kandungan logam berat dalam tanah. Masalah ini disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, pembangunan dan perkembangan kota, pertumbuhan industri, kepadatan lalu lintas, deforestasi, dan sebagainya. Kecepatan perkembangan kota sangat ditentukan oleh faktor-faktor percepatannya, yaitu jumlah penduduk dan aktivitas sosial ekonomi yang keduanya mempunyai sifat berkembang (Sujarto, 1991). Perubahan kedua faktor akan menyebabkan perkembangan aspek lainnya yang sebagian besar membutuhkan ruang sehingga menimbulkan persaingan untuk mendapatkan ruang yang suplainya dari waktu ke waktu relatif tetap. Tabel di bawah ini menunjukkan klasifikasi kepadatan penduduk dan hubungannya dengan kebutuhan lahan yang mengindikasikan tingkat reduksi lahan di kawasan perkotaan

Tabel 1 Faktor Reduksi Kebutuhan Lahan untuk Sarana Lingkungan Berdasarkan Kepadatan Penduduk

Klasifikasi Kawasan

Kepadatan

Rendah Sedang Tinggi Sangat Padat

Kepadatan

penduduk < 150 jiwa/ha 151-200 jiwa/ha 201-400 jiwa/ha >400 jiwa/ha Reduksi terhadap

kebutuhan lahan - - 15% (maksimal) 30% (maksimal)

Sumber: Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, 2004.

Luas wilayah tertentu memiliki kemampuan menampung penduduk dengan kapasitas berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Berikut ini merupakan data dasar lingkungan perumahan menurut Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan (2004):

- 1 RT : terdiri dari 150 – 250 jiwa penduduk

- 1 RW : (2.500 jiwa penduduk) terdiri dari 8 – 10 RT

(24)

perkotaan. Untuk meminimalkan permasalahan-permasalahan tersebut, terutama yang berkaitan dengan kualitas lingkungan dan kualitas hidup warga kota, perlu dilakukan perencanaan dan penataan lahan yang sesuai dengan daya dukung dan kebutuhannya. Salah satunya adalah perencanaan RTH yang sesuai dengan kebutuhan kota terkait.

2.2 Ruang Terbuka Hijau

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah maupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya. Tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan, antara lain:

1. Meningkatnya mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan.

(25)

7

2.2.1 Tipologi

Ruang terbuka hijau dapat diklasifikasikan berdasarkan tipologinya, yaitu fisik, fungsi, struktur, dan kepemilikan seperti yang ditampilkan pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2 Tipologi RTH

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, 2008.

(26)

No. Jenis RTH Publik RTH Privat 1 RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal V

b. Halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha

4 RTH Fungsi Tertentu

a. RTH sempadan rel kereta V

b. Jalur hijau jaringan listrik tekanan tinggi V

c. RTH sempadan sungai V

d. RTH sempadan pantai V

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air V

f. Pemakaman V

Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan

1. Pekarangan

(27)

9

lahan yang merupakan sistem integrasi dari berbagai elemen lunak, keras, dan manusia dalam lingkungan tersebut.

Berdasarkan fungsinya, pekarangan dapat diklasifikasikan menjadi 4, yaitu: i. Produksi

Berbagai tanaman di pekarangan, terutama tanaman nursery, buah-buahan, industri, sayuran, rempah-rempah, dan ternak dapat dipanen. Selain itu memberikan kontribusi bagi tambahan diet protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral dapat pula memberikan pendapatan (Arifin, 2009).

ii. Sosial Budaya

Menurut Abdoellah (1991), dalam usaha memenuhi berbagai kebutuhannya, pemilik terkadang memilih elemen penyusun pekarangan yang disesuaikan dengan kebutuhan bersosial ataupun kebutuhan lainnya dan berhubungan dengan kebiasaan setempat.

iii. Estetika

Pekarangan dengan pemilihan tanamannya merupakan wujud dari kreativitas, imajinasi, kewirausahaan, dan rasa estetik pemiliknya. Penanaman pekarangan dengan tanaman ornamental akan menciptakan nuansa tersendiri bagi rumah yang berada di dalamnya.

iv. Ekologi.

Fungsi ini terbagi menjadi 2, yaitu:

a. Konservasi, jenis tumbuhan yang beragam pada pekarangan menghasilkan keanekaragaman yang tinggi dan bermacam ketinggian tanaman. Selain berguna untuk pengoptimalan penggunaan sinar matahari, strata juga berfungsi untuk menahan air hujan yang berenergi kinetik tinggi agar tidak langsung mengenai tanah dan mengikis lapisan humusnya. Air akan terlebih dahulu mengenai daun tumbuhan tertinggi, kemudian jatuh ke daun yang berada di bawahnya, sehingga energi kinetik air hujan berkurang. Banyaknya tumbuhan pada pekarangan menyebabkan air yang diserap oleh akar tidak langsung menghilang sebagai aliran permukaan.

(28)

adalah fasilitas bangunan yang dapat menampung kepentingan dan kebutuhan aktivitas masyarakat umum secara luas, meliputi:

a. fasilitas kesehatan: rumah sakit, puskesmas, apotek b. fasilitas peribadatan: masjid, gereja, vihara, klenteng c. fasilitas kebudayaan: museum, perpustakaan

d. fasilitas informasi dan telekomunikasi: Telkom e. fasilitas keuangan: perbankan, money changer

f. fasilitas transportasi: penjualan tiket angkutan umum

3. Jalur hijau

Lanskap jalan adalah wajah dari karekter lahan atau tapak yang terbentuk pada lingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen lanskap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lanskap buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi lahannya. Lanskap jalan haruslah mempunyai ciri khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan khas karena harus disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan terutama bagi bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk menciptakan lingkungan jalan yang indah, nyaman, dan memenuhi fungsi kaeamanan. Jalur hijau tanaman adalah jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya yang terletak di dalam Daerah Milik Jalan (Damija) maupun di dalam Daerah Pengawas Jalan (Dawasja). Sering disebut jalur hijau karena didominasi elemen lanskapnya adalah tanaman yang pada umumnya berwarna hijau (Dinas Pekerjaan Umum, 1996)

(29)

11

tersebut. Median jalan adalah ruang terbuka hijau berupa jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua kalur atau lebih. Sedangkan pulau jalan adalah ruang terbuka hijau yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga atau bundaran jalan.

Tanaman merupakan soft materials dalam lanskap dan peletakannya sebagai pelengkap jalan, tanaman berfungsi untuk membedakan area melalui kualitas lanskap yang unik, melapisi jalur lalu lintas dan memperkuat jajaran path

dan jalan raya, memberikan penekanan pada nodes jalur lalu lintas, memberikan peneduhan dan daya tarik, screen atau menutupi pemandangan yang jelek, menghilangkan kesilauan serta mengurangi kebisingan suara. Pada persimpangan jalan harus bersih, tidak boleh ditempatkan tanaman yang dapat menutupi pandangan pemakai jalan untuk alasan keselamatan (Simonds, 2006).

4. Bantaran sungai

Sempadan sungai/bantaran sungai adalah lahan pada kanan dan kiri badan sungai yang ditumbuhi oleh vegetasi alami spesifik (riparian) dan dipengaruhi oleh batuan dasar sebagai bagian dari struktur sungai. Sempadan sungai sering disebut dengan bantaran sungai walau terdapat perbedaan. Bantaran sungai adalah daerah pinggir sungai yang tergenangi air saat banjir, sedangkan sempadan sungai adalah daerah bataran banjir ditambah lebar longsoran tebing sungai (land sliding) yang mungkin terjadi, ditambah lebar bantaran ekologis dan lebar keamanan yang diperlukan kaitannya dengan letak sungai (misal areal permkiman-nonpermukiman). Sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan hidraulis sungai yang penting (Maryono, 2005). Bantaran sungai merupakan bagian dari sungai, merupakan lahan pada kanan dan kiri sungai, terletak mulai batas datar tebing sungai menjauh dari badan sungai ke arah daratan. Peranan fungsinya cukup efektif sebagai penyaring (filter) nutrien, menghambat aliran permukaan dan pengendali besaran laju erosi. Bantaran sungai merupakan habitat tetumbuhan yang spesifik (vegetasi riparian), yaitu tetumbuhan yang komunitasnya tertentu mampu mengendalikan air pada saat musim penghujan dan kemarau.

(30)

perkotaan, penyediaan ruang terbuka hijau pada bentaran rel kereta api memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan kereta api. RTH Jalur Sempadan Rel Kereta Api berfungsi sebagai peresap air, peredam kebisingan, pengaman, dan konservasi flora.

6. Pemakaman

Menurut Dahlan (2004), kuburan atau pemakaman perlu ditanami dengan bebungaan agar menjadi semarak indah, tidak berkesan seram menakutkan,. Lokasi ini pun perlu ditanami dengan pepohonan, agar lebih teduh, sejuk, dan nyaman. Tanaman ditempatkan sedemikian rupa agar cukup teduh, tapi tidak terlalu gelap. Jika terlalu gelap, akan menimbulkan kesan menakutkan dan juga setelah hujan akan tetap becek. Sinar matahari tidak dapat menyinari tanah dengan baik karena terhalangi oleh tajuk pohon yang terlalu rapat.

2.2.2 Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan a. Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan adalah sebagai berikut:

 ruang terbuka hijau di perkotaan terdiri dari RTH Publik dan RTH privat;

 proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat;

(31)

13

Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal.

b. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku. Tabel 3 menampilkan standar penyediaan RTH berdasarkan jumlah penduduk tertentu.

c. Penyediaan RTH Berdasarkan Kebutuhan Fungsi Tertentu

(32)

sekolah/pusat kecamatan 4 120.000 jiwa Taman

kecamatan

24.000 0,2 Dikelompokkan

dengan sekolah/pusat kecamatan Pemakaman disesuaikan 1,2 Tersebar 5 480.000 jiwa Taman kota 144.000 0,3 Di pusat

disesuaikan 12,5 Disesuaikan dengan kebutuhan Sumber: SNI 03-1733-2004 tentang tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan

2.2.3 Manfaat

Di samping jenisnya yang beragam, RTH memiliki manfaat yang besar bagi kelangsungan hidup manusia. Manfaat RTH menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, antara lain: 1. meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan

yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis,

2. mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial antar penggunanya,

3. menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan, 4. menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan

pejalan kaki,

(33)

15

2.2.4 Syarat Vegetasi di Perkotaan

RTH dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dll) akan memiliki permasalahan yang juga berbeda yang selanjutnya berkonsekuensi pada rencana dan rancangan RTH yang berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikultural tanaman dan vegetasi penyusun RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyeleksi jenis-jenis yang akan ditanam (Anonim dalam Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, 2005)

Persyaratan umum tanaman untuk ditanam di wilayah perkotaan menurut Anonim pada makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, antara lain: (a) Disenangi dan tidak berbahaya bagi warga kota; (b) Mampu tumbuh pada lingkungan yang marjinal (tanah tidak subur, udara dan air yang tercemar); (c) Tahan terhadap gangguan fisik (vandalisme); (d) Perakaran dalam sehingga tidak mudah tumbang; (e) Tidak gugur daun, cepat tumbuh, bernilai hias dan arsitektural; (f) Dapat menghasilkan oksigen dan meningkatkan kualitas lingkungan kota; (g) Bibit atau benih mudah didapatkan dengan harga yang murah (terjangkau) oleh masyarakat; (h) Prioritas menggunakan vegetasi endemik (lokal); (i) Keanekaragaman hayati.

Agar dapat berfungsi dalam arsitektur lanskap, terdapat beberapa kriteria tanaman yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Pengontrol visual

Tanaman pagar yang rapat dan mempunyai ketinggian lebih dari 1,8 meter dapat menciptakan suasana pribadi dan agar dapat menghalangi sinar secara efektif, tanaman harus diletakkan pada tempat yang strategis antara sumber sinar dengan area yang akan dilindungi (Carpenter et al., 1975). Efektifitas tanaman dalam mengontrol sinar, baik sinar langsung maupun sinar pantulan tergantung dari ukuran tanaman, ketinggian tanaman dan kepadatan daun (Grey dan Deneke, 1978)

(34)

3. Pengontrol suhu

Radiasi matahari berpengaruh terhadap suhu lingkungan. Efektifitas pepohonan dalam menangkap radiasi matahari tergantung pada kepadatan daun, bentuk daun, dan pola percabangan Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa pohon yang memiliki batas kanopi tinggi berguna dalam menangkap radiasi matahari. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk menghalangi sinar dan menurunkan temperatur adalah: a) tajuk lebar, b) bentuk daun lebar, dan c) ketinggian kanopi lebih dari 2 meter

4. Penahan angin

Tanaman dapat mengontrol angin dengan cara menghalangi, mengarahkan atau memperkuat angin (Carpenter et al., 1975). Efektifitas penanamannya sebagai penahan angin ditentukan oleh tinggi tanaman, lebar penanaman, dan kerapatan daun. Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tingkat proteksi suatu area oleh angin tergantung pada tinggi pohon. Angin yang mempunyai arah tegak lurus terhadap deretan tanaman penahan angin gerakannya akan akan dipengaruhi sampai pada jarak 5 – 10 kali tinggi tanaman penghalang pada ruang dekat pohon dan sampai 30 kali tinggi tanaman pada bagian belakang. Lebar tanaman dan mudah tidaknya tanaman ditembus angin tergantung dari pengaturan tanaman yang baik agar dapat menahan angin, yaitu dengan mengkombinasikan antara pohon dan semak. Selain itu tanaman penghalang angin juga dapat mempengaruhi suhu daerah di belakangnya (Crockett, 1971).

5. Pengontrol Presipitasi dan Kelembaban

(35)

17

dan Deneke, 1978). Tanaman dapat mengontrol kelembaban dengan melepaskan air ke udara melalui transpirasi. Semakin banyak jumlah daun, jumlah air yang dikeluarkan semakin banyak, dengan demikian kelembaban udara semakin tinggi (Carpenter et al., 1975).

6. Pengontrol bising

Efektifitas tanaman dalam mengontrol bising tergantung dari tinggi tanaman, kepadatan daun dan lebar penanaman. Tanaman yang mempunyai penutupan daun sampai bawah, lebih efektif dalam mengontrol bising. Secara umum vegetasi paling efektif digunakan utnuk mengurangi kebisingan dengan frekuensi tinggi yang mengganggu atau berbahaya. Beberapa tanaman dengan lebar 25 – 50 kaki dapat mengurangi suara bising dengan frekuensi tertinggi antara 10 – 20 dB, tapi kurang efektif jika digunakan untuk mereduksi kebisingan dengan frekuensi yang lebih rendah. Penanaman satu jenis tanaman tidak seefektif penanaman beberapa jenis tanaman, karena penanaman satu spesies hanya dapat menangkap suara dengan frekuensi rendah atau tinggi saja, tapi tidak efektif dalam mereduksi suara dengan frekuensi sedang (antara tinggi dan rendah). Selanjutnya Grey dan Deneke (1978) menyatakan bahwa tanaman berdaun tebal, cabang, dan batang besar dan penanaman yang rapat serta cabang-cabang yang ringan, mudah bergerak sehingga menimbulkan suara merupakan tanaman yang efektif dalam mengontrol kebisingan.

7. Pengontrol polusi udara

Polusi udara dapat berupa partikel debu atau gas (Grey dan Deneke, 1978). Polutan yang berbentuk pertikel dapat ditangkap oleh daun tanaman yang kasar dan berambut secara efektif. Partikel-partikel polutan yang terbawa angin ditangkap oleh cabang dan dedaunan pohon. Kriteria tanaman yang dapat digunakan untuk menyergap polutan berupa gas adalah:

a. Mempunyai pertumbuhan yang cepat b. Tumbuh sepanjang tahun

(36)
(37)

19

METODOLOGI

3.1 Lokasi dan waktu

Lokasi penelitian adalah Kelurahan Lenteng Agung RW 08. Waktu sejak pelaksanaan studi hingga pembuatan laporan hasil studi berlangsung selama 10 bulan (Maret 2011- Januari 2012).

Gambar 3 Peta Jakarta dan Kelurahan Lenteng Agung

(38)

3.3 Batasan studi

Studi ini mengidentifikasi peranan RTH terhadap pemenuhan kebutuhan perkotaan berdasarkan presentase luas area dan kebutuhan masyarakat berdasarkan luas per kapita. Hasil akhir dari studi adalah berupa rekomendasi deskriptif untuk pengendalian dan optimalisasi pemanfaatan RTH yang ada serta rekomendasi spasial penggunaan lahan sebagai ruang terbuka hijau.

3.4 Metode

(39)

21

Uraian mengenai proses evaluasi yang akan dilakukan selama studi sebagai berikut.

3.4.1 Tahap Persiapan

Pada tahap ini pekerjaan yang dilakukan yaitu menentukan konsep dan tujuan identifikasi, persiapan informasi yang berkaitan dengan lokasi, pihak-pihak yang harus dihubungi, yang berkaitan dengan tata ruang kawasan Kelurahan Lenteng Agung.

3.4.2 Tahap Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam studi ini sebagian besar merupakan data fisik kawasan (Tabel 4). Data ini berupa data primer yang diperoleh dari survey lapang dan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, dan sumber-sumber lainnya.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu:

 Secara Langsung, yaitu pengumpulan data dilakukan sendiri di lapangan, baik melalui wawancara, foto, maupun pengamatan visual/observasi lapangan secara langsung untuk mendapatkan data primer.

- Teknik Sampling

(40)

 Secara Tidak Langsung, yaitu pengumpulan data instansi terkait yaitu Kelurahan Lenteng Agung dan RW 08 Lenteng Agung untuk mendapatkan data sekunder.

Daftar data yang dikumpulkan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Rekapitulasi Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Aspek, Jenis, Bentuk, dan Sumber Data

Aspek Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

Fisik dan Biofisik

Lokasi tapak Letak, luas, dan batas wilayah Survey lapang, studi

pustaka

Sirkulasi dan Aksesibilitas

Pola dan jalur sirkulasi Survey lapang

Sarana dan prasarana Jenis dan jumlah sarana dan

prasarana

Data Kelurahan, survey lapang

Topografi Kondisi topografi Survey lapang

Iklim Kondisi iklim wilayah dan

iklim mikro

Stasiun klimatologi, survey lapang

Tanah dan hidrologi Jenis tanah dan hidrologi Studi pustaka, survey

lapang

Vegetasi dan satwa Jenis vegatasi dan satwa Survey lapang

Penggunaan lahan Kondisi penggunaan lahan Pemerintah daerah,

foto udara, survey lapang

RTH Jumlah, tipe, pemanfaatan Survey lapang,

wawancara

Sosial dan Ekonomi

Keadaan masyarakat Data kependudukan, sosial

budaya masyarakat

Survey lapang, Kelurahan Lenteng Agung

Pola/tipe pemukiman Data pola/tipe pemukiman Survey lapang

Kelembagaan Data jumlah dan jenis

kelembagaan masyarakat.

(41)

23

Masing-masing jenis ruang terbuka hijau memiliki perlakuan metode pengumpulan data yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kondisi dan distribusi eksisting setiap ruang terbuka hijau. Metode tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 di bawah ini.

Tabel 5 Metode Pengumpulan Data berdasarkan Jenis Ruang Terbuka Hijau Jenis RTH Jenis Data Metode Keterangan

Pekarangan Tipologi, ukuran,

Jalur Hijau Jalan Jenis, distribusi,

tipologi, ukuran,

RTH Pemakaman Tipologi, elemen

lanskap

Pengamatan keseluruhan

3.4.3 Tahap Analisis

Pada tahap ini, analisis yang dilakukan terhadap tapak adalah analisis pemanfaatan ruang terbuka hijau. Analisis ini dilakukan dengan mengidentifikasi tipologi ruang terbuka hijau berdasarkan fisik, kepemilikan, bentuk, dan fungsi.

Fisik : Alami dan Non Alami Kepemilikan : Privat dan Publik Bentuk : Area dan Jalur

Fungsi : Produksi, Ekologi, Sosial Budaya, dan Estetika

(42)

Jenis Evaluasi Aspek Keterangan Evaluasi Kualitas RTH 1.Penutupan lahan oleh

vegetasi Evaluasi Kuantitas RTH 1.Berdasarkan persen

luas wilayah Keterangan mengenai rangkaian proses evaluasi serta metode yang digunakan akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Evaluasi Kualitas Ruang Terbuka Hijau

Analisis ini digunakan untuk mengetahui kualitas ruang terbuka hijau yang terdapat pada kawasan penelitian. Pengamatan mencakup kondisi penutupan lahan oleh vegetasi dan tingkat kenyamanan pengguna pada masing-masing jenis ruang terbuka hijau. Penutupan lahan oleh vegetasi akan diklasifikasikan dalam beberapa kelas penutupan oleh ground cover, semak, dan pohon, yang terdiri atas: Kelas 1: Sangat Rendah (hamparan rumput/penutup tanah)

Kelas 2: Rendah (rumput/penutup tanah dan semak) Kelas 3: Sedang (penutup tanah dan pohon)

Kelas 4: Tinggi (semak dan pohon)

(43)

25

Sedangkan tingkat kenyamanan pengguna akan didapatkan melalui perhitungan suhu dan kelembaban. Kemudian nilai THI pada masing-masing ruang terbuka hijau akan dibandingkan antara kondisi tanpa naungan pohon dengan di bawah naungan pohon. Dari hasil perbandingan akan diketahui selisih tingkat kenyamanan yang merupakan pengaruh dari keberadaan pohon dalam tapak.

2. Evaluasi Kuantitas Ruang Terbuka Hijau

Analisis ini berfokus pada identifikasi luasan ruang terbuka hijau eksisting tapak, yaitu dengan membandingkan luas ruang terbuka hijau yang sudah ada dengan standar yang telah ditetapkan. Perhitungan standar luas ruang terbuka hijau menurut Endes (2004) dapat dihitung secara parsial yaitu berdasarkan persen luas area dan luasan per kapita. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menyatakan bahwa luasan ruang terbuka hijau kota minimal sebesar 30% dengan 20% milik publik dan 10% privat. Sedangkan perhitungan kebutuhan RTH berdasarkan luasan per kapita mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, yaitu kebutuhan RTH tiap penduduk berdasarkan cakupan wilayah administrasi. Keluaran yang diharapkan dari analisis ini adalah informasi mengenai status pemenuhan jumlah ruang terbuka hijau apakah telah mencukupi atau belum.

3.4.5 Tahap Perumusan Rekomendasi

Hasil dari proses analisis dan sintesis akan dijadikan dasar pembuatan rekomendasi. Rekomendasi akan diberikan dalam bentuk deskriptif dan spasial yaitu usulan pengendalian untuk mempertahankan jumlah ruang terbuka hijau yang dapat diterapkan pada kawasan perkotaaan, terutama pada tapak yang serupa dengan RW 08 Kelurahan Lentang Agung.

1. Rekomendasi Deskriptif

(44)

secara kualitatif adalah analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor internal dan eksternal, sedangkan analisis secara kuantitatif dilakukan dengan pembobotan dan pemberian rating.

Dari analisis SWOT akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks ini dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternatif. Keempat strategi itu adalah:

1. SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesat-besarnya.

2. ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman.

3. WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada.

4. WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta meminimalkan ancaman.

Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah sebagai berikut:

a. Analisis penilaian faktor internal dan faktor eksternal b. Penentuan bobot setiap veriabel

c. Penentuan peringkat (rating) d. Penyusunan alternatif strategi

e. Pembuatan tabel rangking alternatif strategi Penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Analisis Penilaian Faktor Internal dan Eksternal

(45)

27

kekuatan dan kelemahan serta memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Sedangkan penilaian faktor eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008). Identifikasi berbagai faktor tersebut secara sistematis digunakan untuk menemukan strategi untuk mengendalikan kondisi ruang terbuka hijau kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung.

b. Penentuan Bobot Setiap Veriabel

Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal, terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya.

Tabel 7 Formulir tingkat kepentingan fakor internal

Simbol Faktor Kekuatan (strength) Tingkat Kepentingan

S1 Kekuatan yang sangat besar

S2 Kekuatan yang besar

S3 Kekuatan yang sedang

Sn

Simbol Faktor Kelemahan (weakness) Tingkat Kepentingan

W1 Kelemahan yang tidak berarti

W2 Kelemahan yang kurang berarti

W3 Kelemahan yang cukup berarti

Wn

Tabel 8 Formulir tingkat kepentingan fakor eksternal

Simbol Faktor Peluang (opportunities) Tingkat Kepentingan

O1 Peluang yang sangat tinggi

O2 Peluang yang tinggi

O3 Peluang yang rendah

On

Simbol Faktor Ancaman (threats) Tingkat Kepentingan

T1 Ancaman yang besar

T2 Ancaman yang sedang

T3 Ancaman yang kecil

Tn

(46)

Sumber: Kinnear and Taylor (1991)

Menurut David (2008), penentuan bobot setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4, yaitu:

1: jika indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal

2: jika indikator faktor horizontal sama penting dengan indikator faktor vertikal

3: jika indikator faktor horizontal lebih penting daripada indikator faktor vertikal

4: jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor vertikal

(47)

29

Tabel 11 Acuan Standar yang Digunakan pada Beberapa Bentuk RTH

Jenis RTH Regulasi Keterangan

Pekarangan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

RTH privat sebasar 10% dari luas wilayah

Jalur Hijau Jalan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Tingkat RT = 1 m2/kapita Dan RW = 0.5 m2/kapita

kurangnya 50 m dari tepi sungai sebesar 6 m dari sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalan kereta

RTH Pemakaman Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

(48)

batasan dministratif wilayah kota, pembangunan cenderung memanfaatkan lahan-lahan alami yang masih ada yang sebenarnya mempunyai fungsi-fungsi ekologis kota.

Jumlah penduduk DKI Jakarta sesuai data kependudukan berjumlah 7,55 juta jiwa. Namun, fakta di lapangan jumlah penduduk yang beraktifitas ±8,9 juta jiwa (malam hari) dan ±11 juta jiwa (siang hari), dengan kepadatan penduduk 130-150 jiwa/ha hingga 200-300 jiwa/ha (Joga dan Ismaun, 2011).

Secara geografis Jakarta merupakan dataran rendah, karena 40 persen wilayahnya berada di bawah muka air laut pasang. Secara hidro-geologis, Jakarta berada pada cekungan artoris. Terdapat 13 sungai besar dan kecil yang mengaliri Kota Jakarta, berhulu d kawasan Gunung Gede-Pangrango, Jawa Barat, yaitu: Kali Mookevart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Kramat Jati, dan Kali Cakung.

(49)

31

Tabel 12 Penggunaan Lahan di Kecamatan-Kecamatan DKI Jakarta

No Nama kecamatan Luas Administrasi Lahan Terbangun Potensi RTH

1 Cempaka Putih 465,54 ha 91,49% 8,51%

Sumber: Joga dan Ismaun, 2011.

Terdapat tiga kecamatan yang memiliki potensi ruang terbuka hijau dominan, yaitu Kecamatan Cipayung, Makasar, dan Jagakarsa, di mana ketiganya memiliki potensi ruang terbuka hijau lebih besar dari 50%. Ketiga kecamatan tersebut dalam RTRW DKI Jakarta 2010 termasuk dalam zona resapan air, sehingga perlu pengendalian pembangunan agar tidak banyak beralih fungsi.

4.2. Kelurahan Lenteng Agung

Kelurahan Lenteng Agung merupakan salah satu kelurahan dari enam Kelurahan di Kecamatan Jagakarsa yang termasuk dalam Wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan dan berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor: 1251 Tahun 1986 tanggal 3 Juni 1986 dan SK Gubernur KDKI Jakarta Nomor: 1815 Tahun 1988 Wilayah Kelurahan Lenteng Agung dengan batas-batas:

(50)

23.416 jiwa perempuan.

4.3. RW 08 Kelurahan Lenteng Agung

4.3.1. Kondisi Fisik dan Biofisik a. Batas Wilayah dan Aksesibilitas

Secara administratif, RW 08 Kelurahan Lenteng Agung terletak di Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Sedangkan secara geografis terletak pada 6˚ 20’ 02” – 6˚ 20’ 39” LS dan 106˚ 50’ 01” – 106˚ 50’ 25” BT dengan luas sekitar 47 ha.

Batas-batas wilayah di RW 08 adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Permukiman RW 09

Sebelah Timur : Sungai Ciliwung Sebelah Selatan : Permukiman RW 07 Sebelah Barat : Jalur kereta api

(51)

33

Kawasan ini memiliki sirkulasi utama berupa jalan raya yang menghubungkan Jakarta Selatan dan Depok. Jalur kendaraan terpecah menjadi dua dan keduanya merupakan jalur satu arah. Kondisi jalan ini merupakan jalan aspal yang umumnya dilewati oleh kendaraan roda dua dan roda empat atau lebih baik milik pribadi maupun umum. Terdapat jalan kecil di sekitar jalan utama, yaitu jalan lingkungan yang menghubungkan antar wilayah dalam kawasan ini dan memiliki lebar jalan lebih kecil dari jalur utama. Selain itu, lokasi ini dapat dijangkau dengan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta – Bogor karena tepat terletak di sebelah timur Stasiun Universitas Pancasila. Pola dan jalur sirkulasi kendaraan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 7 Pola dan Jalur Sirkulasi Lokasi Penelitian

b. Tanah dan Hidrologi

(52)

dari kegiatan perkantoran dan industri. c. Topografi dan Iklim

Topografi wilayah Lenteng Agung pada umumnya dapat dikategorikan sebagai area datar yaitu 0 – 3%. Ketinggian wilayah sekitar 50 meter diatas permukaan laut. Wilayah ini beriklim tropis dengan suhu rata-rata sekitar 27º C, tingkat kelembaban antara 80 ‑ 90%. Arah angin dipengaruhi oleh angin Muson Timur terutama terjadi antara bulan Mei sampai Oktober, dan angin Muson Barat sekitar bulan November sampai April. Tingkat curah hujan rata ‑ rata per tahun mencapai 2.039 mm, dengan curah hujan maksimum terjadi pada bulan Januari. d. Sarana dan Prasarana

Data di bidang Sub Seksi Pemberdayaan Masyarakat yang telah dihimpun sampai dengan Desember 2010 sebagai berikut:

Data sarana peribadatan: 3 Masjid, 4 Mushola, 1 Gereja, dan 10 Majelis Taklim. Data sarana pendidikan: 7 buah yang terdiri atas SMA 38, SMP 98, MAN 13, SMK 62, SMP YPM, SD 07, dan SMP 242. Data sarana olahraga: 4 lapangan bulu tangkis dan 1 lapangan voli.

e. Utilitas Lingkungan

Pada saat ini sumber air bersih yang diperoleh warga berasal dari sumur artesis yang dibuat oleh warga. Jaringan air bersih belum terdistribusi merata ke permukiman warga. Pada saat ini pembuangan atau pengelolaan air kotor dan limbah yang berasal dari rumah tangga masih dilakukan secara sederhana, yaitu langsung dibuang ke saluran drainase tanpa melalui treatment tertentu, sehingga mengakibatkan kotor.

(53)

35

listrik dari PLN ini masuk ke dalam rumah-rumah penduduk melalui tiang-tiang listrik yang dipasang sepanjang jalan atau gang-gang.

4.3.2. Kondisi Sosial

a. Keadaan Penduduk

Berdasarkan Laporan Tahunan Kelurahan Lenteng Agung 2010, RW 08 terdiri atas 14 RT dan memiliki jumlah penduduk sebesar 5409 jiwa yang terdiri atas 3147 pria dan 2262 wanita. Di bawah ini merupakan data mata pencaharian penduduk. Tabel 13 berikut ini menampilkan data penduduk menurut mata pencaharian.

Tabel 13 Data Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Jenis Pekerjaan Jumlah Presentase Keterangan

1 Swasta 996 19,97 %

Sumber: Laporan Tahun 2010 Kelurahan Lenteng Agung

Sebagian besar penduduk menganut agama Islam. Sebesar 94,73%% dari total penduduk adalah Islam dan paling sedikit adalah agama Hindu sebesar 0,2%. Data penduduk menurut agama dapat dilihat pada Tabel 14 di bawah ini. Tabel 14 Data Penduduk Menurut Agama

No Agama Jumlah Presentase Keterangan

1 Islam 5124 94,73 %

(54)

mengakibatkan pembangunan yang semakin tidak teratur. Banyak tersebar gang-gang kecil sebagai jalur sirkulasi.

Bentuk rumah bervariasi dan tidak memiliki karakter khusus. Perlakuan terhadap batas lahanpun berbeda-beda, terdapat pagar permanen namun masih banyak terdapat rumah dengan pagar tidak permanen seperti pagar kayu dan pagar tanaman. Rumah yang berpagar sebagian besar terletak di tepi jalan utama, sedangkan di jalan-jalan yang menghubungkan antar lokasi dalam wilayah ini banyak yang tidak memiliki pagar permanen. Meskipun keberadaan rumah saling menempel akibat keterbatasan lahan, namun demikian masih dapat ditemukan pekarangan depan dengan berbagai macam perlakuan (diisi tanaman, halaman kosong, atau perkerasan).

(55)

37

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Tipologi Ruang Terbuka Hijau

Jenis ruang terbuka hijau yang dijumpai di kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung yaitu: pekarangan, jalur hijau jalan (tepi jalan, median jalan, dan pulau jalan), ruang terbuka hijau pada fasilitas umum dan fasilitas sosial, bantaran sungai, bantaran rel kereta api, dan pemakaman. Berikut ini adalah tipologi dari masing-masing ruang terbuka hijau yang ditampilkan pada Tabel 15.

Tabel 15 Tipologi Ruang Terbuka Hijau

(56)
(57)

39

5.2. Klasifikasi RTH berdasarkan kepemilikan, fungsi, dan bentuk 5.2.1. Pekarangan

Pekarangan atau halaman rumah merupakan salah satu area ruang terbuka hijau privat. Luas pekarangan adalah sisa dari luas kavling dikurangi dengan luas ruang terbangun. Rumah penduduk di kawasan ini tersebar di seluruh area penelitian. Menurut Arifin (2009), pekarangan berdasarkan luasan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:

(i) kecil, pekarangan dengan luas kurang dari 120 m2 (ii) sedang, pekarangan dengan luas 120-400 m2 (iii)besar, pekarangan dengan luas 400-1000 m2

(iv) sangat besar, pekarangan dengan luas lebih dari 1000 m2

Masing-masing RT pada kawasan ini terdiri atas sekitar 50 rumah. Dengan asumsi bahwa skala penelitian adalah kawasan RW 08 Kelurahan Lenteng Agung, maka jumlah sampel yang diambil adalah jumlah rumah pada kawasan tersebut yang dianggap sebagai jumlah populasi (N) sebanyak 700 rumah. Dalam situasi ini derajat kecermatan yang diambil 10%, yang menunjukkan bahwa tingkat kecermatan studi dikategorikan cermat untuk tingkat kepercayaan 90%.

≈ 88

(58)

Gam bar 8Gambar 9 Presentase Pekarangan berdasarkan Ukuran

Pada proses pengamatan, sampel masing-masing pekarangan dipilih secara acak yang diharapkan dapat mewakili pemanfaatan untuk ukuran yang berbeda-beda. Dari gambar dapat terlihat bahwa pada umumnya terdiri dari pekarangan sempit yang menunjukkan semakin terbatasnya upaya penyediaan RTH di area rumah. Kriteria penanaman vegetasi untuk berbagai ukuran kavling berbeda-beda satu sama lain. Hal ini terkait dengan presentase kebutuhan terhadap ruang terbuka hijau berdasarkan luas area yaitu sebesar 10% pada RTH privat serta kondisi eksisting masing-masing pekarangan. Kriteria penanaman vegetasi dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini.

Tabel 16 Syarat Penanaman Vegetasi pada Pekarangan Ukuran Jenis < 120 m2 Satu pohon pelindung, semak

dan perdu Relatif sempit Pot dan tanaman gantung Memanfaatkan ruang di

(59)

41

(60)

Sampel 1 2 3

Satu Pohon • • •

Semak dan Perdu • • •

Penutup Tanah • • -

Keterangan:

• = ada

(61)

43

(62)

Tabel 18 Syarat Penanaman pada Sampel Pekarangan Sedang

Sampel 1 2 3

Dua Pohon • • •

Semak dan Perdu • • -

Penutup Tanah - • -

Keterangan:

• = ada

(63)

45

Gambar 12 Penataan Pekarangan Ukuran Luas

Keterangan gambar:

(64)

• = ada

Pekarangan berukuran luas masih jarang ditemui pada kawasan ini, namun pemanfaatan pekarangan pada sampel yang diamati telah memenuhi kriteria penanaman vegetasi. Hal ini terkait dengan potensi luasan pekarangan yang memungkinkan adanya variasi penataan lebih baik dibandingkan dengan ukuran pekarangan lain yang lebih sempit. Penataan pekarangan pada tipe ukuran ini memiliki berbagai variasi lokasi, baik pada bagain depan, samping, maupun pada area dalam dan belakang rumah.

Beberapa sampel yang diamati, terdapat beberapa ragam pemanfaatan pekarangan. Kebutuhan dan selera pemilik rumah merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap penggunaan dan penataan elemen taman. Di bawah ini merupakan beberapa foto dari pekarangan yang diamati.

Gambar 13 Contoh Ukuran Pekarangan a) Sempit, b) Sedang, dan c) Luas Banyaknya rumah dengan pekarangan sempit membuktikan bahwa ruang terbuka hijau pada lahan privat juga rawan untuk dikonversi menjadi fungsi lahan terbangun. Pekarangan belum mendapat perhatian pada pembangunan rumah, terutama pada permukiman padat penduduk. Namun di sisi lain, penyediaan ruang terbuka hijau pada lahan privat seperti halaman atau pekarangan bangunan berpotensi besar menyumbangkan manfaat bagi ruang terbuka hijau kota.

(65)

47

Fungsi yang dimiliki oleh pekarangan terkait erat dengan elemen penyusunnya. Elemen yang terdapat pada suatu tapak akan menciptakan karakter tapak itu. Fungsi produksi pekarangan dapat muncul dari keberadaan elemen-elemen yang berfungsi sebagai sarana pembudidayaan atau perkembangbiakan dan menghasilkan pendapatan bagi rumah tangga, seperti pembudidayaan tanaman pada kebun ataupun di dalam pot, serta adanya kandang binatang untuk perkembangbiakan. Fungsi ekologi diwujudkan dari peran vegetasi dalam merekayasa iklim mikro di sekitar halaman rumah. Fungsi sosial budaya muncul dari pemakaian elemen-elemen taman yang mengakomodasi kebutuhan penggunanya untuk bersosialisasi ataupun elemen yang mencerminkan kebiasaan dan budaya setempat, seperti adanya bangku taman ataupun ruang-ruang yang disediakan untuk penggunaan bersama. Sedangkan fungsi estetika akan terpenuhi apabila terdapat pemilihan dan penataan elemen-elemen taman secara menarik sehingga menciptakan nilai visual yang tinggi.

Elemen Lanskap Pekarangan Hardscape

Elemen keras atau hardscape pada taman maupun pekarangan berfungsi sebagai pengisi lahan untuk tujuan tertentu. Pada lokasi penelitian ini, elemen hardscape

(66)

Gambar 14 Grafik Presentase Kepemilikan Hardscape di Pekarangan

Berdasarkan pengamatan di lapang mengenai elemen-elemen keras atau

hardscape, maka dilakukan perbandingan jumlah keberadaan masing-masing elemen terhadap jumlah keseluruhannya dengan hasil seperti yang ditampilkan pada Gambar 15 sebagai berikut:

Gambar 15 Presentase Preferensi Hardscape di Pekarangan

Penjelasan dari masing-masing hardscape di pekarangan akan diuraikan seperti berikut:

a. Pot

Elemen yang paling banyak dimiliki warga di pekarangan adalah pot, yaitu sebanyak 90,05 %. Hal ini dikarenakan banyaknya rumah warga yang memiliki

0

Pagar 25,00 Lampu 4,63

Paving 25,62

Tempat sampah 5,56

Kolam 1,54

Pot 27,93

Pot gantung 2,47 Kandang 4,17

Gazebo 0,93 Sculpture 0,46

(67)

49

sisa ruang terbuka sempit atau bahkan tidak ada. Salah satu strategi penghijauan yang digunakan agar lingkungan rumah tetap hijau adalah dengan menggunakan tanaman dalam pot sehingga preferensi pemanfaatan lahan rata-rata oleh masing-masing pemilik rumah di RW 08 Kelurahan Lenteng Agung tertinggi juga adalah untuk memiliki pot tanaman di pekarangan, yaitu sejumlah 27,93 %.

Pot yang digunakan terdiri atas berbagai bahan dan ukuran sesuai dengan selera, luas lahan yang tersedia, dan jenis tanaman yang dipakai. Peletakannya adalah di tepi halaman, sapanjang garis bangunan, maupun diletakkan di lahan atap bangunan. Pot yang ditata dengan rapih dan teratur menghasilkan fungsi estetika yang tinggi.

b. Pavement

Elemen yang banyak digunakan selanjutnya dalah paving atau perkerasan yaitu sebanyak 82,59 %. Sebagian besar rumah warga memiliki ruang terbuka yang didominasi oleh perkerasan dengan pemanfaatan beragam, antara lain: sebagai carport atau ruang meletakkan kendaraan, ruang tempat menjemur, maupun untuk meletakkan barang-barang yang tidak terpakai. Keterbatasan lahan hijau di pekarangan menyebabkan tingginya suhu pada siang hari serta menimbulkan genangan air pada saat hujan karena air tidak dapat meresap ke permukaan paving. Pilihan penggunaan perkerasan pada pekarangan secara rata-rata adalah sebesar 25,62 % dibandingkan elemen hardscape lainnya.

c. Pagar

Pemanfaatan pagar adalah sebagai pembatas dan panghalang pandang dari arah luar menuju ke rumah ataupun sebaliknya. Berdasarkan pengamatan, pagar di pekarangan warga berupa pagar alami, yaitu menggunakan tanaman dan nonalami, yaitu menggunakan bahan kayu, semen, dan besi. Dari hasil pengamatan, terdapat 80,60 % rumah yang memiliki pagar di pekarangannya dan pilihan untuk memiliki pagar dibandingkan elemen yang lain adalah sebesar 25 %. d. Tempat Sampah

Gambar

Tabel 4  Rekapitulasi Data yang Dikumpulkan Berdasarkan Aspek, Jenis, Bentuk,
Tabel 11 Acuan Standar yang Digunakan pada Beberapa Bentuk RTH
Tabel 12 Penggunaan Lahan di Kecamatan-Kecamatan DKI Jakarta
Tabel 15 Tipologi Ruang Terbuka Hijau
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam merancang, mengembangkan dan pengelolaan RTH Kota, diperlukan institusi yang professional, yaitu instansi di pemerintahan perkotaan. Lembaga sebagai

Persamaan regresi berdasarkan grid tahun 1997 yaitu y = 27,027 - 0,039~ dapat digunakan sebagai acuan bagi pengelolaan wilayah perkotaan dalam pengembangan RTH untuk

Menurut Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Wilayah Perkotaan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 05/PRT/M/2008, penyediaan RTH berdasarkan

Program Studi Teknik Geodesi Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro Jl. Sudarto SH, Tembalang Semarang Telp. Penyediaan RTH di wilayah perkotaan sedikit mengalami kesulitan

Pertumbuhan penduduk dan aktivitas sosial ekonomi di wilayah perkotaan akan mempengaruhi ketersediaan lahan dan keberlangsungan RTH yang terus mengalami

Makalah Lokakarya “Pengembangan Sistem RTH Di Perkotaan” Dalam rangkaian acara Hari Bakti Pekerjaan Umum ke 60.. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen

Komponen Product , yang terdiri dari keseuaian RTH dengan masyarakat, kesigapan apparat dan laporan hasil dari program penyediaan Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta

Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan,hlm.. b) Proporsi RTH pada wilayah